Anda di halaman 1dari 41

Modul Kulit dan Penyakit Menular Seksual

Seorang Siswi SMU dengan Keluhan Wajah Penuh Bisul-bisul kecil Setelah
Menggunakan Pemutih Wajah

KELOMPOK IX

030.2006.027 Andriati Nadhilah W


030.2008.138 Krisna Herdiyanto
030.2009.006 Ahmad Fatahillah
030.2009.024 Anissa Aulia Adjani
030.2009.052 Chaterine Grace Tauran
030.2009.075 Dudi Novri Wijaya
030.2009.102 Giovanni Duandino
030.2009.128 Katherine Rinova
030.2009.142 Marco Indrakusumah
030.2009.176 Nyimas Ratih Amandhita
030.2009.204 Ricky Suritno
030.2009.214 Ronald Aditya Prasetya
030.2009. 267 Widya Rahayu Arini Putri

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI


JAKARTA, 19 MEI 2011
BAB I
PENDAHULUAN

Dermatitis kontak iritan (ICD) adalah peradangan pada kulit yang biasanya
dimanifestasikan oleh eritema, edema ringan, dan scaling. Dermatitis kontak iritan
merupakan respon spesifik kulit terhadap kerusakan kimia langsung yang melepaskan
mediator peradangan yang umumnya berasal dari sel-sel epidermis.
Perbandingan antara dermatitis kontak iritan dan dermatitis kontak alergi sebenarnya
masih dipelajari. Kebanyakan artikel membahas tentang dermatitis kontak alergi . Hal ini
sebagian besar mencerminkan fakta bahwa dengan uji patch, sebuah hipersensitivitas spesifik
dan kemungkinan penyebab dermatitis dapat diidentifikasi dalam sebagian besar kasus
dermatitis kontak alergi. Tidak ada uji diagnostik untuk dermatitis kontak iritan. Diagnosis
bertumpu pada pengecualian penyakit kulit lainnya (terutama dermatitis kontak alergi) dan
pada penampilan klinis dermatitis di lokasi cukup terkena iritasi kulit dikenal.
Dermatitis kontak iritan adalah umum dalam pekerjaan yang melibatkan berulang
mencuci tangan atau paparan berulang kulit terhadap air, bahan makanan, dan iritasi lainnya.
pekerjaan berisiko tinggi meliputi pembersihan, perawatan rumah sakit, persiapan makanan,
dan rambut. Prevalensi dermatitis tangan kerja yang ditemukan 55,6% dalam 2 unit
perawatan intensif dan 69,7% pada para pekerja paling tinggi terpapar (mereka yang
melaporkan frekuensi mencuci tangan> 35 kali per shift). Cuci tangan frekuensi lebih dari 35
kali per shift dikaitkan kuat dengan dermatitis tangan kerja.
Dermatitis kontak iritan secara signifikan lebih sering terjadi pada wanita
dibandingkan pria. Frekuensi yang tinggi eksim tangan pada wanita dibandingkan dengan
laki-laki disebabkan oleh faktor lingkungan, bukan faktor genetik. Dermatitis kontak iritan
Pekerjaan mempengaruhi perempuan hampir dua kali lebih banyak laki-laki berbeda dengan
penyakit kerja lain yang dominan mempengaruhi laki-laki. Wanita yang terkena lebih tinggi
untuk iritasi kulit dari peran mereka tidak proporsional lebih besar dalam pembersihan dan
perawatan anak-anak kecil di rumah. Selain itu, perempuan terutama melakukan banyak
pekerjaan berisiko tinggi untuk dermatitis kontak iritan (misalnya, tata rambut, perawatan).1
BAB II
LAPORAN KASUS

Tanti 17 tahun seorang siswi SMU berkulit sawo matang, karena sering menonton
sinetron maka Tanti berkeinginan mengubah warna kulit wajahnya menjadi putih. Kebetulan
di TV ada krim yang diiklankan dapat memutihkan tidak sampai 1 minggu. Tanti mulai
menggunakan krim tersebut dan benar tidak sampai 2 minggu wajah Tanti mulai putih dan
Tanti semakin rajin memakainya dan semakin putih, Tanti merasa senang dan yakin kulitnya
bertambah bagus. 4 bulan berlalu wajah Tanti sangat putih bahkan sangat jauh berbeda
dengan kulit leher yang masih tetap sawo matang, yang menjadi masalah saat ini wajah Tanti
penuh bisul-bisul kecil kemudian setiap berekspresi sedikit saja, makan pedas, makan yang
agak panas kulit wajah jadi merah apalagi kena sinar matahari, kulit wajah merah seperti
kepiting rebus.

BAB III
PEMBAHASAN KASUS
A. Identitas
Nama : Tanti
Jenis kelamin : perempuan
Usia : 17 tahun
Pekerjaan : pelajar

B. Keluhan utama
Wajah penuh bisul-bisul kecil, setiap berekspresi sedikit saja, makan pedas, makan
yang agak panas kulit wajah jadi merah apalagi kena sinar matahari, kulit wajah merah
seperti kepiting rebus.

C. Keluhan Tambahan
-

D. Riwayat Penyakit Sekarang


4 bulan yang lalu pasien mulai menggunakan krim pemutih wajah, tidak sampai 2
minggu wajah pasien mulai putih dan pasien semakin rajin memakainya dan semakin putih.
Kemudian setelah 4 bulan berlalu wajah psien bermasalah, saat ini wajah pasien penuh bisul-
bisul kecil kemudian setiap berekspresi sedikit saja, makan pedas, makan yang agak panas
kulit wajah jadi merah apalagi kena sinar matahari, kulit wajah merah seperti kepiting rebus.

E. Hipotesa
Masalah Hipotesa
Wajah semakin putih Pengaruh dari kandungan pada krim pemutih wajah,
contohnya:
- Merkuri, mengatur produksi melanin dan
memudarkan noda-noda hitam pada kulit.
- Kortikosteroid, mengakibatkan penipisan epidermis
dan dermis, penipisan keratinosit, menghambat
pembentukan melanin.
- Hidroquinon, menghambat kerja enzim tirosinase
(enzim utama dalam pembentukan melanin),
menghambat pembentukan melanin di dalam
melanosit, dan mencegah degradasi melanosom.
Hydroquinone tidak memutihkan kulit tapi
mencerahkan itu, dan hanya dapat mengganggu
sintesis dan produksi hiperpigmentasi melanin.
- Asam Kojik (Kojic Acid), fungsinya menon-aktifkan
enzim tironase, pengelupas kulit, dan
memaksimalkan penetrasi pemutih.
- Vitamin C (Asam Askorbat),Membantu
menghambat produksi melanin.
- Bengkuang, akar manis (Licorice), fungsinya
menghambat aktivitas tirosinase (lebih kuat dibanding
asam kojik dan asam askorbat)
- NiasinamidaMerupakan provitamin B3 yang
mempengaruhi kerja pigmentasi dengan cara
menghambat penyebaran melanin oleh melanosit ke
sel-sel sekitarnya.
Dari zat-zat yang terkandung dalam krim pemutih
seperti yang sudah disebutkan di atas, hampir semuanya
bertujuan untuk mengurangi produksi melanin. Melanin
adalah pigmen yang memberikan warna kecoklatan
sampai kehitaman. Jika produksi melanin berkurang,
maka dalam jangka waktu lama penggunaan krim
pemutih memang dapat menghilangkan atau mengurangi
hiperpigmentasi pada kulit. Dengan berkurangnya
hiperpigmentasi, kulit akan terlihat lebih putih.
Wajah penuh bisul - Dermatitis Kontak Iritan dapat terjadi karena
kerusakan organ kulit secara langsung (bukan suatu
proses imunologis) akibat efek toksik bahan yang
bersifat kimiawi ataupun fisik yang menempel pada
permukaan kulit. DKI kronis dapat terjadi pada
penggunaan pemutih kulit seperti merkuri yang
menempel pada kulit dalam jangka waktu panjang.
Selain merkuri, hidroquinon dapat pula
mengakibatkan efek samping berupa DKI.
- Acne vulgaris dapat terjadi karena banyak factor,
salah satunya adalah karena adanya reaksi inflamasi
sebagai respon dari terakumulasinya bahan-bahan
dalam pemutih wajah yang dianggap sebagai foreign
body.
- Erupsi acneiformis, penyebab utamanya biasanya
adalah induksi obat, contohnya penggunaan
kortikosteroid topical. Selain itu, penggunaan
kosmetik juga bisa menjadi factor predisposisi
terjadinya erupsi acneiformis.
Kemerahan saat makan Efek samping dari krim pemutih wajah. Kandungan
pedas, terpapar sinar pada krim pemutih wajah, contohnya:
matahari - Hidroquinon menghambat kerja enzim tirosinase
(enzim utama dalam pembentukan melanin),
menghambat pembentukan melanin di dalam
melanosit, dan mencegah degradasi melanosom.
Cara kerja hidroquinon yang cukup instan, sedikit
banyak menjadi kontradiktif terhadap perlindungan
pada kulit, dimana pembentukan melanin seharusnya
tidak secara signifikan dihambat karena berarti
menghilangkan barrier atau protector terhadap organ
dibawah kulit seperti pembuluh darah yang bisa
langsung melebar saat terpapar panas berlebihan.
- Kortikosteroid mengakibatkan penipisan epidermis
dan dermis, penipisan keratinosit, menghambat
pembentukan melanin.
Rosasea, ada beberapa factor yang dapat menjadi
penyebab kemerahan apda rosasea antara lain: Makanan
pedas, Temperatur suhu ekstrim, Sinar matahari,
Corticosteroid.
Pemakaian krim kulit wajah Factor predisposisi terjadinya hipopigmentasi kulit
selama 4 bulan wajah.
Mulai muncul bisul-bisul Menunjukan bahwa kelainan yang terjadi pada pasien
pada wajah setelah 4 bulan sudah termasuk dalam kategori kronis.
pemakaian pemutih wajah

F. Patofisiologi
Dermatitis Kontak Iritans
Kelainan kulit timbul akibat kerusakan sel yang disebabkan oleh bahan iritan
melalui kerja kimiawi atau fisis, pada kasus ini karena krim pemutih. Bahan iritan
merusak lapisan tanduk, denaturasi keratin, menyingkirkan lemak lapisan tanduk, dan
mengubah daya ikat air kulit.
Kebanyakan bahan iritan (toksin) merusak membran lemak keratinosit, tetapi
sebagian dapat menembus membran sel dan merusak lisosom, mitokondria, atau
komponen inti. Kerusakan membran mengaktifkan fosfolipase dan melepaskan asam
arakidonat, diasilgliserida, platelet activating factor, dan inositida. AA dirubah
menjadi prostaglandin dan leukotrien. Keduanya kemudian menginduksi vasodilatasi,
dan meningkatkan permeabilitas vascular sehingga mempermudah transudasi
komplemen dan kinin. Prostaglandin dan leukotrien juga bertindak sebagai
kemoatraktann kuat untuk limfosit dan neutrofil, serta mengaktifasi sel mast
melepaskan histamine, LT dan PG lain, dan PAF, sehingga memperkuat perubahan
vascular.
DAG dan second messengers lain menstimulasi ekspresi gen dan sintesis
protein, misalnya interleukin-1 (IL-1) dan granulocytemacrophage colony stimulant
factor (GMCSF). IL-1 mengaktifkan sel T penolong mengeluarkan IL-2 dan
mengekspresi reseptor IL-2, yang menimbulkan stimulasi autokrin dan proliferasi sel
tersebut.
Keratinosit juga membuat molekul permukaan HLA-DR dan adesi intrasel-1
(ICAM-1). Pada kontak dengan iritan, keratinosit juga melepaskan TNF-alfa, suatu
sitokin proinflamasi yang dapat mengaktifasi sel T, makrofag dan granulosit,
menginduksi ekspresi molekul adesi sel dan pelepasan sitokin.
Kejadian tersebut menimbulkan gejala peradangan klasik di tempat terjadinya
kontak di kulit berupa eritema, edema panas, nyeri, bila iritan kuat. Bahan iritan
lemah akan menimbulkan kelainan kulit setelah berulang kali kontak, dimulai dengan
kerusakan stratum korneum oleh karena delipidasi yang menyebabkan desikasi dan
kehilangan fungsi sawarnya, sehingga mempermudah kerusakan sel di bawahnya oleh
iritan.2

Erupsi acneiformis
Mekanisme patogenesis terjadinya erupsi akneiformis belum diketahui secara
pasti. John Hunter dkk menyatakan bahwa erupsi akneiformis terjadi melalui
mekanisme non imunologis yang dapat disebabkan karena dosis yang berlebihan,
akumulasi obat atau karena efek farmakologi yang tidak diinginkan. Andrew J.M
dalam bahasannya tentang Cutaneous Drug Eruption menyatakan bahwa mekanisme
non imunologis merupakan suatu reaksi pseudo-allergic yang menyerupai reaksi
alergi, tetapi tidak bersifat antibody-dependent. Ada satu atau lebih mekanisme yang
terlibat dalam reaksi tersebut, yaitu: pelepasan mediator sel mast dengan cara
langsung, aktivasi langsung dari sistem komplemen, atau pengaruh langsung pada
metabolisme enzim asam arachidonat sel. Selain itu adanya efek sekunder yang
merupakan bagian dari efek farmakologis obat, juga dapat menimbulkan manifestasi
di jaringan kulit.

Rosasea
Patogenesis rosasea masih tidak diketahui secara pasti, namun bisa dikatakan bahwa
patogenesis dari rosasea merupakan multifaktorial. Bisa karena makanan, alcohol,
obat, infeksi, musim, imunologis, dan defisiensi vitamin.

Acne vulgaris
Patogenesis akne vulgaris sangat kompleks dipengaruhi banyak faktor dan kadang-
kadang masih controversial. Asam lemak bebas yang terbentuk dari trigliserida dalam
sebum menyebabkan kekentalan sebum bertambah dan menimbulkan sumbatan
saluran pilosebasea serta reaksi radang disekitarnya (komedogenik). Pembentukan
pus, nodus, dan kista terjadi sesudahnya.
Ada empat hal penting yang berhubungan dengan terjadinya akne :
1. Kenaikan sekresi sebum
2. Adanya keratinisasi folikel
3. Bakteri
4. Peradangan (inflamasi)

Anamnesis tambahan
Dimana letak lesi ( eritema dan pustul ) ?
Pada rosasea lesi simetris.
Apakah ada keluhan nyeri pada pustul ?
Apakah masih menggunakan krim tersebut ?
Krim apa yang digunakan ?
Untuk mengetahui jenis krim pemutih yang digunakan dan kandungan dalam krim
tersebut.
Apakah ada efek samping saat penggunaan pertama ?
Untuk mengetahui apakah kondisi pasien saat ini merupakan dermatitis kontak iritan
atau alergi. Karena jika pada penggunaan pertama timbul gejala, kemungkinan alergi.
Apakah kemerahan di wajah sifatnya persisten atau tidak ?
Apakah penggunaan krim teratur atau tidak ?
Pada krim yang mengandung kortikosteroid jika penggunaannya tidak teratur maka
akan timbul phenomena rebound yaitu dermatitis yang terjadi terutama di daerah
periorbital dan oral namun jika digunakannya teratur maka khasiat dari krim tersebut
akan menurun.
Apakah memiliki riwayat alergi ?
Apakah pasien pernah demam?

G. Pemeriksaan fisik

Pada kasus tidak diungkapkan , namun disini kami menjelaskan manifestasi klinis dari tiap-
tiap hipotesis kami
Status Generalis
o Keadaan umum : kesan sakit, kesadaran.
o Tanda vital : nadi, suhu, tekanan darah, respiratory rate, antropometri (BB &TB)
o Kepala ( konjungtiva, sclera), leher (kgb), thorax (jantung & paru), abdomen,
ekstremitas.
Status lokalis
o Dermatitis kontak iritan kronis
Gejala klasik berupa kulit kering, eritema, skuama, lambat laun kulit tebal
(hiperkeratosis) dan likenifikasi, batas kelainan tidak tegas.
o Erupsi acneiformis
Berbeda dengan akne, erupsi akneformis dapat timbul secara akut, subakut,
dan kronis. Tempat terjadinya tidak hanya terjadi di tempat predileksi akne saja,
namun dapat terjadi di seluruh bagian tubuh yang mempunyai folikel
pilosebasea. Tempat tersering pada dada, punggung bagian atas dan lengan.
Gambaran klinis berupa papul yang eritematous, pustul, monomorfik atau
oligomorfik, biasanya tanpa komedo, komedo dapat terjadi kemudian setelah
sistem sebum ikut terganggu. Dapat disertai demam, malese, dan umumnya
tidak terasa gatal. Umur penderita bervariasi, mulai dari remaja sampai orang
tua dan pada anamnesis ditemukan adanya riwayat pemakaian obat.
Erupsi akneformis secara klinis mempunyai karakteristik tersendiri seperti
erupsi akneformis akibat steroid (akne steroid). Akne steroid memberi gambaran
papulopustul, monomorfik, tempat predileksi di daerah dada, ekstremitas,
sedikit pada daerah wajah, dan timbul setelah penggunaan kortikosteroid topikal
atau sistemik.
o Acne vulgaris
Penderita biasanya mengeluh adanya erupsi kulit pada tempat-tempat predileksi,
yakni di muka, bahu, leher, dada, punggung bagian atas, dan lengan bagian atas.
Dapat disertai rasa gatal. Erupsi kulit berupa komedo, papul, pustula, nodus,
atau kista. Isi komedo ialah sebum yang kental atau padat. Isi kista biasanya pus
dan darah.
o Rosasea
Gejala utama rosasea adalah eritema, telangiektasia, papul, edema, dan pustul.
Adanya eritema dan telangiektasia adalah persisten pada setiap episode dan
merupakan gejala khas rosasea.

I. Diagnosis Kerja
Diagnosis kerja pada kasus ini adalah Dermatitis Kontak Iritans.
Diagnosis diambil berdasarkan gejala klinis berupa wajah penuh bisul-bisul kecil,
setiap berekspresi sedikit saja, makan pedas, makan yang agak panas kulit wajah jadi merah
apalagi kena sinar matahari, kulit wajah merah seperti kepiting rebus serta dari anamnesis
dimana pasien menggunakan krim pemutih. Hipotesa erupsi acneiformis, rosase dan acne
vulgaris dijadikan diagnosis banding karena memiliki gejala yang mirip tetapi pada penyakit
tersebut tidak harus ada riwayat kontak.

J. Diagnosis Banding
Erupsi acneiformis
Rosasea
Acne vulgaris

K. Tatalaksana
1. Non Medikamentosa
Edukasi untuk menghentikan penggunaan krim tersebut.
Edukasi untuk menghindari factor factor yang menyebabkan kulit menjadi
merah.
Merujuk ke dokter spesialis kulit.
2. Medikamentosa
Topikal : Pelembab.2

L. Prognosis :
Ad vitam : bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad cosmeticum : dubia ad bonam

M. Komplikasi :
Apabila penggunaan krim tidak dihentikan akan dapat menyebabkan efek sistemik,
khususnya apabila krim tersebut mengandung merkuri. Merkuri diserap oleh kulit lalu masuk
ke sirkulasi. Apabila terlalu kadarnya terlalu tinggi merkuri diakumulasikan di jaringan tubuh
dan menimbulkan efek sistemik yang sama dengan keracunan logam berat.3,4 Di antaranya:
Gagal ginjal
Gangguan pencernaan
Gangguan saraf
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI KULIT
Kulit adalah organ tubuh yang terletak paling luar dan membatasinya dari lingkungan
hidup manusia. Luas kulit orang dewasa 1,5 m2 dengan berat kira-kira 15% berat badan.
Kulit merupakan organ yang esensial dan vital serta merupakan cermin kesehatan dan
kehidupan. Pembagian kulit secara garis besar tersusun atas 3 lapisa utama yaitu:

1. Lapisan epidermis atau kutikel


2. Lapisan dermis (korium, kutis
vera, true skin )
3. Lapisan subkutis (hipodermis)

Tidak ada garis tegas yang


memisahkan dermis dan subkutis,
subkutis ditandai dengan adanya
jaringan ikat longgar dan adannya
sel dan jaringan lemak.

1. Lapisan epidermis
Lapisan epidermis terdiri atas stratum korneum,
stratum lusidum, stratum granulosum, stratum
spinosum dan stratum basale
Stratum korneum (lapisan tanduk) adalah
lapisan kulit yang paling luar dan terdiri atas
beberapa lapis sel-sel gepeng yang mati, tidak
berinti, dan protoplasmanya telah berubah menjadi
keratin (zat tanduk).
Stratum lusidum terdapat langsung di bawah lapisan koneum, merupakan lapisan sel-sel
gepeng tanpa inti dengan protoplasma yang berubah menjadi protein yang disebut eleidin.
Lapisan tersebut tampak lebih jelas di telapak tangan dan kaki.
Stratum granulosum (lapisan keratohialin) merupakan 2 atau 3 lapis sel-sel gepeng
dengan sitoplasma berbutir kasar dan terdapat inti di antaranya. Butir-butir kasar ini terdiri
atas keratohialin. Mukosa biasanya tidak mempunyai lapisan ini. Stratum granulosum juga
tampak jelas di telapak tangan dan kaki.
Stratum spinosum (stratum malphigi) atau disebut pula prickle cell layer (lapisan
akanta) terdiri atas beberapa lapis sel yang berbentuk poligonal yang besarnya berbeda-beda
karena adanya proses mitosis. Protoplasmanya jernih karena banyak mengandung glikogen,
dan inti terletak ditengah-tengah. Sel-sel ini makin dekat ke permukaan makin gepeng
bentuknya. Diantara sel-sel stratum spinosum terdapat jembatan-jembatan antar sel
(intercellular bridges) yang terdiri atas protoplasma dan tonofibril atau keratin. Perlekatan
antar jembatan-jembatan ini membentuk penebalan bulat kecil yang disebut nodulus
bizzozero. Di antara sel-sel spinosum terdapat pula sel langerhans. Sel-sel stranum spinosum
mengandung banyak glikogen.
Stratum basale terdiri atas sel-sel berbentuk kubus ( kolumnar) yang tersusun vertikal
pada perbatasan dermo-epidermal berbaris seperti pagar (palisade) lapisan ini merupakan
lapisan epidermis yang paling bawah. Sel-sel basal ini mengadakan mitosis dan berfungsi
reproduktif. Lapisan ini terdiri atas dua jenis sel yaitu sel-sel yang berbentuk kolumnar
dengan protoplasma basofilik inti lonjong dan besar, dihubungkan satu dengan yang lain oleh
jembatan antar sel serta sel pembentuk melanin (melanosit) atau clear cell merupakan sel-sel
berwarna muda, dengan sitoplasma basofilik dan inti gelap, dan mengandung butir pigmen
(melanosomes).

2. Lapisan dermis
Lapisan dermis adalah lapiasan dibawah epidermis yang jauh lebih tebal daripada
epidermis. Lapisan ini terdiri atas lapisan elastik dan fibrosa padat dengan elemen-elemen
cellular dan folikel rambut. Secara garis besar dibagi menjadi dua bagian yakni pars papilare,
yaitu bagian yang menonjol ke epidermis, berisi ujung serabut saraf dan pembuluh darah
serta pars retikulare, yaitu bagian dibawahnya yang menonjol kearah subkutan, bagian ini
tediri atas serabut-serabut penunjangn misalnya serabut kolagen, elastin, dan retikulin. Dasar
(matriks) lapisan ini terdiri atas cairan kental asam hialuronat dan kondroitin suflat, dibagian
ini terdapat pula fibroblas. Serabut kolagen dibentuk oleh fibroblas, membentuk ikatan
(bundel) yang mengandung hidroksiprolin dan hidroksisilin. Kolagen muda bersifat lentur
dengan bertambah umur menjadi kurang larut sehingga makin stabil. Retikulin mirip kolagen
muda. Serabut elastin biasanya bergelombang, berbentuk amorf dan mudah mengembang
serta lebih elastis.

3. Lapisan subkutis
Lapisan subkutis adalah kelanjutan dermis, terdiri atas jaringan otot longgar, berisi sel-sel
lemak di dalamnya. Sel-sel lemak merupakan sel bulat, besar, dengan inti terdesak ke pinggir
sitoplasma lemak yang bertambah.
Sel-sel ini membentuk kelompok yang dipsahkan satu dengan yang lain oleh trabekula
yang fibrosa. Lapisan sel-sel lemak disebut panikulus adiposa, berfungsi sebagai cadangan
makanan. Di lapisan ini terdapat ujung-ujung saraf tepi, pembuluh darah, dan getah bening.
Tebal tipisnya jaringan lemak tidak sama bergantung pada lokalisasinya. Di abdomen dapat
mencapai ketebalan 3 cm, di daerah kelopak mata dan penis sangat sedikit. Lapisan lemak ini
juga merupakan bantalan.
Vaskularisasi di kulit diatur oleh 2 Pleksus, yaitu Pleksus yang terletak di bagian atas
dermis (pleksus superfisial) dan yang terletak di subkutis (pleksus profunda). Pleksus yang di
dermis bagian atas mengadakan anastomosis di papil dermis, pleksus yang di subkutis dan di
pars retikulare juga mengadakan anastomosis, di bagian ini pembuluh darah berukuran lebih
besar. Bergandengan dengan pembuluh darah terdapat saluran getah bening.

Adneksa Kulit
Adneksa kulit terdiri atas kelenjar-kelenjar kulit, rambut, dan kuku. Kelenjar kulit terdapat di
lapisan dermis dan terdiri atas kelenjar keringat (Glandula sudorifera) dan kelenjar palit
(glandula sebasea). Kuku adalah bagian terminal lapisan tanduk (stratum korneum) yang
menebal. Dan kemudian rambut terdiri atas bagian yang terbenam dalam kulit (akar rambut)
dan bagian yang berada di luar kulit (batang rambut).5

Pigmentasi Kulit
Warna kulit tergantung pada 3 (tiga) komponen. Jaringan memiliki warna inheren
kekuningan akibat kandungan karoten. Adanya Hb beroksigen dalam dasar kapiler dari
dermis memberinya warna kemerahan. Dan warna kecoklatan sampai kehitaman adalah
akibat jumlah pigmen melanin yang bervariasi. Dari ketiga substansi berwarna ini hanya
melanin yang dihasilkan di kulit. Melanin adalah produk dari melanosit.
Warna kulit timbul dari melanosom yang
mengandung melanin, yang dihasilkan oleh
melanosit, ke dalam keratinosit-keratinosit pada
epidermis. Satu melanosit mampu mensuplai
sekitar 36 keratinosit dengan granula-granula
melanin. Pada orang-orang yang berpigmen
gelap, melanosit menghasilkan lebih banyak
melanin, dan melanosom lebih besar dan
mengandung banyak melanin, dan mengalami
degradasi lebih lambat dibanding pada orang
yang berkulit lebih terang.

Histologi Melanosit
Melanosit merupakan sel khusus yang terdapat
pada epidermis, dijumpai di bawah atau di antara sel-sel
stratum basalis dan pada folikel rambut. Asal embriologi
dari melanosit berasal dari sel krista neural. Melanosit
memiliki bentuk badan sel bulat tempat bermulanya
cabang-cabang panjang yang ireguler dalam epidermis.
Cabang-cabang ini berada di antara sel-sel stratum
basalis dan stratum spinosum.
Dengan mikroskop elektron terlihat sel yang
berwarna pucat, berisikan banyak mitokondria kecil,
kompleks golgi sangat berkembang, sisterna pendek pada retikulum endoplasma yang kasar.
Meskipun melanosit tidak dilekatkan dengan keratinosit yang berdekatan dengannya oleh
desmosom, melanosit ini diletakkan ke lamina basalis dengan hemidesmosom.
Gambaran mikroskop electron kulit
manusia. Terdiri dari melanosit dan
keratinosit. Terlihat granul melanin yang
sangat banyak pada keratinosit di sebelah
kanan dibandingkan yang terdapat di
melanosit sendiri. Gambaran material putih di bagian bawah adalah kolagen dermis.

Pembentukan Pigmen Melamin


Melanin dibentuk melalui serangkaian reaksi oksidatif yang melibatkan asam amino
tirosin dan enzim tirosinase. Di sini, tirosinase mengkonversi tirosin menjadi
dihydroxyphenylalanine (dopa) dan kemudian ke dopaquinone. Selanjutnya, dopaquinone
dikonversi menjadi dopachrome melalui auto-oksidasi dan akhirnya menjadi dihydroxyindole
atau asam dihydroxyindole-2-karboksilat (DHICA) untuk membentuk eumelanin (pigmen
hitam-coklat). Reaksi terakhir terjadi di hadapan tautomerase dopachrome dan oksidase
DHICA. Bila terdapat sistein atau glutathione, dopaquinone dikonversi menjadi cysteinyl
dopa atau glutathione dopa. Selanjutnya, terbentuk pheomelanin (pigmen kuning-merah).
Gambar disamping menunjukan Diagram
Melanosit, ilustrasi gambaran utama
melanogenesis. Tirosinase di sintesis dalam
retikulum endoplasma yang kasar dan
diakumulasikan dalam vesikel kompleks Golgi.
Vesikel yang bebas sekarang dinamakan
melanosom. Sintesis melanin dimulai pada
melanosom tahap II, di mana melanin
diakumulasikan dan membentuk melanosom
tahap III. Terakhirstruktur ini hilang dengan
aktivitas tirosinase dan membentuk granul
melanin. Granul melanin bermigrasi ke arah
juluran melanosit dan masuk ke dalam keratinosit.
Ketika dibentuk granul melanin migrasi di dalam perluasan sitoplasma melanosit dan
ditransfer ke sel-sel dalam stratum germinativum dan spinosum dari epidermis. Proses
transfer ini telah diobservasi secara langsung pada kultur jaringan kulit.
Granul melanin pada dasarnya diinjeksikan ke dalam keratinosit. Ketika di dalam
keratinosit, granul melanin berakumulasi di dalam sitoplasma di daerah atas inti
(supranuklear), jadi melindungi nukleus dari efek merusak radiasi matahari.
Meskipun melanosit yang membentuk melanin, namun sel-sel epitel/keratinositlah yang
menjadi gudang dan berisi lebih banyak melanin, dibandingkan melanosit sendiri. Di dalam
keratinosit, granul melanin bergabung dengan lisosom alasan mengapa melanin menghilang
pada sel epitel bagian atas.
Faktor-faktor penting dalam interaksi antara keratinosit dan melanosit yang
menyebabkan pigmentasi pada kulit:
1. Kecepatan pembentukan granul melanin dalam melanosit
2. Perpindahan granul ke dalam keratinosit
3. Penempatan terakhirnya dalam keratinosit
Mekanisme umpan balik bisa bertahan selama dalam keratinosit Melanosit dapat
dengan mudah dilihat dengan fragmen inkubasi epidermis pada dengan dopa. Komposisi ini
dikonversikan menjadi deposit coklat gelap melanin pada melanosit, reaksinya dikatalisasi
oleh enzim tirosinase. Metode ini memungkinkan untuk menghitung jumlah melanosit per
unit area epidermis. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa melanosit tidak didistribusikan
secara random di antara keratinosit, agak tampak ada pola pada distribusinya, yang disebut
dengan epidermal-melanin unit.
Pada manusia, ratio dopa-positif melanosit terhadap keratinosit pada statum basah
adalah konstan di dalam setiap area tubuh, tetapi bervariasi dari satu regio ke regio yang lain.
Sebagai contoh, ada sekitar 1000 melanosit/mm2 di kulit daerah paha dan 2000/mm2 di kulit
skrotum. Jenis kelamin dan ras tidak mempengaruhi jumlah melanosit/unit area. Perbedaan
pada warna kulit terutama karena perbedaan jumlah granul melanin pada keratinosit.
Makin gelapnya kulit (tanning) setelah terpapar radiasi matahari ( panjang gel: 290-
320mm) adalah akibat proses tahap 2. Pertama, reaksi fisis dan kimiawi menggelapkan warna
melanin yang belum muncul ke luar melanosit, dan merangsangnya secara cepat untuk masuk
ke keratinosit. Kedua, kecepatan sintesis melanin dalam melanosit mengalami akselerasi,
sehingga semakin meningkatkan jumlah pigmen melanin.

Agen depigmentasi
Agen depigmentasi adalah suatu agen yang bertujuan sebagai pencerahan kulit atau
menghilangkan pigmen.
1. Hydroquinone
Bahan kimia industri yang penting yaitu hidroquinon yang merupakan bahan kimia,
yang banyak tersedia dalam bentuk kosmetik. Hidroquinin dianggap salah satu inhibitor yang
paling efektif dalam melanogenesis in vitro dan in vivo. Hydroquinone menyebabkan
penghambatan reversibel metabolisme seluler dengan mempengaruhi sintesis DNA dan RNA.
Efek sitotoksik hidroquinon tidak terbatas pada melanosit, tetapi juga berdampak pada
metabolisme selular sel-sel non melanosit dengan jumlah dosis yang lebih tinggi
dibandingkan sel-sel melanosit. Dengan demikian, hydroquinone dapat dianggap sebagai
agen sitotoksik kuat terhadap sel-sel melanosit. Hydroquinone juga merupakan suatu substrat
yang mengandung sedikit enzim tirosinase, sehingga bersaing untuk oksidasi tirosin dalam
melanosit aktif.
Pada umumnya, berbagai macam kosmetik mengandung hidroquinon 2% sudah
tersedia di atas meja dalam persiapan berbagai kosmetik dan bukti perbaikan dengan
hidroquinon (monoterapi) biasanya diamati pada 4-6 minggu setelah pemakaian, dengan
perbaikan yang menetap sekitar 4 bulan.
Beberapa dampak negatif dari hidroquinon antara lain:
a. Dermatitis kontak iritan, terjadi pada sejumlah kecil pasien dan dapat diobati steroid
topikal.
b. Exogenous ochronosis (ochronosis eksogen) . Gangguan ini ditandai dengan jelaga
berwarna gelap yang progresif pada daerah kulit yang terkena hydroquinone. Secara
histologi, terjadi degenerasi dari kolagen dan serat fiber. Degenerasi ini diikuti oleh
munculnya ochronotik deposit yang terdiri dari crescent-shaped, ochre-colored pada
dermis.
2. Monobenzyl ether hydroquinone
Serupa dengan hidroquinon, eter monobenzyl hidroquinon (MBEH) termasuk dalam
fenol / kelas katekol agen kimia. Tidak seperti hidroquinon, MBEH hampir selalu
menyebabkan depigmentasi ireversibel kulit. Dalam dermatologi, MBEH hanya digunakan
untuk menghilangkan daerah-daerah sisa pigmen kulit normal pada pasien dengan refraktori
dan vitiligo yang luas. Mekanisme depigmentasi MBEH adalah pengerusakan melanocytic
selektif melalui pembentukan radikal bebas dan kompetitif inhibisi enzim tirosinase.
3. Azelaic acid (asam azelat)
Asam azelat merupakan substrat alami yang berasal dari saturasi asam dikarboksilat
dari Pityrosporum ovale., inhibitor kompetitif yang lemah dari enzim tirosinase in vitro, memiliki
efek antiproliferatif dan sitotoksik pada melanosit ( terjadi karena menghambatan enzim
thioredoxin reduktase, enzim yang terlibat dalam aktivasi oksidoreduktase mitokondria dan
sintesis DNA).
4. Kojic acid (5-hydroxy-4-pyran-4-one-2-methyl)
Sebuah produk metabolisme jamur, asam kojic menghambat aktivitas catecholase
tyrosinase, yang merupakan enzim penting dalam biosintesis melanin pigmen kulit. Melanosit yang diberi
asam kojic menjadi nondendritic, dengan kandungan melanin berkurang. Asam kojic lebih
iritatif dibandingkan hidroquinon sehingga untuk mengurangi iritasi dari asam kojic,
dikombinasikan dengan kortikosteroid topical.
5. Mequinol (4-hydroxyanisole)
Serupa dengan hidroquinon, 4-hydroxyanisole (4HA) adalah sitotoksik terhadap
melanosit.
6. Retinoid
Retinoid seperti tretinoin dan adapalene adalah turunan dari vitamin A. Mekanisme
untuk mengurangi pigmentasi meliputi penghambatan induksi enzim tirosinase, interferensi
dengan transfer pigmen, dan mempercepat pergantian epidermis. Mereka juga memiliki
kemampuan untuk membubarkan butiran pigmen dalam keratinosit. Retinoid dapat bertindak
untuk mempermudah penyerapan ketika digunakan hydroquinone dan mequinol. Efek
samping yang paling sering terjadi antara lain terbakar, menyengat, eritema, kekeringan, dan
scaling.
7 .Niacinamide
Niacinamide adalah bentuk biologis aktif vitamin-B 3, yang dapat menekan transfer
melanosomes ke keratinosit epidermis. Niacinamide dengan retinyl palmitate telah terbukti
dapat meningkatkan hiperpigmentasi dan meningkatkan kecerahan kulit setelah 4 minggu
pengobatan dibandingkan dengan penggunaan niacinamide saja.
8. Soy (Kedelai)
Protein kedelai mengandung serin protease inhibitor yang menghambat pengaktifan
jalur diaktifkan protease-2 reseptor (PAR-2). Jalur PAR-2 adalah penting untuk proses
fagositosis keratinosit melanosom dan transfer melanosom.
9. Kortikosteroid
Kortikosteroid topikal selain sebagai suatu anti-inflamasi, merupakan agen
depigmentasi yang popular sebagai skin lightening/bleaching. Efek samping yang muncul
akibat kortikosteroid mengandung clobetasol dengan konsentrasi tinggi. Efek depigmentasi
berupa vasokonstriksi pembuluh darah di kulit dan secara cepat menurunkan pigmen kulit.
Atrofi Kulit dan Striae Merupakan efek samping yang paling sering ditemui, dimana
kulit tampak tipis, mengkilat serta hampir selalu terlihat telangiektasi-striae.
Hal ini terjadi pada penggunaan yang lama dan lebih mudah timbul pada daerah yang banyak
berkeringat, tertutup atau penetrasinya tinggi seperti ketiak, lipat paha atau daerah
intertriginosa serta wajah. Biasanaya atrofi mulai terjadi setelah penggunaan 3-4 minggu.
Histologis tampak penipisan epidermis disertai regresi papilla dermis. Kortikoksteroid
menyebabkan penipisan epidermis dan dermis akibat aktivitas antiproliferatif pada keratinosit
dan fibroblas. Penipisan ini mengakibatkan visualisasi pembuluh darah sehingga tampaklah
telangiektasi, atau superfisial karena hilangnya dinding penyangga dari kolagen.
Sedangkan striae, walaupun belum jelas betul bagaimana terjadinya, namun faktor utamanya
adalah efek pada serat kolagen dan elastin.
10. Merkuri
Merkuri juga merupakan agen depigmentasi dengan menghambat formasi melanin
melalui garam merkuri yang berkompetitif dengan copper tirosinase. Toksisitas merkuri
dapat dihubungkan dengan adanya gangguan pada psikiatri (gangguan memori, fungsi
intelaktual, irritability), neurologik ( irritability dan neuropathy), gangguan pada renal
(glomerulonephritis)
B. PEMUTIH KULIT
Whitening cream merupakan campuran beberapa bahan kimia memiliki fungsi untuk
menyamarkan noda hitam atau cokelat pada kulit. Krim pemutih dapat memutihkan kulit
karena kandungan kimia dalam krim tersebut dapat mencegah hiperpigmentasi.
Whitening cream bisa digolongkan sebagai kosmetik dan obat. Penggolongan tersebut
didasarkan pada tingkat keamanan zat aktifnya. Kosmetik pemutih boleh diperjualbelikan
dengan bebas di pasaran karena kandungan zat aktif di dalamnya sedikit, sedangkan
penggunaan obat pemutih harus disertai dengan resep dan di bawah pengawasan dokter.
Namun dalam kenyataannya, obat pemutih yang harusnya ditangani oleh dokter ini malah
banyak dijual bebas di pasaran. Bahkan dengan kadar kandungan zat aktif berlebih untuk
mendapatkan hasil yang instan .
Bahan kimia yan terkandung didalamnya tentu saja dapat memberikan efek samping
jika penggunaannya tidak sesuai dengan takaran yang disarankan, misalnya untuk kasus
pemutih yang mengandung hidroquinon. Hidroquinon pada pemutih bekerja sebagai
penghalang pengeluaran melanin oleh melanosit di dalam epidermis dan menyebabkan
penebalan gentian kolagen. Fungsi melanin ialah sebagai pelindung kulit manusia dari sinar
UV, karena sinar UV dapat diserap oleh melanin. Kulit dengan jumlah melanin yang sangat
sedikit memiliki resiko lebih besar untuk terkena kanker kulit. Pemakaian hidroquinon lebih
dari 2% dapat menyebabkan iritasi dan rasa terbakar pada kulit. Jika dihentikan, kulit akan
kembali seperti semula, bahkan bisa lebih buruk.
Bahaya semacam itu tak hanya ditemui dalam pemutih ber-hidroquinon. Salah satu
zat aktif whitening cream lain yang sangat berbahaya adalah merkuri. Merkuri anorganik
dalam krim pemutih bisa menimbulkan keracunan bila digunakan dalam waktu lama. Gejala
keracunan merkuri akibat pemakaian krim pemutih muncul sebagai gangguan sistem saraf (
tremor, insomnia, kepikunan, gangguan penglihatan, gerakan tangan abnormal (ataxia), serta
gangguan emosi). Selain gejala-gejala yang tampak tersebut, logam berat seperti merkuri
dapat mendenaturasi protein dalam tubuh (terutama protein yang mengandung asam amino
sistein), terakumulasi di dalam tubuh/susah dikeluarkan, merusak sistem enzim, dan
menimbun racun di dalam tubuh.
Patogenesis penyebaran merkuri dalam tubuh, pada kulit kita banyak sekali terdapat
pori, setiap pori tersebut terhubung dengan pembuluh darah. Krim yang dioleskan ke
permukaan kulit tentu saja akan masuk juga ke pori-pori, selanjutnya terbawa masuk ke
pembuluh darah dan akhirnya bisa menyebabkan gangguan sistem saraf, ginjal, serta organ
tubuh lainnya. Setelah pemakaian bertahun-tahun, merkuri dapat mengendap di bawah kulit
sehingga kulit akan menjadi biru kehitaman. Hal ini dapat berujung pada kanker.
Pada dasarnya, dalam jangka waktu lama krim pemutih memang dapat
menghilangkan atau mengurangi hiperpigmentasi pada kulit. Dengan berkurangnya
hiperpigmentasi, kulit akan terlihat lebih putih. Zat pengubah pigmen semacam ini tentu
dapat menimbulkan dampak di kemudian hari, sebab ada proses fisiologis normal yaitu
pembentukan pigmen yang diganggu. Penggunaan terus-menerus justru malah akan
menimbulkan pigmentasi dengan efek permanen. Akhirnya, kulit bisa menjadi lebih hitam
daripada sebelumnya. Rata-rata semua pemutih instan akan menimbulkan efek rebound saat
pemakaian dihentikan, yaitu memberikan respon yang berlawanan. Pada awalnya memang
terlihat bagus, akan tetapi saat pemakaian dihentikan kulit akan menjadi gelap dan dapat
timbul flek-flek atau kulit menjadi merah seperti udang rebus, kasar, bahkan mengelupas
seperti kulit ular.

C. DERMATITIS KONTAK IRITANS

Dermatitis kontak iritan merupakan reaksi peradangan kulit nonimunologik, jadi


kerusakan kulit terjadi langsung tanpa didahului proses sensitisasi. Penyebab munculnya
dermatitis kontak iritan ialah bahan yang bersifat iritan. Kelainan kulit yang terjadi selain
ditentukan oleh ukuran molekul, daya larut, konsentrasi bahan tersebut, dan vehikulum, juga
dipengaruhi oleh: lama kontak, kekerapan (terus menerus atau berselang), adanya oklusi
menyebabkan kulit lebih permeable, demikian pula gesekan dan trauma fisis.
Faktor individu juga ikut berpengaruh pada DKI, yaitu perbedaan ketebalan kulit di
berbagai tempat menyebabkan perbedaan permeabilitas, usia, ras, jenis kelamin, serta
penyakit kulit yang sedang atau pernah dialami
Gejala Klinis
Kelainan kulit yang terjadi sangat beragam, bergantung pada sifat iritan. Iritan kuat
memberi gejala akut, sedang iritan lemah memberi gejala kronis.
DKI Akut: penyebabnya adalah iritan kuat, misalnya larutan asam sulfat dan asam
hidroklorid atau basa kuat, misalnya natrium dan kalium hidroksida. Biasanya terjadi
karena kecelakaan, dan reaksi segera timbul. Intensitas reaksi sebanding dengan
konsentrasi dan lamanya kontak dengan iritan, terbatas pada tempat kontak. Kulit
terasa pedih, panas, rasa terbakar, kelainan yang terlihat berupa eritema edema, bula,
mungkin juga nekrosis. Pinggir kelainan berbatas tegas, dan pada umumnya asimetris.
DKI Akut Lambat: Gambaran klinis dan gejala sama dengan DKI akut, tetapi baru
muncul 8 sampai 24 jam atau lebih setelah kontak. Bahan iritan yang dapat
menyebabkan DKI akut lambat, misalnya podofilin, antralin, tretionin, etilen oksida,
benzalkonium klorida, asam hidrofluorat.
DKI Kumulatif: Nama lainnya adalah DKI kronis. Penyebabnya ialah kontak
berulang-ulang dengan iritan lemah. Jenis ini mungkin terjadi karena kerjasama
berbagai factor. Bisa jadi suatu bahan secara sendiri tidak cukup kuat untuk
menyebabkan dermatitis iritan, tetapi baru mampu bila bergabung dengan factor lain.
Kelainan baru nyata setelah kontak berminggu-minggu atau bulan, bahkan bisa
bertahun-tahun kemudian, sehingga waktu dan rentetan kontak merupakan factor
penting. Gejalanya: kulit kering, eritema, skuama, lambat laun kulit tebal
(hyperkeratosis) dan likenifikasi, difus. Bila kontak terus berlangsung akhirnya kulit
dapat retak seperti luka iris (fisur). Ada kalanya kelainan hanya berupa kulit kering
atau skuama tanpa eritema, sehingga diabaikan oleh penderita. DKI kumulatif sering
berhubungan dengan pekerjaan, oleh karena itu lebih banyak ditemukan di tangan
dibandingkan dengan di bagian lain tubuh.
Reaksi Iritan: merupakan dermatitis iritan subklinis pada seseorang yang terpajan
dengan pekerjaan basah. Kelainan kulit monomorf dapat berupa skuama, eritema,
vesikel, pustule, dan erosi. Umumnya dapat sembuh sendiri, menimbulkan penebalan
kulit, kadang dapat berlanjut menjadi DKI kumulatif.
DKI Traumatik: Kelainan kulit berkembang lambat setelah trauma panas atau laserasi.
Gejala seperti dermatitis numularis, penyembuhan lambat, paling cepat 6 minggu.
Paling sering terjadi di tangan.
DKI noneritematosa: merupakan bentuk subklinis DKI, ditandai perubahan fungsi
sawar stratum korneum tanpa disertai kelainan klinis.
DKI Subyektif: kelainan kulit tidak terlihat, namun penderita merasa seperti tersengat
(pedih), atau terbakar (panas) setelah kontak dengan bahan kimia tersebut, misalnya
asam laktat.

Patogenesis
Kelainan kulit timbul akibat kerusakan sel yang disebabkan oleh bahan iritan melalui
kerja kimiawi atau fisis. Bahan iritan merusak lapisan tanduk, denaturasi keratin,
menyingkirkan lemak lapisan tanduk, dan mengubah daya ikat air kulit.
Kebanyakan bahan iritan (toksin) merusak membrane lemak keratinosit, tetapi
sebagian dapat menembus membrane sel dan merusak lisosom, mitokondria, atau komponen
inti. Kerusakan membrane mengaktifkan fosfolipase dan melepaskan asam arakidonat,
diasilgliserida, platelet activating factor, dan inositida. AA dirubah menjadi prostaglandin dan
leukotrien. Keduanya kemudian menginduksi vasodiltasi, dan meningkatkan permeabilitas
vascular sehingga mempermudh transudasi komplemen dan kinin. Prostaglandin dan
leukotrien juga bertindak sebagai kemoatraktan kuat untuk limfosit dan neutrofil, serta
mengaktifasi sel mas melepaskan histamine, LT dan PG lain, dan PAF, sehingga memperkuat
perubahan vascular.
DAG dan second messengers lain menstimulasi ekspresi gen dan sintesis protein,
misalnya interleukin-1 (IL-1) dan granulocytemacrophage colony stimulant factor (GMCSF).
IL-1 mengaktifkan sel T penolong mengeluarkan IL-2 dan mengekspresi reseptor IL-2, yang
menimbulkan stimulasi autokrin dan proliferasi sel tersebut.
Keratinosit juga membuat molekul permukaan HLA-DR dan adesi intrasel-1 (ICAM-
1). Pada kontak dengan iritan, keratinosit juga melepaskan TNF-alfa, suatu sitokin
proinflamasi yang dapat mengaktifasi sel T, makrofag dan granulosit, menginduksi ekspresi
molekul adesi sel dan pelepasan sitokin.
Kejadian tersebut menimbulkan gejala peradangan klasik di tempat terjadinya kontak
di kulit berupa eritema, edema panas, nyeri, bila iritan kuat. Bahan iritan lemah akan
menimbulkan kelainan kulit setelah berulang kali kontak, dimulai dengan kerusakan stratum
korneum oleh karena delipidasi yang menyebabkan desikasi dan kehilangan fungsi sawarnya,
sehingga mempermudah kerusakan sel di bawahnya oleh iritan.
Histopatologik
Gambaran histopatologik dermatitis kontak iritan tidak karakteristik. Pada DKI akut,
dalam dermis terjadi vasodilatasi dan sebukan sel mononuclear di sekitar pembuluh darah
dermis bagian atas. Eksositosis di epidermis diikuti spongiosis dan edema intrasel, dan
akhirnya terjadi nekrosis epidermal. Pada keadaan berat kerusakan epidermis dapat
menimbulkan vesikel atau bula. Di dalam vesikel atau bula ditemukan limfosit dan neutrofil.
Diagnosis
Diagnosis DKI didasarkan anamnesis yang cermat dan pengamatan gambaran klinis.
DKI akut lenih mudah diketahui karena munculnya lebih cepat sehingga penderita pada
umumnya masih ingat apa yang menjadi penyebabnya. Sedangkan DKI kronis timbulnya
lambat serta mempunyai variasi gambaran klinis yang luas, sehingga adakalanya sulit
dibedakan dengan dermatitis kontak alergik. Untuk ini diperlukan uji temple dengan bahan
yang dicurigai.
Pengobatan
Upaya pengobatan DKI yang terpenting adalah menghindari pajanan bahan iritan,
baik yang bersifat mekanik, fisis maupun kimiawim serta menyingkirkan factor yang
memperberat. Bila hal ini dapat dilaksanakan dengan sempurna dan tidak terjadi komplikasi,
maka DKI tersebut akan sembuh dengan sendirinya tanpa pengobatan topical, mungkin
cukup dengan pelembap untuk memperbaiki kulit yang kering,
Apabila diperlukam untuk mengatasi peradangan dapat diberikan kortikosteroid
topikalm misalnya hidrokortison, atau untuk kelainan yang kronis dapat diawali dengan
kortikosteroid yang lebih kuat.2

D. ACNE VULGARIS
Acne vulgaris adalah penyakit peradangan menahun folikel polisebasea yang
umumnya terjadi pada masa remaja dan dapat sembuh sendiri. Gambaran klinis akne vulgaris
sering polimorfi ; terdiri atas berbagai kelainan kulit berupa komedo, papul, pustule, nodul,
dan jaringan parut yang hipotrofik maupun yang hipertrofik.
Etiologi
Penyebab akne sangat banyak (multifaktorial), antara lain : genetik, endokrin
(androgen, pituitary sebotropic factor, dsb), faktor makanan, keaktifan dari kelenjar sebasea
sendiri, faktor psikis, musim, infeksi bakteri (Propionibacterium acnes), kosmetika, dan
bahan kimia lainnya. Penyebab yang pasti belum diketahui, tetapi banyak faktor yang
berpengaruh, seperti:
1. Sebum
merupakan faktor utama penyebab timbulnya akne. Akne yang keras selalu disertai
pengeluaran sebore yang banyak.
2. Bakteria
Mikroba yang terlibat pada terbentuknya akne adalah corynebacterium acnes,
Stafilococcus epidermidis, dan pityrosporum ovale. Dari ketiga mikroba ini yang
terpenting yakni C. Acnes yang bekerja secara tidak langsung.
3. Herediter
Faktor herediter yang sangat berpengaruh pada besar dan aktivitas kelenjar palit
(glandula sebasea). Apabila kedua orang tua mempunyai parut bekas akne, kemungkinan
besar anaknya akan menderita akne.
4. Hormon
Hormon androgen. Hormon ini memegang peranan yang penting karena kelenjar palit
sangat sensitif terhadap hormon ini. Hormon androgen berasal dari testes dan kelenjar
anak ginjal (adrenal). Hormon ini menyebabkan kelenjar palit bertamabah besar dan
produksi sebum meningkat.
Estrogen. Pada keadaan fisiologi, estrogen tidak berpengaruh terhadap produksi sebum.
Estrogen dapat menurunkan kadar gonadotropin yang berasal dari kelenjar hipofisis.
Hormon gonadotropin mempunyai efek menurunkan produksi sebum.
Progesteron. Progesteron, dalam jumlah fisiologik tak mempunyai efek terhadap
efektivitas terhadap kelenjar lemak. Produksi sebum tetap selama siklus menstruasi, akan
tetapi kadang-kadang progesteron dapat menyebabkan akne premenstrual.
Hormon-hormon dari kelenjar hipofisis. Pada tikus, hormon tirotropin, gonadotropin,
dan kortikotropin dari kelenjar hipofisis diperlukan untuk aktivitas kelenjar palit. Pada
kegagalan dari kelenjar hiopofisis, sekresi sebum lebih rendah dibandingkan dengan
orang normal. Penurunan sebum diduga disebabkan oleh adanya suatu hormon
sebotropik yang berasal dari baga tengah (lobus intermediate) kelenjar hipofisis.
5. Diet
Pada penderita yang makan banyak karbohidrat dan zat lemak, tidak dapat dipastikan
akan terjadi perubahan pada pengeluaran sebum atau komposisinya karena kelenjar
lemak bukan alat pengeluaran lemak yang kita makan.
6. Iklim
Di daerah yang mempunyai empat musim, biasanya akne bertambah hebat pada musim
dingin, sebaliknya kebanyakan membaik pada musim panas. Sinar ultraviolet (UV)
mempunyai efek membunuh bakteri pada permukaan kulit. Selain itu, sinar ini juga dapat
menembus epidermis bagian bawah dan bagian atas dermis sehingga berpengaruh pada
bakteri yang berada dibagian dalam kelenjar palit. Sinar UV juga dapat mengadakan
pengelupasan kulit yang dapat membantu menghilangkan sumbatan saluran pilosebasea.
Menurut Cunliffe, pada musim panas didapatkan 60% perbaikan akne, 20% tidak ada
perubahan, dan 20% bertambah hebat. Bertambah hebatnya akne pada musim panas
tidak disebabkan oleh sinar UV melainkan oleh banyaknya keringat pada keadaan yang
sangat lembab dan panas tersebut.
7. Psikis
Pada beberapa penderita, stress dan gangguan emosi dapat menyebabkan eksaserbasi
akne. Mekanisme yang pasti mengenai hal ini belum diketahui. Kecemasan
menyebabkan penderita memanipulasi aknenya secara mekanis, sehingga terjadi
kerusakan pada dinding folikel dan timbul lesi yang beradang yang baru, teori lain
mengatakan bahwa eksaserbasi ini disebabkan oleh meningkatnya produksi hormon
androgen dari kelenjar anak ginjal dan sebum, bahkan asam lemak dalam sebum pun
meningkat.
8. Kosmetika
Pemakaian bahan-bahan kosmetika tertentu, secara terus menerus dalam waktu lama,
dapat menyebabkan suatu bentuk akne ringan yang terutama terdiri dari komedo tertutup
dan beberapa lesi papulopustular pada pipi dan dagu. Bahan yang sering menyebabkan
akne ini terdapat pada berbagai krem muka seperti bedak dasar (faundation), pelembab
(moisturiser), krem penahan sinar matahari (sunscreen), dan krem malam.
9. Bahan-bahan Kimia
Beberapa macam bahan kimia dapat menyebabkan erosi yang mirip dengan akne
(akneform eruption), seperti yodida, kortikosteroid, INH, obat anti konvulsan
(difenilhidantoin, fenobarbital dan trimetandion), tetrasiklin, vitamin B 12.
Epidemiologi
Insiden akne vulgaris 80-100% pada usia dewassa muda, yaitu umur 14-17 tahun pada
wanita, dan 16-19 tahun pada pria.
Meskipun kebanyakan jerawat terjadi pada masa remaja atau dewasa muda, tetapi
dalam kenyataannya jerawat juga timbul pada berbagai golongan usia lainnya. Antara lain
pada bayi, anak, bahkan pada manula. Jerawat seringkali dihubungkan dengan kondisi tubuh,
baik pada saat stress karena banyak masalah, atau dapat pula sebaliknya pada saat sedang
sangat berbahagia.
Pada waktu pubertas terdapat kenaikan dari hormon androgen yang beredar dalam
darah yang dapat menyebabkan hiperplasia dan hipertrofi dari glandula sebasea.
Klasifikasi
Klasifiksi yang dibuat oleh Plewig dan Kligman dalam buku Acne : Morphogenesis and
Treament (1975) :
A. Akne vulgaris dan varietasnya :
Akne tropikalis
Akne fulminan
Pioderma fasiale
Akne mekanika dan lainnya
B. Akne venenata akibat kontaktan eksternal dan varietasnya :
Akne kosmetika
Pomeda acne
Akne klor
Akne akibat kerja
Akne deterjen
C. Akne komedonal akibat agen fisik dan varietasnya :
Solar comedones
Akne radiasi (sinar x, kobal)
Menurut GRUPPER (1977) jenis akne ialah sebagai berikut:
I.Akne Sejati :
a. Akne vulgaris
b. Akne venenata
c. Akne fisika
a. Akne vulgaris :
1. akne troipika
2. akne mekanika
3. akne fulminan
4. pioderma fasiale
5. akne neonatorum
6. akne karena hormon (testosteron, progesterone).
b. 1. Akne kosmetika
2. Ane klor
3. Akne jabatan/kerja
c. 1. Akne senilis
2. Akne radiasi
3 Akne estivalis
II. Erupsi Akneiformis
Menurut Frank (1979) erupsi akneiformis ada berbagai macam:
1. Akne komedonal tak meradang
2. Akne komedonal meradang
3. Akne papula ringan
4. Akne papulo-pustular
5. Akne berat: lesi agak banyak
6. Akne berat: nodus, kista, banyak komedo, papul, pustul.
7. Akne konglobata.
Patogenesis
Patogenesis akne vulgaris sangat kompleks dipengaruhi banyak faktor dan kadang-kadang
masih controversial. Asam lemak bebas yang terbentuk dari trigliserida dalam sebum
menyebabkan kekentalan sebum bertambah dan menimbulkan sumbatan saluran pilosebasea
serta reaksi radang disekitarnya (komedogenik). Pembentukan pus, nodus, dan kista terjadi
sesudahnya.
Ada empat hal penting yang berhubungan dengan terjadinya akne :
1. Kenaikan sekresi sebum
Akne biasanya mulai timbul pada masa pubertas pada waktu kelenjar sebasea
membesar dan mengeluarkan sebum lebih banyak. Terdapat korelasi antara hebatnya akne
dan produksi sebum. Pertumbuhan kelenjar palit dan produksi sebum dibawah pengaruh
hormon androgen. Pada penderita akne terdapat peningkatan konversi hormon androgen yang
normal berada dalam darah (testosteron) kebentuk metabolit yang lebih aktif (5-alfa
dihidrotestosteron). Hormon ini mengikat reseptor androgen di sitoplasma dan akhirnya
menyebabkan proliferasi sel penghasil sebum.
Meningkatnya produksi sebum pada penderita akne disebabkan oleh respon organ
akhir yang berlebihan (end-organ hyperresponse) pada kelenjar palit terhadap kadar normal
androgen dalam darah. Terbukti bahwa, pada kebanyakan penderita, lesi akne hanya
ditemukan dibeberapa tempat yang kaya akan kelenjar palit.
Akne mungkin juga berhubungan dengan komposisi lemak. Sebum bersifat
komedogenik tersusun dari campuaran skualen, lilin (wax), ester dari sterol, kholesterol, lipid
polar, dan trigliserida. Pada penderita akne terdapat kecenderungan mempunyai kadar
skualen dan ester lilin (wax) yang tinggi, sedangkan kadar asam lemak terutama asam
leinoleik, rendah. Mungkin hal ini ada hubungan dengan terjadinya hiperkeratinisasi pada
kelenjar sebasea.
2. Keratinisasi folikel
Keratinisasi pada saluran pilosebasea disebabkan oleh adanya penumpukan korniosit
dalam saluran pilosebasea. Hal ini dapat disebabkan karena bertambahnya erupsi korniosis
pada saluran pilosebasea, pelepasan korniosit yang tidak adekuat, kombinasi kedua faktor
diatas. Bertambahnya produksi korniosit dari sel keratinosit merupakan salah satu sifat
komedo.
Terdapat hubungan terbalik antara sekresi sebum dan konsentrasi asam linoleik dalam
sebum. Menurut Downing, akibat dari meningkatnya sebum pada penderita akne, terjadi
penurunan konsentrasi asam lenolik. Hal ini dapat menyebabkan defisiensi asam lenoleik
pada epitel folikel, yang akan menimbulkan hiperkeratosis folikuler dan penurunan fungsi
barier dari epitel. Dinding komedo lebih mudah ditembus bahan-bahan yang menimbulkan
peradangan. Walaupun asam lenoleik merupakan unsur penting dalam seramaid-1, lemak lain
mungkin juga berpengaruh pada patogenesis akne. Kadar sterol bebas juga menurun pada
komedo sehingga terjadi ketidak seimbangan antara kholesterol bebas dengan kholesterol
sulfat sehinggga adhesi korneosit pada akroinfundibulum bertambah dan terjadi
hiperkeratosis folikel.
3. Bakteri
Tiga macam mikroba yang terlibat dalam patogenesis akne adalah corynebakterium
Acne, Stafylococcus epidermidis, dan pityrosporum ovale (malazzea furfur). Adanya sebore
pada pubertas biasanya disertai dengan kenaikan jumlah corynebacterium acne, tetapi tidak
ada hubungan dengan jumlah bakteri pada permukaan kulit atau dalam saluran pilosebasea
dengan derajat hebatnya akne. Tampaknya ketiga macam bakteri ini bukanlah penyebab
primer pada proses patologis akne. Beberapa lesi mungkin timbul tanpa ada mikroorganisme
yang hidup, sedangkan pada lesi yang lain mikroorganisme mungkin memegang peranan
penting. Bakteri mungkin berperan pada lamanya masing-masing lesi. Apakah bakteri yang
berdiam dalam folikel (residen bacteria) mengadakan eksaserbasi tergantung pada lingkungan
mikro dalam folikel tersebut. Menurut hipotesis Saint-Leger skualen yang dihasilkan oleh
kelenjar palit dioksidasi dalam kelenjar folikel dan hasil oksidasi ini dapat menyeebabkan
terjadinya komedo. Kadar oksigen dalam folikel berkurang dan akhirnya menjadi kolonisasi
C..Acnes. bakteri ini memproduksi porfirin, yang bila dilepaskan dalam folikel akan menjadi
katalisator untuk terjadinya oksidasi skualen, sehingga oksigen dalam folikel tambah
berkurang lagi. Penurunan tekanan oksigen dan tingginya jumlah bakteri ini dapat
menyebabkan peradangan folikel. Hipotesis ini dapat menerangkan mengapa akne hanya
dapat terjadi pada beberapa folikel, sedangkan folikel yang lain tetap normal
4. Peradangan
Faktor yang menyebabkan peradangan pada akne belumlah diketahui dengan pasti.
Pencetus kemotaksis adalah dinding sel dan produk yang dihasilkan oleh C.Acnes seperti
lipase, hialuronidase, protease, lesitinase dan nioranidase, memegang peranan penting dalam
proses peradangan.
Factor kemotaktik yang berberat molekul rendah (tidak memerlukan komplemen
untuk bekerja aktif), bila keluar dari folikel, dapat menarik leukosit nucleus polimorfi (PMN)
dan limfosit. Bila masuk kedalam folikel, PMN dapat mencerna C. Acnes dan mengeluarkan
enzim hidrolitik yang bisa menyebabkan kerusakan dari folikel sebasea. Limfosit dapat
merupakan pencetus terbentuknya sitokin.
Bahan keratin yang sukar larut, yang terdapat di dalam sel tanduk serta lemak dari
kelenjar palit dapat menyebabkan reaksi non spesifik, yang disertai makrofag dan sel-sel
raksasa.
Pada masa permulaan peradangan yang ditimbulkan oleh C.Acnes, juga terjadi
aktivasi jalur komplemen klasik dan alternatif (classical and alternative complement
pathways). Respon penjamu terhadap mediator juga amat penting. Selain itu antibody
terhadap C.Acnes juga meningkat pada penderita akne hebat.
Terdapat empat mekanisma utama kejadian jerawat.
- Kelenjar minyak menjadi besar (hipertropi) dengan peningkatan penghasilan sebum
(akibat rangsangan hormon androgen)
- Hiperkeratosis (kulit menjadi tebal) epitelium folikular (pertumbuhan sel-sel yang
cepat dan mengisi ruang folikel polisebaceous dan membentuk plug).
- Pertumbuhan kuman, propionibacterium acnes yang cepat (folikel pilosebaceous yang
tersumbat akan memerangkap nutrien dan sebum serta menggalakkan pertumbuhan
kuman.
- Inflamasi (radang) akibat hasil sampingan kuman propionibacterium acnes.
Proses terbentuknya dimulai dengan adanya radang saluran kelenjar minyak kulit,
kemudian dapat menyebabkan sumbatan aliran sebum yang dikeluarkan oleh kelenjar sebasea
di permukaan kulit, sehingga timbul erupsi ke permukaan kulit yang dimulai dengan komedo.
Proses peradangan selanjutnya akan membuat komedo berkembang menjadi papul, pustul,
nodus dan kista. Bila peradangan surut terjadi jaringan parut.
Sumbatan saluran kelenjar minyak dapat terjadi karena:
1. Perubahan jumlah dan konsistensi kelenjar minyak dalam kulit yang terjadi karena
berbagai faktor, antara lain: genetik, rasial, hormonal, cuaca, makanan, stress fisik, dll.
Terjadi pada acne vulgaris. Banyak terdapat di muka, leher, punggung, bahu dan lengan
atas.
2. Tertutupnya saluran keluar kelenjar sebasea oleh masa eksternal, baik dari kosmetik,
bahan kimia, detergen. Akne jenis ini disebut akne venenata. Hanya terdapat pada daerah
yang terpapar, biasanya di muka, lengan atas dan bawah, serta betis.
3. Saluran keluar kelenjar sebasea menyempit akibat radiasi sinar ultra violet atau sinar
radioaktif, dikenal sebagai akne fisik.
Gejala Klinik
Keluhan yang sering timbul biasanya lebih karena gangguan estetik atau keindahan
yang dirasakan oleh penderita, bukan karena gangguan fisik kesehatan secara umum.
Penderita biasanya mengeluh adanya erupsi kulit pada tempat-tempat predileksi,
yakni di muka, bahu, leher, dada, punggung bagian atas, dan lengan bagian atas. Dapat
disertai rasa gatal. Erupsi kulit berupa komedo, papul, pustula, nodus, atau kista. Isi komedo
ialah sebum yang kental atau padat. Isi kista biasanya pus dan darah.
Nomenklatur diagnosis akne vulgaris dapat dilakukan menurut :
1. Berat ringannya penyakit
Akne vulgaris ringan, berat, dan sedang. Akne vulgaris I, II, III, IIV.
2. Morfologi klinis
Akne vulgaris komedonal, papulosa,pustulosa, nodulo-kistik.
Akne vulgaris komedonal dan papulosa disebut juga tanpa inflamasi. Akne vulgaris
nodulosa-kistik disebut sebagai yang ada inflamasi.
3. Kombinasi 1 & 2
Akne vulgaris papulosa ringan
Akne vulgaris pustulosa berat.
Penentuan berat ringan penyakit atau tingkat I II III IV berbeda diantara para penyelidik
satu dengan yang lainnya.
Berikut ini dicantumkan empat gradasi menurut PILL SBURY (1963)
I. Komedo di muka
II. Komedo, papul, pustul, dan peradangan lebih dalam di muka
III. Komedo, papul, pustul, dan lebih dalam peradangan di muka, punggung, dan dada.
IV. Akne konglobata.
Bentuk lesi akne vulgaris adalah polimorf. Lesi yang khas adalah komedo. Bila terjadi
peradangan akan terbentuk papula, pustula, nodul, dan kista. Bila sembuh, lesi dapat
meninggalkan eritem dan hiperpigmentasi pasca inflamasi, bahkan dapat terbentuk sikatrik
seperti cetakan es yang atrofik ( Ice pick lilac atropic scar) dan keloid. Lesi terutama timbul
di daerah yang banyak mempunyai kelenjar palit seperti muka, punggung dan dada.
Komedo lazim dikenal senagai kepala hitam (komedo terbuka) dan kepala putih (komedo
tertutup). Komedo dapt menjadi lesi dasar pada akne. Ia akibat fungsi lobang folikular
sebasea yang salah maupun oleh proses hiperkeratinisasi yang salah pada lubah folikular.
Sumbat yang dihasilkan komedo mendilatasi mulut folikel dan papula dibentuk oleh
peradangan sekeliling komedo. Kista kecil, pustula, atau papula yang telah terinfeksi bisa
terbentuk disekeliling komedo. Selain itu bisa terlihat nodulus, infiltrasi granulomatosa dalam
peradangan karena asam lemak atau piokokus, jaringan parut dan keloid.
Diagnosis
Walaupun satu macam lesi lebih dominan daripada lesi yang lain, umumnya diagnosis
akne vulgaris didasarkan pada campuran lesi terbentuk komedo, papula, nodul pada muka,
punggung, dan dada.
Diagnosis akne vulgaris ditegakkan atas dasar klinis dan pemeriksaan ekskokleasi
sebum, yaitu pengeluaran sumbatan sebum dengan komedo ekstraktor (sendok Unna). Sebum
yang menyumbat folikel tampak sebagai massa padat seperti lilin atau massa lebih lunak
bagai nasi yang ujungnya kadang berwarna hitam.
Pemeriksaan histopatologis memperlihatkan gambaran yang tidak spesifik berupa
sebukan sel radang kronis di sekitar folikel sebasea dengan massa sebum di dalam folikel.
Pada kista, radang sudah menghilang di ganti dengan jaringan ikat pembatas massa cair
sebum yang bercampur dengan darah, jaringan mati, dan keratin yang lepas.
Pemeriksaan mikrobiologis terhadap jasad renik yang mempunyai peran pada etiologi
dan patogenesis penyakit dapat dilakukan laboratorium mikrobiologi yang lengkap untuk
tujuan penelitian, namun hasilnya sering tidak memuaskan.
Pemeriksaan susunan dan kadar lipid permukaan kulit (skin surface lipids) dapat pula
dilakukan untuk tujuan serupa. Pada akne vulgaris kadar asam lemak bebas (free fatty acid)
meningkat dan karena itu pada pencegahan dan pengobatan digunakan cara untuk
menurunkannya.
Diagnosis pasti menurut Orkins (1991)
Penyakit pleomorfik dengan campuran dari komedo terbuka (blackheads), komedo
tertutup (white heads), papula, pustula, nodul,dan mungkin luka bekas (scar)
Sebagian besar menyerang remaja
Umumnya paling banyak di muka, juga di punggung dan dada, lebih banyak di tengah-
tengah (pusat)
Menurut Andrianto dan Sukardi (1988)
Diagnosis akne sebagai berikut :
Harus dicari faktor penyebab atau pencetusnya termasuk umur penderita
Klinis ditemukan adanya komedo dan lokalisasi yang khas.
Diagnosis Banding
1. Erupsi akneiformis yang disebabkan oleh obat misalnya kortikosteroid, INH, barbiturat,
yodida, bromida, difenilhidantoin, trimetadion, ACTH, dan lain-lainya. Klinis berupa
erupsi papul-papul yang timbul diberbagai tempat pada kulit tanpa adanya komedo,
timbul mendadak, dan kadang-kadang disertai demam. Dapat terjadi pada segala usia.
2. True Akne lain, misalnya akne venenata dan akne komedonal oleh rangsangan fisis.
Umumnya lesi monomorfi, tidak gatal, bisa berupa komedo atau papul, dengan tempat
predileksi di tempat kontak zat kimia atau rangsangan fisisnya.
3. Rosasea (dulu:akne rosasea). Merupakan penyakit peradangan kronik di aerah muka
dengan gejala eritem, pustul, teleangiektasis dan kadang-kadang disertai hipertrofi
kelenjar sebasea di hidung, pipi, dagu, dan dahi. Dapat disertai papul, pustul, dan
nodulus, atau kista. Komedo tidak terdapat, faktor penyebab adalah makanan atau
minuman panas.
4. Dermatitis Perioral yang terjadi terutama pada wanita. Klinis berupa polimorfi eritema,
papul, dan pustul disekitar mulut yang terasa gatal.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan akne vulgaris meliputi usaha untuk mencegah terjadinya erupsi
(preventif) dan usaha untuk menghilangkan jerawat yang terjadi (kuratif). Kedua usaha
tersebut harus dilakukan bersamaan mengingat bahwa kelainan ini terjadi akibat pengaruh
berbagai faktor (multifaktorial), baik faktor internal dari dalam tubuh sendiri (ras, familial,
hormonal), maupun faktor eksternal (makanan, musim, stres) yang kadang-kadang tidak
dapat dihindari oleh penderita.
Pengobatan Akne
Pengobatan akne dapat dilakukan dengan cara memberikan obat-obatan topical, obat
sistemik, bedah kulit atau kombinasi cara-cara tersebut.
A. Pengobatan topical
Pengobatan topical dilakukan untuk mencegah pembentukan komedo, menekan
peradangan, dan mempercepat penyembuhan lesi.
Obat topical terdiri atas :
1. Bahan iritan yang dapat mengelupas kulit, misalnya sulfur (4-8%), resorsinol (1-5%),
asam salisilat (2-5%), peroksida benzoil (2,5-10%), dan asam azeleat (15-20%).
2. Antibiotik topical yang dapat mengurangi jumlah mikroba dalam folikel yang
berperan dalam etiopatogenesis akne vulgaris, misalnya oksi tetrasiklin (1%), eritromisin
(1%), klindamisin fosfat (1%).
3. Antiperadangan topical, salap atau krim kortikosteroidnkekuatan ringan atau sedang
(hidrokortison 1-2,5%) atau suntikan intralesi kortikosteroid kuat pada lesi nodulo-kistik.

B. Pengobatan Sistemik
Pengobatan sistemik ditujukan terutama untuk menekan aktivitas jasad renik di
samping dapat juga mengurangi reaksi radang, menekan produksi sebum, dan mempengaruhi
keseimbangan hormonal. Golongan obat sistemik terdiri atas :
1. Antibakteria sistemik ; tetrasiklin (250 mg-1.0 g/hari), doksisiklin(50mg/hari),
eritromisin (4x250mg/hari),azitromisin 250-500mg seminggu 3x,dan trimetoprim-
sulfanetoksazol untuk akne yang parah dan tidak responsive dengan obat lain, karena efek
sampingnya.
2. Obat hormonal untuk menekan produksi androgen dan secara kompetitif menduduki
reseptor organ target di kelenjar sebasea, misalnya estrogen.
3. Vitamin A dan retinoid oral

C. Bedah kulit
Tindakan bedah kulit kadang-kadang diperlukan terutama untuk memperbaiki jaringan parut
akibat akne vulgaris meradang yang berat yang sering menimbulkan jaringan parut, baik yang
hipertrofik maupun yang hipotrofik. Tindakan dilakukan setelah akne vulgaris sembuh.
1. Bedah skapel dilakukan untuk meratakan sisi jaringan parut yang menonjol.
2. Bedah listrik dilakukan pada komedo tertutup untuk mempermudah pengeliaran
sebum atau untuk drainase cairan pada nodulo-kistik.
3. Bedah kimia dengan asam triklor asetat atau fenol untuk meratakan jaringan parut
yang berbenjol.
4. Dermabrasi untuk meratakan jaringan parut hipo dan hipertrofi pasca akne yang luas.

D. Terapi sinar
Terapi sinar biru (Blue Light Therapy) adalah terapi akne memakai sinar biru (panjang
gelomrbang 420 nm) yang dapat membasmi P.acnes dengan cara merusak porfirin dalan sel
bakteri.
Prognosis
Umumnya prognosis penyakit baik, tetapi sebagian penderita sering residif. Akne
vulgaris umumnya sembuh sebelum mencapai usia 30-40 an. Jarang terjadi akne vulgaris
yang menetap sampai tua atau mencapai gradasi sangat berat sehingga perlu rawat inap di
rumah sakit. Namun ada yang sukar diobati, mungkin ada faktor genetika. Bila banyak
sikatrik bisa dilakukan dermabrasi oleh yang ahli.6

E. ROSASEA
Rosasea adalah
penyakit kulit kronis pada
daerah sentral wajah (yang
menonjol/cembung) yang
ditandai dengan kemerahan
pada kulit dan telabgiektasi
disertai episode peradangan
yang memunculkan erupsi
papul, pustul, dan edema.

Epidemiologi
Rosasea sering diderita pada umur 30 40 tahun, namun dapat pula pada remaja
maupun orang tua. Umumnya wanita lebih sering terkena dari pria. Ras kulit putih (kaukasia)
lebih banyak terkena dari kulit hitam (Negro) atau berwarna (Polinesia), dan di negara barat
lebih sering pada mereka yang bertaraf sosio-ekonomi rendah
Etiologi dan patogenesis
Etiologi rosasea tak diketahui. Ada berbagai hipotesis faktor penyebab:1
1. Makanan
Alkohol merupakan penyebab rosasea yang diutarakan sejak zaman shakespeare dan
pernah ditulis dalam salah satu bukunya. Konstipasi, diare penyakit gastrointestinal dan
bahkan penyakit kelenjar empedu telah pula dianggap sebagai faktor penyebab.
2. Psikis
3. Obat
Adanya peningkatan bradiinin yang lepas oleh adrenalin pada saat kemerahan kulit
flushing menimbulkan dugaan adanya peran berbagai obat, baik sebagai penyebab
maupun yang dapat digunakan sebagai terapi rosasea.
4. Infeksi
Demodex folliculorum dahulu dianggap berperan pada etiologi rosasea, namun akhir-
akhir ini mulai ditinggalkan.
5. Musim
Peran musim panas atau musim dingin, termasuk didalamnya peran sinar ultraviolet
matahari yang dapat menimbulkan kerusakan pembuluh darah kulit penyebab eritema
persisten masih terus diselidiki karena belum jelas dan bertentangan hasilnya.
6. Imunologis
Dari lapisan dermo-epidermal penderita rosasea ditemukan adanya deposit
imunoglobulin oleh beberapa peneliti, sedang di kolagen papiler ditemukan antibodi
sehingga ada dugaan faktor imunologi pada rosasea.
7. Defisiensi vitamin, hormonal dan sebore pernah disangkal berperan pada etiologi rosasea
namun tidak dapat ditemukan.
Gejala Klinis
Tempat predileksi rosasea adalah di sentral wajah, yaitu hidung, pipi, dagu, kening,
dan alis. Kadang-kadang meluas ke leher bahkan pergelangan tangan atau kaki. Lesi umunya
simetris.
Gejala utama rosasea adalah eritema, telangiektasia, papul, edema, dan pustul. Komedo
tak ditemukan dan apabila ada mungkin kombinasi dengan akne (komedo solaris, akne
kosmetika). Adanya eritema dan telangiektasia adalah persisten pada setiap episode dan
merupakan gejala khas rosasea. Papul kemerahan pada rosasea tidak nyeri, berbeda dengan
akne vulgaris, dan hemisferikal. Pustul hanya ditemukan pada 20% penderita, sedang edema
dapat menghilang atau menetap antara episode
Stadium dari Rosasea
Stadium 1 : rosasea dimulai dengan timbulnya eritema tanpa sebab atau akibat sengatan
matahari. Eritema ini menetap lalu diikuti telangektasia.
Stadium 2 : diselingi episode akut yang menyebabkan timbulnya papul, pustul dan
edema, terjadilah eritema persisten dan banyak telangiektasia, papul dan pustul.
Stadium 3 : eritema persisten yang dalam, banyak telangiektasia, papul, pustul, nodus,
dan edema. Komplikasi rinofima atau peradangan okuler merupakan hal yang terjadi
kemudian.
Pemeriksaan penunjang
Histopatologi
Gambaran histopatologi rosasea khas namun tidak patognomonik. Terdapat ektasia
vaskular, edema dermis, dan disorganisasi jaringan konektif dermis. Solar elastosis juga
sering terlihat. Derajat peradangan bergantung pada kondisi dan stadium lesi. Sel radang
limfosit dan histiosit dan bahkan sel raksasa pada dermis dan perivaskular, sel plasma dan sel
mast dapat juga terlihat, apalagi bila edema berlangsung lama. Pada pustul terdapat sebaran
sel PMN sekitar folikel. Demodex folliculorum sering ditemukan dalam folikel infudibulum
dan duktus sebasea.
Diagnosis banding
1. Akne vulgaris
Akne vulgaris terjadi pada umur remaja, kulit seborhoe, klinis komedo, papul, pustul,
nodus, kista. Tempat predileksi muka, leher, bahu, dada, dan punggung bagian atas.
Tidak ada telangiektasia.
2. Dermatitis seboroika
Terdapat sebore, skuama berminyak dan agak gatal. Tempat predileksi retroaurikular,
alis mata, sulkus naso labial.
3. Dermatitis perioral
Terjadi pada wanita muda, tempat predileksi sekitar mulut dan dagu, polimorfi tanpa
telangiektasia dan keluhan gatal.
4. Lupus eritematosus
Meskipun SLE dapat menstimulasi terjadinya rosasea, namun klinis terlihat eritema dan
atrofi pada pipi dan hidung dengan batas tegas dan berbentuk kupu-kupu.
Penatalaksanaan
1. Non medikamentosa: Edukasi
Menghindari makanan yang dapat menyebabkan flushing seperti coklat, wine,
makanan pedas, minuman panas ataupun dingin. Jangan terlalu banyak terpajan
matahari, udara yang terlalu panas ataupun dingin.
Menghindari beberapa obat, seperti steroid potent yang dapat menyebabkan
pelebaran pembuluh darah (telangiektasia) dan juga obat- obat vasodilator seperti
nitrates, calcium channel blockers, and thiazide diuretics.2
2. Medikamentosa
a. Topikal
i. Tetrasiklin, klindamisin, eritromisin dalam salap 0,5 2,0%. Eritromisin lebih baik
hasilnya dibandingkan lainnya.
ii. Metronidasol 0,75% gel atau krim 2% efektif untuk lesi papul dan pustul.
iii. Imidasol sendiri atau dengan ketokonasol atau sulfur 2-5% dapat dicoba.
iv. Isotretinoin krim 0,2% juga bermanfaat.
v. Antiparasit untuk membunuh D. follikulorum; misalnya lindane, kromiton, atau
bonsoil bensoat.
vi. Kortikosteroid kekuataan rendah (krim hidrokortison 1%) hanya dianjurkan pada
stadium berat.
b. Sistemik
i. Tetrasiklin, eritromisin, doksisiklin, minosiklin dengan dosis yang sama dengan
dosis akne vulgaris beradang memberikan hasil yang baik karena efek antimikroba
dan anti inflamasinya.
Dosis kemudian diturunkan bila lesi membaik.
ii. Isotretinoin (13 cis retinoat) 0,5-1,0/KgBB sehari dapat digunakan kecuali bila ada
rosasea pada mata. Penggunaannya harus diamati secara ketat.
iii. Metronidasol 2 x 500 mg/hari efektif baik stadium awal maupun lanjut.
c. Lainnya
i. Sunblock dengan SPF 15 atau lebih dianjurkan dipakai penderita untuk menahan
sinar UVA dan UVB.
ii. Masase fasial dahulu dianjurkan dilakukan, namun hasilnya tidak jelas.
iii. Bedah kulit; skalpel atau dermabrasi untuk rinofima dan bedah listrik untuk
telangiektasia
Komplikasi
1. Rinofima
2. Inflamasi okular
3. Rosasea limfedema
Prognosis
Rosasea umumnya persisten, berangsur bertambah berat melalui episode akut. Namun
ada pula yang remisi secara spontan.6, 7
BAB V
KESIMPULAN

Kelompok kami menyimpulkan bahwa dugaan sementara pasien ini menderita


dermatitis kontak iritan. Hal ini berdasarkan gejala-gejala dari pasien berupa Wajah penuh
bisul-bisul kecil, setiap berekspresi sedikit saja, makan pedas, makan yang agak panas kulit
wajah jadi merah apalagi kena sinar matahari, kulit wajah merah seperti kepiting rebus.
Keluhan timbul setelah 4 bulan pemakaian pemutih wajah, hal ini bisa dikarenakan efek
sampingd ari komposisi pemutih wajah yang digunakan pasien. Umumnya, prognosis dari
dermatitis kontak iritan baik, apabila bahan iritan penyebab dermatitis tersebut dapdt
disingkirkan secara sempurna.
DAFTAR PUSTAKA

1. Hogan DJ. Irritant contact dermatitis. Updated at October 16, 2009. Available at :
http://emedicine.medscape.com/article/1049353-overview. Accessed on May 2011.
2. Sularsito SA, Djuanda S. Dermatitis. Dalam: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S (editor). Ilmu
penyakit kulit dan kelamin. Edisi 5. Jakarta: FKUI; 2009.p. 129-53.
3. United States Environmental Protection Agency. Mercury. Available at :
http://www.epa.gov/mercury/effects.htm. Accessed on May 2011. Accessed on May 2011.
4. Canadian Center for Occupational Health and Safety. Health effects of mercury. Available at:
http://www.ccohs.ca/oshanswers/chemicals/chem_profiles/mercury/health_mercury.html.
Accessed on May 2011.
5. Wasitaatmadja SM. Anatomi kulit. Dalam: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S (editor). Ilmu
penyakit kulit dan kelamin. Edisi 5. Jakarta: FKUI; 2009.p. 3-5.
6. Wasitaatmadja SM. Akne, erupsi akneiformis, rosasea, rinofima. Dalam: Djuanda A, Hamzah
M, Aisah S (editor). Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi 5. Jakarta: FKUI; 2009.p. 253-63.
7. MedicineNet.com. Rosacea. Available at:
http://www.medicinenet.com/rosacea/page6.htm#55whatshould. Accessed on May 2011.

Anda mungkin juga menyukai