Batasan Usia Pernikahan Menurut Undang

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 6

BATASAN USIA PERNIKAHAN MENURUT UNDANG-UNDANG

Pernikahan adalah upacara pengikatan janji nikah yang dirayakan atau dilaksanakan
oleh dua orang dengan maksud meresmikan ikatanperkawinan secara norma
agama, norma hukum, dan norma sosial. Upacara pernikahan memiliki banyak ragam
dan variasi menurut tradisisuku bangsa, agama, budaya, maupun kelas sosial.
Penggunaan adat atau aturan tertentu kadang-kadang berkaitan dengan aturan atau
hukum agama tertentu pula.

Pengesahan secara hukum suatu pernikahan biasanya terjadi pada saat dokumen
tertulis yang mencatatkan pernikahan ditanda-tangani.Upacara pernikahan sendiri
biasanya merupakan acara yang dilangsungkan untuk melakukan upacara berdasarkan
adat-istiadat yang berlaku, dan kesempatan untuk merayakannya
bersama teman dan keluarga. Wanita dan pria yang sedang melangsungkan
pernikahan dinamakan pengantin, dan setelah upacaranya selesai kemudian mereka
dinamakan suami dan istri dalam ikatan perkawinan.

Berdasarkan Pasal 6 UU No. 1/1974 tentang perkawinan, syarat melangsungkan


perkawinan adalah hal-hal yang harus dipenuhi jika akan melangsungkan sebuah
perkawinan. Syarat-syarat tersebut yaitu:

Ada persetujuan dari kedua belah pihak.


Untuk yang belum berumur 21 tahun, harus mendapat izin dari kedua orang tua.
Atau jika salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal atau tidak mampu
menyatakan kehendaknya, maka izin dapat diperoleh dari orang tua yang masih
hidup atau orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
Bila orang tua telah meninggal dunia atau tidak mampu menyatakan kehendaknya,
maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang
mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas.

Bagi yang beragama Islam, dalam perkawinan harus ada (Pasal 14 Kompilasi Hukum
Islam (KHI):

Calon istri
Calon suami
Wali nikah
Dua orang saksi
Ijab dan kabul
Pernikahan dalam Islam merupakan fitrah manusia agar seorang muslim dapat memikul
amanat tanggung jawabnya yang paling besar dalam dirinya terhadap orang yang
paling berhak mendapat pendidikan dan pemeliharaan. Pernikahan memiliki manfaat
yang paling besar terhadap kepentingan-kepentingan sosial lainnya. Kepentingan sosial
itu adalah memelihara kelangsungan jenis manusia, memelihara keturunan, menjaga
keselamatan masyarakat dari segala macam penyakit yang dapat membahayakan
kehidupan manusia serta menjaga ketenteraman jiwa.

Pernikahan memiliki tujuan yang sangat mulia yaitu membentuk suatu keluarga yang
bahagia, kekal abadi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini sesuai dengan
rumusan yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 pasal 1 bahwa:
"Perkawinan merupakan ikatan lahir dan batin antara seorang wanita dengan seorang
pria sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa."

Sesuai dengan rumusan itu, pernikahan tidak cukup dengan ikatan lahir atau batin saja
tetapi harus kedua-duanya. Dengan adanya ikatan lahir dan batin inilah perkawinan
merupakan satu perbuatan hukum di samping perbuatan keagamaan. Sebagai
perbuatan hukum karena perbuatan itu menimbulkan akibat-akibat hukum baik berupa
hak atau kewajiban bagi keduanya, sedangkan sebagai akibat perbuatan keagamaan
karena dalam pelaksanaannya selalu dikaitkan dengan ajaran-ajaran dari masing-
masing agama dan kepercayaan yang sejak dahulu sudah memberi aturan-aturan
bagaimana perkawinan itu harus dilaksanakan.

Dari segi agama Islam, syarat sah pernikahan penting sekali terutama untuk
menentukan sejak kapan sepasang pria dan wanita itu dihalalkan melakukan hubungan
seksualsehingga terbebas dari perzinaan. Zina merupakan perbuatan yang sangat kotor
dan dapat merusak kehidupan manusia. Dalam agama Islam, zina adalah perbuatan
dosa besar yang bukan saja menjadi urusan pribadi yang bersangkutan dengan Tuhan,
tetapi termasuk pelanggaran hukum dan wajib memberi sanksi-sanksi terhadap yang
melakukannya. Di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, maka
hukum Islam sangat memengaruhi sikap moral dan kesadaran hukum masyarakatnya.

Agama Islam menggunakan tradisi perkawinan yang sederhana, dengan tujuan agar
seseorang tidak terjebak atau terjerumus ke dalam perzinaan. Tata cara yang
sederhana itu nampaknya sejalan dengan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 pasal
2 ayat 1 yang berbunyi: "Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agama dan kepercayaannya." Dari pasal tersebut sepertinya memberi
peluang-peluang bagi anasir-anasir hukum adat untuk mengikuti dan bahkan berpadu
dengan hukum Islam dalam perkawinan. Selain itu disebabkan oleh kesadaran
masyarakatnya yang menghendaki demikian. Salah satu tata cara perkawinan adat
yang masih kelihatan sampai saat ini adalah perkawinan yang tidak dicatatkan pada
pejabat yang berwenang atau disebut nikah siri. Perkawinan ini hanya dilaksanakan di
depan penghulu atau ahli agama dengan memenuhi syariat Islam sehingga perkawinan
ini tidak sampai dicatatkan di kantor yang berwenang untuk itu.

Perkawinan sudah sah apabila telah memenuhi rukun dan syarat perkawinan. Adapun
yang termasuk dalam rukun perkawinan adalah sebagai berikut:

Pihak-pihak yang melaksanakan akad nikah yaitu mempelai pria dan wanita.
Adanya akad (sighat) yaitu perkataan dari pihak wali perempuan atau wakilnya
(ijab) dan diterima oleh pihak laki-laki atau wakilnya (kabul).
Adanya wali dari calon istri.
Adanya dua orang saksi.

Apabila salah satu syarat itu tidak dipenuhi maka perkawinan tersebut dianggap tidak
sah, dan dianggap tidak pernah ada perkawinan. Oleh karena itu diharamkan baginya
yang tidak memenuhi rukun tersebut untuk mengadakan hubungan seksual maupun
segala larangan agama dalam pergaulan. Dengan demikian apabila keempat rukun itu
sudah terpenuhi maka perkawinan yang dilakukan sudah dianggap sah.

Perkawinan di atas menurut hukum Islam sudah dianggap sah, apabila perkawinan
tersebut dihubungkan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 1 pasal 2 ayat 2 tahun
1974 tentang perkawinan itu berbunyi: "Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku." Dipertegas dalam dalam undang-undang yang
sama pada pasal 7 ayat 1 yang menyatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan bila
pihak pria mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita telah mencapai usia 16 tahun. Jika
masih belum cukup umur, pada pasal 7 ayat 2 menjelaskan bahwa perkawinan dapat
disahkan dengan meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang diminta
oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pembatalan berasal dari kata batal, yaitu
menganggap tidak sah, menganggap tidak pernah ada. Jadi, pembatalan perkawinan
berarti menganggap perkawinan yang telah dilakukan sebagai peristiwa yang tidak sah,
atau dianggap tidak pernah ada. Pasal 22 UU No. 1 tahun 1974 menyatakan bahwa
pembatalan perkawinan dapat dilakukan, bila para pihak tidak memenuhi syarat
melangsungkan perkawinan.

Pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan


pembatalan perkawinan
Berdasarkan Pasal 23 UU No. 1 tahun 1974, Berikut ini adalah pihak-pihak yang dapat
mengajukan permohonan pembatalan perkawinan:

Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri.
Suami atau istri.
Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan.
Pejabat pengadilan.

Pasal 73 KHI menyebutkan bahwa yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan


adalah:

Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami atau
istri.
Suami atau istri.
Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut undang-
undang.
Para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan
syarat perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan perundang-undangan
sebagaimana tersebut dalam pasal 67.

Alasan pembatalan perkawinan


Perkawinan dapat dibatalkan, bila:

Perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum yang


terdapat pada Pasal 27 UU No. 1/1974.
Salah satu pihak memalsukan identitas dirinya (pasal 27 UU No. 1/1974). Identitas
palsu misalnya tentang status, usia atau agama.
Suami/istri yang masih mempunyai ikatan perkawinan melakukan perkawinan tanpa
seizin dan sepengetahuan pihak lainnya (pasal 24 UU No. 01 tahun 1974).
Perkawinan yang tidak sesuai dengan syarat-syarat perkawinan (pasal 22 UU
Perkawinan).

Sementara menurut Pasal 71 KHI, perkawinan dapat dibatalkan apabila:

Seorang suami melakukan poligami tanpa izin pengadilan agama.


Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi istri pria lain
yang mafqud (hilang).
Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam masa iddah dari suami lain.
Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan, sebagaimana ditetapkan
dalam Pasal 7 Undang-undang No 1 Tahun 1974.
Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak
berhak.
Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.

Pengajuan pembatalan perkawinan


Permohonan pembatalan perkawinan dapat diajukan ke pengadilan (pengadilan agama
bagi muslim dan pengadilan negeri bagi non-muslim) di dalam daerah hukum di mana
perkawinan telah dilangsungkan atau di tempat tinggal pasangan (suami-istri). Atau bisa
juga di tempat tinggal salah satu dari pasangan baru tersebut.

Cara mengajukan permohonan pembatalan perkawinan


Anda atau kuasa hukum Anda mendatangi pengadilan agama bagi yang beragama
Islam dan pengadilan negeri bagi non-muslim (UU No.7/1989 pasal 73).

Kemudian Anda mengajukan permohonan secara tertulis atau lisan kepada ketua
pengadilan (HIR pasal 118 ayat (1)/Rbg pasal 142 ayat (1)), sekaligus membayar
uang muka biaya perkara kepada bendaharawan khusus.
Anda sebagai pemohon, dan suami (atau beserta istri barunya) sebagai termohon
harus datang menghadiri sidang pengadilan berdasarkan surat panggilan dari
pengadilan, atau dapat juga mewakilkan kepada kuasa hukum yang ditunjuk (UU
No. 7/1989 pasal 82 ayat (2), PP No. 9/1975 pasal 26, 27 dan 28 Jo HIR pasal 121,
124, dan 125).
Pemohon dan termohon secara pribadi atau melalui kuasanya wajib membuktikan
kebenaran dari isi (dalil-dalil) permohonan pembatalan perkawinan/tuntutan di muka
sidang pengadilan berdasarkan alat bukti berupa surat-surat, saksi-saksi,
pengakuan salah satu pihak, persangkaan hakim atau sumpah salah satu pihak
(HIR pasal 164/Rbg pasal 268). Selanjutnya hakim memeriksa dan memutus
perkara tersebut.
Pemohon atau Termohon secara pribadi atau masing-masing menerima salinan
putusan Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama yang belum mempunyai
kekuatan hukum tetap.
Pemohon dan termohon menerima akta pembatalan perkawinan dari pengadilan.
Setelah Anda menerima akta pembatalan, sebagai pemohon Anda segera meminta
penghapusan pencatatan perkawinan di buku register Kantor Urusan
Agama atauKantor Catatan Sipil.

Batas waktu pengajuan


Ada batas waktu pengajuan pembatalan perkawinan. Untuk perkawinan Anda sendiri
(misalnya karena suami anda memalsukan identitasnya atau karena perkawinan Anda
terjadi karena adanya ancaman atau paksaan), pengajuan itu dibatasi hanya dalam
waktu enam bulan setelah perkawinan terjadi. Jika sampai lebih dari enam bulan Anda
masih hidup bersama sebagai suami-istri, maka hak Anda untuk mengajukan
permohonan pembatalan perkawinan dianggap gugur (pasal 27 UU No. 1 tahun 1974).
Sementara itu, tidak ada pembatasan waktu untuk pembatalan perkawinan suami Anda
yang telah menikah lagi tanpa sepengetahuan Anda. Kapan pun anda dapat
mengajukan pembatalannya.

Pemberlakuan pembatalan perkawinan


Batalnya perkawinan dimulai setelah keputusan pengadilan mempunyai kekuatan
hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan. Keputusan
Pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap anak-anak yang dilahirkan dari
perkawinan tersebut. Artinya, anak-anak dari perkawinan yang dibatalkan, tetap
merupakan anak yang sah dari suami Anda. Dan berhak atas pemeliharaan dan
pembiayaan serta waris (pasal 28 UU No. 1 Tahun 1974).

Anda mungkin juga menyukai