Anda di halaman 1dari 22

PENGOBATAN ASMA

Tujuan dari pengobatan asma adalah untuk mengontrol keadaan klinis asma. Pengobatan
asma di klasifikasikan menjadi controller dan relievers. Controller adalah obat-obatan yang
digunakan sehari-hari dalam jangka panjang untuk menjaga asma tetap dalam kondisi klinis yang
terkontrol. Obat-obatan ini memiliki efek antiinflamasi. Yang termasuk golongan ini adalah
glukokortikosteroid sistemik ataupun inhalasi, leukotriene modifiers, long-acting inhaled 2-
agonists yang dikombinasikan dengan glukokortikosteroid inhalasi, sustained-release
theophylline, cromones, anti-IgE dll. Yang paling efektif adalah glukokortikosteroid inhalasi.
Sedangkan relievers adalah obat-obatan yang digunakan untuk mengatasi
bronkokonstriksi dan mengobati gejala-gejala asma. Yang termasuk obat-obatan golongan ini
adalah rapid acting Inhaled 2-agonists,antikolinergik inhalasi, short acting theophylline dan
short acting oral 2-agonists.

Cara Pemberian
Cara pemberian dapat berupa inhalasi, oral, parenteral ( IM, subkutan, atau IV ).
Keuntungan dari pengobatan yang diberikan secara inhalasi adalah obat dapat langsung masuk
ke saluran nafas, yang dapat meningkatkan konsentrasi lokal obat dalam saluran napas dan
memiliki risiko sistemik yang sangat minimal.

Contoh jenis obat yang diberikan secara inhalasi : pressurized metered-dose inhalers
(MDIs), breath-actuated MDIs, dry powder inhalers (DPIs), soft mist inhalers, and nebulized or
wet aerosols.
Pressured MDI membutuhkan training dan keterampilan untuk penggunaannya. Obat-
obat terdapat dalam bentuk suspense dengan chlorofluorocarbon (CFC) atau larutan dalam
hydrofluoroalkanes (HFAs)

A. PENGOBATAN CONTROLLER
a. Glukokortikosteroid Inhalasi
Glukokortikosteroid inhalasi merupakan obat anti inflamasi yang paling efektif untuk
asma. Obat ini dapat mengurangi gejala-gejala asma, meningkatkan kualitas hidup,
meningkatkan fungsi paru-paru, mengurangi airway hiperresponsiveness, mengontrol inflamasi
jalan nafas, mengurangi frekuensi kekambuhan dan keparahan eksaserbasi serta menurunkan
mortilitas. Namun obat-obatan jenis ini tidak dapat menyembuhkan asma.
Efek samping dari obat-obatan jenis ini adalah:
Efek samping lokal : kandidiasis orofaring, dysphonia, batuk yang disebabkan oleh iritasi
saluran nafas bawah.
Efek samping sistemik (jika digunakan dalam jangka waktu lama dan dosis yang tinggi) :
mudah memar, supresi adrenal, penurunan BMD, katarak, dan glaucoma. Risiko
terjadinya efek samping sistemik ini tergantung dari dosis dan potensi obat, cara
pemberian, bioavailabilitas sistemik, first-pass metabolism di hati, waktu paruh obat yang
diabsorpsi secara sistemik. Ciclesonide, budesonide, dan fluticasone propionate memiliki
efek samping sistemik yang minimal.

b. Leukotriene Modifier
Obat-obatan golongan ini adalah cysteinylleukotriene 1 (CysLT1) receptor antagonists
(montelukast, pranlukast, and zafirlukast) dan 5-lipoxygenase inhibitor (zileuton). Leukotriene
modifier memiliki efek bronkodilator yang minimal, dapat mengurangi gejala batuk,
meningkatkan fungsi paru, mengurangi inflamasi jalan nafas dan eksaserbasi asma. Dapat
digunakan sebagai terapi alternatif untuk pasien mild persistent asthma dan pasien yang sensitif
terhadap aspirin. Jika digunakan tanpa kombinasi, efek obat ini lebih rendah dibandingkan
dengan glukokortikosteroid inhalasi. Leukotriene modifier yang dikombinasikan dengan
glukokortikosteroid inhalasi dapat mengurangi dosis glukokortikosteroid yang digunakan dan
dapat meningkatkan pengontrolan asma pada pasien yang tidak dapat dikontrol dengan
glukokortikosteroid.
Efek samping yang ditimbulkan obat ini minimal. Zileuton dapat menyebabkan liver
toxicity, oleh karena itu, fungsi hepar harus dimonitor selama terapi. Leukotriene modifier
berhubungan dengan Churg-Strauss Syndrome.

c. Long acting inhaled 2 agonist


Long acting inhaled 2 agonist seperti formoterol dan salmeterol, sebaiknya tidak
digunakan sebagai monoterapi karena obat-obatan ini tidak terlalu mempengaruhi inflamasi jalan
nafas, sangat efektif jika dikombinasikan dengan glukokortikosteroid inhalasi dan merupakan
terapi pilihan jika pengobatan dengan glukokortikosteroid dosis medium gagal dalam mengontrol
asma. Penambahan long acting inhaled 2 agonist dalam regimen harian glukokortikosteroid
inhalasi dapat meningkatkan symptom score, menurunkan nocturnal asthma, meningkatkan
fungsi paru, mengurangi penggunaan rapid-acting inhaled 2 agonist, mengurangi frekuensi
eksaserbasi serta memiliki efek klinis yang lebih cepat dibandingkan dengan glukokortikosteroid
yang diberikan tanpa kombinasi. Obat yang dikombinasikan adalah fluticasone propionate +
salmeterol, budesonide + formoterol. Long acting inhaled 2 agonist juga dapat mencegah
timbulnya exercise-induced bronchospasm.
Efek samping sistemik seperti stimulasi system kardivaskular, tremor dan hipokalemi
yang ditimbulkan lebih sedikit dibandingkan dengan terapi oral.

d. Theophylline
Merupakan bronkodilator dan jika diberikan dalam dosis rendah memiliki efek
antiiflamasi. Sediaan yang ada adalah sustained-release. Obat ini efektif jika dikombinasikan
dengan glukokortikosteroid inhalasi, namun kurang efektif dibandingkan dengan long acting
inhaled 2 agonist.
Efek samping timbul apabila digunakan dalam dosis tinggi (> 10 mg/kgBB/hari). Efek
samping antara lain : GI symptoms, BAB jarang, aritmia, kejang, bahkan kematian. Mual muntah
merupakan efek samping yang paling sering. Kondisi-kondisi yang dapat mempengaruhi
metabolism theophylline adalah febris, kehamilan, pengobatan anti TB, penyakit hepar,
dekompensatio kordis, obat-obatan : cimetidine, quinolone, makrolida, dapat meningkatkan
toksisitas.

e. Cromones : sodium cromoglycate dan nedocromil sodium


Obat ini memiliki efek anti inflamasi yang lemah dan kurang efektif dibandingkan
dengan glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah. Efektif pada pasien dengan mild persisten
asthma dan exercise-induced bronchospasm. Efek samping antara lain batuk dan sakit
tenggorokan. Nedocromil sodium memiliki rasa yang tidak enak.

f. Long acting oral 2 agonist


Penggunaan long acting oral 2 agonist adalah apabila dibutuhkan bronkodilator
tambahan. Jenis obatnya antara lain slow released salbutamol, terbutaline, bambuterol (prodrug
terbutaline). Efek samping yang ditimbulkan lebih banyak dibandingkan sediaan inhalasi antara
lain takikardi, cemas, dan tremor. Kombinasi obat ini dengan theophylline dapat menimbulkan
efek samping kardiovaskular. Obat ini tidak boleh diberikan secara monoterapi, harus
dikombinasikan dengan glukokortikosteroid inhalasi.

g. Anti IgE
Obat ini terbatas digunakan pada pasien dengan peningkatan kadar IgE serum. Indikasi
nya adalah pada pasien asma alergi yang parah yang tidak dapat dikontrol dengan
glukokortikosteroid inhalasi. Anti IgE aman digunakan untuk tambahan dalam terapi.

h. Glukokortikosteroid Sistemik
Penggunaan glukokortikosteroid oral > 2 minggu dibutuhkan pada kasus asma yang berat
dan tidak terkontrol, namun memiliki efek samping yang besar. Sediaan oral lebih dipilih
daripada parenteral untuk terapi jangka panjang. Efek samping yang ditimbulkan antara lain
osteoporosis, hipertensi, diabetes, supresi hypothalamicpytuitary-adrenal axis, obesitas, katarak,
glaucoma, penipisan kulit, mudah memar, serta kelemahan otot. Harus hati-hati menggunakan
glukokortikosteroid sistemik pada pasien-pasien dengan TB, infeksi parasit, infeksi virus herpes,
osteoporosis, glaucoma, diabetes, depresi yang parah atau ulkus peptikum.

i. Sedian Anti-alergi Oral


Digunakan untuk pengobatan mild to moderate allergic asthma. Obat-obatnya adalah
tranilast, repirinast, tazanolast, pemirolast, ozagrel, celatrodast, amlexanox, and ibudilast. Efek
anti asma obat ini terbatas, dapat digunakan pada terapi asma jangka panjang. Efek sampingnya
adalah sedasi.

j. Obat Controller lainnya


Obat-obat ini dapat menurunkan dosis glukokortikosteroid oral yang diperlukan pada
pasien severe asthma. Jika digunakan, harus dalam supervisi spesialis, karena efek samping yang
besar. Contoh obatnya adalah metrotrexate, cyclosporin, troleandromycin (makrolida).
Efek samping makrolida dapat menyababkan mual, muntah, nyeri abdomen serta liver
toxicity. MTX menyebabkan GI symptoms, hepatic dan diffuse pulmonary parenchymal disease
serta efek pada hematologi dan teratogenik.
k. Allergen specific immunotherapy
Kegunaannya dalam terapi asma masih terbatas. Terapi ini dapat menurunkan symptom
score asma dan obat-obatan yang dibutuhkan serta memperbaiki airway hiperresponsiveness.
Immunoterapi spesifik hanya dapat diberikan pada pasien yang sudah benar-benar menjauhi
faktor-faktor pencetus asma yang ada di lingkungan dan jika glukokortikosteroid inhalasi tidak
dapat mengontrol asma. Efek samping : reaksi yang ditimbulkan pada tempat injeksi, nyeri, serta
respon alergi tipe lambat.
B. PENGOBATAN RELIEVER
Pengobatan reliever dapat secara cepat menyembuhkan bronkokonstriksi ada gejala-
gejala akut yang menyertainya.
a. Rapid acting inhaled 2 agonist
Rapid acting inhaled 2 agonist merupakan terapi pilihan untuk menyembuhkan
bronkospasme selama eksaserbasi akut asma dan sebagai pretreatment dari exercise-induced
bronchoconstriction. Yang termasuk obat-obatan golongan ini adalah salbutamol, terbutalin,
fenoterol, reproterol, dan pirbuterol. Formeterol, long acting 2 agonist, dipilih untuk
menghilangkan gejala karena memilki onset kerja yang cepat, namun hanya digunakan pada
pasien yang sudah rutin menggunakan terapi controller dengan glukokortikosteroid inhalasi.
Rapid acting inhaled 2 agonist hanya digunakan jika diperlukan saja dengan dosis yang paling
rendah dan frekuensi ynag sesuai. Kegagalan dalam menyembuhkan gejala dalam waktu yang
singkat dalam menggunakan 2 agonist selama eksaserbasi mengindikasikan diperlukanannya
terapi jangka pendek dengan glukokortikosteroid oral.
Efek samping dari obat ini tidak sebanyak efek samping yang ditimbulkan jika
menggunakan sediaan oral (tremor, takikardi).
b. Glukokortikosteroid Sistemik
Glukokortikosteroid sistemik umumnya tidak dianggap sebagai terapi reliever, namun
sangat bermanfaat untuk terapi eksaserbasi akut asma yang berat karena obat ini dapat mencegah
progresi dari eksaserbasi asma, dapat mengurangi risiko di pasien rujuk ke UGD dan di rawat,
mencegah relapse setelah perawatan gawat darurat, dan dapat menurunkan morbiditas penyakit.
Efek utama dari glukokortikosteroid sistemik pada serangan akut asma dapat terlihat setelah 4
sampai 6 jam. Dosis glukokortikosteroid oral untuk eksaserbasi adalah 40-50 mg, prednisone
diberikan tiap hari sampai 5-10 hari tergantung dari berat nya eksaserbasi. Jika gejala sudah
berkurang dan fungsi paru sudah membaik, maka dosis di tapering off.
Efek samping yang ditimbulkan dari terapi glukokortikosteroid sistemik jangka pendek
dalam dosis yang tinggi adalah gangguan metabolism glukosa, meningkatnya nafsu makan,
retensi cairan, penambahan berat badan, moon face, perubahan mood, hipertensi, ulkus peptikus,
dan aseptic necrosis pada femur.

c. Anti kolinergik
Efek dari antikolinergik adalah bronkodilator. Preparat yang digunakan untuk asma
adalah iprapropium bromide dan oxitropium bromide. iprapropium bromide inhalasi kurang
efektif sebagai terapi reliever dibandingkan dengan rapid acting inhaled 2 agonist.
Antikolinergik dapat meningkatkan fungsi paru dan menurunkan risiko untuk dirawat di RS.
Obat golongan ini diberikan sebagai terapi alternative pada pasien yang mengalami efek samping
jika menggunakan rapid acting inhaled 2 agonist.
Efek samping yang ditimbulkan dari penggunaan secara inhalasi antara lain mulut kering,
dan bitter taste.

d. Theophylline
Short-acting theophylline digunakan untuk menyembuhkan gejala-gejala asma. Kegunaan
theophylline dalam eksaserbasi asma masih menjadi kontroversi. Throphylline tidak memiliki
efek bronkodilator tambahan dibandingkan rapid acting inhaled 2 agonist.
Efek samping theophylline dapat dihindari dengan menggunakan dosis yang sesuai dan
monitoring terapi. Short-acting theophylline tidak boleh diberikan pada pasien yang sudah dalam
terapi sustained-release theophylline.
e. Short-acting oral 2 agonist
Short-acting oral 2 agonist tepat diberikan pada beberapa pasien yang tidak dapat
menggunakan sediaan inhalasi. Namun, efek samping yang ditimbulkan sangat berat.

C. PENGOBATAN ALTERNATIF
Keuntungan pengobatan alternatif pada pasien asma masih diragukan. Yang termasuk
pengobatan ini antara lain akupuntur, homeopathy, terapi herbal, terapi ayurvedic, ionizer,
osteopathy dan chiropractic manipulation.
PENATALAKSANAN

Studi klinis telah menunjukkan bahwa asma dapat terkontrol secara efektif dengan
mengurangi proses inflamasi pada asma dan juga mengobati bronkokonstriksi serta gejala-gejala
lainnya. Intervensi awal untuk mencegah paparan terhadap faktor pencetus dapat membantu
mengontrol asma dan mengurangi penggunaan obat-obatan asma.

Tujuan dari penatalaksanaan asma adalah untuk:

- mencapai dan mempertahankan kontrol dari gejala asma


- mempertahankan kemampuan aktivitas normal, termasuk dalam latihan jasmani
- mempertahankan fungsi paru-paru sedekat mungkin dengan fungsi normalnya
- mencegah eksaserbasi asma
- menghindari efek samping yang diperoleh dari pengobatan asma
- mencegah kematian

Penatalaksanaan asma tergantung pada lima komponen berikut:

a. Kerjasama pasien-dokter

b. Mengidentifikasi dan mengurangi paparan terhadap faktor resiko

c. Penilaian, pengobatan, dan pemantauan gejala asma

d. Penanganan eksaserbasi asma

e. Pertimbangan khusus

A. Kerjasama pasien-dokter

Tujuan dari kerjasama ini adalah untuk menjadikan pasien asma memperoleh
pengetahuan, kepercayaan, dan kecakapan dalam penatalaksanaan asma.
Penatalaksanaan ini memerlukan hubungan yang baik antara pasien asma dan
pelayan kesehatan atau keluarga pasien sekiranya pasien merupakan anak kecil.
Komponen ini bertujuan membentuk pasien yang kemampuan mengawal kondisi asma
mereka dengan dibantu oleh tenaga pelayanan medis yang profesional. Cara ini dapat
dicapai melalui persefahaman pasien tentang sasaran pengobatan, membuat jadwal
pengobatan dan monitoring secara mandiri dan follow-up yang rutin dengan tenaga
pelayanan medis. Penyuluhan ke pasien ini merupakan pendekatan inti antara kerjasama
dokter dan pasien dan relevan pada pasien asma untuk semua peringkat umur. Tindakan
mandiri pasien asma dapat membantu pasien mengubah pola pengobatan sekiranya
terdapat perubahan dalam tingkat keparahan asma pasien. Ini berpandukan pada gejala
dan/atau volume espirasi maksimal berserta panduan bertulis dari tenaga medis yang
profesional.

B. Mengidentifikasi dan mengurangi paparan terhadap faktor resiko

Pencegahan Asma
Pencegahan timbulnya asma dapat dengan cara mencegah sensitisasi oleh alergen
(faktor risiko) atau mencegah terjadinya perkembangan penyakit asma pada orang yang
telah tersensitisasi. Telah diketahui bahwa sensitisasi alergi dapat timbul sejak masa
prenatal, tetapi belum ada data mengenai dosis dan waktu paparan dari alergen yang
akan menimbulkan sensitisasi prenatal ini, dan belum ada cara yang tepat untuk
mencegah hal ini.

Pencegahan Gejala dan Eksaserbasi Asma


Eksaserbasi asma dapat disebabkan oleh berbagai faktor yang disebut sebagai
pencetus (trigger). Pencetus dapat berupa alergen, infeksi virus, polutan, dan obat.
Mengurangi paparan pasien terhadap faktor-faktor tersebut akan meningkatkan kontrol
terhadap asma dan mengurangi kebutuhan akan penggunaan obat asma. Pemberian obat
yang tepat untuk mengontrol asma adalah berperan penting, karena pasien akan menjadi
kurang sensitif terhadap faktor pencetus apabila gejala asmanya berada dalam kontrol
yang baik.
C. Penilaian, pengobatan, dan monitor gejala asma

Penilaian, pengobatan, dan pemantauan gejala asma digunakan untuk penatalaksanaan


jangka panjang pada penderita asma.

Penilaian Kontrol Asma


Penilaian untuk kontrol pasien asma dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 4. Tingkat Kontrol Dari Asma

Karakteristik Terkontrol Terkontrol Sebagian Tidak Terkontrol


Gejala harian - ( 2x/minggu) 2x/minggu Tiga atau lebih
Keterbatasan dalam - (+) karakteristik dari tingkat
aktivitas fisik terkontrol sebagian
Gejala malam hari - (+)
Penggunaan reliever - ( 2x/minggu) 2x/minggu dapat (+)/minggu
Fungsi paru (APE atau Normal < 80% prediksi/nilai
VEP1) terbaik
Eksaserbasi - 1x/tahun 1x

Pengobatan Untuk Mengontrol Asma


Tingkat kontrol asma dari seorang pasien dan pengobatan yang didapat
sebelumnya menentukan pemilihan obat untuk mengontrol asma. Jika asma tidak
terkontrol dengan regimen pengobatan sebelumnya, maka pengobatan ditingkatkan
sampai asma terkontrol. Jika kontrol asma dapat dipertahankan selama paling sedikit 3
bulan, maka pengobatan dapat diturunkan untuk mencapai dosis serendah mungkin dalam
mengontrol asma.
Monitor dan Mempertahankan Kontrol Asma
Ketika kontrol asma telah tercapai, monitoring lebih lanjut diperlukan untuk
mempertahankan kontrol dan meminimalisir biaya serta memaksimalkan keamanan dari
pengobatan. Pengobatan harus disesuaikan secara berkala, sesuai dengan tingkat kontrol
asma pasien.
D.

Penanganan eksaserbasi asma


Bagan 2. Penatalaksanaan Serangan Asma di Rumah Sakit

Penilaian awal

Anamnesis dan pemeriksaan fisik (auskultasi, penggunaan otot


bantu nafas, denyut jantung, frekuensi nafas), APE atau VEP,

Pengobatan awal
Oksigen untuk mencapai saturasi O2 90 %
Inhalasi agonis 2 kerja, kontinu selama satu jam
Glukokortikosteroid sistemik jika tidak ada respon, atau pasien sedang dalam
penggunaan glukokortikosteroid sistemik, atau serangan asma berat
Penggunaan sedatif merupakan kontraindikasi pada keadaan eksaserbasi

Dinilai setelah satu jam


Pemeriksaan fisik, APE, saturasi O2, dan pemeriksaan lain yang diperlukan

Kriteria episode sedang: Kriteria episode berat:

- APE 60-80% prediksi/nilai terbaik - Riwayat faktor risiko pencetus asma


- Pemeriksaan fisik: gejala serangan asma - APE <60% prediksi/nilai terbaik
sedang, penggunaan otot nafas bantu - Pemeriksaan fisik: gejala serangan
- Pengobatan: asma berat, retraksi otot dinding dada
a. oksigen - Tidak ada perbaikan setelah
pengobatan awal
b. beta-2 agonis hirup dan antikolinergik

hirup setiap 60 menit

Dinilai setelah 1-2 jam

Pulang Dirawat di ICU


APE>60% Bila tidak perbaikan
prediksi/terbaik.Pengobat dalam 6-12 jam
an oral atau inhalasi Perbaikan Tidak perbaikan
Respon baik setelah 1-2 jam: Respon inkomplit dalam 1-2 Respon buruk dalam 1-2 jam:
jam:
- respon (+) dalam 60 - Faktor risiko
menit setelah - faktor risiko - Pemeriksaan fisik:
pengobatan terakhir - pemeriksaan fisik: gejala berat,
- pemeriksaan fisik: gejala ringan sedang mengantuk, gelisah
normal, tidak ada - APE <60% - APE <30%
distres - Saturasi O2 tidak - PCO2 > 45 mmHg
- APE >70% membaik - P O2 <60 mmHg
- Saturasi O2 >90%

Dirawat di RS: Dirawat di ICU:

- oksigen - oksigen
- beta-2 agonis hirup - beta-2 agonis +
antikolinergik antikolinergik
- glukokortikosteroid - glukokortikosteroid
sistemik i.v
- Mg i.v - pertimbangkan beta-
- Monitor APE, saturasi 2 agonis i.v
O2, denyut nadi - pertimbangkan
teofilin i.v
- intubasi dan
ventilasi mekanik

Penilaian ulang

Perbaikan: Kriteria pulang: Respon buruk:

- APE > 60% prediksi/nilai terbaik - masuk ICU

- Pengobatan oral/inhalasi

Pengobatan di rumah: Respon inkomplit dalam 6-12


jam:

Ada perbaikan
E. Pertimbangan khusus

Pertimbangan khusus dibutuhkan untuk penanganan asma pada: kehamilan; pembedahan;


rinitis, sinusitis, dan polip nasal; asma karena pekerjaan; infeksi saluran respiratorik; refluks
esofageal; asma terinduksi aspirin; dan anafilaksis.
Berdasarkan patogenesis asma, strategi pengobatan yang diberikan dapat ditinjau dari berbagai
pendekatan, seperti:

1. Mencegah ikatan alergen-IgE

Mencegah ikatan alergen dengan cara menghindari alergen atau dengan hiposensitisasi.

2. Mencegah pelepasan mediator

Antara lain dengan pemberian natrium kromolin, agonis beta 2, maupun teofilin.

3. Melebarkan saluran nafas dengan bronkodilator

- Simpatomimetik: obat pilihan untuk serangan asma akut adalah agonis beta 2,
dapat diberikan secara inhalasi atau nebulizer. Epinefrin subkutan diberikan pada
serangan asma berat, dianjurkan hanya untuk anak atau dewasa muda.

- Aminofilin: digunakan pada serangan asma akut

- Kortikosteroid: bukan golongan bronkodilator, tetapi secara tidak langsung dapat


melebarkan saluran nafas. Dipakai pada serangan asma akut atau terapi
pemeliharaan.

- Antikolinergik

4. Mengurangi respon dengan jalan meredam inflamasi saluran nafas

Dapat diberikan natrium kromolin atau dengan kortikosteroid baik per oral, parenteral
atau inhalasi.

Berdasarkan fungsinya, obat asma dibagi menjadi:

a. Pencegah (controller)

Adalah obat yang dipakai setiap hari dalam jangka panjang untuk menjaga agar gejala
asma tetap terkendali melalui efek anti inflamasi obat. Termasuk golongan ini antara lain
Glukokortikoid inhalasi dan sistemik, leukotriene modifiers, beta 2 agonis inhalasi kerja panjang
dikombinasikan dengan Glukokortikoid, teofilin lepas lambat, kromon, dan anti IgE.
Glukokortikoid inhalasi adalah pengobatan pencegah yang paling efektif saat ini.

b. Penghilang gejala (reliever)

Adalah obat yang dipakai sesuai kebutuhan, yaitu untuk mengurangi bronkokonstriksi
dan menghilangkan gejala-gejala asma dengan segera. Termasuk golongan ini adalah beta 2
agonis inhalasi kerja cepat, antikolinergik inhalasi, teofilin kerja cepat, dan beta 2 agonis oral
kerja cepat.

Pengobatan Farmakologis Berdasarkan Anak Tangga

Derajat Klinis Sebelum Nilai VEP1 Obat Pencegah Harian


Pengobatan
Asma - gejala intermiten 1x >80% (var: Tidak diperlukan
Intermiten seminggu <20%) Bila timbul serangan dapat digunakan

- serangan singkat (jam- agonis beta 2 hirup, bila serangan berat

hari) timbul, ditambahkan pemberian


glukokortikoid sistemik.
- serangan malam
2x/bulan
Asma Persisten - gejala >2x seminggu 80% Glukokortikoid hirup dosis rendah
Ringan (<1x per hari) (var: 20-30%) Alternatif: teofilin lepas lambat,
- serangan mengganggu kromolin, anti-leukotrien, nedokromil
aktivitas & tidur
- serangan malam
>2x/bulan
Asma Persisten -gejala (+) setiap hari > 60%-< 80% Glukokortikoid dosis rendah-sedang
Sedang -serangan mengganggu (var: >30%) hirup dan agonis beta-2 hirup kerja
aktivitas & tidur panjang.
-serangan malam Alternatif: anti-leukotrien atau teofilin
>1x/minggu
Asma Persisten -gejala terus menerus, 60% Glukokortikoid hirup dosis tinggi dan
Berat sering mendapat serangan (var: > 30%) beta-2 agonis hirup kerja panjang, dan
-aktivitas fisik terbatas jika perlu ditambahkan glukokortikoid
karena gejala asma tabl atau sirup kerja panjang (2
-serangan malam sering mkg/hari, maks. 60 mg/hari).

DAFTAR PUSTAKA
1. Global Initiative For Asthma. Global Strategy For Asthma Management And Prevention.
MRC Vision Inc. 2008.
2. Kasper, D. L., et al. Harrison's Principles of Internal Medicine: Asthma. 16th Edition.
McGraw-Hill Professional. 2004.

Anda mungkin juga menyukai