Anda di halaman 1dari 37

5

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengelolaan Pasien


Pengelolaan pasien yang terluka parah memerlukan penilaian yang cepat
dan pengelolaan yang tepat dan dikenal sebagai Initial Assessment (penilaian
awal), meliputi (American College of Surgeons, 2008):
1. Persiapan
2. Triase
3. Primary Survey
4. Resusitasi
5. Transportasi jika ada kemungkinan untuk merujuk
6. Secondary Survey
7. Pemantauan dan reevaluasi berkesinambungan

2.2 Persiapan
Persiapan pasien sebaiknya berlangsung dalam 2 fase yang berbeda, yaitu :
1. Fase Pra-rumah Sakit (Pre-hospital)
Umumnya terdapat 3 kategori personel pada
kegawatdaruratan, yaitu: penerima pertama, Basic Emergency
Medical Technicians (EMT-B), dan paramedis (EMT-P). Penerima
pertama adalah orang yang sudah terlatih untuk memberikan
pertolongan pertama seperti, pembalutan, pembidaian, kontrol
perdarahan, dan resusitasi jantung paru. Umumnya, mereka adalah
polisi, pemadam kebakaran, dan relawan lain yang tiba pertama
kali di tempat kejadian. Penerima pertama umumnya tidak
melakukan transportasi pada pasien. EMT-B adalah orang yang
terlatih untuk melakukan bantuan hidup dasar, meliputi penilaian
tanda dan gejala, membebaskan tubuh pasien yang mungkin
terperangkap dalam kendaraan, imobilisasi, dan memberikan terapi
non-invasif seperti pemberian oksigen. EMT-T adalah orang yang

Universitas Sumatera Utara


6

terlatih untuk melakukan bantuan hidup lanjutan, termasuk


pemasangan intubasi endotrakeal, interpretasi ritme jantung,
defibrilasi, serta pemberian obat parenteral (Biddinger dan
Thomas, 2005).
Koordinasi yang baik antara dokter di rumah sakit dengan
petugas lapangan akan menguntungkan pasien. Sebaiknya, rumah
sakit sudah diberitahukan sebelum pasien mulai diangkut dari
tempat kejadian. Pemberitahuan ini memungkinkan rumah sakit
mempersiapkan timnya sehingga sudah siap saat pasien tiba di
rumah sakit. Pada fase pra-rumah sakit, titik berat diberikan pada
penjagaan airway, kontrol perdarahan dan syok, imobilisasi pasien,
dan segera ke rumah sakit terdekat yang cocok (American College
of Surgeons, 2008).

2. Fase Rumah Sakit


Harus dilakukan dengan perencanaan sebelum pasien tiba.
Sebaiknya, ada ruangan/daerah khusus untuk pasien trauma.
Perlengkapan airway (laringoskop, endotracheal tube, dsb.) sudah
dipersiapkan, dicoba, dan diletakkan di tempat yang mudah
terjangkau. Cairan kristaloid (misalnya, Ringer Lactate) yang
sudah dihangatkan disiapkan dan diletakkan pada tempat yang
mudah dicapai. Perlengkapan monitoring yang diperlukan sudah
dipersiapkan. Suatu sistem pemanggilan tenaga medik tambahan
sudah harus ada, demikian juga tenaga laboratorium dan radiologi.
Semua tenaga medis yang berhubungan dengan pasien harus
dihindarkan dari kemungkinan penularan penyakit menular,
terutama hepatitis dan Acquired Immuno-deficiency Syndrome
(AIDS). Center for Disease Control (CDC) dan pusat kesehatan
lain sangat menganjurkan pemakaian alat-alat proteksi seperti
masker (face mask), proteksi mata (kacamata), baju kedap air, dan

Universitas Sumatera Utara


7

sarung tangan kedap air bila ada kontak dengan cairan tubuh pasien
(American College of Surgeons, 2008).

2.3 Triase
Triase adalah cara pemilahan pasien berdasarkan kebutuhan terapi dan
sumber daya yang tersedia. Terapi didasarkan pada prioritas ABC (Airway dengan
kontrol vertebra servikal, Breathing, dan Circulation dengan kontrol perdarahan)
Menurut Centers for Disease Control and Prevention (2011) berikut
merupakan langkah-langkah triase:

Universitas Sumatera Utara


8

Gambar 2.1 Panduan Tindakan Triase pada Pasien Trauma


Sumber : Centers for Disease Control and Prevention (2011).Guidelines for field
triageof injured patients: Recommendations of the National Expert Panel on Field
Triage

Universitas Sumatera Utara


9

Gambar 2.2 Label Triase Kegawatdaruratan


Sumber : Biddinger dan Thomas (2005). An Introduction to Clinical Emergency
Medicine

Universitas Sumatera Utara


10

Tabel 2.1 Interpretasi Label Triase Kegawatdaruratan


Warna Interpretasi
Hitam Zero priority. Pasien meninggal atau
pasien yang masih hidup tetapi dengan
keadaan yang fatal dan perlukaan yang
tidak bisa diresusitasi.

Merah First priority.Pasien dengan trauma


berat yang memerlukan pertolongan
dan transportasi cepat (Contoh: adanya
gagal napas, trauma torakoabdominal,
trauma kepala berat, trauma
maksilofasial berat, adanya syok atau
perdarahan masif, dan luka bakar
berat).

Kuning Second priority. Pasien dengan


perlukaan yang digolongkan sebagai
keadaan yang tidak mengancam
kehidupan (Contoh: trauma abdominal
tanpa syok, trauma toraks tanpa
gangguan pernapasan, fraktur mayor
tanpa syok, trauma kepala, trauma
servikal, dan luka bakar minor).

Hijau Pasien dengan perlukaan ringan yang


tidak memerlukan stabilisasi cepat
(Contoh: Trauma jaringan lunak,
fraktur ekstremitas, dislokasi
ekstremitas, trauma maksilofasial tanpa
gangguan jalan napas, dan
kegawatdaruratan psikiatri).
Sumber : Biddinger dan Thomas (2005). An Introduction to Clinical Emergency
Medicine

2.4 Cara transportasi


Prioritas pertama ketika penolong datang untuk pertama kali ialah
memastikan lokasi kejadian aman dari faktor lain yang berpotensi mempersulit
proses pertolongan, seperti kendaraan yang berlalu lalang, benda-benda
berbahaya, atau kabel listrik. Penolong harus memposisikan diri berada di jarak
yang aman. Sebelum tiba di rumah sakit, penolong dan korban harus

Universitas Sumatera Utara


11

didekontaminasi untuk mencegah penularan infeksi ke pasien atau tenaga medis


lainnya (Biddinger dan Thomas, 2005). Dalam memilih cara transportasi, prinsip
Do no further harm harus menjadi pertimbangan utama. Transportasi melalui
udara, darat, dan air dapat dilakukan dengan aman apabila memperhitungkan
prinsip tersebut (American College of Surgeons, 2008).
Ekstrikasi adalah teknik pemindahan pasien secara aman dari tempat
kejadian ke alat transportasi penyelamatan. Ini mungkin menjadi sulit dilakukan
pada ruangan yang sempit, pasien obesitas, dan pasien trauma. Pemindahan
benda-benda yang mungkin masih menjerat pasien juga dilakukan pada proses
ekstrikasi. Keterlambatan pada proses ekstrikasi lebih dari 20 menit dapat
berpotensi menimbulkan trauma yang lebih berat (Biddinger dan Thomas, 2005).
Perjalanan antar rumah sakit dapat berbahaya, kecuali apabila terhadap pasien
telah dilakukan stabilisasi,tenaga yang cukup terlatih, dan telah diperhitungkan
kemungkinan yang terjadi selama transportasi (American College of Surgeons,
2008).
Selain itu, setiap penolong diharapkan terlatih untuk melakukan teknik
imobilisasi spinal. Kolar servikal keras dengan ukuran yang tepat harus dipasang
pada pasien dengan potensi cedera spinalis. Selain itu, pasien harus dilakukan
stabilisasi saat transportasi dengan menggunakan papan yang keras yang
dilengkapi dengan tali pengaman (Biddinger dan Thomas, 2005).

Gambar 2.3 Teknik Imobilisasi Spinal


Sumber : Mahadevan (2005). An Introduction to Clinical Emergency Medicine

Universitas Sumatera Utara


12

2.4.1 Standarisasi Kendaraan Transportasi Pasien


Menurut Kepmenkes No. 143/Menkes-Kesos/SK/II/2001 tentang
Standarisasi Kendaraan Pelayanan Medik, jenis kendaraan pelayanan medik
meliputi (Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial Republik Indonesia,
2001):

1. Ambulans Transportasi
Ambulans ini dipakai untuk penderita yang tidak memerlukan
perawatan khusus/tindakan darurat untuk menyelamatkan nyawa dan
diperkirakan tidak akan timbul kegawatan selama dalam perjalanan.
Berikut ini merupakan persyaratan persyaratan teknis yang harus
terpenuhi:
a. Kendaraan roda empat atau lebih dengan peredam getaran yang lunak.
b. Warna kendaraan putih.
c. Sirene 1(satu) atau 2(dua) nada.
d. Lampu rotator berwarna biru terletak di tengah atas kendaraan.
e. Antara dinding dan lantai tidak bersudut dan lantainya landai.
f. Dilengkapi dengan sabuk pengaman untuk penderita dan petugas.
g. Buku petunjuk pemeliharaan alat alat berbahasa Indonesia.
h. Radio komunikasi/telepon genggam di ruangan pengemudi.
i. Ruangan penderita mempunyai akses langsung dengan tempat
pengemudi.
j. Tempat duduk bagi petugas dan keluarga di ruangan penderita.
k. Ruangan penderita cukup luas untuk sekurang-kurangnya 1(satu) tandu.
l. Gantungan infus terletak sekurang-kurangnya 20 cm di atas tempat
penderita.
m. Tempat sambungan listrik khusus untuk 12 Volt DC di ruang penderita.
n. Lampu ruangan secukupnya dan bukan neon.
o. Lemari untuk obat dan peralatan.
p. Tempat kereta dorong penderita.
q. Dipersiapkan untuk dapat membawa inkubator transport.

Universitas Sumatera Utara


13

r. Persiapan alat medis berupa tabung oksigen dengan peralatannya, alat


penghisap 12 Volt DC, serta peralatan medis pertolongan pertama pada
kegawatdaruratan lain seperti pengukur tekanan darah, obat obatan
sederhana, dan cairan infus secukupnya.
s. Persiapan petugas yang terdiri dari 1(satu) orang pengemudi dengan
kemampuan Bantuan Hidup Dasar (BHD) dan komunikasi, serta 1(satu)
orang perawat dengan kemampuan pertolongan pertama pada
kegawatdaruratan.

Berikut ini merupakan tata tertib yang perlu dipatuhi selama


transportasi menggunakan ambulans ini:

A. Sewaktu menuju tempat penderita boleh menggunakan sirene dan lampu


rotator.
B. Pada saat mengangkut penderita hanya boleh menggunakan lampu
rotator.
C. Semua peraturan lalu lintas harus dipatuhi.
D. Kecepatan kendaraan maksimum adalah 40 km/jam di jalan biasa dan 80
km/jam di jalan bebas hambatan.
E. Petugas membuat /mengisi laporan kendaraan penderita selama 6(enam)
jam transportasi, yang disebut dengan lembar catatan penderita yang
mencakup identitas, waktu, dan keadaan penderita.
F. Petugas memakai seragam dengan identitas yang jelas.

2. Ambulans Gawat Darurat


Ambulans ini digunakan dengan tujuan pertolongan gawat darurat
pra-rumah sakit, pengangkutan penderita gawat darurat yang sudah stabil
dari lokasi kejadian ke tempat tindakan definitif/rumah sakit, serta
sebagai kendaraan transportasi rujukan.Berikut ini merupakan
persyaratan persyaratan teknis yang harus terpenuhi:
a. Kendaraan roda empat atau lebih dengan peredam getaran lunak.
b. Warna kendaraan kuning muda.

Universitas Sumatera Utara


14

c. Sirene 1(satu) atau 2(dua) nada


d. Lampu rotator berwarna biru terletak di tengah atas kendaraan.
e. Tanda pengenal dengan mencantumkan 118 dan tanda gawat
darurat/emergensi di bagian depan, belakang, samping kanan dan kiri
kendaraan, dilengkapi dengan AC, alat pengatur di ruangan pengemudi.
f. Pintu belakang dapat dibuka ke arah atas.
g. Buku petunjuk pemeliharaan alat alat berbahasa Indonesia.
h. Radio komunikasi/telepon genggam di ruangan pengemudi.
i. Dilengkapi dengan sabuk pengaman untuk penderita dan petugas.
j. Ruangan penderita cukup luas untuk sekurang-kurangnya 2(dua) tandu.
Tandu yang dimaksud yang dapat dilipat.
k. Tempat duduk yang dapat diatur/dilipat bagi petugas di ruangan
penderita(Captains Seat).
l. Ruangan penderita cukup tinggi sehingga infus dapat menetes dengan
baik.
m. Gantungan infus terletak sekurang-kurangnya 90 cm di atas tempat
penderita.
n. Lampu ruangan secukupnya dan bukan lampu neon. Lampu yang
dimaksud dapat bergerak, dapat dilipat dan spotlight untuk menerangi
penderita.
o. Lemari untuk obat dan peralatan.
p. Air bersih 20 liter dan penampungan air limbah (otomatis).
q. Lemari es/freezer.
r. Tempat sambungan listrik khusus untuk 12 Volt DC di ruangan
penderita.
s. Tempat kereta dorong pasien 2(dua) buah.
t. Meja yang dapat dilipat.
u. Dipersiapkan untuk dapat membawa inkubator transport.
v. Peta setempat
w. Perlengkapan medis berupa tabung oksigen dengan peralatan untuk
2(dua) orang, peralatan medis pertolongan pertama kegawatdaruratan,

Universitas Sumatera Utara


15

peralatan resusitasi manual/otomatis lengkap bagi orang dewasa,


anak/bayi, alat penghisap manual dan listrik 12 Volt DC, alat
monitor/diagnostik untuk anak dan dewasa, alat monitor jantung dan
pernafasan, alat defibrilator untuk anak dan sewasa, set bedah minor,
obat obatan gawat darurat dan cairan infus secukupnya, etonox,
kantung mayat, dan sarung tangan disposable.
x. Persiapan petugas yang terdiri dari 1(satu) orang pengemudi dengan
kemampuan pertolongan pertama pada kegawatdaruratan dan
komunikasi, 1(satu) orang perawat, dan 1(satu) orang dokter masing -
masing dengan kemampuan pertolongan pertama pada kegawatdaruratan.

Secara umum, tata tertib yang perlu dipatuhi selama transportasi


menggunakan ambulans jenis ini sama dengan tata tertib penggunaan
ambulans transportasi.

3. Ambulans Rumah Sakit Lapangan


Dalam keadaan sehari hari, ambulans ini dipakai untuk
melaksanakan fungsi ambulans gawat darurat. Bila diperlukan, dapat
digabungkan dengan ambulans ambulans sejenis dan ambulans
pelayanan medik bergerak membentuk sebuah rumah sakit lapangan.
Berikut ini merupakan persyaratan persyaratan teknis yang harus
terpenuhi:
a. Kendaraan roda empat atau lebih dengan peredam getaran lunak.
b. Warna kendaraan kuning muda.
c. Sirene 1(satu) atau 2(dua) nada.
d. Lampu rotator berwarna biru terletak di tengah atas kendaraan.
e. Tanda pengenal dengan mencantumkan 118 dan tanda gawat
darurat/emergensi di bagian depan, belakang, samping kanan dan kiri
kendaraan, dilengkapi dengan AC, alat pengatur di ruangan pengemudi.
f. Pintu belakang dapat dibuka ke arah atas.
g. Buku petunjuk pemeliharaan alat alat berbahasa Indonesia.
h. Radio komunikasi/telepon genggam di ruangan pengemudi.

Universitas Sumatera Utara


16

i. Dilengkapi dengan sabuk pengaman untuk penderita dan petugas.


j. Ruangan penderita cukup luas untuk sekurang-kurangnya 2(dua) tandu.
Tandu yang dimaksud yang dapat dilipat.
k. Tempat duduk yang dapat diatur/dilipat bagi petugas di ruangan
penderita(Captains Seat).
l. Ruangan penderita cukup tinggi sehingga infus dapat menetes dengan
baik.
m. Gantungan infus terletak sekurang-kurangnya 90 cm di atas tempat
penderita.
n. Lampu ruangan secukupnya dan bukan lampu neon. Lampu yang
dimaksud dapat bergerak, dapat dilipat dan spotlight untuk menerangi
penderita.
o. Lemari untuk obat dan peralatan.
p. Air bersih 20 liter dan penampungan air limbah (otomatis).
q. Lemari es/freezer.
r. Tempat sambungan listrik khusus untuk 12 Volt DC di ruangan
penderita.
s. Tempat kereta dorong pasien 2(dua) buah.
t. Meja yang dapat dilipat.
u. Dipersiapkan untuk dapat membawa inkubator transport.
v. Tenda lapangan lengkap.
w. Perlengkapan medis berupa tabung oksigen dengan peralatan untuk
2(dua) orang, peralatan medis pertolongan pertama kegawatdaruratan,
peralatan resusitasi manual/otomatis lengkap bagi orang dewasa,
anak/bayi, alat penghisap manual dan listrik 12 Volt DC, alat
monitor/diagnostik untuk anak dan dewasa, alat monitor jantung (EKG)
dan pernafasan, set bedah minor, obat obatan gawat darurat dan cairan
infus secukupnya, kantong mayat, dan sarung tangan disposable.
x. Persiapan petugas yang terdiri dari 1(satu) orang pengemudi dengan
kemampuan pertolongan pertama pada kegawatdaruratan dan
komunikasi, 1(satu) orang perawat, dan 1(satu) orang dokter gawat

Universitas Sumatera Utara


17

darurat (tergantung keadaan) masing - masing dengan kemampuan


pertolongan pertama pada kegawatdaruratan.
Secara umum, tata tertib yang perlu dipatuhi selama transportasi
menggunakan ambulans jenis ini sama dengan tata tertib penggunaan
ambulans transportasi.

4. Ambulans Pelayanan Medik Bergerak


Ambulans ini dipergunakan untuk pelaksanaan upaya pelayanan
medik di lapangan dan dapat dipergunakan sebagai ambulans
transportasi. Berikut ini merupakan persyaratan persyaratan teknis yang
harus terpenuhi:
a. Kendaraan roda empat atau lebih dengan peredam getaran yang lunak,
berbentuk kontainer yang berfungsi sebagai poliklinik.
b. Warna kendaraan kuning muda.
c. Sirene 1(satu) atau 2(dua) nada.
d. Lampu rotator berwarna biru terletak di tengah atas kendaraan.
e. Ruangan kerja yang cukup luas untuk tujuan penggunaannya dan cukup
tinggi sehingga petugas dapat berdiri tegak untuk bekerja dan cairan
infus dapat menetes dengan baik.
f. Dilengkapi dengan AC, alat pengatur di ruangan pengemudi.
g. Dilengkapi dengan sabuk pengaman untuk penderita dan petugas.
h. Radio komunikasi/telepon genggam di ruangan pengemudi.
i. Tempat duduk sesuai keperluan di ruangan kerja.
j. Tempat tidur/tandu yang dilipat bagi sekurang kurangnya 1(satu)
penderita.
k. Lampu ruangan secukupnya dan 2(dua) buah lampu sorot bergerak dan
dapat dilipat.
l. Tempat sambungan listrik khusus untuk 12 Volt DC.
m. Generator 220 Volt DC dengan peralatannya.
n. Meja kerja yang dapat dilipat .
o. Tempat kereta dorong penderita.

Universitas Sumatera Utara


18

p. Peta lokasi.
q. Persiapan alat medis berupa tabung oksigen dengan peralatannya,
peralatan resusitasi lengkap untuk dewasa dan anak, peralatan medis
pertolongan pertama kegawatdaruratan dan cairan infus secukupnya,
serta peralatan upaya pelayanan medis sesuai tujuan penggunaan
kendaraan.
r. Persiapan petugas yang terdiri dari 1(satu) orang pengemudi dengan
kemampuan pertolongan pertama pada kegawatdaruratan dan
komunikasi, 1(satu) orang perawat (jumlah sesuai kebutuhan),petugas
paramedis lain sesuai kebutuhan dan 1(satu) orang dokter masing -
masing dengan kemampuan pertolongan pertama pada kegawatdaruratan.
Secara umum, tata tertib yang perlu dipatuhi selama transportasi
menggunakan ambulans jenis ini sama dengan tata tertib penggunaan
ambulans transportasi.

5. Ambulans Gawat Darurat Sepeda Motor


Ambulans ini digunakan untuk pertolongan gawat darurat pra-
rumah sakit. Berikut ini merupakan persyaratan persyaratan teknis yang
harus terpenuhi:
a. Kendaraan roda dua.
b. Warna kendaraan kuning muda.
c. Tempat duduk untuk 2(dua) orang.
d. Sirene 1(satu) atau 2(dua) nada.
e. Radio komunikasi/telepon genggam.
f. Tanda pengenal (spot light) dengan mencantumkan 118 dan tanda gawat
darurat/emergensi di bagian depan dan belakang.
g. Silinder > 150 cc.
h. Helm, jaket dengan identitas terbuat dari bahan yang memendarkan
cahaya (scotch light).
i. Lampu rotator berwarna biru.

Universitas Sumatera Utara


19

j. Persiapan alat medis berupa tabung oksigen dan regulator, EKG monitor
dan defibrilator, kotak darurat/emergensi, alat alat pertolongan luka.
k. Persiapan petugas yang terdiri dari 2(dua) orang perawat/paramedis
dengan kemampuan pertolongan pertama kegawatdaruratan.

Berikut ini merupakan tata tertib yang perlu dipatuhi selama


transportasi menggunakan ambulans ini:

a. Petugas memakai seragam dengan identitas yang jelas.

b. Lembar catatan penderita.

6. Ambulans Pengangkut Jenazah


Ambulans ini digunakan untuk mengangkut jenazah. Berikut ini
merupakan persyaratan persyaratan teknis yang harus terpenuhi:
a. Kendaraan roda empat atau lebih.
b. Warna kendaraan hitam.
c. Sirene 1(satu) atau 2(dua) nada.
d. Lampu rotator berwarna biru terletak di tengah atas kendaraan.
e. Dilengkapi dengan sabuk pengaman untuk peti jenazah.
f. Dapat mengangkut 1(satu) peti jenazah.
g. Ruangan jenazah terpisah dengan ruangan pengemudi.
h. Tempat duduk lipat bagi sekurang kurangnya 4(empat) orang di
ruangan jenazah.
i. Tanda pengenal kereta jenazah dari bahan yang memantulkan cahaya.
j. Gantungan karangan bunga di depan, samping kiri dan kanan kendaraan.
k. Persiapan petugas yang terdiri dari 1(satu) orang pengemudi dan petugas
pengawal jenazah sesuai kebutuhan.

Berikut ini merupakan tata tertib yang perlu dipatuhi selama


transportasi menggunakan ambulans ini:

Universitas Sumatera Utara


20

a. Sirene hanya boleh digunakan pada waktu bergerak dalam iringan


jenazah (konvoi) dengan menaati peraturan lalu lintas tentang konvoi).
b. Bilamana tidak membentuk iringan, hanya boleh mempergunakan lampu
rotator.
c. Kecepatan maksimum di jalan biasa adalah 40 km/jam dan di jalan bebas
hambatan 80 km/jam.
d. Semua peraturan lalu lintas harus ditaati.

7. Ambulans Udara
Berikut ini merupakan persyaratan persyaratan teknis yang harus
terpenuhi:
a. Heli kecil :
a. Persiapan perlengkapan medis berupa 2 buah tandu, 1 buah vacum
matres, 1 buah keranjang tandu, defibrilator/EKG monitor, pulsemeter,
kotak respirator, alat dan obat resusitasim suction, pneumatic (inflattable)
splints, kotak obat obatan (syok luka bakar, keracunan, perdarahan, dan
lain-lain) termasuk infus dan alat infus, kotak pendingin untuk
korban/bag bag korban, dan kantong mayat.
b. Persiapan perlengkapan non medis berupa baterai, ear protector,
pemadam kebakaran, radio komunikasi, dan piroteknik.
c. Persiapan personil sebanyak 3(tiga) orang terdiri dari pilot yang
mendapat latihan lengkap, dokter umum yang memiliki kemampuan
pertolongan pertama kegawatdaruratan, serta pembantu medis
(paramedis, orang awam yang telah mendapatkan pelatihan untuk
pertolongan pertama kegawatdaruratan) dan mempunyai pengetahuan
tentang lapangan.
b. Heli besar : Jenisnya sama dengan di atas hanya jumlah ditambah.
a. Persiapan personil terdiri dari pilot dibantu co-pilot, winchman, radar
operator/navigator, dan pembantu medis (jumlah disesuaikan).
c. Pesawat Fixed Wing : tergantung jenis pesawat (minimal seperti heli
besar).

Universitas Sumatera Utara


21

Berikut ini merupakan persyaratan teknis untuk penggunaan


pesawat sebagai ambulans udara :

a. Noise level (bising di permukaan).


b. Vibrasi akibat gerakan rotor.
c. Temperatur dalam kabin.
d. Sebaiknya twin engine.
e. Perlu juga diperhatikan fasilitas kendaraan (lapangan terbang, helipad),
dan jarak yang harus ditempuh. Untuk helikopter bila berjarak maksimal
200 300 km. Lebih dari jarak itu harus menggunakan pesawat fixed
wing.

2.5 Primary Survey Care


Primary Survey terdiri dari A-B-C-D-E : airway, breathing, circulation,
disability, exposure, termasuk penilaian komplit tanda vital(Ma dan Cline, 2004).

2.5.1 Airway , menjaga jalan nafas dengan kontrol servikal (cervical spine
control)
1. Bentuk anatomis dari jalan napas
Pengetahuan yang benar tentang struktur anatomis jalan napas
diperlukan untuk tindakan yang akan dilakukan pada manajemen airway.
Saluran napas berawal dari rongga hidung(nasal cavity) dan rongga
mulut(oral cavities). Rongga hidung memanjang darinostrils sampai ke
rongga hidung posterior(choana). Nasofaring memanjang dari ujung rongga
hidung sampai ke soft palatum. Rongga mulut diisi oleh gigi di sisi anterior,
hard dan soft palatum di sisi superior, dan lidah di sisi inferior. Orofaring,
yang menghubungkan rongga mulut dengan nasofaring, memanjang dari soft
palatum sampai ke ujung epiglotis. Kemudian, orofaring akan berlanjut
sebagai laringofaring, yang memanjang dari epiglotis sampai ke batas atas
kartilago krikoid (setentang servikal 6 pada vertebra). Laring terletak di antara
laringofaring dan trakea. Epiglotis yang fleksibel, yang berasal dari tulang

Universitas Sumatera Utara


22

hyoid dan bagian dasar dari lidah, menutupi glotis selama proses menelan dan
melindungi jalan napas dari aspirasi. Laryngeal inlet adalah bagian yang
terbuka menuju laring yang diisi oleh epiglotis, aryepiglottis folds, dan
kartilago aritenoid. Glotis adalah vocal apparatus, termasuk true dan
falsevocal cord, yang berada di sisi inferior dan posterior dari epiglotis.
Bagian-bagian saluran napas tampak luar juga penting untuk diketahui.
Mentum adalah bagian anterior dari mandibula, dan merupakan ujung dari
dagu. Hyoid bone membentuk bagian dasar dari rongga mulut. Kartilago
tiroidea membentuk prominensia laring (Adams Apple) dan thyroid notch.
Kartilago krikoidea, berada di sisi inferior kartilago tiroid, dan membentuk
cincin sempurna yang menopang jalan napas bagian bawah. Membran
krikotiroidea berada di antara kartilago tiroidea dan kartilago krikoidea, serta
memiliki peranan penting dalam manajemen airway yang membutuhkan
tindakan operatif (Mahadevan dan Sovndal, 2005).

Gambar 2.4 Struktur anatomi jalan napas tampak lateral


Sumber : Mahadevan dan Sovndal (2005). An Introduction to Clinical Emergency
Medicine

Universitas Sumatera Utara


23

Gambar 2.5 Struktur anatomi jalan napas eksterna


Sumber : Mahadevan dan Sovndal (2005). An Introduction to Clinical Emergency
Medicine
Yang pertama harus dinilai adalah kelancaran jalan nafas. Ini meliputi
pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan benda asing,
fraktur tulang wajah, fraktur mandibula atau maksila, fraktur laring atau
trakea.Selain itu, beberapa tanda objektif sumbatan jalan napas dapat diketahui
dengan 3 cara, yaitu look, listen, dan feel. Penolong harus melihat (look) apakah
pasien mengalami agitasi yang memberi kesan hipoksia atau ada penurunan
kesadaran yang memberi kesan hiperkarbia atau adanya sianosis di sekitar mulut
dan kuku yang memberi kesan hipoksemia. Setelah itu, penolong harus
mendengar (listen) adanya suara-suara pernapasan abnormal seperti snoring
(mendengkur), gargling (berkumur), dan suara lain yang mungkin berhubungan
dengan sumbatan parsial di faring atau laring (American College of Surgeons,
2008). Stridor, suara napas dengan nada tinggi, dapat dikaitkan dengan adanya
obstruksi jalan napas parsial di bagian laring (inspiratory stridor) atau trakea
(expiratory stridor). Mengorok (snoring) biasanya diindikasikan pada obstruksi
jalan napas parsial di bagian faring, serta suara parau (hoarseness) lebih mengarah
pada gangguan proses di laring. Aphonia pada pasien sadar merupakan tanda
bahaya terjadinya kolaps sistem pernapasan (Mahadevan dan Sovndal, 2005).
Kemudian, penolong harus meraba (feel) lokasi trakea dan menentukan dengan

Universitas Sumatera Utara


24

cepat apakah posisi trakea berada di tengah (American College of Surgeons,


2008). Trauma servikal perlu dicurigai pada setiap kasus kecelakaan lalu lintas
karena hal tersebut merupakan penyebab tersering terjadinya trauma servikal
(Glaspy, 2004). Jalan napas harus dibuka menggunakan manuver head tilt-chin lift
dan manuver jaw thrust dipakai jika ada kecurigaan adanya trauma servikal
(Vissers, 2004). Tanda-tanda kecurigaan adanya trauma servikal, yaitu: adanya
trauma mayor, penurunan tingkat kesadaran, cedera tumpul di sekitar klavikula,
mekanisme trauma yang jelas membuktikan ada trauma di daerah spinal, terdapat
nyeri di leher, ada ekimosis atau deformitas, dan adanya defisit neurologis
(Manthey, 2005). Ketika pasien mengalami penurunan tingkat kesadaran, maka
lidah mungkin akan jatuh ke belakang dan menghambat hipofaring. Bentuk
sumbatan seperti itu dapat diperbaiki segera dengan manuver chin lift, yaitu
dengan meletakkan jari-jari salah satu tangan di bawah rahang. Kemudian, secara
hati-hati diangkat ke atas untuk membawa dagu ke arah depan. Ibu jari tangan
yang sama dengan tangan menahan bibir bawah untuk membuka mulut. Manuver
ini tidak boleh menyebabkan hiperekstensi leher. Sedangkan jaw thrust adalah
manuver yang dilakukan dengan memegang sudut rahang bawah (angulus
mandibula) kiri dan kanan lalu, mendorong rahang bawah ke depan. Selama
mengerjakan prosedur, harus dilakukan in-line immobilization (American College
of Surgeons, 2008).
Pada pasien yang dapat berbicara dapat dianggap jalan nafas bersih. Akan
tetapi, penilaian ulang terhadap airway harus tetap dilakukan (American College
of Surgeons, 2008).

Gambar 2.6 Head tilt dan chin lift Gambar 2.7 Jaw thrust tanpa head tilt
Sumber : Mahadevan dan Sovndal (2005). An Introduction to Clinical Emergency
Medicine

Universitas Sumatera Utara


25

Pasien dengan gangguan kesadaran atau dengan skor Glassgow Coma


Scale sama dengan atau kurang dari 8, biasanya memerlukan pemasangan airway
definitif. Adanya gerakan motorik yang tak bertujuan, mengindikasikan perlunya
airway definitif. Selama memeriksa dan memperbaiki airway, harus diperhatikan,
bahwa tidak boleh dilakukan ekstensi, fleksi, atau rotasi dari leher. Anggaplah ada
fraktur servikal pada setiap pasien multitrauma, terlebih bila ada gangguan
kesadaran atau perlukaan di atas klavikula (American College of Surgeons, 2008).

2.5.2 Breathing dan ventilasi


Airway yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Ventilasi juga
mungkin terganggu karena adanya gangguan pergerakan napas (ventilatory
mechanics) atau karena adanya depresi susunan saraf pusat. Jika pernapasan tidak
membaik dengan terbukanya airway, kemungkinan penyebab lain harus segera
dicari. Trauma langsung pada dada menyebabkan rasa sakit saat bernapas dan
menyebabkan pernapasan yang cepat, dangkal, dan hipoksemia. Cedera intra
kranial dapat mengganggu pola pernapasan. Pada trauma servikal dapat terjadi
pernapasan diagfragmatik sehingga kemampuan penyesuaian untuk kebutuhan
oksigen yang meningkat menjadi terganggu. Oleh karena itu, ada beberapa hal
yang perlu diperhatikan dalam penilaian breathing, yaitu :
1. Lihat (look) naik turunnya dada simetris dan pergerakan dada yang
adekuat.
2. Dengar (listen) adanya pergerakan udara pada kedua sisi dada.
Penurunan atau tidak terdengarnya suara napas pada satu atau kedua
hemitoraks merupakan tanda adanya cedera dada. Hati hati terhadap
laju pernapasan yang cepat karena menjadi kemungkinan adanya
respiratory distress.
Gunakan pulse oxymetry yang mampu memberikan informasi tentang saturasi
oksigen dan perfusi perifer pasien (American College of Surgeons, 2008). Alat ini
dapat mengukur saturasi oksigen di hemoglobin arterial melalui jari atau daun
telinga (Andrews dan Nolan, 2005).

Universitas Sumatera Utara


26

2.5.3 Circulation dengan kontrol perdarahan


1. Volume darah dan cardiac output
Perdarahan merupakan sebab utama kematian pascatrauma yang mungkin
dapat diatasi dengan terapi yang cepat dan tepat di rumah sakit. Suatu keadaan
hipotensi pada pasien trauma harus dianggap disebabkan oleh hipovolemia,
sampai terbukti sebaliknya. Oleh karena itu diperlukan penilaian yang cepat dari
status hemodinamik pasien (American College of Surgeons, 2008).
Ada 3 penemuan klinis yang dalam hitungan detik dapat memberikan
informasi mengenai keadaan hemodinamik ini, yakni (American College of
Surgeons, 2008):
1. Tingkat kesadaran
Bila volume darah menurun, perfusi otak dapat berkurang yang akan
berakibat pada penurunan kesadaran.
2. Warna kulit
Warna kulit dapat membantu diagnosis hipovolemia. Pasien trauma
yang warna kulitnya kemerahan, terutama pada wajah dan ekstremitas
,jarang yang dalam keadaan hipovolemia. Sebaliknya, warna pucat
keabu-abuan dan kulit ekstremitas yang pucat merupakan tanda
hipovolemia.
3. Nadi
Periksalah pada nadi yang besar seperti arteri femoralis atau arteri
karotis (kiri/kanan), untuk kekuatan nadi, kecepatan, dan irama. Nadi
yang tidak cepat, kuat, dan teratur biasanya merupakan tanda
normovolemia (bila pasien tidak minum obat beta-blocker). Nadi yang
cepat dan kecil merupakan tanda hipovolemia, walaupun dapat
disebabkan oleh keadaan lain. Nadi yang tidak teratur biasanya
merupakan tanda gangguan jantung. Tidak ditemukannya pulsasi arteri
besar merupakan pertanda diperlukannya resusitasi segera untuk
memperbaiki volume dan cardiac output.

Universitas Sumatera Utara


27

Tabel 2.2 Perkiraan Jumlah Darah yang Hilang pada Presentasi Klinis Inisial
Kelas I Kelas II Kelas III Kelas IV
Volume darah <750 750-1500 1500-2000 >2000
yang
hilang(ml)

Persentase <15% 15-30% 30-40% >40%


jumlah darah
yang
hilang(%)

Pulsasi nadi <100 100-120 120-140 >140

Tekanan darah Normal Normal Menurun Menurun

Tekanan Normal/ atau


Menurun Menurun Menurun
pulsasi meningkat

Frekuensi <20 20-30 30-40 >35


napas

Volume >30 20-30 5-15 Tidak ada


urin(ml/jam)

Status Sedikit Kebingungan Kebingungan Kebingungan


kesadaran kebingungan dalam dalam tingkat dalam tingkat
tingkat sedang berat sampai
ringan letargi
Terapi Kristaloid Kristaloid Kristaloid dan Kristaloid dan
pengganti darah darah
cairan
Sumber : American College of Surgeons (2012). Advanced Trauma Life Support
Student Course Manual 9th Edition

2. Perdarahan
Perdarahan eksternal harus dikenali dan dikelola pada primary
survey. Perdarahan eksternal dihentikan dengan penekanan langsung
pada luka.Sumber perdarahan internal (tidak terlihat) adalah
perdarahan dalam rongga toraks, abdomen, fraktur tulang panjang,
retroperitoneal, atau fraktur pelvis (American College of Surgeons,
2008).

Universitas Sumatera Utara


28

2.5.4 Disability (Neurologic Evaluation)


Menjelang akhir primary survey, dilakukan evaluasi terhadap keadaan
neurologis cepat. Yang dinilai di sini adalah tingkat kesadaran , ukuran dan reaksi
pupil , tanda-tanda lateralisasi , dan tingkat cedera spinal. GCS (Glasgow Coma
Scale) adalah sistem skoring sederhana dan dapat memperkirakan outcome pasien
terutama motorik terbaiknya. Bila pemeriksaan GCS belum dilakukan pada
primary survey, harus dilakukan pada secondary survey pada saat pemeriksaan
neurologis.Penurunan kesadaran dapat disebabkan penurunan oksigenasi dan/atau
penurunan perfusi ke otak, atau disebabkan trauma langsung pada otak.
Penurunan kesadaran menuntut dilakukannya reevaluasi terhadap keadaan
oksigenasi, ventilasi, dan perfusi (American College of Surgeons, 2008).

2.5.5 Exposure
Pakaian pasien harus dibuka secara keseluruhan dengan cara menggunting
pakaiannya untuk memeriksa dan mengevaluasi pasien. Setelah pakaian dibuka,
pasien harus diselimuti untuk mencegah hipotermia. Pasien harus dipakaikan
selimut hangat, suhu ruangan sudah cukup hangat, dan diberikan cairan intravena
yang telah dihangatkan (American College of Surgeons, 2008).

2.6 Resusitasi
Resusitasi yang agresif dan pengelolaan yang cepat pada yang mengancam
jiwa merupakan hal yang mutlak untuk mempertahankan hidup pasien.Yang perlu
dinilai adalah (American College of Surgeons, 2008):

2.6.1 Airway
Airway harus dijaga dengan baik pada semua pasien. Jaw thrust atau chin
lift dapat dipakai. Bila pasien tidak sadar atau tidak ada gag reflex dapat dipakai
oropharyngeal airway. Bila ada keraguan mengenai kemampuan menjaga airway,
lebih baik memasang airway definitif.

Universitas Sumatera Utara


29

2.6.1.1 Alat Bantu Napas Non-Definitif


Alat bantu napas tambahan dapat dipakai untuk membantu manajemen
jalan napas. Oropharyngeal airway (OPA) adalah alat yang berbentuk seperti
huruf S yang didesain untuk menahan lidah agar tidak jatuh ke dinding faring
posterior ketika akan diberikan kanal udara dan suctioning melalui mulut (Gambar
2.8). Alat ini efektif digunakan untuk pasien yang masih bernapas spontan tetapi,
dengan gag reflex yang lemah. Penggunaan OPA pada pasien dengan gag reflex
dapat menyebabkan laringospasme atau muntah. OPA terdiri dari berbagai macam
ukuran. Ukuran OPA yang tepat diperkirakan ukurannya dengan
menempatkannya dari ujung mulut sampai ujung distalnya mencapai sudut dari
rahang (Mahadevan dan Sovndal, 2005).
Nasopharyngeal airway (NPA) adalah alat yang berbentuk tabung seperti
terompet yang terbuat dari karet lembut atau plastik yang membantu melancarkan
jalan napas dari hidung ke faring (Gambar 2.9). Alat ini digunakan pada pasien
semi sadar yang tidak dapat menggunakan OPA. Ini juga efektif pada pasien
dengan trauma, trismus, atau penghalang lain. Ukuran NPA yang tepat ditentukan
dengan mengukur panjang antara ujung hidung ke tragus telinga. Kedua alat ini
tidak dapat menjadi alat bantu napas yang definitif (Mahadevan dan Sovndal,
2005).

Gambar 2.8 Oropharyngeal Airway Gambar 2.9 Nasopharyngeal Airway


Sumber : Mahadevan dan Sovndal (2005). An Introduction to Clinical Emergency
Medicine

Universitas Sumatera Utara


30

Selain itu, penolong juga dapat menggunakan laryngeal mask airway.


Laryngeal mask airway sangat bermanfaat untuk pertolongan pasien dengan jalan
napas sulit terutama ketika usaha intubasi endotrakeal atau sungkup muka gagal.
Akan tetapi, penempatan alat yang benar sulit dilakukan (American College of
Surgeons, 2008).

2.6.1.2 Alat Bantu Napas Definitif


Pada pemberian alat bantu napas definitif, terdapat 3 alat yang dapat
dipergunakan, yaitu pipa orotrakeal, pipa nasotrakeal, dan airway surgical
(krikotiroidotomi atau trakeostomi). Penentuan pemasangan airway definitif
didasarkan pada beberapa indikasi, yaitu (American College of Surgeons, 2008):
1. Adanya henti napas.
2. Ketidakmampuan mempertahankan jalan napas dengan cara lain.
3. Kebutuhan untuk melindungi airway bagian bawah dari aspirasi darah
atau muntahan.
4. Ancaman segera atau bahaya kemungkinan adanya sumbatan jalan
napas, seperti akibat fraktur tulang wajah, hematoma retrofaringeal,
atau kejang berkepanjangan.
5. Adanya cedera kepala tertutup yang memerlukan bantuan napas (GCS
8).
6. Ketidakmampuan mempertahankan oksigenasi yang adekuat dengan
pemberian oksigen melalui sungkup.
Untuk memberikan alat bantu napas definitif, dapat dilakukan dengan
pemasangan intubasi endotrakeal.

Universitas Sumatera Utara


31

Tabel 2.3 Indikasi pemasangan alat bantu napas definitif


Kebutuhan untuk perlindungan Kebutuhan untuk ventilasi dan
jalan napas oksigenasi
Fraktur maksilofasial berat Usaha bernapas yang tidak adekuat
1. Napas cepat (Tachypnea)
2. Hipoksia
3. Hiperkarbia
4. Sianosis

Adanya resiko obstruksi Perdarahan masif dan memerlukan


1. Hematoma pada leher resusitasi volume
2. Trauma laring atau trakea
3. Ada stridor

Adanya resiko aspirasi Trauma kepala tertutup berat yang


1. Perdarahan membutuhkan hiperventilasi
2. Muntah

Tidak sadar Henti napas (Apnea)


1. Adanya paralisis neuromuskular
2. Dalam keadaan tidak sadar
Sumber: American College of Surgeons (2012). Advanced Trauma Life Support
Student Course Manual 9th Edition

Universitas Sumatera Utara


32

Gambar 2.10 Melakukan tindakan intubasi orotrakeal menggunakan teknik two


person serta in-line cervical spine immobilization
Sumber : American College of Surgeons (2012). Advanced Trauma Life Support
Student Course Manual 9th Edition

2.6.2 Breathing/Ventilasi/Oksigenasi
Kontrol jalan nafas pada pasien dengan airway terganggu karena faktor
mekanik, ada gangguan ventilasi atau ada gangguan kesadaran, dicapai dengan
intubasi endotrakeal, baik melalui oral maupun nasal. Prosedur ini harus
dilakukan dengan kontrol terhadap vertebral servikal. Surgical airway
(cricothryoidectomy) dapat dilakukan bila intubasi endotrakeal tidak
memungkinkan karena kontraindikasi atau masalah teknis (American College of
Surgeons, 2008).
Adanya tension pneumothorax akan sangat mengganggu ventilasi dan
sirkulasi, dan bila curiga akan adanya keadaan ini, harus segera dilakukan
dekompresi. Setiap pasien trauma diberikan oksigen. Bila tanpa intubasi,
sebaiknya oksigen diberikan denganface mask. Pemakaian pulse oxymetry baik
untuk menilai saturasi oksigen yang adekuat (American College of Surgeons,
2008).

Universitas Sumatera Utara


33

2.6.3 Circulation (dengan kontrol perdarahan)


Lakukan kontrol perdarahan dengan perbaikan volume intravaskuler. Bila
ada gangguan sirkulasi, harus dipasang sedikitnya 2 IV line. Kateter IV yang
dipakai harus berukuran besar. Besar arus (tetesan infus) yang didapat tidak
tergantung dari ukuran vena melainkan tergantung dari besar kateter IV dan
berbanding terbalik dengan panjang kateter IV. Pada awalnya, sebaiknya
menggunakan vena pada lengan. Jenis jalur IV line seperti vena seksi atau vena
sentral tergantung dari kemampuan petugas yang melayani (American College of
Surgeons, 2008).
Pada saat memasang kateter IV harus diambil contoh darah untuk
permintaan darah dan pemeriksaan laboratorium rutin. Perbaikan volume sirkulasi
dengan cara pemberian cairan yang agresif tidak dapat menggantikan proses
pengehentian(kontrol) perdarahan. Pada saat pasien datang, pasien diberikan
terapi cairan cepat berupa 1-2 liter cairan kristaloid, sebaiknya Ringer lactate.
Cairan harus dihangatkan sebelumnya dengan suhu 370-400(disimpan dalam
keadaan hangat ataupun memakai alat penghangat). Bila tidak ada respon dengan
pemberian bolus kristaloid, diberikan transfusi darah. Hipotermia dapat terjadi
pada pasien yang diberikan ringer lactate yang tidak dihangatkan atau darah yang
masih dingin, atau bila pasien dalam keadaan kedinginan karena tidak diselimuti.
Hipotermia potensial mengancam nyawa dan harus diambil tindakan sesegera
mungkin untuk mencegah hal tersebut terjadi, seperti menghangatkan ruangan.
Untuk menghangatkan cairan, dapat dipakai alat pemanas cairan atau oven
microwave sampai mencapai suhu 390C. Oven microwave tidak boleh digunakan
untuk menghangatkan darah (American College of Surgeons, 2008).

2.6.4 Pemantauan EKG


EKG dipasang pada semua pasien trauma. Disritmia (termasuk takikardia
yang tidak diketahui penyebabnya), fibrilasi atrium atau ekstra sistol dan
perubahan segmen ST dapat disebabkan oleh kontusio jantung. Pulseless
Electrical Activity (PEA, dulu disebut sebagai Disosiasi elektromekanikal, EMD)

Universitas Sumatera Utara


34

mungkin disebabkan oleh tamponade jantung, tension pneumothorax, atau


hipovolemia berat. Jika ditemukan bradikardia, konduksi aberan atau ekstra sistol
harus segera dicurigai adanya hipoksia atau hipoperfusi. Hipotermia yang berat
juga dapat menyebabkan disritmia (American College of Surgeons, 2008).

2.6.5 Pemasangan kateter urin


Produksi urin merupakan indikator yang peka untuk menilai keadaan
perfusi ginjal dan hemodinamik pasien. Selain itu, pemeriksa perlu melakukan
pengambilan sampel urin untuk pemeriksaan urin rutin. Kateter urin jangan
dipasang bila ada dugaan ruptur uretra. Kecurigaan adanya ruptur uretra ditandai
dengan (American College of Surgeons, 2008):
1. Adanya darah di orifisium uretra eksterna (meatus bleeding)
2. Ecchymosis di daerah perineum
3. Hematoma di skrotum atau perineum
4. Pada colok dubur, letak prostat tinggi atau tidak teraba
5. Adanya fraktur pelvis

2.6.6 Pemasangan Kateter Lambung


Kateter lambung dipakai untuk mengurangi distensi lambung dan
mengurangi kemungkinan muntah. Darah dalam lambung dapat disebabkan oleh
darah yang tertelan akibat pemasangan NGT yang traumatik atau perlukaan
lambung. Bila lamina kribosa patah atau diduga patah, kateter lambung dipasang
melalui mulut untuk mencegah masuknya NGT ke dalam rongga otak. Dalam
keadaan ini, semua pipa tidak boleh dimasukkan melalui nasofaring (American
College of Surgeons, 2008).

Universitas Sumatera Utara


35

2.7 Secondary Survey Care


Secondary survey care adalah pemeriksaan teliti dan menyeluruh dari
kepala sampai kaki (head to toe examination), termasuk reevaluasi tanda vital.
Secondary survey care baru dilakukan setelah primary survey care selesai,
resusitasi dilakukan dan ABC dalam keadaan stabil (American College of
Surgeons, 2008).

2.7.1 Anamnesis
Riwayat AMPLE patut diingat (American College of Surgeons, 2008):
A : Allergy
M : Medication (obat yang diminum saat ini)
P : Past illness (penyakit penyerta)
L : Last meal
E : Event (berhubungan dengan kejadian trauma)
Mekanisme perlukaan juga sangat menentukan keadaan pasien dan dapat
memprediksi jenis perlukaan yang terjadi. Jenis perlukaan terbagi menjadi dua,
yakni trauma tumpul dan trauma tajam. Pada kasus kecelakaan lalu lintas, trauma
tumpul sering kali terjadi. Keterangan lain yang dibutuhkan pada kecelakaan lalu
lintas ialah pemakaian sabuk pengaman, deformasi kemudi, arah
tabrakan,kerusakan kendaraan, dan adanya penumpang terlempar ke luar.

Universitas Sumatera Utara


36

Tabel 2.4 Mekanisme perlukaan dan kemungkinan pola perlukaan


Mekanisme Perlukaan Kemungkinan Pola Perlukaan
Benturan frontal 1. Ruptur hepar
1. Kemudi Bengkok 2. Fraktur / dislokasi coxae,
2. Jejak lutut pada dashboard lutut
3. Cedera bulls eye, pada kaca 3. Fraktur servikal
depan 4. Kontusio miokard
5. Pneumothorax
6. Ruptur aorta

Benturan samping 1. Sprain servikal bagian


kontralateral
2. Fraktur servikal
3. Pneumothorax
4. Ruptur aorta
5. Ruptur hepar
6. Fraktur pelvis

Benturan belakang 1. Kerusakan jaringan lunak


leher
2. Fraktur servikal

Terlempar keluar 1. Semua jenis perlukaan


2. Mortalitas meningkat

Pejalan kaki dengan mobil 1. Trauma kapitis


2. Perlukaan
toraks/abdomen
3. Fraktur tungkai/pelvis
Sumber : American College of Surgeons (2012). Advanced Trauma Life Support
Student Course Manual 9th Edition

2.7.2 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan secara detail dari kepala sampai kaki hanya dimulai jika
keadaan mengancam jiwa pasien sudah terevaluasi dan tertangani selama primary
survey care. Pemeriksaan dimulai dari (Manthey, 2005):
1. Kepala, mata, telinga, hidung, dan tenggorokan
a. Nilai adakah tanda-tanda fraktur basis kranii dengan
mengidentifikasi adanya battles sign (adanya ekimosis di daerah

Universitas Sumatera Utara


37

mastoid), raccoons eyes (ekimosis di daerah mata), atau


hemotimpanum (kumpulan darah di belakang gendang telinga).
Lihat apakah adanya kebocoran cairan serebrospinal yang ditandai
dengan adanya rhinorrhea atau otorrhea.
b. Nilai apakah adanya depresi fraktur tengkorak dengan palpasi
secara hati-hati. Adanya benda asing atau bagian tulang yang
menusuk tidak boleh dimanipulasi.
c. Nilai perlukaan pada wajah dan kestabilannya dengan mempalpasi
tulang wajah. Fraktur fasialis berat dapat berakibat pada gangguan
jalan napas.
d. Nilai laserasi yang perlu ditangani.
e. Nilai ukuran pupil dan fungsinya.
f. Periksa septum hidung untuk memastikan ada atau tidaknya
hematoma.
2. Leher
a. Palpasi servikal dan tentukan apakah ada nyeri tekan,
pembengkakan, atau deformitas.
b. Lihat apakah ada emfisema subkutan yang mungkin berkaitan
dengan pneumotoraks atau trauma laringotrakeal.
3. Toraks
a. Palpasi daerah sternum, klavikula, dan iga untuk menentukan
adanya nyeri tekan atau krepitasi.
b. Lihat apakah ada memar atau deformitas yang mungkin berkaitan
dengan adanya trauma pada paru.
4. Abdomen
a. Nilai apakah ada distensi, dan nyeri tekan. Dua sumber perdarahan
yang paling sering menyebabkan pasien kehilangan banyak darah
ialah hepar dan limpa.
b. Ekimosis pada daerah punggung mungkin berkaitan dengan adanya
perdarahan retroperitoneal.

Universitas Sumatera Utara


38

5. Punggung
a. Pemeriksaan ini dilakukan dengan log-roll pasien dengan dibantu
oleh asisten sambil tetap menjaga servikal tetap stabil. Palpasi
daerah servikal untuk menentukan apakah ada nyeri tekan atau
tidak.
b. Nilai luka tersembunyi pada bagian ketiak, dibawah kolar servikal,
dan daerah bokong.
6. Perineum,rektum, dan uretra
a. Pada perineum, lihat apakah ada ekimosis ,yang mengarahkan pada
adanya fraktur pelvis. Pada uretra, lihat apakah ada akumulasi
darah yang menjadi tanda adanya disrupsi uretra sebelum
dilakukan pemasangan kateter uretra. Pada daerah rektum, periksa
apakah adanya letak prostat tinggi yang mengindikasikan adanya
disrupsi pada membran uretra dan menjadi kontraindikasi
pemasangan kateter urin.
7. Ekstremitas
a. Evaluasi kembali status vaskular pasien di setiap ekstremitas, yaitu
pulsasi nadi , warna kulit, capillary refill time, dan suhunya.
b. Inspeksi dan palpasi secara keseluruhan, evaluasi range of motion
dari setiap persendian. Nilai apakah ada deformitas, krepitasi, nyeri
tekan, pembengkakan, dan laserasi. Fraktur femur dapat menjadi
sumber perdarahan tersembunyi.

2.7.3 Pemeriksaan Neurologis


Pemeriksaan neurologis harus dilakukan dengan teliti meliputi
pemeriksaan tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, serta pemeriksaan
motorik dan sensorik. Perubahan dalam status neurologis dapat dinilai dengan
penilaian skor GCS.

Universitas Sumatera Utara


39

Tabel 2.5 Penilaian skor Glassgow Coma Scale


Penilaian Skor
Membuka Mata (Eye Opening)
Spontan 4
Dengan Perintah 3
Dengan stimulus nyeri 2
Tidak ada respons 1

Respon Verbal
Orientasi baik 5
Kebingungan 4
Kata-kata yang tidak sesuai 3
Suara-suara yang tidak jelas 2
Tidak ada respon 1

Respon Motorik
Mengikuti perintah 6
Melokalisasi nyeri 5
Fleksi untuk menjauhi stimulus nyeri 4
Fleksi abnormal (Dekortikasi) 3
Ekstensi (Deserebrasi) 2
Tidak ada respon 1
Sumber : American College of Surgeons (2012). Advanced Trauma Life Support
Student Course Manual 9th Edition

2.8 Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil dari tahu yang terjadi melalui proses sensoris
khususnya, mata dan telinga terhadap objek tertentu (Sunaryo, 2002).
Proses adopsi perilakumenurut Notoadmodjo S.(1977) yang mengutip
pendapat Rogers (1974) dalam Sunaryo (2002), sebelum seseorang mengadopsi
perilaku, di dalam diri orang tersebut terjadi suatu proses yang berurutan (akronim
AIETA), yaitu:
1. Awareness (kesadaran), individu menyadari adanya stimulus.
2. Interest (tertarik), individu mulai tertarik pada stimulus.
3. Evaluation (menimbang-nimbang), individu menimbang-nimbang
tentang baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya. Pada
proses ketiga ini, subjek sudah memiliki sikap yang lebih baik lagi.

Universitas Sumatera Utara


40

4. Trial (mencoba), individu sudah mulai mencoba perilaku baru.


5. Adoption, individu telah berperilaku baru sesuai dengan
pengetahuan, sikap, dan kesadarannya terhadap stimulus.
Tingkatan pengetahuan di dalam domain kognitif mencakup 6 tingkatan, yaitu:
1. Tahu, merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah.
Tahu artinya dapat mengingat atau mengingat kembali suatu
materi yang telah dipelajari sebelumnya. Ukuran bahwa
seseorang itu tahu adalah ia dapat menyebutkan, menguraikan,
mendefinisikan, dan menyatakan.
2. Memahami, artinya kemampuan untuk menjelaskan dan
menginterpretasikan dengan benar tentang objek yang
diketahui. Seseorang yang telah paham tentang sesuatu harus
dapat menjelaskan, memberikan contoh, dan menyimpulkan.
3. Penerapan, yaitu kemampuan untuk menggunakan materi yang
telah dipelajari pada situasi dan kondisi nyata, atau dapat
menggunakan hukum-hukum, rumus, dan metode dalam situasi
nyata.
4. Analisis, artinya adalah kemampuan untuk menguraikan objek
ke dalam bagian-bagian yang lebih kecil tetapi, masih di dalam
suatu struktur objek tersebut dan masih terkait satu sama lain.
Ukuran kemampuan adalah ia dapat menggambarkan, membuat
bagan, membedakan, memisahkan, membuat bagan proses
adopsi perilaku, dan dapat membedakan pengertian psikologi
dengan fisiologi.
5. Sintesis, yaitu suatu kemampuan untuk menghubungkan
bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru
atau kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari
formulasi-formulasi yang ada. Ukuran kemampuannya adalah
ia dapat menyusun, meringkaskan, merencanakan, dan
menyesuaikan suatu teori atau rumusan yang telah ada.

Universitas Sumatera Utara


41

6. Evaluasi, yaitu kemampuan untuk melakukan penilaian


terhadap suatu objek. Evaluasi dapat menggunakan kriteria
yang telah ada atau disusun sendiri.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai