A. Pendahuluan
Syariat Islam sebagai sumber hukum Islam merupakan sebuah kaidah
tatanan kehidupan bagi umat muslim pada khususnya dan umat manusia pada
umumnya yang diberikan oleh Allah SWT. Karena kedudukannya sebagai
kaidah langsung dari Allah tersebut, dalam pelaksanaannya, manusia baik
disadari maupun memerlukan penafsiran akan kaidah-kaidah tersebut. Hal ini
tidak lain karena syariat Islam sebagai hukum Tuhan akan sulit dicerna
oleh manusia yang kemampuannya terbatas, sehingga untuk dapat
mengaplikasikannya maka diperlukan penafsiran-penafsiran yang tepat dan
sesuai disipilin ilmu.
Ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang hingga saat ini menjadi
kunci yang paling mendasar dari kemajuan zaman yang diraih umat manusia
hingga saat sekarang ini, tentunya tidak datang begitu saja tanpa ada sebuah
dinamika atau diskursus ilmiah. Proses untuk mendapatkan ilmu pengetahuan
ini dalam dunia pendidikan lazim dikenal dengan istilah epistemologis
(epistemologi).
Studi Epistemologi ini sering juga disebut studi tentang metodologi ilmu
pengetahuan. Studi Epistemologi (Islam) berarti usaha mengkaji atau
mengetahui cara-cara mengetahui sumber-sumber ilmu pengetahuan dalam
Islam.Studi Epistemologi Islam ini populer juga dengan istilah Filsafat
Pengetahuan Islam.Studi Epistemologi Islam itu terbagi menjadi dua bagian,
yang pertama adalah epistemologi Islam klasik sedangkan yang kedua yaitu
epistemologi Islam kontemporer.
2
1
Fathur Rahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Jakarta, Logos, 1997, h. 139-141
3
B. Pembahasan
1. Pengertian epistemologi
Epistemologi adalah cabang filsafat yang sudah tua usianya. Menurut
sejarah filsafat, epistemologi ini sudah muncul sebelum Sokrates. Kata
epistemologi berasal dari bahasa Yunani episteme yang berarti
pengetahuan dan logos yang berarti perkataan, pikiran (akal budi) dan ilmu.
Sementara itu, kata episteme sendiri berasal dari kata epistamai yang artinya
mendudukkan, menempatkan atau meletakkan. Maka kata episteme dapat
diartikan pengetahuan sebagai upaya intelektual untuk menempatkan
sesuatu dalam kedudukan setepatnya2. Berdasarkan etimologi kata
epistemologi tersebut, dapat dikatakan bahwa epistemologi adalah ilmu
tentang pengetahuan manusia atau sering disebut juga sebagai teori
pengetahuan. J. Sudarminta mengatakan bahwa sebagai cabang ilmu filsafat,
epistemologi bermaksud mangkaji dan mencoba menemukan ciri-ciri umum
dan hakiki dari pengetahuan manusia. Pertanyaannya adalah bagaimana
pengetahuan itu pada dasarnya diperoleh dan diuji kebenarannya? Manakah
ruang lingkup atau batas-batas kemampuan manusia untuk mengetahui?
Dapat juga dikatakan menurut bahwa epistemologi membahas masalah-
masalah dasar dalam pengetahuan, misalnya apa itu pengetahuan, dimanakah
pengetahuan umumnya ditemukan, dan sejauh manakah apa yang biasanya
kita anggap sebagai pengetahuan benar-benar merupakan pengetahuan?
Apakah indera dan budi dapat memberi pengetahuan, serta apakah hubungan
antara pengetahuan dan keyakinan yang benar? Pertanyaan-pertanyaan
epistemologis ini dapat kita ajukan juga terhadap pengetahuan kita tentang
hukum. Pertanyaan-pertanyaan itu hendaknya tidak dianggap sebagai aneh3.
2
J. Sudarminta, Dasar Pengantar Filsafat Pengetahuan, Kansius, Yogyakarta, 2002. h
18
3
P. Hardono Hadi, Filsafat Pengetahuan, Kansius, Yogyakarta, 1994. h. 6
4
Tujuan yang mau dicapai oleh epistemologis adalah bukan hanya apakah
saya atau kita dapat mengetahui, melainkan juga untuk menemukan syarat-
syarat yang memungkinkan kita dapat tahu dan jangkauan batas-batas
pengetahuan kita. P. Hardono Hadi misalnya, mengatakan bahwa pentingnya
mempelajari epistemologi sebagai filsafat ini adalah agar orang, terutama
juga di bidang hukum menjadi bijaksana. Menurutnya, dengan memahami
permasalahan epistemologis, orang diharapkan mampu bersikap tepat di
dalam menanggapi berbagai pembicaraan (disini tentang hukum) tanpa
terjerumus di dalam prasangka sempit dan semangat primordialisme yang
kaku. Epistemologi hukum cukup membantu kita untuk bersikap terbuka dan
bertanggung jawab terhadap apa yang diketahui tentang hukum.
2. Jenis-jenis Epistemologi
Berdasarkan cara kerja dan pendekatannya, epistemologi dibagi menjadi
epistemologi metafisis dan epistemologi skepsis.
a. Epistemologi metafisis
Epistemologi ini melakukan pendekatan terhadap gejala pengetahuan
bertitik tolak dari pengandaian metafisis tertentu, berangkat dari
kenyataan dan membahas bagaimana manusia mengetahui kenyataan
itu. Contohnya adalah epistemologi Plato. Menurut Plato, kenyataan
adalah ide-ide. Idealisme Plato ini membuat semua yang dinamakan
kenyataan sebetulnya hanya bersifat semu, karena kenyataan
sesungguhnya hanya ada dalam dunia ide. Di samping itu, dala
epistemologi ada pengandaian bahwa semua orang tahu tentang
kenyataan, dialami dan dipikirkan, sibuk dengan pengetahuan seperti
itu dan cara perolehannya. Hal ini dikritik sebagai kurang memadai dan
kontroversial. Pertanyaan kita sekarang adalah bagaimanakah dengan
hukum: kenyataan yang diketahui sebagai ide-ide? Di sini penulis
5
4
Dennis Lloyd, 1973, The Idea of Law, Middlesex, Penguin Books,
6
55
J. Sudarminta, Dasar Pengantar Filsafat Pengetahuan, Kansius, Yogyakarta, 2002.
8
6
J. Sudarminta, Dasar Pengantar Filsafat Pengetahuan, Kansius, Yogyakarta, 2002.
7
A. M. W. Pranarka, Epistemologi Dasar: Suatu Pengantar, (Jakarta: Yayasan
Proklamasi CSIS, 1987), h 97.
9
8
Titus, Persoalan-persoalan Filsafat (terjemahan H.M. Rasjidi), (Jakarta: Bulan
Bintang, 1984), h 251.
10
9
Ainurrafiq (ed.), Mazhab Jogja;Menggagas Paradigma Ushul Fiqh Kontemporer,
Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2002.
10
Ibid,
12
11
Assyaukanie, A. Lutfi, Tipologi dan Wacana Pemikiran Arab Kontemporer dalam
jurnal Paramadina, Vol. 1, No.1, Juli-Desember, 1998.
14
hanya melengkapi paradigma lama saja agar tidak terlalu literalistik dan
belum melakukan perubahan yang revolusioner bagi ushul fikih.
Enam abad kemudian, sumbangan asy-Syatibi pada abad ke 8 H/14 M,
direvitalisasi oleh para pembaharu ushul fikih modern, seperti Muhammad
Abdul.(w. 1905), Rasyid Ridha, Abdul Wahhaf Khallaf, Allal al-Fasi, dan
Hasan Turabi. Oleh karena hanya melakukan revitalisasi, maka kelompok
ini dikategorikan oleh Wael B Hallaq sebagai para pembaharu penganut
aliran utilitarianisme keagamaan (religious utilitarianism).Munculnya
pemikir kontemporer seperti Muhammad Iqbal, Mahmud Muhammad
Taha, Abdullahi Ahmed an-Naim, Muhammad Said Ashmawi, Fazlur
Rahman, dan Muhammad Syahrur dikategorikan oleh Hallaq sebagai
kelompok pembaharu penganut aliran liberalisme keagamaan (religious
liberalism) karena coraknya yang liberal (bahkan cendrung radikal) dan
cendrung membuang teori-teori ushul fikih lama. Apa paradigma yang
digagas oleh mereka dan bisakah paradigma tersebut dijadikan sebagai
paradigma alternatif dalam pengembangan epistemologi hukum Islam saat
ini?uraian berikut mencoba untuk menggambarkannya.
b. Paradigma hukum Islam klasik adalah paradigma literalistik dengan arti
begitu dominannya pembahasan tentang text, dalam hal ini text
berbahasa Arab, baik dari segi grammar maupun sintaksisnya dan
mengabaikan pembahasan tentang maksud dasar dari wahyu yang ada
dibalik teks literal atau secara sederhana paradigma yang bertumpu
pada teks baik secara langsung maupun tidak langsung (paradigma
bayani.
c. Istilah klasik dibatasi setelah tahun 300-an Hijrah. Hal ini disebabkan
karena beberapa alasan yaitu, pertama, pada masa Nabi dan sahabat,
hukum Islam cendrung empiris dan tidak literalis. Kedua, pada era 300-
16
dalam berpikir akan baik pula dan kebaikan itu akan ikut serta dalam
tindakan atau tingkah laku seseorang.
e. kecenderungan epistemologis Islam di atas, secara teologis
mendapatkan justifikasi dari al-Quran. Dalam al-Quran banyak
ditemukan ayat-ayat yang berbicara tentang pengetahuan yang
bersumber pada rasionalitas. Perintah untuk menggunakan akal dengan
berbagai macam bentuk kalimat dan ungkapan merupakan suatu
indikasi yang jelas untuk hal ini. Akan tetapi meski demikian tidak
sedikit pula paparan ayat-ayat yang mengungkap tentang pengetahuan
yang bersumber pada intuisi [hati atau perasaan] terdalam.
f. Oleh karena itu, epistemologis ini menempati posisi yang sangat
strategis, karena ia membicarakan tentang cara untuk mendapatkan
pengetahuan yang benar. Mengetahui cara yang benar dalam
mendapatkan ilmu pengetahuan berkaitan erat dengan hasil yang ingin
dicapai yaitu berupa ilmu pengetahuan. Pada kelanjutannya kepiawaian
dalam menentukan epistimologis, akan sangat berpengaruh pada warna
atau jenis ilmu pengetahuan yang dihasilkan.
Sejarah telah mencatat bahwa peradaban Islam pernah menjadi kiblat
ilmu pengetahuan dunia sekitar abad ke-7 sampai abad ke-15. Setelah
itu, masa keemasan itu mulai melayu, statis, bahkan mundur hingga
abad ke-21 ini.
Hal itu terjadi, karena Islam dalam kajian pemikirannya paling tidak
menggunakan beberapa aliran besar dalam kaitannya dengan teori
pengetahuan (epistemologi). Setidaknya ada tiga model sistem berpikir
dalam Islam, yakni Bayani, Irfani dan Burhani yang masing-masing
mempunyai pandangan yang berbeda tentang pengetahuan. Ketiga
sistem atau pendekatan tersebut dikenal juga tiga aliran pemikiran
18
.
.
.
Dia memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia
menyempurnakannya dan meniupkan ruh-Nya ke dalam (tubuh manusia) dan
Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, pengelihatan dan hati tetapi kamu
sedikit sekali bersyukur12.
Ketiga organ tubuh disebutkan secara khusus karena itulah yang akan
berguna kepada manusia dalam kehidupan duniawi dan agama, sekaligus alat
atau media dalam memperoleh ilmu pengetahuan. Dengan demikian, Sebuah
pengetahuan akan diperoleh melalui pendengaran atau bisa disebut baya>ni
yakni mengandalkan pendengaran akan teks-teks yang datang dari Allah dan
12
Muhammad Husain Al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, t.p., Maktab Mushab
bin Umair al-Islamiyah, 1424 H/2004 M.
19
13
Mulyadi Kartanegara, Panorama Filsafat Islam , Cet: I; Bandung: Mizan, 2002.
20
pada teks. Dalam perspektif keagamaan, sasaran bidik metode bayani adalah
aspek eksoterik (syariat).
Dengan demikian, epistemologi bayani pada dasarnya telah digunakan
oleh parafuqaha(pakar fiqhi), mutakallimu (Theolog) dan usulliyun (Pakar
usul al-fiqhi). Di mana mereka menggunkan bayani untuk:
1). Memahami atau menganalisis teks guna menemukan atau mendapatkan
makna yang dikandung atau dikehendaki dalam lafaz, dengan kata lain
pendekatan ini dipergunakan untuk mengeluarkan makna zahir dari lafaz
yang zahir pula.
2). Istinbat (Pengkajian) hukum-hukum dari al-nus}u>s} al-di>niyah (al-
Qur'an dan Hadis)14.
Dalam bahasa filsafat yang disederhanakan, pendekatan bayani dapat
diartikan sebagai model metodologi berpikir yang didasarkan atas teks.
Hubungan antara makna dan lafaz dapat dilihat dari segi:
1). Makna wad'i, untuk apa makna teks itu dirumuskan yang meliputi
makna khas,'am dan musytarak.
2). Makna isti'mali, yaitu makna apa yang digunakan oleh teks, meliputi
maknahaqiqah dan makna majaz.
3). Darajat al-wuduh, yaitu sifat dan kualitas lafaz, meliputi muhkam,
mufassar, zahir,khafi, musykil, mujmal, dan mutasyabih.
4). Turuq al-dilalah, yaitu penunjukan lafaz terhadap makna, meliputi dilalah
al-manzum dan dilalah al-mafhum15.
b. Burhani
Burhani merupakan bahasa Arab yang secara harfiyah berarti
mensucikan atau menjernihkan. Menurut ulama ushul, al-burhan adalah
14
Syamsul Maarif, Revitalisasi Pendidikan Islam, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007.
15
Ibid
21
16
Ibid
22
17
Ibid
23
Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba
kami, yang Telah kami berikan kepadanya rahmat dari sisi kami, dan yang
Telah kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.
Pengetahuan intuisi ada yang berdasar pengalaman indrawi seperti
aroma atau warna sesuatu, ada yang langsung diraih melalui nalar dan
bersifat aksioma seperti A adalah A, ada juga ide cemerlang secara tiba-tiba
seperti halnya Newton ( 1642-1727 M) menemukan gaya gravitasi setelah
24
melihat sebuah apel yang terjatuh tidak jauh dari tempat ia duduk dan ada
juga berupa mimpi seperti mimpi Nabi Yusuf as. dan Nabi Ibrahim as.
Mengenai taksonomi epistemologi pengetahuan irfani adalah dari segi
sumber pengetahuan, ia bersumber dari kedalaman wujud sang arif itu
sendiri; dari segi media/alat pengetahuan, ia bersumber dari kedalaman-
kesejatian wujud sang arif; dari segi objek pengetahuan, ia menjadikan
wujud sebagai objek kajiannya; dari segi cara memperoleh
pengetahuan, ia diperoleh dengan cara menyelami wujud kedirian melalui
metode riyadah.
6. Asal Usul Epistemologi Bayani, Burhani dan Irafani
Di penghujung abad pertama Hijriyah, telah terjadi pemindahan ilmu-ilmu
kuno dari Iskandaria, pusat perkembangan filsafat Hermes ke dalam
kebudayaan Islam Arab. Kehadiran ilmu-ilmu nonArab Islam ini
mengundang sikap anti pati ulama ahl al-sunnah awal karena dianggap
bertentangan dengan aqidah Islam. Ilmu-ilmu tersebut memasuki wilayah
kebudayaan Islam melalui penerjemahan.
Kemapanan Pemerintahan Islam, terutama pada masa pemerintahan
Abbasiyah, memberi peluang yang luas bagi komunitas Muslim untuk
berkenalan dengan kebudayaan luar. Hal ini atas dukungan Khalifah al-
Mansur yang sangat respek terhadap ilmu pengetahuan. Sejak itu, Baghdad
telah banyak bersinggungan dengan filsafat Yunani. Ibnu Nadim dalam al-
Fihrisat (pada masa kekuasaan al-Makmun; 811-833.M) banyak sekali
mengalihbahasakan tulisan Aristoteles. Ini merupakan awal gerakan
keilmuan yang menduduki posisi puncak dalam pengalihbahasaan filsafat
Yunani ke dalam bahasa Arab (al-ta'rib), bahkan di dalam kebudayaan Arab
Islam tulisan Aristoteles dianggap sebagai kitab induk sehingga dalam Dar
al-Hikmah banyak sekali terkumpul manuskrip (makhtutat) di dalamnya.
25
Kronologi Bayani paling tidak telah dimulai dari masa Rasulullah saw,
dimana beliau menjelaskan ayat-ayat yang sulit dipahami oleh sahabat.
Kemudian para sahabat menafsirkan al-Quran dari ketetapan yang telah
diberikan Rasulullah saw melalui teks. Selanjutnya tabiin mengumpulkan
teks-teks dari Rasulullah dan sahabat, kemudian mereka menambahkan
penafsirannya dengan kemampuan nalar dan ijtihadnya dengan teks sebagai
pedoman utama. Akhirnya datang kemudian generasi setelah tabiin yang
melakukan penafsiran sebagaimana pendahulunya sampai berkelanjutan
kepada generasi yang lain.
Sedangkan Aristoteles merupakan orang yang pertama membangun
epistemologi burhani yang populer dengan logika mantiq yang meliputi
persoalan alam, manusia dan Tuhan. Aristoteles sendiri menyebut logika itu
dengan metode analitik. Analisis ilmu atas prinsip dasarnya baik
proporsi hamliyah (Categorical Proposition)maupun shariyah (Hypothetical
Proposition) pada hakikatnya adalah alat untuk mencapai tujuan berupa
aturan-aturan untuk menjaga kesalahan berpikir.
Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa logika Aristoteles lebih
memperlihatkan nilai epistemologi dari pada logika formal. Demikian pula
halnya dengan diskursus filsafat kita dewasa ini yang melihat persoalan alam
(alam, Tuhan dan manusia) bukan lagi persoalan proposisi metafisika karena
epistemologi burhani dikedepankan untuk menghasilkan pengetahuan yang
valid dan bangunan pengetahuan yang meyakinkan tentang persoalan
duniawi dan alam. Dinamika kehidupan kontemporer dewasa ini bisa
memilah-milah masing-masing pendekatan epistemologik: bayani dan irfani
karena masing-masing memiliki tipikal satu sama lain, dan epistemologi
burhani bisa menjadi pemoles keserasian hubungan antara kedua
epistemologi di atas.
26
Para pakar berbeda pendapat tentang asal mula sumber irfani. Pendapat
tersebut dapat diklasifikasi dalam beberapa poin sebagai berikut:
a. Sebagian golongan menganggap bahwa irfani berasal dari Persia dan
Majusi seperti yang disampaikan oleh Dozy dan Thoulk. Alasannya
bahwa sejumlah orang-orang besar sufi berasal dari Khurasan dan
kelompok Majusi.
b. Sebagian yang lain mengatakan bahwa irfani bersumber dari Kristen
sebagaimana yang diungkapkan oleh Von Kramer, Ignaz Goldziher,
Nicholson dan yang lain. Alasan mereka paling tidak dapat
dikelompokkan dalam dua poin, yaitu:
1). Interaksi yang terjadi antara orang Arab dan kaum Nasrani pada
masa jahiliyah dan Islam.
2). Kesamaan kehidupan antara sufi dan Yesus dan Rahib dalam
masalah ajaran, tata cara riyadah, ibadah dan tata cara berpakaian.
c. Sebagian yang lain berpendapat bahwa irfani bersumber dari India
seperti pendapat Horten dan Hartman. Alasan yang diajukan adalah:
1). Kemunculan dan penyebaran irfani pertama dari Khurasan.
2). Kebanyakan para sufi angkatan pertama bukan dari kalangan Arab.
3). Turkistan adalah pusat agama dan kebudayaan timur dan barat
sebelum Islam yang sedikit banyak memberi pengaruh mistisisme.
4). Konsep dan metode irfani seperti keluasan hati dan pemakaian
tasbih merupakan praktik-praktik dari India.
d. Sebagian yang lain berpendapat bahwa irfan berasal dari Yunani,
khususnya neo-platonisme dan Hermes. Alasannya sederhana bahwa
theologi Aristoteles merupakan paduan antara sistem porphiry dan
proclus yang sudah dikenal dalam Islam.
27
.
Sesungguhnya Allah berfirman: Barangsiapa yang menyakiti seorang
wali maka aku mengumandangkan perang dengannya, hambaku
tidaklah mendekatkan diri kepadaku dengan sesuatu yang paling aku
cintai melainkan apa yang aku wajibkan padanya dan hambaku
senantiasa mendekatkan diri kepadaku dengan hal-hal yang sunnah
hingga aku mencintainya. Jika aku sudah mencintainya maka akulah
pendengaran yang digunakan mendengar, penglihatan yang digunakan
melihat, tangan yang digunakan memukul dan kaki yang digunakan
berjalan, Jika dia meminta padaku aku akan memberikannya dan jika
dia berlindung kepadaku maka aku akan melindunginya.
Sedangkan riyadah dalam irfani sering kali dilakukan oleh Rasulullah
saw. dan sahabat-sahabatnya seperti khulwah (penyepian), tinggal di
mesjid Nabawi dan prilaku individu sahabat.Pada perkembangan
berikutnya istilah yang dapat mewakili makna irfani mulai beragam.
Dalam filsafat misalnya dikenal istilah intuisi sedangkan dalam tafsir
dikenal istilah isyari.
7. Keunggulan dan Keterbatasan Bayani, Burhani dan Irafani
28