Anda di halaman 1dari 23

Penyulit Kala I Persalinan

MAKALAH
Ditulis untuk Memenuhi Tugas Terstruktur Matakuliah Komplikasi Status
Ibu dan Janin

oleh :
Laily Alifah Fitriana 115070600111016
Alifia Nurhidayati 115070600111026
Diana Estu Rumahastuti 115070607111003
Diana Permatasari Azzahrah 115070607111011

Program Studi S1 Kebidanan


Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya
Malang
2013
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI...........................................................................................................2

BAB I.......................................................................................................................3

PENDAHULUAN...............................................................................................3
1.1 Latar Belakang..........................................................................................3
1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................4
1.3 Manfaat......................................................................................................4
1.4 Metodologi.................................................................................................4

BAB II.....................................................................................................................5

KAJIAN TEORI..................................................................................................5
2.1 Ruptur Uteri...............................................................................................5
2.1.1 Definisi................................................................................................5
2.1.2 Epidemiologi.......................................................................................5
2.1.3 Klasifikasi...........................................................................................6
2.1.4 Etiologi................................................................................................8
2.1.5 Patofisiologi........................................................................................8
2.1.6 Faktor Predisposisi............................................................................11
2.1.7 Gejala dan Tanda...............................................................................11
2.1.8 Diagnosis...........................................................................................12
2.1.9 Penanganan.......................................................................................13
2.2Ketuban Pecah Dini..................................................................................13
2.2.1 Definisi..............................................................................................13
2.2.2 Penyebab...........................................................................................14
2.2.3 Patofisiologi......................................................................................14
2.2.4 Dampak Terhadap Ibu dan Janin.......................................................14
2.2.5 Penanganan.......................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................20

2
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ruptur uteri di negara berkembang masih lebih tinggi jika
dibandingkan dengan di negara maju. Angka kejadian ruptur uteri di negara
maju dilaporkan juga semakin menurun. Sebagai contoh dari salah satu
penenlitian di negara maju dilaporkan kejadian ruptur uteri dari 1 dalam
1.280 persalinan (1931-1950) menjadi 1 dalam 2.250 persalinan (1973-1983).
Dalam tahun 1996 kejadiannya menjadi 1 dalam 15.000 persalinan. Dalam
masa yang hampir bersamaan angka tersebut untuk berbagai tempat di
Indonesia dilaporkan berkisar 1 dalam 294 persalinan sampai 1 dalam 93
persalinan. (Prawirohardjo, 2008)
Diperkirakan penyebabnya adalah mutu pelayanan obstetric yang
masih memerlukan peningkatan mencapai standart dan kesadaran masyatrakat
yang masih kurang menyadari makna dari kesehatan reproduksi.
Keterlambatan rujukan dan liberalisasi pemakaian pemicu persalinan
(oksitosin, prostaglandin, dan sejenisnya) terutama diluar Rumah Sakit oleh
mereka yang kurang memiliki kompetensi menambah kejadian robekan pada
rahim terutama dalam persalinan. Ruptur uteri baik yang terjadi dalam masa
hamil atau dalam persalinan merupakan suatu mala petaka besar bagi
perumpuan tersebut dan janin yang dikandungnya. Dalam kejadian ini boleh
dikatakan sejumlah besar janin atau bahkan hampir tidak ada janin yang dapat
diselamatkan, dan sebagian besar dari perempuan tersebut meninggal akibat
perdarahan atau infeksi atau menderita cacat seumur hidup dan tidak mungkin
bisa menjadi hamil kembali karena terpaksa harus mengalami histerektomi.
(Prawirohardjo, 2008)
Tragedi yang sangat memilukan ini boleh dikatakan hampir
seluruhnya berada dalam kawasan tanggung jawab mereka yang memimpin
persalinan. Betapapun Ruptur uteri adalah merupakan kenyataan dari suatu
praktik penanganan partus yang buruk, atau mungkin juga sebagai akibat
suatu malpraktik dari suatu kebidanan (Prawirohardjo, 2008). Oleh karena itu,

3
setiap perempuan hamil atau melahirkan hendaklah benar benar mendapat
pelayanan dan memperoleh perhatian yang sungguh sungguh, terlebih lagi
pada perempuan hamil resiko tinggi terhadap kemungkinan ruptur uteri dalam
masa hamil atau pada waktu melahirkan. Mereka itu antara lain adalah
perempuan yang pernah melahirkan sebelumnya melaui bedah sesar, pernah
mengalami miomektormi, grandemultipara, kelainan letak, disproporsi
kepala-panggul, distosia, induksi atau stimulasi partus, ekstrasi bokong,
ekstrasi cunam, dan sebagainya. (Prawirohardjo, 2006)

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa definisi dan epidemiologi ruptur uteri?
2. Apa saja klasifikasi ruptur uteri?
3. Bagaimana etiologi dan patofisiologi ruptur uteri?
4. Apa saja faktor predisposisi, gejala dan tanda ruptur uteri?
5. Bagaimana diagnosis dan penanganan ruptur uteri?

1.3 Manfaat
1. Mengetahui definisi dan epidemiologi ruptur uteri
2. Mengetahui klasifikasi ruptur uteri
3. Mengetahui etiologi dan patofisiologi ruptur uteri
4. Mengetahui faktor predisposisi, gejala dan tanda ruptur uteri
5. Mengetahui diagnosis dan penanganan ruptur uteri

1.4 Metodologi
Untuk memperoleh data dalam penulisan makalah ini, metode yang
digunakan penulis adalah:
Studi Literatur, penulis mencari data dari buku-buku sumber, jurnal,
dan internet untuk penulisan makalah ini.

4
BAB II

KAJIAN TEORI

2.1 Ruptur Uteri

2.1.1 Definisi
Ruptur Uteri adalah robekan atau diskontinuitas dinding rahim
akibat dilampauinya daya regang miometrium. Penyebab ruptur uteri adalah
disproporsi janin dan panggul, partus macet atau traumatik. Ruptur uteri
merupakan salah satu diagnosa banding apabila wanita dalam persalinan
lama mengeluh nyeri hebat pada perut bawah,diikuti dengan syok dan
perdarahan pervaginam. Robekan tersebut dapat mencapai kandung kemih
dan organ vital di sekitarnya. Resiko infeksi sangat tinggi dan angka
kematian bayi sangat tinggi pada kasus ini. Ruptur uteri inkomplit yang
menyebabkan hematoma pada paremetrium, kadang kadang sangat sulit
untuk segera dikenali sehingga seringkali menimbulkan komplikasi serius
atau bahkan kematian. Syok yang terjadi, seringkali tidak sesuai dengan
jumlah darah yang keluar karena perdarahan hebat dapat terjadi kedalam
kavum abdomen. Keadaan keadaan seperti ini, sangat perlu untuk
diwaspadai pada partus lama atau kasep ( Prawirohardjo,2006)
Ruptur uteri adalah robekan dinding uterus pada saat kehamilan atau
dalam persalinan dengan atau tampa robekan perineum. (Obstetri
Ginekologi)

2.1.2 Epidemiologi
Insidensi terjadinya ruptur uteri adalah 1 dari 2000 kelahiran
(Norwitz, 2008).
Ruptur uteri di negara berkembang masih lebih tinggi jika
dibandingkan dengan di negara maju. Angka kejadian ruptur uteri di negara
maju dilaporkan juga semakin menurun. Sebagai contoh dari salah satu
penenlitian di negara maju dilaporkan kejadian ruptur uteri dari 1 dalam
1.280 persalinan (1931-1950) menjadi 1 dalam 2.250 persalinan (1973-1983).
Dalam tahun 1996 kejadiannya menjadi 1 dalam 15.000 persalinan. Dalam

5
masa yang hampir bersamaan angka tersebut untuk berbagai tempat di
Indonesia dilaporkan berkisar 1 dalam 294 persalinan sampai 1 dalam 93
persalinan.( Prawirohardjo,2008)

2.1.3 Klasifikasi
Menurut sebab: (Prawirohardjo, 2006)
1. Kerusakan atau anomali uterus yang telah ada sebelum hamil:
- Pembedahan pada miometrium : seksio sesarea atau histerotomi,
histerorafia, miomektomi, yang sampai menembus seluruh
ketebalan otot uterus, reseksi pada koruna uterus atau bagian
interstisial, metroplasti.
- Trauma uterus koisidental : instrumensi sendok kuret atau sonde
pada penangan abortus, trauma tumpul atau tajam seperti pisau atau
peluru, ruptur tanpa gejala pada kehamilan sebelumnya ( silent
ruptur in previus pregnancy).
- Kelainan bawaan : kehamilan dalam bagian rahim (horn) yang
tidak berkembang.
2. Kerusakan atau anomali uterus yang terjadi dalam kehamilan.
- Sebelum kelahiran anak: his spontan yang kuat dan terus
menerus, pemakaian oksitosin atau prostaglandin untuk
merangsang persalinan, instilasi cairan kedalam kantong gestasi
atau ruang amnion seperti larutan garam fisiologik atau
prostaglandin, perforasi dengan kateter pengukur tekanan
intrauterine,trauma luar tumpul atau tajam, versi luar, pembesaran
rahim yang berlebihan, misalnya hidramnion dan kehamilan ganda.
- Dalam periode intrapartum : versi-ekstrasi, ekstrasi cunam yang
sukar, ekstrasi bokong, anomali janin yang menyebabkan distensi
berlebihan pada segmen bawah rahim, tekanan kuat pada uterus
dalam persalinan, kesulitan dalam melakukan manual plasenta.
- Cacat rahim yang didapat: plasenta inkreta atau perkreta, neoplasia
trofoblas gestasional, adenomiosis, retroversion uterus gravidus
inkarserata.

Menurut waktu terjadinya: (Mochtar, 1992)

6
1. Ruptur uteri gravidarum : Waktu sedang hamil. Sering lokasinya
pada korpus.
2. Ruptur uteri durante partum : Waktu melahirkan anak. Lokasinya
sering pada Segmen Bawah Rahim
(SBR). Ini yang terbanyak.

Menurut lokasinya: (Mochtar, 1992)


1. Korpus uteri : bisaanya terjadi pada rahim yang sudah
pernah mengalami operasi (seperti SC
klasik/korporal, miomektomi)
2. Segmen Bawah Rahim : bisa terjadi pada partus yang sulit dan
lama tidak maju. Segmen Bawah
Rahim (SBR) semakin lama semakin
meregang dan tipis kemudian akhirnya
terjadilah ruptur uteri yang sebenarnya.
3. Serviks uteri : bisaa terjadi saat melakukan ekstraksi
forsipal atau versi dan ekstraksi ketika
pembukaan belum lengkap.
4. Kolpoporeksis-kolporeksis : robekan-robekan di antara servix dan
vagina.
Menurut apakah peritonium ikut robek atau tidak: (Mochtar, 1992)
1. Ruptur uteri kompleta (Robekan pada dinding uterus berikut
peritoneumnya).
2. Ruptur uteri inkompleta (Robekan otot rahim tanpa ikut robek
peritoneumnya).
Menurut etiologinya: (Mochtar, 1992)
I. Ruptur uteri spontanea
1. Karena dinding rahim yang lemah dan bercacat
Adanya bekas seksio sesarea, miomektomi, perforasi saat
kuretase, histerorafia, plasenta manual. Pada graviditas dikornu
dan interstitialis, kelainan kongenital dari uterus, penyakit pada
rahim, pada gemeli dan hidramnion di mana dinding rahim tipis
dan regang.

7
2. Karena peregangan yang luar bisaa dari rahim
Pada panggul sempit atau kelainan bentuk dari panggul,
makrosomia, kelainan kongenital janin, kelainan letak janin,
malposisi dari kepala, adanya tumor pada jalan rahim, rigid
cervix, retrofleksia uteri gravida dengan sakulasi, grandemultipara
dengan perut gantung, pimpinan partus yang salah.
II. Ruptur uteri violenta (traumatika)
Karena tindakan dan trauma lain: ekstraksi forsep, versi dan
ekstraksi, embriotomi, braxton hicks version, pushing syndrome,
manual plasenta, kuretase, ekspresi Kristeller atau Crede, pemberian
piton tanpa indikasi dan pengawasan, trauma tumpul dan tajam dari
luar.
Menurut simptoma klinik: (Mochtar, 1992)
1. Ruptur uteri iminens (mengancam)
2. Ruptur uteri sebenarnya

2.1.4 Etiologi
Ruptur uteri bisa disebabkan oleh anomali atau kerusakan yang
telah ada sebelumnya, karena trauma atau sebagai komplikasi persalinan
pada rahim yang masih utuh. Paling sering terjadi pada rahim yang telah
diseksio sesarea pada persalinan sebelumnya. Lebih lagi jika pada uterus
yang demikian dilakukan oartus percobaan atau persalinan dirangsang
dengan oksitosin atau sejenis.
Pasien yang berisiko tinggi antara lain persalinan yang mengalami
distosia, grandemultipara, pengguna oksitosin atau prostaglandin untuk
memperlancar persalinan, pasien hamil yang pernah melahirkan sebelumnya
melalui bedah sesar atau operasi lain pada rahimnya, pernah histerorafia,
pelaksanaan trial of labor terutama pada pasien bekas seksio sesarea, dan
sebagainya. Oleh sebab itu, untuk pasien dengan panggul sempit atau bekas
seksio sesarea klasik berlaku adagium Once Caesarean Section always
Caesarean Section. Pada keadaan tertentu ini dapat dipilih elective
caesarean secsion ( ulangan ) untuk mencegah ruptur uteri dengan syarat
janin sudah matang. Eksplorasi pasca kelahiran pada persalinan yang sukar

8
dengan perdarahan yang banyak atau pascapartus dengan kemungkinan
dehisens perlu dilakukan untuk memastikan tidak adanya ruptur uteri.

2.1.5 Patofisiologi
Pada waktu his korpus uteri berkontraksi dan mengalami retraksi.
Dengan demikian dinding korpus uteri atau segmen atas rahim menjadi
lebih tebal dan volume korpus uteri menjadi lebih kecil. Akibatnya, tubuh
janin yang menempati korpus uteri terdorong ke bawah ke dalam segmen
bawah rahim. Segmen bawah rahim menjadi lebih lebar dan karenanya
dindingnya menjadi lebih tipis karena tertarik keatass oleh kontraksi segmen
atas rahim yang kuat, berulang dan sering sehingga lingkaran retraksi yang
membatasi kedua segmen menjadi bertambah tinggi apabila bagian
terbawah janin dapat terdorong turun tanpa halangan dan jika kapasitas
segmen bawah rahim telah penuh terpakai untuk ditempati oleh tubuh janin,
maka ada gilirannya bagian terbawah janin terdorong masuk kedalam jalan
lahir melalui pintu atas panggul ke dalam vagina melalui pembukaan jika
serviks bisa mengalah. Sebaliknya, bila bagian terbawah janin tidak dapt
turun oleh karena suatu sebab yang menahannya (misalnya panggul sempit
atau kepala janin besar ) maka volume korpus yang semakin mengecil pada
waktu ada his harus diimbangi oleh peluasan segmen bawah rahim keatas.
Dengan demikian, lingkaran retraksi fisiologik (physiologic retraction ring)
semakin meninggi kearah pusat melewati batas fisiologok menjadi patologik
(pathologic retraction
ring) . Lingkaran
pathologic ini disebut
lingkaran Bandl
(ring van Bandl). Ini
terjadi karena segmen
bawah rahim terus
menerus tertarik ke
proksimal, tetapi
tertahan dibagian distalnya oleh serviks yang terpegang pada tempatnya
oleh ligamentum sakrouterina dibagian belakang, ligamentum cardinal pada

9
kedua belah sisi kanan dan kiri, dan ligamentum vesikouterina pada dasar
kandung kemih. Jika His berlangsung kuat terus menerus , tetapi bagian
terbawah janin tidak kunjung turun lebih kebawah melalui jalan lahir,
lingkaran retraksi makin lama semakin meninggi (ring van Bandl berpindah
mendekati pusat) dan segmen bawah rahim semakin tertarik keatas
bersamaan dindingnya menjadi sangat tipis hanya beberapa millimeter saja
lagi. Ini menandakan telah terjadi tanda tanda ruptur uteri iminens dan
rahim terancam robek. Pada saatnya dinding bawah rahim itu akan robek
spontan pada tempat yang tertipis ketika his berikut datang, dan terjadilah
perdarahan yang banyak tergantung pada luas robekan yang terjadi pada
pembuluh darah yang terputus. Umumnya robekan terjadi pada dinding
depan segmen bawah rahim, luka robekan bisa meluas secara melintang atau
miring. Bila mengenai daerah yang ditutupi ligamentum latum terjadi luka
robekan yang meluas ke samping. Robekan juga bisa meluas ke korpus atau
ke serviks atau terus ke vagina (kolpaporeksis) bahkan kadang kala bisa
mencederai kandung kemih. Perdarahan sebagian besar mengalir ke dalam
rongga peritoneum, sebagai yang lain mengalir melalui pembukaan serviks
ke vagina. Peristiwa robekan pada segmen bawah rahim yang sudah menipis
itu (dalam status ruptur uteri iminens) dipercepat jika ada manipulasi dari
luar, misalnya dorongan dari perut sekalipun tidak terlalu kuat sudah cukup
untuk menyebabkan robekan. Demikian juga apabila fundus uteri didorong-
dorong seperti yang banyak dilakukan pada upaya mempercepat persalinan
atau oleh dorongan dari bawah seperti pada pemasangan cunam yang sulit,
dan sebagainya. Oleh akrena itu jika terlihat lingkaran Bandl penolong
haruslah sangat berhati-hati. Ketika terjadi robekan pasien merasa amat
nyeri seperti teriris sembilu dalam perutnya, dan his terakhir yang masih
kuat itu sekaligus mendorong sebagian atau seluruh tubuh janin ke luar
rongga rahim ke dalam rongga peritoneum. Melalui robekan tersebut usus
dan omentum mendapat jalan masuk sehingga bisa mencapai vagina dan
bisa diraba pada waktu periksa dalam.
Ruptur uteri yang tidak merobek perimetrium sering terjadi pada
bagian rahim yang longgar hubungannya dengan peritoneum yaitu pada

10
bagian samping dan dekat kandung kemih. Di sini dinding serviks yang
merengang karena ikut tertarik bisa ikut robek. Robekan pada bagian
samping bisa sampai melukai pembuluh-pembuluh darah besar yang
terdapat di dalam ligamentum latum. Jika robekan terjadi pada bagian dasar
ligamentum latum, arteria uterine atau cabang-cabangnya bisa terluka
disertai perdarahan yang banyak, dan di dalam parametrium di pihak yang
robek akan terbentuk hematoma yang besar dan menimbulkan syok yang
sering berakibat fatal.

2.1.6 Faktor Predisposisi


Berikut faktor predisposisi menurut Saifuddin dan Norwitz:
Riwayat seksio sesarea
Partus lama atau kasep
Disporposi kepala/fetopelvik
Kelainan letak/presentasi
Persalinan traumatik
Pemakaian oksitosin berlebihan
Multiparitas grande
Manipulasi uterus (persalinan dengan forsep, ekstraksi sungsang,dan
insersi kateter tekanan intrauterin)

2.1.7 Gejala dan Tanda


o Perdarahan intraabdominal dan/atau vaginal
o Nyeri hebat sebelum perdarahan dan syok, yang kemudian hilang
setelah terjadi regangan hebat pada perut bawah (tidak khas)
o Sewaktu kontraksi yang kuat, pasien tiba-tiba merasa nyeri yang
mengiris di perut bagian bawah.
o SBR nyeri sekali kalau di palpasi.
o His berhenti.
o Ada perdarahan per vaginam walaupun bisaanya tidak banyak.
o Bagian-bagian anak mudah diraba, kalau anak masuk ke dalam rongga
perut (dapat berjabat tangan dengan anak).

11
o Kadang-kadang di samping anak teraba tumor ialah rahim yang telah
mengecil.
o Pada toucher ternyata bagian depan mudah ke atas malahan kadang-
kadang tidak teraba lagi karena masuk ke dalam rongga perut.
o BJ anak tidak ada.
o Bisaanya pasien jatuh ke dalam shock
o Kalau ruptur sudah lama terjadi maka seluruh perut nyeri dan gembung.
o Adanya kencing berdarah berdarah dapat membantu kita menentukan
diagnosis, kalau gejala-gejala kurang jelas.

2.1.8 Diagnosis
Ruptur uteri mengancam atau imminens / RUI (hampir lahir)
a) Peningkatan aktivitas kontraksi persalinan
b) Terhentinya persalinan
c) Regangan berlebihan dengan nyeri pada segmen bawah rahim
(sering gejala utama)
d) Pergerakan cincin Bandl ke atas
e) Tegangan pada ligamen rotundum
f) Kegelisahan wanita yang akan bersalin
Ruptur yang sebenarnya
a) Kontraksi persalinan menurun atau berhenti mendadak (munculnya
sebagian atau seluruh janin ke dalam rongga abdomen yang bebas)
b) Berhentinya bunyi jantung atau pergerakkan janin atau keduanya
c) Peningkatan tekanan akibat arah janin
d) Gejala rangsangan peritoneal (nyeri difus, muscular defence, dan
nyeri tekan)
e) Keadaan syok peritoneal
f) Perdarahan eksternal (hanya pada 25% kasus)
g) Perdarahan internal: anemia, tumor yang tumbuh cepat di samping
rahim yang menunjukkan hematoma karena ruptura inkompletus
(terselubung)
Ruptur tenang

12
Karena ruptura jaringan parut, bentuk yang tersering terjadi saat ini tidak
mempunyai gejala klasik.

2.1.9 Penanganan
Berikan segera cairan isotonic (Ringer Laktat atau garam Fisiologis)
500ml dalam 15 -20 menit dan siapkan laparotomi.
Lakukan laparotomi untuk melahirkan anak dan plasenta. Fasilitas
pelayanan kesehatan dasar harus merujuk pasien ke Rumah Sakit
rujukan.
Bila konservasi uterus masih diperlukan dan kondisi jaringan
memungkinkan, lakukan reparasi uterus
Bila luka mengalami nekrosis yang luas dan kondisi pasien
mengkhawatirkan, lakukan histerektomi
Lakukan bilasan peritoneal dan pasang drain dari kavum abdomen.
Antibiotika dan serum anti tetanus
Bila terjadi tanda tanda infeksi (demam, menggigil, darah bercampur
cairan ketuban berbau, hasil apusan atau biakan darah) segara berikan
antibiotika spectrum luas. Bila terdapat tanda tanda trauma alat
genetalia atau luka yang kotor, tanyakan saat terakhir mendapat tetanus
toksoid. Bila hasil anamnesis tidak dapat memastikan pelindungan
terhadap tetanus, berikan serum anti tetanus 1500 IU/IM dan TT 0,5ml
IM.
(Prawirohardjo, 2006, 170)
2.2 Ketuban Pecah Dini
2.2.1 Definisi
Ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum terdapat tanda
persalinan mulai dan ditunggu satu jam belum terjadi inpartu. Sebagian
besar ketuban pecah dini adalah hamil aterm di atas 37 minggu, sedangkan
di bawah 36 minggu tidak terlalu banyak (Manuaba, 2001).
Ketuban Pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum proses
persalinan ber1angsung (Waspodo, Djoko, 2006). Sedangkan menurut
Rustam Mochtar (1998) ketuban pecah dini (spontaneous/early/premature
rupture of the membrane) adalah pecahnya ketuban sebelum inpartu, yaitu

13
bila pembukaan pada primipara kurang dari 3 cm dan pada multipara kurang
dari 5 cm.
Ketuban pecah dini dapat secara teknis didefinisikan sebagai pecah
ketuban sebelum awitan persalinan, tanpa memperhatikan usia gestasi.
Namun, dalam praktik dan dalam penelitian, pecah ketuban dini
didefinisikan sesuai dengan jumlah jam dari waktu pecah ketuban sampai
awitan persalinan. Interval ini disebut periode laten dan dapat terjadi kapan
saja dari 1 sampai 12 jam atau lebih. Tidak ada keseragaman metode yang
diterima untuk menegakkan diagnosis pecah ketuban menyebabkan
perbandingan penelitian sulit dilakukan sehingga tidak ada definisi
operasional yang standar. Insiden ketuban pecah dini adalah 2,7 persen
sampai 17 persen, bergantung pada lama periode laten yang digunakan
untuk menegakkan diagnosis. Ketuban pecah dini sebelum usia cukup bulan
dalam bahasa inggris disebut PPROM (Preterm Premature Rupture of
Membranes). Ketuban pecah lebih dari 24 jam sebelum kelahiran disebut
pecah ketuban memanjang (Varney, 2008).
2.2.2 Penyebab
Beberapa penyebab terjadinya ketuban pecah dini menurut Manuaba,
yaitu:
1. Serviks inkompeten
Pada wanita dalam presentasi kecil dengan kehamilan yang jauh
dari aterm, servik yang inkompeten dapat menipis dan berdilatasi bukan
sebagai akibat dari peningkatan aktifitas uterus melainkan akibat dari
kelemahan instrinsik uterus sehingga menyebabkan ketuban pecah.
Keadaan ini ditandai oleh dilatasi servik tanpa rasa nyeri dalam
trimester kedua atau awal trimester ketiga kehamilan yang disertai
prolapsus mebran amnion lewat servik dan penonjolan membrane
tersebut kedalam vagina, peristiwa ini diikuti oleh pecahnya ketuban
dan selanjutnya ekspulsi janin imatur sehingga kemungkinan janin akan
meninggal (Maria, 2007).
2. Pengaruh dari luar yang melemahkan ketuban
- Infeksi genetalia

14
Di Amerika Serikat 0,5% 7% wanita hamil didapatkan
menderita gonorea. Meningkatnya kasus gonore dalam kehamilan
setara dengan peningkatan kejadian ketuban pecah dini dalam
kehamilan, korioamnionitis, dan terjadinya sepsis pada neonatus.
(Rachimharihi, Tdjatmo.2005).

Infeksi Clamidydia trachomatis merupakan penyebab akibat


hubungan seksual yang kejadiannya semakin tinggi, kejadian infeksi
ini pada serviks wanita hamil yaitu 2-37%. Beberapa penelitian
menunjukkan berbagai masalah meningkatnya risiko kehamilan dan
persalinan pada ibu dengan infeksi ini. Misalnya dapat menimbulkan
abortus, kematian janin, persalinan preterm, pertumbuhan janin
terhambat, ketuban pecah sebelum waktunya serta endometritis
postabortus maupun postpartum (Rachimharihi, Tdjatmo.2005).

Penyakit bacterial vagionosis (BV) dahulu dikenal dengan


sebagai vaginitis nonspesifik atau vaginitis yang disebabkan oleh
Haemophilus/ Gardnerella vaginalis. Dalam kehamilan, penelitian
membuktikan bahwa BV merupakan salah sate factor pecahnya
selaput ketuban pada kehamilan dan persalinan premature
(Rachimharihi,2005).

Streptokokus grup B (GBS) adalah bakteri gram positif


betahemolitikus yang umumnya ditemukan dalam saluran cena.
Diperkirakan 10 30% wanita hamil memiliki penyakit GBS pada
vaginan dan rectum. GBS dapat menyebabkan korioamnionitis,
endometritis, infeksi saluran kemih, dan infeksi luka, dan hal itu
miliki kaitan dengan persalinan premature dan dengan pecah ketuban
dini pada persalinan premature (Helen,Varney. 2008).
- Meningkatnya enzim proteolitik
Ketuban pecah dini terjadi karena ada kelemahan selaput
ketuban sebagai perubahan secara menyeluruh dalam metabolisme
kolagen atau ketika tekanan dalam ketuban meningkat. Adanya
bakteri yang mengandung enzim protease dan kolagenase ditambah

15
dengan respon inflamasi dari neutrofil secara bersama-sama
menurunkan kadar kolagen membran yang akan mengakibatkan
penurunan kekuatan dan elastisitas selaput membran. Diduga juga
adanya molekul perusak jaringan lunak yang disebut Reactive
Oxygen Species (ROS) merusak keutuhan jaringan kolagen sehingga
menyebabkan kelemahan selaput ketuban. Produksi Relaxin yang
berlebihan juga akan meningkatkan aktivitas enzim kolagenase yang
akan merusak jaringan kolagen dari selaput ketuban. Kemungkinan
juga trombosis vaskuler plasenta juga turut berperan karena
menimbulkan gangguan transport nutrisi sehingga aktivitas
metabolisme kolagen terganggu.
3. Sebab umum ketuban pecah dini:
- Grande multipara
- Overdistensi:
a. Hidramnion
Hidramnion atau polihidramnion adalah keadaan dimana
banyaknya air ketuban melebihi 2000cc. Penambahan air ketuban
ini bisa mendariak dalam beberapa hari disebut hidramnion akut,
atau secara perlahan-lahan disebut hidramnion kronis. Insidennya
berkisar antar 1:62 dan 1:754 persalinan, tetapi bentuk yang
menyebabkan gangguan lebih jarang (1:1000 persalinan).
Hidramnion yang disertai dengan kelainan konginital, terutama
dari susunan saraf sentral dan traktus gastrointestinal, cukup
tinggi. Di samping itu, sering ditemukan pada kehamilan ganda
dan beberapa penyakit ibu seperti diabetes mellitus, preeklampsia
(Rachimharii,T, 2005).

Sampai sekarang etiologi hidramnion belum jelas, tetapi


diketahui bahwa hidramnion terjadi bila produksi air ketuban
bertambah, bila pengaliran air ketuban terganggu atau kedua--
duanya. Diriuga air ketuban dibentuk dari sel-sel amnion. Di
samping itu ditambah oleh air seni janin dan cairan otak pada
anensefalus. Air ketuban yang dibentuk, secara rutin dikeluarkan

16
dan diganti dengan yang baru. Salah satu cara pengeluaran ialah
ditelan oleh janin, diabsorpsi oleh usus kemudian dialirkan ke
plasenta untuk akhirnya masuk peredaran darah ibu. Ekskresi air
ketuban akan terganggu bila janin tidak bisa menelan seperti pada
atresia esophagus atau tumor-tumor plasenta (Rachimharihi,
Trijatmo, 2005). Hidramnion dapat memungkinkan ketegangan
rahim meningkat, sehingga membuat selaput ketuban pecah
sebelum waktunya (Maria, 2007).
b. Hamil ganda
Kehamilan ganda adalah kehamilan dua janin atau lebih.
Kehamilan kembar dapat memberikan resiko yang lebih tinggi
baik bagi janin maupun ibu. Oleh karena itu, dalam menghadapi
kehamilan kembar harus dilakukan pengawasan hamil yang
intensif. Factor yang dapat meningkatkan kemungkinan hamil
kembar adalah factor ras, keturunan, umur, dan paritas. Factor
resiko ketuban pecah dini pada kembar dua 50% dan kembar tiga
90% (Manuaba,dkk. 2008). Hamil ganda dapat memungkinkan
ketegangan rahim meningkat, sehingga membuat selaput ketuban
pecah sebelum waktunya (Maria, 2007).
- Sefalopelvik disproporsi
Kepala janin tidak dapat masuk PAP, namun terus mendorong
ke arah bawah. Hal ini mengakibatkan ketuban pecah sebelum ada
tand inpartu.
- Kelainan letak (sungsang, lintang):
Malpresentasi janin atau kelainan letak janin dapat membuat
ketuban bagian yang terendah langsung menerima tekanan intrauteri
yang dominant yaitu letak sungsang dan bokong. Persalinan pada
letak sungsang merupakan kontroversi karena komplikasinya tidak
dapat diriuga sebelumnya, terutama pada persalinan kepala bayi.
Sebab terjadinya letak sungsang adalah terdapat plasenta previa,
keadaan janin yang menyebabkan letak sungsang (makrosemia,
hidrosefalus, anensefalus), keadaan air ketuban (oligohidramnion,

17
hidramnion), keadaan kehamilan (kehamilan ganda, kehamilan lebih
dari dua), keadaan uterus (uterus arkuatus), keadaan dinding
abdomen, keadaan tali pusat (pendek, terdapat lilitan tali pusat pada
leher). Kejadian letak lintang tidak terlalu banyak hanya sekitar 0,5%
kehamilan. Penyebab letak lintang dari sudut maternal (panggul
sempit, multipara, kehamilan ganda, hidramnion/oligohidramnion,
tumor pada daerah pelvis) (Manuaba,dkk, 2008).

Letak janin dalam uterus bergantung pada proses adaptasi


janin terhadap ruangan dalam uterus. Pada kehamilan <32 minggu,
jumlah air ketuban relative lebih banyak sehingga memungkinkan
janin bergerak dengan leluasa, dan demikian janin dapat
menempatkan diri dalam letak sungsang/letak lintang. Pada
kehamilan trimester akhir janin tumbuh dengan cepat dan jumlah air
ketuban relative berkurang. Karena bokong dengan kedua tungkai
yang terlipat lebih besar daripada kepala maka bokong dipaksa untuk
menempati ruang yang lebih luas difundus uteri, sedangkan kepala
berada dalam ruangan yang lebih kecil disegmen bawah uterus.
Letak sungsang dapat memungkinkan ketegangan rahim meningkat,
sehingga membuat selaput ketuban pecah sebelum waktunya (Maria,
2007).
- Pendular abdomen (abdomen turun)

18
(Manuaba, 2001).
2.2.3 Patofisiologi
Mekanisme ketuban pecah dini dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Terjadi pembukaan prematur serviks
2. Membran terkait dengan pembukaan terjadi:
a. Devaskularisasi
b. Nekrosis dan dapat diikuti pecah spontan
c. Jaringan ikat yang menyangga membran ketuban, makin berkurang
d. Melemahnya daya tahan ketuban dipercepat dengan infeksi yang
mengeluarkan enzim proteolitik dan kolagenase
(Manuaba, 2001).
2.2.4 Diagnosis Banding
Gejala dan tanda selalu Gejala dan tanda kadang-kadang Diagnosis
ada ada
Keluar cairan ketuban - Ketuban pecah tiba-tiba Ketuban
- Cairan tanpa diintroitus pecah
- Tidak ada his dalam 1 jam Dini (KPD)
- Cairan vagina berbau - Riwayat keluarnya cairan Amnionitis
- Demam/menggigil - Uterus nyeri
- Nyeri perut - Denyut jantung janin cepat
- Perdarahan pervaginam
sedikit
- Cairan vagina berbau - Gatal Infeksi
Vaginitis
- Tidak ada riwayat - Keputihan Servicitis
ketuban pecah - Nyeri perut
- Perdarahan pervaginam
sedikit
Cairan vagina berdarah - Nyeri perut Perdarahan
- Gerakan janin berkurang antepartum
- Perdarahan banyak
Cairan berupa darah - Pembukaan servik Awal
lender - Pendataran servik persalinan
- Ada his
2.2.5 Dampak Terhadap Ibu dan Janin
a. Terhadap Janin

19
Meskipun ibu belum menunjukkan gejala-gejala infeksi tetapi
janin sudah terkena infeksi, karena infeksi intra uterin lebih dulu terjadi
(amnionitis, vaskulitis) sebelum gejala pada ibu dirasakan.
b. Terhadap Ibu
Karena jalan telah terbuka, akan terjadi infeksi intra partal,
apalagi bila terlalu sering diperiksa dalam. Selain itu, juga dapat dijumpai
infeksi puerpuralis (nifas), peritonitis dan septikemia serta dry-labor
(partus kering). ibu akan lelah karena terlalu lama berbaring di tempat
tidur, partus akan menjadi lama, suhu badan naik, nadi cepat dan muncul
gejal-gejala infeksi (Rustam Mochtar . 1998).
2.2.6 Penanganan
Ketuban pecah dini merupakan sumber persalinan prematuritas,
infeksi dalam rahim terhadap ibu maupun janin yang cukup besar dan
potensial. oleh karena itu tatalaksana ketuban pecah dini memerlukan
tindakan yang rinci sehingga dapat menurunkan kejadian prematuritas dan
infeksi dalam rahim.
Penanganannya adalah dengan memberikan profilaksis antibiotic
dan membatasi pemeriksaan dalam sangat perlu diperhatikan. disamping itu
semakin muda usia kehamilan semakin besar resiko infeksi dalam rahim
yang dapat memacu persalinan prematuritas bahkan berat janin kurang dari
1 kg.
Evaluasi kehamilan dengan ketuban pecah dini:
1. faktor infeksi
amniosintesis dengan USG:
kultur beta streptokokus
kematanagn paru janin
percobaan idigo karmin, apakah benar KPD dengan cairan
terdapat di vagina
2. ultrasonografi
KPD sering terdapat kelainan konginetal
menentukan usia kehamilan
menentukan kesehatan janin dalam kandungan
3. melakukan pemeriksaan terhadap tingkat infeksi
pemeriksaan labolatorium lengkap
pemeriksaan C reaktif protein (CRP)

20
CRp normal pada kehamilan 0,3-0,8 mg/maksimal 2mg
peningkatan CRP di atas 2 mg menunjukan infeksi
chorioamnionitis
4. terdapat perbedaan perlakuan terhadap tatalaksana ketuban pecah dini
kehamilan premature dan kehamilan aterm
5. waktu dilakukan induksi persalinan
a. pertimbangan waktu induksi persalinan :
setelah pecah 6 jam
setelah pecah 12 jam
setelah pecah 24 jam
b. masalah yang berat menghadapi ketuban pecah dini
kehamilan dibawah 26 minggu
mempertahankannya memerlukan waktu lama
bila sudah mencapai 2000 gram dapat dipertimbangkan untuk
induksi
kegagalan induksi disertai infeksi yang diikuti histerektomi
c. pemberian kortikosteroid dengan pertimbangan :
akan menambah reseptor pematangan paru
menambah maturitas paru janin
pemberian beta metason :
12 mg dengan interval 24 jam
12 mg tambahan
maksimum dosis 24 mg
masa kerjanya sekitar 2-3 hari
bila janin setelah satu minggu belum lahir pembrian beta
kortison dapat diulangi lagi
d. pemberian tokolitik, untuk mengurangi kontraksi uterus dapat
diberikan bila sudah dapat dipastikan tidak terjadi infeksi
chorioamnionitis
e. pemberian antibiotic profilaksis dengan triple drug untuk
menghindari adanya sepsis
6. indikasi untuk melakukan induksi pada ketuban pecah dini
pertimbangan waktu dan berat janin dalam rahim
pertimbangan waktu: apakah 6,12, atau 24 jam
berat janin sebaiknya diatas 2.000 gram atau lebih
terdapat tanda infeksi intrauterine
temperature naik diatas 38 C dengan pengukuran rectal

21
terdapat tanda infeksi melalui hasill pemeriksaan labolatorium
dan pemeriksaan kultur air ketuban.

DAFTAR PUSTAKA

22
Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran
Bandung. 1984. Obstetri Patologi. Bandung: Elstar Offset
Heller, Luz. 1993. Gawat Darurat Ginekologi dan Obstetri. Jakarta: EGC
Manuaba, Ida Bagus Gde. 2001. Kapita Selekta Penatalaksanaan Rutin Obtreti
Ginekologi dan KB. Jakarta: EGC
Manuaba, dkk. 2008. Pengantar Kuliah Obstetri. EGC : Jakarta
Maria. 2007. Ketuban Pecah Dini Berhubungan Erat Dengan Persalinan Preterm
dan Infeksi Intrapartum.
Mochtar, Rustam. 1992. Sinopsis Obstetri: Obstetri Fisiologi, Obstetri Patologi.
Jakarta: EGC
Mochtar, Rustam. 1998. Synopsis Obstetri Jilid I. Jakarta : EGC
Norwitz, Errol. 2008. At a Glance Obstetri dan Ginekologi. Jakarta: Erlangga
Prawirohardjo, Sarwono.2008. Ilmu Kebidanan. Jakarta: PT Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo
Prawirohardjo, Sarwono. 2006. Pelayananan Kesehatan Maternal dan Neonatal.
Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo
Rachimhadhi. T. 2005. Ilmu Kebidanan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo. Jakarta
Saifuddin, Abdul Bari. 2010. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan
Maternal dan Neonatal. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo
Varney, Helen. 2008. Buku Ajar Asuhan Kebidanan. Jakarta: EGC

23

Anda mungkin juga menyukai