Anda di halaman 1dari 21

TB PADA ANAK

I. Definisi
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB
menyerang paru tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. TB Anak
adalah penyakit TB yang terjadi pada anak usia 0-14 tahun. Tuberkulosis paru
adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru, tidak termasuk
pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.1,2

II. Epidemiologi
Organisasi Kesehatan Dunia ( WHO ) memperkirakan bahwa setiap tahun
anak yang menderita TB ada 6 % sampai 10 % dari semua kasus TB di seluruh
dunia. Di negara-negara dengan kasus penyakit TB yang tinggi, anak yang
menderita TB mencapai 40 % dari semua kasus TB baru, setengah juta anak-
anak di seluruh dunia menderita TB setiap tahun, dan lebih dari 74.000 anak
meninggal akibat penyakit TB setiap tahunnya. TB pada anak telah menjadi
"epidemi tersembunyi" selama bertahun-tahun. Anak dengan TB sangat sulit
untuk didiagnosa karena sedikitnya sumber daya dan sering tidak dilaporkannya
kepada petugas kesehatan. Banyak anak tidak bisa mengeluarkan dahak saat
batuk, sehingga sulit untuk dilakukan pengujian TB. Bahkan ketika dahak dari
anak tersedia sulit untuk didiagnosa, bahkan dengan menggunakan tes paling
mahalpun hanya sekitar 30 % dari kasus yang dapat terdiagnosa.6
Data TB anak di Indonesia menunjukkan proporsi kasus TB Anak di antara
semua kasus TB pada tahun 2010 adalah 9,4%, kemudian menjadi 8,5% pada
tahun 2011 dan 8,2% pada tahun 2012. Apabila dilihat data per provinsi,
menunjukkan variasi proporsi dari 1,8% sampai 15,9%. Hal ini menunjukan
kualitas diagnosis TB anak masih sangat bervariasi pada level provinsi. Kasus
TB Anak dikelompokkan dalam kelompok umur 0-4 tahun dan 5-14 tahun,
dengan jumlah kasus pada kelompok umur 5-14 tahun yang lebih tinggi dari
kelompok umur 0-4 tahun. Kasus BTA positif pada TB anak tahun 2010 adalah
5,4% dari semua kasus TB anak, sedangkan tahun 2011 naik menjadi 6,3% dan
tahun 2012 menjadi 6%.1

III. Patogenesis
Seseorang akan terinfeksi kuman TB kalau dia menghirup droplet yang
mengandung kuman TB yang masih hidup dan kuman tersebut mencapai

1
alveoli paru (catatan: Seseorang yang terinfeksi biasanya asymptomatic/tanpa
gejala). Sekali kuman tersebut mencapai paru maka kuman ini akan ditangkap
oleh makrofag dan selanjutnya dapat tersebar ke seluruh tubuh. Jika seorang
anak terinfeksi TB, dia pasti sudah mengalami kontak cukup lama dengan
orang yang menderita TB. Orang yang terinfeksi kuman TB dapat menjadi sakit
TB bila kondisi daya tahan tubuhnya menurun. Sebagian dari kuman TB akan
tetap tinggal dormant dan tetap hidup sampai bertahun-tahun dalam tubuh
manusia. Hal ini dikenal sebagai infeksi TB laten. Paru merupakan port
dentre dari 98% kasus infeksi TB. Seseorang dengan infeksi TB laten tidak
mempunyai gejala TB aktif dan tidak menular.Kuman TB dalam percik renik
(droplet nuclei) yang ukurannya sangat kecil (<5 m), akan terhirup dan dapat
mencapai alveolus.. Pada sebagian kasus, kuman TB dapat dihancurkan
seluruhnya oleh mekanisme imunologis nonspesifik, sehingga tidak terjadi
respons imunologis spesifik. Akan tetapi, pada sebagian kasus lainnya, tidak
seluruhnya dapat dihancurkan. Pada individu yang tidak dapat menghancurkan
seluruh kuman, makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB yang sebagian
besar dihancurkan. Akan tetapi, sebagian kecil kuman TB yang tidak dapat
dihancurkan akan terus berkembang biak di dalam makrofag, dan akhirnya
menyebabkan lisis makrofag. Selanjutnya, kuman TB membentuk lesi di
tempat tersebut, yang dinamakan fokus primer Ghon.1,2,3, 8
Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe
menuju kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran
limfe ke lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi
di saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena.
Jika fokus primer terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan
terlibat adalah kelenjar limfe parahilus (perihiler), sedangkan jika fokus primer
terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Gabungan
antara fokus primer, limfangitis, dan limfadenitis dinamakan kompleks primer
(primary complex). 1,3
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya
kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Hal ini
berbeda dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu
yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit.
Masa inkubasi TB bervariasi selama 212 minggu, biasanya berlangsung
selama 48 minggu. Selama masa inkubasi tersebut, kuman berkembang biak
hingga mencapai jumlah 103104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang
respons imunitas selular 1,3

2
Pada saat terbentuknya kompleks primer, TB primer dinyatakan telah
terjadi. Setelah terjadi kompleks primer, imunitas selular tubuh terhadap TB
terbentuk, yang dapat diketahui dengan adanya hipersensitivitas terhadap
tuberkuloprotein, yaitu uji tuberkulin positif. Selama masa inkubasi, uji
tuberkulin masih negatif. Pada sebagian besar individu dengan sistem imun
yang berfungsi baik, pada saat sistem imun selular berkembang, proliferasi
kuman TB terhenti. Akan tetapi, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup
dalam granuloma. Bila imunitas selular telah terbentuk, kuman TB baru yang
masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan oleh imunitas selular spesifik
(cellular mediated immunity, CMI). 1,3
Setelah imunitas selular terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya
akan mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi
setelah terjadi nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga
akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya
tidak sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup
dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini, tetapi tidak
menimbulkan gejala sakit TB.1,3
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi akibat fokus di paru
atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan
menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan
yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus
sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe hilus
atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal pada awal infeksi, akan
membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut, sehingga bronkus dapat
terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal
menimbulkan hiperinflasi di segmen distal paru melalui mekanisme ventil
(ball-valve mechanism). Obstruksi total dapat menyebabkan atelektasis.
Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan
menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial
atau membentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada
bronkus sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan atelektasis, yang
sering disebut sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi. 3
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat terjadi
penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman
menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer, atau
berlanjut menyebar secara limfohematogen. Dapat juga terjadi penyebaran
hematogen langsung, yaitu kuman masuk ke dalam sirkulasi darah dan

3
menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang
menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik. 1
Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk
penyebaran hematogenik tersamar (occult hematogenic spread). Melalui cara
ini, kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga
tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai
organ di seluruh tubuh, bersarang di organ yang mempunyai vaskularisasi baik,
paling sering di apeks paru, limpa, dan kelenjar limfe superfisialis. Selain itu,
dapat juga bersarang di organ lain seperti otak, hati, tulang, ginjal, dan lain-lain.
Pada umumnya, kuman di sarang tersebut tetap hidup, tetapi tidak aktif
(tenang), demikian pula dengan proses patologiknya. Sarang di apeks paru
disebut dengan fokus Simon, yang di kemudian hari dapat mengalami
reaktivasi dan terjadi TB apeks paru saat dewasa.1
Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran hematogenik
generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini,
sejumlah besar kuman TB masuk dan beredar di dalam darah menuju ke
seluruh tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis
penyakit TB secara akut, yang disebut TB diseminata. Tuberkulosis diseminata
ini timbul dalam waktu 26 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit
bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi
berulangnya penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak
adekuatnya sistem imun pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya
pada anak bawah lima tahun (balita) terutama di bawah dua tahun. 1
Bentuk penyebaran yang jarang terjadi adalah protracted hematogenic
spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan di dinding
vaskuler pecah dan menyebar ke seluruh tubuh, sehingga sejumlah besar kuman
TB akan masuk dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat
penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan dengan acute generalized
hematogenic spread1

4
IV. Diagnosis TB pada anak
1. Penemuan pasien TB
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi sistemik dan organ yang
paling sering terkena adalah paru. Gejala klinis penyakit ini dapat berupa
gejala sistemik/umum atau sesuai organ terkait. Perlu ditekankan bahwa
gejala klinis TB pada anak tidak khas, karena gejala serupa juga dapat
disebabkan oleh berbagai penyakit selain TB. 1
Diagnosis TB pada anak sangat sulit ditegakkan dikarenakan tidak
spesifiknya gejala klinis dan tanda gambaran radiologi, terutama pasien
berusia dibawah 4 tahun dan pada pasien yang terinfeksi HIV.9
Gejala sistemik/umum TB anak adalah sebagai berikut:
a. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau berat badan tidak naik
dengan adekuat atau tidak naik dalam 1 bulan setelah diberikan upaya
perbaikan gizi yang baik.
b. Demam lama (2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas
(bukan demam tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain).
Demam umumnya tidak tinggi. Keringat malam saja bukan merupakan
gejala spesifik TB pada anak apabila tidak disertai dengan gejala-gejala
sistemik/umum lain.
c. Batuk lama 3 minggu, batuk bersifat non-remitting (tidak pernah reda
atau intensitas semakin lama semakin parah) dan sebab lain batuk telah
dapat disingkirkan.

5
d. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang, disertai gagal
tumbuh (failure to thrive).
e. Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain.
f. Diare persisten/menetap (>2 minggu) yang tidak sembuh dengan
pengobatan baku diare.
Gejala klinis pada organ yang terkena TB, tergantung jenis organ yang
terkena, misalnya kelenjar limfe, susunan saraf pusat (SSP), tulang, dan
kulit, adalah sebagai berikut:
a. Tuberkulosis kelenjar (terbanyak di daerah leher atau regio colli):
b. Pembesaran KGB multipel (>1 KGB), diameter 1 cm, konsistensi
kenyal, tidak nyeri, dan kadang saling melekat atau konfluens.
c. Tuberkulosis otak dan selaput otak:
1) Meningitis TB: Gejala-gejala meningitis dengan seringkali disertai
gejala akibat keterlibatan saraf-saraf otak yang terkena.
2) Tuberkuloma otak: Gejala-gejala adanya lesi desak ruang.
d. Tuberkulosis sistem skeletal:
1). Tulang belakang (spondilitis): Penonjolan tulang belakang (gibbus).
2). Tulang panggul (koksitis): Pincang, gangguan berjalan, atau tanda
peradangan di daerah panggul.
3). Tulang lutut (gonitis): Pincang dan/atau bengkak pada lutut tanpa
sebab yang jelas.
4). Tulang kaki dan tangan (spina ventosa/daktilitis).
e. Skrofuloderma:
Ditandai adanya ulkus disertai dengan jembatan kulit antar tepi ulkus
(skin bridge).
f. Tuberkulosis mata:
1). Konjungtivitis fliktenularis (conjunctivitis phlyctenularis).
2). Tuberkel koroid (hanya terlihat dengan funduskopi).
g. Tuberkulosis organ-organ lainnya, misalnya peritonitis TB, TB ginjal
dicurigai bila ditemukan gejala gangguan pada organ-organ tersebut
tanpa sebab yang jelas dan disertai kecurigaan adanya infeksi TB.1

2. Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis pasti TB seperti lazimnya penyakit menular yang lain adalah
dengan menemukan kuman penyebab TB yaitu kuman Mycobacterium
tuberculosis pada pemeriksaan sputum, bilas lambung, cairan serebrospinal,
cairan pleura ataupun biopsi jaringan. Masing-masing pendekatan

6
diagnostik yang dijelaskan memiliki keterbatasan . Namun, ketika
kombinasi klinis , radiologis , laboratorium , dan temuan histopatologis
konsisten dengan diagnosis TB dan ada bukti epidemiologi paparan
tuberkulosis atau bukti imunologi infeksi M. tuberculosis, mungkin
merupakan diagnosis yang akurat dalam banyak kasus. 1,10
Diagnosis pasti TB ditegakkan berdasarkan pemeriksaan mikrobiologi
yang terdiri dari beberapa cara, yaitu pemeriksaan mikroskopis apusan
langsung atau biopsi jaringan untuk menemukan BTA dan pemeriksaan
biakan kuman TB. Pada anak dengan gejala TB, dianjurkan untuk
melakukan pemeriksaan mikrobiologi. Pemeriksaan serologi yang sering
digunakan tidak direkomendasikan oleh WHO untuk digunakan sebagai
sarana diagnostik TB dan Direktur Jenderal BUK Kemenkes telah
menerbitkan Surat Edaran pada bulan Februari 2013 tentang larangan
penggunaan metode serologi untuk penegakan diagnosis TB. Pemeriksaan
mikrobiologik sulit dilakukan pada anak karena sulitnya mendapatkan
spesimen. Spesimen dapat berupa sputum, induksi sputum atau
pemeriksaan bilas lambung selama 3 hari berturut-turut, apabila fasilitas
tersedia. Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan adalah
pemeriksaan histopatologi (PA/Patologi Anatomi) yang dapat memberikan
gambaran yang khas. Pemeriksaan PA akan menunjukkan gambaran
granuloma dengan nekrosis perkijuan di tengahnya dan dapat pula
ditemukan gambaran sel datia langhans dan atau kuman TB.1

Perkembangan terkini diagnosa TB


Saat ini beberapa teknologi baru telah didukung oleh WHO untuk
meningkatkan ketepatan diagnosis TB anak, diantaranya pemeriksaan
biakan dengan metode cepat yaitu penggunaan metode cair, molekular
(LPA=Line Probe Assay) dan NAAT=Nucleic Acid Amplification Test)
(misalnya Xpert MTB/RIF). Metode ini masih terbatas digunakan di semua
negara karena membutuhkan biaya mahal dan persyaratan laboratorium
tertentu.
WHO mendukung Xpert MTB/RIF pada tahun 2010 dan telah
mengeluarkan rekomendasi pada tahun 2011 untuk menggunakan Xpert
MTB/RIF. Update rekomendasi WHO tahun 2013 menyatakan pemeriksaan
Xpert MTB/RIF dapat digunakan untuk mendiagnosis TB MDR pada anak,
dan dapat digunakan untuk mendiagnosis TB pada anak ada beberapa
kondisi tertentu yaitu tersedianya teknologi ini. Saat ini data tentang

7
penggunaan Xpert MTB/RIF masih terbatas yaitu menunjukkan hasil yang
lebih baik dari pemeriksaan mikrokopis, tetapi sensitivitasnya masih lebih
rendah dari pemeriksaan biakan dan diagnosis klinis, selain itu hasil Xpert
MTB/RIF yang negatif tidak selalu menunjukkan anak tidak sakit TB. 1
Pemeriksaan penunjang utama untuk membantu menegakkan diagnosis
TB pada anak adalah membuktikan adanya infeksi yaitu dengan melakukan
uji tuberkulin/mantoux test. Tuberkulin yang tersedia di Indonesia saat ini
adalah PPD RT-23 2 TU dari Staten Serum Institute Denmark produksi dari
Biofarma. Namun uji tuberkulin belum tersedia di semua fasilitas pelayanan
kesehatan. 1
Pemeriksaan penunjang lain yang cukup penting adalah pemeriksaan
foto toraks. Gambaran foto toraks pada TB tidak khas karena juga dapat
dijumpai pada penyakit lain. Dengan demikian pemeriksaan foto toraks saja
tidak dapat digunakan untuk mendiagnosis TB, kecuali gambaran TB
milier. Secara umum, gambaran radiologis yang menunjang TB adalah
sebagai berikut:
a. Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat
(visualisasinya selain dengan foto toraks AP, harus disertai foto toraks
lateral)
b. Konsolidasi segmental/lobar
c. Efusi pleura
d. Milier
e. Atelektasis
f. Kavitas
g. Kalsifikasi dengan infiltrat
h. Tuberkuloma

3. Diagnosis TB pada anak dengan Sistem Skoring

8
Catatan:
Parameter Sistem Skoring:
1. Kontak dengan pasien pasien TB BTA positif diberi skor 3 bila ada bukti
tertulis hasil laboratorium BTA dari sumber penularan yang bisa diperoleh
atau dari hasil laboratorium.
2. Penentuan status gizi:
a. Berat badan dan panjang/ tinggi badan dinilai saat pasien datang
(moment opname).
b. Dilakukan dengan parameter BB/TB atau BB/U. Penentuan status gizi
untuk anak usia <5 tahun merujuk pada buku KIA Kemenkes,
sedangkan untuk anak usia >5 tahun merujuk pada kurva CDC 2000
(lihat lampiran).
c. Bila BB kurang, diberikan upaya perbaikan gizi dan dievaluasi selama
1 bulan.
3. Demam (2 minggu) dan batuk (3 minggu) yang tidak membaik setelah
diberikan pengobatan sesuai baku terapi di puskesmas
4. Gambaran foto toraks menunjukkan gambaran mendukung TB berupa:
pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat,
atelektasis, konsolidasi segmental/lobar, milier, kalsifikasi dengan infiltrat,
tuberkuloma.1

Penegakan Diagnosis
1. Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter. Apabila di
fasilitas pelayanan kesehatan tersebut tidak tersedia tenaga dokter,

9
pelimpahan wewenang terbatas dapat diberikan pada petugas kesehatan
terlatih strategi DOTS untuk menegakkan diagnosis dan tatalaksana TB
anak mengacu pada Pedoman Nasional.
2. Anak didiagnosis TB jika jumlah skor 6 (skor maksimal 13)
3. Anak dengan skor 6 yang diperoleh dari kontak dengan pasien BTA positif
dan hasil uji tuberkulin positif, tetapi TANPA gejala klinis, maka dilakukan
observasi atau diberi INH profilaksis tergantung dari umur anak tersebut
Foto toraks bukan merupakan alat diagnostik utama pada TB anak
4. Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dengan gejala klinis yang
meragukan, maka pasien tersebut dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih lanjut
5. Anak dengan skor 5 yang terdiri dari kontak BTA positif dan 2 gejala klinis
lain, pada fasyankes yang tidak tersedia uji tuberkulin, maka dapat
didiagnosis, diterapi dan dipantau sebagai TB anak. Pemantauan dilakukan
selama 2 bulan terapi awal, apabila terdapat perbaikan klinis, maka terapi
OAT dilanjutkan sampai selesai.
6. Semua bayi dengan reaksi cepat (<2 minggu) saat imunisasi BCG dicurigai
telah terinfeksi TB dan harus dievaluasi dengan sistem skoring TB anak
7. Jika dijumpai skrofuloderma pasien dapat langsung didiagnosis TB
8. Untuk daerah dengan fasilitas pelayanan kesehatan dasar yang terbatas (uji
tuberkulin dan atau foto toraks belum tersedia) maka evaluasi dengan
sistem skoring tetap dilakukan, dan dapat didiagnosis TB dengan syarat
skor 6 dari total skor 13.
9. Pada anak yang pada evaluasi bulan ke-2 tidak menunjukkan perbaikan
klinis sebaiknya diperiksa lebih lanjut adanya kemungkinan faktor
penyebab lain misalnya kesalahan diagnosis, adanya penyakit penyerta, gizi
buruk, TB MDR maupun masalah dengan kepatuhan berobat dari pasien.
Apabila fasilitas tidak memungkinkan, pasien dirujuk ke RS. Yang
dimaksud dengan perbaikan klinis adalah perbaikan gejala awal yang
ditemukan pada anak tersebut pada saat diagnosis.1

10
4. Klasifikasi dan Definisi Kasus TB anak
Lokasi atau organ tubuh yang terkena:
1) Tuberkulosis Paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang
menyerang jaringan (parenkim) paru, tidak termasuk pleura (selaput
paru) dan kelenjar pada hilus.
2) Tuberkulosis Ekstra Paru. Tuberkulosis yang menyerang organ
tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung
(pericardium), kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal,
saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain. Anak dengan gejala
hanya pembesaran kelenjar tidak selalu menderita TB Ekstra Paru.
Pasien TB paru dengan atau tanpa TB ekstra paru diklasifikasikan
sebagai TB paru.
Berat dan ringannya penyakit
1) TB ringan: tidak berisiko menimbulkan kecacatan berat atau
kematian, misalnya TB primer tanpa komplikasi, TB kulit, TB
kelenjar dll
2) TB berat: TB pada anak yang berisiko menimbulkan kecacatan berat
atau kematian, misalnya TB meningitis, TB milier, TB tulang dan

11
sendi, TB abdomen, termasuk TB hepar, TB usus, TB paru BTA
positif, TB resisten obat, TB HIV.
Pengelompokan pasien TB berdasarkan hasil uji kepekaan M. tuberculosis
terhadap OAT terdiri dari:
1) Monoresistance adalah M. tuberculosis yang resistan terhadap salah
satu jenis OAT lini pertama.
2) Polydrug Resistance adalah M. tuberculosis yang resistan terhadap
lebih dari satu jenis OAT lini pertama selain Isoniazid (H) dan
Rifampisin (R) secara bersamaan.
3) Multi Drug Resistance (MDR) adalah M. tuberculosis yang resistan
terhadap Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) dengan atau tanpa OAT
lini pertama lainnya.
4) Extensive Drug Resistance (XDR) adalah MDR disertai dengan
resistan terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan
minimal salah satu dari OAT lini kedua jenis suntikan yaitu
Kanamisin, Kapreomisin dan Amikasin.
5) Rifampicin Resistance adalah M. tuberculosis yang resistan
terhadap Rifampisin dengan atau tanpa resistansi terhadap OAT lain
yang dideteksi menggunakan metode pemeriksaan yang sesuai,
pemeriksaan konvensional atau pemeriksaan cepat. Termasuk dalam
kelompok ini adalah setiap resistansi terhadap rifampisin dalam
bentuk Monoresistance, Polydrug Resistance, MDR dan XDR.
V. Pengobatan TB Anak
Tatalaksana medikamentosa TB Anak terdiri dari terapi (pengobatan) dan
profilaksis (pencegahan). Terapi TB diberikan pada anak yang sakit TB,
sedangkan profilaksis TB diberikan pada anak yang kontak TB (profilaksis
primer) atau anak yang terinfeksi TB tanpa sakit TB (profilaksis sekunder). .
1. Paduan OAT Anak
Prinsip pengobatan TB anak:
a. OAT diberikan dalam bentuk kombinasi minimal 3 macam obat untuk
mencegah terjadinya resistensi obat dan untuk membunuh kuman
intraseluler dan ekstraseluler
b. Waktu pengobatan TB pada anak 6-12 bulan. pemberian obat jangka
panjang selain untuk membunuh kuman juga untuk mengurangi
kemungkinan terjadinya kekambuhan
c. Pengobatan TB pada anak dibagi dalam 2 tahap:

12
1) Tahap intensif, selama 2 bulan pertama. Pada tahap intensif,
diberikan minimal 3 macam obat, tergantung hasil pemeriksaan
bakteriologis dan berat ringannya penyakit.
2) Tahap Lanjutan, selama 4-10 bulan selanjutnya, tergantung hasil
pemeriksaan bakteriologis dan berat ringannya penyakit.
d. Selama tahap intensif dan lanjutan, OAT pada anak diberikan setiap hari
untuk mengurangi ketidakteraturan minum obat yang lebih sering
terjadi jika obat tidak diminum setiap hari.
e. Pada TB anak dengan gejala klinis yang berat, baik pulmonal maupun
ekstrapulmonal seperti TB milier, meningitis TB, TB tulang, dan lain-
lain dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan rujukan.
f. Pada kasus TB tertentu yaitu TB milier, efusi pleura TB, perikarditis
TB, TB endobronkial, meningitis TB, dan peritonitis TB, diberikan
kortikosteroid (prednison) dengan dosis 1-2 mg/kg BB/hari, dibagi
dalam 3 dosis. Dosis maksimal prednisone adalah 60mg/hari. Lama
pemberian kortikosteroid adalah 2-4 minggu dengan dosis penuh
dilanjutkan tappering off dalam jangka waktu yang sama. Tujuan
pemberian steroid ini untuk mengurangi proses inflamasi dan mencegah
terjadi perlekatan jaringan.
g. Paduan OAT untuk anak yang digunakan oleh Program Nasional
Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia adalah:
1) Kategori Anak dengan 3 macam obat: 2HRZ/4HR
2) Kategori Anak dengan 4 macam obat: 2HRZE(S)/4-10HR
h. Paduan OAT Kategori Anak diberikan dalam bentuk paket berupa obat
Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari
kombinasi 2 atau 3 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan
dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk
satu pasien.
i. OAT untuk anak juga harus disediakan dalam bentuk OAT kombipak
untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek
samping OAT KDT.

Pengobatan TB Paru Berat pada anak


Pengobatan TB pada anak dibagi dua yaitu fase intensif (2 bulan pertama)
dan sidanya fase lanjutan. Prinsip dasar pengobatan TB adalah minimal tiga macam
obat (RHZ) pada fase intensif dan dilanjutkan dengan dua macam obat (RH) pada
fase lanjutan (4 bulan atau lebih). Berbeda dengan orang dewasa, OAT pada anak

13
diberikan tiap hari untuk mengurangi ketidakteraturan menelan obat yang lebih
sering terjadi jika obat tidak ditelan setiap hari.
Pada keadaan TB berat, baik TB pulmonal maupun ekstrapulmonal seperti
TB milier, meningitis TB, TB system skeletal, dan lain lain, pada fase intensif
diberikan empat macam obat (RHZ + etambutol atau streptomisin). Pada fase
lanjutan diberikan RH selama 10 bulan.

Streptomisin dipilih sebagai terapi keempat setelah RHZ dibanding


etambutol pada kasus ini dikarenakan toksisitas etambutol pada mata. Sedangkan
streptomisin sangat baik berdifusi pada jaringan dan cairan pleura, dan dieskresi
melalui ginjal.

Untuk kasus TB tertentu yaitu meningitis TB, TB milier, efusi pleura TB,
pericarditis TB, TB endobronkial, dan peritonitis TB, diberikan kortikosteroid
(prednison) dengan dosis 1 2 mg/kgBB/hari, dibagi 3 dosis, maksimal 60 mg/hr.
lama pemberian kortikosteroid adalah 2 4 minggu dengan dosis penuh,
dilanjutkan tapering off selama 1 -2 minggu.

Efek samping OAT antara lain adalah gangguan gastrointestinal, ruam dan
gatal, serta demam. Salah satu efek samping yang harus diperhatikan adalah
hepatotoksisitas. Oleh sebab itu pada pasien kasus ini kadar SGOT dan SGPT harus
dipantau berkala tiap 2 minggu selama 2 bulan pertama dan selanjutnya dapat lebih
jarang.

Skema Panduan OAT Anak

14
Kombinasi dosis tetap OAT KDT (FDC=Fixed Dose Combination)
Untuk mempermudah pemberian OAT sehingga meningkatkan keteraturan
minum obat, paduan OAT disediakan dalam bentuk paket KDT/ FDC. Satu
paket dibuat untuk satu pasien untuk satu masa pengobatan. Paket KDT untuk
anak berisi obat fase intensif, yaitu rifampisin (R) 75mg, INH (H) 50 mg, dan
pirazinamid (Z) 150 mg, serta obat fase lanjutan, yaitu R 75 mg dan H 50 mg

15
dalam satu paket. Dosis yang dianjurkan dapat dilihat pada tabel berikut.

Keterangan:
R: Rifampisin; H: Isoniasid; Z: Pirazinamid
a. Bayi di bawah 5 kg pemberian OAT secara terpisah, tidak dalam bentuk
kombinasi dosis tetap, dan sebaiknya dirujuk ke RS rujukan
b. Apabila ada kenaikan BB maka dosis/jumlah tablet yang diberikan,
menyesuaikan berat badan saat itu
c. Untuk anak obesitas, dosis KDT menggunakan Berat Badan ideal (sesuai
umur). Tabel Berat Badan berdasarkan umur dapat dilihat di lampiran
d. OAT KDT harus diberikan secara utuh (tidak boleh dibelah, dan tidak
boleh digerus)
e. Obat dapat diberikan dengan cara ditelan utuh, dikunyah/dikulum
(chewable), atau dimasukkan air dalam sendok (dispersable).
f. Obat diberikan pada saat perut kosong, atau paling cepat 1 jam setelah
makan
g. Apabila OAT lepas diberikan dalam bentuk puyer, maka semua obat tidak
boleh digerus bersama dan dicampur dalam satu puyer
Efek Samping pengobatan TB Anak
Pasien dengan keluhan neuritis perifer (misalnya: kesemutan) dan
asupan piridoksin (vitamin B6) dari bahan makanan tidak tercukupi, maka
dapat diberikan vitamin B6 10 mg tiap 100 mg INH.
Untuk pencegahan neuritis perifer, apabila tersedia piridoksin 10 mg/
hari direkomendasikan diberikan pada
a. bayi yang mendapat ASI eksklusif,
b. pasien gizi buruk,
c. anak dengan HIV positif.

VI. Pengobatan ulang TB anak


Anak yang pernah mendapat pengobatan TB, apabila datang kembali
dengan keluhan gejala TB, perlu dievaluasi apakah anak tersebut benar-benar

16
menderita TB. Evaluasi dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan dahak atau
sistem skoring. Evaluasi dengan sistem skoring harus lebih cermat dan
dilakukan di fasilitas rujukan. Apabila hasil pemeriksaan dahak menunjukkan
hasil positif, maka anak diklasifikasikan sebagai kasus Kambuh. Pada pasien
TB anak yang pernah mendapat pengobatan TB, tidak dianjurkan untuk
dilakukan uji tuberkulin ulang.

VII. Manajemen Tb Resisten Obat Pada Anak


1.Definisi
Resistensi obat pada pasien TB ada 3 yaitu monoresisten, MDR, dan
XDR. Dikatakan monoresisten bila hasil uji kepekaan mendapatkan resisten
terhadap isoniazid atau rifampisin.3 Seorang pasien TB anak dikatakan
mengalami MDR bila hasil uji kepekaan mendapatkan hasil basil M.
tuberkulosis yang resisten terhadap isoniazid dan rifampisin, sedangkan
extensively drug-resistant (XDR)-TB bila hasil uji kepekaan mendapatkan
hasil MDR ditambah resisten terhadap fluoroquinolon dan salah satu obat
injeksi lini kedua (second-line injectable agents). 1
2. Diagnosis TB MDR pada anak
Diperlukan petunjuk kecurigaan klinis yang cermat untuk mendiagnosis
MDR TB pada anak. Faktor-faktor risiko termasuk riwayat pengobatan
sebelumnya, tidak ada perbaikan dengan pengobatan TB lini pertama,
adanya kontak MDR TB yang telah diketahui, kontak dengan pasien yang
meninggal saat pengobatan TB atau pengobatan TB yang gagal. Anak
tersangka TB MDR akan dilakukan pemeriksaan sesuai dengan alur
pemeriksaan dewasa tersangka TB MDR. 1
Algoritme berikut menunjukkan strategi diagnostik untuk menentukan
faktor risiko TB MDR pada anak yang terdiagnosis maupun tersangka TB.

17
Prinsip dasar paduan terapi pengobatan untuk anak sama dengan paduan terapi
dewasa pasien TB MDR. Obat-obatan yang dipakai untuk anak MDR TB juga
sama dengan dosis disesuaikan dengan berat badan pada anak.

Prinsip Paduan pengobatan TB MDR pada anak:


Anak-anak dengan MDR TB harus ditata laksana sesuai dengan prinsip
pengobatan pada dewasa. Yang meliputi:
a. Gunakan sedikitnya 4 obat lini kedua yang kemungkinan strain itu masih
sensitif; satu darinya harus injectable, satu fluorokuinolon (lebih baik kalau
generasi kuinolon yang lebih akhir bila ada), dan PZA harus dilanjutkan
b. Gunakan high-end dosing bila memungkinkan
c. Semua dosis harus diberikan dengan menggunakan DOT.
d. Durasi pengobatan harus 18-24 bulan
e. Semua obat diminum setiap hari dan dengan pengawasan langsung.

18
Pengobatan pada tuberculosis resisten obat berhasil hanya bila strain M.
tuberculosis penginfeksi sekurang-kurangnya rentan pada 2 obat bakterisid
yang diberikan. Bila anak kemungkinan menderita tuberculosis resisten-
obat, setidak-tidaknya tiga dan biasanya empat atau lima obat pada mulanya
harus diberikan sampai pola kerentanan ditentukan dan regimen lebih
spesifik dapat dirancang.11

VIII. PENCEGAHAN TUBERKULOSIS PADA ANAK


Vaksinasi BCG pada Anak
Vaksin BCG adalah vaksin hidup yang dilemahkan yang berasal dari
Mycobacterium bovis. Pemberian vaksinasi BCG berdasarkan Program
Pengembangan Imunisasi diberikan pada bayi 0-2 bulan. Pemberian vaksin
BCG pada bayi > 2 bulan harus didahului dengan uji tuberkulin. Secara umum
perlindungan vaksin BCG efektif untuk mencegah terjadinya TB berat seperti
TB milier dan TB meningitis yang sering didapatkan pada usia muda. Saat ini
vaksinasi BCG ulang tidak direkomendasikan karena tidak terbukti memberi
perlindungan tambahan.

19
Vaksinasi dengan Bacille Calmette-Guerin ( BCG ) mengurangi risiko
penyebaran penyakit TB dan meningitis pada anak-anak tetapi tidak menjamin
perlindungan yang konsisten terhadap orang dewasa.6

Tatalaksana Pencegahan dengan Isoniazid


Sekitar 50-60% anak yang tinggal dengan pasien TB paru dewasa dengan
BTA sputum positif, akan terinfeksi TB juga. Kira-kira 10% dari jumlah
tersebut akan mengalami sakit TB. Infeksi TB pada anak kecil berisiko tinggi
menjadi TB berat (misalnya TB meningitis atau TB milier) sehingga diperlukan
pemberian kemoprofilaksis untuk mencegah terjadinya sakit TB. Cara
pemberian Isoniazid untuk Pencegahan sesuai dengan tabel berikut:

a. Obat yang diberikan adalah INH (Isoniazid) dengan dosis 10 mg/ kgBB
(7-15 mg/kg) setiap hari selama 6 bulan.
b. Setiap bulan (saat pengambilan obat Isoniazid) dilakukan pemantauan
terhadap adanya gejala TB. Jika terdapat gejala TB pada bulan ke 2, ke 3,
ke 4, ke 5 atau ke 6, maka harus segera dievaluasi terhadap sakit TB dan
jika terbukti sakit TB, pengobatan harus segera ditukar ke regimen terapi
TB anak dimulai dari awal
c. Jika rejimen Isoniazid profilaksis selesai diberikan (tidak ada gejala TB
selama 6 bulan pemberian), maka rejimen isoniazid profilaksis dapat
dihentikan.
d.
Bila anak tersebut belum pernah mendapat imunisasi BCG, perlu diberikan
BCG setelah pengobatan profilaksis dengan INH selesai.1

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan


Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Petunjuk Teknis Manajemen
Tb Anak. Jakarta. Kementerian Kesehatan RI.
2. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2012. Petunjuk Teknis Tata
Laksaana Klinis KO- Infeksi TB-HIV .Jakarta. Kementerian Kesehatan RI
3. Rahajoe N, Supriyanto B, Setyono D. Dalam Kartasamita C Tuberkulosis.
2010. Buku Ajar Respirologi Anak Edisi Pertama. Jakarta. IDAI.
4. WHO,2014.Tuberculosis.http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs104/en/
5. Churchyard G J, Scano F, Grant AD, Chaisson RE. Tuberculosis Preventive
Therapy in the Era of HIV Infection: Overview and Research Priorities.
http://jid.oxfordjournals.org/content/196/Supplement_1/S52.full
6. CDC.Tuberculosis(TB).http://www.cdc.gov/tb/topic/populations/tbinchildren/gl
obal.htm
7. Illu D, Picauly I, Ramang R. 2012. Faktor-Faktor Penentu Kejadian
Tuberkulosis Paru pada Penderita Anak Yang Pernah Berobat Di Rsud W.Z
Yohanes Kupang . Kupang. Program Studi Ilmu Lingkungan Program
Pascasarjana, Universitas Nusa Cendana.
8. Gupte S. 2004. Panduan Perawatan Anak.Jakarta: Pustaka Populer Obor.
9. Espositto S, dkk. 2013. Tuberculosis in Children.Mediterannean Journal of
HematologyandInfectious Disease. http://www.mjhid.org/article/view/425/634
10. Velles CM. 2012. Tuberculosis in children. The new England journal of
medicine. http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMra1008049
11. Berman, Kliegman, Arvin. Dalam: Starke J Tuberculosis. 2000. Ilmu
Kesehatan Anak Nelson Edisi 15. Jakarta: EGC.

21

Anda mungkin juga menyukai