Anda di halaman 1dari 8

1

PENGARUH PH DAN KECEPATAN PENGADUKAN


PADA EKSTRAKSI PROTEIN
DARI TULANG AYAM DENGAN SOLVENT LARUTAN NAOH

Beatricx L.M.Tanjung (L2C007019) dan Fadilla H.Utami (L2C007041)


Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro
Jln. Prof. Sudarto SH., Tembalang, Semarang, 50239, Telp/Fax: (024) 7460058
Pembimbing: Dr. Andri Cahyo Kumoro, S.T., M.T.

Abstrak

Selama ini, limbah tulang ayam hanya digunakan untuk bahan pembuatan pakan ternak atau
pupuk sehingga nilai ekonomisnya sangat rendah. Padahal, tulang ayam mengandung bahan organik
yang bersifat fungsional seperti protein. Untuk mengatasi masalah tersebut, salah satu cara
pemanfaatan limbah tulang ayam dapat dilakukan dengan mengekstrak protein yang terkandung di
dalamnya. Penelitian ini ditujukan untuk mengkaji pengaruh pH dan kecepatan pengadukan pada
ekstraksi protein dari tulang ayam dengan solvent larutan NaOH.
Parameter kendali dalam penelitian ini adalah solvent yang berupa larutan NaOH, waktu
ekstraksi selama 1 jam, temperatur 80oC, rasio serbuk tulang ayam : solvent (g:mL) = 1:4, dan
ukuran partikel 425 m. Variabel operasi yang dikaji meliputi pH: 9, 10, 11 dan kecepatan
pengadukan: 100, 200, 300 ppm. Optimasi dilakukan dengan RSM (Response Surface Methodology)
untuk memperoleh pH dan kecepatan pengadukan yang optimum.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin cepat pengadukan dan semakin basa kondisi
ekstraksi, maka semakin besar kadar protein yang terekstrak. Namun, pada kecepatan pengadukan
yang terlalu besar (340 ppm) dan kondisi yang terlalu basa (pH 11,5) justru menurunkan efektivitas
ekstraksi. Kadar protein tertinggi yang terekstrak dicapai pada kondisi ekstraksi menggunakan pH 10
dan kecepatan pengadukan 200 ppm selama 60 menit. Dari analisis ANOVA diperoleh bahwa
variabel yang paling berpengaruh adalah kecepatan pengadukan.

Kata kunci: ekstraksi; kecepatan pengadukan; pH; protein; RSM; tulang ayam

Abstract

To date, chicken bones waste is only used for the manufacturing of animal feed and fertilizer,
so that their economic value is still very low. Chicken bones contain organic material that has
functional properties, that is protein. To overcome this problem, one way to explore chicken bones
utilizations can be done by a protein extraction process. The objectives of this research are to
determine the influence of pH and stirring speed on extraction of protein from chicken bone by
NaOH solution.
Control variables in this research were NaOH solution as solvent, extraction time (1 hour),
temperature (80oC), the ratio of chicken bones:solvent (g/mL) = 1 : 4, and particle size of bone
powder (425 m). The studied variables are pH: 9, 10, 11 and stirring speed: 100, 200, 300 rpm. The
optimization was done by RSM (Response Surface Methodology) to obtain the optimum pH and
stirring speed.
The results showed that the faster the stirring speed and the more alkaline conditions of
extraction, the more of protein can be extracted. However, at high stirring speed (340 rpm) and too
alkaline (pH 11.5) extraction condition, the extraction efficiency decreased. The highest protein
content extracted achieved at pH 10 and stirring speed of 200 rpm for 60 minutes. From the ANOVA
analysis, it was revealed that the most influential variable was the stirring speed.

Keywords: chicken bones; extraction; , pH; proteins; RSM; stirring speed


2

1. Pendahuluan
Salah satu sumber protein bagi masyarakat Indonesia adalah daging dari ternak potong. Indonesia
merupakan negara yang banyak penduduknya. Dengan demikian, konsumsi daging ayam akan meningkat seiring
bertambahnya jumlah penduduk. Konsumsi daging ayam tidak lepas dari masalah tulang yang dihasilkan. Hal ini
menimbulkan masalah lingkungan, akibat sisa tulang yang dihasilkan tidak akan menjadi limbah. Oleh karena itu,
perlu ditinjau lagi alternatif baru untuk mengoptimalkan manfaat limbah tulang ayam tersebut.
Tulang mengandung bahan anorganik maupun organik yang memiliki banyak manfaat. Komponen
anorganik, yaitu kalsium, fosfor, bikarbonat, sitrat, magnesium, natrium, dan lain-lain. Sedangkan komponen
organik yang utama adalah protein. Terdapat dua jenis protein dalam tulang, yaitu protein kolagen dan non kolagen
(Arcanjo et al, 1994). Kandungan kolagen dalam tulang lebih besar dibanding non kolagen. Protein kolagen
memiliki nilai jual tinggi karena dapat digunakan pada pembuatan kosmetik, bahan dasar pembuatan gelatin dan
perekat (Prasetyo dan Patra, 2004). Sedangkan protein non kolagen memiliki peranan penting dalam proses
mineralisasi.
Protein dalam tulang dapat diambil dengan cara ekstraksi. Ekstraksi adalah proses pemisahan suatu zat dari
campurannya dengan menggunakan sejumlah massa solvent sebagai tenaga pemisah (Santosa, 2004). Dalam hal ini,
ekstraksi protein dari tulang ayam merupakan ekstraksi padat-cair (leaching). Ekstraksi protein dari tulang ayam
dapat dilakukan dalam keadaan asam maupun basa. Proses ekstraksi protein dari tulang ayam yang dilakukan dalam
keadaan asam memerlukan biaya yang lebih besar dibandingkan ekstraksi dalam keadaan basa. Hal ini disebabkan
karena suhu ekstraksi yang terlalu rendah (4oC), sehingga diperlukan pendinginan dalam proses ekstraksi. Dalam
penelitian ini proses ekstraksi dilakukan dalam keadaan basa. Hal ini dilakukan dengan mempertimbangkan faktor
biaya dan kemudahan operasinya.
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh pH (derajat keasaman) solvent dan kecepatan
pengadukan terhadap ekstraksi protein, serta memperoleh pH dan kecepatan pengadukan yang optimum.

2. Bahan dan Metode Penelitian


Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tulang ayam, kristal NaOH, HCl, dan aquadest. Susunan
alat yang digunakan disajikan dalam gambar 1 berikut :

Keterangan:

1. Labu leher tiga


2. Motor pengaduk
3. Pengaduk
4. Pendingin balik
5. Termometer
6. Water bath
7. Kompor listrik
8. Klem dan statif

Gambar 1. Rangkaian Alat Percobaan

Larutan NaOH dengan pH yang diinginkan (9, 10, 11) dipanaskan dalam labu leher tiga yang dilengkapi
dengan termometer, pendingin leibig, dan pemanas listrik hingga suhunya mencapai 80oC. Kemudian, sebanyak 75
g serbuk tulang ayam dimasukkan ke dalam 300 mL larutan NaOH tersebut. Campuran serbuk tulang ayam dan
solvent larutan NaOH lalu diaduk dengan kecepatan pengadukan yang diinginkan (100, 200, 300 ppm). Setiap
selang waktu 10 menit, sebanyak 10 mL sampel diambil untuk dianalisa kadar protein totalnya dengan
menggunakan metode Kjeldahl. Proses ekstraksi dihentikan setelah 1 jam. Optimasi dilakukan dengan RSM
(Response Surface Methodology) untuk memperoleh pH dan kecepatan pengadukan yang optimum.
3

3. Hasil dan Pembahasan


A. Pengaruh Kecepatan Pengadukan terhadap Kadar Protein yang Terekstrak
Dalam artikel ini akan dibahas dan dikaji mengenai pengaruh kecepatan pengadukan pada ekstraksi protein dari
tulang ayam. Profil pengaruh kecepatan pengadukan pada pH 9, 10, dan 11 dapat dilihat pada Gambar 2, Gambar 3,
dan Gambar 4 di bawah ini:

Gambar 2. Pengaruh Kecepatan


ecepatan Pengadukan Gambar 3. Pengaruh Kecepatan Pengadukan
pada pH 9 pada pH 10

Gambar 4. Pengaruh Kecepatan Pengadukan pada pH 11

Dari grafik di atas, diperoleh hubungan bahwa semakin cepat pengadukan maka kadar protein yang
terekstrak juga semakin besar. Hal ini bisa dilihat dari persamaan Reynolds di bawah ini :
NRe = (1)
Dalam penelitian ini, yang diketahui adalah kecepatan sudut (ppm). Oleh karena itu perlu dicari kecepatan
liniernya, sehingga persamaan Reynolds di atas menjad
menjadi :
NRe = (2)
Dimana : NRe = bilangan Reynolds, d = diameter partikel (m), = densitas larutan (g/m3), N = kecepatan putaran
pengadukan (ppm), dp = diameter pengaduk (m), = viskositas larutan (g/m.s). Bilangan Reynolds pada berbagai
kecepatan pengadukan disajikan pada Tabel 1.
4

Tabel 1. Bilangan Reynolds dan Koefisien Perpindahan Massa (kc)


pada Berbagai Kecepatan Pengadukan

Kecepatan Pengadukan (ppm) Bilangan Reynolds kc (cm/s)


60 54,71 9,7 x 10-4
100 91,19 1,23 x 10-3
200 182,38 1,49 x 10-3
300 273,57 1,69 x 10-3
340 310,05 1,77 x 10-3

Dengan semakin besarnya kecepatan pengadukan (N), maka NRe yang didapat juga semakin besar. Naiknya
NRe menyebabkan naiknya turbulensi, sehingga kontak antara padatan dengan pelarut menjadi lebih intensif.
Akibatnya, difusi protein dari permukaan bubuk tulang ke pelarut semakin banyak, sehingga koefisien transfer
massa (kc) nya semakin besar. Dengan kata lain, semakin cepat putaran pengadukan, maka nilai kc cenderung
meningkat. Oleh karena itu, dapat dilihat pada Gambar 2 dan Gambar 4 bahwa kadar protein yang terekstrak pada
kecepatan pengadukan 300 ppm lebih besar daripada kecepatan pengadukan 100 ppm. Begitu juga halnya pada
Gambar 3. Kadar protein yang terekstrak pada kecepatan pengadukan 200 ppm lebih besar dibandingkan pada
kecepatan pengadukan 60 ppm. Hal tersebut dikarenakan pada kecepatan pengadukan yang lebih rendah, masih
terdapat banyak bubuk tulang ayam yang mengambang di atas permukaan cairan, sehingga kontak antar fasenya
tidak sempurna. Akibatnya, kadar protein yang terekstrak lebih sedikit.
Akan tetapi, pada Gambar 3. dapat dilihat bahwa pada kecepatan pengadukan 340 ppm, kadar protein yang
terekstrak justru lebih rendah dibandingkan kecepatan pengadukan 200 ppm. Hal ini bisa dikarenakan apabila
kecepatan pengadukan terlalu besar, maka kecepatan relatif (selisih kecepatan) antara gerakan partikel tulang ayam
dengan pelarut menjadi sangat rendah. Dengan demikian, partikel tulang ayam seolah-olah hanya ikut berputar
bersama pelarut tanpa disertai transfer massa yang efektif antara pelarut dengan partikel tulang ayam. Hal inilah
yang justru mengurangi efektivitas ekstraksi.
Selain dari bilangan Reynold (NRe), pengaruh kecepatan pengadukan juga dapat ditinjau dari harga
koefisien transfer massanya (kc). Harga kc dapat dihitung dari bilangan Sherwood (Perrys et al, 1984) :
NSh = 2 + 0,6 . NRe 1/2 . NSc 1/3 (3)
  
Dimana : NSh = bilangan Sherwood   dan NSc = bilangan Schmidt  ..


Sehingga harga kc dapat dihitung dengan persamaan:

= 2  0,6 . N / . Sc/  (4)

2
Di mana : D = difusivitas (cm /s) dan d = diameter partikel (cm). Besarnya harga koefisien perpindahan massa pada
berbagai kecepatan pengadukan disajikan pada Tabel 1.
Dari Tabel 1. dapat dilihat bahwa, semakin besar kecepatan putaran pengadukan, maka harga kc juga akan
bertambah besar. Dalam proses leaching (ekstraksi padat-cair) sebagaimana yang dijalankan pada proses ekstraksi
protein dari tulang ayam ini, faktor yang paling berperan dalam laju ekstraksi adalah transfer massa solute tulang
ayam dari permukaan padatan melintasi lapisan film cairan menuju ke badan cairan. Dengan semakin tipisnya
lapisan film cairan, transfer massa solut menuju badan cairan akan semakin cepat sebab jarak perpindahannya
semakin kecil. Adanya pengadukan pada proses leaching ini dimaksudkan untuk memberikan turbulensi pada sistem
ekstraksi sehingga akan menyebabkan penurunan ketebalan film cairan pada permukaan padatan. Dengan demikian,
film cairan akan semakin tipis dan menyebabkan semakin besar laju ekstraksi atau bertambahnya harga kc ( Nur dkk,
2005 ).
Sebagai pendukung, dari penelitian sebelumnya yang mengekstraksi tanin dari jambu mete dengan pelarut
aseton dengan variabel kecepatan pengadukan 500, 600, 700, 800 ppm diperoleh hasil bahwa semakin besar
kecepatan pengadukan maka harga kc juga akan semakin besar (0,2322 1,2678 g/cm2.menit). Hal ini menyebabkan
kadar tanin yang terekstrak juga semakin besar (Artati & Fadilah, 2007).
5

B. Pengaruh pH terhadap Kadar Protein yang Terekstrak


Profil pengaruh pH pada ekstraksi protein dari tulang ayam pada kecepatan pengadukan 100, 200, dan 300 ppm
dapat dilihat pada Gambar 5, Gambar 6,
6 dan Gambar 7 di bawah ini:

Gambar 5. Pengaruh pH pada Gambar 6. Pengaruh pH pada


Kecepatan Pengadukan 100 ppm Kecepatan Pengadukan 200 ppm

Gambar 7. Pengaruh pH pada


Kecepatan Pengadukan 300 ppm

Ekstraksi protein dari tulang ayam dilakukan pada kondisi basa. Dari Gambar 6,, dapat diketahui bahwa
kadar protein optimum yang terekstrak diperoleh pada pH 10. Pada penelitian ini, kadar protein yang terekstrak pada
pH 8.5 paling rendah dibandingkan dengan pH 10 dan 11.5. Hal ini dikarenakan kondisi larutan yang kurang basa,
sehingga kemampuan NaOH untuk mengekstrak protein yang terkandung dalam tulang ayam berkurang. Akan
tetapi, pada pH 11.5 kadar protein yang terekstrak justru lebih rendah dibandingkan pH 10. Fenomena ini dapat
dijelaskan melalui analisis struktur
tur dasar asam amino (Gambar 66) sebagai berikut :

H2N C COOH

Gambar 8. Struktur Asam Amino ( Lehninger, 1995 )


6

Mekanisme reaksi kimia yang terjadi pada ekstraksi protein dari tulang ayam pada kondisi basa adalah sebagai
berikut:
-COOH - COO- + H+ (5)
+
-NH2 + H - NH3+ (6)

(Poedjiadi, 1994 )
Mula-mula gugus karboksilat akan melepaskan ion H+, sedangkan gugus amina akan menerima ion H+,
seperti yang digambarkan pada reaksi di atas. Karena ekstraksi dilakukan dalam kondisi basa, maka ion-ion OH-
akan mengikat ion-ion H+ pada gugus NH3+. Sehingga, dalam kondisi basa bentuk asam amino akan menjadi :

H2N CH COO-

(7)

R (Poedjiadi, 1994)
Semakin basa kondisi ekstraksi, maka semakin besar pula konsentrasi ion OH- yang mampu mengikat ion-
ion H+ pada gugus NH3+. Oleh karena itu, dapat dilihat dari Gambar 5 dan Gambar 7, kadar protein yang terekstrak
pada pH 11 lebih besar dibandingkan pH 9. Begitu halnya pada Gambar 6, dimana kadar protein yang terekstrak
pada pH 10 lebih besar dibandingkan pH 8,5.
Namun, pada Gambar 6, diperoleh hasil bahwa kadar protein yang terekstrak pada pH 11,5 lebih rendah
dibandingkan pH 10. Hal ini disebabkan karena terjadinya degradasi dan denaturasi protein. Denaturasi protein
merupakan suatu keadaan dimana protein mengalami perubahan atau perusakan struktur sekunder, tersier dan
kuartenernya. Denaturasi ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya pemanasan, suasana asam atau basa
yang ekstrim, kation logam berat dan penambahan garam jenuh. Perubahan pH yang sangat ekstrim akibat kondisi
yang terlalu basa akan merusak interaksi ionik OH- dengan H+ dari gugus NH3+ (Sugijanto, 2001).
Sebagai pendukung, dari penelitian sebelumnya yang mengekstrak protein dari daging ayam broiler dengan
variabel pH 8 12, diperoleh hasil bahwa kondisi optimum ekstraksi diperoleh pada pH 9,5. Selanjutnya, kenaikan
pH justru menurunkan efektivitas ekstraksi. Fenomena yang terjadi dalam penelitian ini dapat mendukung hasil
penelitian yang kami lakukan (Betti & Fletchert, 2005).

C. Optimasi dengan Response Surface Methodology (RSM)


Data pH, kecepatan pengadukan, dan kadar protein maksimum yang terekstrak dapat diolah menggunakan
Response Surface Methodology untuk mengetahui kadar protein optimum yang dapat diperoleh. Pengaruh
kombinasi pH dan kecepatan pengadukan terhadap kadar protein maksimum yang diperoleh disajikan pada Tabel
4.3.
Tabel 2. Pengaruh Kombinasi pH dan Kecepatan Pengadukan terhadap
Kadar Protein Maksimum
Run pH Kecepatan Pengadukan (ppm) Kadar Protein Maksimum (mg/L)
1 9 100 309.7
2 9 300 438.9
3 11 100 321.4
4 11 300 475.5
5 8.5 200 487.6
6 11.5 200 558.1
7 10 60 300.7
8 10 340 507.4
9 10 200 602.1
10 10 200 620.8

Data pH, kecepatan pengadukan, dan kadar protein maksimum yang terekstrak yang diperoleh diolah
dengan Response Surface Methodology untuk mendapatkan harga estimasi efek utama dan interaksi serta persamaan
model matematik. Selanjutnya, dilakukan uji model persamaan matematik dan membandingkan hasil percobaan
dengan prediksi menggunakan persamaan model matematik serta penentuan kondisi operasi optimum.
Dengan menggunakan harga koefisien regresi yang diperoleh dari program, dapat disusun suatu persamaan
model matematika yang menghubungkan antara kadar protein yang terekstrak dengan variabel pH dan variabel
kecepatan pengadukan sebagai berikut:
Y = 607.676 + 18.124 X1 + 72.308 X2 + 6.225 X1X2 - 54.139 X12 125.553 X22 (8)
 ! " !!
  dan  
 !!
7

Keterangan :
X1 : variabel tak berdimensi pH; A : variabel pH; X2 : variabel tak berdimensi kecepatan pengadukan (ppm); B :
variabel kecepatan pengadukan (ppm)
Selanjutnya, Persamaan 8 digunakan untuk memprediksi kadar protein yang terekstrak dengan pH dan
kecepatan pengadukan. Perbandingan antara hasil penelitian dengan hasil prediksi ditampilkan dalam Tabel 3.

Tabel 3. Perbandingan Kadar Protein yang Terekstrak Hasil Penelitian dengan Prediksi
Run X1 X2 Yo Yp Resids
1 9.0 100.0 221.22 343.7775 -34.0775
2 9.0 300.0 311.25 475.9437 -37.0437
3 11.0 100.0 245.57 367.5746 -46.1746
4 11.0 300.0 357.33 524.6408 -49.1408
5 8.5 200.0 355.55 458.6788 28.9212
6 11.5 200.0 430.15 513.0494 45.0506
7 10.0 60.0 209.33 260.3604 40.3396
8 10.0 340.0 373.75 462.8230 44.5770
9 10.0 200.0 487.20 607.6759 -5.5759
10 10.0 200.0 472.43 607.6759 13.1241
Keterangan :
X1 : variabel pH; X2 : variabel kecepatan pengadukan (ppm); Yo : kadar protein yang terekstrak hasil percobaan
(mg/L); Yp : kadar protein yang terekstrak hasil prediksi (mg/L); Resids : selisih antara Yo dan Yp
Grafik yang menyatakan perbandingan harga yang teramati dengan harga prediksi dapat dilihat dalam Gambar 9.
Observed vs. Predicted Values Pareto Chart of Standardized Effects; Variable: Kadar Protein Maksimum (mg/L)
2 factors, 1 Blocks, 10 Runs; MS Residual=3441.036 2 factors, 1 Blocks, 10 Runs; MS Residual=3441.036
DV: Kadar Protein Maksimum (mg/L) DV: Kadar Protein Maksimum (mg/L)
650

600
Kec. Pengadukan (ppm)(Q) -4.45317

550

500 (2)Kec. Pengadukan (ppm)(L) 3.469004


Predicted Values

450
pH(Q) -2.16846
400

350 (1)pH(L) .900757

300

1Lby2L .2122388
250

200
250 300 350 400 450 500 550 600 650 700 p=.05
Observed Values Standardized Effect Estimate (Absolute Value)

Gambar 9. Perbandingan Hasil Prediksi dengan Gambar 10. Grafik Pareto EfekTerstandarisasi
Hasil Penelitian Kadar Protein Terekstrak dari Kadar Protein Terekstrak

Simbol lingkaran pada Gambar 9 menunjukkan harga kadar protein yang terekstrak yang didasarkan pada
hasil yang teramati pada penelitian. Sedangkan garis merah menunjukkan harga kadar protein yang terekstrak hasil
prediksi dari persamaan model matematik yang didapatkan dengan metode RSM. Untuk mengukur pengaruh
variabel pH, kecepatan pengadukan, serta variabel interaksi dapat dilihat dalam grafik pareto (Gambar 10) yang
menggambarkan hubungan antara efek estimasi terstandarisasi dengan variabel.
Harga efek dari variabel yang melewati garis p=0.05 merupakan variabel yang paling berpengaruh yaitu
kecepatan pengadukan (Q) dan kecepatan pengadukan (L). Harga efek dari variabel yang tidak melewati garis
p=0.05 bukan merupakan variabel yang berpengaruh sehingga bisa diabaikan yaitu pH dan interaksi antara pH dan
kecepatan pengadukan. Kemudian, pada Gambar 11 menunjukkan kurva optimasi 3 dimensi dan Gambar 12
menunjukkan grafik kontur permukaan yang merupakan grafik hubungan pH dan kecepatan pengadukan terhadap
kadar protein yang terekstrak. Grafik tersebut berbentuk saddle/hyperbolic paraboloid dan mempunyai titik
optimum di saddle point.
8

Fitted Surface; Variable: Kadar Protein Maksimum (mg/L) Fitted Surface; Variable: Kadar Protein Maksimum (mg/L)
2 factors, 1 Blocks, 10 Runs; MS Residual=3441.036 2 factors, 1 Blocks, 10 Runs; MS Residual=3441.036
DV: Kadar Protein Maksimum (mg/L)
DV: Kadar Protein Maksimum (mg/L)
400

350

300

Kec. Pengadukan (ppm)


250

200

150

100

50 600
600 400
400 200
200 0 0
0 8.0 8.5 9.0 9.5 10.0 10.5 11.0 11.5 12.0
-200 -200
pH
Gambar 11. Grafik Optimasi 3 Dimensi pH dan Gambar 12. Grafik Kontur Permukaan pH dan
Kecepatan Pengadukan vs Kadar Protein yang Terekstrak Kecepatan Pengadukan vs Kadar Protein yang Terekstrak

4. Kesimpulan
Kesimpulan dari penelitian ini adalah: variabel pH dan kecepatan pengadukan berpengaruh terhadap proses
ekstraksi protein dari tulang ayam dan diperoleh kondisi optimum dari keduanya, dari analisis ANOVA diketahui
bahwa variabel kecepatan pengadukan lebih berpengaruh dibandingkan variabel pH, kadar protein tertinggi yang
terekstrak dicapai pada kondisi ekstraksi menggunakan pH 10 dan kecepatan pengadukan 200 ppm selama 60 menit.

Ucapan Terima Kasih


Terima kasih disampaikan kepada Dr. Andri Cahyo Kumoro, S.T., M.T. yang telah membimbing kami dalam
penelitian ini.

Daftar Pustaka
Arcanjo, K.D.S., Gomes, L., Pimentel, E.R., Effect of Magnesium Chloride and Guanidium Chloride on the
Extraction of Components of Extracellular Matrix from Chicken Cartilage, Mern Inst Oswaldo Cruz, 1994,
vol. 89, pp. 93-97.
Artati, E.K., Fadilah, Pengaruh Kecepatan Putar Pengadukan Dan Suhu Operasi Pada Ekstraksi Tanin Dari Jambu
Mete Dengan Pelarut Aseton, Ekuilibrium, 2007, vol.6, hal.33-38.
Betti, M., Fletchert, D.L., The Influence of Extraction and Precipitation pH on the Dry Matter Yield of Broiler Dark
Meat, The Journal of Processing, Product, and Food Safety, 2005, pp. 1303-1307.
Lehninger.A.L, 1995. Dasar-Dasar Biokimia. Erlangga, Jakarta
Nur, A., Jumari, A., Kwartiningsih, E., Ekstraksi Limbah Hati Nanas sebagai Bahan Pewarna Makanan Alami
dalam Tangki Berpengaduk, Ekuilibrium, 2005, Vol. 4, hal 92-99.
Perrys, R.H. dan Green D. 1984. Perrys Chemical Engineering Hand Biik. Six Edition. Singapore.
Poedjiadi, A., 1994. Dasar-Dasar Biokimia. Penerbit UI-Press: Jakarta.
Prasetyo, S., Patra, I., Pengaruh Variasi Jenis Tulang dan Temperatur pada Ekstraksi Kolagen dari Tulang,
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Kimia dan Proses, 2004, ISSN: 1411-4216, hal.1-5.
Santosa, H., Ekstraksi, Fakultas Teknik Jurusan Teknik Kimia, Universitas Diponegoro, Semarang, 2004, hal.1-3.
Sugijanto, V.V., Manullang, M., The Production of Wheat Protein Concentrate, a Wheat Milling Byproduct
Utilization, Jurnal Teknologi dan Industri Pangan, 2001, vol XII, hal 54-60.

Anda mungkin juga menyukai