I. PENDAHULUAN
II. INSIDENSI
1
Pada tahun 2008, US Livesaving Association mealporkan lebih dari 70.000
selamat dari kecelakaan akibat tenggelam di pantai. Kejadian tenggelam memiliki
prevalensi yang sama antara laki-laki dan perempuan namun laki-laki memiliki
tingkat 3 kali lebih tinggi dibandingkan perempuan disebakan karena kecerobohan
dan penggunaan alkohol. Di Indonesia data kejadian tenggelam belum ada.4
III. PENYEBAB
2
IV. PATOMEKANISME
V. KLASIFIKASI
3
mengalami kematian. Tipe ini biasanya berhubungan dengan asidosis metabolic,
edema pulmonal atau pnemonitis kimia.1,3,8
Pada keadaan air tawar akan dengan cepat diserap dalam jumlah besar
terjadi absorbsi cairan masif ke dalam membran alveolus, karena konsentrasi
elektrolit dalam air tawar lebih rendah daripada konsentrasi dalam darah, maka
akan terjadi hemodilusi darah, air masuk ke dalam aliran darah sekitar alveoli dan
mengakibatkan pecahnya sel darah merah (hemolisis). Akibat terjadi perubahan
4
biokimiawi yang serius yaitu pengenceran darah yang terjadi, tubuh berusaha
mengkompensasinya dengan melepaskan ion Kalium dari serabut otot jantung
sehingga kadar ion dalam plasma meningkat, akibatnya terjadi perubahan
keseimbangan ion K dan Ca dalam serabut otot jantung sehingga terjadi anoksia
yang hebat pada myocardium dan mendorong terjadinya fibrilasi ventrikel dan
penurunan tekanan darah, jantung untuk beberapa saat masih berdenyut dengan
lemah yang kemudian menimbulkan kematian akibat anoksia otak hebat, ini yang
menerangkan mengapa kematian dapat terjadi dalam waktu hanya beberapa
menit.2,3
Menurut teori ketika sejumlah air yang sedikit masuk dalam laring atau
trakea maka terjadi spasme laring secara tiba-tiba yang dimediasi sebagai refleks
vagal. Mukus yang kental, berbusa dan berbuih dapat terjadi, hingga menciptakan
suatu perangkap fisik yang menyumbat jalan nafas.5,6
5
Secara normal saat bernapas diafragma berkontraksi dan menyebabkan paru-paru
mengembang, mekanisme ini menyebabkan udara masuk ke dalam paru-paru
karena tekanan negatif yang terbentuk. Ketika air atau benda asing lainnya
teraspirasi maka terjadi spasme laring yang menyebabkan udara tidak dapat
masuk ke dalam paru. Sedangkan saat itu paru sedang dalam kondisi
mengembang, otot diafragma berkontraksi sehingga tekanan negatif tetap ada di
paru. Usaha korban untuk mendapatkan udara masuk dilakukan dengan
menghirup udara dengan lebih kuat, tetapi hal ini hanya menambah tekanan
negatif dalam paru. Obstruksi aliran masuk oksigen menyebabkan hipoksia dan
obstruksi dari aliran keluar karbondioksida menyebabkan asidosis yang keduanya
menyebabkan kematian. Tekanan negatif yang muncul menyebabkan tertariknya
cairan dari pembuluh darah ke dalam paru sehingga menyebabkan edema paru dan
pasien tenggelam karena cairan tubuhnya sendiri. Pada saat yang sama, sistem
saraf simpatik merespon kondisi spasme pada laring. Sistem ini menyebabkan
vasokonstriksi yang mengakibatkan peningkatan tekanan darah yang akhirnya
mempeburuk proses edema paru yang sudah ada. 6
Sumbat fisik dan spasme laring tidak dapat ditemukan pada saat otopsi
karena pada kematian terjadi relaksasi otot-otot laring, sehingga hal tersebut
hanyalah sebuah hipotesis dan belum dapat dibuktikan. Namun demikian,
penelitian Pesarri menggunakan anjing yang dianestesi menemukan bahwa,
injeksi larutan nonisosmolar pada saluran napas bagian bawah dapat memicu
timbulnya reflex vagal ini.5,10
Tenggelam secara tiba-tiba di air yang sangat dingin (< 20oC atau 68oF)
juga dapat memicu refleks vagal yang menginduksi disaritmia yang menyebabkan
asistol dan fibrilasi ventrikel sehingga menyebabkan kematian. Umumnya korban
berusia muda dan mengkonsumsi alkohol. Reflek ini dapat juga timbul pada
korban yang masuk ke air dengan kaki terlebih dahulu (duck diving) yang
menyebabkan air masuk ke hidung, atau teknik menyelam yang salah dengan
masuk air dalam posisi horizontal sehingga menekan perut. Tidak akan ditemukan
tanda-tanda khas dari tenggelam. Diagnosis ditegakkan dengan menelusuri
riwayat korban sebelum meninggal. 6,9,7
6
V.3 NEAR DROWNING
Near Drowning adalah suatu keadaan dimana muncul gejala beberapa hari
setelah korban tenggelam diselamatkan dan korban meninggal akibat komplikasi
akibat kegagalan multiorgan.7-9
7
Lebam mayat (livor mortis), akan tampak jelas pada dada bagian depan,
leher dan kepala. Lebam mayat berwarna merah terang. Sebagai hasil dari
pembekuan OxyHb.
Pembusukan sering tampak, kulit berwarna kehijauan atau merah gelap.
Pada pembusukan lanjut tampak gelembung-gelembung pembusukan.
Gambaran kulit angsa (goose-flesh, cutis anserina), sering dijumpai;
keadaan ini terjadi selama interval antara kematian somatik dan seluler,
atau merupakan perubahan post mortal karena terjadinya rigor mortis pada
mm.erector pili. Cutis anserina tidak mempunyai nilai sebagai kriteria
diagnostik.
Washerwoman, penenggelaman yang lama dapat menyebabkan pemutihan
dan kulit yang keriput pada kulit. Biasanya ditemukan pada telapak tangan
dan kaki (tampak 1 jam setelah terbenam dalam air hangat). Gambaran ini
tidak mengindikasikan bahwa mayat ditenggelamkan, karena mayat
lamapun bila dibuang kedalam air akan keriput juga.
8
Busa halus putih yang berbentuk jamur (mush room-like mass). Masuknya
cairan kedalam saluran pernafasan merangsang terbentuknya mukus,
substansi ini ketika bercampur dengan air dan surfaktan dari paru-paru dan
terkocok oleh karena adanya upaya pernafasan yang hebat. Busa dapat
meluas sampai trakea, bronkus utama dan alveoli. Paru-paru akan terisi air
dan cairan busa akan menetes dari bronkus ketika paru-paru di tekan dan
dari potongan permukaan paru ketika dipoting dengan pisau.
Gambar 2. Busa halus putih yang berbentuk jamur (mush room-like mass) 8
Pada lidah ditemukan memar atau bekas gigitan, yang merupakan tanda
bahwa korban berusah untuk hidup atau tanda sedang terjadi epilepsi,
sebagai akibat dari masuknya korban kedalam air.
Cadaveric spasme, ini secara relatif lebih sering terjadi dan merupakan
reaksi intravital. Sebagaimana sering terdapat benda-banda, seperti rumput
laut, dahan atau batu. Ini menunjukkan bahwa waktu korban mati,
berusaha mencari pegangan lalu terjadi kaku mayat.
Perdarahan berbintik (petechial haemmorrhages), dapat ditemukan pada
kedua kelopak mata, terutama kelopak mata bagian bawah.
Luka-luka pada daerah wajah, tangan dan tungkai bagian depan dapat
terjadi akibat persentuhan korban dengan dasar sungai atau terkena benda-
9
benda disekitarnya. Luka-luka tersebut seringkali mengeluarkan darah,
sehingga tidak jarang korban dianiaya sebelum ditenggelamkan.
10
cairan dari paru-paru ke rongga pleura sehingga berat paru-paru akan
berkurang dan sebaliknya terjadi peningkatan volume efusi pleura.
Emphysema aquosum atau emphysema hyroaerique yaitu paru-paru
tampak pucat dengan diselingi bercak-bercak merah di antara daerah yang
berwarna kelabu; pada pengirisan tampak banyak cairan merah kehitaman
bercampur buih keluar dari penampang tersebut, yang pada keadaan paru-
paru normal keluarnya cairan bercampur busa tersebut baru tampak setelah
dipijat dengan dua jari. Emphysema aquosum dijumpai pada sekitar 80 %
kasus tenggelam, dan adanya kelainan tersebut merupakan bukti yang kuat
bahwa kematian korban karena tenggelam. Mekanisme terjadinya
peristiwa ini yaitu air yang terinhalasi akan mengiritasi membran mukosa
dari saluran pernapasan dan menstimulir sekresi mukus; pergerakan
pernapasan dari udara yang ada dalam saluran pernapasan mengocok
substan tersebut sehingga terbentuk busa.
Bila ciri diatas tidak ditemukan pada pemeriksaan dan penyebab lain dari
kematian telah disingkirkan, maka kematian yang terjadi dapat disebabkan
oleh atypical drowning.3 Pada kasus ini tidak ada gejala khas yang dapat
menentukan secara pasti diagnosis dry drowning kecuali tidak atau hanya sedikit
cairan dalam paru. Penegakan diagnosis dibutuhkan pemeriksaan luar dan dalam
serta penelusuran korban sebelum meninggal dan riwayat penyakit yang
11
dideritanya. Hal yang mungkin sedikit membantu adalah menemukan adanya
tanda asfiksia pada korban seperti adanya tanda sianosis pada bibir dan jaringan
bawah kuku, pelebaran pembuluh darah mukosa konjungtiva dan kelopak mata,
tampak adanya edema paru, dapat pula cairan dalam perut tetapi hal ini dapat
mengindikasikan dry drowning atau korban sudah meninggal sebelum di dalam
air. Kasus yang termasuk dalam kategori dry drowning dalam forensik adalah
kasus tenggelam yang terjadi sesaat atau kurang dari 24 jam dari kejadian dimana
pada pemeriksaan dalam tidak atau hanya sedikit cairan yang ditemukan dalam
paru.5,6
12
Beberapa tes telah dikembangkan selama beberapa tahun terakhir untuk
menentukan apakah seseorang tenggelam. Tes Gettler chloride adalah
yang paling terkenal, dimana menganalisa darah yang berasal dari sisi kiri
maupun sisi kanan jantung. Jika kadar klorida dalam darah sisi kanan
jantung lebih kurang dari sisi kiri, orang tersebut dianggap tenggelam
dalam air laut dan begitu sebaliknya jika tenggelam dalam air tawar. Tes
juga dilakukan untuk elemen lain pada darah, seperti membandingkan
grafitasi spesifik darah pada kanan dan kiri atrium. Semua tes yang telah
disebut di atas tidak pasti dan tidak mendukung dalam menyimpulkan
tenggelam.
2. Kematian saat tubuh korban berada dalam air, yang bukan disebabkan
tenggelam
13
trauma oleh karena perahu atau mesin perahu, dapat pula terjadi akibat
diserang oleh hewan buas seperti hiu atau buaya.
IX. KESIMPULAN
14
paru, hati, ginjal, dan susmsum tulang. Bila ciri ini tidak ditemukan pada
pemeriksaan dan penyebab lain dari kematian telah disingkirkan, maka kematian
yang terjadi dapat disebabkan oleh atypical drowning.
Dengan adanya berbagai kemungkinan penyebab kematian pada kasus
tenggelam, maka untuk menentukan sebab pasti kematian diperlukan pemeriksaan
secara cermat dan menyeluruh. Bila tidak ditemukan apapun yang bermakna,
disarankan menuliskan sesuai dengan tenggelam pada kesimpulan visum et
repertum atau mengakui bahwa penyebab kematian tidak dapat ditentukan.
15
DAFTAR PUSTAKA
1. Jay Dix and Robert Calaluce. Asphyxia and Drowning. Forensic Pathology.
CRC Press LLC. 2001. P 73-9.
2. Munim A. Tenggelam. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi 1.
Binarupa Aksara. Jakarta. 1997. Hal 178-89.
3. Howard C. Asphyxxia/Anoxic Deaths. Forensic Medicine. Chelsea House
Publishers. 2006. P 57-64.
4. Sheperd MS. Drowning. [online]. 2008 [cited 2011 Oct 16th]. Available from
URL : www.emedicine.com
5. DiMaio VJ. Death by Drowning. Forensic Pathology Second Edition. CRC
Press LLC. 2001. p 395-402.
6. Jay Dix. Asphyxxia (Suffocation) and Drowning. Color Atlas of Forensic
Pathology. CRC Press LLC. 2001. P 99-115.
7. Derrick Pounder. Injury And Death in Water. Lecture Notes in Forensic
Medicine. University of Dundee. 2004. P 32-4.
8. Bell MD. Drowning. Forensic Pathology Principles and Practice. Elsevier.
New York. p 227-37.
9. Michael Tsokos. Macroscopical, Microscopical, and Laboratory Findings in
Drowning Victims. Forensic Pathology Reviews. Humana Press. 2005. P 3-61
10. Michael T Sheaff and Deborah J Hopster. The Respiratory System. Post
Mortem Technique Handbook Second Edition. Springer. 2004. P 194.
11. Simpson CK. Immersion and Drowning. Simpsons Forensic Medicine
11st edition. Oxford University Press. London. p. 96-9.
12. Shkrum MJ and Ramsay DA. Bodies Recovered From Water. Forensic
Pathology of Trauma:Common Problems for the Pathologist. Humana Press
Inc. New Jersey. 2007. p. 243-94
13. Dounder DJ. Drowning. Encyclopedia of Forensic and Legal Medicine
1st edition. Elsevier. New York. p.227-32
16