PENDAHULUAN
Obstruksi saluran kemih dapat terjadi dari kaliks sampai ke meatus uretra
eksternal. Obstruksi pada saluran kemih merupakan masalah yang sering terjadi,
bisa terjadi akut maupun kronis yang dapat mempengaruhi saluran kemih bagian
atas atau bawah, bahkan keduanya, dan sering muncul sebagai keadaan darurat
urologis. Pada kasus kronis, penanganan yang tepat sangat diperlukan yang
bertujuan untuk mencegah kehilangan nefron secara ireversibel dan terjadinya
gagal ginjal. Obstruksi saluran kemih dibagi menjadi obstruksi saluran kemih
bagian atas dan bagian bawah. Obstruksi bisa akut maupun kronis.1,2
Obstruksi saluran kemih bagian bawah akut dan kronis sering diterapi
pada tahap awal menggunakan kateter uretra. Obstruksi saluran kemih bagian
bawah yang kronis bisa terjadi tekanan tinggi atau rendah. Pada obstruksi yang
tekanan tinggi seringkali diiringi dengan gangguan pada ginjal dan pemantauan
status cairan dan elektrolit serum sangat penting. Tatalaksasna awal untuk
obstruksi tergantung pada ada tidaknya gangguan ginjal dan sepsis.1,2
1
BAB II
ISI
2
Gambar 1. Vesika urinaria
2.1.2 Uretra
3
uretra, terdapat sfingter uretra eksterna yang terdiri atas otot bergaris.
Tonus otot sfingter uretra eksterna dan tonus otot levator ani berfungsi
mempertahankan agar urin tetap berada di dalam buli-buli pada saat
perasaan ingin miksi.4
2.2 Definisi
2.3 Epidemiologi
4
2.4 Etiologi
Penyumbatan (obstruksi) di sepanjang saluran kemih dapat dimulai dari ginjal, dimana urine diproduksi menuju uretra yang
dapat meningkatkan tekanan di dalam saluran kemih dan memperlambat aliran urine. Obstruksi dapat terjadi secara tiba-tiba atau berkembang
perlahan selama berhari-hari, berminggu-minggu, atau bahkan berbulan-bulan. Obstruksi dapat sepenuhnya atau hanya menghalangi sebagian
saluran kemih. Terkadang hanya satu ginjal yang terkena, tapi obstruksi dapat mempengaruhi kedua ginjal.4
Batu buli-
buli
2.4 Patofisiologi
Pada pasien obstruksi saluran kemih bagian bawah yang disebabkan oleh
BPH terdapat dua komponen yang berpengaruh untuk terjadinya gejala yaitu
komponen mekanik dan komponen dinamik. Komponen mekanik ini berhubungan
dengan adanya pembesaran kelenjar periuretra yang akan mendesak uretra pars
prostatika sehingga terjadi gangguan aliran urine (obstruksi infra vesikal)
sedangkan komponen dinamik meliputi tonus otot polos prostat dan kapsulnya,
yang merupakan alpha adrenergik reseptor. Stimulasi pada alpha adrenergik
reseptor akan menghasilkan kontraksi otot polos prostat ataupun kenaikan tonus.
Komponen dinamik ini tergantung dari stimulasi syaraf simpatis, yang juga
5
tergantung dari beratnya obstruksi oleh komponen mekanik.
Pada tahap awal (fase kompensasi), dinding otot kandung kemih menjadi
hipertropi dan menebal. Dengan dekompensasi, ia menjadi kurang kontraktil dan
akan melemah.
1. Tahap kompensasi
6
oleh hipertrofi otot halus sehingga menjadi menonjol.
- Selulosa
- Diverticula
- Mukosa
7
edematous. Hal ini dapat menyebabkan refluks vesikoureteral.
Membran yang kronis bisa menipis dan pucat. Dengan tidak
adanya infeksi, mukosa tampak normal.
2. Tahap dekompensasi
8
yang dahulu dikenal dengan gejala-gejala prostatismus. Dengan semakin
meningkatnya resistensi uretra, otot detrusor masuk ke dalam fase dekompensasi
dan akhirnya tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urin.
Tekanan intravesikal yang semakin tinggi akan diteruskan ke seluruh bagian buli-
buli tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter
ini dapat menimbulkan aliran balik urin dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks
vesico-ureter. Keadaan ini jika berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter,
hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam gagal ginjal.
Striktur uretra paling sering terjadi pada pria karena uretra pria lebih
panjang daripada uretra wanita. Penyebab lainnya ialah tekanan dari luar uretra
seperti tumor pada hipertrofi prostat jinak, atau pun juga bisa diakibatkan oleh
kelainan kongenital, namun jarang terjadi. Striktur uretra menyebabkan retensi
urin di dalam kantung kemih. Penumpukan urin dalam kantung kemih beresiko
tinggi untuk terjadinya infeksi, yang dapat menyebar ke kantung kemih, prostat,
dan ginjal.
Gejala yang disebabkan oleh obstruksi pada saluran kemih bagian bawah
antara lain:
9
- Menunggu pada permulaan miksi (Hesistency)
- Hematuria
Gejala iritatif disebabkan oleh karena pengosongan vesica urinaris yang tidak
sempurna pada saat miksi atau disebabkan oleh karena hipersensitifitas otot
detrusor karena pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada vesica,
sehingga vesica sering berkontraksi meskipun belum penuh, gejalanya ialah :
2. Nokturia
10
- Grade II : Gejala prostatismus + sisa kencing > 50 ml
- Grade III: Retensi urin dengan sudah ada gangguan saluran kemih
bagian atas + sisa urin > 150 ml.
Untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan pada saluran kemih sebelah
bawah, WHO menganjurkan klasifikasi untuk menentukan berat gangguan miksi
yang disebut Skor Internasional Gejala Prostat atau I-PSS (International Prostatic
Symptom Score). Sistem skoring I-PSS terdiri atas tujuh pertanyaan yang
berhubungan dengan keluhan miksi (LUTS) dan satu pertanyaan yang
berhubungan dengan kualitas hidup pasien. Setiap pertanyaan yang berhubungan
dengan keluhan miksi diberi nilai 0 sampai dengan 5, sedangkan keluhan yang
menyangkut kualitas hidup pasien diberi nilai dari 1 hingga 7.
Dari skor I-PSS itu dapat dikelompokkan gejala LUTS dalam 3 derajat, yaitu:
Tidak Hampir
Keluhan pada bulan terakhir <20% <50% 50% >50%
sekali selalu
11
a. Adakah anda merasa buli-
buli tidak kosong setelah 0 1 2 3 4 5
berkemih
Jumlah nilai :
1 = baik 4 = buruk
12
2.6 Diagnosis
Pemeriksaan fisik3
- Simetris/ asimetris
- Adakah krepitasi
Palpasi pada uretra dapat ditemukan adanya penebalan bila terjadi striktur.
Pada pemeriksaan RT dapat ditemukan adanya atonus dari sfingter anus
(kerusakan dari percabangan sacrum) atau jinak atau keganasan dari pembesaran
prostat. Distensi pada kandung kemih juga dapat terjadi.
Walaupun observasi pada kekuatan dan ukuran dari pancaran urin
menghasilkan ukuran kasar aliran maksimum, namun secara rata-rata dapat diukur
secara akurat dengan menggunakan flowmeter urin atau bahkan secara sederhana
13
dengan menggunakan teknik : meminta pasien untuk memulai pengosongan.
Ketika aliran maksimum telah tercapai, pengumpulan urin dilakukan dan secara
simultan pegukuran dengan stopwatch dapat dimulai. Setelah 5 detik, pindahkan
penampung. Rata-rata aliran dalam milliliter/ detik dapat dengan mudah dihitung.
Normal rata-rata aliran normal urin adalah 20-25ml/ detik pada pria dan 25-30 ml/
detik pada wanita. Bila <10ml/ detik ada indikasi kearah obstruksi atau kelemahan
fungsi detrusor. Aliran rata-rata urin biasanya dihubungkan dengan atonik
neurogenic bladder atau striktur uretra atau obstruksi prostat (peningkatan
tahanan uretral) dapat lebih rendah dari 3-5ml/detik. Pemeriksaan sistometogram
dapat membedakan 2 penyebab gangguan aliran urin ini. Setelah terapi definitif
dari penyebab, alirannya dapat kembali ke normal.
Pada keadaan dimana terdapat diverticulum atau refluks vesicoureteral,
walaupun kekuatan detrusor normal, pancaran urin dapat terganggu karena difusi
dari tekanan intravesikal kedalam diverticulum dan vesikouretral junction seperti
pada uretra. Eksisi pada diverticulum atau perbaikan pada vesikouretral junction
menyebabkan pengeluaran urin yang efisien melalui uretra.
1. Laboratorium
Anemia dapat ditemukan pada sekunder dari infeksi kronik atau
pada hidronefrosis bilateral (stadium uremia). Leukositosis dapat
ditemukan pada stadium infeksi akut. Dapat juga ditemukan peningkatan
sel darah putih yang dihubungkan dengan stadium kronis.
Peningkatan protein biasanya tidak ditemukan pada uropati
obstruktif. Sedimen juga tidak biasa ditemukan pada hidronefrosis.
Hematuria mikroskopis dapat mengindikasikan infeksi pada buli atau
ginjal, tumor, atau batu. Sel pus dan bakteri bisa ada bisa juga tidak. Bila
ada hidronefrosis bilateral, aliran urin melalui tubulus renalis akan
melambat. Terjadi reabsosrbi dari urea namun tidak pada kreatinin. Pada
pemeriksaan kimia darah rasio urin kreatinin adalah 10:1.
2. X-Ray
14
Pada foto polos abdomen dapat ditemukan gambaran pembesaran
ginjal, gambaran kalsifikasi biasanya menggambarkan adanya batu, atau
metastasis ke tulang belakang atau pelvis. Metastasis pada spinal bisa
menjadi penyebab kerusakan cabang spinal (buli neuropatik).
Gambaran urogram menggambarkan derajat dilatasi dari pelvis,
kaliks dan ureter. Titik stenosisnya akan terlihat. Dilatasi segmental dari
bagian bawah akhir ureter menggambarkan kemungkinan adanya refluks
vesikoureteral, yang jelas terlihat pada pemeriksaan sistografi.
Pemeriksaan sistogram memperlihatkan gambaran trabekulasi, dengan
adanya iregularitas pada buli dan bisa terlihat gambaran diverticula.
Tumor buli, batu non opak dan pembesaran lobus prostat intravesikal
dapat memperlihatkan gambaran radiolusent. Pengambilan foto dilakukan
segera setelah miksi akan memperlihatkan sisa urin.
Sistograf retrograde menunjukkan perubahan dinding buli yang
menyebabkan obstruksi distal (Trabekulasi, divertikula) atau
menggambarkan lesi obstruksi (pembesaran prostat, katup uretral
posterior, kanker buli). Jika Katup uretrovesikal tidak kompeten, uretero
pielogram akan menyebabkan terjadinya refluks. CT-scan dan sonografi
juga dapat membedakan dilatasi yang bertambah dan atrofi parenkim.
15
3. Isotop Scanning
Bila terdapat obstruksi, radioisotope renogram akan
memperlihatkan depresi pada vaskuler dan fase sekretori.
4. Instrumental Examination
Eksplorasi uretra dengan menggunakan kateter atau alat lain
penting dilakukan untuk menegakkan diagnosa. Saluran kemih dapat
terhambat oleh striktur atau tumor. Pemasangan kateter segera sesudah
pengosongan memudahkan perkiraan dari jumlah urin residu yang ada di
buli. Urin residu umumnya biasa pada obstruksi leher buli, sistokel, dan
neurogenic bladder.
Pemeriksaan tonus buli bila menggunakan sistometri dapat
membantu dalam mendiagnosa adanya neurogenic bladder dan dalam
membedakan antara obstruksi leher buli dan atonia buli. Inspeksi uretra
dan buli menggunakan sistoskopi dan panendeskopi dapat meperlihatkan
benda penyebab obstruksi primer. Kateter dapat melewati pelvis renalis
dan mengambil spesimen urin. Fungsi dari kedua ginjal dapat diukur dan
retrograde ureterpielogram dapat dilakukan.
5. Interventional Uroradiology
Jika ada keraguan apakah benar ada obstruksi, test Whitaker atau
isotope renogram dapat dilakukan..
2.8 Tatalaksana3
1. Menghilangkan obstruksi
Pada pasien dengan kerusakan ginjal, koreksi pada obstruksi
belumlah cukup. Jika refluks tidak membaik setelah obstruksi teratasi,
perbaikan melalui pembedahan diperlukan. Perbaikan menjadi pilihan
utama apabila terdapat hidronefrosis akibat refluks. Drainase dengan
menggunakan kateter diindikasikan untuk memperbaiki fungsi ginjal. Jika
dalam beberapa bulan drainase, refluks tetap ada, ureterovesikal yang
inkompeten harus diperbaiki melalui pembedahan.
2. Eradikasi Infeksi
Jika infeksi telah berat dan lama, antibiotik dapat gagal untuk
membersihkan traktus urinarius dari infeksi kuman.
16
3. Diuresis post obstruktif
Diuresis beberapa liter sehari. Diuresis karena defek tubulus saat
menghilangkan obstruksi. Pasien biasanya edema, hipertensi dan kadar
BUN meningkat, dimana dibutuhkan diuresis. Produksi urin bisa gross
hematuria. Selama obstruksi tekanan tinggi, pembuluh kecil pada sistem
kolektivus bisa robek. Tekanan tinggi juga menyebabkan tamponade
pembuluh darah tersebut.
Urin biasanya mengandung 70-100 mEq Na dan anion serta garam
K dalam jumlah kecil. Ganti urin dengan NaCl 0.45% dengan atau tanpa
dextrose. NaCl dan natrium bikarbonat bisa ditambahkan pada jalur
intravena tergantung kadar serum pasien dan keluaran urin.
Bila pasien edema dan hipertensi saat mulai diuresis, jangan
gantikan urin output secara penuh sampai volume cairan ekstraseluler
pasien mendekati normal, kemudian gantikan urin output secara penuh
sampai kadar BUN dan kreatinin normal.
2.9 Komplikasi
17
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
18
menentukan berat gangguan miksi yang disebut Skor Internasional Gejala
Prostat atau I-PSS (International Prostatic Symptom Score). Stagnasi dari
urin dapat menyebakan terjadinya infeksi dimana infeksi akan menyebar
keseluruh sistem traktus urinarius. Sekali terjadi infeksi akan sukar
dilakukan eradikasi walaupun setelah obstruksinya teratasi. Prognosis
tergantung dari penyebab, lokasi, derajat dan lama obstruksi.
DAFTAR PUSTAKA
1. OReilly, Patrick et al. 2007. Urinary tract obstruction. Vol. 35, issue 8,
pages 420-422
2. Hall, James et al. 2008. Obstruction of upper and lower urinary tract. Vol
26. Issue 5, pages 197-202
19
4. Purnomo, Basuki B. Hiperplasia prostat dalam: Dasar dasar urologi.,
Edisi ke 2. Jakarta: Sagung Seto. 2003. p. 69 85
20