Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Berdasarkan data statistik dunia tahun 2009, bahwa cadangan minyak dunia
diperkirakan masih 1,333 triliun barrel yang akan habis dalam waktu 45,7 tahun (BP
Statistical Review of World Energy). Cadangan minyak bumi yang semakin menipis
mendorong eksplorasi bahan bakar alternatif ramah lingkungan.
Disisi lain masyarakat Indonesia sering sekali mengelola makanan dengan digoreng.
Hal ini tentu mengakibatkan penggunaan minyak goreng terus meningkat. Kebiasan
buruknya bahwa masyarakat sering sekali menggunakan minyak goreng ini lebih dari dua
atau tiga kali (minyak jelantah). Kegiatan ini sangat tidak baik dan akan merugikan kesehatan
masyarakat.
Minyak jelantah adalah minyak yang telah digunakan lebih dari dua atau tiga kali
penggorengan, dan dikategorikan sebagai limbah karena dapat merusak lingkungan dan dapat
menimbulkan sejumlah penyakit. Sebuah penelitian menyimpulkan bahwa orang-orang yang
memasak dan mengonsumsi makanan yang digoreng dengan minyak jelantah lebih berisiko
mengidap tekanan darah tinggi dibandingkan dengan mereka yang sering mengganti minyak
gorengnya untuk memasak.
Menurut Julianus (2006) bila ditinjau dari komposisi kimianya, minyak jelantah
mengandung senyawa-senyawa bersifat karsinogenik, yang terjadi selama proses
penggorengan. Jadi jelas bahwa pemakaian minyak jelantah yang berkelanjutan dapat
merusak kesehatan manusia karena mengandung senyawa-senyawa karsinogen dan akibat
selanjutnya dapat mengurangi kecerdasan generasi berikutnya. Penggunaan minyak jelantah
yang sudah berulang kali mengandung zat radikal bebas yang bersifat karsinogenik seperti
peroksida, epioksida, dan lain-lain. Pada percobaan terhadap binatang, konsumsi makanan
yang kaya akan gugus peroksida menimbulkan kanker usus.

1.2 Rumusan Masalah


Apa yang dimaksud dengan minyak jelantah?
Bagaimana proses pembuatan biodiesel dari minyak jelantah?
Bagaimana proses pembuatan biodiesel dan biogasolin dari minyak jelantah?
1.3 Tujuan
Mengetahui pengertian minyak jelantah
Memahami proses pembuatan biodiesel dari minyak jelantah
Memahami proses pembuatan biodiesel dan biogasolin dari minyak jelantah
BAB II
ISI
2.1 Minyak Jelantah
a. Minyak Jelantah dan Penggunaannya Secara Berulang Kali
Minyak goreng yang digunakan berulang kali atau yang lebih dikenal dengan minyak
jelantah adalah minyak limbah yang bisa berasal dari jenis-jenis minyak goreng seperti
halnya minyak jagung, minyak sayur, minyak samin dan sebagainya. Minyak ini merupakan
minyak bekas pemakaian kebutuhan rumah tangga yang dapat digunakan kembali untuk
keperluan kuliner, akan tetapi bila ditinjau dari komposisi kimianya, minyak jelantah
mengandung senyawa-senyawa yang bersifat karsinogenik, yang terjadi selama proses
penggorengan sehingga dapat menyebabkan penyakit kanker dalam jangka waktu yang
panjang.

Tanda awal dari kerusakan minyak goreng adalah terbentuknya akrolein pada minyak
goreng. Akrolein ini menyebabkan rasa gatal pada tenggorokan pada saat mengkonsumsi
makanan yang digoreng menggunakan minyak goreng berulang kali. Akrolein terbentuk dari
hidrasi gliserol yang membentuk aldehida tidak jenuh atau akrolein. Skema proses
terbentuknya akrolein dapat dilihat pada Gambar 1.

Minyak goreng sangat mudah untuk mengalami oksidasi. Maka minyak jelantah telah
mengalami penguraian molekul-molekul, sehingga titik asapnya turun drastis, dan bila
disimpan dapat menyebabkan minyak menjadi berbau tengik. Bau tengik dapat terjadi karena
penyimpanan yang salah dalam jangka waktu tertentu menyebabkan pecahnya ikatan
trigliserida menjadi gliserol dan free fatty acid (FFA) atau asam lemak jenuh.

b. Sifat-sifat Minyak Jelantah


Sifat-sifat minyak jelantah dibagi menjadi sifat fisik dan sifat kimia (Ketaren, 2005)
yaitu:
a. Sifat Fisik

1) Warna, terdiri dari dua golongan : golongan pertama yaitu zat warna alamiah, yaitu secara
alamiah terdapat dalam bahan yang mengandung minyak dan ikut terekstrak bersama minyak
pada proses ekstrasi. Zat warna tersebut antara lain dan karoten (berwarna kuning),
xantofil (berwarna kuning kecoklatan), klorofil (berwarna kehijauan) dan antosyanin
(berwarna kemerahan). Golongan kedua yaitu zat warna dari hasil degradasi zat warna
alamiah, yaitu warna gelap disebabkan oleh proses oksidasi terhadap tokoferol (vitamin E),
warna cokelat disebabkan oleh bahan untuk membuat minyak yang telah busuk atau rusak,
warna kuning umumnya terjadi pada minyak tidak jenuh.

2) Odor dan flavor, terdapat secara alami dalam minyak dan juga terjadi karena pembentukan
asam-asam yang berantai sangat pendek.

3) Kelarutan, minyak tidak larut dalam air kecuali minyak jarak (castor oil), dan minyak
sedikit larut dalam alkohol, etil eter, karbon disulfida dan pelarut-pelarut halogen.

4) Titik cair dan polymorphism, minyak tidak mencair dengan tepat pada suatu nilai
temperatur tertentu. Polymorphism adalah keadaan dimana terdapat lebih dari satu bentuk
kristal.

5) Titik didih (boiling point), titik didih akan semakin meningkat dengan bertambah
panjangnya rantai karbon asam lemak tersebut.

6) Titik lunak (softening point), dimaksudkan untuk identifikasi minyak tersebut.

7) Sliping point, digunakan untuk pengenalan minyak serta pengaruh kehadiran komponen-
komponennya.

8) Shot melting point, yaitu temperatur pada saat terjadi tetesan pertama dari minyak atau
lemak.
9) Bobot jenis, biasanya ditentukan pada temperature 25oC , dan juga perlu dilakukan
pengukuran pada temperature 40oC.

10) Titik asap, titik nyala dan titik api, dapat dilakukan apabila minyak dipanaskan.
Merupakan kriteria mutu yang penting dalam hubungannya dengan minyak yang akan
digunakan untuk menggoreng.

11) Titik kekeruhan (turbidity point), ditetapkan dengan cara mendinginkan campuran
minyak dengan pelarut lemak.

b. Sifat Kimia

1) Hidrolisa, dalam reaksi hidrolisa, minyak akan diubah menjadi asam lemak bebas dan
gliserol. Reaksi hidrolisa yang dapat menyebabkan kerusakan minyak atau lemak terjadi
karena terdapatnya sejumlah air dalam minyak tersebut.

2) Oksidasi, proses oksidasi berlangsung bila terjadi kontak antara sejumlah oksigen dengan
minyak. Terjadinya reaksi oksidasi akan mengakibatkan bau tengik pada minyak dan lemak.

3) Hidrogenasi, proses hidrogenasi bertujuan untuk menumbuhkan ikatan rangkap dari rantai
karbon asam lemak pada minyak.

4) Esterifikasi, proses esterifikasi bertujuan untuk mengubah asam-asam lemak dari


trigliserida dalam bentuk ester. Dengan menggunakan prinsip reaksi ini hidrokarbon rantai
pendek dalam asam lemak yang menyebabkan bau tidak enak, dapat ditukar dengan rantai
panjang yang bersifat tidak menguap.

2.2 Pengolahan Minyak Jelantah Menjadi Biodiesel

Biodiesel merupakan senyawa ester berupa cairan bening tak berwarna, terurai secara
biologis (biodegradable), toksisitas rendah dan tidak menimbulkan polusi udara yang besar
bila bocor. Biodiesel merupakan cairan dengan jenis warna yang bervariasi antara kuning
keemasan hingga cokelat gelap tergantung dari bahan baku yang digunakan. Biodiesel tidak
dapat bercampur dengan air.Memiliki titik didih tinggi dan dan titik uap yang rendah.Titik
pembakaran biodiesel (>130 C, >266 F) sangat signifikan lebih tinggi dari petrodiesel (64
C, 147 F) atau premium (45 C, -52 F). Biodiesel memiliki kepadatan ~ 0.88 g/cm, lebih
rendah dari air.
Minyak jelantah yang akan diproses untuk pembuatan biodiesel ini harus melalui
proses pemurnian yang menggunakan katalis dalam proses esterifikasi dan transesterifikasi
.Pemanfaatan jelantah dapat dilakukan dengan dua cara. Cara yang pertama dengan
melakukan beberapa proses pada jelantah tersebut hingga menjadi seperti solar. Misal dengan
proses transesterifikasi. Hasilnya, jelantah tersebut dapat digunakan untuk bahan bakar pada
metode pembakaran dalam (internal combustions) maupun pembakaran luar (external
combustions). Tetapi, proses tersebut membutuhkan waktu yang relatif cukup lama karena
ada tahapan pengendapan, penyaringan dan pencucian. Selain waktunya lama, proses tersebut
juga membutuhkan biaya, yaitu untuk aditif dan katalisatornya. Proses ini juga tidak efisien
bila volume jelantah hanya dalam skala kecil.
Cara kedua adalah dengan memanfaatkannya secara langsung sebagai bahan bakar
pembakaran luar. Cara tersebut relatif cukup praktis karena tidak membutuhkan proses yang
rumit. Proses yang perlu untuk dilakukan hanyalah penyaringan, sehingga jelantah terbebas
dari terak, kotoran ataupun agregat. Pemanfaatan dengan cara ini bisa dilakukan untuk
berbagai skala volume, dan sangat sesuai terutama bila volumenya dalam skala yang kecil.
Ketersediaan jelantah juga relatif terjaga karena pada saat ini, produksi maupun konsumsi
minyak goreng di Indonesia terus meningkat.
Jelantah merupakan salah satu pilihan yang menarik untuk digunakan sebagai bahan
bakar karena memiliki beberapa keunggulan antara lain kandungan energi yang dimiliki
cukup besar, sehingga dengan bobot atau volume yang tidak besar terdapat potensi kalor yang
cukup tinggi, kondisinya relatif masih dalam fase cair sehingga pengaturan dalam operasional
pembakaran relatif mudah, tidak gampang meledak sehingga aman dan penyimpanan
persediaannya tidak membutuhkan prosedur ataupun persyaratan khusus.

Pada prinsipnya, pembuatan biodiesel didasarkan kepada proses transesterifikasi


trigliserida menjadi metil ester (biodiesel). Dalam reaksinya terjadi penggantian gugus
alkohol dari ester dengan alkohol lain. Pada umumnya, alkohol yang digunakan dalam proses
transesterifikasi adalah metanol. Selain itu, untuk mempercepat terjadinya reaksi, digunakan
pula katalis NaOH. Pada proses transesterifikasi ini dihasilkan juga gliserol yang menjadi
produk samping dalam pembuatan biodiesel ini.
Secara umum proses transesterifikasi trigliserida dengan metanol untuk menghasilkan
metil ester (biodiesel) digambarkan sebagai berikut:
Selain proses transesterifikasi, pembuatan biodiesel dari minyak jelantah ini juga
melewati beberapa tahap lain yang dijelaskan sebagai berikut:

Faktor utama yang mempengaruhi rendemen metil ester yang dihasilkan pada reaksi
transesterifikasi adalah rasio molar antara trigliserida dan alkohol, jenis katalis yang
digunakan, suhu reaksi, waktu reaksi, kandungan air, dan kandungan asam lemak bebas.
Besarnya kandungan asam lemak yang terkandung dalam trigliserida bergantung pada
penggunaan minyak jelantah dalam penggorengan. Penggunaan minyak jelantah bekas
penggorengan bahan makanan yang mengandung banyak lemak atau protein akan
meningkatkan kandungan asam lemak dalam trigliserida yang akan mempengaruhi reaksi.
Selain itu, suhu yang terlalu tinggi pada saat proses transesterifikasi bisa
menyebabkan minyak berbusa karena terjadi reaksi penyabunan yang disebabkan oleh NaOH
yang bereaksi dengan minyak pada suhu tinggi. Umumnya suhu reaksi ideal pada
transesterifikasi ini antara 50o-60oC. Selain itu, proses pemurnian dan penyaringan juga bisa
mengurangi jumlah metil ester yang dihasilkan. Proses bleaching yang terlalu lama bisa
menyebabkan minyak dan air teremulsi dan sulit dipisahkan karena antara asam lemak,
minyak, dan air akan saling terikat.
Pada proses akhir (purifikasi) dimana metil ester dipanaskan, akan terjadi penguapan
air dan sisa metanol yang tidak ikut bereaksi. Metanol dan air ini perlu dihilangkan untuk
mencegah kerusakan mesin ketika proses pembakaran biodiesel dalam mesin. Metil ester
yang baik memiliki pH netral (6-8). pH yang terlalu asam atau basa bisa menyebabkan
kerusakan pada tangki bahan bakar apabila biodiesel ini digunakan sebagai bahan bakar
mesin diesel.

2.3 Pengolahan Minyak Jelantah Menjadi Biogasolin dan Biodiesel


Penelitian baru-baru ini mengenai minyak jelantah yakni dengan mengubahnya
menjadi biogasolin dan biodiesel. Penelitian Produksi Biogasolin dari bahan dasar minyak
goreng bekas atau jelantah ini ditujukan untuk menghasilkan bahan bakar bensin yang ramah
lingkungan.
Biogasolin adalah bensin yang diproduksi dari biomassa seperti ganggang . Seperti
bensin yang diproduksi secara tradisional , berisi antara 6 ( heksana ) dan 12 ( dodekana )
atom karbon per molekul dan dapat digunakan dalam mesin pembakaran internal.
Biogasoline secara kimiawi berbeda dari biobutanol dan bioetanol , karena ini adalah
alkohol , tidak hidrokarbon.
Berikut ini penjelasan umum mengenai metode hydrocracking.
Cracking adalah proses penguraian molekul senyawa hidrokarbon yang besar menjadi
hidrokarbon yang memiliki struktur molekul yang kecil. Salah satu contoh proses cracking
yaitu pengurain struktur hidrokarbon pada fraksi minyak tanah menjadi struktur molekul
kecil fraksi bensin ataupun pengurain fraksi solar menjadi bensin. terdapat berbagai macam
proses cracking yaitu thermal cracking, catalytic cracking dan hidrocracking. Proses
pengurain dari tiga metode tersebut menggunakan cara-cara yang berbeda, berikut
penjelasannya:

1. Thermal Cracking
Proses penguraian ini menggunakan suhu yang tinggi serta tekanan yang rendah, suhu
yang digunakan dapat mencapai temperature 800C dan tekanan 700 kpa. Partikel ringan
yang memiliki hidrogen dalam jumlah banyak akan terbentuk pada penguraian molekul berat
yang terkondensasi. Reaksi yang terjadi pada proses ini disebut dengan homolitik fision dan
memproduksi alkena yang menjadi bahan dasar untuk memproduksi polimer secara
ekonomis. Panas yang digunakan dalam proses ini menggunakan steam cracking yaitu uap
yang memiliki suhu yang tinggi.
2. Catalytic Cracking
Proses ini menggunakan katalis sebagai media yang dapat mempercepat laju reaksi,
proses penguraian molekul besar menjadi molekul kecil dilakukan dengan suhu tinggi. Jenis
katalis yang sering digunakan adalah silica, alumunia, zeloit dan beberapa jenis lainnya
seperti clay, umumnya reaksi dari proses perengkahan katalitik menggunakan mekanisme
perengkahan ion karbonium. Awalnya katalis yang memiliki sifat asam akan menambahkan
proton ke dalam molekul olevin ataupun menarik ion hidrida dari alkana sehingga
menyebabkan terbentuknya ion karbonium.
3. Hydrocracking
Hydrocracking merupakan proses dua tahap menggabungkan catalytic cracking dan

hidrogenasi, dimana bahan baku yang lebih berat akan terpecahkan dengan adanya hydrogen

untuk menghasilkan produk yang lebih diinginkan. Tujuan dari proses ini adalah untuk

mengkonversi gas oil yang bernilai rendah menjadi produk produk yang lebih berharga
sepertinaftha, diesel, gas, dan lain lain. Proses ini menggunakan tekanan tinggi, suhu tinggi,
katalis,dan hidrogen.

Sebenarnya pada semua jenis proses cracking, selain terjadinya proses pemutusan
rantai (cracking) juga terjadi proses hidrogenasi. Proses hidrogenasi ini penting karena selain
untuk menjenuhkan beberapa produk yang dihasilkan dari proses cracking, penambahan
hidrogen jugaberfungsi untuk menstabilkan produk hasil cracking. Dari sebuah hidrokarbon
rantai panjang kemudian di cracking pasti produk produk hidrokarbon rantai pendek yang
dihasilkan mempunyai bagian radikal bebas. Apabila radikal bebas ini tidak dikendalikan
dengan cara penambahan hidrogen, maka mereka akan menyerang produk hasil cracking
yang lain sehingga terjadi cracking yang tidak terkontrol (tidak selektif). Dalam proses
catalytic hydrocracking ini yang menjadi proses utamanya adalah hidrogenasi, dengan
catatan proses cracking juga terjadi.

Hydrocracking digunakan untuk bahan baku yang sulit untuk diproses, baik dengan

catalytic cracking atau reformasi, karena bahan baku ini biasanya ditandai dengan kandungan
aromatic polisiklik tinggi dan / atau konsentrasi tinggi dari dua racun katalis utama, sulfur
dan senyawa nitrogen. Prinsip dari hydrocracking adalah mengkonversi hidrokarbon berat
menjadi fraksi ringan sehingga dapat meningkatkan kuantitas dari fraksi ringan tersebut.

Dalam proses ini, yang terpenting adalah system katalis dan kontrol suhu di reaktor.
Suhu reactor harus meningkat untuk mempertahankan konversi dan katalis sendiri
menonaktifkan karena pembentukan kokas dihindari pada permukaan katalis. Secara konstan
hydrogen dalamproses akan menipis sehingga dibutuhkan tambahan hidrogen. Surplus panas
yang dilepaskan saat proses hidrogenasi tersebut menyebabkan suhu reactor meningkat dan
untuk mengontrol suhu, dilakukan penyuntikan dingin untuk menambah hidrogen agar katalis
tidak aus. Proses hydrocracking sangat tergantung pada sifat dari bahan baku dan tingkat
relatif dari kedua reaksi, hidrogenasi dan cracking. Bahan baku aromatic dengan molekul
yang berat diubah menjadi produk yang lebih ringan dengan berbagai tekanan yang sangat
tinggi (1000-2000 psi) dan temperatur yang cukup tinggi (750 -1500 F), dengan adanya
hydrogen dan katalis khusus.

Ketika bahan baku memiliki kandungan paraffin tinggi, fungsi utama dari hydrogen
adalah untuk mencegah pembentukan senyawa aromatic polisiklik. Peran penting hydrogen
dalam proses hydrocracking selain untuk menjaga selektivitas cracking adalah untuk
mengurangi pembentukan tar dan mencegah penumpukan coke di katalis. Hidrogenasi juga
berfungsi untuk mengkonversi senyawa sulfur dan nitrogen dalam bahan baku untuk
hidrogen sulfide dan amonia.

Mekanisme Reaksi Hydrocracking

Catalytic hydrocracking adalah proses catalytic cracking yang dilanjutkan dengan


proses hidrogenasi, penjenuhan hidrokarbon dengan bantuan hidrogen. Proses
perengkahanmenghasilkan olefin untuk hidrogenasi, sedangkan proses hidrogenasi
menyediakan panas untuk perengkahan. Hal ini bisa terjadi karena reaksi perengkahan adalah
reaksi endoterm dan reaksi hidrogenasi bersifat eksoterm. Panas yang dihasilkan biasanya
berlebih, sehingga temperature reaktor akan meningkat dan mempercepat reaksi. Hal ini
dikendalikan dengan menggunakan injeksi hidrogen dingin untuk menggambil kelebihan
panasnya.

Secara umum, reaksi hydrocracking dimulai dengan pembentukan olefin atau siklo-
olefin pada sisi logam katalis. Selanjutnya sisi asam akan menambahkan proton pada olefin
atau sikloolefin tersebut untuk menghasilkan ion carbonium. Ion carbonium tersebut akan
terrengkah menjadi ion carbonium yang lebih kecil dan senyawa olefin yang lebih kecil.
Produk tersebut merupakan produk utama hydrocracking. Proses terminasi pada reaksi
hydrocracking terjadi dengan reaksi penjenuhan senyawa olefin pada sisi logam katalisator.
Gambar 1.2 dan 1.3 adalah tahapan reaksi pada rangkaian reaksi hydrocracking terhadap
suatu senyawa n-parafin.
Dari reaksi pada gambar 1.2 dan 1.3 tersebut dapat diketahui bahwa pada awal reaksi
hydrocracking terbentuk senyawa olefin yang dikatalisis oleh sisi logam. Kemudian olefin
tersebut diubah menjadi ion carbonium. Ion carbonium tersebut terisomerisasi menjadi ion
carbonium tersier yang lebih stabil. Selanjutnya terjadi perengkahan ion carbonium tersebut
pada ikatan pada posisi terhadap muatan ion carbonium tersebut. Posisi merupakan ikatan
kedua dari muatan ion. Ion carbonium dapat bereaksi dengan olefin untuk mentransferkan
muatan dari satu fragmen ke fragmen lainnya. Dengan cara ini muatan dapat ditransfer dari
senyawa hidrokarbon rantai pendek ke senyawa hidrokarbon rantai lebih panjang yang dapat

mengakomodasi muatan dengan lebih baik. Akhirnya, reaksi penjenuhan terhadap olefin
terjadi pada sisi logam katalisator.

Reaksi hydrocracking merupakan reaksi yang selektif terhadap parafin dengan jumlah

atom karbon yang banyak. Hal ini terjadi dalam rangka mencapai kesetimbangan untuk

membentuk olefin dengan jumlah atom karbon yang banyak. Di samping itu, parafin dengan

jumlah atom karbon lebih banyak dapat mengadsorbsi lebih kuat. Ion carbonium intermedia

menyebabkan isomerisasi yang berlebih pada produk reaksi khususnya pada -metil isomer.
Hal ini karena ion carbonium tersier lebih stabil. Oleh karena itu, produksi C1 dan C3 rendah
karena produksi gas hidrokarbon tersebut terjadi ketika terbentuknya ion carbonium primer
dan sekunder yang sebenarnya kurang dikehendaki. Senyawa-senyawa lain seperti alkil-
naften, alkil aromat, dan lain sebagainya bereaksi dengan mekanisme serupa melalui reaksi
pembentukan ion carbonium. Selain reaksi hydrocracking terhadap paraffin, reaksi utama dan
reaksi lain yang yang terjadi pada proses hydrocracking adalah :

Reaksi utama:

Hydrogenasi PNA (Poly Nucleic Aromatic).

Ring opening dan pemisahan rantai samping.

Reaksi cracking paraffine.

Reaksi lain:

Isomerisasi (Senyawa cincin, rantai samping, paraffine)

Penjenuhan olefin

Penghilangan sulfur, nitrogen, oksigen

Konversi polynaphthene dan PNA


Akumulasi parafin di unconverted oil/UCO

Bersamaan dengan proses hydrocracking, impurities yang terkandung dalam feed,


seperti senyawa sulfur, nitrogen, oksigen, halide, dan metal juga dihilangkan. Selain itu
senyawa olefin juga dijenuhkan. Berikut ini merupakan proses penghilangan impurities dan
penjenuhan olefin pada hydrocracking:

a) Penghilangan Sulfur

Penghilangan sulfur dilakukan dengan cara mengubah senyawa sulfur organik menjadi

hidrogen sulfida dan hidrokarbon. Reaksi hydrodesulfurization (HDS) yang umum terjadi di

hydrocracker bisa dilihat pada gambar 1.4 berikut :

b) Penghilangan Nitrogen

Penghilangan nitrogen dilakukan dengan cara mengubah senyawa nitrogen organik menjadi

ammonia dan hydrocarbon. Reaksi hydrodenitrification (HDN), sebelum penghilangan

nitrogen, terjadi postulated mechanism yang ditunjukan pada gambar 1.5 berikut:
c) Penghilangan oksigen

Penghilangan oksigen dilakukan dengan cara mengubah senyawa oksigen organik menjadi

air dan hydrocarbon seperti yang ditunjukan gambar 1.7 berikut:

d) Penghilangan Halida
Penghilangan halida dilakukan dengan cara mengubah senyawa halide menjadi chloride acid

dan hydrocarbon. Organic halides seperti chloride dan bromide terdekomposisi di dalam

reaktor hydrocracker seperti reaksi yang ditunjukan pada gambar 1.8 di bawah ini:

e) Penjenuhan olefin

Penjenuhan olefin dilakukan dengan cara meng-hydrogenasi senyawa olefin menjadi parafin.
Tujuan penjenuhan olefin adalah untuk peningkatan stabilitas produk saat penyimpanan
(warna dan sediment). Reaksi penjenuhan olefin yang umum terjadi di hydrocracker seperti
yang ditunjukan pada gambar 1.9 berikut :

f) Penghilangan logam

Senyawa organik metal akan terdekomposisi dan metal akan secara permanen diserap atau
beraksi dengan katalis. Metal ini merupakan racun katalis yang permanen (tidak dapat
dihilangkan). Reaksi penghilangan metal terjadi dengan mekanisme sebagai berikut :

Pada tahap pertama, bahan baku dipanaskan lalu dicampur dengan hidrogen daur
ulang dan dikirim ke reaktor tahap pertama, di mana katalis mengkonversi senyawa sulfur
dan nitrogen untuk menjadi hidrogen sulfida dan amonia. Setelah hidrokarbon meninggalkan
tahap pertama, kemudian didinginkan hingga cair dan dijalankan melalui pemisah
hidrokarbon. Hidrogen didaur ulang untuk bahan baku. Cairan dibebankan pada sebuah
fractionator. Tergantung pada produk yang diinginkan (bensin komponen, bahan bakar jet,
dan minyak gas), fractionator dijalankan untuk memotong beberapa bagian dari keluaran
reaktor tahap pertama. Range minyak tanah material dapat diambil sebagai produk samping
imbang terpisah atau termasuk dalam dasar fractionator dengan minyak gas.
Bagian bawah fractionator yang dicampur lagi dengan aliran hidrogen dan dibebankan
pada tahap kedua. Karena bahan ini telah mengalami beberapa hidrogenasi, cracking, dan
reformasi dalam tahap pertama, operasi tahap kedua yang lebih tinggi (suhu yang lebih tinggi
dan tekanan). Seperti tenaga mesin dari tahap pertama, tahap kedua produk dipisahkan dari
hidrogen dan dibebankan fractionator tersebut. Berikut data umpan dan produk dari proses
hydrocracking.

Tabel 1. Umpan dan Produk Proses Hydrocracking

Proses hydrocracking dapat digambarkan dengan skema sebagai berikut:

Gambar 1. Proses Hydrocracking (Buku Pintar Migas Indonesia, 2012)


Katalis Hydrocracking

Katalis yang digunakan dalam proses hydrocracking adalah bi-functional catalyst


(mempunyai dua fungsi, yaitu metal function dan acid function). Metal function digunakan
untuk sulfur removal, nitrogen removal, olefin saturation, dan aromatic saturation. Sedangkan
acid function digunakan untuk hydrocracking. Berkaitan dengan katalis hydrocracking,
dikenal istilah supports dan promoters, dimana supports menyediakan acid fuction sedangkan
promoters menyediakan metal function. Umumnya katalis hydrocracking dikelompokkan
menjadi 2 tipe berdasarkan support-nya, yaitu amorphous dan zeolite. Tipe amorphous
digunakan jika diinginkan maksimasi produk distilat (kerosene dan diesel), sedangkan tipe
zeolite digunakan jika diinginkan maksimasi produk naphtha. Perbandingan antara tipe
amorphous dan zeolite adalah sebagai berikut :

Tabel 2. Perbandingan Katalis Tipe Amarphous dan Zeolite

Berdasarkan tabel di atas, katalis tipe zeolite mempunyai banyak keunggulan


dibandingkan tipe amorphous. Namun tipe zeolite mempunyai kelemahan utama, yaitu lebih
sedikit memproduksi distilat (kerosene dan diesel). Oleh karena itu beberapa tahun
belakangan ini diproduksi katalis tipe semi-zeolite, yaitu katalis yang mempunyai keunggulan
seperti tipe zeolite dan mempunyai kemampuan produksi distilat (kerosene dan diesel)
mendekati kemampuan tipe amorphous.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Minyak goreng yang telah dipakai dua atau tiga kali ini (minyak jelantah) dapat
dikonversikan menjadi bahan bakar berupa biogasolin dan biodiesel. Pengubahan ini
menggunakan metode hydrocracking. Produksi biogasolin dimulai dengan pembuatan katalis
sebagai media konversi minyak jelantah. Dengan menggunakan tanah liat atau clay yaitu
bentonit terpilar alumina (AI) yang mudah didapat di alam. Lalu tanah liat diaktifkan dengan
logam kadium (Cd) sebagai katalisatornya.

Selanjutnya, proses produksi dilakukan melalui proses hydrocracking. Minyak


jelantah dipanaskan dalam tanur listrik kemudian akan menguap mengalir melewati katalis.
Setelah itu, hasilnya akan menetes menjadi campuran biogasolin dan biodiesel yang
selanjutnya dipisahkan menggunakan metode destilasi. Hasilnya bisa memproduksi sekitar 42
persen biogasolin (bensin) dan 29 persen biodiesel (biosolar). Dengan begitu, dalam 1 liter
minyak bisa memproduksi sekitar 420 ml yang terdiri dari 240 ml biogasolin dan 180
biodiesel.

3.2 Saran

Sebaiknya bahan baku yang digunakan dalam pembuatan biogasolin ataupun


biodiesel tidak hanya minyak jelantah yang dimanfaatkan, mengingat Indonesia memiliki
potensi kelapa sawit yang sangat berlimpah khususnya di wilayah barat, nantinya minyak
kelapa sawit murni itu dapat dijadikan bahan baku dan diproduksi secara massal untuk bahan
bakar minyak (BBM).
DAFTAR PUSTAKA

Ibrahim, dkk.2015. Catalytic Hydrocracking.http.ui.ac.id (Diakses pada 14 September

2016)
Rahayu, Puji Eka.2012. Konversi Minyak Sawit Menjadi Biogasoline Menggunakan Katalis
Ni/Zeolit Alam.http://www.unnes.go.id (Diakses pada 14 Septemeber 2016)

Rahmat.2014.Industri Minyak Bumi. file.upi.edu/Direktori/FPMIPA/JUR.../INDUSTRI_

MINYAK__BUMI.pdf (Diakses pada 16 September 2016)

Sanjaya, Riki.2015.Biodiesel dan Biogasolin.https://www.ugm.ac.id/id/berita/11411 (Diakses

pada 15 September 2016)


LAMPIRAN

ARTIKEL TERKAIT

Tiga mahasiswa Universitas Gadjah Mada, Abdul Afif Almuflih dan Khoir Eko
Pambudi, mahasiswa Kimia, dan Endri Geofani dan Fakultas Pertanian, mendemonstrasikan
cara memproduksi bensin dari minyak jelantah.
YOGYAKARTA Indonesia adalah produsen sekaligus konsumen minyak goreng
yang cukup tinggi. Sebagai konsekuensinya, Indonesia juga memiliki masalah dengan
tingginya volume minyak goreng bekas. Namun, tidak lama lagi, minyak bekas yang
biasanya dibuang itu akan memiliki nilai ekonomis tinggi.
Setiap tahun, konsumsi minyak goreng di Indonesia mencapai lebih dari tiga juta ton.
Data Asosiasi Pedagang Kreatif Lapangan Indonesia (APKLI), yang antara lain membawahi
ribuan pedagang gorengan atau camilan goreng di tanah air menyebutkan, setiap pedagang
dalam seharinya menggunakan antara 3-5 liter minyak goreng. Setelah digunakan, biasanya
minyak goreng bekas atau yang biasa disebut jelantah, akan dibuang. Sebagian masyarakat
mengolahnya kembali menjadi biodiesel untuk keperluan bahan bakar hingga sabun cuci.
Tiga mahasiswa Universitas Gadjah Mada melangkah lebih maju lagi, dengan
mengolah minyak jelantah menjadi biogasolin atau bensin. Mereka adalah Abdul Afif
Almuflih dan Khoir Eko Pambudi, mahasiswa Kimia, dan Endri Geofani dan Fakultas
Pertanian. Di laboratorium kampus setempat, ketiganya mendemonstrasikan bagaimana cara
memproduksi bensin dari minyak jelantah.
Menurut Khoir Eko Pambudi, minyak jelantah dipilih untuk mendorong masyarakat
tidak memakai minyak goreng berulangkali yang berdampak buruk pada kesehatan. Di
samping itu, minyak jelantah juga tersedia melimpah, terutama di kalangan pedagang
gorengan, camilan yang sangat populer di Indonesia.
Eko Pambudi menambahkan, kunci proses perubahan ini adalah katalisnya, yang
mereka buat dari tanah liat, yang diaktifkan dengan logam kadium. Tanah liat dipilih karena
merupakan material yang bisa ditemukan di hampir seluruh wilayah Indonesia dan murah.
Kita memakai katalis yang berasal dari alam, dan itu tinggal menggali tanah saja sudah bisa
mendapatkannya. Kita menggunakan limbah juga, dan tidak memiliki nilai ekonomis yang
tinggi yaitu minyak jelantah. Dan katalisnya juga kita desain untuk bisa digunakan
berulangkali, karena dalam prakteknya saat ini di kebanyakan industri, katalis hanya bisa
dipakai sekali, kata Khoir Eko Pambudi.
Anggota tim peneliti yang lain, Abdul Afif Almuflih mengatakan, proses produksi
bensin dimulai dengan memanaskan minyak jelantah. Uap hasil pemanasan akan mengalir
melalui pipa yang sudah diisi katalis tadi, dan menetes di bak penampung sebagai bahan
bakar baru. Dalam penelitian yang sudah dilakukan sejak tahun lalu itu, dari satu liter minyak
jelantah, akan dihasilkan 420 ml bensin dan 290 ml diesel atau solar.
Karena penelitian ini telah mampu memproduksi bensin berbahan dasar minyak
jelantah, Afif meyakini penggunaan minyak goreng baru akan lebih efisien dalam proses
produksi biogasolin ini. Karena itu, Indonesia sebagai penghasil minyak sawit terbesar kedua
di dunia, berkesempatan untuk memproduksi bensin berbahan baku minyak sawit dalam skala
industri. Meskipun mengaku belum menghitung biaya produksi secara rinci, harga bensin
berbahan minyak goreng bekas ini diyakini tidak lebih mahal dari bensin yang sudah ada.
Penelitian ini kami harapkan menjadi langkah awal, yang nantinya minyak kelapa
sawit murni itu dapat dijadikan bahan baku dan diproduksi secara massal untuk bahan bakar
minyak (BBM). Apalagi Indonesia memiliki potensi kelapa sawit yang sangat berlimpah
khususnya di wilayah barat, jelas Abdul Afif Almuflih.
Penelitian ini setidaknya telah memenangkan empat penghargaan dunia. Keempatnya
adalah medali emas dari World Invention Intellectual Property Association (WIIPA) , medali
emas dari Indonesian Invention and Innovation Promotion Association (INNOPA), perunggu
dari Malaysian Technology Expo (MTE) 2016, dan penghargaan khusus dari Toronto
International Society of Innovation & Advanced Skills (TISIAS) Kanada. [ns/lt]

Anda mungkin juga menyukai