FILSAFAT ILMU
Oleh :
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. sebab dengan rakhmat dan
hidayat-Nya jualah sehingga penyusunan buku ajar ini dapat diselesaikan.
Buku ajar Filsafat Ilmu pada program S2 ilmu perikanan sangat mendesak untuk
dilakukan mengingat sangat terbatasnya referensi yang terfokus pada bidang ilmu
perikanan. Dalam penyusunan buku ajar ini penulis banyak menerima bantuan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu dari lubuk hati yang paling dalam disampaikan
penghargaan, rasa hormat, dan terima kasih kepada :
1. Bapak Rektor Unhas Universitas Hasanuddin beserta jajarannya atas kepercayaan
yang diberikan kepada penulis
2. Dekan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan beserta jajarannya atas kepercayaan,
persetujuan dan pengesahan yang diberikan kepada penulis
3. Ketua program studi S2 Ilmu perikanan atas kepercayaan yang diberikan untuk
menyusun buku ajar ini serta arahan yang telah diberikan sehingga modul ini dapat
diselesaikan pada waktunya.
4. Kepada semua anggota tim pengajar atas partisipasi dan kerjasamanya dalam
penulisan buku ajar ini.
5. Kepada semua pihak yang tidak sempat disebut satu persatu.
Penyusunan buku ajar ini melalui proses yang panjang dan melalui pengayaan
informasi dari berbagai pihak dan juga berkat dorongan dari teman-teman staf FIKP
UNHAS. Oleh karena itu penulis menghaturkan banyak terima kasih kepada semua pihak
yang telah berjasa dalam penyusunan buku ajar ini. Semoga Allah SWT. membalasnya
dengan pahala yang setimpal. Amien !!!
Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari bahwa modul ini
masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun
sangatlah penulis harapkan demi penyempurnaan dimasa mendatang. Semoga bermanfaat.
URAIAN Hal
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB 1 PENDAHULUAN 1
1.1 Pendahuluan 1
1.2 Uraian Bahan Pembelajaran 2
1.3 Penutup 20
BAB 2 PERBEAAN ILMU DAN PENGETAHUAN 22
2.1 Pendahuluan 22
2.2 Uraian Bahan Pembelajaran 23
2.3 Penutup 29
BAB 3 LOGIKA DAN PENALARAN ILMIAH 32
3.1 Pendahuluan 32
3.2 Uraian Bahan Pembelajaran 33
3.3 Penutup 45
BAB 4 PERKEMBANGAN ILMU 48
4.1 Pendahuluan 48
4.2 Uraian Bahan Pembelajaran 49
4.3 Penutup 56
BAB 5 ILMU DAN NILAI : Aliran dan Tokoh Filsafat Ilmu 59
5.1 Pendahuluan 59
5.2 Uraian Bahan Pembelajaran 60
5.3 Penutup 64
BAB 6 PENGETAHUAN DAN UKURAN KEBENARAN 66
6.1 Pendahuluan 67
6.2 Uraian Bahan Pembelajaran 68
6.3 Penutup 73
BAB 7 DASAR-DASAR ILMU 76
7.1 Pendahuluan 76
7.2 Uraian Bahan Pembelajaran 77
7.3 Penutup 86
BAB 8 SARANA ILMIAH 88
8.1 Pendahuluan 89
8.2 Uraian Bahan Pembelajaran 90
8.3 Penutup 98
BAB 9 HAKEKAT ILMU 100
9.1 Pendahuluan 101
9.2 Uraian Bahan Pembelajaran 102
9.3 Penutup 114
BAB 10 ILMU DAN MORAL 116
10.1 Pendahuluan 116
10.2 Uraian Bahan Pembelajaran 117
10.3 Penutup 128
DAFTAR PUSTAKA 128
BAB 1
PENDAHULUAN
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada modul ini dipaparkan prinsip-prinsip dasar filsafat dan filsafat ilmu
pengetahuan untuk memberikan gambaran kepada mahasiswa tentang
bagaimana perkembangan ilmu dari dulu sampai saat ini, dan bagaimana
perkembangan ilmu pengetahuan jika disandingkan dengan filsafat.
C. Kaitan Modul
II. PEMBELAJARAN
Ilmu terdiri atas obyek material yang merupakan sasaran penyelidikan dan
obyek formal yaitu metode pendekatan untuk memahami obyek material,
seperti pendekatan induktif ataupun deduktif. Obyek material filsafat adalah
segala yang ada, yang tampak seperti empiris, yang tidak tampak seperti alam
metafisika.
Filsafat merupakan induk ilmu, lebih luas dari ilmu, mencakup yang empiris dan
non empiris. Ilmu berasal dari filsafat karena filsafatlah yang membahas segala
hal yang ada secara sistematis, rasional, logis dan empiris yang kemudian
bercabang, berkembang dan berspesialisasi.
Menurut Al Farabi (950 M), filsafat adalah ilmu tentang alam yang maujud,
bertujuan menyelidiki hakikatnya yang sebenarnya. Sedangkan menurut Ibnu
Rusyd (1126 1198), filsafat atau hikmah merupakan pengetahuan otonom
yang perlu dikaji oleh akal manusia.
sesuai kadar kemampuan manusia. Dari rumusan tadi, hikmah terdiri atas :
masalah, fakta dan data, serta analisis ilmuwan dengan teori.
2. Pengertian Ilmu
Ilmu berasal dari bahasa Arab : alima, yalamu, ilman, dan wazan faila, yafalu
yang artinya mengerti, memahami dengan benar. Dalam bahasa Inggris berarti
science, bahasa Latin berarti scintia (pengetahuan) dan scire (mengetahui).
Dalam kamus besar bahasa Indonesia artinya pengetahuan suatu bidang
secara sistematis berdasarkan metode tertentu yang dapat digunakan untuk
menerangkan gejala tertentu di bidang itu.
Filsafat Ilmu
6
UNIVERSITAS HASANUDDIN
KOMPETENSI a b c d e
ELEMEN KOMPETENSI :
a. Landasan kepribadian;
b. Penguasaan ilmu dan ketrampilan;
c. Kemampuan berkarya;
d. Sikap dan prilaku dalam berkarya menurut tingkat keahlian berdasarkan ilmu dan ketrampilan yang dikuasai;
e. Pemahaman kaidah berkehidupan bermasyarakat sesuai dengan pilihan keahlian dalam berkarya
Kompetensi Utama :Kemampuan dalam memahami hakekat ilmu pengetahuan dan kebenaran ilmiah
Kompetensi Pendukung : Kemampuan bekerjasama, berkomunikasi dan beradaptasi dalam lingkungan kerja
Kompetensi Tambahan : Kemampuan berkarya secara individu atau tim dalam usaha perikanan berkelanjutan
Kompetensi Institusi : Kemampuan bekerja sama, menyesuaikan diri, mengembangkan diri dan berfikir logis, analitis & profesional.
9
3. Logika dan penalaran ilmiah Kuliah + diskusi Menjelaskan : proposisi, logika Kejelasan uraian tentang : 5
deduktif, logika induktif, proposisi, logika deduktif,
penalaran, kesesatan dalam logika induktif, penalaran,
penalaran, penalaran ilmiah. kesesatan dalam penalaran,
penalaran ilmiah.
5 Ilmu dan Nilai : aliran dan tokoh- Kuliah + diskusi Menjelaskan Ilmu dan Nilai : Kejelasan uraian tentang Ilmu 5
tokoh filsafat ilmu aliran dan tokoh-tokoh filsafat dan Nilai : aliran dan tokoh-
ilmu. Aliran-aliran dan tokoh- tokoh filsafat ilmu. Aliran-aliran
tokoh filsafat ilmu; ilmu dan dan tokoh-tokoh filsafat ilmu;
nilai; kajian filsafat; ilmu dan ilmu dan nilai; kajian filsafat;
agama ilmu dan agama
6 Pengetahuan dan ukuran Kuliah + diskusi Menjelaskan pengetahuan dan Kejelasan uraian tentang 5
kebenaran ukuran kebenaran: definisi dan pengetahuan dan ukuran
jenis pengetahuan; hakekat dan kebenaran: definisi dan jenis
sumber pengetahuan; ukuran pengetahuan; hakekat dan
kebenaran; klasifikasi dan sumber pengetahuan; ukuran
hakekat ilmu kebenaran; klasifikasi dan
hakekat ilmu
7 Dasar-dasar ilmu Kuliah + diskusi Menjelaskan dasar-dasar ilmu Mampu menjelaskan dasar- 5
dari segi : ontologi, epistemologi dasar ilmu dari segi : ontologi,
dan aksiologi epistemologi dan aksiologi
8 Sarana Ilmiah Kuliah + diskusi Menjelaskan sarana ilmiah Kejelasan menguraikan sarana 5
meliputi : bahasa, matematika, ilmiah meliputi : bahasa,
statistik dan logika matematika, statistik dan logika
9 Hakekat ilmu, menentukan objek Kuliah + diskusi Menjelaskan hakekat ilmu, Kejelasan menguraikan hakekat 6
tujuan, cara pencapaian tujuan menentukan objek tujuan, cara ilmu, menentukan objek tujuan,
dan pemanfaatan; obyek materi; pencapaian tujuan dan cara pencapaian tujuan dan
obyek forma; aspek aksiologi, pemanfaatan; obyek materi; pemanfaatan; obyek materi;
aspek etik; aspek epistemologi; obyek forma; aspek aksiologi, obyek forma; aspek aksiologi,
ilmu teoritis & terapan; teknologi aspek etik; aspek epistemologi; aspek etik; aspek epistemologi;
11
& perkembangannya ilmu teoritis & terapan; ilmu teoritis & terapan;
teknologi & perkembangannya teknologi & perkembangannya
11 Kebenaran ilmiah; pengertian Kuliah + diskusi Menjelaskan kebenaran ilmiah; Kejelasan menguraikan 5
sistem, jenis-jenis sistem pengertian sistem, jenis-jenis kebenaran ilmiah; pengertian
sistem sistem, jenis-jenis sistem
12-13 Kebenaran ilmiah bidang studi; Kuliah + diskusi Menjelaskan kebenaran ilmiah Kejelasan uraian kebenaran 9
sumber kebenaran, teori bidang studi; sumber ilmiah bidang studi; sumber
kebenaran kebenaran, teori kebenaran kebenaran, teori kebenaran
14-15 Etika dan estetika dalam Kuliah+kerja Menjelaskan etika dan estetika Kejelasan uraian etika dan 9
pengembangan ilmu bidang studi individu+tutorial dalam pengembangan ilmu estetika dalam pengembangan
khusus dan pemanfaatannya: (project based bidang studi khusus dan ilmu bidang studi khusus dan
etika dan estetika ilmu learning) pemanfaatannya: etika dan pemanfaatannya: etika dan
pengetahuan bidang studi estetika ilmu pengetahuan estetika ilmu pengetahuan
khusus; pengembangan ilmu bidang studi khusus; bidang studi khusus;
bidang studi khusus & pengembangan ilmu bidang pengembangan ilmu bidang
tanggungjawab ilmiah; manfaat studi khusus & tanggungjawab studi khusus & tanggungjawab
ilmu pengetahuan bidang studi ilmiah; manfaat ilmu ilmiah; manfaat ilmu
kasus pengetahuan bidang studi kasus pengetahuan bidang studi kasus
16 Tantangan dan masa depan ilmu Kuliah + diskusi Menjelaskan tantangan masa Kejelasan uraian tentang 6
depan ilmu: kemajuan ilmu dan tantangan masa depan ilmu:
krisis kemanusiaan; agama ilmu kemajuan ilmu dan krisis
12
III. PENUTUP
Pendahuluan memberikan gambaran penting secara menyeluruh materi yang akan dipelajari selama 1 semester
perkuliahan, termasuk tugas tugas yang akan dikerjakan oleh mahasiswa. Dengan demikian mahasiswa dapat membuat
perencanaan dan strategi menghadapi perkuliahan.
DAFTAR PUSTAKA
II. PENDAHULUAN
D. Latar Belakang
Kontrak Pembelajaran
F. Kaitan Modul
II. PEMBELAJARAN
1. Jenis pengetahuan
a. Realisme, gambaran yang sebenarnya dari apa yang ada di alam nyata
sehingga pengetahuan adalah benar dan tepat jika sesuai dengan
kenyataan, mempertajam perbedaan antara yang mengetahui dan yang
diketahui. Tidak mementingkan pada subyek tapi obyek.
b. Idealisme, pengetahuan adalah proses mental psikologis yang subyektif.
Dunia dan bagiannya adalah satu kesatuan yang utuh dan saling
berhubungan. Mementingkan subyek dibandingkan obyek sehingga
tidak mengakui kebenaran universal, kebenaran menjadi relative.
2. Sumber Pengetahuan
a. Empirisme, pengetahuan diperoleh melalui pengalaman, bukan bawaan.
Tokohnya : John Locke, David Hume.
b. Rasionalisme, pengetahuan diperoleh dengan akal. Tidak mengingkari
kegunaan indera dalam memperoleh pengetahuan.
c. Intuisi, hasil dari evolusi pemahaman yang tertinggi (Henry Bergson),
mengatasi sifat lahiriah pengetahuan simbolis yang bersifat
16
C. UKURAN KEBENARAN
yang bersumber dari manusia. Al Jurjanni membagi ilmu menjadi ilmu Qadim
dan ilmu Hadis.
Islam mengenal hierarki keilmuan yakni terdapat hierarki dalam obyek yang
diketahui dan subyek yang mengetahui. Adanya pengakuan wawasan Yang
Kudus menjabarkan secara hierarkis ke dalam berbagai bidang keilmuan.
III. PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
III. PENDAHULUAN
G. Latar Belakang
Kontrak Pembelajaran
I. Kaitan Modul
II. PEMBELAJARAN
Filsafat mengambil peran penting karena dalam filsafat kita bias menjumpai
pandangan-pandangan tentang apa saja (kompleksitas, mendiskusikan dan
menguji kesahihan dan akuntabilitas pemikiran serta gagasan-gagasan yang
bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan intelektual (Bagir, 2005).
Menurut kamus Webster New World Dictionary, kata science berasal dari kata
latin, scire yang artinya mengetahui. Secara bahasa science berarti keadaan
atau fakta mengetahui dan sering diambil dalam arti pengetahuan (knowledge)
yang dikontraskan melalui intuisi atau kepercayaan. Namun kata ini mengalami
perkembangan dan perubahan makna sehingga berarti pengetahuan yang
sistematis yang berasal dari observasi, kajian, dan percobaan-percobaan yang
dilakukan untuk menetukan sifat dasar atau prinsip apa yang dikaji. Sedangkan
dalam bahasa Arab, ilmu (ilm) berasal dari kata alima yang artinya mengetahui.
Jadi ilmu secara harfiah tidak terlalu berbeda dengan science yang berasal dari
kata scire. Namun ilmu memiliki ruang lingkup yang berbeda dengan science
(sains). Sains hanya dibatasi pada bidang-bidang empirisme positiviesme
sedangkan ilmu melampuinya dengan nonempirisme seperti matematika dan
metafisika (Kartanegara, 2003). Berbicara mengenai ilmu (sains) maka tidak
akan terlepas dari filsafat. Tugas filsafat pengetahuan adalah menunjukkan
bagaimana pengetahuan tentang sesuatu sebagaimana adanya. Will Duran
dalam bukunya The story of Philosophy mengibaratkan bahwa filsafat seperti
pasukan marinir yang merebut pantai untuk pendaratan pasukan infanteri.
Pasukan infanteri inilah sebagai pengetahuan yang di antaranya ilmu. Filsafat
21
yang memenangkan tempat berpijak bagi kegiatan keilmuan. Semua ilmu baik
ilmu alam maupun ilmu sosial bertolak dari pengembangannya sebagai filsafat.
Nama asal fisika adalah filsafat alam (natural philosophy) dan nama asal
ekonomi adalah filsafat moral (moral philosophy). Issac Newton (1642-1627)
menulis hukum-hukum fisika sebagai Philosophiae Naturalis Principia
Mathematica (1686) dan Adam Smith (1723-1790) Bapak Ilmu Ekonomi
menulis buku The Wealth Of Nation (1776) dalam fungsinya sebagai Professor
of Moral Philosophy di Universitas Glasgow.
Filsafat ilmu adalah bagian dari filsafat pengetahuan atau sering juga disebut
epistimologi. Epistimologi berasal dari bahasa Yunani yakni episcmc yang
berarti knowledge, pengetahuan dan logos yang berarti teori. Istilah ini pertama
kali dipopulerkan oleh J.F. Ferier tahun 1854 yang membuat dua cabang
filsafat yakni epistemology dan ontology (on = being, wujud, apa + logos = teori
), ontology ( teori tentang apa). Secara sederhana dapat dikatakan bahwa
filsafat ilmu adalah dasar yang menjiwai dinamika proses kegiatan memperoleh
pengetahuan secara ilmiah. Ini berarti bahwa terdapat pengetahuan yang
ilmiah dan tak-ilmiah. Adapun yang tergolong ilmiah ialah yang disebut ilmu
pengetahuan atau singkatnya ilmu saja, yaitu akumulasi pengetahuan yang
telah disistematisasi dan diorganisasi sedemikian rupa; sehingga memenuhi
asas pengaturan secara prosedural, metologis, teknis, dan normatif akademis.
Dengan demikian teruji kebenaran ilmiahnya sehingga memenuhi kesahihan
atau validitas ilmu, atau secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan.
22
Hal ini mengikuti teori koherensi, yaitu perihal melekatnya sifat yang terdapat
pada sumbernya yang disebut premis-premis yang telah teruji kebenarannya,
dengan kesimpulan yang pada gilirannya otomatis mempunyai kepastian
kebenaran. Dengan lain perkataan kesimpulan tersebut praktis sudah
diarahkan oleh kebenaran premis-premis yang bersangkutan. Walaupun
kesimpulan tersebut sudah memiliki kepastian kebenaran, namun mengingat
bahwa prosesnya dipandang masih bersifat rasionalabstrak, maka harus
dilanjutkan dengan logika berpikir secara induktif. Hal ini mengikuti teori
korespondensi, yaitu kesesuaian antara hasil pemikiran rasional dengan
dukungan data empiris melalui penelitian, dalam rangka menarik kesimpulan
umum dari yang khusus. Sesudah melalui tahap ontologis, maka dimasukan
tahap akhir yaitu tahap fungsional.
Pada tahap fungsional, sikap manusia bukan saja bebas dari kepungan
kekuatan-kekuatan gaib, dan tidak semata-mata memiliki pengetahuan ilmiah
secara empiris, melainkan lebih daripada itu. Sebagaimana diketahui, ilmu
tersebut secara fungsional dikaitkan dengan kegunaan langsung bagi
kebutuhan manusia dalam kehidupannya. Tahap fungsional pengetahuan
sesungguhnya memasuki proses aspel aksiologi filsafat ilmu, yaitu yang
membahas amal ilmiah serta profesionalisme terkait dengan kaidah moral.
Sementara itu, ketika kita membicarakan tahap-tahap perkembangan
24
Dalam hal ini menyangkut yang mempunyai eksistensi dalam dimensi ruang
dan waktu, dan terjangkau oleh pengalaman inderawi. Dengan demikian,
meliputi fenomena yang dapat diobservasi, dapat diukur, sehingga datanya
dapat diolah, diinterpretasi, diverifikasi, dan ditarik kesimpulan. Dengan lain
perkataan, tidak menggarap hal-hal yang gaib seperti soal surga atau neraka
yang menjadi garapan ilmu keagamaan.
Telaahan kedua adalah dari segi epistimologi, yaitu meliputi aspek normatif
mencapai kesahihan perolehan pengetahuan secara ilmiah, di samping aspek
prosedural, metode dan teknik memperoleh data empiris. Kesemuanya itu
lazim disebut metode ilmiah, meliputi langkahlangkah pokok dan urutannya,
termasuk proses logika berpikir yang berlangsung di dalamnya dan sarana
berpikir ilmiah yang digunakannya. Telaahan ketiga ialah dari segi aksiologi,
yang sebagaimana telah disinggung di atas terkait dengan kaidah moral
pengembangan penggunaan ilmu yang diperoleh.
Bagaimana prosedurnya?
Apa kriterianya?
Sumber-Sumber Pengetahuan
diangapnya jelas dan dapat diterima. Ide ini menurut mereka bukan ciptaan
pikiran manusia. Prinsip itu sudah ada, jauh sebelum manusia memikirkannya
(idelisme).
Di samping rasionalisme dan pengalaman masih ada cara lain yakni intuisi atau
wahyu. Intuisi merupakan pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui proses
penalaran, bersifat personal dan tak bisa diramalkan. Sedangkan wahyu
merupakan pengetahuan yang disampaikan oleh Tuhan kepada manusia.m
Masalah yang muncul dalam sumber pengetahuan adalah dikotomi atau gap
antara sumber ilmu umum dan ilmu agama. Bagi agama Islam sumber ilmu
yang paling otoritatif adalah Alquran dan Hadis. Bagi ilmu umum (imuwan
sekuler) satunya-satunya yang valid adalah pengalaman empiris yang didukung
oleh indrawi melalui metode induksi. Sedangkan metode deduksi yang
ditempuh oleh akal dan nalar sering dicurigai secara apriopri (yakni tidak
melalui pengalaman). Menurut mereka, setinggitingginya pencapaian akal
adalah filsafat. Filsafat masih dipandang terlalu spekulatif untuk bisa
mengkonstruksi bangunan ilmiah seperti yang diminta kaum positivis. Adapun
pengalaman intuitif sering dianggap hanya sebuah halusinasi atau ilusi belaka.
Sedangkan menurut agamawan pengalaman intuitif dianggap sebagai sumber
ilmu, seperti para nabi memperoleh wahyu ilahi atau mistikus memperoleh
limpahan cahaya Ilahi.
A. Zaman Yunani
Ilmu juga mendapat ruang yang sangat kondusif dalam pemikiran kaum sofis
karena mereka memberi ruang untuk berspekulasi dan sekaligus merelatifkan
teori ilmu, sehingga muncul sintesa baru. Socrates, Plato, dan Aristoteles
menolak relativisme kaum sofis. Menurut mereka, ada kebenaran obyektif yang
bergantung kepada manusia.
Filsafat mengambil peran penting karena dalam filsafat kita bias menjumpai
pandangan-pandangan tentang apa saja (kompleksitas, mendiskusikan dan
menguji kesahihan dan akuntabilitas pemikiran serta gagasan-gagasan yang
bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan intelektual (Bagir, 2005).
29
Menurut kamus Webster New World Dictionary, kata science berasal dari kata
latin, scire yang artinya mengetahui. Secara bahasa science berarti keadaan
atau fakta mengetahui dan sering diambil dalam arti pengetahuan (knowledge)
yang dikontraskan melalui intuisi atau kepercayaan. Namun kata ini mengalami
perkembangan dan perubahan makna sehingga berarti pengetahuan yang
sistematis yang berasal dari observasi, kajian, dan percobaan-percobaan yang
dilakukan untuk menetukan sifat dasar atau prinsip apa yang dikaji. Sedangkan
dalam bahasa Arab, ilmu (ilm) berasal dari kata alima yang artinya mengetahui.
Jadi ilmu secara harfiah tidak terlalu berbeda dengan science yang berasal dari
kata scire. Namun ilmu memiliki ruang lingkup yang berbeda
dengan science (sains). Sains hanya dibatasi pada bidang-bidang empirisme
positiviesme sedangkan ilmu melampuinya dengan nonempirisme seperti
matematika dan metafisika (Kartanegara, 2003). Berbicara mengenai ilmu
(sains) maka tidak akan terlepas dari filsafat. Tugas filsafat pengetahuan
adalah menunjukkan bagaimana pengetahuan tentang sesuatu sebagaimana
adanya. Will Duran dalam bukunya The story of Philosophy mengibaratkan
bahwa filsafat seperti pasukan marinir yang merebut pantai untuk pendaratan
pasukan infanteri. Pasukan infanteri inilah sebagai pengetahuan yang di
antaranya ilmu. Filsafat yang memenangkan tempat berpijak bagi kegiatan
keilmuan. Semua ilmu baik ilmu alam maupun ilmu sosial bertolak dari
pengembangannya sebagai filsafat. Nama asal fisika adalah filsafat alam
(natural philosophy) dan nama asal ekonomi adalah filsafat moral
(moral philosophy). Issac Newton (1642-1627) menulis hukum-hukum fisika
sebagai Philosophiae Naturalis Principia Mathematica (1686) dan Adam Smith
(1723-1790) Bapak Ilmu Ekonomi menulis buku The Wealth Of Nation (1776)
dalam fungsinya sebagai Professor of Moral Philosophy di Universitas
Glasgow.
Filsafat ilmu adalah bagian dari filsafat pengetahuan atau sering juga disebut
epistimologi. Epistimologi berasal dari bahasa Yunani yakni episcmc yang
berarti knowledge, pengetahuan dan logos yang berarti teori. Istilah ini pertama
kali dipopulerkan oleh J.F. Ferier tahun 1854 yang membuat dua cabang
filsafat yakni epistemology danontology (on = being, wujud, apa + logos = teori
), ontology ( teori tentang apa). Secara sederhana dapat dikatakan bahwa
filsafat ilmu adalah dasar yang menjiwai dinamika proses kegiatan memperoleh
pengetahuan secara ilmiah. Ini berarti bahwa terdapat pengetahuan yang
ilmiah dan tak-ilmiah. Adapun yang tergolong ilmiah ialah yang disebut ilmu
pengetahuan atau singkatnya ilmu saja, yaitu akumulasi pengetahuan yang
telah disistematisasi dan diorganisasi sedemikian rupa; sehingga memenuhi
asas pengaturan secara prosedural, metologis, teknis, dan normatif akademis.
Dengan demikian teruji kebenaran ilmiahnya sehingga memenuhi kesahihan
atau validitas ilmu, atau secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan.
Hal ini mengikuti teori koherensi, yaitu perihal melekatnya sifat yang terdapat
pada sumbernya yang disebut premis-premis yang telah teruji kebenarannya,
dengan kesimpulan yang pada gilirannya otomatis mempunyai kepastian
kebenaran. Dengan lain perkataan kesimpulan tersebut praktis sudah
diarahkan oleh kebenaran premis-premis yang bersangkutan. Walaupun
kesimpulan tersebut sudah memiliki kepastian kebenaran, namun mengingat
bahwa prosesnya dipandang masih bersifat rasionalabstrak, maka harus
dilanjutkan dengan logika berpikir secara induktif. Hal ini mengikuti teori
korespondensi, yaitu kesesuaian antara hasil pemikiran rasional dengan
dukungan data empiris melalui penelitian, dalam rangka menarik kesimpulan
umum dari yang khusus. Sesudah melalui tahap ontologis, maka dimasukan
tahap akhir yaitu tahap fungsional.
Pada tahap fungsional, sikap manusia bukan saja bebas dari kepungan
kekuatan-kekuatan gaib, dan tidak semata-mata memiliki pengetahuan ilmiah
secara empiris, melainkan lebih daripada itu. Sebagaimana diketahui, ilmu
tersebut secara fungsional dikaitkan dengan kegunaan langsung bagi
kebutuhan manusia dalam kehidupannya. Tahap fungsional pengetahuan
sesungguhnya memasuki proses aspel aksiologi filsafat ilmu, yaitu yang
membahas amal ilmiah serta profesionalisme terkait dengan kaidah moral.
Sementara itu, ketika kita membicarakan tahap-tahap perkembangan
pengetahuan dalam satu nafas tercakup pula telaahan filsafat yang
menyangkut pertanyaan mengenai hakikat ilmu. Pertama, dari segi ontologis,
yaitu tentang apa dan sampai di mana yang hendak dicapai ilmu. Ini berarti
sejak awal kita sudah ada pegangan dan gejala sosial.
Dalam hal ini menyangkut yang mempunyai eksistensi dalam dimensi ruang
dan waktu, dan terjangkau oleh pengalaman inderawi. Dengan demikian,
meliputi fenomena yang dapat diobservasi, dapat diukur, sehingga datanya
dapat diolah, diinterpretasi, diverifikasi, dan ditarik kesimpulan. Dengan lain
perkataan, tidak menggarap hal-hal yang gaib seperti soal surga atau neraka
yang menjadi garapan ilmu keagamaan.
Telaahan kedua adalah dari segi epistimologi, yaitu meliputi aspek normatif
mencapai kesahihan perolehan pengetahuan secara ilmiah, di samping aspek
33
Bagaimana prosedurnya?
Bagaimana prosedurnya?
Apa kriterianya?
Sumber-Sumber Pengetahuan
Di samping rasionalisme dan pengalaman masih ada cara lain yakni intuisi atau
wahyu. Intuisi merupakan pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui proses
penalaran, bersifat personal dan tak bisa diramalkan. Sedangkan wahyu
merupakan pengetahuan yang disampaikan oleh Tuhan kepada manusia.m
Masalah yang muncul dalam sumber pengetahuan adalah dikotomi
atau gap antara sumber ilmu umum dan ilmu agama. Bagi agama Islam
sumber ilmu yang paling otoritatif adalah Alquran dan Hadis. Bagi ilmu umum
35
A. Zaman Yunani
III. PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
Kegiatan berfikir kita lakukan dalam keseharian dan kegiatan ilmiah. Berpikir
merupakan upaya manusia dalam memecahkan masalah. Berfikir ilmiah
merupakan berfikir dengan langkah langkah metode ilmiah seperti
perumusan masalah, pengajuan hipotesis, pengkajian literatur, menjugi
hipotesis, menarik kesimpulan. Kesemua langkah langkah berfikir dengan
metode ilmiah tersebut harus didukung dengan alat / sarana yang baik
sehingga diharapkan hasil dari berfikir ilmiah yang kita lakukan mendapatkan
hasil yang baik. Sarana ilmiah pada dasarnya merupakan alat membantu
kegiatan ilmiah dalam berbagai langkah yang harus ditempuh. Tujuan
mempelajari sarana ilmiah adalah untuk memungkinkan kita melakukan
penelaahan ilmiah secara baik, sedangkan tujuan mempelajari ilmu
dimaksudkan untuk mendapatkan pengehahuan yang memungkinkan untuk
bisa memecahkan masalah sehari-hari. Ditinjau dari pola berfikirnya, maka
maka ilmu merupakan gabungan antara pola berfikir deduktif dan berfikir
induktif, untuk itu maka penalaran ilmiah menyadarkan diri kepada proses
logika deduktif dan logika indukti. Penalaran ilmiah mengharuskan kita
menguasai metode penelitian ilmiah yang pada hakekatnya merupakan
pengumpulan fakta untuk mendukung atau menolak hipotesis yang diajukan.
Kemampuan berfikir ilmiah yang baik harus didukung oleh penguasaan sarana
berfikir ini dengan baik pula. Salah satu langkah kearah penguasaan itu adalah
mengetahui dengan benar peranan masing-masing sarana berfikir tersebut
dalam keseluruhan berfikir ilmiah tersebut. Untuk dapat melakukan kegiatan
ilmiah dengan baik, maka diperlukan sarana yang berupa bahasa, logika,
matematika dan statistik.
Sarana berfikir ilmiah merupakan alat yang membantu kegiatan ilmiah dalam
berbagai langkah yang harus ditempuh tanpa penguasaan sarana berpikir
ilmiah kita tidak akan dapat melaksanakan kegiatan berpikir ilmiah yang
baik. Mempunyai metode tersendiri yang berbeda dengan metode ilmiah dalam
mendapatkan pengetahuannya sebab fungsi sarana berpikir ilmiah adalah
membantu proses metode ilmiah.
1. Menurut Salam (1997:139): Berfikir ilmiah adalah proses atau aktivitas manusia
untuk menemukan/mendapatkan ilmu. Berfikir ilmiah adalah proses berpikir
untuk sampai pada suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan.
2. Menurut Jujun S.Suriasumantri. Berpikir merupakan kegiatan akal untuk
memperoleh pengetahuan yang benar. Berpikir ilmiah adalah kegiatan akal
yang menggabungkan induksi dan deduksi.
3. Menurut Kartono (1996, dalam Khodijah 2006:118). Berpikir ilmiah, yaitu
berpikir dalam hubungan yang luas dengan pengertian yang lebih komplek
disertai pembuktian-pembuktian.
4. Menurut Eman Sulaeman. Berfikir ilmiah merupakan proses
berfikir/pengembangan pikiran yang tersusun secara sistematis yang
berdasarkan pengetahuan-pengetahuan ilmiah yang sudah ada.
Ilmu pengetahuan telah didefenisikan dengan beberapa cara dan defenisi untuk
operasional. Berfikir secara ilmiah adalah upaya untuk menemukan kenyataan
dan ide yang belum diketahui sebelumnya. Ilmu merupakan proses kegiatan
mencari pengetahuan melalui pengamatan berdasarkan teori dan atau
generalisasi. Ilmu berusaha memahami alam sebagaimana adanya dan
selanjutnya hasil kegiatan keilmuan merupakan alat untuk meramalkan dan
41
Pengalaman.
Otoritas .
Berfikir merupakan ciri utama bagi manusia. Berfikir disebut juga sebagai
proses bekerjanya akal. Secara garis besar berfikir dapat dibedakan antara
berfikir alamiah dan berfikir ilmiah. Berfikir alamiah adalah pola penalaran yang
berdasarkan kehidupan sehari-hari dari pengaruh alam sekelilingnya. Berfikir
ilmiah adalah pola penalaran berdasarkan sarana tertentu secara teratur dan
cermat. Harus disadari bahwa tiap orang mempunyai kebutuhan untuk berpikir
serta menggunakan akalnya semaksimal mungkin
Seseorang yang tidak berpikir berada sangat jauh dari kebenaran dan
menjalani sebuah kehidupan yang penuh kepalsuan dan kesesatan.
Akibatnya ia tidak akan mengetahui tujuan penciptaan alam, dan arti
keberadaan dirinya di dunia. Banyak yang beranggapan bahwa untuk berpikir
secara mendalam, seseorang perlu memegang kepala dengan kedua telapak
tangannya, dan menyendiri di sebuah ruangan yang sunyi, jauh dari keramaian
dan segala urusan yang ada. Sungguh, mereka telah menganggap berpikir
secara mendalam sebagai sesuatu yang memberatkan dan menyusahkan.
Mereka berkesimpulan bahwa pekerjaan ini hanyalah untuk kalangan filosof.
Bagi seorang ilmuan penguasaan sarana berfikir ilmiah merupakan suatu
keharusan, karena tanpa adanya penguasaan sarana ilmiah, maka tidak akan
dapat melaksanakan kegiatan ilmiah dengan baik. Sarana ilmiah pada
dasarnya merupakan alat untuk membantu kegiatan ilmiah dengan berbagai
langkah yang harus ditempuh.
Sarana berfikir ilmiah pada dasarnya ada tiga, yaitu : bahasa ilmiah, logika dan
matematika, logika dan statistika. Bahasa ilmiah berfungsi sebagai alat
komunikasi untuk menyampaikan jalan fikiran seluruh proses berfikir ilmiah.
Logika dan matematika mempunyai peranan penting dalam berfikir deduktif
sehingga mudah diikuti dan mudah dilacak kembali kebenarannya. Sedang
logika dan statistika mempunyai peranan penting dalam berfikir induktif dan
mencari konsep-konsep yang berlaku umum
Fungsi berfikir ilmiah , sebagai alat bantu untuk mencapai tujuan dalam kaitan
kegiatan ilmiah secara keseluruhan. Dalam hal ini berpikir ilmiah merupakan
alat bagi cabang-cabang ilmu untuk mengembangkan materi pengetahuaannya
berdasarkan metode ilmiah.
Karenanya tidak salah jika Tuhan menyatakan manusialah yang memiliki peran
sebagai wakil. Tuhan dibumi, melalui penciptaan kebudayaan. Proses
penciptaaan kebudayaan dan pengetahuan yang didapatkan oleh manusia di
mulai dari sebuah proses yang paling dasar, yakni kemampuan manusia untuk
berfikir. Meskipun sebenarnya hewan memiliki kemampuan yang sama dengan
manusia dalam hal berfikir, tetapi makhluk yang terakhir hanya dapat berfikir
dengan kemampuan terbatas pada instink dan demi kelangsungan hidupnya.
Berbeda dengan hewan, manusia dalam proses berfikir melampaui diri dan
kelangsungan hidupnya, bahkan hingga menghadirkan kebudayaan dan
peradaban yang menakjubkan. Sesuatu yang nyata-nyata tidak dapat dilakukan
oleh makhluk Tuhan yang lain.
Selain berfikir ilmiah, terdapat dua contoh lain dimana sebuah kegiatan berfikir
tidak dapat disebut sebagai penalaran. Keduanya adalah berfikir dengan
intuisi dan berfikir berdasarkan wahyu. Intuisi adalah kegiatan berfikir manusia,
yang melibatkan pengalaman langsung dalam mendapatkan suatu
pengetahuan. Namun, intuisi tidak memiliki pola fikir tertentu, sehingga ia tidak
dapat dikategorikan sebagai kegiatan penalaran. Sebagai misal, seorang Ayah
merasa tidak tenang dengan kondisi anaknya yang sedang menuntut ilmu di
luar kota. Tetapi ketika ditanyakan apa sebab yang menjadi dasar
44
1. Ukuran kebenaran
Berfikir ilmiah mendasarkan ukuran kebenarannya pada logis dan analitisnya
suatu pengetahuan, sedangkan berfikir non-ilmiah (intuisi dan wahyu)
mendasarkan kebenaran suatu pengetahuan pada keyakinan semata.
Bahasa memegang peran penting dan suatu hal yang lazim dalam kehidupan
manusia. Kelaziman tersebut membuat manusia jarang memperhatiakan
bahasa dan menggapnya sebagai suatu hal yang bisa, seperti bernafas dan
berjalan. Padahal bahasa mempunyai pengaruh-pengaruh yang luar biasa dan
termasuk yang membedakan manusia dari ciptaan lainnya. Banyak ahli
46
Bahasa adalah unsur yang berpadu dengan unsur-unsur lain di dalam jaringan
kebudayaan. Pada waktu yang sama bahasa merupakan sarana
pengungkapan nilai-nilai budaya, pikiran, dan nilai-nilai kehidupan
kemasyarakatan. Oleh karena itu, kebijaksanaan nasional yang tegas di dalam
bidang kebahasaan harus merupakan bagian yang integral dari kebijaksanaan
nasional yang tegas di dalam bidang kebudayaan. Perkembangan kebudayaan
Indonesia ke arah peradaban modern sejalan dengan kemajuan dan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menuntut adanya
perkembangan cara berpikir yang ditandai oleh kecermatan, ketepatan, dan
kesanggupan menyatakan isi pikiran secara eksplisit.
Berpikir dan mengungkapkan isi pikiran ini harus dipenuhi oleh bahasa
Indonesia sebagai sarana komunikasi dan sebagai sarana berpikir ilmiah dalam
hubungan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta
modernisasi masyarakat Indonesia. Selain itu, mutu dan kemampuan bahasa
Indonesia sebagai sarana komunikasi keagamaan perlu pula
ditingkatkan. Bahasa Indonesia harus dibina dan dikembangkan
sedemikian rupa sehingga ia memiliki kesanggupan menyatakan dengan
tegas, jelas, dan eksplisit konsep-konsep yang rumit dan abstrak.
Para ahli filsafat bahasa dan psikolinguitik melihat fungsi bahasa sebagai
sarana untuk menyampaikan pikiran, perasaan, dan emosi. Sedangkan aliran
sisiolinguistik berpendapat bahwa fungsi bahasa adalah sarana untuk
perubahan masyarakat. Walaupun terdapat perbedaan tetapi pendapat ini
saling melengkapi satu sama lainnya. Secara umum dapat dinyatakan bahwa
fungsi bahasa adalah :
1. Bahasa alamiah antara kata dan makna merupakan satu kesatuan utuh, atas
dasar kebiasaan sehari-hari, karena bahasanya secara spontan, bersifat
kebiasaan, intuitif (bisikan hati) dan pernyataan langsung.
2. Bahasa buatan antara istilah dan konsep merupakan satu kesatuan bersifat
relatif, atas dasar pemikiran akal karena bahasanya berdasarkan pemikiran,
sekehendak hati, diskursif (logika, luas arti) dan pernyataan tidak langsung.
Dari uraian diatas tentang bahasa, bahasa buatan inilah yang dimaksudkan
bahasa ilmiah. Dengan demikian bahasa ilmiah dapat dirumuskan, bahasa
buatan yang diciptakan para ahli dalam bidangnya dengan mengunakan istilah-
istilah atau lambang-lambang untuk mewakili pengertian-pengertian tertentu.
Dan bahasa ilmiah inilah pada dasarnya merupakan kalimat-kalimat deklaratif
atau suatu pernyataan yang dapat dinilai benar atau salah, baik mengunakan
bahasa biasa sebagai bahasa pengantar untuk mengkomunikasikan karya
ilmiah.
Matematika memiliki struktur dengan keterkaitan yang kuat dan jelas satu
dengan lainnya serta berpola pikir yang bersifat deduktif dan konsisten.
Matematika merupakan alat yang dapat memperjelas dan menyederhanakan
suatu keadaan atau situasi melalui abstraksi, idealisasi, atau generalisasi untuk
suatu studi ataupun pemecahan masalah. Pentingnya matematika tidak lepas
dari perannya dalam segala jenis dimensi kehidupan. Mengkomunikasikan
gagasan dengan bahasa matematika justru lebih praktis, sistematis, dan
efisien. Begitu pentingnya matematika sehingga bahasa matematika
51
1. Menggunakan algoritma.
2. Melakukan manupulasi secara matematika.
3. Mengorganisasikan data.
4. Memanfaatkan symbol, table dan grafik.
5. Mengenal dan menenukan pola.
6. Menarik kesimpulan.
7. Membuat kalimat atau model matematika.
8. Membuat interpretasi bangun geometri.
9. Memahami pengukuran dan satuanya.
10. Menggunakan alat hitung dan alat bantu lainya dalam matematika, seperti tabel
matematika, kalkulator, dan komputer.
pada asas yang sangat sederhana, yakni makin besar contoh yang diambil
maka makin tinggi tingkat ketelitian tersebut dan sebaliknya
1. Menurut Anas Sudiono dalam bakhtiar, 2010, 198, secara etimologi kata
statistik berasal dari kata status (bahasa latin) yang mempunyai persamaan arti
dengan state (bahasa Inggris) yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan
dengan negara. Pada mulanya kata statistik diartikan sebagai kumpulan bahan
keterangan (data), baik yang berwujud angka (data kuantitatif) maupun yang
tidak berwujud angka (data kualitatif), yang mempunyai arti penting dan
kegunaan bagi suatu negara. Namun pada perkembangan selanjutnya, arti
kata statistik hanya dibatasi dengan kumpulan bahan keterangan yang
berwujud angka data kuantitatif saja.
2. Sedangkan menurut (Sudjana 1996 : 3) Statistika adalah pengetahuan yang
berhubungan dengan cara-cara pengumpulan data, pengelolaan atau
penganalisiannya dan penarikan kesimpulan berdasarkan kumpulan data dan
penganalisisan yang dilakukan.
1. Alat untuk menghitung besarnya anggota sampel yang akan diambil dari
populas.
2. Alat untuk menguji validitas dan reliabilitas instrumen..
3. Teknik untuk menyajikan data-data, sehingga data lebih komunikatif.
4. Alat untuk analisis data seperti menguji hipotesis penelitian yang diajukan.
53
PENUTUP
Berfikir merupakan ciri utama bagi manusia. Berfikir disebut juga sebagai
proses bekerjanya akal. Secara garis besar berfikir dapat dibedakan antara
berfikir alamiah dan berfikir ilmiah. Berfikir alamiah adalah pola penalaran yang
berdasarkan kehidupan sehari-hari dari pengaruh alam sekelilingnya.
Sedangkan berfikir ilmiah adalah pola penalaran berdasarkan sarana tertentu
secara teratur dan cermat. Adapun salah satu pendapat dari para ahli
mendefinisikan atau berpendapat bahwa berfikir ilmiah adalah berfikir yang
logis dan empiris. Logis masuk akal, empiris dibahas secara mendalam
berdasarkan fakta yang dapat dipertanggung jawabkan . Sarana berfikir ilmiah
pada dasarnya ada tiga (3) yaitu : Bahasa sebagai sarana berfikir ilmiah,
Matematika sebagai sarana berfikir ilmiah,dan Statistika sebagai sarana befikir
ilmiah.
DAFTAR PUSTAKA
PENDAHULUAN
A. Metode Ilmiah
2. Penelitian Ilmiah
b. Logis, Suatu penelitian dikatakan benar bila dapat diterima akal dan
berdasarkan fakta empirik. Pencarian kebenaran harus berlangsung menurut
prosedur atau kaidah bekerjanya akal, yaitu logika. Prosedur penalaran yang
dipakai bisa prosedur induktif yaitu cara berpikir untuk menarik kesimpulan
umum dari berbagai kasus individual (khusus) atau prosedur deduktif yaitu cara
berpikir untuk menarik kesimpulan yang bersifat khusus dari pernyataan yang
bersifat umum.
c. Empirik, artinya suatu penelitian biasanya didasarkan pada pengalaman
sehari-hari (fakta aposteriori, yaitu fakta dari kesan indra) yang ditemukan atau
melalui hasil coba-coba yang kemudian diangkat sebagai hasil penelitian.
d. Obyektif, artinya suatu penelitian menjahui aspek-aspek subyektif yaitu
tidak mencampurkannya dengan nilai-nilai etis.
e. Replikatif, artinya suatu penelitian yang pernah dilakukan harus diuji
kembali oleh peneliti lain dan harus memberikan hasil yang sama bila dilakukan
dengan metode, kriteria, dan kondisi yang sama. Agar bersifat replikatif,
penyusunan definisi operasional variabel menjadi langkah penting bagi seorang
peneliti.[7]
3. Jenis-Jenis Penelitian Ilmiah
B. Kebenaran Ilmiah
1. Pengertian Kebenaran
Kebenaran tertuang dalam ungkapan-ungkapan yang dianggap benar,
misalnya hukum-hukum, teori-teori, ataupun rumus-rumus filasafat, juga
kenyataan yang dikenal dan diungkapkan. Mereka muncul dan berkembang
maju sampai pada taraf kesadaran dalam diri pengenal dan masyarakat
pengenal.[8]
60
Akan tetapi teori korespondensi ini bukan juga termasuk teori yang
sempurna tanpa kelemahan, karena dengan mensyarakatkan kebenaran harus
sesuai dengan kenyataan, maka dibutuhkan penginderaan yang akurat, nah
bagaimana dengan penginderan yang kurang cermat atau bahkan indra tidak
normal lagi? Disamping itu juga bagaimana dengan objek yang tidak dapat
diindra atau non empiris? Maka dengan teori korespondensi objek non empiris
tidak dapat dikaji kebenarannya.
Kebenaran ilmiah pada akhirnya tidak bisa dibuat dalam suatu standard
yang berlaku bagi semua jenis ilmu secara paksa, hal ini terjadi karena adanya
banyak jenis dalam pengetahuan. Walaupun ilmu bervariasi disebabkan
karena beragamnya objek dan metode, namun ia secara umum bertujuan
mencapai kebenaran yang objektif, dihasilkan melalui konsensus. Kebenaran
ilmu yang demikian tetap mempunyai sifat probabel, tentatif, evolutif, bahkan
relatif, dan tidak pernah mencapai kesempurnaan, hal ini terjadi karena ilmu
diusahakan oleh manusia dan komunitas sosialnya yang selalu berkembang
kemampuan akal budinya.
PENUTUP
1. Metode Ilmiah merupakan suatu cara sistematis yang digunakan oleh para
ilmuwan untuk memecahkan masalah yang dihadapi.Metode ini menggunakan
langkah-langkah yang sistematis, teratur dan terkontrol. Supaya suatu metode
yang digunakan dalam penelitian disebut metode ilmiahesuai dengan tujuan
dan fungsinya. Penelitian yang dilakukan dengan metode ilmiah disebut
penelitian ilmiah. Suatu penelitian harus memenuhi beberapa karakteristik
untuk dapat dikatakan sebagai penelitian ilmiah
69
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, H.M. 1997 Kebenaran Ilmiah dalam: Filsafat Ilmu Sebagai Dasar
Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Intan Pariwara, Yogyakarta,
Al-Thoumy Al-Syaibany, Omar Mohammad,1979, Prof.Dr., Falsafah Pendidikan
Islam, Jakarta, Bulan Bintang, cet-1.
Arikunto, Suharsini, Prof.Dr.,2006, Prosedur Penelitian Suatu pendekatan
Praktik, Jakarta, Rineka Cipta.
Bertrand Russel, 2007, Sejarah Filsafat Barat, Yogyakarta, Pustaka Pelajar,
cet-3.
Keraf ,Sonny dan Mikhael Dua,2002, Ilmu Pengetahuan: Sebuah Tinjauan
Epistemologis, Kanisiusn Jakarta
Miarso, Yusuf Hadi, Prof. Dr.,2004, Menyemai Benih Pendidikan, Jakarta,
Pustekom Diknas.
Mulyana, Rohmat , Dr., 2004, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai, Bandung,
Alfabeta, cet-2
Sudarto, Drs. M.Hum, 2002, Metodologi Penelitian Filsafat, Jakarta, Raja
Grafindo Persada, Cet. 3.
Sukmadinata, Nana Syaodih, Prof. Dr., Metode Penelitian
Pendidikan, Bandung, Remaja Rosdakarya dan Pasca Sarjana UPI.
Suriasumantri, Jujun.S.,2010, Filsafat Ilmu sebuah pengantar Populer, Jakarta,
Pustaka Sinar Harapan, cet.22.
Suryabrata, Sumardi, Drs.BA,MA,Ed.S.,Ph.D, 2010, Metodologi Penelitian,
Raja Grafindo Persada.
Tafsir, Ahmad, Prof. Dr, 2009, Filasafat Ilmu, Bandung, Remaja Rosdakarya
Tafsir , Ahmad, Dr., 1995, Epistemologi untuk ilmu pendidikan Islam, Bandung,
Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Gunung Djati.
Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia
Pasca Sarjana UIN SGD Bandung, 2010, Pedoman Penulisan Tesis dan
Disertasi
Wahyudi, Imam, 2004, Refleksi Tentang Kebenaran Ilmu dalam Jurnal
Filsafat, Desember, Jilid 38, Nomor 3,
70
PENDAHULUAN
A. Ontologi
71
Ontologi dalam filsafat ilmu mempelajari hakikat apa atau objek apa yang
dipelajari oleh ilmu. Pertanyaan itu kemudian diuraikan lagi menjadi Bagaimana
wujud hakiki dari objek tersebut? Dan bagaimana hubungan objek tadi dengan
daya tangkap manusia. Sedangkan dari segi istilah ontologi berarti studi yang
membahas sesuatu yang ada.
Objek telaah ontologi adalah yang ada. Studi tentang yang ada, pada dataran
studi filsafat pada umumnya di lakukan oleh filsafat metaphisika. Istilah ontologi
banyak di gunakan ketika kita membahas yang ada dalam konteks filsafat ilmu.
Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan
tertentu. Ontologi membahas tentang yang ada yang universal, menampilkan
pemikiran semesta universal. Ontologi berupaya mencari inti yang termuat
dalam setiap kenyataan, atau dalam rumusan Lorens Bagus; menjelaskan yang
ada yang meliputi semua realitas dalam semua bentuknya.
1. Objek Formal
B. Epistemologi
Manusia tidak lah memiliki pengetahuan yang sejati, maka dari itu kita dapat
mengajukan pertanyaan bagaimanakah caranya kita memperoleh
pengetahuan?[3]
a. Empirisme
b. Rasionalisme
c. Fenomenalisme
Bagi Kant para penganut empirisme benar bila berpendapat bahwa semua
pengetahuan di dasarkan pada pengalaman-meskipun benar hanya untuk
75
d. Intusionisme
C. Aksiologi
Jadi pada dasarnya apa yang menjadi kajian dalam bidang ontologi ini
adalah berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan; untuk apa pengetahuan
yang berupa ilmu itu di pergunakan? Bagaimana kaitan antara cara
penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan
objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan
antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah
dengan norma-norma moral/professional?[4]
PENUTUP
1. Ontologis; cabang ini menguak tentang objek apa yang di telaah ilmu?
Bagaimana ujud yang hakiki dari objek tersebut ? bagaimana hubungan
antara objek tadi dengan daya tangkap manusia (sepert berpikir, merasa
dan mengindera) yang membuakan pengetahuan?.
DAFTAR PUSTAKA
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Ilmu dan moral, tanggung jawab sosial, serta revolusi genetika adalah hal yang
saling berhubungan. Terdapat beberapa pertanyaan yang menggelitik, pertama
benarkah makin cerdas, maka makin pandai kita menemukan kebenaran,
makin benar maka makin baik pula perbuatan kita? Apakah manusia dengan
penalaran tinggi lalu makin berbudi atau sebaliknya makin cerdas maka makin
pandai pula kita berdusta? Melalui makalah ini akan diuraikan mengenai ilmu
dan moral, tanggung jawab sosial ilmuwan dan revolusi genetika.
2. Pengertian Aksiologi
Menurut bahasa Yunani, aksiologi berasal dari perkataan axios yang berarti
nilai dan logos berarti teori. Jadi aksiologi adalah teori tentang nilai. Menurut
Suriasumantri dalam bukunya, aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan
dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh (Suriasumantri, 1998 :
234). Menurut kamus Bahasa Indonesia (1995 : 19) aksiologi adalah kegunaan
ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia, kajian tentang nilai-nilai khususnya
etika. Dalam definisi yang hampir serupa bahwa aksiologi ilmu pengetahuan
80
3. Pengertian ilmu
kata ilmu dalam bahasa Arab ilm yang berarti memahami, mengerti, atau
mengetahui. Dalam kaitan penyerapan katanya, ilmu pengetahuan dapat
berarti memahami suatu pengetahuan (http://id.wikipedia.org/wiki/ilmu).
Istilah ilmu pengetahuan diambil dari kata bahasa Inggris science, yang berasal
dari bahasa Latin scientia dari bentuk kata kerja scire yang berarti mempelajari
, mengetahui. The Liang Gie (1987) memberikan pengertian ilmu adalah
rangkaian aktivitas penelaahan yang mencari penjelasan suatu metode untuk
memperoleh pemahaman secara rasional empiris mengenai dunia ini dalam
berbagai seginya, dan keseluruhan pengetahuan sistematis yang menjelaskan
berbagai gejala yang ingin dimengerti manusia (Ihsan, 2010:108).
4. Pengertian Moral
Moral berasal dari kata Latin mos jamaknya mores yang berarti adat atau cara
hidup. Etika dan moral sama artinya, tetapi dalam penilaian sehari-hari ada
sedikit perbedaan. Moral dan atau moralitas dipakai untuk perbuatan yang
sedang dinilai. Adapun etika dipakai untuk pengkajian sistem nilai yang ada
(Surajiyo, 2009:147).
Kata moral juga dalam bahasa Yunani sama dengan ethos yang melahirkan
etika. Sebagai cabang filsafat, etika sangat menekankan pendekatan yang kritis
dalam melihat nilai (takaran, harga, angka kepandaian, kadar/mutu, sifat-sifat
yang penting/berguna) dan moral tersebut serta permasalahan-permasalahan
yang timbul dalam kaitan dengan nilai dan moral itu (Ihsan, 2010:271).
Sumber langsung ajaran moral adalah pelbagai orang dalam kedudukan yang
berwenang seperti orangtua dan guru, para pemuka masyarakat dan agama,
serta tulisan para bijak. Etika bukan sumber tambahan bagi ajaran moral, tetapi
filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran dan pandangan
moral. Etika adalah sebuah ilmu dan bukan sebuah ajaran. Jadi, etika dan
ajaran moral tidak berada ditingkat yang sama (Surajiyo, 2009:147).
Dalam hal ini tugas ilmuwan adalah menemukan pengetahuan dan terserah
kepada orang lain untuk mempergunakannya. Golongan kedua berpendapat
bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik
keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya, bahkan pemilihan obyek
penelitian, maka kegiatan keilmuan harus berlandaskan asas-asas moral.
Tahap tertinggi dalam kebudayaan moral manusia, ujar Charles Darwin, adalah
ketika kita menyadari bahwa kita seyogyanya mengontrol pikiran kita
(Suriasumantri, 2000:235).
Jadi jelaslah bahwa Ilmu dan moral memiliki keterkaitan yang sangat kuat.
Seperti yang telah diutarakan diatas bahwa ilmu bisa menjadi malapetaka
kemanusiaan jika seseorang memanfaatkannya tidak bermoral atau paling
tidak mengindahkan nilai-nilai moral yang ada. Tetapi, sebaliknya ilmu akan
menjadi rahmat bagi kehidupan manusia jika dimanfaatkan secara benar dan
tepat serta mengindahkan aspek moral. Dengan demikian kekuasaan ilmu ini
mengharuskan seorang ilmuwan memiliki landasan moral yang kuat. Tanpa
landasan dan pemahaman terhadap nilai-nilai moral, seorang ilmuwan bisa
menjadi monster yang setiap saat bisa menerkam manusia, artinya bencana
kemanusian bisa setiap saat terjadi. Kejahatan yang dilakukan oleh orang yang
berilmu itu jauh lebih jahat dan membahayakan dibandingkan dengan
kejahatan orang yang tidak berilmu.
Di bidang etika tanggung jawab sosial seorang ilmuwan bukan lagi memberi
informasi namun memberi contoh. Dia harus tampil didepan bagaimana
caranya bersifat objektif, terbuka, menerima kritik, menerima pendapat orang
lain, kukuh dalam pendirian yang dianggapnya benar dan berani mengakui
kesalahan. Semua sifat ini beserta sifat lainnya merupakan implikasi etis dari
proses penemuan kebenaran secara ilmiah.
85
Salah satu sendi masyarakat modern adalah ilmu dan teknologi. Inilah
merupakan tanggung jawab sosial seorang ilmuwan. Seorang ilmuwan secara
moral tidak akan membiarkan hasil penemuannya dipergunakan untuk
menindas bangsa lain meskipun yang mempergunakannya itu adalah
bangsanya sendiri. Seorang ilmuwan tidak boleh berpangku tangan, dia harus
memilih sikap, berpihak kepada kemanusiaan. Pilihan moral memang
terkadang getir sebab tidak bersifat hitam di atas putih. Seorang ilmuwan tidak
boleh menyembunyikan hasil penemuannya itu, apapun juga bentuknya dari
masyarakat luas serta apapun juga konsekuensi yang akan terjadi dari
penemuannya itu. Seorang ilmuwan tidak boleh memutar balikkan temuannya
jika hipotesis yang dijunjung tinggi tersusun atas kerangka pemikiran yang
terpengaruh preferensi moral ternyata hancur berantakan karena bertentangan
dengan fakta-fakta pengujian.
ada penelaahan ilmiah yang berkaitan dengan jasad manusia, tentu sudah
banyak sekali, namun penelaahan-penelaahan ini dimaksudkan untuk
mengembangkan ilmu dan teknologi, dan tidak membidik secara langsung
manusia sebagai obyek penelaahan. Artinya, jika kita mengadakan penelaahan
mengenai jantung manusia, maka hal ini dimaksudkan untuk mengembangkan
ilmu dan teknologi yang berkaitan dengan penyakit jantung. Atau dengan
perkataan lain, upaya kita diarahkan dalam mengembangkan pengetahuan
yang memungkinkan kita dapat mengetahui segenap proses yang berkaitan
dengan jantung, dan di atas pengetahuan itu dikembangkan teknologi yang
berupa alat yang memberi kemudahan bagi kita untuk menghadapi gangguan-
gangguan jantung. Dengan penelitian genetika maka masalahnya menjadi
sangat lain, kita tidak lagi menelaah organ-organ manusia dalam upaya untuk
menciptakan teknologi yang memberikan kemudahan bagi kita, melainkan
manusia itu sendiri sekarang menjadi objek penelaahan yang akan
menghasilkan bukan lagi teknologi yang memberikan kemudahan, melainkan
teknologi untuk mengubah manusia itu sendiri.
Berkaitan dengan pertanyaan diatas dimana kaitan ilmu dengan moral, nilai
yang menjadi acuan seorang ilmuan, dan tanggung jawab sosial ilmuan telah
menempatkan aksiologi ilmu pada posisi yang sangat penting karena itu salah
87
Sebagaimana Etika, ilmu tak bebas dari pengaruh tata nilai. Kenneth
Boulding (Wilardo, 1997: 241) mengatakan bahwa sebagian besar
dari keberhasilan masyarakat keilmuan dalam memajukan pengetahuan adalah
berkat tat nilainya, yang menempatkan pengabdian yang obyektif terhadap
kebenaran di jenjang yang paling luhur, dan kepadanya baik harga diri
perseorangan maupun kebanggaan nasional harus ditelutkan (Wilardo, 1997:
241).
selalu merupakan minat utama dari semua ikhtiar teknis, perhatian kepada
masalah besar yang tak kunjung terpecahkan darui pengaturan kerja dan
pemerataan benda agar buah ciptaan dari pemikiran kita akan merupakan
berkah dan bukan kutukan terhadap kemanusiaan" (Einstein, 1997: 248-
249).
Nilai dan tanggung jawab moral terhadap iptek, tentu saja menjadi satu
keharusan yang semestinya dimiliki. Tragedi lakon "Frankeisten", yang
mengisahkan egoisme seorang ilmuwan untuk menciptakan makhluk
"manusia baru" dari jenazah pesakitan tanpa mengindahkan norma dan
etika seorang ilmuwan, pada akhirnya menciptakan bumerang bagi dirinya
sendiri. "Makhluk ciptaan" ilmuwan tadi kemudian membunuh "sang
penciptanya" itu sendiri, yaitu sang ilmuwan egois tadi. Hal ini sejalan dengan
apa yang selalu diperingatkan Einstein (1950) tentang bahaya penggunaan
teknologi nuklir. Ia dengan pedasnya mengecam penerapan dan
penyalahgunaan senjata nuklir.
Hanya dengan bersikap penuh tanggung jawab etis terhadap masyarakat (baik
masyarakat dewasa ini maupun angkatan-angkatan yang akan datang) ilmu
dapat menghindaarkan dirinya dari kehilangan hak istimewanya untuk
91
PENUTUP
Dari penyajian makalah tentang ilmu dan moral, tanggung jawab sosial ilmuwan
dan revolusi genetika dapat kami tarik kesimpulan bahwa :
DAFTAR PUSTAKA