Anda di halaman 1dari 34

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI MATA

1. Cavitas Orbita
a. Atap Orbita : Os. Frontale, Ala minor Ossis sphenoidale
b. Dinding Medial : Os. Ethmoidale, Os lacrimale
c. Dinding Lateral : Os. Zygomaticus, Ala major Ossis sphenoidale.
d. Dasar Orbita : Os. Maxilla, Os. Palatinum

Gambar 1.1 Cavitas Orbita


sumber : Grays Anatomy for student 2nd edition
2. Bola mata (bulbus Oculi)
a. Lapisan/Tunica bola mata
o Tunica Fibrosa bulbi
Sklera: berwarna putih. Menempati 5/6 bagian bola mata.
Kornea: bagian transparan menempati 1/6 bagian bola
mata di depan.
Peralihan sklera dan kornea disebut limbus
o Tunica Vasculosa bulbi
Choroidea
Corpus ciliare, merupakan lanjutan choroidea ke bagian
anterior.
Iris:
a. Membagi ruang di antara kornea dan lensa menjadi
camera oculi anterior dan camera oculi posterior
b. Otot-otot pada iris dapat mempengaruhi besarnya pupil,
yaitu:
M. Spincter papillae
M. Dilatator Pupillae
o Tunica interna bulbi
Terdiri dari Retina. Retina terbagi menjadi 2 bagian
fungsional yaitu:
o Pars Optica Retinae, melekat pada choroid
o Pars Caeca Retinae
o Peralihan antara pars optica dan pars caeca di sebut ora
serrata
Fundus: belahan posterior retina.
o Discus nervi Optici = papilla nervi optici. Daerah yang
bebas dari photoreceptor, maka disebut juga sebagai
titik buta.
o Macula Lutea. Terletak lateral terhadap papilla nervi
optici, di bagian tengah macula lutea tampak fovea
centralis.
b. Ruangan-ruangan dalam bola mata
o Camera Bulbi
o Camera bulbi anterior, terletak antara kornea dan iris
o Camera bulbi posterior, terletak antara iris dan lensa
o Ruangan ini berisi humor aquous, cairan encer seperti air.
o Corpus vitreum.
Didapatkan di belakang lensa dan corpus ciliare, berisi humor
vitreus yang transparan dan bersifat semigelatin, berfungsi untuk
mempertahankan bentuk bola mata.

Gambar 1.2 Potongan Sagital Bola Mata


sumber : Grays Anatomy for student 2nd edition
3. Visual Axis
a. Kornea
Kornea adalah selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus
cahaya, merupakan jaringan yang menutup bola mata sebelah depan dan terdiri
dari 5 lapis :
Epitel
Membran Bowman
Stroma
Membran Descemet
Endotel kornea
b. Pupil
Daerah hitam di tengah-tengah iris. Fungsi mengecilnya pupil adalah untuk
mencegah aberasi kromatis pada akomodasi dan untuk memperdalam fokus
seperti pada kamera foto yang diafragmanya dikecilkan.

c. Uvea
Lapis vaskular di dalam bola mata yang terdiri atas iris, badan siliar dan
koroid.

d. Lensa
Jaringan ini berasal dari ektoderm permukaan yang berbentuk lensa di dalam
mata dan bersifat bening. Lensa di dalam bola mata terletak di belakang iris yang
terdiri dari zat tembus cahaya berbentuk seperti cakram yang dapat menebal dan
menipis saat terjadi akomodasi.

e. Badan Kaca
Merupakan suatu jaringan seperti kaca bening yang terletak antara lensda dengan
retina. Badan kaca bersifat semi cair di dalam bola mata. Fungsinya
mempertahankan bentuk bola mata agar tetap bulat.
f. Retina
Retina atau selaput jala merupakan bagian mata yang mengandung reseptor yang
menerima rangsangan cahaya. Retina berbatasan dengan koroid dan sel epitel
pigmen retina. Retina terdiri atas 2 lapisan utama yaitu lapisan luar yang
berpigmen dan lapisan dalam yang merupakan lapisan saraf. Lapisan saraf
memiliki 2 jenis sel fotoreseptor yaitu sel batang yang berguna untuk melihat
cahaya dengan intensitas rendah, tidak dapat melihat warna, untuk penglihatan
perifer dan orientasi ruangan sedangkan sel kerucut berguna untuk melihat warna,
cahaya dengan intensitas inggi dan penglihatan sentral. Retina memiliki banyak
pembuluh darah yang menyuplai nutrient dan oksigen pada sel retina
Merupakan bagian mata yang mengandung reseptor yang menerima rangsangan
cahaya. Retina berbatas dengan koroid dan sel pigmen epitel retina, yang terdiri
atas lapisan :
Epithelium pigmentalis
Stratum Conii et bacilli
Membrana limitans eksterna
Stratum granularis eksterna
Stratum granularis interna
Stratum plexiformis interna
Stratum ganglionaris
Stratum nervi optici
Membrana limitans interna
Gambar 1.3 Lapisan retina
sumber : Guyton & Hall : Textbook of Medical Physiology 12th edition

Vaskularisasi Retina
Retina menerima darah dari dua sumber, yaitu arteri retina sentralis yang
merupakan cabang dari arteri oftalmika dan khoriokapilari yang berada tepat di
luar membrana Brunch. Arteri retina sentralis memvaskularisasi dua per tiga
sebelah dalam dari lapisan retina (membran limitans interna sampai lapisan inti
dalam), sedangkan sepertiga bagian luar dari lapisan retina (lapisan plexiform luar
sampai epitel pigmen retina) mendapat nutrisi dari pembuluh darah di koroid.
Arteri retina sentralis masuk ke retina melalui nervus optik dan bercabang-cabang
pada permukaan dalam retina. Cabang-cabang dari arteri ini merupakan arteri
terminalis tanpa anastomose. Lapisan retina bagian luar tidak mengandung
pembuluh-pembuluh kapiler sehingga nutrisinya diperoleh melalui difusi yang
secara primer berasal dari lapisan yang kaya pembuluh darah pada koroid.
Pembuluh darah retina memiliki lapisan endotel yang tidak berlubang,
membentuk sawar darah retina. Lapisan endotel pembuluh koroid dapat ditembus.
Sawar darah retina sebelah luar terletak setinggi lapisan epitel pigmen retina.
Fovea sentralis merupakan daerah avaskuler dan sepenuhnya tergantung pada
difusi sirkulasi koroid untuk nutrisinya. Jika retina mengalami ablasi sampai
mengenai fovea maka akan terjadi kerusakan yang irreversibel.
Innervasi Retina
Neurosensoris pada retina tidak memberikan suplai sensibel. Kelainan-kelainan
yang terjadi pada retina tidak menimbulkan nyeri akibat tidak adanya saraf
sensoris pada retina. Untuk melihat fungsi retina maka dilakukan pemeriksaan
subyektif retina seperti : tajam penglihatan, penglihatan warna, dan lapangan
pandang. Pemeriksaan obyektif adalah elektroretinogram (ERG), elektro-
okulogram (EOG), dan visual evoked respons (VER). Salah satu pemeriksaan
yang dilakukan untuk mengetahui keutuhan retina adalah pemeriksaan
funduskopi.
g. Saraf Optik
Saraf optik yang keluar dari polus posterior bola mata membawa 2 jenis
serabut saraf, yaitu: saraf penglihat dan serabut pupilomotor. Kelainan saraf optik
menggambarkan gangguan yang diakibatkan tekanan langsung atau tidak
langsung terhadap saraf optik ataupun perubahan toksik dan anoksik yang
mempengaruhi penyaluran listrik.

B. FISIOLOGI PENGLIHATAN
Sinar yang masuk ke mata sebelum sampai di retina mengalami pembiasan
lima kali yaitu waktu melalui konjungtiva, kornea, humor aqueous, lensa, dan
humor vitreous. Pembiasan terbesar terjadi di kornea. Bagi mata normal, bayang-
bayang benda akan jatuh pada bintik kuning (macula lutea), yaitu bagian yang
paling peka terhadap sinar.
Ada dua macam sel reseptor pada retina, yaitu sel kerucut (sel konus) dan
sel batang (sel basilus). Sel konus berisi pigmen lembayung dan sel batang
berisi pigmen ungu. Kedua macam pigmen akan terurai bila terkena sinar,
terutama pigmen ungu yang terdapat pada sel batang. Oleh karena itu, pigmen
pada sel basilus berfungsi untuk situasi kurang terang, sedangkan pigmen dari
sel konus berfungsi lebih pada suasana terang yaitu untuk membedakan warna,
makin ke tengah maka jumlah sel batang makin berkurang sehingga di daerah
bintik kuning hanya ada sel konus saja.
Pigmen ungu yang terdapat pada sel basilus disebut rodopsin, yaitu suatu
senyawa protein dan vitamin A. Apabila terkena sinar, misalnya sinar matahari,
maka rodopsin akan terurai menjadi protein dan vitamin A. Pembentukan
kembali pigmen terjadi dalam keadaan gelap. Untuk pembentukan kembali
memerlukan waktu yang disebut adaptasi gelap (disebut juga adaptasi
rodopsin). Pada waktu adaptasi, mata sulit untuk melihat. Pigmen lembayung
dari sel konus merupakan senyawa iodopsin yang merupakan gabungan antara
retinin dan opsin. Ada tiga macam sel konus, yaitu sel yang peka terhadap
warna merah, hijau, dan biru. Dengan ketiga macam sel konus tersebut mata
dapat menangkap spektrum warna. Kerusakan salah satu sel konus akan
menyebabkan buta warna.
Jarak terdekat yang dapat dilihat dengan jelas disebut titik dekat (punctum
proximum). Jarak terjauh saat benda tampak jelas tanpa kontraksi disebut titik
jauh (punctum remotum). Jika kita sangat dekat dengan obyek maka cahaya
yang masuk ke mata tampak seperti kerucut, sedangkan jika kita sangat jauh
dari obyek, maka sudut kerucut cahaya yang masuk sangat kecil sehingga sinar
tampak paralel. Baik sinar dari obyek yang jauh maupun yang dekat harus
direfraksikan (dibiaskan) untuk menghasilkan titik yang tajam pada retina agar
obyek terlihat jelas. Pembiasan cahaya untuk menghasilkan penglihatan yang
jelas disebut pemfokusan.
Cahaya dibiaskan jika melewati konjungtiva kornea. Cahaya dari obyek
yang dekat membutuhkan lebih banyak pembiasan untuk pemfokusan
dibandingkan obyek yang jauh. Mata mamalia mampu mengubah derajat
pembiasan dengan cara mengubah bentuk lensa. Cahaya dari obyek yang jauh
difokuskan oleh lensa tipis panjang, sedangkan cahaya dari obyek yang dekat
difokuskan dengan lensa yang tebal dan pendek. Perubahan bentuk lensa ini
akibat kerja otot siliaris. Saat melihat dekat, otot siliari berkontraksi sehingga
memendekkan apertura yang mengelilingi lensa. Sebagai akibatnya lensa
menebal dan pendek. Saat melihat jauh, otot siliari relaksasi sehingga apertura
yang mengelilingi lensa membesar dan tegangan ligamen suspensor
bertambah. Sebagai akibatnya ligamen suspensor mendorong lensa sehingga
lensa memanjang dan pipih. Proses ini disebut daya akomodasi.
Gambar 1.4 Jaras penglihatan
sumber : Guyton & Hall : Textbook of Medical Physiology 12th edition
C. RETINOPATI DIABETIKUM

1. Definisi
Retinopati diabetik adalah kelainan retina (retinopati) yang ditemukan
pada penderita diabetes melitus. Retinopati ini tidak disebabkan oleh proses
radang. Retinopati akibat diabetes melitus lama berupa aneurisma, melebarnya
vena, perdarahan dan eksudat lemak. Kelainan patologik yang paling dini adalah
penebalan membrane basal endotel kapiler dan penurunan jumlah perisit.

2. Epidemiologi
Retinopati diabetik merupakan penyebab kebutaan paling sering
ditemukan pada usia dewasa antara 20 sampai 74 tahun. Pasien diabetes memiliki
resiko 25 kali lebih mudah mengalami kebutaan dibanding non diabetes. Resiko
mengalami retinopati pada pasien diabetes meningkat sejalan dengan lamanya
diabetes. Pada waktu diagnosis diabetes tipe I ditegakkan, retinopati diabetik
hanya ditemukan pada <5% pasien. Setelah 10 tahun, prevalensi meningkat
menjadi 40-50% dan sesudah 20 tahun lebih dari 90% pasien sudah menderita
rerinopati diabetik. Pada diabetes tipe 2 ketika diagnosis ditegakkan, sekitar 25%
sudah menderita retinopati diabetik non proliferatif. Setelah 20 tahun, prevalensi
retinopati diabetik meningkat menjadi lebih dari 60% dalam berbagai derajat. Di
Amerika Utara, 3,6% pasien diabetes tipe 1 dan 1,6% pasien diabetes tipe 2
mengalami kebutaan total. Di Inggris dan Wales, sekitar 1000 pasien diabetes
tercatat mengalami kebutaan sebagian atau total setiap tahun.

3. Faktor Risiko
Faktor resiko retinopati diabetik antara lain :
a. Durasi diabetes, adalah hal yang paling penting. Pada pasien yang di
diagnosa dengan DM sebelum umur 30 tahun, insiden retinopati diabetic
setelah 50 tahun sekitar 50% dan setelah 30 tahun mencpai 90%.
b. Kontrol glukosa darah yang buruk, berhubungan dengan perkembangan
dan perburukan retinopati diabetik.
c. Tipe Diabetes, dimana retinopati diabetik mengenai DM tipe 1 maupun
tipe 2 dengan kejadian hampir seluruh tipe 1 dan 75% tipe 2 setelah 15
tahun.
d. Kehamilan, biasanya dihubungkan dengan bertambah progresifnya
retinopati diabetik, meliputi kontrol diabetes prakehamilan yang buruk,
kontrol ketat yang terlalu cepat pada masa awal kehamilan, dan
perkembangan dari preeklamsia serta ketidakseimbangan cairan.
e. Hipertensi yang tidak terkontrol, biasanya dikaitkan dengan bertambah
beratnya retinopati diabetik dan perkembangan retinopati diabetik
proliferatif pada DM tipe I dan II
f. Nefropati, jika berat dapat mempengaruhi retinopati diabetik. Sebaliknya
terapi penyakit ginjal (contoh: transplantasi ginjal) dapat dihubungkan
dengan perbaikan retinopati dan respon terhadap fotokoagulasi yang lebih
baik.
g. Faktor resiko yang lain meliputi merokok, obesitas,anemia dan
hiperlipidemia.

4. Diagnosis dan Klasifikasi Retinopati Diabetik


Diagnosis retinopati diabetik didasarkan atas hasil pemeriksaan
funduskopi. Pemeriksaan dengan fundal fluorescein angiography (FFA)
merupakan metode diagnosis yang paling dipercaya. Namun dalam klinik,
pemeriksaan dengan oftalmoskopi masih dapat digunakan untuk skrining. Ada
banyak klasifikasi retinopati diabetik yang dibuat oleh para ahli. Pada umumnya
klasifikasi didasarkan atas beratnya perubahan mikrovaskular retina dan atau tidak
adanya pembentukan pembuluh darah baru di retina.
Tabel 1 : Klasifikasi Retinopati Diabetik

Tahap Deskripsi
Tidak ada Tidak ada tanda-tanda abnormal yang ditemukan pada retina.
retinopati Penglihatan normal.
Makulopati Eksudat dan perdarahan dalam area macula, dan/atau bukti edema
retina, dan/atau bukti iskemia retina. Penglihatan mungkin
berkurang; mengancam penglihatan.
Praproliferatif Bukti oklusi (cotton wool spot). Vena menjadi ireguler dan
mungkin terlihat membentuk lingkaran. Penglihatan normal.
Proliferatif Perubahan oklusi menyebabkan pelepasan substansi
vasoproliferatif dari retina yang menyebabkan pertumbuhan
pembuluh darah baru di lempeng optik (NVD) atau di tempat lain
pada retina (NVE). Penglihatan normal, mengancam penglihatan.
Tahap Deskripsi
Lanjut Perubahan proliferatif dapat menyebabkan perdarahan ke dalam
vitreus atau antara vitreus dan retina. Retina juga dapat tertarik
dari epitel pigmen di bawahnya oleh proliferasi fibrosa yang
berkaitan dengan pertumbuhan pembuluh darah baru. Penglihatan
berkurang, sering akut dengan perdarahan vitreus; mengancam
penglihatan.

Early Treatment Diabetik Retinopathy Study Research Group (ETDRS)


membagi retinopati diabetik atas non proliferatif dan proliferatif. Retinopati
diabetik digolongkan ke dalam retinopati diabetik non proliferatif (RDNP) apabila
hanya ditemukan perubahan mikrovaskular dalam retina. Neovaskuler merupakan
tanda khas retinopati diabetik proliferatif.
Tabel 2 : Klasifikasi Retinopati Diabetik berdasarkan ETDRS
Retinopati Diabetik Non-Proliferatif
1 Retinopati nonproliferatif minimal : terdapat 1 tanda berupa dilatasi vena,
. mikroaneurisma, perdarahan intraretina yang kecil atau eksudat keras.
2 Retinopati nonproliferatif ringan sampai sedang : terdapat 1 tanda berupa
. dilatasi vena derajat ringan, perdarahan, eksudar keras, eksudat lunak atau
IRMA.
3 Retinopati nonproliferatif berat : terdapat 1 tanda berupa perdarahan dan
. mikroaneurisma pada 4 kuadran retina, dilatasi vena pada 2 kuadran, atau
IRMA pada 1 kuadran.
4 Retinopati nonproliferatif sangat berat : ditemukan 2 tanda pada retinopati
. non proliferative berat.

Retinopati Diabetik Proliferatif


1 Retinopati proliferatif ringan (tanpa risiko tinggi) : bila ditemukan minimal
. adanya neovaskular pada diskus (NVD) yang mencakup <1/4 dari daerah
diskus tanpa disertai perdarahan preretina atau vitreus, atau neovaskular
dimana saja di retina (NVE) tanpa disertai perdarahan preretina atau vitreus.
2 Retinopati proliferatif risiko tinggi : apabila ditemukan 3 atau 4 dari faktor
. resiko sebagai berikut, a) ditemukan pembuluh darah baru dimana saja di
retina, b) ditemukan pembuluh darah baru pada atau dekat diskus optikus, c)
pembuluh darah baru yang tergolong sedang atau berat yang mencakup >
daerah diskus, d) perdarahan vitreus. Adanya pembuluh darah baru yang jelas
pada diskus optikus atau setiap adanya pembuluh darah baru yang disertai
perdarahan, merupakan dua gambaran yang paling sering ditemukan pada
retinopati proliferatif dengan resiko tinggi.
Gambar 1.5 Funduskopi pada NPDR. Mikroneurisma, hemorrhages intraretina (kepala
panah terbuka), hard exudates merupakan deposit lipid pada retina (panah), cotton-wool
spots menandakan infark serabut saraf dan eksudat halus (kepala panah hitam).
Sumber : Lang G. Ophtalmology a Short Textbook : Vascular Disorder.

Gambar 1.6 Funduskopi pada PDR. Tanda panah menunjukkan adanya preretinal
neovascularisation
Sumber : Lang G. Ophtalmology a Short Textbook : Vascular Disorder.
5. Gejala Klinik
Retinopati diabetik biasanya asimtomatis untuk jangka waktu yang lama.
Hanya pada stadium akhir dengan adanya keterlibatan macular atau hemorrhages
vitreus maka pasien akan menderita kegagalan visual dan buta mendadak. Gejala
klinis retinopati diabetik proliferatif dibedakan menjadi dua yaitu gejala subjektif
dan gejala obyektif.
Gejala Subjektif yang dapat dirasakan :
Kesulitan membaca
Penglihatan kabur disebabkan karena edema macula
Penglihatan ganda
Penglihatan tiba-tiba menurun pada satu mata
Melihat lingkaran-lingkaran cahaya jika telah terjadi perdarahan vitreus
Melihat bintik gelap & cahaya kelap-kelip.
Gejala objektif pada retina yang dapat dilihat yaitu :
Mikroaneurisma, merupakan penonjolan dinding kapiler terutama daerah
vena dengan bentuk berupa bintik merah kecil yang terletak dekat
pembuluh darah terutama polus posterior. Mikroaneurisma terletak pada
lapisan nuclear dalam dan merupakan lesi awal yang dapat dideteksi
secara klinis. Mikroaneurisma berupa titik merah yang bulat dan kecil,
awalnya tampak pada temporal dari fovea. Perdarahan dapat dalam bentuk
titik, garis, dan bercak yang biasanya terletak dekat mikroaneurisma
dipolus posterior.
Gambar 1.9 Mikroaneurisma dan hemorrhages pada backround diabetic
retinopathy
Sumber : Kanski J. Retinal Vascular Disease. In :Clinical Ophthalmology.

Gambar 1.7 FA menunjukkan titik hiperlusen yang menunjukkan mikroaneurisma non-


trombosis.
Sumber : Kanski J. Retinal Vascular Disease. In :Clinical Ophthalmology.

Perubahan pembuluh darah berupa dilatasi pembuluh darah dengan


lumennya ireguler dan berkelok-kelok seperti sausage-like.
Gambar 1.8 Dilatasi Vena
Sumber : Kanski J. Retinal Vascular Disease. In :Clinical Ophthalmology.

ard exudate merupakan infiltrasi lipid ke dalam retina. Gambarannya


khusus yaitu iregular, kekuning-kuningan. Pada permulaan eksudat
pungtata membesar dan bergabung. Eksudat ini dapat muncul dan hilang
dalam beberapa minggu.

Gambar 1.9 Hard Exudates


Sumber : Kanski J. Retinal Vascular Disease. In :Clinical Ophthalmology.
Gambar 1.10 FA Hard Exudates menunjukkan hipofluoresens.
Sumber : Kanski J. Retinal Vascular Disease. In :Clinical Ophthalmology.

Soft exudate yang sering disebut cotton wool patches merupakan iskemia
retina. Pada pemeriksaan oftalmoskopi akan terlihat bercak berwarna kuning
bersifat difus dan berwarna putih. Biasanya terletak dibagian tepi daerah
nonirigasi dan dihubungkan dengan iskemia retina.

Gambar 1.11 Cotton Wool Spots pada oftalmologi dan FA


Sumber : Kanski J. Retinal Vascular Disease. In :Clinical Ophthalmology.
Edema retina dengan tanda hilangnya gambaran retina terutama daerah
makula (macula edema) sehingga sangat mengganggu tajam penglihatan.
Edema retina awalnya terjadi antara lapisan pleksiform luar dan lapisan
nucleus dalam.
Pembuluh darah baru ( Neovaskularisasi ) pada retina biasanya terletak
dipermukaan jaringan. Tampak sebagai pembuluh yang berkelok-kelok,
dalam, berkelompok dan ireguler. Mulamula terletak dalam jaringan
retina, kemudian berkembang ke daerah preretinal kemudian ke badan
kaca. Pecahnya neovaskularisasi pada daerah-daerah ini dapat
menimbulkan perdarahan retina, perdarahan subhialoid (preretinal)
maupun perdarahan badan kaca.
Gambar 1.12 NVD severe dan NVE severe
Sumber : Kanski J. Retinal Vascular Disease. In :Clinical Ophthalmology

Gambar 1.13 Retinopati Diabetik Resiko tinggi yang disertai perdarahan


vitreus
Sumber : Kanski J. Retinal Vascular Disease. In :Clinical Ophthalmology
Tabel 3. Perbedaan antara NPDR dan PDR

NPDR PDR
Mikroaneurisma (+) Mikroaneurisma (+)
Perdarahan intraretina (+) Perdarahan intraretina (+)
Hard eksudat (+) Hard eksudat (+)
Oedem retina(+) Oedem retina (+)
Cotton Wool Spots (+) Cotton Wool Spots (+)
IRMA (+) IRMA(+)
Neovaskularisasi (-) Neovaskularisasi (+)
Perdarahan Vitreous (-) Perdarahan Vitreous (+)
Pelepasan retina secara traksi (-) Pelepasan retina secara traksi (+)

6. Diagnosis
Retinopati diabetik dan berbagai stadiumnya didiagnosis
berdasarkan pemeriksaan stereoskopik fundus dengan dilatasi pupil.
Oftalmoskopi dan foto funduskopi merupakan gold standard bagi penyakit
ini. Angiografi Fluoresens (FA) digunakan untuk menentukan jika
pengobatan laser diindikasikan. FA diberikan dengan cara menyuntikkan
zat fluorescens secara intravena dan kemudian zat tersebut melalui
pembuluh darah akan sampai di fundus.

Gambar 1.14 Neovaskularisasi retina perifer lebih terlihat jelas dengan angiography
daripada funduskopi.
Sumber : Kanski J. Retinal Vascular Disease. In :Clinical Ophthalmology.
7. Penatalaksanaan
Prinsip utama penatalaksanaan dari retinopati diabetik adalah
pencegahan. Hal ini dapat dicapai dengan memperhatikan hal-hal yang
dapat mempengaruhi perkembangan retinopati diabetik nonproliferatif
menjadi proliferatif.
a) Pemeriksaan rutin pada ahli mata
Penderita diabetes melitus tipe I retinopati jarang timbul hingga
lima tahun setelah diagnosis. Sedangkan pada sebagian besar penderita
diabetes melitus tipe II telah menderita retinopati saat didiagnosis diabetes
pertama kali. Pasien- pasien ini harus melakukan pemeriksaan mata saat
diagnosis ditegakkan. Pasien wanita sangat beresiko perburukan retinopati
diabetik selama kehamilan. Pemeriksaan secara umum direkomendasikan
pada pasien hamil pada semester pertama dan selanjutnya tergantung
kebijakan ahli matanya.
Tabel 4. Jadwal Pemeriksaan Berdasarkan Umur atau Kehamilan

Jadwal Pemeriksaan Berdasarkan Umur atau Kehamilan


Umur onset Rekomendasi pemeriksaan pertama Follow up rutin minimal
DM/kehamilan kali
0-30 tahun Dalam waktu 5 tahun setelah diagnosis Setiap tahun
>31 tahun Saat diagnosis Setiap tahun
Hamil Awal trimester pertama Setiap 3 bulan atau sesuai
kebijakan dokter mata

Berdasarkan beratnya retinopati dan risiko perburukan penglihatan,


ahli mata mungkin lebih memilih untuk megikuti perkembangan pasien-
pasien tertentu lebih sering karena antisipasi kebutuhan untuk terapi.

Tabel 5. Jadwal Pemeriksaan Berdasarkan Temuan pada Retina

Jadwal Pemeriksaan Berdasarkan Temuan Pada Retina


Abnormalitas retina Follow-up yang disarankan
Normal atau mikroaneurisma yang Setiap tahun
sedikit
Retinopati Diabetik non proliferatif Setiap 9 bulan
ringan
Retinopati Diabetik non proliferatif Setiap 6 bulan
Retinopati Diabetik non proliferatif Setiap 4 bulan
Edema makula Setiap 2-4 bulan
Retinopati Diabetik proliferative Setiap 2-3 bulan

b) Kontrol Glukosa Darah dan Hipertensi


Untuk mengetahui kontrol glukosa darah terhadap
retinopati diabetik, Diabetik Control and Complication Trial
(DCCT) melakukan penelitian terhadap 1441 pasien dengan DM
Tipe I yang belum disertai dengan retinopati dan yang sudah
menderita RDNP. Hasilnya adalah pasien yang tanpa retinopati dan
mendapat terapi intensif selama 36 bulan mengalami penurunan
resiko terjadi retinopati sebesar 76% sedangkan pasien dengan
RDNP dapat mencegah resiko perburukan retinopati sebesar 54%.
Pada penelitian yang dilakukan United Kingdom Prospective
Diabetes Study (UKPDS) pada penderita DM Tipe II dengan terapi
intensif menunjukkan bahwa setiap penurunan HbA1c sebesar 1%
akan diikuti dengan penurunan resiko komplikasi mikrovaskular
sebesar 35%. Hasil penelitian DCCT dan UKPDS tersebut
memperihatkan bahwa meskipun kontrol glukosa darah secara
intensif tidak dapat mencegah terjadinya retinopati diabetik secara
sempurna, namun dapat mengurangi resiko timbulnya retinopati
diabetik dan memburuknya retinopati diabetic yang sudah ada.
Secara klinik, kontrol glukosa darah yang baik dapat melindungi
visus dan mengurangi resiko kemungkinan menjalani terapi
fotokoagulasi dengan sinar laser. UKPDS menunjukkan bahwa
control hipertensi juga menguntungkan mengurangi progresi dari
retinopati dan kehilangan penglihatan.
c) Fotokoagulasi
Perkembangan neovaskuler memegang peranan penting
dalam progresi retinopati diabetik. Komplikasi dari retinopati
diabetik proliferatif dapat meyebabkan kehilangan penglihatan
yang berat jika tidak diterapi. Suatu uji klinik yang dilakukan oleh
National Institute of Health di Amerika Serikat jelas menunjukkan
bahwa pengobatan fotokoagulasi dengan sinar laser apabila
dilakukan tepat pada waktunya, sangat efektif untuk pasien dengan
retinopati diabetik proliferatif dan edema makula untuk mencegah
hilangnya fungsi penglihatan akibat perdarahan vitreus dan ablasio
retina. Indikasi terapi fotokoagulasi adalah retinopati diabetik
proliferatif, edema macula dan neovaskularisasiyang terletak pada
sudut bilik anterior. Ada 3 metode terapi fotokoagulasi yaitu :
Scatter (Panretinal) Photocoagulation = PRP, dilakukan
pada kasus dengan kemunduran visus yang cepat atau
retinopati diabetik resiko tinggi dan untuk menghilangkan
neovaskular dan mencegah neovaskularisasi progresif
nantinya pada saraf optikus dan pada permukaan retina atau
pada sudut bilik anterior dengan cara menyinari 1.000-
2.000 sinar laser ke daerah retina yang jauh dari macula
untuk menyusutkan neovaskular.

Gambar 1.15 Tahap-tahap PRP


Sumber : Kanski J. Retinal Vascular Disease. In :Clinical Ophthalmology.

Focal photocoagulation, ditujukan pada mikroaneurisma atau


lesi mikrovaskular di tengah cincin hard exudates yang
terletak 500-3000 m dari tengah fovea. Teknik ini
mengalami bertujuan untuk mengurangi atau menghilangkan
edema macula.
Grid photocoagulation, suatu teknik penggunaan sinar laser
dimana pembakaran dengan bentuk kisi-kisi diarahkan pada
daerah edema yang difus. Terapi edema macula sering
dilakukan dengan menggunakan kombinasi focal dan grid
photocoagulation.
Gambar 1.16 Panretinal fotokoagulasi pada PDR
Sumber : Kanski J. Retinal Vascular Disease. In :Clinical Ophthalmology.

Gambar 1.20 Grip fotokoagulasi untuk diabetik makular edema


Sumber : Kanski J. Retinal Vascular Disease. In :Clinical Ophthalmology.

d) Injeksi Anti VEGF


Bevacizumab (Avastin) adalah rekombinan anti-VEGF
manusia. Sebuah studi baru-baru ini diusulkan menggunakan
bevacizum intravitreus untuk degenerasi makula terkait usia.
Dalam kasus ini, 24 jam setelah perawatan kita melihat
pengurangan dramatis dari neovaskularisasi iris, dan tidak kambuh
dalam waktu tindak lanjut 10 hari. Pengobatan dengan
bevacizumab tampaknya memiliki pengaruh yang cepat dan kuat
pada neovaskularisasi patologis. Avastin merupakan anti
angiogenik yang tidak hanya menahan dan mencegah pertumbuhan
prolirerasi sel endotel vaskular tapi juga menyebabkan regresi
vaskular oleh karena peningkatan kematian sel endotel. Untuk
pengunaan okuler, avastin diberikan via intra vitreal injeksi ke
dalam vitreus melewati pars plana dengan dosis 0,1 mL. Lucentis
merupakan versi modifikasi dari avastin yang khusus dimodifikasi
untuk penggunaan di okuler via intra vitreal dengan dosis 0,05 mL.
e) Vitrektomi
Vitrektomi dini perlu dilakukan pada pasien yang
mengalami kekeruhan (opacity) vitreus dan yang mengalami
neovaskularisasi aktif. Vitrektomi dapat juga membantu bagi pasien
dengan neovaskularisasi yang ekstensif atau yang mengalami
proliferasi fibrovaskuler. Selain itu, vitrektomi juga diindikasikan
bagi pasien yang mengalami ablasio retina, perdarahan vitreus
setelah fotokoagulasi, RDP berat, dan perdarahan vitreus yang
tidak mengalami perbaikan.

Gambar 1.17 Vitrektomi


Sumber : Kanski J. Retinal Vascular Disease. In :Clinical Ophthalmology.

Diabetic Retinopathy Vitrectomy Study (DVRS) melakukan


clinical trial pada pasien dengan dengan diabetik retinopati
proliferatif berat. DRVS mengevaluasi keuntungan pada vitrektomi
yang cepat (1-6 bulan setelah perdarahn vitreus) dengan yang
terlambat ( setalah 1 tahun) dengan perdarahan vitreous berat dan
kehilangan penglihatan (<5/200). Pasien dengan diabetes tipe 1
secara jelas menunjukan keuntungan vitrektomi awal, tetapi tidak
pada tipe 2. DRSV juga menunjukkan keuntungan vitrektomi awal
dibandingkan dengan managemen konvensional pada mata dengan
retinopati diabetik proliferatif yang sangat berat.

7. Komplikasi
a) Rubeosis iridis progresif
Penyakit ini merupakan komplikasi segmen anterior paling
sering. Neovaskularisasi pada iris (rubeosis iridis) merupakan suatu
respon terhadap adanya hipoksia dan iskemia retina akibat berbagai
penyakit, baik pada mata maupun di luar mata yang paling sering
adalah retinopati diabetik. Neovaskularisasi iris pada awalnya terjadi
pada tepi pupil sebagai percabangan kecil, selanjutnya tumbuh dan
membentuk membrane fibrovaskular pada permukaan iris secara radial
sampai ke sudut, meluas dari akar iris melewati ciliary body dan sclera
spur mencapai jaring trabekula sehingga menghambat pembuangan
aquous dengan akibat intra ocular presure meningkat dan keadaan
sudut masih terbuka. Suatu saat membrane fibrovaskular ini konstraksi
menarik iris perifer sehingga terjadi sinekia anterior perifer (PAS)
sehingga sudut bilik mata depan tertutup dan tekanan intra okuler
meningkat sangat tinggi sehingga timbul reaksi radang intra okuler.
Sepertiga pasien dengan rubeosis iridis terdapat pada penderita
retinopati diabetika. Frekuensi timbulnya rubeosis pada pasien
retinopati diabetika dipengaruhi oleh adanya tindakan bedah. Insiden
terjadinya rubeosis iridis dilaporkan sekitar 25-42 % setelah tindakan
vitrektomi, sedangkan timbulnya glaukoma neovaskuler sekitar 10-
23% yang terjadi 6 bulan pertama setelah dilakukan operasi.
b) Glaukoma neovaskular
Glaukoma neovaskuler adalah glaukoma sudut tertutup
sekunder yang terjadi akibat pertumbuhan jaringan fibrovaskuler pada
permukaan iris dan jaringan anyaman trabekula yang menimbulkan
gangguan aliran aquous dan dapat meningkatkan tekanan intra okuler.
Nama lain dari glaukoma neovaskular ini adalah glaukoma hemoragik,
glaukoma kongestif, glaukoma trombotik dan glaukoma rubeotik.
Etiologi biasanya berhubugan dengan neovaskular pada iris (rubeosis
iridis). Neovaskularisasi pada iris (rubeosis iridis) merupakan suatu
respon terhadap adanya hipoksia dan iskemia retina akibat berbagai
penyakit, baik pada mata maupun di luar mata yang paling sering
adalah retinopati diabetik. Neovaskularisasi iris pada awalnya terjadi
pada tepi pupil sebagai percabangan kecil, selanjutnya tumbuh dan
membentuk membrane fibrovaskuler pada permukaan iris secara radial
sampai ke sudut, meluas dari akar iris melewati ciliary body dan sclera
spur mencapai jaring trabekula sehingga menghambat pembuangan
akuos dengan akibat Intra Ocular Presure meningkat dan keadaan sudut
masih terbuka.
c) Perdarahan vitreus rekuren
Perdarahan vitreus sering terjadi pada retinopati diabetik
proliferatif. Perdarahan vitreus terjadi karena terbentuknya
neovaskularisasi pada retina hingga ke rongga vitreus. Pembuluh darah
baru yang tidak mempunyai struktur yang kuat dan mudah rapuh
sehingga mudah mengakibatkan perdarahan. Perdarahan vitreus
memberi gambaran perdarahan pre-retina (sub-hyaloid) atau intragel.
Perdarahan intragel termasuk didalamnya adalah anterior, middle,
posterior, atau keseluruhan badan vitreous.
Gejalanya adalah perkembangan secara tiba-tiba dari floaters
yang terjadi saat perdarahan vitreous masih sedikit. Pada perdarahan
badan kaca yang massif, pasien biassanya mengeluh kehilangan
penglihatan secara tiba-tiba. Oftalmoskopi direk secara jauh akan
menampakkan bayangan hitam yang berlawanan dengan sinar merah
pada perdahan vitreous yang masih sedikit dan tidak ada sinar merah
jika perdarahan vitreous sudah banyak. Oftalmoskopi direk dan indirek
menunjukkan adanya darah pada ruang vitreous. Ultrasonografi Bscan
membantu untuk mendiagnosa perdarahan badan kaca.
d) Ablasio retina
Merupakan keadaan dimana terlepasnya lapisan neurosensori
retina dari lapisan pigmen epithelium. Ablasio retina tidak
menimbulkan nyeri, tetapi bisa menyebabkan gambaran bentuk-bentuk
ireguler yang melayang-layang atau kilatan cahaya, serta menyebabkan
penglihatan menjadi kabur.
8. Diagnosis Banding
Diagnosis banding harus menyingkirkan penyakit vascular retina lainnya,
adalah hipertensive retinopathy. Retinopati hipertensi adalah suatu kondisi dengan
karakteristik perubahan vaskularisasi retina pada populasi yang menderita
hipertensi. Kelainan ini pertama kali dikemukakan oleh Marcus Gunn pada kurun
ke-19 pada sekelompok penderita hipertensi dan penyakit ginjal. Tanda-tanda
pada retina yang diobservasi adalah penyempitan arteriolar secara general dan
fokal, perlengketan atau nicking arteriovenosa, perdarahan retina dengan bentuk
flame-shape dan blot-shape, cotton-wool spots, dan edema papilla. Pada tahun
1939, Keith et al menunjukkan bahwa tanda-tanda retinopati ini dapat dipakai
untuk memprediksi mortalitas pada pasien hipertensi.

Tabel 5. Modifikasi klasifikasi Scheie oleh American Academy of Ophtalmology

Stadium Karakteristik
Stadium 0 Tiada perubahan, a:v = 2:3
Stadium I Penyempitan arteriolar yang hampir tidak terdeteksi.
Stadium II Penyempitan yang jelas dengan kelainan fokal:, Copper wire
arteries, Silver wire arteries, Banking sign, Salus sign
Stadium III Stadium II + perdarahan retina dan/atau eksudat
Stadium IV Stadium III + papilledema
Gambar 1.18 A. Funduskopi mata kiri pasien,25 tahun, dengan renal hipertensi
memperlihatkan white-cotton wool spot, deep focal intraretina periarteriolar transudat
(FIPTs), B. Angiogram mempelihatkan area non-perfusi.
Sumber : Lang G. Ophtalmology a Short Textbook : Vascular Disorder.

Berdasarkan penelitian, telah dibuat suatu tabel klasifikasi retinopati


hipertensi tergantung dari berat ringannya tanda-tanda yang kelihatan pada retina.

Tabel 5. Klasifikasi retinopati hipertensi dilihat dari berat-ringan temuan


pada retina dan hubungannya dengan kondisi sistemik
Retinopati Deskripsi Asosiasi sistemik
Mild Satu atau lebih dari tanda berikut : Asosiasi ringan dengan

Penyempitan arteioler menyeluruh penyakit stroke, penyakit


atau fokal, AV nicking, dinding jantung koroner dan

arterioler lebih padat (silver-wire) mortalitas kardiovaskuler

Moderate Retinopati mild dengan satu atau Asosiasi berat dengan


lebih tanda berikut : penyakit stroke, gagal

Perdarahan retina (blot, dot atau jantung, disfungsi renal

flame-shape), microaneurysme, dan mortalitas

cotton-wool, hard exudates kardiovaskuler

Accelerated Tanda-tanda retinopati moderate Asosiasi berat dengan


dengan edema papil : dapat disertai mortalitas dan gagal ginjal
dengan kebutaan
Karakteristik utama pada diabetik retinopati yaitu perubahan parenkim dan
vaskuler retina dimana pada retina ditemukan mikroaneurisma, perdarahannya
dalam bentuk bercak dan titik serta edema sirsinata, adanya edema retina dan
gangguan fungsi makula serta vaskularisasi retina dan badan kaca.. Sehingga
dengan pemeriksaan laboratorium lengkap, funduskopi dan Angiografi fluorescein
akan ditemukan kelainan-kelainan pada retinopati diabetik yang berbeda dengan
retinopati hipertensif diantaranya pada retinopati hipertensif tidak ada
mikroaneurisma. Kelainan makula: pada retinopati hipertensif makula menjadi
star-shaped, sedangkan pada retinopati diabetik mengalami edema. Kapiler pada
retinopati hipertensif menipis, sedangkan retinopati diabetik menebal (beading).

9. Prognosis
Kontrol optimum glukosa darah (HbA1c < 7%) dapat mempertahankan
atau menunda retinopati. Hipertensi arterial tambahan juga harus diobati (dengan
tekanan darah disesuaikan <140/85 mmHg). Tanpa pengobatan, Detachment
retinal tractional dan edema macula dapat menyebabkan kegagalan visual yang
berat atau kebutaan. Bagaimanapun juga, retinopati diabetik dapat terjadi
walaupun diberi terapi optimum.
DAFTAR PUSTAKA

Drake, Richard L., Vogl, W., Mitchell, Adam W. 2009. GRAYS Anatomy for
student 2nd edition. Philadelphia: Elsevier Inc.

Guyton and Hall. 2010. Textbook of Medical Physiology 12 th edition.


Philadelphia: Elsevier Inc.

Weiss J. Retina and Vitreous : Retinal Vascular Disease. Section 12 Chapter


5.Singapore: American Academy of Ophtalmology; 2008. p 107-128

Kanski J. 2003. Retinal Vascular Disease. In : Clinical Ophthalmology.


London: Butterworth-Heinemann. p.439-54,468-70.

Wong TY, Mitchell P, editors. 2004. Current concept hypertensive retinopathy.


The New England Journal of Medicine . Available from:
URL:http://www.nejm.org/cgi/reprint/351/22/2310.pdf

Anda mungkin juga menyukai