PENDAHULUAN
1
BAB II
UREMIC ENCEPHALOPATHY
II.1 Definisi
Uremic encephalopathy (UE) adalah kelainan otak organik akut maupun
subakut yang terjadi pada pasien dengan gagal ginjal akut maupun kronik.
Biasanya dengan nilai kadar Creatinine Clearance menurun dan tetap di bawah 15
mL/mnt. Sebutan uremic encephalopathy sendiri memiliki arti gejala neurologis
non spesifik pada uremia. 2,3
Uremic encephalopathy merupakan salah satu bentuk dari ensefalopati
metabolik. Ensefalopati metabolik merupakan suatu kondisi disfungsi otak yang
global yang menyebabkan terjadi perubahan kesadaran, perubahan tingkah laku
dan kejang yang disebabkan oleh kelainan pada otak maupun diluar otak.
Ensefalopati Metabolik adalah pengertian umum keadaan klinis yang
ditandai dengan:
1. Penurunan kesadaran sedang sampai berat
2. Gangguan neuropsikiatrik : kejang, lateralisasi
3. Kelainan fungsi neurotransmitter otak
4. Tanpa di sertai tanda tanda infeksi bacterial yang jelas
Urea berasal dari hasil katabolisme protein. Protein dari makanan akan
mengalami perombakan di saluran pencernaan (duodenum) menjadi molekul
sederhana yaitu asam amino. Selain asam amino, hasil perombakan protein juga
menghasilkan senyawa yang mengandung unsur nitrogen (N), yaitu amonia
(NH3). Asam amino tersebut merupakan produk dari perombakan protein yang
dapat dimanfaatkan oleh tubuh. Sedangkan amonia merupakan senyawa toksik
yang bersifat basa dan akan mengalami proses detoksifikasi di hati menjadi
senyawa yang tidak toksik, yaitu urea melalui siklus urea. Selain itu, urea juga
disintesis di hati melalui siklus urea yang berasal dari oksidasi asam amino. Pada
siklus urea, kelompok asam amino (amonia dan L-aspartat) akan diubah menjadi
urea. Produksi urea di hati diatur oleh N-acetylglutamate. Urea kemudian
2
mempunyai sifat yang mudah berdifusi dalam darah dan diekskresi melalui ginjal
sebagai komponen urin, serta sejumlah kecil urea diekskresikan melalui keringat.
Sedangkan uremia adalah suatu sindrom klinis yang berhubungan dengan
ketidakseimbangan cairan, elektrolit dan hormon serta abnormalitas metabolik
yang berkembang secara paralel dengan menurunnya fungsi ginjal. Uremia sendiri
berarti ureum di dalam darah.
Uremia lebih sering terjadi pada chronic kidney disease (CKD), tetapi
dapat juga terjadi pada acute renal failure (ARF) jika penurunan fungsi ginjal
terjadi secara cepat. Hingga sekarang, belum ditemukan satu toksin uremik yang
ditetapkan sebagai penyebab segala manifestasi klinik pada uremia. 1
3
II.2 Epidemiologi
Prevalensi internasional tidak diketahui. Di Amerika Serikat, prevalensi
UE sulit ditentukan. UE dapat terjadi pada pasien manapun dengan end-stage
renal disease (ESRD),dan secara langsung tergantung pada jumlah pasien
tersebut. Pada 1990an, lebih dari 165,000 orang diobati untuk ESRD. Pada tahun
1970an, jumlahnya 40,000. Dengan bertambahnya jumlah pasien dengan ESRD,
diasumsikan jumlah kasus UE juga bertambah.4
4
Usia
Pasien pada berbagai usia dapat mengalami gagal ginjal, namun lebih
progresif pada usia lanjut, yaitu pasien di atas 65 tahun.4
II.3 Patofisiologi
Patofisiologi dari UE belum diketahui secara jelas. Urea menembus sawar
darah otak melalui sel endotel dari kapiler otak. Urea sendiri tidak bisa dijadikan
satu-satunya penyebab dalam terjadinya ensefalopati, karena jumlah ureum dan
kreatinin tidak berhubungan dengan tingkat penurunan kesadaran ataupun adanya
asterixis dan myoclonus.5
Perubahan yang ditemukan pada mayat pasien dengan chronic kidney
disease biasanya ringan, tidak spesifik dan lebih berhubungan dengan penyakit
yang menyertainya. Jumlah kalsium pada korteks serebri hampir dua kali lipat
dari nilai normal. Peningkatan jumlah kalsium ini mungkin diperantarai oleh
aktivitas hormon Paratiroid. Hal ini didukung oleh hasil penelitian pada anjing
yang mengalami gagal ginjal akut maupun kronik, EEG dan abnormalitas kalsium
dapat dicegah dengan dilakukannya paratiroidektomi. Pada manusia dengan gagal
ginjal, EEG dan gangguan psikologik juga dapat membaik dengan
paratiroidektomi.6
Pada gangguan ginjal, metabolisme otak menurun sehingga menyebabkan
rendahnya konsumsi oksigen serebri. Perubahan tersebut akan mengakibatkan
penurunan dari konsentrasi phospat berenergi tinggi. Penjelasan yang
memungkinkan pada perubahan ini adalah reduksi neurotransmitter, sehingga
menyebabkan aktivitas metabolic otak berkurang. Sodium/calcium exchanger dan
pompa kalsium ATPase mengeluarkan kalsium dari sel eksitabel dan penting
dalam menjaga gradien kalsium 10 000:1 (di luardi dalam sel). Dengan adanya
uremia, terdapat peningkatan kalsium transpor akibat PTH. Beberapa studi
menyatakan bahwa aktivitas pompa Na/K ATPase menurun pada keadaan uremik
akut maupun kronik. Karena pompa ini penting dalam pelepasan neurotransmitter
seperti biogenic amines, hal ini dapat membantu menjelaskan gangguan fungsi
sinaps dan menurunnya konsentrasi neurotransmitter yang ditemukan pada tikus
yang mengalami uremi. 6
5
Pada tahap awal UE, plasma dan LCS menunjukkan peningkatan jumlah
glisin dan glutamin serta menurunnya GABA, sehingga terjadi perubahan
metabolisme dopamin dan serotonin di dalam otak, menyebabkan gejala awal
berupa clouded sensorium. Bukti selanjutnya bahwa terdapat gangguan fungsi
sinaps yaitu adanya studi bahwa dengan memburuknya uremia, terjadi akumulasi
komponen guanidino, terutama guanidinosuccinic acid, yang meningkat pada otak
dan LCS pada gagal ginjal, memiliki efek inhibisi pada pelepasan -aminobutyric
acid (GABA) dan glisin pada binatang percobaan, juga mengaktivasi reseptor N-
methyl-D-aspartate (NMDA). Toksin ini kemungkinan menganggu pelepasan
neurotransmitter dengan cara menghambat channel klorida pada membran
neuronal. Hal ini dapat menyebabkan myoklonus dan kejang. Sebagai tambahan,
methylguanidine terbukti menghambat aktivitas pompa Na/K ATPase.6,7,8
Gambar 3. Ilustrasi efek neurotoksik dari uremia pada sistem saraf pusat
6
menyebabkan deposisi ekstraselular dari A4 protein. Secara ringkas,
patofisiologi dari UE adalah kompleks dan mungkin multifaktorial.6
Gambar 4. Asterixis
7
Jika keadaan uremia memburuk, pasien dapat jatuh dalam keadaan koma.
Jika asidosis metabolik yang mengikuti tidak dikoreksi, akan terjadi pernapasan
Kussmaul yang berubah sebelum kematian, menjadi pernapasan Cheyne-Stokes.9
II. 5 Diagnosis
Diagnosis ensefalopati uremik biasanya berdasarkan gejala klinis dan
kemajuannya setelah dilakukan terapi yang adekuat. Pemeriksaan laboratorium
pada UE antara lain darah lengkap, elektrolit, glukosa, ureum, kreatinin, fungsi
hati dan amonia. Pada UE terdapat nilai kreatinin yang tinggi. Darah lengkap
diperiksa untuk melihat adanya anemia karena dapat berperan dalam beratnya
perubahan status mental. Sementara jika ditemukan leukositosis menunjukkan
adanya proses infeksi. Elektrolit, dan glukosa diperiksa untuk menyingkirkan
penyebab ensefalopati lainnya.
Pemeriksaan lumbal pungsi dilakukan untuk menyingkirkan dugaan
infeksi. Pada ensefalopati uremik, LCS sering abnormal, kadangkala menunjukan
pleositosis ringan (biasanya <25 sel/mm3) dan meningkatnya konsentrasi protein
(biasanya <100mg/dl).
EEG biasanya abnormal, tetapi tidak spesifik namun berhubungan dengan
gejala klinis. Selain itu, EEG dapat berguna untuk menyingkirkan penyebab lain
8
dari konfusi seperti infeksi dan abnormalitas struktural. Gambaran EEG yang
sering ditemukan adalah perlambatan secara general. Ritme tetha pada frontal
yang intermiten dan paroksisimal, bilateral, high voltage gelombang delta juga
sering ditemukan. Kadangkala kompleks spike-wave bilateral atau gelombang
trifasik pada regio frontal dapat terlihat. 3,11,12
Gam
bar 5. Hasil elektroensefalografi pada pasien uremic encephalopathy, didapatkan
perlambatan general dengan gelombang delta dan theta dan spikes bilateral12
9
II.7 Penatalaksanaan
Pada penatalaksanaan uremic encephalopathy, penyakit ginjal yang terjadi
sangat penting, karena pada keadaan irreversibel dan progresif, prognosis buruk
tanpa dialisis dan transplantasi renal. UE akut ditatalaksana dengan hemodialisis
atau peritoneal dialisis, walaupun biasanya dibutuhkan waktu 1 sampai 2 hari
dibutuhkan untuk mengembalikan status mental. Kelainan kognitif dapatmenetap
meskipun setelah dialisis. Kerugian dari dialisis adalah sifat non-spesifik sehingga
dialisis juga dapat menghilangkan komponen esensial. Transplantasi ginjal juga
dapat dipertimbangkan.12
Eliminasi toksin uremik juga dipengaruhi oleh uptake intestinal dan fungsi
renal. Uptake intestinal bisa dikurangi dengan mengatur diet atau dengan
pemberian absorbent secara oral. Studi menunjukkan untuk menurunkan toksin
uremik dengan diet rendah protein, atau pemberian prebiotik.atau probiotik seperti
bifidobacterium. Menjaga sisa fungsi ginjal juga penting untuk eliminasi toksin
uremik.12
Dalam praktek klinis, obat antikonvulsan yang sering digunakan dalam
menangani kejang yang berhubungan dengan uremia adalah benzodiazepine untuk
kejang myoklonus, konvulsif atau non-konvulsif parsial kompleks atau absens;
ethosuximide, untuk status epileptikus absens; Fenobarbital, untuk status
epileptikus konvulsif.13 Sementara itu, gabapentin dapat memperburuk kejang
myoklonik pada end stage renal disease. 14
Benzodiazepin (BZD) dan Fenobarbital bekerja meningkatkan aktivitas
GABA dengan berikatan pada kompleks reseptor GABA A, sehingga
memfasilitasi GABA untuk berikatan dengan reseptor spesifiknya. Terikatnya
BZD menyebabkan peningkatan frekuensi terbukanya channel klorida,
menghasilkan hiperpolarisasi membran yang menghambat eksitasi selular.15
10
Gambar 6. Mekanisme kerja Benzodiazepine15
II.8 Prognosis
Dengan penatalaksaan yang tepat, tingkat mortalitas rendah. Dengan
pengenalan terhadap dialisis dan transplantasi ginjal, insidens dan tingkat
keparahan dari UE dapat dikurangi.
11
Beberapa pasien yang menjalani dialisis dalam waktu lama dapat
mengalami dialysis encephalopathy atau dialysis dementia. Keadaan ini subakut,
progresif dan seringkali fatal. Gejalanya antara lain disartria, apraksia, perubahan
kepribadian, psikosis, mioklonus, kejang dan demesia. Pada sebagian besar kasus,
keadaan ini dapat menyebabkan kematian dalam 6 bulan.12
BAB III
KESIMPULAN
12
menyebabkan kejang. Walaupun onset dari uremic encephalopathy seringkali
samar, diagnosis dini sangat penting dalam penatalaksanaan. Penatalaksanaan
pilihan pada uremic encephalopathy adalah dialisis karena terbukti memperbaiki
prognosis.
DAFTAR PUSTAKA
13
5. Wijdicks EFM. Neurologic complications of critical illness. Edisi 2. Oxfor
Univ Press. 2002. Hlm 175
6. Burn, D.J., Bates, D. Neurology and the kidney. J. Neurol. Neurosurg.
Psychiatry Vol.65, No.6 810-821
7. Deguchi T, Isozaki K, Yousuke K, Terasaki T, Otagiri M. Involvement of
organic anion transporters in the efflux of uremic toxins across the blood-
brain barrier. J Neurochem. Feb 2006;96(4):1051-9.
8. De Deyn PP, Vanholder R, Eloot S, et al. Guanidino compounds as uremic
(neuro)toxins. Semin Dial. Jul-Aug 2009;22(4):340-5.
9. Ropper AH, Samuels MA. Principles of neurology. Edisi 9. McGrawHill.
2009.
10. Weiner HL,Levitt LP. Buku saku neurologi. Edisi 5. Jakarta: EGC. 2006. Hlm
214.
11. Seifter JL, Samuels MA. Uremic encephalopathy and other brain disorders
associated with renal failure. Seminars in neurology/volume 31, number 2
2011. Pg 139-141.
12. Annemie Van Dijck, Wendy Van Daele and Peter Paul De Deyn (2012).
Uremic Encephalopathy, Miscellanea on Encephalopathies - A Second Look,
Dr. Radu Tanasescu (Ed.), ISBN: 978-953-51-0558-9, InTech
13. Krishnan V, Murray P. Pharmacological issues in the critically ill. Clin Chest
Med 2003;24:671-88
14. Zhang C, Glenn DG, Bell WL, O'Donovan CA. Gabapentin-induced
myoclonus in end-stage renal disease. Epilepsia 2005;46:156-8.
15. Neal MJ. At a glance: Farmakologi Medis. Edisi 5. Jakarta: Penerbit
Erlangga. 2006. Hlm 54;57
14