Anda di halaman 1dari 9

Keanekaragaman Hayati

Keaekaragaman hayati menurut World Wildlife Fund dalam Mochamad Indrawan (2007)
adalah jutaan tumbuhan, hewan dan mikroorganisme, termasuk yang mereka miliki, serta
ekosistem rumit yang mereka bentuk menjadi lingkungan hidup. Keanekaragaman hayati dapat
digolongkan menjadi tiga tingkat, yaitu :

1. Keanekaragaman spesies. Hal ini mencakup semua spesies di bumi, termasuk bakteri dan
protista serta spesies dari kingdom bersel banyak (tumbuhan, jamur, hewan, yang bersel banyak
atau multiseluler)

2. Keanekaragaman genetik. Variasi genetik dalam satu spesies baik diantara populasi- populasi
yang terpisah secara geografis, maupun diantara individu-individu dalam satu populasi.

3. Keanekaragaman komunitas. Komunitas biologi yang berbeda serta asosiasinya dengan


lingkungan fisik (ekosistem) masing-masing. Ketiga tingkatan keanekaragaman hayati itu
diperlukan untuk kelanjutan kelangsungan hidup di bumi dan penting bagi manusia.
Keanekaragaman spesies menggambarkan seluruh cakupan adaptasi ekologi, serta
menggambarkan evolusi spesies terhadap lingkungan tertentu.

Keanekaragaman hayati merupakan sumberdaya hayati dan sumberdaya alternative bagi


manusia. Sebagai negara mega-biodiversity, berdasarkan keanekaragaman jenis menurut Jatna
Supriatna (2008:15) Indonesia menempati urutan papan atas, yakni :

a. Urutan kedua setelah Brazil untuk keanekaragaman mamalia, dengan 515 jenis, yang 39 %
diantaranya merupakan endemic
b. Urutan keempat untuk keanekaragaman reptil (511 jenis, 150 endemik) Urutan kelima
untuk keanekaragaman burung (1531 jenis, 397 endemik) bahkan khusus untuk
keanekaragaman burung paruh bengkok, Indonesia menempati urutan pertama (75 jenis, 38
endemik)
c. Urutan keenam untuk keanekaragaman amfibi (270 jenis, 100 endemik)
d. Urutan keempat dunia untuk keanekaragaman dunia tumbuhan (38000 jenis) Urutan
pertama untuk tumbuhan palmae (477 jenis, 225 endemik)
e. Urutan ketiga untuk keanekaragaman ikan tawar (1400 jenis) setelah Brazil dan Colombia
Keanekaragaman hayati yang ada di alam, telah terancam punah oleh berbagai cara.
Ancaman terhadap keanekaragaman hayati tersebut dapat terjadi melalui berbagai cara
berikut :
1. Perluasan areal pertanian dengan membuka hutan atau eksploitasi hutannya sendiri akan
mengancam kelestarian varietas liar/lokal yang hidup di sana (seperti telah diketahui bahwa
varietas padi liar banyak dijumpai di hutan belukar, hutan jati dan hutan jenis lain). Oleh
karena itu, sebelum pembukaan hutan perlu dilakukan ekspedisi untuk pengumpulan data
tentang varietas liar/lokal

2. Rusaknya habitat varietas liar disebabkan oleh terjadinya perubahan lingkungan akibat
perubahan penggunaan lahan

3. Alih fungsi lahan pertanian untuk penggunaan di luar sektor pertanian menyebabkan flora
yang hidup di sana, termasuk varietas padi lokal maupun liar, kehilangan tempat tumbuh 4
Pencemaran lingkungan karena penggunaan herbisida dapat mematikan gulma serta varietas
tanaman budidaya termasuk padi

5. Semakin meluasnya tanaman varietas unggul yang lebih disukai petani dan
masyarakatkonsumen, akan mendesak/tidak dibudidayakannya varietas local

6. Perkembangan biotipe hama dan penyakit baru yang virulen akan mengancam kehidupan
varietas lokal yang tidak mempunyai ketahanan .

Penciutan keanekaragaman hayati ini telah disadari oleh semua pihak sebagai
akibat adanya perubahan lingkungan yang berasal dari kegiatan manusia, industri,
pemukiman, perusakan hutan, perluasan areal pertanian dan lain-lain. Oleh karena
keprihatinan global inilah akhirnya KTT Bumi di Rio De Janeiro tahun 1992, yang
diselenggarakan oleh PBB, menghasilkan konvensi Keanekaragaman Hayati yang juga ikut
ditandatangani oleh Indonesia. Di samping itu permasalahan yang dihadapi Indonesia dalam
mengelola keanekaragaman hayati mencakup aspek pemanfaatan, pelestarian, pengetahuan
dan kebijakan (jatna Supriatna, 2008).

Konservasi Keanekaragaman
Hayati Konservasi Sumberdaya Alam Hayati adalah pengelolaan sumberdaya alam
hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan
persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan
nilainya. (UU No. 5 Tahun 1990) tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan
Ekosistemnya.

Sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya merupakan bagian terpenting dari


sumberdaya alam yang terdiri dari alam hewani, alam nabati, ataupun berupa batu-batuan
dan keindahan alam dan lain sebagainya, yang masing-masing mempunyai fungsi dan
manfaat sebagai unsur pembentuk lingkungan hidup. Karena sifatnya yang tidak dapat
diganti-ganti dan peranannya begitu besar bagi kehidupan manusia, maka upaya konservasi
sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya sudah menjadi kewajiban mutlak dari setiap
generasi di manapun berada dan pada zaman kapanpun Berhasilnya upaya konservasi
sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, erat kaitannya dengan tercapainya tiga sasaran
pokok konservasi atau yang disebut dengan Strategi Konservasi (Dirjen PHPA Departemen
Kehutanan RI, 1990), yaitu :

1. Perlindungan Sistem Penyangga Kehidupan, yaitu menjamin terpeliharanya proses


ekologi yang menunjang sistem penyangga kehidupan bagikelangsungan pembangunan dan
kesejahteraan manusia

2. Pengawetan Keanekaragaman Jenis Tumbuhan dan Satwa, yaitu dengan menjamin


terpelihasranya keanekaragaman sumber genetik dan tipe-tipe ekosistemnya, sehingga
mampu menunjang pembangunan, ilmu pengetahuan, dan teknologi memungkinkan
kebutuhan manusia yang menggunakan sumberdaya alam hayati bagi kesejahteraan

3. Pemanfaatan Secara Lestari Sumberdaya Alam Hayati, yaitu merupakan suatu usaha
pembatasan/pengendalian dalam pemanfaatan sumberdaya alam hayati sehingga
pemanfaatan tersebut dapat dilakukan secara terus menerus di masa mendatang dengan tetap
menjaga keseimbangan ekosistemnya.

Strategi konservasi tersebut juga didasarkan pada amanat GBHN yang menyatakan
bahwa sumberdaya alam yang kita miliki baik di darat, laut maupun di udara, yang berupa
tanah, air mineral, flora, fauna termasuk plasma nutfah dan lain-lain harus dikelola dan
dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya dengan tetap memelihara kelestarian kemampuan
lingkungan hidup, sehingga memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi pembangunan
dan kesejahteraan baik bagi masa kini maupun bagi generasi mendatang.

Adapun fokus pelestarian keanekaragaman hayati adalah mengelola kekayaan


hayati Indonesia secara berkelanjutan yang meliputi ekosistem darat dan laut, kawasan
agroekosistem dan kawasan produksi, serta konservasi ex-situ. Upaya pelestarian ini harus
disertai dengan pemeliharaan sistem pengetahuan tradisional dan pengembangan sistem
pemanfaatan keanekaragaman hayati yang dilandasi oleh pembagian keuntungan yang adil.
Strategi konservasi keanekaragaman hayati ini dalam Agenda 21 Indonesia (1997) dibagi
sebagai berikut :

1. Meningkatkan pembentukan sistem kawasan lindung berikut pengelolaannya secara efektif.

2. Melestarikan keanekaragaman hayati pada kawasan agroekosistem dan kawasan non-


lindung/produksi

3. Pelestarian keanekaragaman hayati secara ex-situ 4. Melindungi sistem pengetahuan


masyarakat tradisional serta meningkatkan seluruh sistem pengetahuan yang ada tentang
konservasi dan keanekaragaman hayati

5. Mengembangkan dan mempertahankan sistem pengelolaan keanekaragaman hayati


berkelanjutan, termasuk pembagian keuntungan yang adil. Dalam pembangunan terjadi
konversi lahan pertanian untuk keperluan bukan pertanian.

Hal ini pasti akan mempengaruhi keanekaragaman hayatinya karena flora dan
fauna akan kehilangan tempat tumbuh. Maka dari itu penting untuk melakukan konservasi
keanekaragaman hayati sehingga tidak terjadi kepunahan flora maupun fauna. Dalam
rencana aksi untuk melestarikan keanekaragaman hayati, ada tiga prinsip yang telah
dicanangkan dunia yaitu dengan pendekatan : Save, Study, dan Use. Pendekatan ini lebih
lebih bersifat holistik, yaitu pendekatan menyeluruh yang diharapkan dapat melindungi
spesies dengan tidak meninggalkan aspek manfaat (Grumbine dalam Jatna Supriatna, 2008).
Save atau perlindungan dapat dijabarkan sebagai usaha pengelolaan, legislasi, perjanjian
internasional, dan sebagainya. Dalam Pemanfaatan (use), sering direncanakan untuk
program-program manfaat bagi masyarakat, berbagai komoditi perdagangan, turisme dan
jasa. Penelitian dalam keanekaragaman hayati sangat penting, karena penggunaan maupun
pelestariannya tidak dapat dilakukan tanpa penelitian ilmiah. Sedangkan study atau
penelitian dapat meliputi penelitian dasar seperti penelitian keragaman spesies, habitat,
komunitas, ekosistem dan juga perilaku serta ekologi dari spesies. Maka dari itu penelitian
terus dikembangkan agar pemanfaatan sumberdaya hayati dapat lestari dan berlanjut sesuai
dengan cita-cita manusia agar dapat hidup berdampingan dan selaras dengan alam.

Upaya konservasi biodiversitas Gastrooda

Gastropoda merupakan kelas yang saat ini sedang berkembang dengan pesat, karena
kemampuannya untuk dapat beradaptasi dan dapat hidup di lingkungan yang sangat
beragam. Gastropoda dapat hidup pada tempat-tempat yang beragam mulai dari laut, rawa-
rawa, sungai, danau, hutan dan lain-lain. Mereka dapat hidup dalam air tawar, air payau,
air laut, dan juga di daratan (Kusrini, 2000). Upaya dalam konservasi keanekaragaman
hayati gastropoda dapat dilakukan secara aktif melalui konservasi habitat yang terdapat
kelimpahan makrobentos dari gastropoda, yakni hutan mangrove dan kawasan padang
lamun. Sehingga konservasi biodiversitas gastropoda dapat dilakukan melalui konservasi
hutan mangrove dan kawasan padang lamun.

1. Konservasi Hutan Mangrof


Mangrove di Indonesia dikenal mempunyai keragaman spesies yang tinggi,
seluruhnya tercatat sebanyak 89 spesies tumbuhan, 35 spesies di antaranya berupa pohon
dan selebihnya berupa terna (5 spesies), perdu (9 spesies), liana (9 spesies), epifit (29
spesies), dan parasit (2 spesies). Beberapa contoh mangrove yang berupa pohon antara lain
bakau (Rhizophora), api-api (Avicenia), pedada (Sonneratia), tanjang (Bruguiera), nyirih
(Xylocarpus), tengar (Ceriops), buta-buta (Excoecaria) (Nontji, 2007).
Kawasan pesisir pantai menjadi bagian yang sangat penting dalam kegiatan pembangunan
dan perekonomian. Seperti yang diperkirakan oleh Dahuri et al., (2001), dalam Harahab
(2010) bahwa dengan adanya kecenderungan sumberdaya daratan yang langka, target dasar
penbangunan ekonomi Indonesia akan bertumpu pada zona pantai dan sumber-sumbernya.
Sebagai salah satu ekosistem pesisir, hutan mangrove merupakan ekosistem yang unik dan
rawan. Ekosistem ini mempunyai fungsi ekologis dan ekonomis.
Fungsi ekologis hutan mangrove antara lain sebagai pelindung garis pantai,
mencegah intrusi air laut, tempat hidup (habitat), tempat mencari makan (feeding ground),
tempat pengasuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning
ground) bagi aneka biota perairan, serta sebagai pengatur iklim mikro. Fungsi ekonomi
hutan mangrove antara lain sebagai penghasil keperluan rumah tangga, penghasil
keperluan industri, dan penghasil bibit. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, manusia
biasanya mengalihfungsikan hutan mangrove menjadi tambak, pemukiman, industri, dan
sebagainya (Rochana, 2010).
Mangrove dapat berfungsi sebagai biofilter serta agen pengikat dan perangkap
polusi. Selain itu, mangrove juga merupakan tempat hidup berbagai spesies gastropoda,
ikan, kepiting pemakan detritus dan bivalvia serta ikan pemakan plankton. Mangrove
mempunyai peran penting bagi masyarakat dan kehidupan di daerah sekitar pantai. Daun
dan ranting pohon mangrove yang gugur didekomposisi oleh mikroorganisme. Manfaat
lain dari pohon mangrove digunakan sebagai bahan konstruksi bangunan, kayu besar, obat-
obatan, dan sebagainya.
Akar dan batang pohon serta ranting-ranting mangrove sebagai tempat
berlindungnya benur dan nener yang pada saat air pasang oleh petani tambak didorong
masuk ke dalam tambak, beberapa nelayan juga menangkapnya sebelum masuk tambak.
Masyarakat juga memanfaatkan lahan di dalam hutan mangrove sebagai tempat jebakan
dengan membuat kubangan di tanah yang berfungsi sebagai penjebak kepiting
(Berry,1971).

Interaksi antara Gastropoda dengan Hutan Mangrove


Gastropoda merupakan organisme yang banyak terdapat di daerah intertidal, salah
satunya adalah terdapat di daerah mangrove intertidal umumnya menyangkut penghidaran
tata penurangan tekanan yang timbul karena keadaan yang terbuka setiap hari pada
lingkungan daratan sedangkan dari lingkungan laut seperti perubahan salinitas, dan arus.
Gastropoda yang termasuk golongan pemanjat pohon, bergerak aktif mengikuti pasang
surut dimana pada saat pasang mereka bergerak ke atas sampai ketinggian sedikit ke atas
air pasang dan bergerak turun ke bagian bawah pohon atau merayap di dasar hutan ketika
air surut (Berry dalam Budiman, 1986).
Ekosistem hutan mangrove dapat menyediakan habitat yang baik bagi
kolonisasi berbagai fauna yaitu dengan adanya naungan, substrat dasar yang lembab,
pohon sebagai tempat menempel dan yang terpenting yaitu Densitas detritus organik
sebagai makanan (Wahono,1991). Selanjutnya mereka membagi fauna hutan
mangrove berdasarkan habitatnya yaitu: (1) Fauna yang hidup di atas permukaan tanah
(surface fauna/epifauna), (2) Fauna yang hidup meliang di dalam tanah ( infauna) dan (3)
Fauna yang hidup menempel di pohon mangrove. Kehadiran Gastropoda sangat ditentukan
oleh adanya vegetasi mangrove yang ada di daerah pesisir.
Syamsurisal (2011)menambahkan bahwa gastropoda spesies Littoraria Scabra
bergerak aktif naik turun di pohon mangrove. Spesies ini di alam tergantung pada kondisi
pasang surut. Pada saat pasang tertinggi (spring tide = pasang purnama). Littoraria scabra
dewasa tidak ditemukan tebenam dalam air, hanya sejumlah juvenile yang terdapat di daun
yang terendam manakalah permukaan air naik tinggi. Mereka memanjat dan berdiam di
batas atas permukaan air, yang sering terjangkau oleh percikan ombak. Ketika turun,
mereka pun bergerak turun, lain halnya dengan spesies Littoraria pallescens yang
cenderung pasif, pada saat pasang tertinggi umumnnya dijumpai terbenam dalam air atau
terdapat dibawah permukan air.
2. Konservasi Padang Lamun
Gastropoda adalah salah satu kelas dari moluska yang diketahui berasosiasi dengan baik
dengan ekosistem lamun. Komunitas gastropoda merupakan komponen yang penting dalam rantai
makanan di padang lamun, dimana gastropoda merupakan hewan dasar pemakan detritus (detritus
feeder) dan serasah dari daun lamun yang jatuh dan mensirkulasi zat-zat yang tersuspensi di dalam
air guna mendapatkan makanan.
Lamun merupakan satu-satunya tumbuhan berbunga ( Angiospermae) yang
memiliki rhizoma, daun dan akar sejati yang hidup terendam di laut. Lamun umumnya
membentuk padang lamun yang luas di dasar laut, yang ditembusi oleh cahaya matahari.
Lamun hidup di perairan dangkal dan jernih, dan sirkulasi air yang baik. Air sirkulasi
diperlukan untuk mengantarkan zat-zat hara dan oksigen, serta mengangkut hasil
metabolisme lamun keluar daerah padang lamun (Bengen 1999). Berbeda dengan
tumbuhan laut lainnya lamun berbuah, berbunga dan menghasilkan biji (Romimohtarto dan
Juwana 2001). Keunikan tumbuhan lamun dari tumbuhan laut lainnya adalah adanya
perakaran yang ekstensif dan sistem rhizome karena tipe perakaran ini menyebabkan daun-
daun tumbuhan lamun menjadi lebat dan ini besar manfaatnya dalam menopang
produktivitas ekosistem padang lamun (Supriharyono 2000). Padang lamun merupakan
ekosistem yang tinggi produktivitas organik, dengan biota laut yang sangat beragam,
seperti crustacea, mollusca, echinodermata dan cacing (polychaeta). Fillum molusca terdiri
dari tujuh kelas, di antaranya gastropoda (Sugiri 1989).
Pada ekosistem padang lamun kelimpahan gastropoda sangat penting pengaruhnya
dalam struktur rantai makanan. Hewan ini bersifat menetap pada dasar perairan dan
sebagian membenamkan diri dalam pasir berlumpur. Oleh karena itu, adanya perubahan
lingkungan akibat eksplorasi yang berlebihan dapat mengganggu keseimbangan ekosistem,
dimana hewan berperan sebagai makanan bagi organisme lain. Kelimpahan organisme ini
sangat ditentukan oleh faktor-faktor lingkungan. Dalam hidupnya hewan ini membutuhkan
suatu lingkungan pendukung yang sesuai dengan sifat biologinya.

Interaksi Gastropoda pada Padang Lamun


Moluska adalah salah satu kelompok makroinvertebrata yang paling banyak
diketahui berasosiasi dengan lamun di Indonesia, dan mungkin yang paling banyak
diksploitasi. Telah didemonstrasikan bahwa 20% sampai 60% biomasa epifit pada padang
lamun dimanfaatkan oleh komunitas epifauna yang didominasi oleh gastropoda
Asosiasi gastropoda berbanding lurus dengan kepadatan lamun dan tidak tergantung
dengan jumlah spesies lamun. Artinya, semakin tinggi kepadatan lamun yang terdapat pada
suatu ekosistem maka akan semakin tinggi juga spesies gastropodanya.

Departemen Kehutanan RI, 1990. Konservasi Sumberdaya Alam, Perlindungan, Pengawetan,


Pelestarian dan Pemanfaatan. Makalah disampaikan dalam Seminar dan Lokakarya Pendidikan
Konservasi Sumberdaya Alam dan Lingkungan, 1-3 Juli 1990 Di IKIP Yogyakarta dan
WANAGAMA
Jatna Supriatna, 2008. Melestarikan Alam Indonesia. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta

Mochamad Indrawan, Richard B. Primack dan Jatna Supriatna., 2007. Biologi Konvservasi.
Jakarta : Yayasan Obor Indonmesi
Supriharyono. 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Wilayah Pesisir Tropis.
Jakarta: Gramedia.
Sugiri N. 1989. Zoologi Avertebrata II. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Bengen DG. 1999. Ekosistem Sumberdaya Alam Pesisir. Sinopsis Pusat Kajian Sumberdaya
Pesisir dan Kelautan. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Nontji. A. 2007. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan : Jakarta.
Berry, J. 1971. The Natural History of West Malaysian Mangroves Fauna. Malay Natio Journal.
Budiman, A, & S. A. P. Dwiono. 1986. Ekologi moluska hutan mangrove di Jailolo, Halmahera:
Suatu studi perbandingan. Dalam: Surianegara, I, (ed.). 1987. Prosiding Seminar III Ekosistem
Mangrove. MAAB-LIPI, Jakarta.
Syamsurisal, 2011. Studi Beberapa Indeksi Komunitas Makrozoobentos di Hutan Mangrove
Kelurahan Coppo Kabupaten Barru. Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan Jurusan
Perikanan Universitas Hassanudin, Makasar. Skripsi (diakses tanggal 27 januari 2012).
Wahono, M. 1991. Aktivitas harian dua jenis Keong Potamididae di Hutan Mangrove Teluk
Hutun, Lampung Selatan. Tesis. Program Pasca Sarjana. IPB. Bogor.
Kusrini, D. M. 2000. Komposisi dan Struktur Komunitas Keong Pottamididae di Hutan Mangrove
Teluk Harun Kecamatan Padang Cermin, Naputen Lampung Selatan. Skripsi. Departemen
Sumberdaya Perairan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Anda mungkin juga menyukai