Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

Insiden cidera kepala dari tahun ketahun makin meningkat seiring dengan meningkatnya
mobilisasi penduduk. Di Amerika Serikat, < 500.000 kasus pertahunnya, di Indonesia sendiri
belum ada data lengkap, dari data rekam medik di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Jakarta
tahun 1998 tercatat penderita cidera kepala sebanyak 1091 orang dengan cidera kepala berat 137
orang. Di RSA "Jaury" Ujung Pandang pada tahun 1997, tercatat 6128 penderita yang dirawat,
322 diantaranya adalah penderita cidera kepala.
Dari keseluruhan kasus cidera kepala, 10% adalah cidera kepala berat dengan angka kematian
kurang lebih sepertiganya. Sepertiga lainnya hidup dengan kecacatan dan sepertiga sisanya
sembuh (tidak tergantung pada orang lain). Namun demikian mereka mungkin masih mengalami
gangguan kepribadian dan kesulitan dalam berkomunikasi dalam jangka waktu lama.
Oleh karena tingginya resiko kesakitan dan kematian pada cidera kepala, dokter-dokter yang
menerima pasien pertama kali, tetapi belum berpengalaman dalam pengelolaannya, harus
mengembangkan pengetahuan praktis dalam penanganan pertama, karena kemungkinan ahli
bedah saraf tidak tersedia dalam waktu singkat. Pemberian oksigenasi yang memadai dan
menjaga agar tekanan darah cukup untuk perfusi otak dan mencegah cidera otak sekunder adalah
langkah penting terhadap peningkatan luaran cidera kepala.
Seleksi (triage) penderita dengan cidera kepala tergantung pada beratnya cidera dan fasilitas
yang tersedia. Walaupun demikian, penting untuk melakukan persiapan persetujuan pengiriman
dengan rumah sakit yang mempunyai fasilitas yang lebih lengkap, dengan demikian penderita
dengan cidera kepala sedang dan berat dapat segera dikirim untuk mendapatkan perawatan yang
memadai. Konsultasi segera dengan ahli bedah saraf pada saat pengobatan dan perawatan
penderita sangat dianjurkan, khususnya pada penderita dengan koma dan atau penderita dengan
kecurigaan adanya lesi massa intrakranial. Keterlambatan dalam perujukan dapat memperburuk
keadaan penderita dan selanjutnya akan menurunkan luaran cidera kepala.
Selain penanganan ABCDE (Airway, Breathing, Circulation, Disability dan Environment),
identifikasi lesi massa yang mungkin membutuhkan tindakan operatif adalah hal yang penting,

1
dan CT-scan kepala adalah sarana diagnostik yang terbaik, namun demikian pemeriksaan CT-
scan kepala jangan sampai memperlambat rujukan.
Dalam setiap rujukan, dokter yang merujuk sebaiknya menyertakan data-data sebagai berikut(1):
1. Umur penderita, waktu dan mekanisme trauma.
2. Status respirasi dan kardiovaskular
3. Hasil pemeriksaan neurologis, yang terdiri dari GCS (penekanan pada respons motorik) dan
reaksi pupil
4. Adanya cidera penyerta
5. Hasil penunjang diagnostik, terutama CT-SCAN (bila tersedia).

Tingkat resiko penderita trauma kepala dapat dikelompokkan berdasarkan presentasi klinis dari
penderita menjadi 3 kategori:
1. Low risk
Penderita sadar, secara fisik normal, tidak ada intoksikasi alcohol/obat-obatan, minimal laresarsi
atau hematom ringan, pusing, pening, atau penglihatan kabur. Glasgow coma score 14-15
2. Moderate risk
Sempat pingsan, amnesia, muntah, kejang, ada tanda fraktur di skull, adanya tanda intoksikasi
alcohol/obat-obatan, trauma yang tidak diketahui penyebabnya. Glasgow coma score 9-14.
3. Severe
Glasgow coma score kurang dari 8, penurunan atau hilangnya kesadaran, fraktur skull, kelainan
neurologist yang menandakan cedera intrakranial

Glasgow Coma Score adalah skala yang digunakan untuk mengukur tingkat kesadaran
seseorang. Skornya berkisar antara 3 (terburuk) sampai 15 (terbaik) dan berdasarkan jumlah skor
kemampuan pasien membuka mata (0-4), berbicara (0-5), dan bergerak(0-6).

Peranan diagnosa imajing juga diperlukan terutama pada pasien dengan tingkat resiko moderate-
severe. Tujuan utama dari pemeriksaan imajing pada pasien trauma kepala ialah untuk
mengkonfirmasi adakah cedera intrakranial yang berpotensi mengancam jiwa pasien bila tidak
segera dilakukan tindakan.

2
Hadirnya modalitas imajing CT scan telah merevolusi cara mengevaluasi diagnosa trauma
kepala. Sebelum CT scan, plain foto skull umum dimintakan pada pasien kasus trauma kepala.
Namun nilai prediktif dan efisiensi dari skull x-ray sudah mulai dipertanyakan. Plain foto kepala
memang dapat menunjukkan ada/tidaknya fraktur pada kepala. Akan tetapi pemeriksaan
radiologi itu tidak adekuat untuk memprediksi adanya cedera intrakranial (Lyloyd,1997).
Profesor Anne G Osborn, ahli neuroradilologist dari University of Utah School of Medicine,
menyatakan 25-30% pasien trauma kepala tanpa fraktur ternyata mengalami cedera intrakranial
yang berat (Anne, 2003). Disamping itu, waktu yang digunakan untuk plain skull foto, bisa jadi
malah memperlambat diagnosa trauma intrakranial (Jonathan,2004). Oleh karena itu CT scan
telah menggantikan peranan plain foto dan menjadi modalitas pilihan dalam menunjang diagnosa
trauma kepala.

3
BAB II

GAMBARAN UMUM CT SCAN

2.I. Definisi CT-SCAN

CT-SCAN adalah alat tomogram yang dikendalikan oleh koputer, yang dikenal sebagai computer
assisted tomography (CAT) atau computerized tomography (CT).

Pemeriksaan CT SCAN sangat mutlak pada kasus trauma kepala untuk menentukan adanya
kelainan intracranial terutama pada cedera kepala berat ( Severe, glasgow coma score 8 ( Normal
15).

4
2.2. indikasi CT SCAN

Indikasi perlunya tindakan pemeriksaan CT SCAN pada kasus trauma adalah :


a. Menurut New Orland :
* Sakit kepala.
* Muntah.
* Umur lebih 60 tahun.
* Adanya intoksikasi alcohol.
* Amnesia retrograde.
* Kejang.
* Adanya cedera di area clavicula ke superior.

b. Menurut The Cranadian CT Head :


* GCS ( Glasgow Coma Score ) < 15 setelah 2 jam kejadian.
* Adanya dugaan open / depressed fracture.
* Muntah muntah ( > 2 kali ).
* Umur > 65 tahun.
* Bukti fisik adanya fraktur di basal skull.

2.3. Tujuan CT SCAN

Tujuan utama dari pemeriksaan imajing pada kasus trauma kepala adalah unutuk menentukan
adanya cedera intracranial yang membahayakan keselamatan jiwa pasien bila tidak segera
dilakukan tindakan secepatnya(Cyto).

Pada saat sekarang CT SCAN telah menjadi modalitas utama dalam menunjang diagnosa trauma
kepala terutama pada kasus cyto yang sebelumnya sulit terdeteksi pada foto Foto Town atau
Occipitomental ( plain foto skull ). Pada kasus trauma kepala pada umumnya pasiennya
merupakan pasien yang tidak sadar atau tidak koorperatif, dengan kondisi yang demikian
sulit untuk mendapatkan posisi scaning ideal yang kita inginkan, sedangkan bila dilakukan
tindakan anestesi sering dihadapkan pada resiko yang harus dihadapi.

5
Dengan demikian Radiografer dipaksa untuk melakukan berbagai cara untuk mengatasinya
dalam melakukan pemeriksaan CT SCAN mulai dari persiapan pasien, prosedur, posisi,
protokol, post prosesing dan pencetakan film.

2.4. Peranan CT SCAN:

Peranan CT SCAN sebagai salah satu modalitas imajing pada kasus trauma kepala sangat
diperlukan karena memiliki kelebihan antara lain:
a. Pemeriksaan yang singkat dan mudah.
b.Tidak merupakan invasif.
c. Lebih informatif dalam mengidentifikasi / melokalisir
adanya fraktur fragmentnya pada tulang- tulang kepala.
d. Dapat mengetahui adanya perdarahan extrakranial dan
menghitung volumenya.
e. Dapat mengetahui adanya kelaianan intrakranial/
perdarahan intracranial
(Subdural,Epidural,Sub arachnoid hemmorage)
f. Infark akut, oedema cerebri, cerebral contusion.

2.5. Prosedur Pemeriksaan CT SCAN Pada Trauma Kapitis:

Untuk pemeriksaan CT scan kepala tidak memerlukan persiapan khusus. Hal-hal yang perlu
diperhatikan radiografer adalah:
1. Pastikan di ruangan ada saluran / tabung oksigen dan suction, dan bila perlu peralatan
resusitasi.
2. Sebelum pasien masuk, isilah data pasien terlebih dahulu di data konsul.
3. Gunakan sarung tangan / unsteril glove dalam memindah dan pengatur posisi pasien pada
kasus trauma dengan luka terbuka. (universal precaution)
4. Pastikan tidak benda-benda metalik pada penderita di area kepala (kalung, jepit rambut,
anting, kabel-kabel monitor ) yang dapat menimbulkan artefak pada gambar.
5. Jangan pernah melepas alat fiksasi leher collar bila telah dipasang

6
6. Bila perlu, anggota satu keluarga ada yang mendampingi sewaktu pemeriksaan pada kasus
trauma .(misal pasien anak-anak). Berikan apron.
7. Fiksasi kepala pasien pada cradle, dengan perlatan fiksasi.

2.6. Protocol CT SCAN kepala:

1. Orientasi pasien : head first, supine


2. Orbita Meatal pararel terhadap scan plane.
3. Scout / Topogram : lateral dari base skull ke vertex
4. Axial base line diambil dari garis inferoorbital floor ke EAM. Angle disesuaikan.
5. Pada scan konvensional : Irisan 5mm dan jarak antar irisan 5mm dari base skull ke infra
tentorium, 10m dan jarak irisan 10mm dari circullum willis ke vertex. Bila diperlukan irisan
tambahan, set additional scan 1 slice 5mm.
6. Pada spiral: 5mm/ 5mm pitch 1 atau 7mm/7mm, recon interval 5mm

2.7. Gambaran CT SCAN dan Post Processing:

Gambaran CT scan dapat menunjukkan patologis pada pasien trauma kapitis


Berikut adalah tanda-tanda dan apa yang perlu diperhatikan radiographer dan apa yang harus
dilakukan radiographer dalam post processing :
1. Focal hyper/hypodens; area hyperdens nilai 50-70HU dengan ROI menu, ukurlah area itu
dengan automatic volume dapat dihitung perkiraan kasar pada area tersebut dengan cara
mengukur panjang x lebar x tebal irisan (nomor meja awal-akhir tampaknya lesi) dibagi 2.
2. Mild line shfit, tanda adanya mass effect (Bila dijumpai ukurlah bila ada dengan membuat
garis membagi 2 hemispher ceberum dan garis shift pada ujung anterior septum pellucidum)
3. Asymetry dari struktur dalam cranial.
4. Bone distruction / erosi (pakai algoritma dan bone window); bila menggunakan spiral, buat 3-
D.
5. Udara di calvarium (kemungkinan adanya fraktur)
6. Oedem (batas sulci /gyri cortical tidak jelas)
7. Pada processing image: gunakan algoritma image (filter/kernel) soft tissue dan bone dan atur

7
Window With dan Window Levelnya.
o Bone: W=3000, L=800
o Brain: W=90, L=40
o Subdural or intermediate: W=200, L=50
8. Bila positioning tidak memungkinkan pasien mempertahankan posisi kepalanya, bila gambar
kabur karena pergerakan, perlu diulang. Jika hanya rotasi saja, tidak perlu diulang dan gunakan
fasilitas rotational image
9. Print dengan scout / scannogran dan gambar aksialnya 15-20 dalam 1 lembar, bila perlu
ditambah 1 lembar kondisi tulang.

8
BAB III

GAMBARAN UMUM TRAUMA KAPITIS

3.1 Definisi Trauma Kapitis

Trauma kapitis adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara langsung ataupun

tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologi yaitu gangguan fisik,

kognitif, fungsi psikososial baik temporer maupun permanen .

3.1.1 Anatomi

Berdasarkan ATLS (2004), anatomi yang bersangkutan antara lain :

1. Kulit Kepala (Scalp)

Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut sebagai SCALP yaitu :

a. Skin atau kulit

b. Connective Tissue atau jaringan penyambung

c. Aponeurosis atau galea aponeurotika

d. Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar

e. Perikranium.
9
Jaringan penunjang longgar memisahkan galea aponeurotika dari perikranium dan

merupakan tempat tertimbunnya darah (hematoma subgaleal).

Kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah sehingga bila terjadi perdarahan akibat

laserasi kulit kepala akan menyebabkan banyak kehilangan darah, terutama pada bayi

dan anak-anak.

2. Tulang Tengkorak

Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Kalvaria khususnya di

bagian temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporal. Basis kranii

berbentuk tidak rata sehinga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat

proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu :

fosa anterior, fosa media, dan fosa posterior. Fosa anterior adalah tempat lobus

frontalis, fosa media adalah tempat lobus temporalis, dan fosa posterior adalah ruang

bagian bawah batang otak dan serebelum.

3. Meningen

Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan yaitu :

duramater, araknoid dan piamater. Duramater adalah selaput yang keras, terdiri atas

jaringan ikat fibrosa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena

tidak melekat pada selaput araknoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang

potensial (ruang subdural) yang terletak antara duramater dan araknoid, dimana

sering dijumpai perdarahan subdural.

Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak

10
menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat

mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior

mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari

sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat.

Arteri-arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari kranium

(ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada

arteri-arteri ini dan dapat menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering

mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa temporalis

(fosa media).

Dibawah duramater terdapat lapisan kedua dari meningen, yang tipis dan tembus

pandang disebut lapisan araknoid. Lapisan ketiga adalah piamater yang melekat erat pada
permukaan korteks serebri. Cairan serebrospinal bersirkulasi dalam ruang sub araknoid.

4. Otak

Otak manusia terdiri dari serebrum, serebelum, dan batang otak. Serebrum terdiri atas

hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh falks serebri yaitu lipatan duramater

dari sisi inferior sinus sagitalis superior. Pada hemisfer serebri kiri terdapat pusat

bicara manusia. Hemisfer otak yang mengandung pusat bicara sering disebut sebagai

hemisfer dominan.

Lobus frontal berkaitan dengan fungsi emosi, fiungsi motorik, dan pada sisi dominan

mengandung pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan dengan fungsi

sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori. Lobus

11
oksipital bertanggung jawab dalam proses penglihatan.

Batang otak terdiri dari mesensefalon (mid brain), pons, dan medula oblongata.

Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi

dalam kesadaran dan kewaspadaan. Pada medula oblongata terdapat pusat

kardiorespiratorik, yang terus memanjang sampai medulla spinalis dibawahnya. Lesi

yang kecil saja pada batang otak sudah dapat menyebabkan defisit neurologis yang

berat.

Serebelum bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan, terletak

dalam fosa posterior, berhubungan dengan medula spinalis, batang otak, dan juga

kedua hemisfer serebri.

5. Cairan serebrospinal

Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh pleksus khoroideus dengan kecepatan

produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari ventrikel lateral melalui foramen

monro menuju ventrikel III kemudian melalui aquaductus sylvii menuju ventrikel IV.

Selanjutnya CSS keluar dari sistem ventrikel dan masuk ke dalam ruang subaraknoid

yang berada di seluruh permukaan otak dan medula spinalis. CSS akan direabsorbsi

ke da lam sirku lasi vena melalui vili araknoid.

6. Tentorium

Tentorium serebelli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supra tentorial (terdiri

atas fossa kranii anterior dan fossa kranii media) dan ruang infratentorial (berisi fosa

kranii posterior).

12
3.1.2. Fisiologi

Mekanisme fisiologis yang berperan antara lain :

1. Tekanan Intra Kranial

Biasanya ruang intrakranial ditempati oleh jaringan otak, darah, dan cairan

serebrospinal. Setiap bagian menempati suatu volume tertentu yang menghasilkan

suatu tekanan intra kranial normal sebesar 50 sampai 200 mmH2O atau 4 sampai 15

mmHg. Dalam keadaan normal, tekanan intra kranial (TIK) dipengaruhi oleh

aktivitas sehari-hari dan dapat meningkat sementara waktu sampai tingkat yang jauh

lebih tinggi dari normal.

Ruang intra kranial adalah suatu ruangan kaku yang terisi penuh sesuai kapasitasnya

dengan unsur yang tidak dapat ditekan, yaitu : otak ( 1400 g), cairan serebrospinal (

sekitar 75 ml), dan darah (sekitar 75 ml). Peningkatan volume pada salah satu dari

ketiga unsur utama ini mengakibatkan desakan ruang yang ditempati oleh unsur

lainnya dan menaikkan tekanan intra kranial .

2. Hipotesa Monro-Kellie

Teori ini menyatakan bahwa tulang tengkorak tidak dapat meluas sehingga bila salah

satu dari ketiga komponennya membesar, dua komponen lainnya harus

mengkompensasi dengan mengurangi volumenya ( bila TIK masih konstan ).

Mekanisme kompensasi intra kranial ini terbatas, tetapi terhentinya fungsi neural

dapat menjadi parah bila mekanisme ini gagal. Kompensasi terdiri dari meningkatnya

aliran cairan serebrospinal ke dalam kanalis spinalis dan adaptasi otak terhadap

13
peningkatan tekanan tanpa meningkatkan TIK. Mekanisme kompensasi yang

berpotensi mengakibatkan kematian adalah penurunan aliran darah ke otak dan

pergeseran otak ke arah bawah ( herniasi ) bila TIK makin meningkat. Dua

mekanisme terakhir dapat berakibat langsung pada fungsi saraf. Apabila peningkatan

TIK berat dan menetap, mekanisme kompensasi tidak efektif dan peningkatan

tekanan dapat menyebabkan kematian neuronal (Lombardo, 2003).

3.2. Patofisiologi Trauma Kapitis

Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer

dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat

langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan oleh benturan langsung kepala

dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselerasi-deselerasi gerakan kepala.

Pada trauma kapitis, dapat timbul suatu lesi yang bisa berupa perdarahan pada

permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar dan kecil, tanpa kerusakan pada

duramater, dan dinamakan lesi kontusio. Lesi kontusio di bawah area benturan

disebut lesi kontusio coup, di seberang area benturan tidak terdapat gaya kompresi,

sehingga tidak terdapat lesi. Jika terdapat lesi, maka lesi tersebut dinamakan lesi

kontusio countercoup. Kepala tidak selalu mengalami akselerasi linear, bahkan

akselerasi yang sering dialami oleh kepala akibat trauma kapitis adalah akselerasi

rotatorik. Bagaimana caranya terjadi lesi pada akselerasi rotatorik adalah sukar untuk

dijelaskan secara terinci. Tetapi faktanya ialah, bahwa akibat akselerasi linear dan

rotatorik terdapat lesi kontusio coup, countercoup dan intermediate. Yang disebut lesi

14
kontusio intermediate adalah lesi yang berada di antara lesi kontusio coup dan

countrecoup .

Akselerasi-deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak

dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi

solid) dan otak (substansi semi solid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat

dari muatan intra kranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak

membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan .

Kerusakan sekunder terhadap otak disebabkan oleh siklus pembengkakan dan iskemia

otak yang menyebabkan timbulnya efek kaskade, yang efeknya merusak otak. Cedera

sekunder terjadi dari beberapa menit hingga beberapa jam setelah cedera awal. Setiap

kali jaringan saraf mengalami cedera, jaringan ini berespon dalam pola tertentu yang

dapat diperkirakan, menyebabkan berubahnya kompartemen intrasel dan ekstrasel.

Beberapa perubahan ini adalah dilepaskannya glutamin secara berlebihan, kelainan

aliran kalsium, produksi laktat, dan perubahan pompa natrium pada dinding sel yang

berperan dalam terjadinya kerusakan tambahan dan pembengkakan jaringan otak.

Neuron atau sel-sel fungsional dalam otak, bergantung dari menit ke menit pada

suplai nutrien yang konstan dalam bentuk glukosa dan oksigen, dan sangat rentan

terhadap cedera metabolik bila suplai terhenti. Cedera mengakibatkan hilangnya

kemampuan sirkulasi otak untuk mengatur volume darah sirkulasi yang tersedia,

menyebabkan iskemia pada beberapa daerah tertentu dalam otak .

15
3.3. Klasifikasi Trauma Kapitis

Berdasarkan ATLS (2004) cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek.

Secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi, yaitu berdasarkan; mekanisme,

beratnya cedera, dan morfologi.

1. Mekanisme Cedera Kepala

Cedera otak dibagi atas cedera tumpul dan cedera tembus. Cedera tumpul biasanya

berkaitan dengan kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh, atau pukulan benda tumpul.

Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak ataupun tusukan.

2. Beratnya Cedera Kepala

Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan secara umum dalam deskripsi beratnya

penderita cedera otak. Penderita yang mampu membuka kedua matanya secara

spontan, mematuhi perintah, dan berorientasi mempunyai nilai GCS total sebesar 15,

sementara pada penderita yang keseluruhan otot ekstrimitasnya flaksid dan tidak

membuka mata ataupun tidak bersuara maka nilai GCS-nya minimal atau sama

dengan 3. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefinisikan sebagai koma atau cedera

otak berat. Berdasarkan nilai GCS, maka penderita cedera otak dengan nilai GCS 9-13
dikategorikan sebagai cedera otak sedang, dan penderita dengan nilai GCS 14-15

dikategorikan sebagai cedera otak ringan.

16
Menurut Brain Injury Association of Michigan (2005), klasifikasi keparahan dari

Traumatic Brain Injury yaitu :

a.Ringan

Kehilangan kesadaran < 20 menit

Amnesia post traumatik < 24 jam

GCS = 13 15

b. Sedang

Kehilangan kesadaran 20 menit dan 36 jam

Amnesia post traumatik 24 jam dan 7 hari

GCS = 9 - 12

c. Berat

Kehilangan kesadaran > 36 jam

Amnesia post traumatik > 7 hari

GCS = 3 8

17
DASAR PENGUKURAN TINGKAT KESADARAN DENGAN GLASLOW COMA SCALE

Skala koma glaslow


Membuka Mata RESPON SCORE KET
spontan 4 Membuka mata
dengan panggilan
Dengan perintah 3 Membuka mata
dengan peruintah
yang diperintahkan
Dengan rangsang 2 Membuka mata bila
nyeri ada rangsangan nyeri
Tidak berespon 1 Tidak membuka mata
saat ada rangsangan
apapun

Respon verbal RESPON SCORE KET


berorientasi 5 Menjawab pertanyaan
tentang orientasi waktu,
lingkungan,orang,tempat
dengan benar.
Bicara 4 Menjawab pertanyaan
membingungkan sesuai pertanyaan tetapi
jawaban tidak sesuai
dengan
kenyataan/jawaban
diluar pertanyaan.
Kata-kata tidak tepat 3 Menjawab pertanyaan
tidak sesuai dengan
pertanyaan tetapi
jawaban membentuk
satu satu kalimat.

18
Suara tidak dapat 2 Menjawab dengan tidak
dimengerti membentuk
kalimat/kata.
Tidak berespon 1 Tidak ada respon

Respon motorik RESPON SCORE KET


Dengan perintah 6 Mengangkat anggota
badan sesuai perintah
Melokalisasi nyri 5 Mengangkat anggota
badan yang
dirangsang nyeri
Menarik area yang 4 Mengangkat dengan
nyeri cepat dan menghindar
bagian yang
dirangsang n yeri
Fleksi abnormal 3 Menarik fleksi
anggota badan yang
dirangsang nyeri
ekstensi 2 Menarik ekstensi
anggota badan yang
dirangsang nyeri
Tidak berespon 1 Tidak ada respon

19
3. Morfologi

a. Fraktur Kranium

Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dapat berbentuk

garis/linear atau bintang/stelata, dan dapat pula terbuka ataupun tertutup. Fraktur

dasar tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT scan dengan teknik bone

window untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar

tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci.

Fraktur kranium terbuka dapat mengakibatkan adanya hubungan antara laserasi kulit

kepala dengan permukaan otak karena robeknya selaput dura. Adanya fraktur

tengkorak tidak dapat diremehkan, karena menunjukkan bahwa benturan yang terjadi

cukup berat.

Menurut Japardi (2004), klasifikasi fraktur tulang tengkorak sebagai berikut:

1. Gambaran fraktur, dibedakan atas :

a. Linier

b. Diastase

c. Comminuted

d. Depressed

2. Lokasi Anatomis, dibedakan atas :

a. Calvarium / Konveksitas ( kubah / atap tengkorak )

b. Basis cranii ( dasar tengkorak )

20
3. Keadaan luka, dibedakan atas :

a. Terbuka

b. Tertutup

b. Lesi Intra Kranial

1. Cedera otak difus

Mulai dari konkusi ringan, dimana gambaran CT scan normal sampai kondisi yang

sangat buruk. Pada konkusi, penderita biasanya kehilangan kesadaran dan mungkin

mengalami amnesia retro/anterograd.

Cedera otak difus yang berat biasanya diakibatkan hipoksia, iskemi dari otak karena

syok yang berkepanjangan atau periode apnoe yang terjadi segera setelah trauma.

Pada beberapa kasus, CT scan sering menunjukkan gambaran normal, atau gambaran

edema dengan batas area putih dan abu-abu yang kabur. Selama ini dikenal istilah

Cedera Aksonal Difus (CAD) untuk mendefinisikan trauma otak berat dengan prognosis yang
buruk. Penelitian secara mikroskopis menunjukkan adanya kerusakan

pada akson dan terlihat pada manifestasi klinisnya.

2. Perdarahan Epidural

Hematoma epidural terletak di luar dura tetapi di dalam rongga tengkorak dan

gambarannya berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa cembung. Sering terletak di

area temporal atau temporo parietal yang biasanya disebabkan oleh robeknya arteri

meningea media akibat fraktur tulang tengkorak.

21
3. Perdarahan Subdural

Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan epidural. Perdarahan ini

terjadi akibat robeknya vena-vena kecil di permukaan korteks serebri. Perdarahan

subdural biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer otak. Biasanya kerusakan

otak lebih berat dan prognosisnya jauh lebih buruk dibandingkan perdarahan epidural.

4. Kontusio dan perdarahan intraserebral

Kontusio serebri sering terjadi dan sebagian besar terjadi di lobus frontal dan lobus

temporal, walaupun dapat juga terjadi pada setiap bagian dari otak. Kontusio serebri

dapat, dalam waktu beberapa jam atau hari, berubah menjadi perdarahan intra

serebral yang membutuhkan tindakan operasi.

22
BAB IV

PEMBAHASAN

4.1. Gambaran CT SCAN Pada Trauma Kapitis:

1. FRAKTUR
Fraktur pada trauma kepala jenisnya bisa :
o Linier non displacement
o Depressed ( adanya displacement dari fragment)
o Diastatic fractures (fraktur yang melibatkan sutura)

Fraktur impresi dan linier pada tulang parietal, frontal dan temporal.

23
Fraktur basis cranium

2. HEMATOMA INTRACRANIAL

a. Epidural Hematoma

Epidural hematoma adalah kumpulan massa darah akibat robeknya middle meningeal arteri
antara skull dan dura di regio temporal , yang sangat kuat hubungannya dengan fraktur linear.
Kadang juga terjadi akibat robeknya vena dan tipikalnya terjadi di region posterior fosa atau
dekat daerah occipital lobe.

24
Gambaran Epidural pada CT tampak sebagai bentuk bi convex dan adanya pemisahan jaringan
otak dengan skull. Pendarahan akut tampak hyperdens, subakut tampak isodense, kronis
tampakhypodens.

Ct scan pada keadaan otak normal

Epidural hematoma

B. Subdural Hematoma

Subdural hematoma adalah kumpulan perdarahan vena yang berlokasi antara dura mater dan
arachnoid membrane (subdural space). Biasanya terjadi akibat kepala berbenturan dengan benda
tak bergerak menyebabkan robeknya vena antara cerebral cortex dan vena dura.

25
Gambaran subdural pada CT tampak sebagai bentuk bulan sabit mengikuti kontur dari kranium
bagian dalam. Pendarahan akut tampak hyperdens, subakut tampak isodense, kronis tampak
hypodens.

Subdural hematoma

3. HEMATOMA INTRAPARENKIMAL

1. Subarachnoid Hemmorage

Subarachnoid hemmorage (SAH) terjadi karena keluarnya darah ke subarachnoid space,


umumnya basal cistens dan jalur cerebral spinal fluid. Penyebab utama SAH ialah trauma, selain
itu bisa juga dikarenakan rupturnya saccular (berry) aneurysm dan arteriovenous malformation
(AVM)
Gambaran pada CT menunjukkan gambaran hyperdens/perdarahan akut yang ada di
subarachnoid space.

26
Subarachnoid hemmorage

2. Hematoma intracerebral

Perdarahan pada parenkim otak, disebabkan karena pecahnya arteri intraserebralmono atau
multiple .

Hematoma intracerebral

27
BAB V
KESIMPULAN

CT scan adalah modalitas pilihan utama dalam membantu penegakkan diagnosa trauma
kepala dengan cedera intrakranial seperti fraktur, hematom intrakranial dan extrakranial.
Keunggulannya selain cepat,mudah, dan dapat diandalkan. Penggunaan protokol yang tepat dan
optimasi post processing dari radiographer sebagai operator CT scan dapat menambah informasi
dan meingkatkan akurasi diagnosa secara dini sehingga tindakan terapi dapat segera dilakukan
sehingga pasien diharapkan mendapatkan prognosa atau hasil perawatan penyembuhan
semaksimal mungkin.

28
DAFTAR PUSTAKA

Prof.dr.H.Sjahrial Rasad,RADIOLOGI DIAGNOSTIK Edisi Kedua FKUI, Jakarta.2005


www.medicastore.com
www.radiologi-ctscan.com
www.traumakapitis.com
www.ctscantraumakapitis.com

29

Anda mungkin juga menyukai