PENDAHULUAN
Insiden cidera kepala dari tahun ketahun makin meningkat seiring dengan meningkatnya
mobilisasi penduduk. Di Amerika Serikat, < 500.000 kasus pertahunnya, di Indonesia sendiri
belum ada data lengkap, dari data rekam medik di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Jakarta
tahun 1998 tercatat penderita cidera kepala sebanyak 1091 orang dengan cidera kepala berat 137
orang. Di RSA "Jaury" Ujung Pandang pada tahun 1997, tercatat 6128 penderita yang dirawat,
322 diantaranya adalah penderita cidera kepala.
Dari keseluruhan kasus cidera kepala, 10% adalah cidera kepala berat dengan angka kematian
kurang lebih sepertiganya. Sepertiga lainnya hidup dengan kecacatan dan sepertiga sisanya
sembuh (tidak tergantung pada orang lain). Namun demikian mereka mungkin masih mengalami
gangguan kepribadian dan kesulitan dalam berkomunikasi dalam jangka waktu lama.
Oleh karena tingginya resiko kesakitan dan kematian pada cidera kepala, dokter-dokter yang
menerima pasien pertama kali, tetapi belum berpengalaman dalam pengelolaannya, harus
mengembangkan pengetahuan praktis dalam penanganan pertama, karena kemungkinan ahli
bedah saraf tidak tersedia dalam waktu singkat. Pemberian oksigenasi yang memadai dan
menjaga agar tekanan darah cukup untuk perfusi otak dan mencegah cidera otak sekunder adalah
langkah penting terhadap peningkatan luaran cidera kepala.
Seleksi (triage) penderita dengan cidera kepala tergantung pada beratnya cidera dan fasilitas
yang tersedia. Walaupun demikian, penting untuk melakukan persiapan persetujuan pengiriman
dengan rumah sakit yang mempunyai fasilitas yang lebih lengkap, dengan demikian penderita
dengan cidera kepala sedang dan berat dapat segera dikirim untuk mendapatkan perawatan yang
memadai. Konsultasi segera dengan ahli bedah saraf pada saat pengobatan dan perawatan
penderita sangat dianjurkan, khususnya pada penderita dengan koma dan atau penderita dengan
kecurigaan adanya lesi massa intrakranial. Keterlambatan dalam perujukan dapat memperburuk
keadaan penderita dan selanjutnya akan menurunkan luaran cidera kepala.
Selain penanganan ABCDE (Airway, Breathing, Circulation, Disability dan Environment),
identifikasi lesi massa yang mungkin membutuhkan tindakan operatif adalah hal yang penting,
1
dan CT-scan kepala adalah sarana diagnostik yang terbaik, namun demikian pemeriksaan CT-
scan kepala jangan sampai memperlambat rujukan.
Dalam setiap rujukan, dokter yang merujuk sebaiknya menyertakan data-data sebagai berikut(1):
1. Umur penderita, waktu dan mekanisme trauma.
2. Status respirasi dan kardiovaskular
3. Hasil pemeriksaan neurologis, yang terdiri dari GCS (penekanan pada respons motorik) dan
reaksi pupil
4. Adanya cidera penyerta
5. Hasil penunjang diagnostik, terutama CT-SCAN (bila tersedia).
Tingkat resiko penderita trauma kepala dapat dikelompokkan berdasarkan presentasi klinis dari
penderita menjadi 3 kategori:
1. Low risk
Penderita sadar, secara fisik normal, tidak ada intoksikasi alcohol/obat-obatan, minimal laresarsi
atau hematom ringan, pusing, pening, atau penglihatan kabur. Glasgow coma score 14-15
2. Moderate risk
Sempat pingsan, amnesia, muntah, kejang, ada tanda fraktur di skull, adanya tanda intoksikasi
alcohol/obat-obatan, trauma yang tidak diketahui penyebabnya. Glasgow coma score 9-14.
3. Severe
Glasgow coma score kurang dari 8, penurunan atau hilangnya kesadaran, fraktur skull, kelainan
neurologist yang menandakan cedera intrakranial
Glasgow Coma Score adalah skala yang digunakan untuk mengukur tingkat kesadaran
seseorang. Skornya berkisar antara 3 (terburuk) sampai 15 (terbaik) dan berdasarkan jumlah skor
kemampuan pasien membuka mata (0-4), berbicara (0-5), dan bergerak(0-6).
Peranan diagnosa imajing juga diperlukan terutama pada pasien dengan tingkat resiko moderate-
severe. Tujuan utama dari pemeriksaan imajing pada pasien trauma kepala ialah untuk
mengkonfirmasi adakah cedera intrakranial yang berpotensi mengancam jiwa pasien bila tidak
segera dilakukan tindakan.
2
Hadirnya modalitas imajing CT scan telah merevolusi cara mengevaluasi diagnosa trauma
kepala. Sebelum CT scan, plain foto skull umum dimintakan pada pasien kasus trauma kepala.
Namun nilai prediktif dan efisiensi dari skull x-ray sudah mulai dipertanyakan. Plain foto kepala
memang dapat menunjukkan ada/tidaknya fraktur pada kepala. Akan tetapi pemeriksaan
radiologi itu tidak adekuat untuk memprediksi adanya cedera intrakranial (Lyloyd,1997).
Profesor Anne G Osborn, ahli neuroradilologist dari University of Utah School of Medicine,
menyatakan 25-30% pasien trauma kepala tanpa fraktur ternyata mengalami cedera intrakranial
yang berat (Anne, 2003). Disamping itu, waktu yang digunakan untuk plain skull foto, bisa jadi
malah memperlambat diagnosa trauma intrakranial (Jonathan,2004). Oleh karena itu CT scan
telah menggantikan peranan plain foto dan menjadi modalitas pilihan dalam menunjang diagnosa
trauma kepala.
3
BAB II
CT-SCAN adalah alat tomogram yang dikendalikan oleh koputer, yang dikenal sebagai computer
assisted tomography (CAT) atau computerized tomography (CT).
Pemeriksaan CT SCAN sangat mutlak pada kasus trauma kepala untuk menentukan adanya
kelainan intracranial terutama pada cedera kepala berat ( Severe, glasgow coma score 8 ( Normal
15).
4
2.2. indikasi CT SCAN
Tujuan utama dari pemeriksaan imajing pada kasus trauma kepala adalah unutuk menentukan
adanya cedera intracranial yang membahayakan keselamatan jiwa pasien bila tidak segera
dilakukan tindakan secepatnya(Cyto).
Pada saat sekarang CT SCAN telah menjadi modalitas utama dalam menunjang diagnosa trauma
kepala terutama pada kasus cyto yang sebelumnya sulit terdeteksi pada foto Foto Town atau
Occipitomental ( plain foto skull ). Pada kasus trauma kepala pada umumnya pasiennya
merupakan pasien yang tidak sadar atau tidak koorperatif, dengan kondisi yang demikian
sulit untuk mendapatkan posisi scaning ideal yang kita inginkan, sedangkan bila dilakukan
tindakan anestesi sering dihadapkan pada resiko yang harus dihadapi.
5
Dengan demikian Radiografer dipaksa untuk melakukan berbagai cara untuk mengatasinya
dalam melakukan pemeriksaan CT SCAN mulai dari persiapan pasien, prosedur, posisi,
protokol, post prosesing dan pencetakan film.
Peranan CT SCAN sebagai salah satu modalitas imajing pada kasus trauma kepala sangat
diperlukan karena memiliki kelebihan antara lain:
a. Pemeriksaan yang singkat dan mudah.
b.Tidak merupakan invasif.
c. Lebih informatif dalam mengidentifikasi / melokalisir
adanya fraktur fragmentnya pada tulang- tulang kepala.
d. Dapat mengetahui adanya perdarahan extrakranial dan
menghitung volumenya.
e. Dapat mengetahui adanya kelaianan intrakranial/
perdarahan intracranial
(Subdural,Epidural,Sub arachnoid hemmorage)
f. Infark akut, oedema cerebri, cerebral contusion.
Untuk pemeriksaan CT scan kepala tidak memerlukan persiapan khusus. Hal-hal yang perlu
diperhatikan radiografer adalah:
1. Pastikan di ruangan ada saluran / tabung oksigen dan suction, dan bila perlu peralatan
resusitasi.
2. Sebelum pasien masuk, isilah data pasien terlebih dahulu di data konsul.
3. Gunakan sarung tangan / unsteril glove dalam memindah dan pengatur posisi pasien pada
kasus trauma dengan luka terbuka. (universal precaution)
4. Pastikan tidak benda-benda metalik pada penderita di area kepala (kalung, jepit rambut,
anting, kabel-kabel monitor ) yang dapat menimbulkan artefak pada gambar.
5. Jangan pernah melepas alat fiksasi leher collar bila telah dipasang
6
6. Bila perlu, anggota satu keluarga ada yang mendampingi sewaktu pemeriksaan pada kasus
trauma .(misal pasien anak-anak). Berikan apron.
7. Fiksasi kepala pasien pada cradle, dengan perlatan fiksasi.
7
Window With dan Window Levelnya.
o Bone: W=3000, L=800
o Brain: W=90, L=40
o Subdural or intermediate: W=200, L=50
8. Bila positioning tidak memungkinkan pasien mempertahankan posisi kepalanya, bila gambar
kabur karena pergerakan, perlu diulang. Jika hanya rotasi saja, tidak perlu diulang dan gunakan
fasilitas rotational image
9. Print dengan scout / scannogran dan gambar aksialnya 15-20 dalam 1 lembar, bila perlu
ditambah 1 lembar kondisi tulang.
8
BAB III
Trauma kapitis adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara langsung ataupun
tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologi yaitu gangguan fisik,
3.1.1 Anatomi
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut sebagai SCALP yaitu :
e. Perikranium.
9
Jaringan penunjang longgar memisahkan galea aponeurotika dari perikranium dan
Kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah sehingga bila terjadi perdarahan akibat
laserasi kulit kepala akan menyebabkan banyak kehilangan darah, terutama pada bayi
dan anak-anak.
2. Tulang Tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Kalvaria khususnya di
bagian temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporal. Basis kranii
berbentuk tidak rata sehinga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat
proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu :
fosa anterior, fosa media, dan fosa posterior. Fosa anterior adalah tempat lobus
frontalis, fosa media adalah tempat lobus temporalis, dan fosa posterior adalah ruang
3. Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan yaitu :
duramater, araknoid dan piamater. Duramater adalah selaput yang keras, terdiri atas
jaringan ikat fibrosa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena
tidak melekat pada selaput araknoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang
potensial (ruang subdural) yang terletak antara duramater dan araknoid, dimana
Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak
10
menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat
mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari
Arteri-arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari kranium
(ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada
arteri-arteri ini dan dapat menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering
mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa temporalis
(fosa media).
Dibawah duramater terdapat lapisan kedua dari meningen, yang tipis dan tembus
pandang disebut lapisan araknoid. Lapisan ketiga adalah piamater yang melekat erat pada
permukaan korteks serebri. Cairan serebrospinal bersirkulasi dalam ruang sub araknoid.
4. Otak
Otak manusia terdiri dari serebrum, serebelum, dan batang otak. Serebrum terdiri atas
hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh falks serebri yaitu lipatan duramater
dari sisi inferior sinus sagitalis superior. Pada hemisfer serebri kiri terdapat pusat
bicara manusia. Hemisfer otak yang mengandung pusat bicara sering disebut sebagai
hemisfer dominan.
Lobus frontal berkaitan dengan fungsi emosi, fiungsi motorik, dan pada sisi dominan
sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori. Lobus
11
oksipital bertanggung jawab dalam proses penglihatan.
Batang otak terdiri dari mesensefalon (mid brain), pons, dan medula oblongata.
Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi
yang kecil saja pada batang otak sudah dapat menyebabkan defisit neurologis yang
berat.
dalam fosa posterior, berhubungan dengan medula spinalis, batang otak, dan juga
5. Cairan serebrospinal
produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari ventrikel lateral melalui foramen
monro menuju ventrikel III kemudian melalui aquaductus sylvii menuju ventrikel IV.
Selanjutnya CSS keluar dari sistem ventrikel dan masuk ke dalam ruang subaraknoid
yang berada di seluruh permukaan otak dan medula spinalis. CSS akan direabsorbsi
6. Tentorium
Tentorium serebelli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supra tentorial (terdiri
atas fossa kranii anterior dan fossa kranii media) dan ruang infratentorial (berisi fosa
kranii posterior).
12
3.1.2. Fisiologi
Biasanya ruang intrakranial ditempati oleh jaringan otak, darah, dan cairan
suatu tekanan intra kranial normal sebesar 50 sampai 200 mmH2O atau 4 sampai 15
mmHg. Dalam keadaan normal, tekanan intra kranial (TIK) dipengaruhi oleh
aktivitas sehari-hari dan dapat meningkat sementara waktu sampai tingkat yang jauh
Ruang intra kranial adalah suatu ruangan kaku yang terisi penuh sesuai kapasitasnya
dengan unsur yang tidak dapat ditekan, yaitu : otak ( 1400 g), cairan serebrospinal (
sekitar 75 ml), dan darah (sekitar 75 ml). Peningkatan volume pada salah satu dari
ketiga unsur utama ini mengakibatkan desakan ruang yang ditempati oleh unsur
2. Hipotesa Monro-Kellie
Teori ini menyatakan bahwa tulang tengkorak tidak dapat meluas sehingga bila salah
Mekanisme kompensasi intra kranial ini terbatas, tetapi terhentinya fungsi neural
dapat menjadi parah bila mekanisme ini gagal. Kompensasi terdiri dari meningkatnya
aliran cairan serebrospinal ke dalam kanalis spinalis dan adaptasi otak terhadap
13
peningkatan tekanan tanpa meningkatkan TIK. Mekanisme kompensasi yang
pergeseran otak ke arah bawah ( herniasi ) bila TIK makin meningkat. Dua
mekanisme terakhir dapat berakibat langsung pada fungsi saraf. Apabila peningkatan
TIK berat dan menetap, mekanisme kompensasi tidak efektif dan peningkatan
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer
dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat
langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan oleh benturan langsung kepala
dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselerasi-deselerasi gerakan kepala.
Pada trauma kapitis, dapat timbul suatu lesi yang bisa berupa perdarahan pada
permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar dan kecil, tanpa kerusakan pada
duramater, dan dinamakan lesi kontusio. Lesi kontusio di bawah area benturan
disebut lesi kontusio coup, di seberang area benturan tidak terdapat gaya kompresi,
sehingga tidak terdapat lesi. Jika terdapat lesi, maka lesi tersebut dinamakan lesi
akselerasi yang sering dialami oleh kepala akibat trauma kapitis adalah akselerasi
rotatorik. Bagaimana caranya terjadi lesi pada akselerasi rotatorik adalah sukar untuk
dijelaskan secara terinci. Tetapi faktanya ialah, bahwa akibat akselerasi linear dan
rotatorik terdapat lesi kontusio coup, countercoup dan intermediate. Yang disebut lesi
14
kontusio intermediate adalah lesi yang berada di antara lesi kontusio coup dan
countrecoup .
dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi
solid) dan otak (substansi semi solid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat
dari muatan intra kranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak
membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan .
Kerusakan sekunder terhadap otak disebabkan oleh siklus pembengkakan dan iskemia
otak yang menyebabkan timbulnya efek kaskade, yang efeknya merusak otak. Cedera
sekunder terjadi dari beberapa menit hingga beberapa jam setelah cedera awal. Setiap
kali jaringan saraf mengalami cedera, jaringan ini berespon dalam pola tertentu yang
aliran kalsium, produksi laktat, dan perubahan pompa natrium pada dinding sel yang
Neuron atau sel-sel fungsional dalam otak, bergantung dari menit ke menit pada
suplai nutrien yang konstan dalam bentuk glukosa dan oksigen, dan sangat rentan
kemampuan sirkulasi otak untuk mengatur volume darah sirkulasi yang tersedia,
15
3.3. Klasifikasi Trauma Kapitis
Cedera otak dibagi atas cedera tumpul dan cedera tembus. Cedera tumpul biasanya
berkaitan dengan kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh, atau pukulan benda tumpul.
Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan secara umum dalam deskripsi beratnya
penderita cedera otak. Penderita yang mampu membuka kedua matanya secara
spontan, mematuhi perintah, dan berorientasi mempunyai nilai GCS total sebesar 15,
sementara pada penderita yang keseluruhan otot ekstrimitasnya flaksid dan tidak
membuka mata ataupun tidak bersuara maka nilai GCS-nya minimal atau sama
dengan 3. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefinisikan sebagai koma atau cedera
otak berat. Berdasarkan nilai GCS, maka penderita cedera otak dengan nilai GCS 9-13
dikategorikan sebagai cedera otak sedang, dan penderita dengan nilai GCS 14-15
16
Menurut Brain Injury Association of Michigan (2005), klasifikasi keparahan dari
a.Ringan
GCS = 13 15
b. Sedang
GCS = 9 - 12
c. Berat
GCS = 3 8
17
DASAR PENGUKURAN TINGKAT KESADARAN DENGAN GLASLOW COMA SCALE
18
Suara tidak dapat 2 Menjawab dengan tidak
dimengerti membentuk
kalimat/kata.
Tidak berespon 1 Tidak ada respon
19
3. Morfologi
a. Fraktur Kranium
Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dapat berbentuk
garis/linear atau bintang/stelata, dan dapat pula terbuka ataupun tertutup. Fraktur
window untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar
Fraktur kranium terbuka dapat mengakibatkan adanya hubungan antara laserasi kulit
kepala dengan permukaan otak karena robeknya selaput dura. Adanya fraktur
tengkorak tidak dapat diremehkan, karena menunjukkan bahwa benturan yang terjadi
cukup berat.
a. Linier
b. Diastase
c. Comminuted
d. Depressed
20
3. Keadaan luka, dibedakan atas :
a. Terbuka
b. Tertutup
Mulai dari konkusi ringan, dimana gambaran CT scan normal sampai kondisi yang
sangat buruk. Pada konkusi, penderita biasanya kehilangan kesadaran dan mungkin
Cedera otak difus yang berat biasanya diakibatkan hipoksia, iskemi dari otak karena
syok yang berkepanjangan atau periode apnoe yang terjadi segera setelah trauma.
Pada beberapa kasus, CT scan sering menunjukkan gambaran normal, atau gambaran
edema dengan batas area putih dan abu-abu yang kabur. Selama ini dikenal istilah
Cedera Aksonal Difus (CAD) untuk mendefinisikan trauma otak berat dengan prognosis yang
buruk. Penelitian secara mikroskopis menunjukkan adanya kerusakan
2. Perdarahan Epidural
Hematoma epidural terletak di luar dura tetapi di dalam rongga tengkorak dan
area temporal atau temporo parietal yang biasanya disebabkan oleh robeknya arteri
21
3. Perdarahan Subdural
Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan epidural. Perdarahan ini
otak lebih berat dan prognosisnya jauh lebih buruk dibandingkan perdarahan epidural.
Kontusio serebri sering terjadi dan sebagian besar terjadi di lobus frontal dan lobus
temporal, walaupun dapat juga terjadi pada setiap bagian dari otak. Kontusio serebri
dapat, dalam waktu beberapa jam atau hari, berubah menjadi perdarahan intra
22
BAB IV
PEMBAHASAN
1. FRAKTUR
Fraktur pada trauma kepala jenisnya bisa :
o Linier non displacement
o Depressed ( adanya displacement dari fragment)
o Diastatic fractures (fraktur yang melibatkan sutura)
Fraktur impresi dan linier pada tulang parietal, frontal dan temporal.
23
Fraktur basis cranium
2. HEMATOMA INTRACRANIAL
a. Epidural Hematoma
Epidural hematoma adalah kumpulan massa darah akibat robeknya middle meningeal arteri
antara skull dan dura di regio temporal , yang sangat kuat hubungannya dengan fraktur linear.
Kadang juga terjadi akibat robeknya vena dan tipikalnya terjadi di region posterior fosa atau
dekat daerah occipital lobe.
24
Gambaran Epidural pada CT tampak sebagai bentuk bi convex dan adanya pemisahan jaringan
otak dengan skull. Pendarahan akut tampak hyperdens, subakut tampak isodense, kronis
tampakhypodens.
Epidural hematoma
B. Subdural Hematoma
Subdural hematoma adalah kumpulan perdarahan vena yang berlokasi antara dura mater dan
arachnoid membrane (subdural space). Biasanya terjadi akibat kepala berbenturan dengan benda
tak bergerak menyebabkan robeknya vena antara cerebral cortex dan vena dura.
25
Gambaran subdural pada CT tampak sebagai bentuk bulan sabit mengikuti kontur dari kranium
bagian dalam. Pendarahan akut tampak hyperdens, subakut tampak isodense, kronis tampak
hypodens.
Subdural hematoma
3. HEMATOMA INTRAPARENKIMAL
1. Subarachnoid Hemmorage
26
Subarachnoid hemmorage
2. Hematoma intracerebral
Perdarahan pada parenkim otak, disebabkan karena pecahnya arteri intraserebralmono atau
multiple .
Hematoma intracerebral
27
BAB V
KESIMPULAN
CT scan adalah modalitas pilihan utama dalam membantu penegakkan diagnosa trauma
kepala dengan cedera intrakranial seperti fraktur, hematom intrakranial dan extrakranial.
Keunggulannya selain cepat,mudah, dan dapat diandalkan. Penggunaan protokol yang tepat dan
optimasi post processing dari radiographer sebagai operator CT scan dapat menambah informasi
dan meingkatkan akurasi diagnosa secara dini sehingga tindakan terapi dapat segera dilakukan
sehingga pasien diharapkan mendapatkan prognosa atau hasil perawatan penyembuhan
semaksimal mungkin.
28
DAFTAR PUSTAKA
29