Anda di halaman 1dari 17

Tinjauan Pustaka

Pengelolaan Anestesi Umum pada Pasien dengan Tonsilitis

Lion Pamungkas

102016287 / BP1

Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jakarta 2017

Jl. Terusan Arjuna No.6 Jakarta Barat 11510 Telp. 021-56942061 Fax. 021-5631731

Email : lion.pamungkas@gmail.com

Bab 1
Pendahuluan
Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai tindakan meliputi
pemberian anestesi, penjagaan keselamatan penderita yang mengalami pembedahan, pemberian
bantuan hidup dasar, pengobatan intensif pasien gawat, terapi inhalasi dan penanggulangan
penyakit menahun. Anestesi yang ideal adalah tercapainya anestesi yang meliputi
hipnotik/sedasi, analgesi dan relaksasi otot.1

Anestesi dibagi menjadi dua kelompok, yaitu : (1) anestesi lokal, yaitu suatu tindakan
menghilangkan nyeri lokal tanpa disertai hilangnya kesadaran, dan (2) anestesi umum yaitu
keadaan ketidaksadaran yang reversibel yang disebabkan oleh zat anestesi, disertai hilangnya
sensasi sakit pada seluruh tubuh. Sebagian besar operasi (70-75 %) dilakukan dengan anestesi
umum, lainnya dengan anestesi lokal/ regional. 1

Pada prinsipnya dalam penatalaksanaan anestesi pada suatu operasi terdapat beberapa
tahap pesiapan yang harus dilaksanakan yaitu pra anestesi, tahap penatalaksanaan anestesi dan
pemeliharaan serta tahap pemulihan dan perawatan pasca anestesi.

1|Page
Tahap pra anestesi merupakan tahap persiapan yang sangat menentukan keberhasilan
suatu anestesi. Hal ini penting dalam tahap ini adalah : (1) menyiapkan pasien yang meliputi
riwayat penyakit pasien, keadaan umum pasien, dan mental pasien, (2) menyiapkan teknik, obat-
obatan dan macam anestesi yang digunakan, (3) memperkirakan kemungkinan-kemungkinan
yang akan timbul pada waktu pengelolaan anestesi dan komplikasi yang mungkin timbul pada
pasca anestesi. 1

Tahap pengelolaan anestesi meliputi premedikasi, induksi dan pemeliharaan yang dapat
dilakukan secara intravena maupun inhalasi. Pada tahap ini perlu monitoring dan pengawasan
ketat serta pemeliharaan jalan nafas karena pada saat ini pasien dalam keadaan sadar dan
kemungkinan komplikasi anestesi maupun pembedahan dapat terjadi. 1

Skenario
Seorang perempuan datang ke bagian pendaftaran rawat inap Rumah Sakit dengan
membawa surat permintaan rawat dari dokter spesialis THT. Dari surat tersebut, diketahui dokter
tersebut akan melakukan tindakan tonsilektomi dan merujuk ke bagian anestesi untuk
penanganan perioperatif operasi tonsilektomi esok hari.

2|Page
Bab 2
Pembahasan
Anestesi umum adalah bentuk anestesi yang paling sering digunakan atau
dipraktikkan yang dapat disesuaikan dengan jumlah terbesar pembedahan, karena dengan
anestesi ini jalan nafas dapat terus dipertahankan dan nafas dapat dikontrol. 2

Pada kasus ini anestesi yang digunakan adalah anestesi umum yaitu hilangnya rasa
sakit di seluruh tubuh disertai hilangnya kesadaran yang bersifat sementara dan reversible
yang diakibatkan oleh obat anestesi. Dalam memberikan obatobat pada penderita yang akan
menjalani operasi maka perlu diperhatikan tujuannya yaitu sebagai premedikasi, induksi, atau
pemeliharaan. 2

1. Persiapan Pra Anestesi


Salah satu hal yang sangat penting dalam tindakan anestesi adalah kunjungan pra
anestesi pada pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan, baik elektif dan darurat
mutlak harus dilakukan untuk keberhasilan tindakan tersebut. Semua pasien yang masuk di
bagian kebidanan kemungkinan akan membutuhkan anestesi, baik elektif maupun emergensi.
Perlu dibuat anamnesis yang lengkap mengenai umur, paritas, usia kehamilan, dan faktor-
faktor yang mungkin menyebabkan komplikasi.1 Pada kasus elektif biasanya dilakukan satu
sampai dua hari sebelum operasi sedangkan pada kasus darurat waktu yang tersedia lebih
singkat. Adapun tujuan persiapan pra anestesi adalah untuk mempersiapkan mental dan fisik
secara optimal, merencanakan dan memilih tehnik serta obat obat anestesi yang sesuai
dengan fisik dan kehendak pasien, menentukan status fisik penderita dengan klasifikasi ASA
(American Society Anesthesiology). 2

1. Macam-macam teknik anestesi :


No. Teknik Resevoir bag Valve Rebreathing Soda lime

1. Open _ _ _ _

2. Semi open + + _ _

3. Semi closed + + + +

3|Page
4. Closed + + + +

Keterangan :

Rebreathing ( - ) = CO2 langsung ke udara kamar.

Rebreathing ( + ) = CO2 langsung ke udara kamar & sebagian dihisap lagi.

Rebreathing ( + ) = CO2 dihisap lagi.

Pada kasus ini dipakai semi closed anestesi karena mempunyai beberapa
keuntungan :

1). Konsentrasi inspirasi relatif konstan.


2). Konservasi panas dan uap.
3). Menurunkan polusi kamar.
4). Menurunkan resiko ledakan dengan obat yang mudah terbakar.

2. Menentukan status fisik penderita dengan klasifikasi ASA (American Society


Anesthesiology), yaitu : 3
ASA 1 : Pasien dalam keadaan sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa kelainan
faali, biokimia dan psikiatri. Angka mortalitas mencapai 2 %.
ASA 2 : Pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang karena penyakit
bedah maupun proses patofisiolgis. Angka mortalitas mencapai 16 %.
ASA 3 : Pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik berat sehingga
aktivitas harian terbatas . Angka mortalitas mencapai 36 %.
ASA 4 : Pasien dengan kelainan sistemik berat yang secara langsung
mengancam kehidupannya dan tidak selalu sembuh dengan operasi.
Angka mortalitas mencapai 68 %.
ASA 5 : Pasien dengan kemungkinan hidup kecil.Tindakan operasi hampir tidak
ada harapan.Tidak ada harapan hidup dalam 24 jam walaupun dioperasi atau tidak.
Angka mortalitas mencapai 98 %.

4|Page
b.Premedikasi Anestesi

Tujuan premedikasi bukan hanya untuk mempermudah induksi dan mengurangi


jumlah obat obatan yang digunakan, tetapi terutama untuk menenangkan pasien sebagai
persiapan anestesi. Premedikasi anestesi adalah pemberian obat sebelum anestesi dilakukan.
Tindakan ini biasanya dilakukan sebelum pasien dibawa ke ruang operasi. 3

Tindakan premedikasi ini mempunyai tujuan antara lain untuk memberikan rasa
nyaman bagi pasien, membuat amnesia, memberikan analgesia, mencegah muntah,
memperlancar induksi, mengurangi jumlah obat obat anestesi, menekan reflek reflek
yang tidak diinginkan, mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas.

Obat obat yang sering digunakan sebagai premedikasi adalah :

1. Golongan hipnotik sedatif : Barbiturat, Benzodiazepin, Transquilizer.


2. Analgetik narkotik : Morfin, Petidin, Fentanil.
3. Neuroleptik : Droperidol, Dehidrobenzoperidol.
4. Anti kolinergik : Atropin, Skopolamin.

Obat obat premedikasi :

Sulfas Atropin4

Sulfas atropin termasuk golongan anti kolinergik. Berguna mengurangi sekresi lendir
dan mengurangi efek bronkhial dan kardial yang berasal dari perangsangan parasimpatis
akibat obat anestesi atau tindakan operasi. Pada dosis klinik (0,40,6 mg ) akan menimbulkan
bradikardi yang disebabkan perangsangan nervus Vagus. Pada dosis yang lebih besar (> 2
mg) akan menghambat nervus Vagus sehingga terjadi takikardi. Efek lainnya yaitu
melemaskan nervus otot polos, mendepresi vagal reflek, menurunkan spasme gastrointestinal
dan mengurangi rasa mual serta muntah.

Obat ini juga dapat menimbulkan rasa kering di mulut serta penglihatan kabur, maka
lebih baik tidak diberikan pra anestesi lokal atau regional. Dalam dosis toksik dapat

5|Page
menyebabkan gelisah, delirium, halusinasi, dan kebingungan pada pasien. Tetapi hal ini dapat
diatasi dengan pemberian Prostigmin 1 2 mg intra vena.

Sedian : dalam bentuk Sulfat Atropin dalam ampul 0,25 mg dan 0,50 mg.

Dosis : 0,01 mg/kgBB dan 0,1 0,4 mg untuk anak anak.

Pemberian : SC, IM, IV.

Pethidin4

Merupakan derivat fenil piperidin yang efek utamanya, depresi nafas dan efek sentral
lain. Efek analgetik timbul lebih cepat setelah pemberian sub cutan atau intra muskular, tapi
masa kerja lebih pendek. Dosis toksik menimbulkan perangsangan SSP misal tremor, kedutan
otot dan konvulsi. Pada saluran nafas, akan menurunkan tidal volume sedang frekuensi nafas
kurang dipengaruhi sehingga efek depresi nafas tidak disadari. Secara sistemik menimbulkan
anestesi kornea dengan akibat hilangnya refleks kornea. Obat ini juga meningkatkan kepekaan
alat keseimbangan sehingga menimbulkan mual, muntah dan pusing pada penderita yang
berobat jalan. Pada penderita rawat baring, obat ini tidak mempengaruhi sistem
kardiovaskuler, tapi penderita berobat jalan dapat timbul sinkop orthostotik karena hipotensi
akibat vasodilatasi perifer karena pelepasan histamin.

Absorbsi petidin berlangsung baik pada semua cara pemberian. Pada pemberian IV
kadarnya dalam darah akan turun cepat 1-2 jam pertama. Petidin dimetabolisme di hati dan
dikeluarkan lewat ginjal sekitar 1/3 dosis yang diberikan. Preparat oral dalam tablet 50 mg,
parenteral dalam bentuk ampul 50 mg per cc. Dosis dewasa 50-100 mg disuntikkan SK atau
IM. Jika secara IV efek analgesiknya tercapai dalam waktu 15 menit.

c. Induksi

Induksi merupakan saat dimasukkannya zat anestesi sampai tercapainya stadium


pembedahan (III) yang selanjutnya diteruskan dengan tahap pemeliharaan anestesi untuk
mempertahankan atau memperdalam stadium anestesi setelah induksi. 4

Macam-macam stadium anestesi :

6|Page
Stadium I (analgesia) : - mulai pemberian zat anestesi sampai dengan hilangnya
kesadaran

- mengikuti perintah, rasa sakit hilang.

Stadium II ( Delirium ) : - mulai hilangnya kesadaran sampai dengan permulaan


stadium bedah.

- gerakan tidak menurut kehendak, nafas tidak teratur, midriasis,


takikardi.

Stadium III (Pembedahan) :

1. Tingkat 1 :nafas teratur spontan, miosis, bola mata tidak menurut kehendak, nafas dada
dan perut seimbang.
2. Tingkat 2 :nafas teratur spontan kurang dalam, bola mata tidak bergerak, pupil mulai
melebar, mulai relaksasi otot.
3. Tingkat 3 : nafas perut lebih dari nafas dada, relaksasi otot sempurna.
4. Tingkat 4 :nafas perut sempurna, tekanan darah menurun, midriasis maksimal, reflek
cahaya ( - )
Stadium IV. (Paralisis) : nafas perut melemah, tekanan darah tidak terukur, denyut
nadi berhenti dan meninggal.

Pada kasus ini digunakan Propofol.

Propofol 4

Propofol merupakan derivat isoprofilfenol yang digunakan untuk induksi dan


pemeliharaan anestesi umum. Propofol secara kimia tidak ada hubungannya dengan anestesi
IV lain. Pemberian IV ( 2 mg/kg BB ) menginduksi anestesi secara cepat seperti Tiopental.
Anestesi dapat dipertahankan dengan infus Propofol yang berkesinambungan dengan Opiat,
N2 dan atau anestesi inhalasi lain.4

Propofol menurunkan tekanan arterial sistemik, dan kembali normal dengan


intubasi trekea. Propofol tidak menimbulkan aritmia, atau iskemik otot jantung, tidak merusak
fungsi hati dan ginjal. 5

7|Page
Keuntungan Propofol, bekerja lebih cepat dari Tiopental, mempunyai induksi yang
cepat, masa pulih sadar yang cepat, sehingga berguna pada pasien rawat jalan yang
memerlukan prosedur cepat dan singkat. 5

Sediaan :ampul atau vial 20 ml ( 200 mg ), tiap ml mengandung 10 mg Propofol.

Dosis : 1,5 2 mg/kgBB iv (anak)

2 2,5 mg/kgBB iv (dewasa)

4. Pemeliharaan

Maintenance atau pemeliharaan adalah pemberian obat untuk mempertahankan


atau memperdalam stadium anestesi setelah induksi. Pada kasus ini menggunakan
Sevofluran, N2O, dan O2.5

a. Sevofluran

Sevofluran (Ultane) merupakan halogenasi eter. Induksi dan pulih dari anestesi
lebih cepat dibanding dengan isofluran. Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang
jalan napas, sehingga digemari untuk induksi anestesi inhalasi disamping halotan.
Efek terhadap kardiovaskuler cukup stabil, jarang menyebabkan aritmia. Efek
terhadap sistem saraf pusat seperti isofluran dan belum ada laporan toksik terhadap hepar.
Setelah pemberian dihentikan, sevofluran cepat dikeluarkan oleh badan.

Walaupun dirusak oleh sodalim namun belum ada laporan membahayakan


terhadap tubuh manusia.

b. Dinitrogen Oksida/Gas Gelak/N2O

Merupakan gas yang tidak berwarna, berbau amis, dan tidak iritasi. Mempunyai
sifat anestesi yang kurang kuat, tetapi dapat melalui stadium induksi dengan cepat, karena
gas ini tidak larut dalam darah. Gas ini tidak mempunyai relaksasi otot, oleh karena itu
operasi abdomen dan ortopedi perlu tambahan dengan zat relaksasi otot. Terhadap SSP
menimbulkan analgesi yang berarti. Depresi nafas terjadi pada masa pemulihan, hal ini

8|Page
terjadi karena Dinitrogen Oksida mendesak oksigen dengan ruanganruangan tubuh.
Hipoksia difus dapat dicegah dengan pemberian oksigen konsentrasi tinggi beberapa
menit sebelum anestesi selesai. Penggunaan biasanya dipakai perbandingan atau
kombinasi dengan oksigen. Perbandingan N2O : O2 adalah sebagai berikut 60% : 40
% ; 70% : 30% atau 50% : 50%. 4

5. Obat Pelumpuh Otot (Muscle Relaxant)


Obat golongan ini menghambat transmisi neuromuscular sehingga menimbulkan
kelumpuhan pada otot rangka. Menurut mekanisme kerjanya, obat ini dibagi menjadi 2
golongan yaitu obat penghambat secara depolarisasi resisten, misalnya suksinil kolin, dan
obat penghambat kompetitif atau non depolarisasi , misal kurarin. Dalam anestesi umum ,
obat ini memudahkan dan mengurangi cedera tindakan laringoskopi dan intubasi trakea,
serta memberi relaksasi otot yang dibutuhkan dalam pembedahan dan ventilasi kendali. 4

Dua golongan obat pelumpuh otot

1. Depolarisasi.
- Ada fasikulasi otot
- Berpotensiasi dengan antikolinesterase
- Tidak menunjukkan kelumpuhan bertahap pada perangsangan tunggal atau tetanik
- Belum dapat diatasi dengan obat spesifik
- Kelumpuhan berkurang dengan penambahan obat pelumpuh otot non depolarisasi dan
asidosis
- Contoh: suksametonium (suksinil kolin)
2. Non depolarisasi
- Tidak ada fasikulasi otot
- Berpotensiasi dengan hipokalemia, hipotermia, obat anestetik inhalasi, eter, halothane,
enfluran, isoflurane
- Menunjukkan kelumpuhan yang bertahap pada perangsangan tunggal atau tetanik
- Dapat diantagonis oleh antikolinesterase
- Contoh: tracrium (atrakurium besilat), pavulon (pankuronium bromida), norkuron
(pankuronium bromida), esmeron (rokuronium bromida).

9|Page
1. Succynil Choline
Merupakan pelumpuh otot depolarisasi dengan mula kerja cepat, sekitar 1 2
menit dan lama kerja singkat sekitar 3 5 menit sehingga obat ini sering digunakan
dalam tindakan intubasi trakea. Lama kerja dapat memanjang jika kadar enzim
kolinesterase berkurang, misalnya pada penyakit hati parenkimal, kakeksia, anemia,
dan hipoproteinemia.

Komplikasi dan efek samping dari obat ini adalah bradikardi, bradiaritma dan
asistole, takikardi dan takiaritmia, peningkatan tekanan intra okuler, hiperkalemi dan
nyeri otot fasikulasi.

Obat ini tersedia dalam flacon berisi bubuk 100 mg dan 50 mg. Pengenceran
dengan garam fisiologis / aquabidest steril 5 atau 25 ml sehingga membentuk larutan
2% sebagai pelumpuh otot jangka pendek. Dosis untuk inhalasi 1 2 mg / kgBB. 5

2. Atrakurium besilat (Tracrium)


Merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi yang relative baru dengan
struktur benzilisoquinolin yang berasal dari tanaman Leontice Leontopeltatum.

Keunggulan atracurium adalah :

- metabolisme terjadi di dalam darah


- tidak mempunyai efek kumulasi pada pemberian berulang
- tidak menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskular yang bermakna
Kemasan dibuat dalam ampul berisi 5 ml yang mengandung 50 mg atrakurium
besilat. Stabilitas larutan sangat bergantung penyimpanan pada suhu dingin dan
perlindungan terhadap penyinaran. 4

Dosis intubasi : 0,5 - 0,6 mg / Kg BB / IV

Dosis relaksasi otot : 0,5 0,6 mg / Kg BB / IV

Dosis pemeliharaan : 0,1 0,2 mg / Kg BB / IV

10 | P a g e
6. Analgetik
Ketorolac
Ketorolac dapat diberikan secara oral, intramuskuler, atau intravena. Setelah suntikan
intramuscular atau intravena efek analgesinya dicapai dalam 30 menit, maksimal setelah 1-2
jam dengan lama kerja sekitar 4-6 jam dan penggunaannya dibatasi untuk 5 hari.
Cara kerja ketorolac ialah menghambat sintesis prostaglandin di perifer tanpa
mengganggu reseptor opioid di system saraf pusar. Seperti NSAID lain tidak dianjurkan
digunakan untuk wanita hamil, menghilangkan nyeri persalinan, wanita sedang menyusui,
usia lanjut, anak usia < 4 tahun, gangguan perdarahan dan bedah tonsilektomi.
Sifat analgetik ketorolac setara dengan opioid, yaitu 30 mg ketorolac = 12 mg morfin
= 100 mg pethidin, sedangkan sifat antipiretik dan antiinflamasinya rendah. Ketorolac dapat
digunakan secara bersamaan dengan opioid.
Dosis awal 10-30 mg dan dapat diulang setiap 4-6 jam sesuai kebutuhan. Untuk
pasien normal dosis sehari dibatasi maksimal 90 mg dan untuk berat < 50 kg, manula atau
gangguan faal ginjal dibatasi maksimal 60 mg.2
Sediaan : dalam ampul 5mg / 5ml
Pemberian : IM atau IV

7. Intubasi Trakea
Merupakan suatu tindakan memasukkan pipa khusus ke dalam trakea, sehingga
jalan nafas bebas hambatan dan nafas mudah di monitor dan dikendalikan.

Tindakan intubasi trakea ini bertujuan untuk :

1. Mempermudah pemberian anestesi.


2. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas dan demi kelancaran pernafasan.
3. Mencegah kemungkinan aspirasi lambung.
4. Mempermudah penghisapan sekret trakheobronkial.
5. Untuk pemakaian ventilasi yang lama.
6. Mengatasi obstruksi laring akut. 4

11 | P a g e
8. Terapi Cairan
Dalam suatu tindakan operasi terapi cairan harus diperhatikan dengan serius,
terapi cairan perioperatif bertujuan untuk :

1. Mencukupi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama operasi.
2. Replacement dan dapat untuk tindakan emergency pemberian obat. 6

Pemberian cairan operasi dibagi : 5

1. Pra operasi
Pada pasien pra operasi dapat terjadi defisit cairan yang diakibatkan karena
kurang makan, puasa, muntah, penghisapan isi lambung, penumpukan cairan pada
ruang ketiga seperti pada ileus obstruktif, perdarahan, luka bakar dan lain lain.
Kebutuhan cairan untuk dewasa dalam 24 jam adalah 2 ml / kgBB / jam. Bila terjadi
dehidrasi ringan maka diperlukan cairan sebanyak 2% BB, dehidrasi sedang perlu
0
cairan sebanyak 5% BB, dan dehidrasi berat sebesar 7% BB. Setiap kenaikan suhu 1
Celcius kebutuhan cairan bertambah 10 15 %.

2. Selama operasi
Selama tindakan operasi ini dapat terjadi kehilangan cairan karena proses
operasi. Kebutuhan cairan pada dewasa untuk operasi ringan 4ml/kgBB/jam, sedang
6ml/kgBB/ jam, berat 8 ml/kgBB/jam. Bila terjadi perdarahan selama operasi, di
mana perdarahan kurang dari 10% EBV maka cukup digantikan dengan cairan
kristaloid sebanyak 3 kali volume darah yang hilang. Apabila perdarahan lebih dari
10 % maka dapat dipertimbangkan pemberian plasma / koloid / dekstran dengan dosis
1 2 kali darah yang hilang. Sedangkan apabila terjadi perdarahan lebih dari 20%
akan dipertimbangkan untuk dilakukannya transfusi.

3. Setelah operasi
Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit cairan selama
operasi ditambah kebutuhan sehari hari pasien.

12 | P a g e
9. Pemulihan
Pasca anetesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan anestesi yang
biasanya dilakukan diruang pulih sadar atau recovery room yaitu ruangan untuk observasi
pasien pasa operasi atau anestesi. Ruang pulih sadar adalah batu loncatan sebelum pasien
dipindahkan ke bangsal atau masih memerlukan perawatan intensif di ICU. Dengan demikian
pasien pasca operasi atau anestesi dapat terhindar dari komplikasi yang disebabkan karena
operasi atau pengaruh anestesinya.1

Di ruang pulih sadar dimonitor jalan nafasnya apakah bebas atau tidak, ventilasinya
cukup atau tidak, dan sirkulasinya sudah baik ataukah tidak. Selain obstruksi jalan nafas
karena lidah yang jatuh ke belakang atau karena spasme laring, pasca bedah dini juga dapat
terjadi muntah yang dapat menyebabkan aspirasi.1
Monitor kesadaran merupakan hal yang penting karena selama pasien belum sadar dapat
terjadi gangguan jalan nafas. Tidak sadar yang berkepanjangan adalah akibat dari pengaruh
sisa obat anestesi, hipotermi, atau hipoksia, dan hiperkarbi. Hipoksia dan hiperkarbi terjadi
pada pasien dengan gangguan jalan nafas dan ventilasi. Menggigil yang terjadi pasca bedah
adalah akibat efek vasodilatasi obat anestesi. Menggigil akan menambah beban jantung dan
sangat berbahaya pada pasien dangan penyakit jantung.1,2

Tabel 1. Steward Scoring System


Kriteria Skor
Kesadaran Bangun 2
Respon terhadap stimuli 1
Tak ada respon 0
Jalan nafas Batuk atas perintah 2
Mempertahankan jalan nafas dengan baik 1
Perlu bantuan untuk mempertahankan 0
Gerakan Menggerakkan anggota badan dengan tujuan 2
Gerakan tanpa maksud 1
Tidak bergerak 0

13 | P a g e
Tabel 2. Robertson Scoring System
Kriteria Skor
Kesadaran Sadar penuh, mata terbuka, berbicara 4
Tertidur ringan, sekali-kali mata terbuka 3
Mata terbuka atas perintah atau respons bila 2
dipanggil namanya
Respon terhadap cubitan telinga 1
Tak ada respon 0
Jalan nafas Membuka mulut dan atau batuk atas perintah 3
Tak ada batuk volunter, jalan nafas bebas 2
tanpa bantuan
Obtruksi jalan nafas bila leher fleksi tetapi 1
tanpa bantuan ekstensi
Tanpa bantuan terjadi obstruksi 0
Aktivitas Mengangkat tangan dengan perintah 2
Gerakan tak berarti 1
Tak bergerak 0

Tabel 3. Aldrette Scoring System


Kriteria Recovery score
in 15 30 45 60 out
Aktivitas Dapat 4 anggota 2 2 2 2 2 2
bergerak gerak
volunter 2 anggota 1 1 1 1 1 1
atau atas gerak
perintah 0 anggota 0 0 0 0 0 0
gerak
Respirasi Mampu benafas dan batuk 2 2 2 2 2 2
secara bebas
Dyspnea, nafas dangkal 1 1 1 1 1 1
atau terbatas

14 | P a g e
Apnea 0 0 0 0 0 0
Tensi Pre Tensi 20 2 2 2 2 2 2
Sirkulasi opmmHg mmHg preop
Tensi 20-50 1 1 1 1 1 1
mmHg preop
Tensi 50 0 0 0 0 0 0
mmHg preop
Kesadaran Sadar Penuh 2 2 2 2 2 2
Bangun waktu dipanggil 1 1 1 1 1 1
Tidak ada respon 0 0 0 0 0 0
Warna Normal 2 2 2 2 2 2
kulit Pucat kelabu 1 1 1 1 1 1
Sianotik 0 0 0 0 0 0

Dengan demikian pasien pasca operasi atau anestesi dapat terhindar dari komplikasi yang
disebabkan karena operasi atau pengaruh anestesinya.

15 | P a g e
Bab 3

Kesimpulan

Pemeriksaan pra anestesi memegang peranan penting pada setiap operasi yang
melibatkan anestesi. Pemeriksaan yang teliti memungkinkan kita mengetahui kondisi pasien dan
memperkirakan masalah yang mungkin timbul sehingga dapat mengantisipasinya.

Pada makalah ini disajikan kasus penatalaksanaan anestesi umum pada operasi
tonsilektomi pada penderita perempuan, usia 25 tahun. Untuk mencapai hasil maksimal dari
anestesi seharusnya permasalahan yang ada diantisipasi terlebih dahulu sehingga kemungkinan
timbulnya komplikasi anestesi dapat ditekan seminimal mungkin.

16 | P a g e
Daftar pustaka

1. Latief, S.A., Suryadi, K.A., Dachlan, R. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi
Kedua. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif. Jakarta: FK UI

2. Muhardi, M, dkk. (1989). Anestesiologi, Bagian Anastesiologi dan Terapi Intensif, FKUI.
Jakarta: CV Infomedia.

3. Boulton, T.B., Blogg, C.E., 1994. Anestesiologi. Edisi 10. EGC. Jakarta.

4. Gan, Sulistia, Farmakologi dan terapi, edisi ke- 3 FKUI, Jakarta, 1986.

5. Muhiman, M. 2000. Anastesiologi. Jakarta : bagian Anestesiologi dan terapi Intensif. FK


UI.

6. Dobson Michael B, Penuntun Praktis Anestesi, cetakan I, Penerbit Buku Kedokteran EGC,
Jakarta, 1994.

17 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai