Anda di halaman 1dari 15

CLINICAL SCIENCE SESSION

APPENDICITIS

Disusun Oleh :
Muhamad Dony Ardiansyah 12100116197
Henny Oktavianti Wijaya 12100116248
Reni Sari Hartini 12100115104

Preseptor :
Krishna Pradananta, dr., SpB., Fina-CS

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


BAGIAN ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
RSUD AL IHSAN PROVINSI JAWA BARAT
2017
BAB I
PENDAHULUAN

I. Latar Belakang
Apendisitis adalah salah satu kasus bedah abdomen yang paling sering terjadi di dunia.

Apendektomi menjadi salah satu operasi abdomen terbanyak di dunia. Sebanyak 40% bedah

emergensi di negara barat dilakukan atas indikasi apendisitis akut.

Data dari WHO (World Health Organization) menyebutkan bahwa insiden apendisitis di

Asia dan Afrika pada tahun 2004 adalah 4,8% dan 2,6% dari total populasi penduduk. Di

Amerika Serikat, sekitar 250.000 orang telah menjalani operasi apendektomi setiap tahunnya.

Sumber lain juga menyebutkan bahwa apendisitis terjadi pada 7% populasi di Amerika Serikat,

dengan insidens 1,1 kasus per 1000 orang per tahun. Penyakit ini juga menjadi penyebab paling

umum dilakukannya bedah abdomen darurat di Amerika Serikat. Di negara lain seperti negara

Inggris, juga memiliki angka kejadian apendisitis yang cukup tinggi. Sekitar 40.000 orang masuk

rumah sakit di Inggris karena penyakit ini.


Departemen Kesehatan RI pada tahun 2006 menyebutkan bahwa apendisitis menempati

urutan keempat penyakit terbanyak di Indonesia setelah dispepsia, gastritis, duodenitis, dan

penyakit sistem cerna lain dengan jumlah pasien rawat inap sebanyak 28.040 orang. Kejadian

appendisitis di provinsi Sumatera Barat tergolong cukup tinggi. Angka kejadian apendisitis

secara umum lebih tinggi di negara-negara industri dibandingkan negara berkembang. Hal ini

disebabkan oleh kurangnya asupan serat serta tingginya asupan gula dan lemak yang dikonsumsi

oleh penduduk di negara industri tersebut. Berbeda dengan negara berkembang yang konsumsi

seratnya masih cukup tinggi sehingga angka kejadian apendisitis tidak setinggi di negara

industri.

BAB II
ANATOMI
II.2 APPENDIKS
Appendiks, yang merupakan bagian dari sekum, adalah organ rudimenter yang dangkal
dan tipis. Panjangnya berkisar antara 2,5 - 25 cm, rata-rata 6-9 cm. Letak appendix adalah di
regio iliaka kanan, pangkalnya pada sepertiga jarak antara spina iliaka anterior superior dan
umbilikus (titik McBurney).

Gambar 1. Letak Appendix

Letak ujung bebas appendix bermacam-macam, di antaranya adalah di paracolica,


retrocaecal (paling sering), preilial dan postilial, promontoric, pelvic, dan mid-inguinal.
Suplai darah appendix berasal dari arteri appendikularis yang merupakan cabang arteri
caecalis posterior, sedangkan drainase vena appendix melalui vena appendikularis ke vena
caecalis posterior. Kelenjar limfe appendix adalah limfonodi mesentrikus superior. Inervasi saraf
appendix adalah dari n. vagus untuk persarafan parasimpatis dan n. thorakalis X untuk persarafan
simpatis. Mukosa appendiks mensekresi lendir 1-2 ml per hari yang mengandung Imunoglobulin
A untuk mencegah infeksi. Hambatan aliran lendir menyebabkan appendisitis.
BAB III
APPENDISITIS

I. Definisi
Apendisitis adalah peradangan dari apendiks veriformis, dan merupakan penyebab
abdomen akut yang paling sering.

II. Epidemiologi
Data dari WHO (World Health Organization) menyebutkan bahwa insiden apendisitis di

Asia dan Afrika pada tahun 2004 adalah 4,8% dan 2,6% dari total populasi penduduk. Di

Amerika Serikat, sekitar 250.000 orang telah menjalani operasi apendektomi setiap tahunnya.

Sumber lain juga menyebutkan bahwa apendisitis terjadi pada 7% populasi di Amerika Serikat,

dengan insidens 1,1 kasus per 1000 orang per tahun. Penyakit ini juga menjadi penyebab paling

umum dilakukannya bedah abdomen darurat di Amerika Serikat. Di negara lain seperti negara

Inggris, juga memiliki angka kejadian apendisitis yang cukup tinggi. Sekitar 40.000 orang masuk

rumah sakit di Inggris karena penyakit ini (WHO, 2004; Peter, 2010).
Departemen Kesehatan RI pada tahun 2006 menyebutkan bahwa apendisitis menempati

urutan keempat penyakit terbanyak di Indonesia setelah dispepsia, gastritis, duodenitis, dan

penyakit sistem cerna lain dengan jumlah pasien rawat inap sebanyak 28.040 orang. Kejadian

appendisitis di provinsi Sumatera Barat tergolong cukup tinggi. Angka kejadian apendisitis

secara umum lebih tinggi di negara-negara industri dibandingkan negara berkembang. Hal ini

disebabkan oleh kurangnya asupan serat serta tingginya asupan gula dan lemak yang dikonsumsi

oleh penduduk di negara industri tersebut. Berbeda dengan negara berkembang yang konsumsi

seratnya masih cukup tinggi sehingga angka kejadian apendisitis tidak setinggi di negara industri

(Depkes RI, 2006; Longo et al., 2012).


Insiden apendisitis pada laki-laki dan perempuan umumnya sebanding, kecuali pada

umur 20-30 tahun sedikit lebih banyak pada laki-laki dibandingkan pada perempuan dengan
rasio 1,4 : 1. Insiden tertinggi terjadi pada umur ini. (Riwanto et al., 2010; Horn, 2011; Lindseth,

2002).

III. Etiologi
Apendisitis akut merupakan infeksi dari bakteri. Berbagai hal berperan sebagai

pencetusnya yaitu sumbatan (obstruksi) lumen appendix, hiperplasia jaringan limfoid, fekalit

(feses yang mengeras), tumor appendix, biji buah-buahan, cacing ascaris dan parasit E.

histolytica yang dapat pula menyebabkan sumbatan.

Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan rendah serat dan pengaruh

konstipasi terhadap kejadian appendicitis. Konstipasi menyebabkan peningkatan tekanan

intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional appendix dan meningkatnya

pertumbuhan flora normal kolon. Semua ini akan mempermudah timbulnya appendicitis akut

PATOGENESIS

Proximal obstruction of appendiceal lumen

Closed-loop obstruction

Sekresi mukus oleh kelenjar mukosa pada appendix terus berlanjut tanpa bisa dikeluarkan karena
ada obstruksi
(luminal cavity of normal appendix = 0,1 mL)

Distention intraluminal pressure sampai 60 cmH2O

Stimulasi nerve peristaltic pressure organ


ending of visceral stimulation venous pressure
afferent stretch fiber
cramping capillaries and venules occluded
vague, dull, diffuse tapi arteriolar flow continues
pain in mid abdomen
or lower epigastrium engorgement and vascular
sekresi + bacterial congestion
mukosa invasion
proses inflammasi:
distention meliputi serosa dan
parietal peritoneum
nausea, vomit, severe pain
shift in pain to RLQ,
terjadi infarct juga

kalau progress: perforation

Patofisiologi

Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh hyperplasia


folikel limfoid, fekalit,benda asing, striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya, atau
neoplasma.
Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan.
Makin lama mucus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai
keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat
tersebut akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan
ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri
epigastrium.
Bila sekresi mucus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan
menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding.
Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan
nyeri di daerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif akut
Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti
dnegan gangrene. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah
rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi.
Bila semua proses di atas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan
bergerak ke arah apendiks hingga timbul suatu massa lokal yang disebut infiltrat apendikularis.
Peradangan apendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang.
Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan apendiks lebih panjang, dinding
apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang
memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua perforasi mudah terjadi karena
telah ada gangguan pembuluh darah.
Bagan 1. Patogenesis appendicitis akut fokal

Bagan 2. Appendicitis supuratif akut

Bagan 3. Patogenesis appendicitis perforasi

MORPHOLOGY PADA PEMERIKSAAN HISTOPATHOLOGY


1. Early acute appendicitis:

- earliest stage.

- Terdapat eksudat netrofil yang jarang pada lapisan mukosa, submukosa dan

muscularis propria.

- Pembuluh darah menjadi kongesti pada lapisan subserosa.

- Infiltrasi perivascular netrofilik yang sedang.

- Reaksi inflammasi merubah lapisan serosa menjadi dull, granular, dan memiliki

membran berwarna merah.

2. Acute suppurative appendicitis:

- latter stage.

- Banyak terdapat eksudat netrofilik yang menghasilkan reaksi fibrinopurulent di

sepanjang lapisan serosa.

- Terbentuk abses pada dinding serta ulceration dan foci of suppurative necrosis

pada mukosa.

3. Acute gangrenous appendicitis:

- kerusakan appendix yang berkelanjutan menyebabkan large areas of hemoorhagic

green ulceration pada mukosa ditambah dengan green-black gangrenous necrosis

yang melewati dinding appendix sampai ke lapisan serosa.

- Jika dibiarkan: rupture + suppurative peritonitis.

Manifestasi Klinis
Keluhan apendisitis biasanya bermula dari nyeri di daerah umbilikus atau periumbilikus
yang berhubungan dengan muntah.Dalam 2-12 jam nyeri akan beralih ke kuadran kanan bawah,
yang akan menetap dan diperberat bila berjalan atau batuk. Terdapat juga keluhan anoreksia,
malaise, dan demam yang tidak terlalu tinggi. Biasanya juga terdapat konstipasi, tetapi kadang-
kadang terjadi diare, mual, dan muntah.
Pada permulaan timbulnya penyakit belum ada keluhan abdomen yang menetap. Namun
dalam beberapa jam nyeri abdomen kanan bawah akan semakin progresif, dan dengan
pemeriksaan seksama akan dapat ditunjukkan satu titik dengan nyeri maksimal. Perkusi ringan
pada kuadran kanan bawah dapat membantu menentukan lokasi nyeri. Nyeri lepas dan spasme
biasanya juga muncul. Bila tanda Rovsing sign, psoas, dan obturator positif, akan semakin
meyakinkan diagnosis klinis apendisitis

Diagnosis Banding

Tabel 1 Diagnosis Banding Akut Appendicitis


Differential diagnosis Gejala
Pelvic inflammatory disease - Terjadi selama fase proliferasi dari
siklus menstruasi
- Durasi gejalanya lebih lama
- Demam lebih tinggi
- Leukocytosis lebih tinggi
- Lokasi nyerinya kurang terlokalisir
- Nyeri pelvic lebih hebat
- Cervical motion tenderness
Mittleschemerz pain (ruptured - Nyerinya terjadi terutama saat ovulasi
ovarian follicular cyst) - Terdapat riwayat nyeri ovulasi
sebelumnya
- Demam jarang muncul
- Tenderness present
- Leukocytosis
Acute mesenteric adenitis - Nyeri kurang terasa atau lebih menyebar
- Nyeri tekan tidak sesakit pada
appendicitis
- Voluntary guarding
- Generalized lymphadenopathy
Viral / bacterial gastroenteritis - Massive diarrhea (diarrhea pada
appendicitis jarang lama dan massive)
- Nyeri abdomennya difuse , jarang
menjadi localized
- Tenderness ditemukanmild dan
generalized (jarang adanya nyeri
spesifik di quadran kanan bawah)
Urinary tract infection - Demam
- Ketok CVA (+)
- Terdapat pus cell dan bakteri pada
pemeriksaan urin
Batu ureter - Nyeri menyebar ke labia, skrotum, atau
penis
- Hematuria
- Tidak demam
- Tidak ditemukan leukositosis
- Diagnosis: pyelography

I. Evaluasi
1. Pemeriksaan Fisik :
Pada pemeriksaan umum, pasien mempertahankan posisi supinasi karena jika sedikit
bergerak maka rasa sakit akan meningkat,
nyeri pada kuadran kanan bawah abdomen, nyeri maksimal pada atau dekat McBurneys
point,
terdapat pula nyeri lepas (rebound tenderness), kadang-kadang terdapat reffered or
indirect rebound tenderness.
Rovsings sign (nyeri pada kuadran kiri bawah ketika palpasi pada kuadran kanan bawah)
juga positif ( menandakan peritonitis ).

Gambar 2. Rovsings sign

Cutaneus hyperesthesia juga terkadang menyertai appendicitis akut,


muscular resistance yang diawali guarding kemudian berlanjut menjadi muscle spasm
(muscular rigidity).
Psoas sign atau obturators sign menandakan iritasi pada otot-otot tersebut.

Gambar 3. Obturators sign dan Psoas sign

Perkusi : Rebound tenderness/Reffered rebound tenderness di Right lower quadrant


Tachycardia dan suhu tubuh meningkat

2. Pemeriksaan Lab
Akan terjadi leukosistosis ringan (10.000-20.000/ml) dengan peningkatan jumlah
neutrofil.
Pemeriksaan urin juga perlu dilakukan untuk membedakannya dengan kelainan pada
ginjal dan saluran kemih.
3. Imaging studies
plain film jarang berguna dalam mendiagnosis appendisitis ( fekalith jarang terlihat,
namun jika terlihat, maka ini adalah highly suggestive of diagnosis ),
USG (cepat dan tidak memerlukan kontras) dapat digunakan untuk melihat appendicolith,
dan jika terlihat, maka diagnosis dapat ditegakkan.
CT scan dapat mendiagnosis appendicitis dengan melihat inflammed appendix yang
berdilatasi ( lebih dari 5 cm ) dan dindingnya menebal.
II. Diagnosis Banding

GI Tract:
Gastroenteritis akut
Divertikulitis Meckeli
Enteritis regional
Ileitis akut
Perforasi peptic ulcer
Urinary Tract
Kolik ureter
Pielonefritis
Ginekologi:
Kehamilan ektopik
Ovarian torsion
Ovarian cyst
PID
III. Penatalaksanaan
Persiapan pasien :
Rehidrasi adekuat
Koreksi ketidakseimbangan elektrolit
Nilai status kardiak, pulmo, dan renal
Pemberian antibiotik preoperatif : menurunkan komplikasi infeksi, dan profilaksis

Open Appendectomy
o Dilakukannya insisi (1-2 cm) ke medial SIAS dari superficial fascia hingga
aponeurosis otot external oblique pada daerah quadrant kanan bawah dengan Oblique
(McBurney) atau pun transversal (Rocky-Davis) pada otot abdomen.
o Insisi dilakukan pada pusat rasa nyeri atau pun pada daerah yang ditemukan adanya
massa.
o Jika terdapat abses, maka dilakukan pada daerah lateral untuk drainage
retroperitoneal, sehingga mencegah terkontaminasinya kavitas peritoneal yang
menyeluruh. Hal ini juga sangat penting sekali dilakukan pada pasien yang lebih tua
dengan kemungkinan keganasan atau pun diverticulitis.
o Ada beberapa teknik untuk menentukan lokasi appendiks. Salah satunya dengan
mengikuti colon cecum dan ditelusuri hingga ke dasarnya appendiks ditemukan.
Biasanya terjadi mobilitas yang terbatas pada appendiks karena inflamasi. Lakukan
mobilisasi dengan memisahkan mesoappendix dan lakukan ligasi artery appendiceal
untuk mencegah perdarahan.
Ujung artery appendiceal tersebut dapat pula dilakukan inversi dengan Z stich.
Keuntungan open appendectomy adalah biayanya lebih murah, luka hanya pada satu
tempat, waktu pelaksanaan lebih singkat.
IV. Komplikasi
Yang paling sering ditemukan adalah perforasi, Komplikasi lainnya adalah absess,
peradangan vena porta, septikemia dan kematian.

V. Prognosis
Dengan diagnosis yang akurat serta pembedahan, tingkat mortilitas dan morbiditas
penyakit ini sangat kecil. Keterlambatan diagnosis akan meningkatkan morbiditasdan mortalitas
bila terjadi komplikasi. Serangan berulang dapat terjadi bila apendiks tidak diangkat.
DAFTAR PUSTAKA

1. Seymour I. Schwartz, MD., F.A.C.S. Schwartzs, Principles of Surgery. 8 th Edition.


McGraw-Hill. 2005..
2. Friedman, Scott L., Kenneth R. McQuiad., James H. Grendell. Current Diagnosis &
Treatment in Gastroenterology. 2nd Edition. Lange,McGraw-Hill. 2003
3. Robbins, Cotran, Kumar & Colin. Pathology Basic of Disease. 6th Ed. WB Saunders
Company;1999.
4. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani Wi, Setiowulan W. Kapita Selekta Kedokteran. 2 ed.
Jakarta: Media Aesculapius Universitas Indonesia; 2000.

Anda mungkin juga menyukai