Anda di halaman 1dari 24

Presentasi Kasus Kematian Kepada Yth.

:
Fakhrurrazi ..................................
Agustus 2017

Ketoasidosis Diabetikum

Pendahuluan
Diabetes melitus (DM) tipe-1 merupakan kelainan endokrin metabolik yang
ditemukan pada anak dan remaja dan dapat menimbulkan komplikasi berupa
ketoasidosis diabetikum (KAD). Ketoasidosis diabetikum (KAD) merupakan suatu
keadaan darurat akibat komplikasi kurangnya insulin absolut maupun relatif.
Kondisi tersebut menyebabkan peningkatan hormon-hormon counter-regulatory
(katekolamin, glukagon, kortisol dan growth hormone) sehingga terjadi gangguan
metabolisme, hiperglikemia, diuresis osmotik, dehidrasi hipertonik dan
ketoasidosis. Defisiensi insulin akan menyebabkan lipolisis sehingga kadar asam
lemak bebas dalam darah meningkat. Asam lemak bebas ini kemudian diambil
oleh hati yang selanjutnya dioksidasi menjadi badan keton. Penimbunan badan
keton atau hiperketonemia akan menyebabkan asidosis metabolik.1-4
Ketoasidosis merupakan penyebab rawatan dan kematian terbesar pada
penderita DM-tipe 1, hampir 50% kematian sampai usia 24 tahun pasien DM tipe
1. Terdapat 67 pasien DM tipe 1 dan 22 pasien mengalami KAD di RSUP Dr. M
Djamil dari tahun 2011-2013, KAD mengalami syok sebanyak 31,8% dan
meninggal 22,7%.5
Tata laksana yang cepat dan tepat pada ketoasidosis diabetikum dapat
mengurangi komplikasi dan mencegah kematian. Tata laksana meliputi penanganan
resusitasi cairan, infeksi, gangguan metabolik yang berat dan sistemik yang
berbeda dengan tatalaksana kondisi kegawatan lainnya. 1

1
Laporan Kasus

Seorang anak perempuan RH usia 1 tahun 8 bulan dirawat di Bangsal Anak


RSUP M Djamil selama 30 jam (31 Mei s.d 1 Juni 2017), kiriman dari RS
Tentara Solok dengan keterangan hiperglikemia dan febris.
Alloanamnesis didapatkan dari ayah dan ibu kandung pasien dengan;
Keluhan utama : Sesak nafas meningkat sejak 4 jam sebelum masuk rumah sakit.
Riwayat penyakit sekarang :
Pasien sering merasa haus sejak 1 tahun yang lalu, sering merasa lapar sejak
1 tahun yang lalu, pasien bisa makan nasi dengan lauk pauk sampai 3-4 kali sehari
dengan diselingi cemilan 2 kali, tetapi sejak 2 hari yang lalu pasien kurang mau
makan dan minum. Pasien sering buang air kecil sejak 1 tahun yang lalu, frekuensi
6 sampai 8 kali per hari terutama malam hari. Pasien tampak mudah lelah dan
semakin kurus sejak 8 bulan yang lalu, berat badan terakhir 9,5 kg ditimbang 1
bulan yang lalu. Demam sejak 2 hari yang lalu, tinggi, hilang timbul, tidak disertai
kejang. Berak berak encer sejak 2 hari yang lalu, frekuensi 3-4 kali, jumlah 3
sendok makan (sdm) -1/2 gelas/kali tidak berdarah, tidak berlendir. Mual disertai
muntah sejak 2 hari yang lalu, frekuensi 2-3x/hari, jumlah 3-5 sdm/kali, tidak
menyemprot, berisi apa yang dimakan dan diminum. Sesak nafas sejak 1 hari yang
lalu, sesak tidak menciut nampak cepat dan dalam, tidak dipengaruhi cuaca dan
makanan, sesak makin meningkat sejak 4 jam yang lalu. Tampak lebih mengantuk
sejak 2 jam yang lalu. Buang air kecil terakhir 4 jam yang lalu, warna kuning pekat
dan jumlah sedikit. Pasien kurang mau makan dan minum sejak sakit. Batuk tidak
ada, pilek tidak ada. Tidak ada riwayat gatal pada kulit, nyeri kepala ataupun
riwayat kesemutan pada ujung jari. Pasien telah dikenal dengan DM tipe 1 sejak
september 2016, di rawat di RS dr.M. Djamil Padang selama 2 minggu. Mendapat
terapi pulang injeksi insulin Novarapid dan Levemir. Obat tidak di suntikkan lagi
oleh orang tua sejak 2 minggu terakhir dengan alasan ketakutan pasien terhadap
penyuntikan dan gula darah dianggap orang tua sudah normal. Kisaran kadar gula
darah 200-300 mg/dl.

2
Pasien telah dirawat selama 6 jam di RS Tentara Kota Solok telah dilakukan
pemeriksaan gula darah 554 mg/dl, mendapat terapi IVFD Ringer laktat telah habis
50cc kemudian dirujuk dengan keterangan hiperglikemia dan febris.
Riwayat penyakit dahulu :
Pasien telah dikenal dengan DM tipe 1 sejak September 2016, di rawat di
RS Dr. M. Djamil Padang selama 2 minggu. Anak masuk dalam keadaan
ketoasidosis dan dehidrasi sedang. Anak diperbolehkan pulang setelah dilakukan
edukasi tentang penyakit, pengobatan, penyuntikan, perhitungan makanan dan
pasien pulang mendapat injeksi Novarapid dan Levemir dengan pemberian buku
pencatatan gula darah perhari. Telah dilakukan pemeriksaan C Peptide 0,2 mg/dl,
dan Hba1c 10,0%. Pasien tidak pernah kontrol ke poliklinik anak RS. Dr. M.
Djamil lagi hanya ke Sp.A kota Solok.
Riwayat penyakit keluarga :
Tidak ada anggota keluarga menderita penyakit diabetes mellitus
Riwayat kelahiran, imunisasi, tumbuh kembang :
Pasien merupakan anak pertama dari tiga bersaudara, lahir spontan, cukup
bulan, ditolong bidan, berat badan lahir 3400 gram dan panjang badan lahir tidak
diketahui, langsung menangis. Imunisasi dasar tidak lengkap. Riwayat
pertumbuhan terganggu dan perkembangan dalam batas normal. Higiene dan
sanitasi lingkungan baik
Pemeriksaan fisik :
Keadaan umum tampak sakit berat letargi GSC 12 E3M5V4, tekanan darah
77/20 mmHg, (P50 : 90/50 mHg), frekuensi nadi 148 kali per menit, perabaan
halus, ditemukan napas kusmaull dengan frekuensi napas 40 kali per menit , suhu
aksila 38,5 C. Tinggi badan 78 cm, berat badan 8,5 kg berat rehidrasi 9,2 kg,
status gizi adalah gizi kurang dengan berat badan menurut umur 70,8 %, tinggi
badan menurut umur 89,1 %, berat badan menurut tinggi badan 77,2 %. Kulit
teraba hangat dengan turgor kembali sangat lambat. Kepala bulat simetris. Rambut
hitam tidak mudah rontok. Mata tampak sangat cekung, air mata tidak ada,
konjungtiva pucat, sklera tidak ikterik, pupil isokor, diameter pupil 2 mm/2 mm,
reflek cahaya +/+. Telinga tidak ditemukan kelainan. Napas cuping hidung ada.
Tonsil dan faring sukar dinilai. Kaku kuduk tidak ada, JVP 5-2 cm H2O. Dada

3
simetris, ditemukan retraksi epigastrium dan intercostal, fremitus sama kiri dan
kanan, suara napas vesikuler, ronki kasar ada, wheezing tidak ada, ictus cordis tidak
terlihat, batas jantung dalam batas normal dengan ictus cordis teraba 1 jari medial
linea midclavicula sinistra pada RIC V, irama jantung teratur, bising tidak
terdengar. Abdomen supel, hepar dan lien tidak teraba, bising usus normal.. Akral
dingin, pengisian kapiler > 2 detik, refleks fisiologis +/+ normal, refleks patologis -
/-, tanda rangsangan meningeal tidak ada.

Pemeriksaan penunjang :
Hemoglobin 10,6 g/dl, leukosit 32.420/mm3, hematokrit 36 %, trombosit
331.000/mm3, hitung jenis 0/0/3/64/33/0 MCH 28,5 p MCV 80 fl MCHC 32,4 %.
kesan : leukositosis.
Pemeriksaan gula darah sewaktu 801 mg/dl, Urinalisis : protein urin (-),
eritrosit urin 0/LPB, leukosit urin 1-2/LPB, reduksi ++ , keton urin : (++) dengan
kesan hiperglikemia dan ketonuria.

Daftar masalah :
1. Subjektif : Polidipsi, poliuria, polifagia, febris, mual muntah, diare, penurunan
berat badan, penurunan kesadaran, anemia.
2. Objektif : Letargi, takipnue, takikardi, syok, dehidrasi berat.
3. Hiperglikemia, ketonuria, Susp Asidosis metabolik,

Diagnosis :
- Ketoasidosis diabetikum berat ec DM tipe-1
- Syok hipovolemik
DD/ Syok septik
- Gizi Kurang
- Anemia normositik normokrom

4
Rencana pemeriksaan :
- Rawat PICU
- Analisis gas darah (AGD)
- Natrium, kalium, calsium, ureum, kreatinin.
- Pemeriksaan gula darah setiap jam
- Keton urin setiap 2 jam
- Kultur darah
- Konsultasi bagian mata

Tata laksana :
Tatalaksana di Ruang Resusitasi IGD
Sementara dipuasakan
O2 2 liter/menit (Nasal kanul)
Pasang infus 2 jalur
IVFD NaCl 0,9 % 20 cc/kgBB/1 jam = 170 cc/1 jam
60 tetes/menit makrodrip
Ampicilin 4 x450 mg iv
Gentamisin 2x22 mg iv
Paracetamol 3x100 mg po/iv
Balance Cairan
Pasang kateter urin

2 jam tatalaksana di IGD (05.00 WIB)


Akses perifer hanya ada satu jalur tidak lancar, akses perifer lain tidak
berhasil didapatkan, keluarga menolak dilakukan pemasangan jalur intra oseus, dan
setuju untuk dilakukan vena seksi. Cairan Nacl 0,9% sudah masuk 170 cc selama
2 jam. Anak masih sesak nafas, ujung kaki dan tangan masih teraba dingin,
demam ada tidak tinggi, kejang tidak ada, buang air kecil belum ada. Hasil
konsultasi bagian mata tidak ditemukan tanda peningkatan tekanan intra kranial.
Pasien tampak letargi laju denyut nadi 138 kali/menit, TD : 80/30 mmHg, laju
napas 38 kali/menit ditemukan napas kusmaull, suhu 38,30 C, mata tidak edema,
pupil isokor, reflex cahaya +/+, jantung dalam batas normal, Paru : vesikuler, lendir

5
+/+, abdomen : tidak distensi, bising usus (+) normal, pengisian kapiler > 2 detik.
Kesan : Syok belum teratasi Terapi : Pemberian IVFD NaCl 0,9 % 20
cc/kgBB/1 jam = 170 cc/1 jam 60 tetes/menit makrodrip
Hasil analisis gas darah pH 6,80; PCO2 10; PO2 143; HCO3- (--); BE (--);
SO2 (--) dengan kesan asidosis metabolik berat, hipokarbia, dan hiperoxemia.
Anak diberikan O2 rebreathing mask 6 liter/menit, dilakukan koreksi bicarbonat
(bicnat) 10 meq bicnat dalam aquadest 40 cc (1/4 kebutuhan bicnat, dengan BE:
15) 50 cc/jam setelah loading Nacl 0,9% kedua selesai, direncanakan AGD
ulang setelah dikoreksi. Natrium serum 131 mmol/l, Kalium 5.9 mmol/l kesan :
Hiperkalemia ec asidosis metabolik, hiponatremia ringan.

Empat jam tatalaksana di IGD (07.00 WIB)


Vena seksi berhasil terpasang setelah 3 jam pemasangan. Cairan Nacl 0,9%
sudah masuk 340 cc (40cc/kg), Buang air kecil keluar dengan diuresis
0,8cc/kgbb/jam, Koreksi bicnat belum dimasukkan karena jalur vena seksi
merembes setelah selesai loading Nacl 0,9% kedua. Keluarga tidak bersedia
kembali dilakukan pemasangan vena seksi dan intra oseus. Telah dilakukan
konsultasi ke bagian anestesi untuk pemasangan jalur Central Venous Cateter
tetapi kateter CVC pediatrik tidak tersedia di RS Dr. M. Djamil Padang. Setelah di
edukasi ulang keluarga bersedia untuk dilakukan vena seksi ulang. Kejang tidak
ada, demam masih ada, pasien masih sesak nafas. Pasien tampak sakit berat
dengan GCS 12 (E3M5V4), laju denyut nadi 114 kali/menit, TD : 94/42 mmHg,
laju napas 36 kali/menit napas kusmaull, suhu 37o C, mata tidak edema, pupil
isokor, reflex cahaya +/+. Paru : vesikuler, rhonkie basah basal paru, jantung
dalam batas normal, abdomen tidak distensi, hepar teraba , bising usus (+)
normal, pengisian kapiler < 2 detik . Kesan: Syok teratasi dengan tanda
bendungan, KAD belum teratasi.
Tatalaksana:
Perhitungan kebutuhan cairan untuk 48 jam:
Derajat dehidrasi = dehidrasi berat
Defisit cairan = 9 % x 8,5x 1000 = 765 cc
Kebutuhan rumatan 48 jam = 2 x kebutuhan maintenance = 2 x (100 ccx 9)
= 1800 cc

6
Total cairan untuk 48 jam = 765+ 1800 = 2565 cc
Cairan yang telah diberikan: 50cc
Cairan resusitasi : 340 cc
Koreksi bicnat : 50 cc
Cairan untuk drip insulin = 0,9 cc/jam x 48 jam = 43 cc
Cairan yang akan diberikan dalam 48 jam = 2565 cc ( 50+ 340 + 50 + 43)
: 2082 cc/48 jam 14 tts/i (makro)

Pindah PICU
Sementara dipuasakan
O2 Rebreathing mask 6 liter/menit
IVFD NaCl 0,9 % + KCL 10cc/Kolf 14 tts/i (makro)
Drip Insulin (Drip insulin 0,5 cc dalam 50 cc NaCl 0,9% (1 IU ~ 1cc ).
Kecepatan insulin 0,1 cc/kgBB/jam 0,9 cc/jam
Ampicilin 4 x450 mg (IV)
Gentamisin 2x22 mg (IV)
Paracetamol 3x100 mg po/iv

7 jam rawatan, jam 10.00


Pasien telah dirawat di ruang PICU . Pasien ditranspor dari IGD saat
datang insulin telah dijalankan, koreksi bicanat baru selesai, infus vena seksi kedua
tidak berjalan lancar, kaki dan tangan teraba dingin, buang air kecil sedikit pasien
masih belum sadar, anak terpasang O2 rebrehthing 6l/i, nafas spontan tidak
adekuat, desaturasi 75 %, demam tidak ada, muntah tidak ada. Pasien tampak sakit
berat dengan GCS E3M5V1=9, TD: 60/30 mmHg, laju napas 20 kali/menit dypneu
suhu 36,5,8 0C, pupil isokor, diameter 2 mm/2 mm reflek +/+ menurun, retraksi
epigastrium ada, rhonki basah pada basal paru, abdomen supel, hepar , bising
usus (+) normal, pengisian kapiler > 2 detik. Kesan : Syok ulang refrakter cairan
susp syok sepsis + Dyspneu.
Sikap : Pasang ulang jalur perifer, konsul bagian bedah untuk pemasangan
jalur sentral long line, ventilasi tekanan positif manual, intubasi, siapkan
ventilator, drip ionotropik (dopamine) setelah jalur perifer didapat, terapi lainnya

7
dilanjutkan direncanakan pengambilan AGD, Na, K, Ca, Ureum Kreatinin. Gula
darah serial antara 407 mg/dl, keton urin (++).

10 jam rawatan, jam 13.00.


Anak telah terpasang ventilator mode PSIMV, PEEP 5, PIP 14, RR 30x/i,
i:e:1:2, FiO2 50 %, saturasi terpantau 92 %, jalur perifer baru dapat setelah 2 jam
pencarian, konsultasi dari bagian bedah belum datang, drip dopamin baru
dijalankan setelah akses perifer didapatkan , Ujung kaki dan tangan masih teraba
dingin. Pasien masih belum sadar. Demam tidak ada. Buang air kecil tidak ada.
0
Tampak sakit berat dengan GCS E3M5Vett, suhu 36,7 C, frekuensi nadi
146x/menit, tekanan darah 61/42 mmHg saturasi 92%. Konjungtiva pucat, sklera
tidak ikterik, pupil isokor, cor tidak ditemukan kelainan, pulmo: vesikuler, rhonkie
basah berkurang, lendir +/+, abdomen supel, hepar teraba - , lien tidak teraba,
bising usus (+) normal, pengisian kapiler > 2 detik. Kesan: Syok septik belum
tertasi, KAD belum teratasi. Hasil pemeriksaan AGD ulangan : Beku, Natrium 142
mmol/l Kalium: 4,1 mmol/L, Calsium : 7,4 mmol/L, Gula darah sewaktu : 363
mg/dl, keton (+). Ureum : 72 mg/dl. Kreatinin: 0,9 mg/dl. LFG ; 44,6 (Normal :
4377), kesan peningkatan ureum dengan LFG normal.
Terapi ventilator mode PSIMV, PEEP 5, PIP 14, RR 30x/i, i:e:1:2, FiO2 50
%, Koreksi kalsium , penyesuaian cairan, insulin dan antibiotika dilanjutkan,
naikkan dosis ionotropik bertahap mulai 5mcq/kgbb/i.

12 belas jam rawatan, jam 15.00.


Anak mengalami desaturasi berulang, saturasi terpantau 75- 92 % FiO2
telah diberikaan 100% dengan volume tidal 7-8cc/kgbb, tekanan darah naik
bertahap, drip dopamin naik bertahap hingga 10 mcg/kgbb/i, tidak ada perbaikan
kesadaran, demam tidak ada. Buang air kecil ada diuresis 1,2 cc/kgbb/jam. Koreksi
Kalsium belum dilakukan karena hanya ada satu jalur perifer. Konsultasi bagian
bedah belum datang. Tampak sakit berat dengan GCS E3M5Vett, suhu 36,7 0C,
frekuensi nadi 139x/menit, tekanan darah 100/55 mmHg saturasi 92%. Konjungtiva
tidak pucat, sklera tidak ikterik, pupil isokor, cor tidak ditemukan kelainan, pulmo:
vesikuler, lendir +/+, abdomen supel, hepar teraba - , lien tidak teraba, bising

8
usus (+) normal, pengisian kapiler < 2 detik. Kesan: syok tertasi dengan drip
dopamnie, KAD belum teratasi.
Hasil pemeriksaan AGD ulangan : pH 6,87; PCO2 34; PO2 48; HCO3- 6,4 ;
BE (-26,7); SO2 (51) Saturasi monitor 92 % dengan kesan asidosis metabolik
berat, hipoxemia tercampur darah vena. Dilakukan koreksi bicarbonat pada anak
17 meq bicnat dalam aquadest 51 cc (1/4 kebutuhan bicnat), Na 142 mmol/l
Kalium: 3,5 mmol/L. Gula darah sewaktu : 373 mg/dl, keton (+).
Terapi dilanjutkan direncanakan masuk koreksi bicarbonat dan kalsium di
sertai penyesuaian cairan ulang.

19 belas jam rawatan, jam 22.00.


Anak telah selesai dilakukan pemasangan jalur long line dari bagian bedah,
telah selesai koreksi bicarbonat dan kalsium. Desaturasi tidak ada dengan FiO2
tetap diberikaan 100%, tekanan darah stabil dalam drip dopamin 10 mcg/kgbb/i,
tidak ada perbaikan kesadaran, demam tidak ada. Buang air kecil ada diuresis 5
cc/kgbb/jam. Tampak sakit berat dengan GCS E3M5Vett, suhu 36,7 0C, frekuensi
nadi 139x/menit, tekanan darah 95/70 mmHg saturasi 89%. Konjungtiva pucat,
sklera tidak ikterik, pupil isokor, cor tidak ditemukan kelainan, pulmo: vesikuler,
lendir +/+, abdomen supel, hepar teraba - , lien tidak teraba, bising usus (+)
normal, pengisian kapiler < 2 detik. Kesan: syok tertasi dengan drip dopamnie.
Hasil pemeriksaan Gula darah sewaktu : Berturut 254, 263,260, 261,143
156, 145 mg/dl, keton (-).
Terapi dilanjutkan penyesuaian cairan ulang. D5NS +KCL 10meq/kolf :
39 cc/jam , terapi lain diteruskan
Hasil pemeriksaan AGD ulangan : Hasil analisis gas darah pH 7,16; PCO2
33; PO2 45; HCO3- 11,8 ; BE -16,;SO2 68, saturasi alat 89% dengan kesan
asidosis metabolik perbaikan dari sebelumnya, hipoxemia tercampur darah vena.
Dilakukan koreksi bicarbonat pada anak 10 meq bicnat dalam aquadest 40 cc
(1/4 kebutuhan bicnat)

9
25 jam rawatan, hari ke 2 jam 05.00
Pasien mengalami syok ulang, anak sudah di drip dopamine dosis
10mcq/kgbb/i , mengalami desaturasi 70-85 % dengan FiO2 100 %. Tangan dan
kaki dingin. Buang air kecil berkurang 50 cc/ 6 jam (diuersis 0,9cc/kg/jam). Pasien
masih diberikan ventilasi mode PSIMV nafas spontan masih ada, demam tidak
ada. Buang air kecil tidak bertambah.
Pasien tampak sakit berat, GCS E2M3Vett, TD 55/14 mmHg. HR
:172/menit, suhu 35,50C, Saturasi 85%. Kulit teraba dingin, mata: pupil isokhor 3
mm, ,akral dingin, refilling kapiler >2 detik. Kesan : Syok Ulang
Sikap : Drip Ionotropik Dobutamine mulai 5 mcq/kgbb/i naik bertahap. Terapi lain
diteruskan.

27 jam rawatan, hari ke 2 jam 06.00 WIB


Pasien bradikardi. Drip Dobutamine 10 mcg/kgbb/i. Nafas spontan tidak
ada. Buang air kecil tidak bertambah.Tangan dan kaki dingin.
Pasien tampak sakit berat, GCS E1M1Vett, TD tidak terukur. HR :
32x/menit, suhu 35,50C, Saturasi 60%. Kulit teraba dingin, mata: pupil isokhor 3
mm, reflek cahaya tidak ada,akral dingin, refilling kapiler 5 detik. Resusitasi
jantung paru dilakukan pada pasien, sampai diberikan injeksi adrenalin 1:10.000
tiga kali, namun tidak ada respon.

06.30: Pasien dinyatakan meninggal dihadapan dokter, keluarga dan petugas.

Tim Yang Menerima : Fakhrurrazi, Zulia, Devi


Tim Yang merawat : Zulia, inggrit, Devi
Tim saat meninggal : Pen , Mila Devi,

10
Analisis Kasus

Seorang anak perempuan NN, umur 1 tahun 8 bulan dirawat di bangsal


Anak RSUP dr M. Djamil Padang selama 2 hari. Anak didiagnosis saat awal masuk
dengan : Ketoasidosis diabetikum (KAD) berat ec DM tipe 1 , Syok hipovolemik,
didiagnosis banding dengan syok septik dan gizi kurang.
Ketoasidosis diabetikum (KAD) adalah komplikasi akut dan mengancam
nyawa dari DM tipe 1 yang ditandai dengan trias hiperglikemia, asidosis dan
ketonemia. Pasien DM tipe-1 sering datang dengan KAD sebagai manifestasi
pertama, terutama pada anak usia dibawah 5 tahun dan berasal dari negara sosial
ekonomi rendah. Diabetes mellitus tipe 1 merupakan kelainan sistemik akibat
gangguan metabolisme glukosa yang ditandai dengan hiperglikemia kronik.
Keadaan ini disebabkan kerusakan sel- pankreas oleh proses autoimun sehingga
produksi insulin berkurang atau terhenti.4 Sel mengalami kerusakan pada
individu yang secara genetik mempunyai kerentanan untuk menderita DM tipe 1
setelah terpapar dengan lingkungan tertentu. Kerusakan ini akan melepaskan
antigen yang memproduksi sejumlah autoantibodi termasuk islet cell
autoantibodies (ICA), insulin autoantibodies (IAA), glutamic acid decarboxylase
(GAD) dan IA2 (dikenal sebagai ICA 512 atau tyrosine phosphatase
autoantibodies).6, 7
Gejala klinis akan muncul apabila kerusakan sel pankreas sudah mencapai
90%. Sebahagian besar penderita DM tipe-1 mempunyai riwayat perjalanan klinis
yang akut, ditandai dengan trias klasik berupa polidipsia, polifagia dan poliuria
serta dijumpai penurunan berat badan yang cepat. Gejala klinis tersebut muncul
antara 1-2 minggu sebelum diagnosis ditegakan. Apabila gejala klinis diatas
disertai dengan hiperglikemia maka diagnosis DM dapat ditegakan.2, 4
Pasien
mempunyai riwayat polifagi, polidipsi dan poliuria, penurunan berat badan sejak 6
bulan sebelum masuk rumah sakit pertama dan hiperglikemia.
Uji yang dapat digunakan untuk menegakkan etiologi diabetes adalah uji
yang dapat menunjukkan fungsi sel beta (misalnya C peptide) dan marker yang
memperantarai kerusakan sel beta (misalnya ICA, IAA, GAD, autoantibodi IA-2
dan IA-2). C peptide merupakan residu yang terdiri dari 31 asam amino terbentuk

11
sewaktu pemecahan proinsulin menjadi insulin. C peptide tidak memiliki aktivitas
biologik namaun dapat menggambarkan fungsi produksi insulin endogen. Pasien
dengan DM tipe-1 memiliki kadar C peptide yang rendah karena rendahnya kadar
insulin endogen dan fungsi sel beta.8 Pulungan, dkk melaporkan dari 24 pasien DM
tipe-1 yang dilakukan pemeriksaan C peptide, semuanya memiliki kadar < 0,5
ng/ml (nilai normal; 0,9-4 ng/ml).1 Kadar C peptide pada pasien C Peptide 0,2
mg/dl sesuai gambarab DM tipe-1.
Angka kejadian KAD sangat bervariasi tergantung dengan insiden DM tipe-
1 di kawasan tersebut dengan rentang 15-70% di eropa dan Amerika utara.3 Di
Indonesia, data dari telaah rekam medik pasien DM tipe-1 di RSCM pada tahun
2002, sekitar 66% pasien DM tipe- 1 datang dengan kondisi KAD.1 Ketoasidosis
merupakan penyebab rawatan terbanyak dan penyebab kematian terbesar pada
penderita DM-tipe 1, hampir 50% kematian pasien DM-tipe 1 sampai usia 24 tahun
disebabkan oleh KAD. Di Negara maju, angka kematian KAD 0,15% - 5% dan
paling banyak disebabkan oleh edema serebri.3
Ketoasidosis diabetikum didiagnosis banding dengan hyperglycemic
hyperosmolar state . Ketoasidosis diabetikum dan hyperglycemic hyperosmolar
state (HHS) merupakan dua kondisi hiperglikemia emergency. Secara klinis
terdapat perbedaan derajat dehidrasi, ada atau tidaknya ketosis dan asidosis
metabolik pada kedua kondisi tersebut. Ketoasidosis terjadi karena sekresi
berlebihan glukagon, catecholamines, cortisol dan growth hormone memicu
gluconeogenesis, glycogenolysis dan lipolisis akibat defisiensi insulin. HHS
dicirikan dengan hiperglikemia berat, hiperosmolalitas dan dehidrasi tanpa
gambaran ketoasidosis yang terjadi karena infeksi berat, trauma dan kegawatan
kardiovaskuler. 8,9
Diagnosis KAD ditegakkan berdasarkan kriteria klinis dan biokimia,
kriteria klinis adalah dehidrasi, takikardi, takipneu, pernafasan Kussmaul, nausea,
muntah, nyeri perut, kebingungan, gangguan kesadaran sampai hilangnya
kesadaran.3,10 Umpierezz melaporkan bahwa nyeri perut berhubungan dengan
asidosis metabolik yang lebih berat.11 Kriteria biokimia adalah hiperglikemia (GDR
> 200mg/dl), pH darah vena < 7,3 atau bikarbonat <15 mmol/L, ketonemia dan
ketonuria. Pasien memenuhi semua kriteria klinis dan kriteria laboratorium. Derajat

12
severitas KAD ditentukan berdasarkan asidosis, ringan: pH vena <7.3 atau
bikarbonat <15 mmol / L, sedang pH <7,2, bikarbonat <10 mmol / L, berat: pH
<7,1, bikarbonat < 5 mmol / L.2, 7
Pasien mengalami KAD berat (pH 6,88 dan
bikarbonat sangat rendah) saat dari awal masuk dengan syok refrakter cairan yang
tidak teratasi.
Ketoasidosis diabetikum disebabkan oleh defisiensi insulin dan
meningkatnya sekresi counterregulatory hormones; katekolamin, glukagon,
kortisol dan growth hormone. Ketoasidosis juga dapat terjadi akibat defisiensi
insulin relatif yang terjadi apabila kadar counterregulatory hormones meningkat
sebagai kompensasi terhadap stres. Keadaan ini dapat dijumpai pada kondisi seperti
sepsis, trauma, pembedahan, penyakit gastrointestinal dengan diare dan muntah dan
menyebabkan dekompensasi metabolik.3
Ketoasidosis diabetikum akan menyebabkan terjadinya hiperglikemia,
ketonemia, asidosis dan inflamasi sistemik. 12, 13 Patofisiologi KAD dapat dilihat
pada gambar 1.

Gambar 1. Patofisiologi ketoasidosis diabetikum.3

13
Hitung leukosit umumnya meningkat pada anak dengan KAD dan hitung
jenis shift to the left.12 Penelitian-penelitian klinis menunjukkan terjadinya
inflamasi sistemik non infeksi pada KAD yang ditandai dengan pelepasan sitokin
pro inflamasi dan peningkatan leukosit perifer.14, 15 Komplikasi akut dan kronik
diabetes juga berkorelasi dengan peningkatan hitung leukosit. Kadar H+ yang lebih
tinggi pada KAD menyebabkan produksi dan pelepasan leukosit. Peningkatan
benda keton akan menghasilkan kerusakan oksidatif, menginduksi apoptosis,
menghambat pertumbuhan sel monosit yang akan menurunkan jumlah monosit.
Jumlah dan hitung jenis leukosit meningkat signifikan pada kelompok ketoasidosis
dibandingkan dengan tanpa asidosis, namun hitung eosinofil lebih rendah pada
keadaan hiperglikemia16, 17.
Xu dkk melakukan penelitian pada 50 pasien ketoasidosis dan ketosis
diabetikum, dan didapatkan hasil bahwa peningkatan jumlah total leukosit dan
neutrofil serta penurunan eosinofil berkorelasi signifikan dengan ketoasidosis
diabetikum. Leukosit dapat dijadikan tambahan sumber informasi yang
menggambarkan krisis hiperglikemia.18 Pada pasien ini ditemukan anak dengan
leukositosis.
Infeksi dikenal sebagai salah satu faktor pemicu terjadinya KAD dan juga
merupakan efek lanjutan luaran dari KAD pada anak di negara sedang berkembang.
Infeksi berhubungan signifikan dengan asidosis persisten, defisit basa yang tinggi,
osmalilitas yang tinggi dalam 6 jam, lama pemakaian infus insulin, lama perawatan
di Rumah sakit, episode hipoglikemia, dan komplikasi seperti syok, edem serebri,
serta gagal ginjal. Analisis multivariat menyatakan infeksi dengan komplikasi KAD
berhubungan signifikan dengan mortalitas dan lama rawatan dirumah sakit. Demam
dengan ataupun tanpa focus infeksi yang jelas indikasi dimulai pemberian
antibiotika, sangat penting mempertimbangkan segera pemberian antibiotik pada
anak dengan asidosis persisten. Pencegahan infeksi dan management infeksi pada
anak KAD di negara berkembang dapat menurunkan angka kematian yang tinggi. 19
Pasien ini segera diberikan antibiotik dalam 15 menit tatalaksana cairan.
Infeksi tersamar bisa mencetuskan KAD. Bukti adanya infeksi harus
ditelusuri mencakup kultur darah, urinalisis dan kultur urin. Dugaan infeksi bakteri
harus diterapi segera dengan antibiotik yang sesuai20. Dugaan penyebab terjadinya

14
KAD pada pasien ini adalah infeksi, karena anak dengan demam, leukositosis, dan
syok refrakter cairan diduga karena sepsis. Pemeriksaan mikrobiologi tidak bisa
dilakukan untuk pembuktian definitif infeksi saat itu.
Penelitian pada 51 pasien KAD di PICU dengan dugaan infeksi, 78,4%
memenuhi karakteristik klinis dengan infeksi, 49% terbukti dengan pemeriksaan
mikrobiologi dan 27,5 % terbukti secara klinis dan mikrobiologi. Penyebab utama
infeksi terbanyak adalah infeksi saluran kencing dan saluran pencernaan. Faktor
parameter independen saat awal masuk yang mengindikasikan adanya infeksi dari
sebuah penelitian restopektif adalah jenis kelamin perempuan, gangguan
neurologis dan keterlambatan bersihan ketonuria dalam 12 jam pertama pasien
masuk. Terjadinya gangguan neurologis dan persiten ketonuria dianalisis karena
gangguan metabolik yang berat karena infeksi pada diabetes dan pasien dengan
jenis kelamian perempuan memiliki resiko tinggi silent infeksi karena infeksi
saluran kencing.21
Diabetes melitus berhubungan dengan peningkatan dugaan infeksi dan
sepsis. Terdapatnya perbedaan data yang menyatakan bahwa apakah kematian
pada sepsis dipengaruhi oleh diabetes menjadi perdebatan manfaat pengaturan
kadar glukosa yang ketat pada pasien sepsis. Alasan utama diabetes predisposisi
munculnya infeksi adalah abnormalitas respon host, terutama pada kemotaksis
neutrofil, adhesi dan fagositosis yang terjadi akibat kondisi hiperglikemia. Selain
itu juga terdapat bukti adanya defek imunitas humoral dan abnormalitas
komplemen. 22
Pengobatan ketoasidosis diabetik bersifat kompleks dan cermat. Prinsip tata
laksana KAD meliputi terapi cairan untuk mengkoreksi dehidrasi dan menstabilkan
fungsi sirkulasi, pemberian insulin untuk menghentikan produksi badan keton yang
berlebihan, mengatasi gangguan keseimbangan elektrolit, mengatasi faktor
presipitasi atau penyakit yang mendasari KAD serta monitor komplikasi terapi.
Berikut ini merupakan tanda bahwa penanganan pasien menjadi sulit, yaitu (1)
dehidrasi berat dan syok, (2) asidosis berat dan kalium serum yang rendah, (3)
hipernatremia yang menunjukkan keadaan hiperosmolar yang buruk, (4)
hiponatremia, (5) lipemia berat dan (6) penurunan kesadaran saat pemberian terapi
yang menunjukkan adanya edema otak. 1, 23

15
Saat pertama datang pasien dengan penurunan kesadaran. Komplikasi
neurologis pada pasien diduga karena kondisi hiperglikemia dengan dehidrasi dan
sepsis, Penurunan kesadaran pada pasien KAD bisa disebabkan oleh kondisi
hiperglikemia, edema serebri dan sepsis.24 Penurunan kesadaran pada
hiperglikemia terjadi peningkatan tonisitas plasma, sehingga terjadi pergerakan
cairan dari intrasel ke ekstrasel dan terjadi kerusakan sel. Perubahan kesadaran
hingga mencapai koma terjadi jika tonisitas plasma mencapai 330 mOsm/kgH2025.
Perubahan sinyal di otak terjadi saat sepsis, terjadi akibat produksi sitokin
inflamasi sentral dan perifer. Sitokin ini menyebabkan aktivasi mikroglia,
meningkatkan produksi sitokin inflamasi, peningkatan lipopolisakarida (LPS),
sitokin, dan NO menyebabkan kerusakan lebih lanjut pada sawar darah otak
sehingga terjadi kerusakan otak. Produksi berlebihan sitokin inflamasi dan spesies
oksigen reaktif menyebabkan disfungsi mitokondria dan apoptosis. Keseimbangan
asam amino terganggu karena proses proteolisis berlebihan dan terjadi produksi
neurotransmitter palsu yang berkontribusi pada patogenesis penurunan kesadaran
pada sepsis. Selain itu disebabkan karena gangguan hemodinamik, metabolik,
penggunaan medikasi dan faktor lingkungan saat sepsis.26, 27
Edema serebri adalah komplikasi potensial terbesar yang terjadi pada hari
pertama tatalaksana KAD, biasanya 5-15 jam setelah awal pengobatan. Faktor
demografi yang berhubungan dengan risiko edema serebri adalah usia lebih muda,
pasien baru, makin lamanya gejala penyakit tampak, konsentrasi urea plasma
tinggi, kadar PCO2 rendah, dan mendapat pengobatan natrium bikarbonat.28, 29

Pada anak belum dapat disingkirkan penyebab penurunan kesadaran karena edema
karena tidak dilakukan Brain CT Scan dikarenakan konsul mata tidak ditemukan
tanda peningkatan tekanan intra kranial.
Presentasi syok jarang ditemukan pada KAD di negara maju. Tapi
penelitian di negara berkembang, kejadian syok cukup tinggi. Salah satu laporan
penelitian di Pakistan menyatakan insiden syok 19,3%, dengan tingkat kematian
3.4%. Tiwari dkk di India mendokumentasikan kejadian syok pada KAD 48% dari
populasi, 30% nya membutuhkan inotropik. Syok pada KAD adalah kombinasi
hipovolemia dan sepsis, untuk membedakan keduanya sulit dan sebagian besar
kasus yang ada memang ada kedua kondisi tersebut. 30

16
Dehidrasi intraselluler pada KAD bisa tidak diketahui secara klinis,
sehingga kadang terjadi under diagnosis dan menyamarkan derajat dehidrasi yang
terjadi. Waktu pengisian kapiler tidak bisa sebagai tanda syok yang dipercaya
pada KAD. Takikardi bisa berupa respon fisiologis terhadap tanda dehidrasi pada
KAD dan tanda peringatan terjadinya syok. Takipnue, respon yang sama terhadap
kondisi asidosis, tidak dapat diinterprestasi sebagai bukti tunggal dari hipoperfusi
dan asidosis laktat. Perubahan kesadaran pada KAD disebabkan oleh edem serebri,
asidosis berat atau syok. 30, 31
Meskipun kriteria syok septik dan hipovolemik dapat ditemukan pada
diagnosis klinis KAD, keberadaan demam, hipotensi, tekanan nadi yang lebar,
bukti klinis dari dehidrasi oleh hipovolemia merupakan indikator yang menentukan
tipe syok pada KAD.30, 32 Syok merupakan masalah klinis yang paling mengancam
jiwa yang dihadapi oleh dokter. Syok yang tidak ditangani dengan baik akan
menyebabkan kematian.32 Kematian pada pasien ini diduga karena syok septik
yang tidak teratasi serta adanya disfungsi organ. Syok persisten dijumpai pada
33% kasus, sebagian besar dengan penurunan fungsi jantung.5 Salah satu faktor
keberhasilan terapi KAD adalah rehidrasi yang adekuat. Tujuan rehidrasi adalah
untuk memperbaiki sirkulasi, menurunkan kadar hormon counter regulatory,
menurunkan kadar gula darah dan memperbaiki perfusi ginja. Alur tatalaksana
syok sepsis pada pasien sesuai dengan gambar dibawah ini :

17
Gambar.2 : Alur tatalaksana Syok septik27
Tatalaksana syok sepsis pada pasien ini yaitu dengan pemberian cairan
NaCl 0.9% sampai 40cc/kgBB/Jam dalam 4 jam pertama dikarenakan akses jalur
perifer susah didapatkan karena anak syok. Sempat teratasi dilanjutkan dengan
pemberian drip dopamin 10 mcq/kgBB/menit karena anak shock ulang 4 jam
kemudian. Anak kembali syok 17 jam setelah teratasi. Drip Dobutamine
diberikan sampai 10 mcq/kgBB/menit sebelum anak mengalami bradikardi.
Tatalaksana syok pada KAD sedikit berbeda dalam waktu pemberian
cairan. Cairan diberikan 10-20 cc/kg BB/jam. Pemberian cairan terlalu agresif saat
awal tatalaksana dinilai dapat menyebabkan edem serebri yang merupakan

18
penyebab terbesar kematian pcada KAD. Pemberian drip insulin juga dilakukan
pada 1-2 jam setelah cairan diberikan, seperti pada gambar dibawah ini:

Gambar 3. Alur tatalaksana KAD3


Pemberian drip insulin pada pasien ini dilakukan setelah syok teratasi
dengan rehidrasi cairan sejak tatalaksana awal di IGD. Pemberian loading cairan
yang agresif dan insulin terlalu cepat pada saat awal tatalaksana KAD
menyebabkan resiko edema serebri meningkat. Pemberian insulin pada saat syok
juga merupakan resiko berulang dan gagalnya penanganan syok karena terapi
insulin dapat menyebabkan hipovolemia. Insulin membawa glukosa dan air ke
dalam sel. Pemberian insulin pada pasien dengan hipovolemia ditunda sampai
volume vaskular cukup.25
Edema serebri timbul akibat perubahan osmolalitas intraseluler dan
ekstraseluler yang cepat. Keadaan hiperglikemia dan hipertonik menyebabkan
akumulasi substansi aktif secara osmotik di otak (substansi idiogenik). Molekul ini
menumpuk di otak dan berfungsi melindungi otak dari pengerutan dan kehilangan
cairan selama dehidrasi. Selama periode rehidrasi, osmolalitas serum menurun
sedangkan osmolalitas sel masih tinggi sehingga air akan masuk ke dalam sel
menyebabkan edema otak.28

19
Gambar . Patofisiologi edema serebri pada pemberian insulin dan cairan28

Asidosis berat dapat menghambat kerja insulin terhadap glukosa. Resistensi


insulin lebih tinggi terjadi pada kisaran pH rendah dan resistensi berkurang pada
pH di atas 7,2. Namun pemberian bikarbonat pada pasien dengan KAD masih
kontroversial.34 Percobaan prospektif telah menunjukkan bahwa tidak ada
perbedaan manfaat ataupun efek samping terkait pemberian bikarbonat pada pasien
dengan KAD yang memiliki pH 6,9 dibandingkan 7,1. Beberapa guideline KAD
yang dipublikasikan merekomendasikan penggunaan bikarbonat jika pH kurang
dari 7.1.20, 35
Sebuah systematic review dari 44 percobaan acak terkontrol tentang
pemberian bikarbonat dibandingkan tanpa pemberian bikarbonat pada KAD,
ditemukan tidak ada patokan baku berkaitan dengan nilai batas kadar asidosis yang
harus dikoreksi, jumlah dan waktu pemberian bikarbonat, sedangkan risiko edema
serebri, lama rawatan meningkat pada penggunaan bikarbonat demikian juga efek
samping berupa transient parodoksal ketosis dan kebutuhan suplementasi kalium
meningkat pada pasien yang mendapat koreksi bikarbonat.28 Namun studi lain
melaporkan bahwa pemberian bikarbonat bermanfaat pada pasien asidemia berat
(pH arteri <6,9), penurunan kontraktilitas jantung dan vasodilatasi perifer lanjut
yang dapat mengganggu perfusi jaringan, dan pasien dengan hiperkalemia yang
mengancam jiwa. 36

20
Asidosis berat dapat reversibel dengan tatalaksana penggantian cairan dan
insulin. Insulin menghentikan produksi keton dan memicu metabolisme keton
menjadi bikarbonat. Pengobatan hipovolemia meningkatkan perfusi jaringan dan
fungsi ginjal, sehingga meningkatkan ekskresi asam organik termasuk keton.9 Pada
pasien ini syok tidak teratasi dan asidosis berat menetap serta terjadi gangguan
fungsi ginjal.
Saat sepsis dan syok septik terjadi aktivasi NF-kB, peningkatan konsentrasi
macrophage migration inhibitory factor (MIF), tumor necrosis factor- (TNF-),
interleukin-1(IL-1), IL-6, radikal bebas , inducible nitric oxide (iNO), dan stress
hyperglikemik. Peran insulin pada syok septik yaitu menekan produksi dari MIF,
TNF-,IL-1, IL-6, dan radikal bebas, meningkatkanan generasi endothelial NO
dan produksi sitokin anti inflamasi IL-4, dan IL-10, mengkoreksi kondisi stress
hyperglikemia dan meningkatkan fungsi myocardial serta menjaga kondisi
euglikemia untuk menekan respon inflamasi. 37
Ketidakberaturan pengobatan salah satu penyebab kematian signifikan
KAD. Kematian pada KAD pada anak di negara sedang berkembang
dikarenakannya banyaknya kasus yang disertai dengan edema serebral, syok septik,
dan gagal ginjal.25 Keterlambatan diagnosis dan ketidak beraturan dalam
pengobatan adalah akar masalah tingginya angka kematian. Sehingga sangat
penting meningkatkan pengetahuan tentang diabetes pada dokter dan petugas
kesehatan.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Batubara J, Tridjaja B, Pulungan A. Diabetes melitus. Dalam: Buku Ajar


Endokrinologi Anak. Edisi ke-1. Jakarta: Badan Penerbit IDAI;2010.h.125-
81
2. Wolfsdorf J, Craig M, Daneman D, Dunger D, Edge J, Lee W, et al.
Diabetic ketoacidosis in children and adolescents with diabetes. Pediatric
diabetes. 2009;10:118-33.
3. Wolfsdorf J, Allgrove J, Craig M, Edge J, Glaser N, Jain V, et al. ISPAD
Clinical Practice Consensus Guidelines 2014 Compendium: Diabetic
ketoacidosis and hyperglycemic state. Pediatric Diabetes 2014;15:154-79
4. Li M, Song LJ, Qin XY. Advances in the cellular immunological
pathogenesis of type 1 diabetes. J Cell Mol Med 2014;18:749-58.
5. Rekam medik RSUP Dr. M Djamil Padang 2010-2013
6. Chaithongdi N , Subauste J, Koch C, Geraci S. Review : Diagnosis and
management of hyperglycemic emergencies. Hormones 2011, 10(4):250-
260
7. Razack NN, Wherrett DK. Type 1 diabetes: new horizons in prediction and
prevention. Paediatr Child Health 2005;10(1):35-7.
8. Atkinson MA. The pathogenesis and natural history of type 1 diabetes.
Cold Spring Harb Perspect Med. 2012;2:1-14
9. Patel P, Macerollo A. Diabetes mellitus: diagnosis and screening. Am Fam
Physician 2010;81(7):863-70
10. Ahmed. Clinical Profile and Outcome of Pediatric Patients with Diabetic
Ketoacidosis. IOSR Journal of Dental and Medical Sciences (IOSR-
JDMS). 2015; 14; 22-26
11. Umpierrez G, Murphy M, Kitabchi A. Diabetic Ketoacidosis and
Hyperglycemic Hyperosmolar Syndrome. Diabetes Spectrum 2002;15:28-
36
12. Foster J, Morrison G, Fraser D. Diabetic ketoacidosis-associated stroke in
children and youth. Stroke research and treatment. 2011;2011:1-12.
13. Rewers A, Klingensmith G, Davis C, Petitiu D, Pihoker C, Rodriguez B, et
al. Presence of diabetic ketoacidosis at diagnosis of diabetes mellitus in
youth: The search for diabetes in youth study. Pediatrics. 2008;121:e1258-
66
14. Stentz F, Umpierrez G, Cuervo R. Proinflammatory cytokines, markers of
cardiovascular risks, oxidative stress, and lipid peroxidation in patients
with hyperglycemic crises. Diabetes. 2004; 53: 207986
15. Karavanaki K, Karanika E, Georga S. Cytokine response to diabetic
ketoacidosis (DKA) in children with type 1 diabetes (T1DM). Endocr J.
2011; 58: 104553.
16. Moradi S, Kerman SR, Rohani F. Association between diabetes
complications and leukocyte counts in Iranian patients. J Inflamm Res.
2012; 5: 711.
17. Woo SJ, Ahn SJ, Ahn J. Elevated systemic neutrophil count in diabetic
retinopathy and diabetes: a hospital-based cross-sectional study of 30,793
Korean subjects. Invest Ophthalmol Vis Sci. 2011; 52: 7697703

22
18. Xu W , Wu H, Ma S, Bai F, Hu W, Jin Y. Correlation between Peripheral
White Blood Cell Counts and Hyperglycemic Emergencies. Int J Med Sci
2013:10;758-65
19. Varadarajan and suresh. Role of Infections in Children with Diabetic
Ketoacidosis- A Study from South India Int J Diabetes Clin Res 2014, 1:2
20. Glaser N, Kuppermann N. Diabetic ketoacidosis. In: Baren JM, Ruthrock
S, Brennan J, Brown L, editors. Pediatric emergency medicine.
Philadelphia: Elsevier; 2008. pp. 759-64
21. Azoulay. Infection as a Trigger of Diabetic Ketoacidosis in Intensive Care
Unit Patients. Clinical Infectious Diseases 2001; 32:305
22. Koh, Peacock J, Poll, Wiersinga. The impact of diabetes on the
pathogenesis of sepsis. Eur J Clin Microbiol Infect Dis (2012) 31:379388
23. Rustama D. Diabetes Mellitus. Buku Ajar Endokrinologi Anak. UKK
Endokrinologi Anak dan Remaja IDAI. 2010.
24. Pandey M, Mittra P, Doneria J, Maheshwari P. Neurological complications
in diabetic ketoacidosis - before and after insulin therapy. Int J Med Sci
Public Health 2013; 2:88-93.
25. Marino, Paul L. Hypertonic and Hypotonic condition. dalam The ICU
Book. 3rd edition. Lippicont William Wilkins. USA.2007;32:595-610
26. Sonnevill. Understanding brain dysfunction in sepsis. Annals of Intensive
Care 2013, 3:15
27. Chaudhry N, Duggal K. Review Article : Sepsis Associated
Encephalopathy. Hindawi Publishing Corporation . Advances in
Medicine Volume 2014.
28. Carlotti, Bohn D, Halperin L. Importance of timing of risk factors for
cerebral oedema during therapy for diabetic ketoacidosis Arch Dis Child
2003 88: 170-173
29. Vavilala. Change in blood brain barrier permeability during pediatric
diabetic ketoacidosis treatment. Pediatr Crit Care Med. 2010 ; 11(3): 332-
338."
30. Varadarajan P. Risk factors for mortality in children with diabetic keto
acidosis from developing countries. World J Diabetes 2014 December 15;
5(6): 932-938
31. Stewart C. Diabetic emergencies: diagnosis and management of
hyperglycemic disorders. Emergency Medicine Practice. 2004;6:1-24
32. WestphaL,Silva, Salomao,Bernardo,Machado. Guidelines for the treatment
of severe sepsis and septic shock hemodynamic resuscitation. Rev Bras
Ter Intensiva. 2011; 23(1):13-23
33. Azis L. Steroid pada renjatan pediatrik. Contuining education. PKB IKA.
CE IKA No 42. Juni 2013
34. Chua, Schneider, Bellomo. Bicarbonate in diabetic ketoacidosis - a
systematic review.Annals of Intensive Care .2011; 1:23.".
35. Rosenbloom A. The management of diabetic ketoacidosis in children.
Diabetes Ther. 2010;1:103-20.
36. Kushartono, H. Septic Shock in pediatric. Continuing Education
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak XLII. CE
IKA. No.42.Juni 2013
37. Das, U. Insulin in Sepsis and Septic Shock. JAPI . Volume. 51. Juli 2003

23
Evidenced-Based Medicine

A. Pertanyaan klinis
Apakah infeksi memicu terjadinya KAD?

B. Component of foreground question (PICO)


Problem : Pasien KAD dengan infeksi
Intervention : Tidak ada
Comparison : Mengidentifikasi infeksi sebagai faktor risiko terjadinya
KAD pada anak usia kurang dari 12 tahun yang berasal dari
sosial-ekonomi rendah
Outcome : Infeksi memiliki korelasi dengan tingkat keparahan KAD

C. Metode penelusuran
Penelusuran dilakukan dengan kata kunci DKA, iInfections, children dengan
menggunakan limit : studi pada human, diterbitkan dalam 5 tahun terakhir.
Penulis menemukan sebuah artikel yang dapat dipergunakan untuk menjawab
pertanyaan klinis tersebut dengan judul Role of Infections in Children with
Diabetic Ketoacidosis- A Study from South India dari International
Journal of Diabetes and Clinical Research.

24

Anda mungkin juga menyukai