Anda di halaman 1dari 11

ARBITRASE INTERNASIONAL KOMERSIAL

Pendahuluan

Peranan badan arbitrase komersial dalam menyelesaikan sengketa-sengketa bisnis di


bidang perdagangan nasional maupun internasional dewasa ini menjadi semakin penting.
Banyak kontrak nasional dan internasional menyelipkan klausa arbitrase. Dan memang bagi
kalangan bisnis, cara mennyelesaikan sengketa melalui badan ini memberi keuntungan
sendiri daripada melalui badan peradilan nasional.

Dari perkembangan sejarahnya, badan arbitrase ini sesungguhnya telah lama dipraktekan.
Menurut M. Domke, bangsa-bangsa telah menggunakan cara penyelesaian sengketamelalui
arbitrase sejak zaman Yunani Kuno. Praktek ini berlangsung juga pada zaman Romawi dan
Yahudi (Biblical Times) serta terus berkembang terutama di negara-negara dagang di Eropa,
seperti Inggris dan negeri Belanda. Kemudian cara penyelesaian sengketa ini menyebar ke
negara-negara Eropa lainnya seperti Perancis pada tahun 1250, di Skotlandia tahun 1695,
di Irlandia 1700 dan Denmark 1795.

Namun perkembangan arbitrase di Eropa pada waktu itu masih dalam bentuknya yang
sederhana. Bentuk sederhana pada arbitrase ini mempunyai tiga ciri:

1. Pada masa itu orang baru menggunakan arbitrase setelah sengketa lahir. Jadi
sebelumnya para pihak tidak dan belum menjanjikan terlebih dahulu bahwa apbila
terjadi sengketa maka arbitraselah yang akan menyhelesaikan.
2. Arbitrase ini digunakan untuk menyelesaikan sengketa diantara kerabat, tetangga
atau mereka yang hidupnya bersama-sama dan berkepentingan agar hubungan
mereka berjalan dengan baik.
3. Arbitrator yang dipilihnya pun adalah mereka yang dikenal baik oleh para pihak dan
tidak terikat pada adanya ikatan-ikatan tertentu.

Dewasa ini (klausa) arbitrase telah pula dicantumkan disamping perjanjian pokoknya. Jadi
sebelum sengketa timbulsebagai akibat dari pelaksanaan kontrak tersebut, para pihak
sebelumnya telah menunjuk badan ini sebagai badan yang akan menyelesaikan sengketa
tersebut.

Menurut Prof. Dr. Komar Kantaatmadja, S.H., LLM., secara garis besar dapat dikatakan
bahwa penyelesaian sengketa dapat digolongkan dalam tiga golongan:

1. Penyelesaian sengketa dengan menggunakan negosiasi yang bersifat langsung


maupun dengan penyertaan pihak ketiga.
2. Penyelesaian sengketa dengan cara litigasi, baik yang bersifat nasional maupun
bersifat internasional.
3. Penyelesaian dengan menggunakan arbitrase, baik yang bersifat ad hoc maupun
yang terlembaga.

Di samping adanya penggolongan penyelesaian sengketa di atas, ada pula tiga bentuk
alternatif penyelesaian lainnya, yang mirip dengan arbitrase, khususnya dikalangan bisnis
yang dewasa ini terus berkembang dan dinilai cukup positif. Bentuk-bentuk alternatif
tersebut, yaitu:
1. Mini Trial (peradilan mini) berguna bagi perusahaan yang tersangkut dalam
sengketa-sengketa besar.
2. Mediasi yaitu seorang mediator dalam menyelesaikan suatu sengketa, menemui
para pihak atau wakilnya dengan maksud untuk mengadakan pengaturan suatu
penyelesaian sengketa yang nantinya dapat diterima oleh para pihak.
3. Med-arb merupakan kombinasi antara mediasi dengan arbitrase.

Menurut John Tillotson, pada umunya penyelesaian dengan arbitrase dipilih untuk sengketa
kontraktual (perdata. Pen!) (baik yang bersifat kompleks maupun yang sederhana), yang
dapat digolongkan menjadi:

1. Quality Arbitration, yang menyangkut permasalahan faktual yang dengan sendirinya


memerlukan para arbitrator dengan kualifikasi teknis yang tinggi.
2. Technical Arbitration, yang tidak menyangkut permasalahan faktual, sebagaimana
halnya dengan masalah yang timbul dalam penyusunan dokumen
3. Mixed Arbitration, sengketa baik mengenai permasalahan faktual maupun hukum.

Sehubungan dengan peristilahan, menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Julian DM
Lew, ada tiga ciri yang menunjukan suatu arbitrase dapat disebut internasional yakni

1. Internasional menurut organisasinya


2. Internasional menurut struktur/prosedurnya
3. Internasional menurut faktanya

Ciri-ciri arbitrase komersial:

1. Bahwa badan arbitrase ini adalah suatu cara atau metode penyelesaian sengketa.
2. Sengketa tersebut diselesaikan oleh pihak ketiga dan pihak netral atau arbitrator
yang secara khusus ditunjuk.
3. Para arbitrator mempunyai wewenang yang diberikan oleh pihak
4. Para arbitrator diharapkan memutuskan sengekta menurut hukum
5. Arbitrase merupakan sistem pengadilan perdata, artinya bahwa para pihaklah dan
bukan negara yang mengawasi kewenangan dan kewajiban para pihak.
6. Keputusan yang dikeluarkan badan ini bersifat final dan mengakhiri persengketaan
para pihak
7. Keputusan para arbitrator mengikat para pihak berdasarkan persetujuan diantara
mereka untuk menyerahkan sengketanya terhadap arbitrase bahwa mereka akan
menerima dan secara sukarela akan memberikan kekuatan.kepada keputusan
arbitrase tersebut.
8. Bahwa pada pokoknya proses berpekara melalui badan arbitrase dan putusannya
terlepas dan bebas dari campur tangan negara.

Keuntungan arbitrase:

1. Arbitrase komersial internasional merupakan pengadilan pengusaha yang eksis


untuk menyelesaikan sengketa-sengketa diantara mereka (kalangan bisnis) dan
sesuai kebutuhan/keinginan mereka.
2. Masalah biaya adalah salah satu alasan mengapa kebanyakan pengusaha atau
masyarakat bisnis agak enggan berproses perkara melalui peradilan, barbeda
dengan arbitrase yang murah.
3. Berpekara melalui pengadilan acapkali memakan waktu yang relatif lama.
4. Banyak pengadilan negara tidak mempunyai hakim-hakim yang berkompeten atau
yang berspesialisasi hukum komersial internasional, maka dengan keadaan inilah
para pihak lebih menyukai arbitrase.
5. Dengan dikeluarkannya keputusan pengadilan, tidaklah otomatis perkara yang
bersangkutan telah selesai. Sebab pihak-pihak yang kurang puas dengan keputusan
tersebut, ia masih punya saluran lain untuk melampiaskan ketidakpuasannya ke
pengadilan yang lebih tinggi, yakni tingkat banding. Sedangkan keputusan yang
dikeluarkan melalui badan arbitrase sifatnya adalah final dan mengikat.
6. Berpekara melalui arbitrase tidak begitu formal dan lebih fleksibel.
7. Melalui badan arbitrase, para pihak yang bersengketa diberi kesempatan untuk
memilih hakim (arbitrator) yang mereka anggap dapat memenuhi harapan mereka.
8. Faktor kerahasiaan proses berpekara dan keputusan yang dikeluarkan
9. Tidak adanya pilihan hukum yang kaku dan tidak ditentukan sebelumnya.
10. Tidak harus melulu diselesaikan menurut proses hukum (tertentu) saja, tetapi juga
dimungkinkan suatu penyelesaian secara kompromi di antara para pihak.

Kelemahan-kelemahan arbitrase:

1. Untuk mempertemukan kehendak para pihak yang bersengketa untuk membawanya


ke badan arbitrase tidaklah mudah.
2. Tentang pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase asing.
3. Dalam arbitrase tidak dikenal adanya preseden hukum (lega presedent) atau
keterikatan kepada putusan-putusan arbitrase sebelumnya.
4. Arbitrase ternyata tidak mampu memberikan jawaban yang definitif terhadap semua
sengketa hukum.
5. Keputusan arbitrase selalu bergantung pada bagaimana arbitrator mengeluarkan
keputusan yang memuaskan keinginan para pihak.
6. Arbitrase pun dapat berlangsung lama dan karenanya membawa akibat biaya yang
tinggi, terutama dalam hal arbitrase di luar negeri.

Di dalam praktek , bentuk standar klausula arbitrase yang menunjuk kepada badan arbitrase
ICSID tersebut, dapat dimodifikasi menurut keinginan para pihak. Hal ini wajar, sebab
klausula standar tersebut sudah barang tentu tidak dapat mengcover semua persyaratan
yang dapat memenuhi keinginan para pihak. Menurut Prof. Dr. Komar Kantaatmadja
modifikasi tersebut dilakukan, khususnya dalam hal,

1. Pemilihan pakar (expert) pada panel arbitrator dalam misalnya permasalahan


shipping, construction, sale of goods, dan sebagainya atau persyaratan untuk
menjamin netralitas, kewarganegaraan.
2. Untuk membatasi atau meluaskan lingkup sengketa yang dapt dicakupnya
3. Ketentuan-ketentuan khusus tentang pembayaran
4. Memberikan kewenangan khusus bagi para arbitrator, dalam bentuk provisional
remedies, sspesific performance, atau right to consult wtness
5. Ketentuan bahasa yang digunakan atau tempat penyelenggaraan arbitrase
6. Ketentuan-ketentuan tenteng jangka waktu berlangsungnya arbitrase.
ICSID

ICSID ( Convention on the Settlement of Investment Dispute Between Statesand Nationals


of Other States) yang secara singkat disebut pula dengan Konvensi Bank Dunia, ditanda
tangani di Washington DC 18 Maret 1965. Terbentuknya konvensi ini akibat dari situasi
perekonomian dunia pada waktu itu yaitu khususnya dikala beberapa negara berkembang
yang melakukan tindakan sepihak terhadap investor-investor asing dalam wilayahnya yang
mengakibatkan konflik-konflik ekonomi berubah menjadi sengketa politik atau bahkan
sengketa terbuka ( perang ).

Contoh kasus :

Di antara kasus nasionalisasi yang langsung mempengaruhi dan menggerakkan Bank Dunia
membentuk konvensi ini adalah kasus nasionalisasi perusahaan perusahaan Perancis di
Tunisia. Kasus ini bermula tindakan DPR Tunisia (The Tunisian National Assembly) yang
mengeluarkan UU Nasionalisasi tanah-tanah milik orang asing (khususnya Perancis) pada
10 Mei 1964. Tindakan itu sangat mengejutkan pihak asingkarena dengan adanya UU
tersebut berarti tanah milik orang-orang (Perancis) berikut kekayaan tertanam didalamnya
seluas 1 juta hektar ternasionalisasi.

Ada tujuan utama dibentuknya konvensi ini :

1. Menjembatani jurang atau mengisi kekosongan upaya hukum di dalam menyelesaikan


kasus-kasus penanaman modal yakni dengan memberikan suatu mekanisme khusus
berupa fasilitas arbitrase berupa konsiliasi.

2. Mendorong dan melindungi arus modal dari negara maju kepada negara ketiga
(developing countries)

Tujuan pertama konvensi ini terefleksi dari peranan the Centre (ICSID). Wewenang badan
ini khusus dan terbatas pada penanaman modal saja yang salah satu pihaknya adalah
negara penerima penanaman modal (Host state). Manakala suatu sengketa muncul,the
Centre akan membentuk suatu panel Arbitrase atau Konsiliasi untuk menanganinya.
Selanjutnya,peranan the Centre hanya mengawasi jalannya persidangan dan memberikan
aturan-aturan hukum acaranya.1

1
Huala Adolf SH, Arbitrase Komersial Internasional hal.33-39
Yurisdiksi Mahkamah ICSID

Tentang ketentuan yang mengatur yurisdiksi badan Arbitrase ICSID nyata diatur didalam
pasal 25 Konvensi Washington. Menurut pasal ini,sedkitnya ada 3 persyaratan pokok yang
harus dipenuhi oleh para pihak untuk dapat menggunakan sarana Arbitrase badan ini
didalam menyelesaikan sengketa yang diberikan kepadanya.

Pertama ,harus ada kata sepakat. Kata sepakat ini, menurut David A. Soley, merupakan
tonggak (corner stone) bagi jurisdiksi badan arbitrase ICSID.

Para pihak sebelumnya harus mencapai kata sepakat bersama untuk menyerahkan
sengketanya kepada badan arbitrase ICSID. Di dalam hal ini, Konvensi mensyaratkan
adanya suatu kata sepakat tertulis yang menunjuk pemakaian badan arbitrase ICSID.
Penunjukan badan arbitrase ini tercantum dalam suatu klausula perjanjian penanaman
modal yang menetapkan penyerahan suatu sengketa yang kelak timbul dari perjanjian
tersebut. Namun, menurut pasal 25 ayat 1 konvensi, kata sepakat untuk menyerahkan
sengketa kepada badan ini tidak perludinyatakan di dalam suatu dokumen tersendiri.
Negara tuan rumah melalui perundang-undangan penanaman modalnya dapat menawarkan
agar sengketanya yang timbul dari adanya perjanjian penanaman modal dengan pihak asing
diserahkan kepada (jurisdiksi) badan arbitrase ICSID. Dan si penanam modal dapat
memberikan kata sepakatnya dengan menerima tawaran tersebut dengan tertulis.

Kedua, Jurisdiksi ratione materiae. Yang menjadi jurisdiksi badan arbitrase ICSID adalah
terbatas pada sengketa-sengketa hukum saja sebagai akibat adanya penanaman modal.
Istilah sengketa hukum ini dibedakan untuk memisahkan sengketa yang murni ekonomis
atau politis sifatnya. Di samping itu, sengketa hak adalah juga termasuk ke dalam jurisdiksi
badan ini. Namun sengketanya atau konflik kepentikan tidak termasuk ke dalamnya.

Sebagai kesimpulan di luar sengketa hukum di atas, adalah penting juga untuk mengetahui
penggolongan sengketa atau konflik lain yang dikemukakan dalam konvensi MIGA (Multi
Investment Guarantee Agency) tentang sengketa yang timbul sebagai akibat adanya
penanaman modal.

Macam-macam sengketa tersebut, yakni:

a) Transfer Risk, yaitu risiko kerugian sebagai akibat pembatasan terhadap konversi
mata uang oleh negara yang bersangkutan (negara penerima modal).
b) Ekspropriation Risk, yaitu resiko kerugian sebagai akibat adanya tindakan-tindakan
legislatif dan administratif, atau karena terjadinya pengambilalihan hak milik investor.
c) Repudiation Risk, yaitu resiko kerugian karena penolakan atau pelanggaran hukum
oleh negara penerima, para investor tidak dapat menuntutnya melalui pengadilan
atau badan arbitrase.
d) War and Civil Disturbance, yaitu resiko kerugian sebagai akibat terjadinya konflik
bersenjata atau gangguan-gangguan lainnya oleh kaum sipil.

Ketiga, Yurisdiksi ratione personae. Maksudnya adalah bahwa badan arbitrase ICSID hanya
memiliki wewenang mengadili terhadap sengketa-sengketa antara negara dengan warga
negara asing lainnya yang negaranya juga adalah anggota atau peserta konvensi
washington. Badan arbitrase ini tidak memiliki wewenang untuk mengadili sengketa antara
negara dengan negara atau seorang warga negara dengan seorang warga negara lainnya
meskipun sengketa yang diserahkan kepadanya itu adalah sengketa hukum yang timbul
karena adanya perjanjian penanaman modal.

Lebih lanjut, yang dimaksud dengan warga negara menurut pasal 25 ayat 2 Konvensi
adalah sebagai berikut:

1. Setiap orang yang memiliki kebahasaan dari negara peserta konvensi yang
bersangkutan pada tanggal sewaktu para pihak setuju untuk menyerahkan
sengketanya kepada badan arbitrase atau juga pada saat atau tanggal permintaan
untuk berarbitrase didaftar oleh centre (badan arbitrase).
2. Setiap subjek hukum yang memiliki kebangsaan dari negara perserta konvensi yang
bersengketa pada tanggal para pihak setuju untuk menyerahkan sengketanya pada
centre.
3. Setiap subjek hukum yang memiliki kebangsaan dari negara peserta konvensi yang
bersengketa pada tanggal persetujuan dan yang karena adanya pengawasan asing
(foreign control), para pihak sepakat untuk diperlakukan sebagai warga negara dari
negara peserta konvensi lainnya.2

2
Huala Adolf SH, Arbitrase Komersial Internasional Hal. 59-66
Pelaksanaan Keputusan

Pelaksanaan keptusan ini diatur dalam pasal 53-55 konvensi ICSID. Di dalam pasal itu
menjelaskan bahwa putusan bersifat mengikat bagi para pihak dan para pihak harus
mentaati ketentuan-ketentuan yang ada dalam putusan. Setiap negara peserta harus
mengakui suatu putusan yang telah dijatuhkan dalam konvensi ini dan melaksanakan
kewajiban-kewajiban keuangan yang dikenakan dalam putusan ini di wilayahnya. Dalam
melaksanakan eksekusi putusannya harus di atur oleh Undang-Undang mengenai eksekusi
putusan-putusan di negara yang dalam wilayahnya eksekusi itu di mintakan.3

Pembatalan Keputusan

Pembatalan suatu keputusan dapat di ajukan oleh para pihak apabila dalam putusan
tersebut dalam pemeriksaan surat atau dokumennya dinyatakan palsu, adanya dokumen
yang bersifat menentukan di sembunyakan oleh salah satu pihak dan dalam pengambilan
putusan tersebut dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam
pemeriksaan sengketa. Dalam pengajuan permohonan pembatalan putusan oleh para pihak
dibuat secara tertulis dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak hari
penyerahan dan pendaftaran putusan kepada Pengadilan Negeri.4

3
Undang-undang Konvensi ICSID pasal 53-55
4
Undang-undang Pembatalan Putusan Arbitrase pasal 70-72
Contoh Kasus

KASUS KARTIKA PLAZA VS AMCO ASIA


Fakta Fakta Hukum
Para Pihak Penggugat:
AMCO yang membentuk konsorsium dan terdiri atas :
1. Amco Asia Corporation
2. Pan American Development
3. PT. Amco Indonesia
Tergugat :
Pemerintah Republik Indonesia diwakili oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM)
Kasus Sengketa
Pencabutan izin investasi yang telah diberikan oleh Badan Koordinasi PenanamanModal
(BKPM) terhadap AMCO untuk pengelolaan Hotel Kartika Plaza, yang semula diberikan
untuk jangka waktu 30 tahun. Namun BKPM mencabut izin investasitersebut ketika baru
memasuki tahun ke 9.

Duduk Perkara ( Kasus Posisi )


Kasus posisi semula, Kartika Plaza, hotel berbintang empat dan berkamar 370 buah itu milik
PT Wisma Kartika, anak perusahaan Induk Koperasi Angkatan Darat(Inkopad).Pada 1968,
Wisma Kartika menandatangani kerja sama dengan Amco Asia, danmelahirkan Amco
Indonesia. Waktu itu, Amco Asia setuju membangun Kartika Plazadengan modal US$ 4 juta.
Kemudian kedua pihak membuat perjanjian pembagiankeuntungan dan kontrak manajemen
Kartika Plaza. Amco Indonesia akan mengelolahotel itu, dan menyetorkan separuh
keuntungan kepadaWisma Kartika.Tapi kerja sama itu, yang mestinya berakhir pada 1999,
retak di tengah jalan.Kedua pihak bertikai soal keuntungan dan modal yang harus disetor
keuntungan dan modalyang harus disetor.Puncaknya, pada Maret 1980 pada Maret 1980,
Wisma Kartika mengambil alih pengelolaanAmco Indonesia dinilai pimpinan Wisma Kartika
telah "salah urus" danmelakukan kecurangan keuangan.Amco Indonesia tak bisa menerima
"kudeta" itu.Perusahaan tersebut mengaku sudah menanam dana untuk Kartika Plaza
hamper US$5 juta. Kecuali itu,Amco Indonesia juga menyatakan bahwa mereka, sejak 1969,
telahmenyetorkan keuntungan kepada Wisma Kartika sebanyak Rp 400juta. Begitu pula
pembagian keuntungan untuk Wisma Kartika pada1979, sebesar Rp 35 juta,
sudahdibayarkan.Pada Juli 1980 Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencabut
izin usahaAmcoIndonesia karena mereka dinilai tidak memenuhi kewajiban
permodalan.,yangseharusnya menanam modal US$ 4 juta, kenyataannya cuma menyetor
sekitar US$1,4 juta.
Secara singkat :
Tahun 1968 wisma kartika menandatangani kerjasama dengan Amco Asia,dan melahirkan
Amco Indonesia
Amco Indonesia setuju untuk membangun Kartika Plaza dengan modal US$4 juta
Keduabelah pihak membuat perjanjian pembagian keuntungan dan kontrak managemen
berdasarkan lease and management (profit-sharing) atas hotelkartika plaza.
Salahsatu klausula dalam perjanjian itu adalah menyerahkan kepada ICSID bila muncul
sengketa dikemudian hari
Maret 1980, wisma kartika mengambilalih pengelolaan kartika plaza karenamenganggap
amco Indonesia telah salah manajemen dan melakukankecurangan sehingga Indonesia
tidak mendapat bagian saham.
Pada Juli 1980 Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencabut izinusaha
AmcoIndonesia karena mereka dinilai tidak memenuhi kewajiban permodalan

Hasil Putusan
Ketiga badan hukum tersebut diatas, telah mengajukan permintaan kepada
MahkamahArbitrase ICSID bahwa Pemerintah Republik Indonesia dalam hal ini diwakili oleh
badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) telah dirugikan dan diperlakukansecara tidak
wajar sehubungan dengan pelaksanaan penanaman modal asing diIndonesia. Pemerintah
Indonesia c.q BKPM telah melakukan pencabutan lisensi penanaman modal asing secara
sepihak tanpa adanya pemberitahuan terlebih dahulusesuai dengan perjanjian yang telah
disepakati oleh kedua belah pihak.Kasus sengketa antara Pemerintah Indonesia dalam
perkara Hotel Kartika PlazaIndonesia telah diputus dalam tingkat pertama oleh lembaga
ICSID yang putusannya berisikan bahwa Pemerintah Indonesia telah dinyatakan melakukan
pelanggaran baik terhadap ketentuan hukum internasional maupun hukum Indonesia sendiri,
dimanaPemerintah Indonesia yang diwakili oleh Badan Koordinasi Penanaman
Modal(BKPM) telah melakukan pencabutan lisensi penanaman modal asing yang
dilakukanoleh para investor asing seperti AMCO Asia Corporation, Pan America
Developmentdan PT. Amco Indonesia. dengan arbiter Isl Foighel dari Danish dan Edward
W.Rubin dari kanada.Dalam tingkat kedua yang merupakan putusan panitia adhoc ICSID
sebagai akibatdari permohonan Pemerintah Indonesia untuk membatalkan putusan
(annulment)tingkat pertama yang berisikan bahwa Pemerintah Indonesia dianggap benar
sertasesuai dengan hukum Indonesia untuk melakukan pencabutan lisensi atau izin
penanaman modal asing dan tidak diwajibkan untuk membayar ganti kerugian atas putusan
tingkat pertama, namun Pemerintah Indonesia tetap diwajibkan untuk membayar biaya
kompensasi ganti kerugian atas perbuatannya main hakim sendiri(illegal selfhelp) terhadap
penanaman modal asing dengan arbiter Florentio P.Feliciano dari filipina dan Andrea
Giardina dari kanada.
Putusan tingkat ketiga oleh ICSID pada pokoknya berisikan bahwa Indonesia
tetapdikenakan kewajiban pembayaran terhadap kerugian yang ditimbulkan akibat
pencabutan lisensi atau izin penanaman modal asing kepada pihak investor yaitusebesar
US $ 3.200.000 pada tingkat pertama dengan arbiter Arghyrio A. Fatouros dari greek dan
Dietrich dari swiss.Dalam sengketa ini, persyaratan untuk menyerahkan penyelesaian
sengketa kepada ICSID telah terpenuhi, yaitu:
1.para pihak telah sepakat untuk mengajukan sengketanya pada ICSID, hal initercantum
dalam salahsatu klausul dalam perjanjian antara Indonesia dan Amco Asia.
2.keduabelah pihak yang bersengketa,yaitu Indonesia dan Amco Asia merupakan pihak
yang telah menandatangani konvensi.
3.sengketa antara Indonesia dan Amco asia ini merupakan sengketa penanamanmodal
(investasi).5

5
http://www.scribd.com/doc/55261979/Kasus-Kartika-Plaza-vs-Amco-Asia
Daftar Pustaka

Huala Adolf. Arbitrase Komersial Internasional. Rajawali Press Bandung, 1991.


Huala Adolf. Penyelesaian Sengketa Internasional. Sinar Grafika, Cetakan ke-2.
Bandung 2006
Konvensi ICSID (CONVENTION ON THESETTLEMENT OF INVESTMENT DISPUTES
BETWEEN STATES AND NATIONALS OFOTHER STATES) 1965
UNDANG-UNDANG Nomor: 5 TAHUN 1968 Tentang: PENYELESAIAN
PERSELISIHAN ANTARA NEGARA DAN WARGANEGARA ASING MENGENAI
PENANAMAN MODAL
H.PRIYATNA ABDURRASYID, ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN
SENGKETA SUATU PENGANTAR. PT FIKAHATI ANESKA, Cetakan Pertama.
Jakarta 2002

Anda mungkin juga menyukai