Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
DASAR TEORI
Gambar 3.1. Kekar mode I,II dan III (Davis and Reynolds, 1996).
55
Engelder, 1987 dalam Davis and Reynolds, 1996). Joints menurut Davis and Reynolds,
1996 adalah fracture mode I atau extensional fractures yang membuka tegak lurus
terhadap permukaan bidang kekar (Gambar A diatas). Fracture mode II dan mode III
keduanya adalah shear fractures ditandai oleh pergerkan yang parael dengan bidang
kekar. Mode II dicirikan oleh pergerakan geser paralel dengan permukaan retakan dan
tegak lurus terhadap bagian depan retakan (Gambar B diatas). Pergerakan mode III
dicirikan oleh pergerakan menggunting paralel terhadap permukaan kekar dan paralel
juga dengan bagian depan retakan. (Gambar C diatas) (Davis and Reynolds, 1996).
Gambar 3.2. Kekar sistematik dan non-sitematik (Van Der Pluijm and Marshak, 2004)
Van Der Pluijm and Marshak, 2004, mengemukakan kekar sistematik adalah
bidang kekar yang membentuk sekelompok kekar yang saling sejajar satu sama lainnya
serta membentuk spasi antar kekar yang relatif sama. Kekar ini dapat terjadi dengan
kemungkinan memotong banyak lapisan batuan ataupun hanya terdapat dalam satu
lapisan batuan saja. Kekar non-sistematik memiliki spasi distribusi yang tak teratur, kekar
ini tidak saling sejajar dengan kekar di sekitarnya serta mereka cenderung tidak
membentuk bidang datar. Kekar non-sistematik kemungkinan berhenti di kekar lainnya.
Kekar sistematik dan non-sistematik memungkinkan dijumpai dalam satu singkapan
batuan.
Gambar 3.3. Diagram shear dan extensional fractures pada lipatan antiklin
(Mc Clay 1991 dalam Coe, 2010)
56
Coe, 2010, menyebutkan bahwa orientasi kekar dapat memberikan gambaran
mengenai keadaan kompresi regional. Kekar gerus umumnya hadir secara berpasangan
dalam orientasi yang tampak seperti dicerminkan oleh bidang min dan max, membentuk
pola karakter berbentuk huruf X.
Gambar 3.4. Orientasi berbagai jenis kekar sebagai hasil dari gaya utama tertentu
(Fossen, 2010)
57
Gambar 3.5. Skema deformasi britle pada masa batuan homogen. Diagram bunga
menggambarkan orientasi dari tensile dan shear fracture karena ketiga orde deformasi
(Ruhland, 1973 dalam Singhal and Gupta, 2010).
Ruhland, 1973 dalam Singhal and Gupta, 2010, menyatakan deformasi brittle
menyebabkan shear turunan beberapa orde membentuk kecenderungan berturut-turut
menyimpang dari pola awal, yang menyebabkan persebaran kecenderungan arah dari
kekar gerus yang terbentuk. Proses shearing juga diikuti oleh deformasi tensile. Sehingga
deformasi brittle dapat menghasilkan rekahan yang berbeda besar dan arahnya pada
orde-orde selanjutnya. Pada batuan yang mengalami kekar karena tiga orde pada
deformasi rapuh, rekahan tensile dapat menyebar dalam rentang sekitar 75o dan kekar
gerus dalam rentang sekitar 135o seperti dalam gambar diatas.
58
tergantung pada perbedaan besarnya sudut antara 1, 2, dan 3, dan juga pada sifat
material batuan, tetapi selalu kurang dari 45o.
59
Gambar 3.7. Macam-macam deformasi rapuh (Van Der Pluijm and Marshak, 2004)
60
Gambar 3.8. Hubungan antara orientasi gaya utama dan rezim tektonik menurut
Anderson (1951) dalam Fossen, 2010. Stereonet menunjukkan daerah
tekanan/compression (P) dan taikan/tension (T).
61
Gambar 3.9. Pengukuran dan penggambaran plunge dan pitch (Mc Clay, 2007)
62
Gambar 3.10. Klasifikasi sesar menurut Rickard, 1972, dalam Ragan, 2009
63
diamati pada skala mikro, meso atau macroscale, jelas merupakan jendela yang paling
penting bagi kita dalam mempelajari sejarah deformasi lokal dan regional di masa lalu.
geometri dan ekspresi lipatan membawa informasi penting tentang jenis deformasi,
kinematika dan tektonik suatu daerah (Fossen, 2010)
Lipatan akan mudah dipelajari dalam penampang yang tegak lurus terhadap
lapisan yang terlipatkan atau tegaklurus terhadap permukaan sumbu lipatan. Secara
umum, lipatan terbentuk dari sumbu yang menghubungkan 2 orientasi sayap yang
berbeda. Sumbu dapat tegas atau jelas, namun lebih sering berupa lengkungan sumbu
yang gradual, sehingga hadir istilah hinge zone (Fossen, 2010)
.
64
Gambar 3.12. Klasifikasi lipatan berdasarkan orientasi hinge line dan axial surface (Fleuty,
1964 dalam Fossen, 2010)
Fossen, 2010, Orientasi lipatan dapat dijelaskan dengan orientasi axial surface
dan hinge line. Kedua parameter ini dapat diplotkan satu sama lainnya sepeti dalam
gambar diatas, dan nama dapat diperoleh untuk jenis lipatan yang bermacam-macam.
Umumnya digunakan istilah upright fold (vertical axial plane dan horizontal hinge line) dan
recubent fold (axial plane dan hinge line horisontal).
Semua yang ditunjukkan dalam gambar diatas adalah antiform. Sebuah antiform
adalah struktur dimana kemiringan sayap ke arah bawah dan menjauh dari hinge zone,
sedangkan synform adalah seballiknya. Bila urutan stratugrafi diketahui, antiform disebut
antiklin bila lapisan batuan muda menjauh dari axial surface lipatan. Demikian pula sinklin
adalah lipatan dimana lapisan batuan menjadi lebih muda ke arah axial surface (Fossen,
2010).
65
Gambar 3.13. Bentuk-bentuk dasar lipatan. Gambar h menunjukkan bagaimana berbagai
jenis syn dan antiform dapat terjadi dari perlipatan kembali sebuah lipatan (Fossen 2010).
Gambar 3.15. Klasifikasi Ramsay (1967) dalam Fossen 2010, berdasarkan dip isogon.
Dip isogon adalah garis-garis yang menghubungkan titik-titik dengan dip yang sama untuk
lipatan berorientasi vertikal.
66
Gambar 3.16. Klasifikasi Lipatan (Rickard, 1971, dalam Ragan, 2009)
a). Grid pengeplot lipatan; b). Klasifikasi jenis-jenis lipatan
67