Anda di halaman 1dari 9

~ Revolusi Energi Ataupun Punah

Kumpulan Artikel - 113 - Energi Lain-lain


Array Cetak Array PDF

Revolusi Energi atau Mat

SIAPA pun yang memerintah di Indonesia harus menghadapi krisis produksi bahan bakar
minyak yang terus menurun, beban impor minyak dan subsidi bahan bakar minyak yang
mencapai Rp 63 triliun per tahun. Revolusi politik energi nasional adalah jawaban dengan cara
memanfaatkan deposit gas bumi dan batu bara Indonesia yang lebih murah dan tersedia
melimpah hingga sekurangnya dua abad mendatang.

Pengamat perminyakan Bachrawi Sanusi mengakui produksi minyak Indonesia mengalami krisis
karena tidak mampu memasok kebutuhan dalam negeri hingga Indonesia harus jadi importir
dalam empat tahun terakhir. Untuk saat ini kelangsungan industri minyak masih sangat
dibutuhkan sebab belum ada alternatif pengganti.

"Produksi minyak kita turun pada kisaran satu juta barrel per hari, sementara kebutuhan
mencapai 1,3 juta barrel per hari. Produksi yang minim itu pun belum dikurangi dengan bagian
dari Kontraktor Bagi Hasil asing yang menjadi rekanan Pertamina," kata Bachrawi. "Kondisi ini
merupakan blunder kebijakan tahun 1980-an karena kita tidak melakukan konservasi dan
diversifikasi energi."

Situasi makin parah tatkala pemerintah bersama DPR justru melemahkan posisi penerimaan
negara dari minyak dan gas bumi dengan pembentukan BP-Migas. Praktis, kegiatan ekspor
migas yang selama puluhan tahun menjadi tulang punggung devisa kini tidak mampu
mendongkrak kurs rupiah. Seharusnya pemerintah memperbaiki UU Nomor 8 Tahun 1971 dan
bukan membuat aturan baru yang sama sekali memangkas kewenangan Pertamina sebagai
BUMN

DALAM tatanan global pun Indonesia sebagai anggota organisasi negara-negara pengekspor
minyak OPEC terbukti kerap kali menderita kerugian akibat kebijakan organisasi itu. Bachrawi
mengatakan OPEC senantiasa menjatah kuota secara merata tanpa menggunakan hitungan
pendapatan per kapita. Kebijakan itu sangat menguntungkan Arab Saudi dan Kuwait yang
berpenduduk sedikit. Negara berpenduduk besar seperti Indonesia sebaliknya sangat dirugikan.

Dalam perkembangan zaman, terlihat betapa kontribusi produk seluruh anggota OPEC tidak
signifikan karena hanya mencapai 30 persen dari keseluruhan produksi minyak dunia. Sementara
itu, Malaysia dan Brunei sebagai negara produsen minyak mampu menata kebijakan migas
secara mandiri tanpa terlibat sebagai anggota OPEC.

Tumpulnya OPEC semakin tampak dalam gonjang-ganjing kenaikan harga minyak belakangan
ini. Meski menambah produksi, mereka tidak dapat menekan harga dengan membanjiri pasar
dengan pasokan minyak.
Pasalnya, cadangan minyak negara industri maju anggota OECD (Organization for Economic
Cooperation and Development) dapat digunakan selama 80 hari tanpa pasokan baru dari negara
produsen minyak. Dengan kemampuan tersebut, mereka dapat mengatur permainan harga di
pasar internasional. Sementara di dalam negeri, para kontraktor bagi hasil Pertamina juga dapat
menjadi spekulan karena keleluasaan yang diberikan UU Migas yang baru.

Fluktuasi harga minyak mentah pun, menurut Bachrawi, dapat melampaui angka 50 dollar AS
per barrel. Para spekulan dan negara industri maju memiliki kekuatan dominan dalam
memengaruhi pasar melampaui posisi negara produsen.

Sejarah telah mencatat sebelum Perang Arab Israel 1973 harga minyak berada di bawah 2,5 dolar
AS per barrel. Namun, sesudah pecah perang harga melambung tinggi hingga sepuluh kali lipat
dan terus berkisar di atas belasan dan puluhan dollar per barrel.

Harga jual tinggi menjadi berkah bagi negara tertentu, seperti Inggris dan Norwegia, karena
memungkinkan mereka melakukan eksplorasi di laut dalam yang sebelumnya tergolong tidak
ekonomis saat kisaran harga jual di bawah 2,5 dollar AS per barrel. Kala itu biaya produksi
minyak laut dalam mencapai 5 dollar AS per barrel.

Perlahan tetapi pasti, negara industri maju menjadi penentu fluktuasi harga. Bahkan, kini di saat
negara produsen mulai mengalami penurunan produksi seperti Indonesia, mereka masih
memiliki cadangan melimpah dan menjadi penentu harga.

Lingkaran setan ini akan semakin membelit Indonesia, yang semula bertindak sebagai produsen
kini harus beralih fungsi menjadi konsumen. Pertambahan subsidi demi subsidi terus
menggelayuti keuangan negara akibat kebijakan sektor energi yang salah sasaran.

KEBIJAKAN energi memang salah kaprah sejak semula. Pengamat ekonomi Faisal Basri
mengatakan murahnya harga bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia justru mendorong
konsumsi tetap, bahkan meningkat. Akibatnya, masyarakat tidak memiliki sensitivitas terhadap
kelangsungan pasokan sumber energi yang tak dapat diperbaharui tersebut.

"Pertumbuhan kendaraan bermotor semakin tidak terkendali. Kemacetan lalu lintas pun terjadi
sehingga menghambat aktivitas perekonomian," kata Faisal. "Strategi harga seharusnya sudah
mengacu pada harga dunia secara bertahap dan diimbangi penyediaan bahan bakar pengganti
secara massal, terutama di sektor transportasi. Di pihak lain, pemerintah harus menyediakan
sarana transportasi publik yang sangat memadai."

Krisis energi jadi semakin parah dengan adanya kebijakan pemerintah dan DPR dalam undang-
undang migas yang justru semakin memperburuk krisis sektor energi. Kurtubi, pengamat
pertambangan dari Pertamina, menyatakan kebijakan tersebut menambah jalur birokrasi dalam
penjualan minyak dan menguntungkan pihak ketiga: para perantara. Di saat sama BUMN seperti
Pertamina lumpuh dan tidak mampu jadi faktor penentu kebijakan migas karena peran tersebut
beralih ke BP-Migas dan para perantara perdagangan minyak.

Kebijakan ini rawan terhadap praktik KKN dan sangat menguntungkan pihak ketiga. Mereka
dengan leluasa dapat "menggoreng" harga komoditas dalam pasar komoditas berjangka dan
pelbagai instrumen spekulasi lain.

Lebih parah lagi adalah penarikan pajak bagi investor pada tahap eksplorasi. Di saat mereka
belum memperoleh hasil, praktis pelbagai pungutan sudah membebani. Kebijakan ini sungguh
tidak logis. Proses investasi pun mekar dari penanganan satu atap menjadi tiga atap. Bahkan
hubungan yang semula berbentuk bisnis ke bisnis kini berubah menjadi bisnis ke pemerintah.

Dampak dari kebijakan ini sangat terasa. Menurut Kurtubi, pada tahun 1998 masih ada 18
kontrak baru di bidang migas, tetapi dalam kurun 1999-2003 hanya terjadi satu atau dua kontrak
baru.

Situasi memang terlihat membaik pada tahun 2004 dengan tercatatnya 17 kontrak baru. Namun,
perlu diingat, belum ada realisasi kontrak tersebut sama sekali. Bahkan kondisi terburuk adalah
anomali bisnis sektor minyak. Biaya dalam bentuk dollar AS untuk administrasi dan pengelolaan
minyak dan gas terus meningkat, tetapi hasilnya terus menurun.

Lembaga terkait bisnis ini semakin membesar menambah tenaga kerja dan tidak efisien,
sementara hasil produksi terus meluncur deras ke arah merugi. Rangkaian kesalahan kebijakan
ini semakin terlihat jelas dengan tidak adanya peraturan pelaksana sebagai penjabaran UU Migas
tersebut.

Kurtubi menambahkan, bahkan jika produksi minyak kita dalam keadaan normal, kapasitas
kilang kita tidak mampu memenuhi kebutuhan harian dalam negeri. Kapasitas seluruh kilang
Indonesia hanya mampu mencukupi 75-80 persen kebutuhan.

Harga melambung, produksi menyusut, inefisiensi kelembagaan, dan regulasi, serta kapasitas
produksi di bawah kebutuhan merupakan cermin industri minyak nasional. Minyak bumi bukan
lagi primadona negeri ini, bahkan justru menjadi beban. Pemerintah tampak tidak memiliki
acuan kebijakan energi pascaminyak. Patutlah kita berkaca pada pemerintah Thailand: betapa
mereka mampu mengatur pertumbuhan perekonomian meski 40 persen anggaran negara tersedot
untuk sektor energi.

JALAN keluar utama krisis ini, menurut Faisal Basri, seharusnya dengan menggeser ke sumber
yang lebih murah dan tersedia melimpah seperti gas dan batu bara. Sebagai bukti keberhasilan
kebijakan perubahan pemanfaatan energi adalah pemerintah Tiongkok. Mereka mengonversi
pemakaian minyak dan batu bara dengan gas.

Gas bumi lebih murah dan ramah lingkungan serta meningkatkan kemampuan kompetisi industri
mereka. Produk industri di Tiongkok yang menggunakan gas sebagai bahan baku tentu memiliki
harga jual lebih murah daripada produk industri di Indonesia yang menggunakan minyak bumi
sebagai bahan bakar. Keadaan semakin ironis mengingat sebagian pasokan gas Tiongkok justru
berasal dari Indonesia.

Pergeseran energi akan memangkas subsidi Rp 63 triliun sehingga kita dapat berkonsentrasi pada
pembangunan infrastruktur, peningkatan indeks pembangunan manusia, dan indeks kesehatan,
terutama di sektor pertanian, perkebunan, dan kelautan yang langsung menyentuh bagian
terbesar rakyat Indonesia.

Sementara Kurtubi mengatakan pergeseran energi tersebut harus jadi program nasional, tetapi
subsidi bagi masyarakat terkecil untuk minyak tanah hendaknya tetap dipertahankan. Potensi
minyak Indonesia sebetulnya masih luas, malah dapat jadi cadangan untuk pemasukan negara di
masa mendatang.

Langkah ini sangat mendesak mengingat negara industri seperti Amerika Serikat dan China telah
melakukan pergeseran energi sejak dini. "Jangan selalu membandingkan keadaan dengan masa
lalu yang konon lebih enak. Bandingkanlah Indonesia dengan negara lain saat ini demi memacu
perbaikan keadaan," kata Faisal Basri.

Persoalan kita tidak hanya lilitan utang luar negeri yang membebani 7 persen keuangan negara.
Janganlah melupakan beban akibat utang dalam negeri yang mencapai 12 persen dari anggaran.
Tak ketinggalan tentu, perburuan aset-aset para konglomerat hitam.

Pemerintah harus mencari sektor ekonomi yang menjadi persinggungan aktivitas pertanian,
UKM, masyarakat desa, nelayan, dan sektor informal. Sektor ini langsung menghasilkan
perputaran uang untuk bagian terbesar masyarakat kita.

Iklim investasi dan service delivery menjadi tantangan bagi pemerintah yang harus diatasi demi
mencapai pertumbuhan ekonomi. Kebijakan ini, menurut Faisal Basri, adalah langkah konkret
yang lebih berarti bila dibandingkan dengan retorika pemberantasan KKN.

"Yang terpenting adalah menciptakan masa depan. Jangan kita selalu terpaku pada masa lalu
saja. Pemerintahan baru harus menjelaskan visi dan menjabarkan dalam 100 hari pertama
sebagai indikator perbaikan Indonesia," kata Faisal.

http://www.alpensteel.com/article/51-113-energi-lain-lain/3412--revolusi-energi-ataupun-punah

Cadangan Minyak RI Habis 11 Tahun Lagi?


Selasa, 28 Mei 2013, 17:04 WIB

Komentar : 0

Antara
Pipa Pertamina yang mengaliri minyak mentah

A+ | Reset | A-

REPUBLIKA.CO.ID,PEKANBARU-- Lembaga Kajian untuk Reformasi Pertambangan, Energi,


dan Lingkungan Hidup (ReforMiner Institute) menyatakan cadangan minyak bumi (minyak
fosil) Indonesia pada 11 tahun kemudian akan habis.

"Untuk itu, dibutuhkan adanya penemuan energi terbarukan pengganti minyak bumi," kata Wakil
Direktur ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro, kepada Antara di Pekanbaru, Selasa.

Menurut data lembaga ini, cadangan minyak per tahun 2011 hanya tersisa sekitar 3,74 miliar
barel sementara produksi per tahunnya sekitar 358,890 juta barel. Itu artinya, demikian Komaidi,
cadangan minyak bumi nasional akan habis pada 11 tahun kemudian.

Sementara untuk cadangan gas bumi, menurut catatan ReforMiner, masih sekitar 104,71 triliun
standar feet kubik/Tera Standard Cubic Feet (TSCF) atau produksi pertahunnya yakni mencapai
471.507 Million Standard Cubic Feet per Day (MMSCFD).

"Untuk cadangan energi fosil khusus gas bumi, diperkirakan masih akan tertahan hingga 31
tahun kedepan," katanya.

Kemudian untuk cadangan jenis energi fosil jenis batubara, ReforMiner Institute mencatat ada
sebanyak 21.131,84 juta ton, dimana produksi per tahunnya yakni mencapai 353.387.341 ton.

Khusus untuk batubara, lembaga kajian ini memprediksikan cadangan yang terkandung dalam
bumi Indonesia masih akan ada hingga 59 tahun kedepan.

ReforMiner mencatat, posisi cadangan khusus minyak bumi Indonesia terhadap dunia saat ini
menempati pisisi 28 (2010).
Posisi ini jauh berada di bawah Saudi Arabia yang berada di peringkat teratas dengan cadangan
minyak bumi mencapai 264,50 miliar barel dan diposisi kedua ditempati Venezuela dengan nilai
cadangan mencapai 211,20 miliar barel.

Untuk posisi ketiga ditempati oleh Iran yang memiliki cadangan minyak mencapai 137,00 miliar
barel dan disusul oleh Iraq dengan cadangan minyak sekitar 115,00 miliar barel.

Seterusnya ada negara-negara kaya lainnya, seperti Kuwait (cadangan minyak 101,50 miliar
barel), United Arab Emirates (97,80 miliar barel), Russian Federaton (77,40 miliar barel), Libya
(46,40 miliar barel), Kazakhstan (39,80 miliar barel), dan Nigeria berada di posisi ke 10 dengan
nilai cadangan minyak mencapai 37,20 miliar barel.

Selebihnya dari peringkat 11 hingga ke 28 (Indonesia) cadangan minyak dunia didominasi oleh
negara-negara di Asia Tenggara, termasuk Malaysia dan Brunai Darussalam.

http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/05/28/mni6mr-cadangan-minyak-ri-habis-11-
tahun-lagi

Jero: Energi surya habis kalau kiamat

Michael Agustinus

Selasa, 29 Januari 2013 14:41 WIB

Ilustrasi/ist

Sindonews.com - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akan menggenjot
pengembangan proyek energi baru dan terbarukan (EBT) guna mengurangi konsumsi energi fosil
yang setiap tahun meningkat. Bahkan, energi surya sendiri tidak akan pernah habis sampai
kiamat.

"Kemudian surya. Ini tidak terbatas jumlahnya, energi surya akan habis kalau kiamat," ujar
Menteri ESDM, Jero Wacik saat ditemui usai Sidang DEN ke-9 di Kantornya, Jakarta, Selasa
(29/1/2013).
Jero menjelaskan, energi surya harus diekploitasi secara besar-besaran meski teknologinya agak
mahal. Hal tersebut harus segera dilakukan untuk mengurangi konsumsi energi fosil yang
semakin tinggi.

"Jadi, ini harus besar-besaran kita eksploitasi. Teknologinya masih agak mahal sedikit. Tapi
kalau sudah massal akan murah," ungkapnya.

Menteri yang juga anggota Dewan Pembina Partai Demokrat ini optimis penggunaan EBT bisa
berkembang pesat karena pihaknya segera mengejar target dalam rancangan Kebijakan Energi
Nasional (KEN) yang diusulkan Dewan Energi Nasional (DEN).

"EBT akan dahsyat perkembangannya, yang dari ESDM akan kita kerjakan dan kita kejar," ujar
Jero.

(izz) http://ekbis.sindonews.com/read/2013/01/29/34/712072/jero-energi-surya-habis-kalau-kiamat

Alam semesta berasal dari titik singular dan akan kembali menjadi titik singular?
Tak setiap informasi dapat/boleh diketahui oleh sembarang orang/fihak.

Apa jadinya jika energi di bumi terkuras habis? Kiamat?


Posted on Oktober 24, 2012 by Akung Ibnu

Pertanyaan: Manusia saat ini mulai gelisah karena semakin lama energi yang tersedia dibumi
semakin menipis, sampah semakin menumpuk, polusi disegala bidang, suhu semakin naik akibat
efek rumah kaca dll. Jadi benar ramalan bahwa bumi akan kiamat. Bagaimana untuk
mencegah kiamat?
Jawaban: Tak ada yang sanggup memprediksi, meramal apalagi mencegah kiamat kecuali
Tuhan YME. Yang perlu dipertanyakan apa yang anda maksud dengan kiamat? Apakah kiamat
bumi, kiamat sistem sola/matahari ,kiamat galaksi (misalnya kiamat Bimasakti) atau kiamat Sub
Alam Fisika,atau kiamat seluruh alam semesta?
Menurut TM alam semesta merupakan sebuah sistem tertutup sehingga jumlah energinya tetap,
yang berubah hanyalah jenis/ujudnya. Bumi merupakan bagian dari alam semesta, sehingga tak
mungkin kehabisan energi. Yang dapat terjadi adalah pergeseran prosentase energinya. Setiap
saat jenis energi berubah sehingga mungkin sekali manusia atau living organisme tak sanggup
memanfaatkan energi baru yang terjadi dan hilangnya jenis energi lama dianggap tiadanya atau
terkurasnya energi yang tersedia. Living organisme membutuhkan berbagai jenis energi, namun
sebagian besar, atau bahkan semuanya membutuhkan cahaya. Hanya tumbuh-tumbuhan yang
sanggup meruibah energi matahari langsung menjadi bio energi sekaligus mendaur ulang energi
fisika yang tak bermanfaat menjadi dibuthkan oleh living organisme yang lain. Tumbuh-
tumbuhan dapat merubah gas carbon dioksida menjadi tepung dan oksigen yang keduanya sangat
dibutuhkan oleh living organisme yang lain. Living micro arganisme atau jasat renik sanggup
mendaur ulang sampah organisme menjadi unsur hara. Binatang pemakan tumbuh-tumbuhan
merubah unsur nabati yang dihasilkan oleh tumbuh-tumbuhan menjadi unsur hewani
(diantaranya daging), binatang pemakan daging memakan daging dan merubahnya menjadi
kotoran yang dapat dimanfaatkan oleh tumbuh-tumbuhan untuk melengkapi proses hidupnya.
Hampir semua ciptaan Tuhan YME merupakan sebuah rantai kehidupan yang sanggup merubah
berbaga energi menjadi jenis energi lain, sehingga keseimbangan energi selalu terjaga secara
alami. Bumi menjadi sorga bagi living organisme karena terjaga kelestariannya.
Kehadiran manusia di bumi menjadikan keseimbangan energi di bumi goyah karena manusia
bukan lagi menggunakan energi sekedar untuk dapat hidup melainkan untuk berbagai kebutuhan,
diantaranya adalah kenikmatan duniawi.
Manusia boleh saja merasa dimuliakan oleh Tuhan YME karena sanggup mengungguli ciptaan
Tuhan YME yang lain berkat diberikan kecerdasan untuk membuat peralatan fisik yang tak
mungkin dibuat oleh yang lain. Tubuh manusia sangat lemah, demikian juga panca indranya
sangat terbatas, tetapi disamping kecerdasan untuk mengimbangi kelemahan fisik dan
keterbatasan panca indra sebenarnya manusia juga dibekali keyakinan untuk mengakses alam
abadi dimana dijanjikan kebahagiaan abadi dan bukan sekedar kenikmatan sementara, namun
agaknya fikiran dan pancaindra yang ditunjang oleh peralatan fisika (hasil tehnologi) menjadikan
manusia menisbikan adanya kebahagiaan abadi.
Agama membimbing manusia untuk mencapai kebahagiaan abadi dengan menjanjikan sorga dan
ancaman neraka, tetapi menggunakan pendekatan yang irrasional, diantaranya menggunakan
dosa sebagai pengendalian nafsu manusia. Andaikata manusia masih takut atas akibat dosa,
pastilah kehidupan dunia ini terjaga kelestariannya. Kenyataannya bagaimana? Moralitas agung
yang menggunakan dosa untuk mengatur kehidupan dunia agar berjalan dengan tertip ,seakan
telah diremehkan oleh mereka yang telah dikuasai oleh materialisme. Itulah sebabnya manusia
mengatur dirinya sendiri dengan moralitas tertib hukum, manusia diatur oleh hukum buatan
manusia sendiri. Celakanya hukum buatan manusia tak dijalankan secara konsisten sebagai
akibat dari logika praktis atau logika kenyataan. Logika kenyataan teramat subjektif dan didasari
oleh kepentingan yang menggunakannya. Logika pengusahan (yang ingin memanfaatkan energi
yang tersimpan dibumi hingga sangat rakus menguras energi yang tersedia dibumi) berbeda
dengan logika pencinta lingkungan (yang ingin mempertahankan keseimbangan alami, hingga
hanya memanfaatkan energi seperlunya.) Inilah pangkal dari sengketa diantara manusia karena
masing-masing merasa dirinya paling benar. Yang rakus merasa paling berhak menguasai
kekayaan dibumi karena merasa dapat melawan dan menguasai kekuasaan alam, yang merasa
alam akan sanggup menghancurkan peradaban manusia berusaha untuk hidup damai dengan
alam.
Bagi yang rakus sangat yakin energi di bumi tak akan habis dengan cara berusaha mencari dan
memanfaatkan energi lain yang tersedia dibumi, bahkan jika perlu mempertaruhkan banyak
energi untuk mendapatkan energi lain yang tersedia diluar bumi. Yang ingin bersahabat dengan
alam khawatir jika keseimbangan di bumi akan goyah sehingga manusia dan kehidupan di dunia
menjadi taruhannya.
Menurut saya: energi di bumi tak akan habis, namun mungkin saja manusia belum sanggup
memanfaatkan energi lainnya atau penggunaan energi baru telah sanggup dimanfaatkan
memiliki dampat buruk terhadap kehidupan, padahal kenyataan energi yang telah dapat
dimanfaatkan secara aman telah menipis atau habis. Jadi akan lebih baik kita gunakan energi
secara efisien, sementara itu berusaha mendapatkan energi lain dan cara untuk memanfaatkan
dengan aman, misalnya energi nuklir, energi matahari, energi sampah, bio energi yang bukan
berasal dari fosil yang membutuhkan proses sangat lama

http://akungibnu.wordpress.com/2012/10/24/apa-jadinya-jika-energi-di-bumi-terkuras-habis-kiamat/

Anda mungkin juga menyukai