Anda di halaman 1dari 34

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Teori Medis

1. Bayi dan Balita

a. Pengertian Bayi dan Balita

Anak berusia 28 hari sampai dengan 1 tahun merupakan masa bayi,

sedangkan usia 1 5 tahun merupakan masa anak (Fida dan Maya,

2012).

Anak usia 1-3 tahun disebut dengan batita, sedangkan 3-5 tahun

disebut prasekolah. Keduanya merupakan istilah umum dari balita,

dibawah 1 tahun disebut bayi. Saat usia bayi maupun balita masih sangat

bergantung pada orang tuanya (Anggraeni dan Sutomo, 2010).

b. Pertumbuhan dan Perkembangan

Pertumbuhan bersifat kuantitatif seperti pertambahan sel,

pertambahan tinggi, dan berat badan. Sedangkan perkembangan bersifat

kualitatif dan kuantitatif, contohnya adalah kematangan suatu organ

tubuh (Ranuh dan Soetjiningsih, 2015).

Masa bayi dan anak memiliki masa pertumbuhan dan

perkembangan yang berbeda dari orang dewasa. Pertumbuhan tersebut

salah satunya adalah bertumbuhnya organ menjadi besar lebih matang

dan siap digunakan pada masa dewasa. Selain itu bertambahnya sel-sel

akan memperkuat fungsi dari suatu organ. Perkembangan sendiri akan

6
7

berjalan normal saat pertumbuhan dan kematangan berjalan sesuai

umurnya. Pada tahun pertama kehidupan, tumbuh kembang anak akan

cepat, pada umur 3-4 tahun akan melambat dan meningkat pada masa

remaja (Ilmu Kesehatan Anak FKUI, 2007).

Faktor-faktor yang mempengaruhi tumbuh kembang anak di

antaranya adalah keturunan dan lingkungan. Keturunan akan

berpengaruh pada kematangan struktur dan fungsi yang optimal,

sedangkan lingkungan akan menentukan bagaimana potensi anak akan

terpenuhi (Dodge, Gray, dan Short, 2010).

c. Kondisi-kondisi Bayi dan Balita Sakit

Hasil ringksan kajian kesehatan Ibu dan Anak oleh UNICEF

(2012), menyebutkan bahwa di Indonesia, 1 dari 3 balita yang demam

disebabkan oleh malaria, infeksi saluran pernafasan akut, dan lainnya.

Sedangkan untuk diare, 1 dari 7 balita mengalaminya. Penyebab angka

kematian balita sebagian besar merupakan penyakit yang dapat dicegah.

2. ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut)

a. Pengertian ISPA

Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) atau IRA (Infeksi

respiratori akut) merupakan infeksi pada saluran nafas baik saluran

pernafasan atas maupun bawah (parenkim paru) yang sudah akut. Suatu

penyakit dikatakan akut jika infeksi tersebut berlangsung hingga 14

hari. Infeksi akut pada saluran pernafasan ini sering terjadi pada anak

dibawah usia 5 tahun. Kejadian penyakit ini sering terjadi di negara


8

berkembang 2-10 kali lipat lebih besar daripada di negara maju.

Penyebab ISPA di negara berkembang lebih banyak disebabkan oleh

bakteri, sedangkan di negara maju disebabkan oleh virus (Naning,

Wahani, dan Wantania, 2014).

Menurut WHO (2007), ISPA merupakan penyakit yang

menyebabkan infeksi pada saluran pernafasan. Penyebabnya adalah

agen infeksius yang ditularkan dari satu manusia ke manusia yang lain.

b. Klasifikasi ISPA

Infeksi Saluran Pernafasan Akut diklasifikasikan dalam beberapa

diantaranya pneumonia berat, pneumonia dan bukan pneumonia

(MTBS, 2008).

Menurut pengklasifikasian IDAI (2014), penyakit infeksi akut

pada saluran pernafasan atas hingga parenkim paru diantaranya sebagai

berikut :

1) Rinitis / Common cold

Penyakit rinitis ini merupakan golongan infeksi akut ringan

pada pernafasan. Namun, penyakit ini sangat mudah penularannya.

Pada daerah tropis sering terjadi pada pergantian musim bahkan pada

musim hujan. Ditandai dengan hidung tersumpat dan adanya sekret

hidung dikarenakan oleh virus. Pada masa bayi maupun balita pilek

bisa menimbulkan pneumonia.


9

2) Faringitis, tonsilitis, dan tonsilifaringitis akut

Faringitis merupakan infeksi yang menyerang jaringan mukosa

faring dan jaringan disekitarnya seperti tonsil dan hidung sehingga

faringitis memiliki beberapa pengertian yaitu tonsilitis,

nasofaringitis, dan tonsilifaringitis. Penyakit ini ditandai dengan

sakit tenggorokan yang disebabkan oleh virus maupun bakteri.

3) Otitis media

Otitis media adalah salah satu infeksi yang menyerang telinga

bagian tengah karena terjadinya penumpukan cairan.

4) Rinosinuitis

Para ahli sepakat dengan penyakit rinosinuitis ataupun

rinosinobronkhitis karena infeksi maupun inflamasi pada rinitis

(radang pada mukosa hidung), sinuitis (radang pada salah satu sinus

di paranasal), dan bronkhitis (radang pada bronkus) sering terjadi

bersamaan dengan pertimbangan penyakit ini menyerang saluran

pernafasan atas (hidung, laring, trakea) dan saluran pernafasan

bawah (bronkus).

5) Epiglotitis

Infeksi yang terjadi pada epiglotis sangat berbahaya jika

dibiarkan. Hal ini ditandai dengan sesak nafas berat dan bunyi nafas

stridor. Penyebabnya adalah Haemophilus influenza tipe b (Hib).

Setelah ada vaksin Hib, epiglotitis jarang terjadi.


10

6) Laringo trakeobronkhitis akut (CROUP)

Sindrom CROUP ini merupakan penyakit heterogen yang

menyerang laring, subglotis, trakea dan bronkus. Berawal dari

laringitis yang menyebar hingga trakea disebut laringotrakeitis, dan

saat menyebar hingga bronkus maka terjadilah laringo

trakeobronkhitis. Diakibatkan oleh beberapa organisme virulen.

7) Bronkhitis akut

Proses inflamasi yang terjadi pada trakea, bronkus utama dan

menengah yang ditandai dengan batuk berdahak. Bronkhitis

disebabkan oleh virus maupun bakteri. Pada beberapa kasus,

bronkhitis akan membaik dalam 2 minggu tanpa pengobatan apapun.

8) Bronkiolitis

Bronkiolitis merupakan proses inflamasi pada saluran

pernafasan bagian bawah yang menyerang bronkiolus. Biasanya

terjadi dengan gejala ISPA pada umumnya hingga nafas wheezing

pada bayi.

9) Pneumonia

Infeksi yang menyerang parenkim paru ini merupakan angka

tertinggi penyebab morbiditas dan mortalitas di negara berkembang.

Terjadi karena pada awalnya disebabkan oleh infeksi virus hingga

menyebabkan komplikasi infeksi bakteri.


11

c. Etiologi

Penyakit ISPA terjadi disebabkan oleh virus dan bakteri. Virus

terbanyak yang menyebabkan ISPA di antaranya adalah Rhinovirus,

Adenovirus, RSV (Respiratory Syncytia Virus), virus Influenza, virus

Parainfluenza. Pada klasifikasi khusus seperti bronkhitis akut

ditemukan virus rubeola dan paramyxavirus. Sedangkan pada

bronkiolitis ditemukan virus Mycoplasma. Virus-virus tersebut paling

banyak ditemukan pada kasus ISPA. Selain virus, penyebab infeksi

pada pernafasan akut juga disebabkan oleh bakteri. Bakteri yang sering

menyerang seperti bakteri Streptococcus, pada kasus penyakit faringitis,

tonsilitis dan tonsilofaringitis adalah bakteri Strepcoccus beta

hemolitikus grup A dan Streptococcus grup A. Golongan Streptococcus

lainnya yang biasanya menyebabkan infeksi adalah Streptococcus

pnemuoniae dan Streptococcus Pyogenes. Bakteri lain seperti

Hemophilus influenzae (beberapa di ataranya tipe B), Staphylococcus

aereus, dan Mycoplasma pneumoniae (Naning et al, 2014).

d. Patofisiologi

Sebagian ISPA disebabkan oleh bakteri dam virus yang

membuat infeksi pada saluran pernafasan atas maupun bawah

(Akhmad, 2008).

Penyebab tersebut membuat perjalanan penyakit dengan cara

kontak antara virus atau bakteri sehingga organ pada pernafasan akan

terserang sehingga akan menimbulkan respon inflamasi atau membuat


12

infeksi pada organ tersebut. Saat infeksi akan terjadi vasodilatasi dan

peningkatan permeabilitas kapiler, hal tersebut akan membuat

manifestasi klinik pada penderita (Naning et al, 2014).

Menurut Mukono (2008), yang diambil dari penelitian Hutagaol

(2014), perjalanan penyakit ISPA berawal dari saluran pernafasan yang

dilapisi oleh mukosa bersilia. Udara yang masuk melalui hidung akan

disaring oleh rambut pada hidung, partikel kecil dari udara akan

menempel pada mukosa. Pada udara yang kotor, partikel udara akan

tertahan pada mukosa sehingga pergerakan silia akan menjadi lambat

yang akan berakibat pada iritasi pada saluran pernafasan. Hal tersebut

membuat peningkatan produksi lendir sehingga saluran pernafasan

menjadi sempit dan makrofage. Akibatnya benda asing akan terarik dan

bakteri atau virus tidak dapat dikeluarkan dari sistem pernafasan.


13

Patofisiologi

Berikut adalah perjalanan penyakit dari ISPA :


Balita Faktor risiko :
Usia, status gizi,
riwayat (ASI,
Virus / Bakteri BBLR, imunisasi),
lingkungan, sosial
ekonomi

Masuk saluran Sistem imun Menyebar ke


nafas buruk tempat lain

Menempel pada Saluran pernafasan


mukosa bawah
bersilia

Gerakan silia Paru terinfeksi


lambat

Pneumonia
Iritasi Hipertermi

Hidung
Produksi lendir Tersumbat
Bakteri tertahan di
meningkat
Nyeri organ
Tenggorokan
atau Nyeri
Telan

Infeksi Saluran Infeksi Selama Infeksi Saluran


Pernafasan Akut 14 hari Pernafasan

Sumber : Depkes RI (2009), Hutagaol (2014), Naning dkk (2014)


Gambar 2.1 Patofisiologi ISPA
14

e. Faktor Predisposisi

1) Gizi Buruk

Seorang anak dengan gizi yang buruk maka akan

berpengaruh pada respon sistem imun dalam tubuh anak, sehingga

anak mudah sekali terserang bakteri maupun virus (Akhmad, 2008).

2) Anggota Keluarga Merokok

Terdapat 62,22% balita mengalami ISPA karena terpapar

asap rokok oleh anggota keluarga perokok aktif yang serumah

(Arsin, Marhamah, dan Wahiduddin, 2012).

f. Faktor Risiko

Menurut IDAI 2014, beberapa faktor risiko yang berpengaruh

pada angka kejadian ISPA sebagai berikut ini :

1) Usia

Kasus ISPA ditemukan 50% dialami oleh anak berusia

kurang dari 5 tahun, 23% diantaranya mengalami kasus ISPA berat.

Data WHO juga menyebutkan bahwa di negara berkembang, ISPA

termasuk ke dalam empat penyakit terbanyak penyumbang angka

kematian anak terutama pada usia dibawah 1 tahun.

2) Jenis Kelamin

Insiden ISPA terjadi lebih sering pada balita laki-laki,

namun tidak disebutkan perbedaan akibat dari virus maupun bakteri

pada laki-laki dan perempuan.


15

3) Status gizi

Grant menyebutkan bahwa seorang anak dengan defisiensi

vitamin A ringan akan terpapar ISPA 2 kali lebih besar dibanding

anak yang normal tanpa difesiensi vitamin A.

4) Pemberian ASI (Air Susu Ibu)

Penelitian dari Caesar JA mengemukakan bahwa seorang

bayi dan balita yang tidak diberi ASI akan lebih rentan 17 kali

dirawat di rumah sakit akibat ISPA, lamanya pemberian ASI akan

berpengaruh perlindungan terhadap ISPA selama satu tahun

pertama kehidupannya.

5) BBLR (Berat Badan Lahir Rendah)

Pada negara bekembang 22% kematian akibat ISPA

diperkirakan terjadi pada BBLR yakni 6,4 % pada bayi dibawah

usia 6 bulan dan 2,9% pada usia 6-11 bulan.

6) Imunisasi

Campak, pertusis, dan difteri dapat menyumbangkan 15-

25% angka kematian bayi dan balita yang berhubungan dengan

penyakit ISPA. Vaksin membantu 25% pencegahan penyakit ISPA

7) Pendidikan orang tua, status sosial ekonomi, dan penggunaan

fasilitas kesehatan

Pendidikan orang tua sangat berpengaruh pada sosial

ekonomi dan pengetahuan orang tua terhadap penyakit ISPA yang

sedang diderita anak. Hal ini juga berkaitan pengobatan yang akan
16

dilakukan pada anak. Anak dari keluarga sosial ekonomi rendah

beresiko 3,3 kali lebih rentan terserang penyakit ISPA. Angka

kematian pada semua kasus ISPA yang tidak diobati dan tidak

adanya pengunaan fasilitas kesehatan sebanyak 10-20%.

8) Lingkungan

Seorang anak yang memiliki rumah dengan ventilasi udara

lebih baik akan lebih rendah resiko terpapar penyakit ISPA. Pada

negara berkembang menunjukkan bahwa polusi udara sudah

tercemar sehingga meningkatkan tingginya angka kejadian ISPA.

g. Keluhan subyektif

Keluhan yang terjadi sebagian besar diantaranya klien mengeluh

batuk, sakit kepala, sakit menelan, menggigil, hidung tersumbat, sakit

dan nyeri otot, serta timbul demam. Pada beberapa kasus pada anak

akan mengalami muntah dan nyeri perut (Dodge, Gray, dan Short,

2010).

Pendapat lain mengatakan keluhan yang biasanya dirasakan oleh

anak adalah demam, mailase, sakit kepala, gelisah, penurunan nafsu

makan, gangguan tidur, bahkan mengalami gastrointestinal contohnya

mual, muntah, dan diare. Keluhan-keluhan tersebut biasa terjadi pada

infeksi umum. Berbeda dengan infeksi pada respiratori memiliki

keluhan khas yaitu batuk, hidung berair dan biasanya menyumbat,

nyeri tenggorok hingga nyeri saat menelan, serta suara serak. Pada

kasus ISPA berat seperti pneumonia dan bronkhitis akan terjadi


17

merintih, sesak nafas, retraksi dada, nafas cuping hidung, serta batuk

keras dan kering. Sedangkan pada otitis media, keluhan yang paling

menonjol adalah nyeri pada telinga (Naning et al, 2014).

h. Tanda klinis/laboratoris

Pada infeksi pernafasan akan keluar sputum, namun pada bayi

dan balita sangat jarang ditemukan karena akan tertelan lagi oleh anak

(Dodge, Gray, dan Short, 2010).

IDAI (2014), menyebutkan bahwa tanda klinis pada ISPA

tergantung pada organ yang terjadi inflamasi, sebagai berikut :

1) Rinitis

Berdasarkan sebuah penelitian 65 anak yang menderita

rinitis menunjukkan 47% memiliki kelainan sinusitis sesuai dengan

pemeriksaan CT Scan mapupun MRI pada kepala.

2) Faringitis, Tonsilitis, dan Tonsilifaringitis Akut

Pada pemeriksaan konjuntiva akan nampak konjungtivitis,

selain itu disfagia dan rinorea. Pembesaran organ yang inflamsi

seperti pembesaran tonsil dan kelenjar getah bening sering terjadi

pada tonsilitis. Suara serak, mengi, dan ronki di paru juga sering

dialami.

3) Otitis Media

Otitis media biasanya ditunjukkan adanya penimbunan

cairan di telinga dan iritabel.


18

4) Rinosinusitis

Ada 2 pemeriksaan yang dilakukan pada rinosinusitis, yaitu

sebagai berikut :

a) Pemeriksaan Radiologis

Pada penderita baru akan terlihat corakan bronkhial yang

tergantung pada luas dan lamanya penyakit. Sedangkan yang

lama akan ada penebalan mukosa. Pemeriksaan USG akan ada

cairan dalam rongga sinus dan penebalan mukosa. CT Scan

dilakukan jika ada indikasi pembedahan.

b) Pemeriksaan Mikrobiologi

Pada pemeriksaan sekret akan nampak flora normal dan

bakteri patogen ( > 104 u/ml).

5) Epligotitits

Pada awal penyakit akan terjadi gawat nafas dan adanya

stridor inspirasi.

6) Sindrom CROUP atau Laringo trakheobronkhitis

Batuk yang ditimbulkan karena obstruksi pada laring akan

nyaring, suara parau dan kasar. Beberapa hal tersebut menyebabkan

sesak nafas, stridor inspiratorik, retraksi dada, dan adanya

peningkatan leukosit (> 20.000/mm3).


19

7) Bronkhitis

Bronkhitis menunjukkan peningkatan aktivitas kelenjar

mukus dan deskuamsi sel-sel epitel bersilia. Hal tersebut dikuatkan

dengan pemeriksaan seperti berikut :

a) Pemeriksaan Auskultasi

Saat paru berkembang akan ada ronkhi, nafas berat dan

kasar, serta bunyi wheezing.

b) Pemeriksaan Radiologis

Ada corakan bronkhial.

8) Bronkhiolitis

Ada bunyi wheezing.

9) Pneumonia

Tanda klinis yang paling menonjol pada pneumonia adalah

retraksi dada, sesak nafas, takipnea, nafas cuping hidung, sianosis,

pekak, perkusi, suara nafas melemah, dan ronkhi.

i. Prognosis

Pernyataan Depkes RI (2009), dalam sebuah jurnal

menyatakan bahwa ISPA merupakan penyakit yang tidak dapat

dianggap remeh karena penyakit ini merupakan penyebab utama

morbiditas dan mortalitas pada bayi dan balita. Jika tertangani dengan

baik, maka prognosisnya akan baik. Namun jika penanganan yang

diberikan pada pasien kurang baik maka infeksi akan menyebar ke


20

jaringan paru-paru sehingga akan menyebabkan pneumonia dan

infeksi pada paru-paru.

Beberapa klasifikasi menunjukkan prognosis yang berbeda,

prognosis baik ditunjukkan pada rinitis, faringitis, rinosinusitis, dan

CROUP karena bersifat selflimited. Sedangkan pada beberapa

klasifikasi penyakit dibawah ini memiliki komplikasi, yaitu :

1) Rinitis : otitis media, rinosinusitis, pneumonia dan

eksaserbasi asma.

2) Otitis media : pendengaran akan terganggu dan vertigo.

3) Rinosinusitis : jika penanganan tidak optimal dan menyeluruh

akan mengakibatkan penyakit berulang/kronis.

4) Epiglotitis : berakibat kematian karena obstruksi jalan nafas

dan komplikasi trakeostomi.

5) Bronkhitis : penyakit berulang atau kronis, komplikasi pada

penyakit bronkhitis tergantung pada penyebabnya.

6) Bronkiolitis : asma

7) Pneumonia : empiema torasis (tersering), perikarditis,

purulenta, pneumotoraks, bahkan infeksi

ekstrapulmoner (meningitis purulenta), dan pada

anak usia 2-24 bulan akan menimbulkan

miokarditis (IDAI, 2014).


21

j. Penatalaksanaan dan pengobatan

Infeksi Saluran Pernafasan Akut ringan membutuhkan

perawatan seperti pemberian oksigen untuk membantu pernafasan

lebih mudah, anak ditempatkan pada udara yang lembab, drainase

posturnal (menepuk dada untuk mengeluarkan lendir), istirahat yang

cukup, dan pemberian cukup cairan (Aden, 2010).

Pemberian perawatan terapeutik seperti pemberian antibiotik

dinilai cukup efektif dibanding pemberian terapi simptomatik. Namun,

pada beberapa kasus ISPA yang disebabkan oleh virus dapat sembuh

dengan sendirinya tanpa terapi terapeutik. Antibiotik sangat

dibutuhkan pada penyakit ISPA dengan gejala dahak dan sekret

berwarna hijau. Hal ini karena sudah jelas terkontaminasi oleh bakteri.

Pemberian anibiotik sendiri harus benar-benar diperhatikan agar tidak

menimbulkan resistensi pada bakteri (Akhmad, 2008).

Pada anak yang menderita ISPA, terapi untuk pelaga

tenggorokan dan pereda batuk yang aman sangat diperlukan. Selain itu

diperlukan antibiotik yang sesuai untuk balita adalah Kotrimoksazol

(Trimetoprim dan Sulfametoksazol) dan Amoksisilin. Berikut adalah

dosisnya .
22

Tabel 2.1 Dosis Antibiotik Oral


Umur Kotrimoksazol Amoksisilin
Atau (2x1 selama 3 hari) (2x1 selama 3 hari)
Berat Badan Tab Dewasa Tab Sirup per 6 ml Tablet Sirup per 6
(80 mg Anak (40 mg Tmp + (500 mg) ml
Tmp + (20 mg 200 mg Smz) (125 mg)
400 mg Tmp +
Smz) 100 mg
Smz)
2 - < 4 bulan 1/4 1 2,5 ml 1/4 5ml
(4 - < 6kg) (1/2 sendok (1 sendok
takar) takar)
4 - < 12 bulan 1/2 2 5 ml 1/2 10 ml
(6 - <10kg) ( 1 sendok (2 sendok
takar) takar)
12 - < 3tahun 3/4 2 1/2 7,5 ml 2/3 12,5 ml
(10 - < 16 kg) (1 1/2 sendok (2 sendok
takar) takar)
3 - < 5 tahun 1 3 10 ml 3/4 15 ml
(16 - < 19 kg) ( 2 sendok (3 sendok
takar) takar)
Sumber : Manajemen Terpadu Balita Sakit (2008)

3. Diare Akut

a. Pengertian Diare Akut

Diare merupakan suatu keadaan saat tubuh kehilangan banyak

cairan dan elektrolit melalui feses, biasanya terjadi karena kelainan

pada penyerapan di usus halus (Sodikin, 2011).

Menurut Marmi dan Rahardjo (2012), diare digambarkan

dengan peningkatan pengeluaran feses dengan konsistensi dari lembek

ke cair hingga cair, dengan atau tanpa darah dan lendir. Diare dibagi

menjadi dua yaitu diare akut yaitu terjadi secara mendadak pada anak

yang sehat, dan diare kronis yang terjadi lebih dari 2 minggu.

Diare akut adalah perubahan konsistensi feses yang terjadi

secara tiba-tiba yang dikarenakan oleh kandungan air pada feses

melebihi normal (10 ml/KgBB/hari) dengan peningkatan defekasi


23

lebih dari 3 kali/24 jam yang berlangsung kurang dari 14 hari (Venita

dan Kadim, 2014).

b. Etiologi

Diare merupakan bukan penyakit, melainkan sebuah tanda adanya

kelainan pada saluran pencernaan sehingga usus berusaha

mengeluarkan kuman tersebut (Fida dan Maya, 2012), hal ini

disebabkan oleh beberapa :

1) Infeksi yang disebabkan oleh virus (rotavirus, adenovirus, dan

norwalk), bakteri (Shigella sp, Salmonella sp, E. Coli, dan Vibrio

sp), parasit (protozoa : E. hystolytica, G. lamblia, Balantidium coli;

cacing : Ascaris sp, Trichuris sp, Strongyloides sp; jamur :

Candida sp), dan infeksi ekstrausus seperti ISPA, campak, dan

malaria.

2) Alergi makanan seperti susu sapi, protein kedelai, dan alergi

multipel.

3) Malabsorbsi kandungan makanan, karbohidrat (laktosa), lemak,

dan protein.

4) Keracunan makanan (akibat Botolinum sp. pada kaleng).

5) Lain-lain seperti obat-obatan (antibiotik atau obat lainnya) dan

kelainan anatomik.

(Venita dan Kadim, 2014)

6) Adanya kelainan primer pada pergerakan usus, yaitu adanya

gelombang peristaltik usus yang menyebabkan waktu transisi


24

makanan di usus halus memendek dan kolon tidak dapat

mengkompensasi.

7) Kronis, terjadi infeksi ringan pada usus halus.

8) Di dalam usus halus terdapat peningkatan sekresi usus halus.

(Dodge, Gray, dan Short, 2010)

c. Patofisiologi

Mekanisme yang menyebabkan diare ada beberapa hal yaitu :

1) Diare osmostik yang disebabkan saat bahan makanan tidak dapat

diabsorbsi dengan baik oleh usus halus sehingga tekanan osmotik

interlumen akan meningkat yang menimbulkan tertariknya cairan

plasma lumen. Jika hal tersebut terjadi maka akan menimbulkan

jumlah cairan berlebih yang menimbulkan ketidakmampuan kolon

reabsorbsi cairan yang menyebabkan diare cair. Hal ini disebabkan

oleh intoleransi laktosa, konsumsi laksatif, atau antisida yang

mengandung antisida yang mengandung magnesium.

2) Diare sekretorik diakibatkan oleh toksin bakteri (kolera),

pengunaan laksatif non-osmotik, reseksi usus, penyakit mukosa

usus sehingga gangguan transpor elektrolik dan cairan yang

melewati mukosa enterkolon, hal ini akan membuat sekresi

berlebih yang membuat absorbsi kolon.

3) Diare eksudatif atau inflamatorik terjadi akibat inflamasi oleh

bakteri invasif dan kerusakan usus, serta diakibatkan oleh non

infeksi (gluten sensitive enteropathy, inflamatory bowel disease,


25

dan radiasi). Diare ini biasanya disertai dengan malabsorbsi lemak,

cairan dan elektrolit serta hipersekresi dan hipermotilitas akibat

pelepasan sitokin pro-inflamasi.

4) Diare dismotilitas, diare karena dismotilitas usus sehingga proses

pencernaan di usus memendek dan absorbsi berkurang yang

disebabkan neuoropati yang berkibat pada statis dan overgrowth

bakteri. Pada diare ini biasanya terjadi pada hipertiroidisme,

sindrom karsinoid, obat-obat prokinetik, dan diabetes melitus

(Lilihata dan Syam, 2014).

Bagan patofisiologi diare akut ada pada lampiran no 2.

d. Faktor Predisposisi

Menurut Widoyono (2008), hal-hal yang akan meningkatkan

diare ada beberapa hal :

1) Pemberian ASI eksklusif, jika pada usia 4 bulan sudah tidak

diberikan ASI eksklusif lagi maka akan meningkatkan risiko

kesakitan dan kematian karena diare, ASI memiliki kandungan

kekebalan terhadap infeksi.

2) Pemberian susu formula pada anak dengan menggunakan botol.

Pada pemakaian botol akan meningkatakan pencemaran kuman,

susu juga akan mudah tercemar melalui botol, dan kuman akan

berkembang saat susu tidak segera diminum.


26

3) Menyimpan makanan di suhu kamar, hal tersebut akan membuat

permukaan makanan akan terjadi kontak dengan peralatan

makanan yang sangat baik bagi media perkembangan mikroba.

4) Tidak menjaga kebersihan seperti mencuci tangan sebelum

makan, sebelum masak, dan setelah BAB.

e. Faktor Risiko

Hal-hal yang dapat menyebabkan diare didukung oleh beberapa

faktor risiko seperti tidak memberikan ASI eksklusif pada 6 bulan

pertama kehidupan anak, penyediaan air bersih tidak terpenuhi,

pencemaran air oleh feses, kurangnya sarana kebersihan seperti MCK,

kebersihan diri dan lingkungan yang buruk, penyiapan dan

penyimpanan makanan yang tidak higienis, serta cara penyapihan

yang tidak baik (Subagyo dan Santoso, 2012).

f. Keluhan Subyektif

Pada anak yang menderita diare akut akan merasa BAB lebih

sering dengan bentuk encer, kram perut, dan muntah. Selain itu anak

juga akan panas yang diakibatkan oleh proses peradangan atau dapat

karena dehidrasi (Subagyo dan Santoso, 2012).

g. Tanda Klinis atau Laboratoris

Pada awalnya anak akan cengeng, gelisah, suhu badan akan

meningkat, nafsu makan berkurang, dan terjadi diare. Feses akan

semakin cair bahkan timbul darah maupun lendir, warna feses akan

kehijauan karena bercampur empedu, karena terlalu sering defekasi


27

maka anus akan lecet yang disebabkan oleh asam dari asam laktat yang

tidak di absorbsi oleh usus. Gejala yang muncul lainnya adalah

muntah, jika hal ini terjadi dalam waktu lama maka tubuh akan

kehilangan air dan elektrolit yang menyebabkan dehidrasi. Gejala

dehidrasi adalah berat badan turun, ubun-ubun besar cekung, tonus dan

turgor kulit berkurang, bibir terlihat kering (Suraatmaja, 2007).

Anak yang terserang diare fesesnya memiliki konsistensi cair

atau seperti bubur, berwarna kuning atau kecoklatan, biasanya terjadi

1-12 kali per hari, dan sering pada pagi hari. Sedangkan pada

pemeriksaan feses tidak mengandung bakteri patogen, parasit, lemak,

dan makanan yang belum dicerna (Dodge, Gray, dan Short, 2010).

Menurut Fida dan Maya (2012), tanda klinis pada anak diare

diawali dengan mual dan muntah, demam, penurunan nafsu makan,

bahkan anak akan nampak lemah dan lesu. Gejala lain yang muncul

adalah flu, nyeri otot dan sakit kepala.

h. Prognosis

Penanganan diare yang baik akan membuat diare terhenti atau

BAB dalam keadaan semula yaitu tidak lebih dari 3 kali sehari dengan

konsistensi lunak. Sedangkan jika penanganan tidak di atasi dengan

baik, pertumbuhan anak akan terganggu karena kurangnya asupan

nutrisi atau gizi untuk tubuh. Selain itu hal terburuk yang terjadi adalah

kematian yang diakibatkan oleh dehidrasi (Fida dan Maya, 2012).


28

Menurut Widoyono (2008), diare berkepanjangan akan

berdampak pada beberapa kondisi seperti berikut :

1) Dehidrasi

Tabel 2.2 Klasifikasi Dehidrasi


Gejala Klasifikasi
Letargis atau tidak sadar, mata cekung, tidak Diare
bisa minum atau malas minum, cubitan kulit Dehidrasi
perut kembali sangat lambat (> 10 detik) Berat
Gelisah, rewel atau mudah marah, mata Diare
cekung, minum dengan lahap, cubitan kulit di Dehidrasi
perut kembali lambat (>2-10 detik) Ringan atau
Sedang
Tidak cukup tanda-tanda untuk Diare tanpa
diklasifikasikan sebagai dehidrasi Dehidrasi
Sumber : Manajemen Terpadu Balita Sakit (2008)

2) Gangguan sirkulasi, bila kehilangan cairan lebih dari 10%

dari berat badan akan menyebabkan syok hipovolemia.

3) Gangguan asam-basa yang diakibatkan kehilangan cairan

elektrolit.

4) Hipoglikemia, biasanya terjadi pada anak yang sebelumnya

sudah malnutrisi.

5) Gangguan gizi, hal ini disebabkan oleh asupan makan yang

kurang dan pengeluaran yang lebih dari asupan.

Selain menyebabkan dehidrasi, diare yang tidak diatasi dengan

baik akan menyebabkan infeksi berulang (Widagdo, 2011).

i. Penatalaksanaan dan Pengobatan

Penatalaksanaan dan pengobtana pada diare antara lain :

1) Rehidrasi, pemberian cairan melalui oral maupun infus.


29

2) Pemberian obat seperlunya, sebagian besar diare dapat sembuh

tanpa antibiotik dan antidiare (Fida dan Maya, 2012).

3) Pemberian zinc selama 10 hari

4) Pemberian antibiotik sesuai indikasi (Venita dan Kadim, 2015).

5) Pemberian nutrisi terutama ASI, selama diare hingga masa

penyembuhan.

6) Konseling pada ibu mengenai

a) Cara merawat anak dirumah, terutama pembuatan oralit.

b) Tanda-tanda anak perlu dibawa ke tenaga kesehatan kembali.

c) Metode mencegah kejadian diare.

7) Terapi dengan prebiotik akan sangat berguna pada kasus diare

ringan tanpa dehidrasi karena dapat mempersingkat diare dan

menurunkan frekuensi diare (Widagdo, 2011).


30

Bagan Penatalaksanaan Diare

Rencana Terapi C : beri


Dehidrasi Berat
cairan IV, rujuk

Rencana Terapi B : oralit 3


jam pertama, minum
Dehidrasi Sedang oralit sedikit tapi sering,
Atau Ringan zinc 10 hari, kaji ulang
dehidrasi setelah 3 jam,
jika berkurang lanjutkan
D Terapi A, kunjungan
I ulang 5Terapi
hari A : beri
Rencana
A
cairan tambahan (asi dan
R
Tanpa Dehidrasi oralit atau oralit dan
E
cairan tajin atau
sayuran), 6 bungkus
oralit dirumah (200ml),
tablet zinc 10 hari, lanjut
beri makan, kunjungan
Persisteni Berat Rujuk, atasi dehidrasi
ulang 5 hari

Pemberian makan,
Persisten
kunjungan ulang 5 hari

Antibiotika, kunjungan
Desentri ulang 2 hari

Sumber : Manajemen Terpadu Balita Sakit (2008)


Gambar 22 Penatalaksanaan Diare
31

B. Teori Manajemen Kebidanan

Helen Varney mengungkapkan bahwa teori manajemen kebidanan

merupakan suatu pola pikir dan tindakan bidan dalam memecahkan suatu kasus

yang berdasarkan pada teori, teori dan pengambilan keputusan yang berfokus

pada klien (Sari, 2012).

1. Langkah I. Pengumpulan/Penyajian Data Dasar Secara Lengkap

Langkah pertama merupakan langkah pengkajian yang ditentukan 2

hal dari data subyektif dan obyektif (Yulifah dan Surachmindari, 2013).

a. Data Subjektif

Faktor resiko dari ISPA antara lain adalah usia, 50% kasus ISPA

terjadi pada usia dibawah 5 tahun. Pada pendidikan dan pekerjaan orang

tua akan berpengaruh pada pengobatan yang akan diberikan pada anak,

anak dengan tingkat sosial ekonomi rendah 3,3 kali rentan terserang

ISPA. Riwayat imunisasi akan membantu 25% pencegahan pada ISPA.

Lingkungan rumah yang memiliki polusi udara yang tercemar akan

meningkatkan angka kejadian ISPA. Faktor resiko yang terakhir adalah

nutrisi dalam kebiasaan sehari-hari yang berhubungan dengan status gizi,

anak dengan defisiensi vitamin A akan mudah terserang ISPA (Wantania,

Naning, dan Wahani., 2014). Keluhan utama pada waktu datang adalah

batuk, sakit kepala, sakit menelan, menggigil, hidung tersumbat, nyeri

otot, demam menurut Short, Gray, Dodge (2010)

Pada diare data subyektif yang sangat mencolok adalah pola

kebiasaan sehari-hari sebagai tanda klinis seperti penururnan nafsu


32

makan, perubahan pada BAB pada frekuensi dan konsistensinnya

(Suraatmaja, 2007). Sedangkan pada faktor resiko bisa dilihat dari

lingkungan, gizi, pendidikan, dan sosial ekonomi yang bersangkutan

dengan orang tua (Widoyono, 2008). Keluhan yang dirasakan adalah

demam, BAB lebih sering dengan bentuk encer, nyeri perut, dan muntah

(Subagyo dan Santoso, 2012).

b. Data Objektif

1) Pemeriksaan Umum, meliputi :

a) Keadaan Umum

Pada anak yang ISPA dan DCA, cenderung akan rewel dan

lemas (Naning, 2014), (Fida dan Maya, 2012).

b) Tanda-tanda vital

Menurut Wijayaningsih (2013), tanda dari ISPA biasanya

demam yang akan meningkatkan suhu tubuh (diatas 37,50 C),

sementara pada pernafasan akan cepat (40 x atau lebih per menit

untuk usia 12 bulan - < 5 tahun dan 50 kali atau lebih untuk usia 2

bulan- <12bulan), dan denyut jantung akan cepat (120 x/menit).

Anak diare dengan dehidrasi, akan tejadi penurunan berat

badan (Suraatmaja, 2007). Tanda vital pada anak diare dengan

dehidrasi, denyut jantung akan meningkat, dan pernafasan akan

normal hingga melemah (Subagyo dan Santoso, 2012).


33

2) Pemeriksaan Fisik

a) Ubun ubun : Pada diare, jika disertai dengan dehidrasi ubun-

ubun besar cekung (Suraatmaja, 2007).

b) Mata : Pada diare dengan dehidrasi kelopak mata akan

cekung (Suraatmaja, 2007).

c) Telinga : Pada otitis media akan ada penumpukan cairan di

telinga (Dadiyanto, 2014).

d) Hidung : Pada ISPA hidung akan tersumbat, dan beberapa

akan mengeluarkan sekret (Naning, 2014).

e) Mulut : Diare dengan dehidrasi menyebabkan bibir kering

(Suraatmaja, 2007).

f) Dada : Pada pneumonia, brokhiolitis, dan ISPA lainnya

akan terjadi retraksi dada, selain itu saat diperiksa

menggunakan stetoskop (auskultasi) akan

terdengar stridor dan ronkhi (Zain dan Said, 2014).

g) Perut : Pada diare akan nampak perut kembung (Putra,

2012), bising usus meningkat ( Widoyono, 2008),

kram perut (Subagyo dan Santoso, 2012), tonus

dan turgo kulit berkurang (Suraatmaja, 2007).

h) Anus : Pengeluran feses yang sering pada diare akan

menyebabkan anus lecet (Suraatmaja, 2007).


34

3) Pemeriksaan Penunjang

Beberapa klasifikasi dari ISPA membutuhkan pemeriksaan

penunjang seperti rinosinusitis, akan terlihat corakan bronkhial

pada penderita baru dan penebalan mukosa bagi yang sudah kronis

pada pemeriksaan radiologis, serta adanya peningkatan leukosit (>

20.000/mm3). Pemeriksaan feses tidak mengandung bakteri

patogen, parasit, lemak, dan makanan yang belum dicerna (Dodge,

Gray, dan Short, 2010).

2. Langkah II. Intepretasi Data Dasar

Data dasar diintepretasikan agar bisa menentukan diagnosis

kebidanan, masalah, dan kebutuhan yang berfokus pada klien (Yulifah dan

Surachmindari, 2013).

a. Diagnosis Kebidanan

Diagnosis pada studi kasus ini adalah Balita N umur 19 bulan

dengan ISPA dan DCA berdasarkan data subjektif dan objektif.

b. Masalah

Masalah yang terjadi saat menderita ISPA adalah anak akan

rewel, hidung tersumbat, sakit saat menelan dan demam yang

mengakibatkan ketidaknyamanan (Short, Grey, dan Dodge., 2010).

Pada anak yang diare akan sangat rentan kehilangan cairan atau

dehidrasi (Fida dan Maya, 2012).


35

c. Kebutuhan

Saat anak menderita ISPA dan DCA yang bisa dilakukan adalah

tempatkan pada udara yang lembab, istirahat yang cukup, dan

pemberian cukup cairan (Aden, 2010). Sedangkan menurut Akhmad

(2008), anak dengan ISPA yang sudah terkontaminasi bakteri perlu

diberi antibiotik.

3. Langkah III. Identifikasi Diagnosa atau Masalah Potensial / Diagnosa

Potensial dan Antisipasi Penanganan

Menurut Depkes RI (2009), anak dengan ISPA jika tidak tertangani

dengan baik menyebabkan pneumonia atau infeksi pada paru-paru.

Sedangkan antisipasi yang dapat dilakukan oleh bidan adalah memberikan

terapi antibotik dengan berkolaborasi dengan dokter Spesialis Anak. Hal ini

karena antibiotik lebih efektif dibanding dengan terapi simptomatik

(Akhmad, 2008). Selain terapi antibiotik bidan perlu memantau tanda vital,

pemenuhan istirahat dan cairan (Aden, 2010).

Pada diare cair akut jika dilakukan penanganan baik diare akan

berhenti, namun bila tidak teratasi dengan baik pertumbuhan akan terganggu

dan bisa berakibat fatal yaitu kematian karena dehidrasi. Antisipasi yang

dapat dilakukan oleh bidan adalah rehidrasi per oral maupun infus dan

pemberian nutrisi (Fida dan Maya, 2012).


36

4. Kebutuhan Terhadap Tindakan Segera

Menurut Permenkes No. 1464/X/Menkes/2010 bidan berwenang

untuk melakukan pelayanan pada bayi, balita, dan anak prasekolah namun

pemberian antibiotik tidak boleh dilakukan oleh bidan, sehingga bidan perlu

berkolaborasi dengan dokter Spesialis Anak.

Pada diare untuk mencegah kejadian fatal maka dilakukan rehidrasi

(Widagdo, 2011).

5. Perencanaan Asuhan yang Menyeluruh

Rencana yang diberikan mencakup aspek asuhan kesehatan yang akan

diberikan pada klien dan disetujui oleh kedua belak pihak yaitu bidan dan

klien (Marmi dan Rahardjo, 2012).

Rencana Asuhan pada anak dengan ISPA dan DCA, diantaranya

adalah :

a. Pemberian oksigen.

b. Penempatan anak pada udara yang lembab.

c. Lakukan drainase posturnal untuk pengeluaran lendir.

d. Anjurkan istirahat cukup.

e. Anjurkan pemberian cairan cukup.

(Aden, 2010).

f. Lakukan kolaborasi dengan dr. SpA untuk pemberian terapi

berupa :

1) Antibiotik (Akhmad, 2008).


37

2) Pereda batuk (MTBS, 2008).

3) Zinc selama 10 hari ( Venita dan Kadim, 2014).

4) Pribiotik (Widagdo, 2011).

g. Berikan nutrisi terutama ASI, selama diare hingga masa

penyembuhan ( Widagdo, 2011).

h. Anjurkan sering mengganti popok agar tidak lembab (Suriadi dan

Yuliani, 2011).

6. Pelaksanaan Langsung Asuhan dengan Efisien dan Aman

Langkah keenam merupakan pelaksanaan asuhan dengan efisien dan

aman menurut dengan perencanaan pada langkah kelima (Sari, 2012).

Pelaksanaan yang dilakukan sesuai dengan perencanaan pada

langkah kelima.

7. Evaluasi

Pada langkah evaluasi ini merupakan langkah terakhir, evaluasi

dikatakan efektif saat evaluasi tersebut sesuai dengan masalah dan

kebutuhan (Sari, 2012).

Hasil evaluasi asuhan yang dilakukan pada balita sesuai dengan

pelaksanaan yang langsung dan optimal, maka keadaan balita akan segera

sembuh dan sehat (IDAI, 2014) dan diare akan berhenti, BAB akan normal

kembali (Fida dan Maya, 2012).


38

C. Data Perkembangan SOAP (Subyektif, Obyektif, Assesment, dan Plan)

Menurut Marmi dan Rahardjo (2012) SOAP besifat sederhana, jelas,

logis dan singkat berdasarkan oleh pemikiran penatalaksanaan kebidanan

dipakai untuk catatan kemajuan pada rekam medis pasien.

1. Subyektif

Penggambaran dari langkah 1 Varney yaitu pengumpulan data dari

pasien melalui anamnesa. Pada bayi dan balita data ini berasal dari orang tua

(data sekunder). Data subyektif berhubungan dengan sudut pandang pasien

dan bisa menjadi penguat sebuah diagnosa.

Pada kasus ISPA dan DCA ini, anamnesa dilakukan kembali pada

anak maupun keluarga setelah evaluasi untuk mengetahui perubahan.

2. Obyektif

Data obyektif merupakan penguat data subyektif yang

menggambarkan langkah 1 Varney.

Data yang diambil pada balita dengan ISPA dan DCA antara lain

keadaan umum, vital sign, hasil pemeriksaan fisik, hasil pemeriksaan

penunjang, BAB anak, dan terapi dari dokter Spesialis Anak.

3. Assesment

Hasil analisa dan intepretasi data subyektif dan obyektif akan

memberikan diagnosa atau masalah, sehingga masalah yang timbul akan

dicari diagnosa potensial dan antisipasi masalah. Pada langkah ini bidan

juga diharapkan menganalisa apakah membutuhkan tindakan segera atau

tidak. Assesment menggambarkan langkah Varney ke 2, 3, dan 4.


39

Pada kasus anak dengan ISPA dan DCA berdasarkan dari data

subyektif dan obyektif adalah Balita N umur 19 bulan dengan ISPA dan

DCA.

4. Plan

Plan berisi perencanaan dari SOAP, implentasi dan evaluasi sesuai

dengan langkah ke 5, 6, dan 7 pada langkah Varney. Langkah-langkah

tersebut dilakukan hinggga mencapai kondisi pasien yang baik dalam batas

waktu tertentu.

Menurut Varney (2007), evaluasi didokumentasikan sebagai

pertimbangan efektifitas asuhan pada balita yang diberikan berdasarkan

hasil planning yang telah dilaksanakan. Setelah dilakukan asuhan yang

menyeluruh dan optimal, diharapkan balita akan sembuh dan sehat.

Anda mungkin juga menyukai