Anda di halaman 1dari 314

EDITOR:

Adi Susmianto
Maman Turjaman
Pujo Setio

ReKaM JeJaK
GAHARU INOKULASI
Teknologi BADAN LITBANG
KEHUTANAN

FORDA PRESS
bekerjasama dengan
PUSAT LITBANG KONSERVASI DAN REHABILITASI
Rekam Jejak

Gaharu
Inokulasi
TEKNOLOGI BADAN LITBANG
KEHUTANAN
Editor:
Adi Susmianto
Maman Turjaman
Pujo Setio

I
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang
Kehutanan

Editor
Adi Susmianto
Maman Turjaman
Pujo Setio

Hak cipta penulis


Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang

Perancang Sampul/Penata Letak


Forda Press

Cetakan Kedua, Oktober 2014


Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan
xiv + 298; 14,8 x 21,0 cm
ISBN: 978-602-14274-3-9

Penerbit:

FORDA Press
Anggota IKAPI No. 257/JB/2014
Jalan Gunung Batu No. 5. Bogor-Jawa Barat
Telp./Fax.: 0251-7520 093
E-mail : fordapress@yahoo.co.id

Bekerjasama dengan/Dibiayai oleh:

Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi


Jalan Gunung Batu No. 5. Bogor-Jawa Barat
Telp: 0251-7520 067, 8633 234 Fax: 0251-8638 111
K ATA PENGANTAR
Bagi masyarakat sekitar hutan di Indonesia, produk gaharu
mempunyai nilai historis, sosial, budaya, dan ekonomi yang
sangat tinggi. Habitat alami jenis pohon penghasil gaharu
tersebar di Sumatera, Kalimantan, Jawa, Nusa Tenggara,
Sulawesi, Maluku, dan Papua. Sudah sejak berabad-abad yang
lalu, gaharu dikenal sebagai bahan pewangi, aroma terapi,
farmasi dan obat-obatan herbal. Permintaan produk gaharu yang
meningkat menyebabkan terjadinya ekploitasi jenis-jenis pohon
penghasil gaharu di alam yang tidak diimbangi dengan upaya
budidaya, sehingga kelompok genera Aquilaria dan Gyrinops
termasuk dalam daftar Appendix II CITES (The Convention on
International Trade in Endangered Species of Wild Flora and
Fauna). Produk gaharu dari kedua genera ini dianggap terancam
punah, sehingga dalam penebangan dan perdagangannya perlu
diatur dan dibatasi.

Badan Litbang Kehutanan, yang pada tahun 2013 ini berumur


100 tahun, merupakan institusi pionir dalam riset gaharu yang
telah dimulai sejak tahun 1984. Dr. Erdy Santoso adalah peneliti
dari Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi yang konsisten
selama hampir 30 tahun ini mendedikasikan diri dalam riset
gaharu. Dukungan riset dalam mendukung upaya penyelamatan
dan budidaya jenis-jenis pohon penghasil gaharu dari berbagai
institusi riset/perguruan tinggi di Indonesia mulai berkembang
pesat. Riset gaharu dari hulu higga hilir sangat diperlukan untuk
dapat mewujudkan kelestarian jenis-jenis pohon penghasil
gaharu dan sekaligus meningkatkan ekonomi kerakyatan,
khususnya petani-petani gaharu di pusat pengembangan gaharu.
Untuk itulah, buku ini disusun untuk memberikan informasi
tentang status riset gaharu kepada khalayak ramai, pemegang

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan iii
kebijakan, praktisi, pedagang, Lembaga Swadaya Masyarakat,
dan lain-lain.

Kepada semua pihak yang telah bekerja keras dan berdedikasi


tinggi dalam penyusunan buku khusus tentang riset komoditi
gaharu di Indonesia, kami sampaikan penghargaan dan ucapan
terima kasih. Buku ini dipersembahkan sebagai bagian rangkaian
program diseminasi informasi hasil-hasil riset dalam rangka
memperingati satu abad Badan Litbang Kehutanan.

Kepala Badan

Penelitian dan Pengembangan Kehutanan,

Dr. Ir. R. Iman Santoso, M.Sc.

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


iv Teknologi Badan Litbang Kehutanan
D AFTAR ISI

Kata Pengantar .. iii


Daftar Isi v
Daftar Tabel . vii
Daftar Gambar .. x
Pendahuluan
1. Ketika Gaharu menjadi Booming (Adi Susmianto
dan Erdy Santoso) .. 3
Prospek Gaharu Hasil Bioinduksi
2. Gaharu Bioinduksi: Komoditi Elit Masa Depan Sektor
Kehutanan (Sulistyo A. Siran) .. 17
3. Teknologi Bioinduksi Jamur Pembentuk Gaharu
(Erdy Santoso) . 33
Pengenalan Jenis, Budidaya dan Pemacu Tumbuh
Gaharu
4. Pengenalan Jenis-Jenis Pohon Penghasil Gaharu
(Beny Rahmanto dan Edi Suryanto) 69
5. Budidaya Gaharu Dengan Silvikultur Intensif (Atok
Subiakto) 79
6. Karakteristik Tempat Tumbuh Gaharu (Pratiwi) . 89
7. Mikoriza Untuk Stimulasi Pertumbuhan Empat Jenis
Aquilaria (Maman Turjaman) .. 109
Pembentukan Gaharu dan Teknik Bioinduksi
8. Proses Pembentukan Gaharu Aquilaria Microcarpa
(Rima HS Siburian) .. 123
9. Teknologi Bioinduksi Gaharu (Erdy Santoso) 135
Hama Gaharu dan Pengendaliannya
10. Mengenal Hama Ulat Daun Gaharu Pitama
hermesalis (Fajar Lestari dan Edi Suryanto) .. 159
11. Pengendalian Hama Daun Gaharu Aquilaria
microcarpa (Ragil S.B. Irianto) .. 173

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan v
Sosial Ekonomi dan Pengembangan Gaharu
12. Industri Hulu-Hilir Gaharu (Maman Turjaman) .. 185
13. Kajian Biaya Pembangunan Hutan Tanaman gaharu
(Atok Subiakto) .. 217
14. Peluang Bisnis Gaharu Bersama Masyarakat (Sri
Suharti) 227
15. Perhitungan Biaya Inokulasi Gaharu (Sri Suharti) . 249
16. Pengembangan Gaharu di Bengkulu
(Mucharromah) .. 275

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


vi Teknologi Badan Litbang Kehutanan
D AFTAR TABEL

No. Tabel Hal

2.1. Klasifikasi mutu gaharu di Kota Samarinda dan daerah 25


sekitarnya ....................................................................
2.2. Kriteria dan klasifikasi mutu gaharu .............................. 25
2.3. Harga jual gaharu di pasaran Samarinda, Kalimantan
Timur ............................................................................ 26
2.4. Klasifikasi mutu gaharu menurut Standar Nasional
Indonesia ....................................................................... 28
3.1. Tiga metode induksi gaharu 40
3.2. Jenis-jenis pohon penghasil gaharu yang tersebar di
Asia 45
3.3. Jenis tanaman penghasil gaharu (Non-CITES) yang
tersebar di Indonesia . 46
3.4. Resume Teknis Bioinduksi Gaharu 61
5.1. Persen kecambah dari hasil uji penyimpanan biji ........ 82
5.2. Persen jadi bibit (6 minggu setelah penaburan) dari
hasil uji penyimpanan biji ............................................. 82
5.3. Persen tumbuh bibit cabutan dari uji penyimpanan
dan kondisi tanam bibit ............................................... 83
5.4. Persen berakar stek dari rangkaian uji produksi stek ... 84
6.1. Sifat-sifat fisik tanah di lokasi penelitian Dramaga 95
6.2. Sifat-sifat fisik tanah di lokasi penelitian Carita 96
6.3. Sifat-sifat fisik tanah di lokasi penelitian Sukabumi .. 96
6.4. Sifat-sifat kimia tanah di lokasi penelitian Dramaga . 97
6.5. Sifat-sifat kimia tanah di lokasi penelitian Carita 98
6.6. Sifat-sifat kimia tanah di lokasi penelitian Sukabumi 99
6.7. Jumlah jenis tumbuhan bawah dan familinya di lokasi
penelitian . 103
6.8. Indeks similaritas (%) dari komunitas tumbuhan di
lokasi penelitian .. 105

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan vii
7.1. Kolonisasi mikoriza arbuskula dan pertumbuhan pada
jenis-jenis Aquilaria setelah enam bulan pada kondisi
di rumah kaca . 114
7.2. Kandungan N dan P pada jenis-jenis Aquilaria setelah
enam bulan diinokulasi oleh beberapa jenis fungi
mikoriza arbuskula (FMA) 115
9.1. Isolat-isolat yang diamati .............................................. 137
9.2. Keragaman morfologi Fusarium spp. yang berasal dari
berbagai daerah ........................................................... 140
9.3. Keragaman karakter makrokonidia Fusarium spp.
yang berasal dari berbagai daerah ................................ 145
9.4. Uji lanjut Duncan untuk infeksi 2 bulan umur inokulasi 151
10.1. Klasifikasi tingkat kerusakan daun yang disebabkan
oleh ulat H. vitessoides . 162
11.1. Jenis-jenis insektisida yang digunakan untuk
mengendaliakan hama ulat daun gaharu Aquilaria
microcarpa di KHDTK Carita, Banten . 180
12.1. Perkiraan harga jual gaharu di Samarinda (Kalimantan
Timur) pada tahun 2000-an. .. 190
12.2. Produksi bibit pohon penghasil gaharu di Asia 209
13.1. Biaya penanaman pohon penghasil gaharu pola murni
kerapatan 1.100 pohon/Ha (3 m x 3 m) . 221
13.2. Biaya penanaman pohon penghasil gaharu pola murni
kerapatan 625 pohon/Ha (4 m x 4 m) .. 222
13.3. Biaya penanaman pohon penghasil gaharu pola
campuran dengan kelapa sawit kerapatan jenis
gaharu 139 pohon per hektar . 223
13.4. Biaya penanaman pohon penghasil gaharu pola
campuran dengan kelapa sawit, kerapatan jenis
kelapa sawit 139 pohon per hektar 223
13.5. Biaya penanaman pohon penghasil gaharu pola
campuran dengan karet, kerapatan jenis gaharu 556
pohon per hektar 224
13.6. Biaya penanaman pohon penghasil gaharu pola
campuran dengan karet, kerapatan jenis karet 556
pohon per hektar .. 224
14.1. Alternatif bentuk kemitraan yang dapat
dikembangkan . 240

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


viii Teknologi Badan Litbang Kehutanan
15.1. Produktivitas pohon penghasil gaharu pada berbagai
diameter pohon dan umur tanaman ........................... 255
15.2. Harga gaharu pada berbagai umur panen .................... 255
15.3. Jenis-jenis pohon penghasil gaharu di Indonesia ......... 257
15.4. Hasil pemanenan dan ekspor gaharu jenis Aquilaria
spp. dari Indonesia tahun 1995 2003 .. 262
15.5. Biaya investasi, pengelolaan dan panen gaharu (Rp) . 265
15.6. Hasil analisis finansial inokulasi 100 pohon penghasil
gaharu yang dipanen setelah 5 tahun inokulasi 266

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan ix
D AFTAR GAMBAR

No. Gambar Hal

1.1. Hutan monokultur Aquilaria malaccensis di Bahorok,


Sumatera Utara .. 4
1.2. Buah Aquilaria malaccensis yang menjadi sumber
perbanyakan bibit gaharu . 9
1.3. Gaharu hasil inokulasi dari Badan Litbang Kehutanan 10
1.4. Koleksi gaharu kelas super yang dimiliki pengusaha
gaharu asal Taiwan .. 10
2.1. Sampel gaharu (a) kelas tanggung; (b) kacangan; (c)
teri; dan (d) kemedangan ............................................ 26
2.2. Alur tata niaga gaharu di Kalimantan Timur .............. 29
3.1. Akumulasi resin gaharu pada jaringan kayu gaharu
alam berkualitas tinggi (kiri) dan gaharu budidaya
hasil perlakuan jamur di India (kanan) (Ajmal, 2011).. 36
3.2. Hifa jamur patogen yang masuk pada jaringan sel-sel
kayu pohon penghasil gaharu setelah tiga bulan
diinokulasi . 37
3.3. Deposit resin gaharu pada sel-sel kayu Aquilaria
malaccensis oleh Fusarium sp. di Bengkulu
(Mucharromah, 2011) 38
3.4. Deposit resin gaharu pada sel-sel kayu Aquilaria
microcarpa oleh Fusarium solani di KHDTK Carita,
Banten . 38
3.5. Metode paku di Bangladesh .. 41
3.6. Gaharu hasil paku dari jenis Aquilaria crassna di
Vietnam dan Gyrinops versteegii di Lombok (NTB) . 42
3.7. Inokulan tongkat bambu yang direndam asam sulfat
berbahaya .. 42
3.8. Segitiga faktor pembentukan gaharu 44
3.9. Biakan Fusarium solani . 47

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


x Teknologi Badan Litbang Kehutanan
3.10. Faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh dalam
pembentukan gaharu (Purnomo dan Turjaman,
2011) 48
3.11. Proses pemanenan gaharu hasil budidaya dengan
menggunakan peralatan pertukangan yang
sederhana 49
3.12. Gaharu A. malaccensis dari pohon yang tumbuh
secara alami di kebun karet rakyat dan diinokulasi
jamur patogen F. Solani .. 50
3.13. Inokulan jamur patogen yang telah diseleksi, dapat
diproduksi massal, dan dapat diinokulasi pada
pohon penghasil gaharu secara massal .. 52
3.14. Mata bor yang terbuat dari jari-jari sepeda motor
berukuran 3 mm .. 53
3.15. Alat suntik inokulan jamur yang dibuat otomatis
yang kapasitas masuknya cairan dapat diatur (0,5 cc,
1 cc, atau 2 cc) .. 54
3.16. Pola penyuntikan gaharu dengan menggunakan
mata bor dan alat suntik sederhana dapat dilakukan
2-3 orang per tim suntik . 55
3.17. Pola suntik gaharu alam pada jenis Aquilaria
malaccensis di Sumatera Utara (foto milik Suparno)
dan dapat dilihat gejala pembentukan gaharu
dengan jarak yang teratur 56
3.18. Ujicoba panen Aquilaria malaccensis umur 15 bulan
setelah suntik di Sanggau, Kalimantan Barat.
Sebelah kiri adalah potongan pohon penghasil
gaharu dengan berat 45 kg, dan sebelah kanan
adalah contoh gaharu yang dihasilkan dengan berat
4,5 kg . 56
4.1. Buah Aquilaria microcarpa (Dok. Beny R. dan Edi S.)
dan sketsa buah A.microcarpa (Dok. Flora
Malesiana) . 75
4.2. Buah A. malaccensis (Dok. Beny R. dan Edi S.)
dan sketsa buah A. malaccensis (Dok. Flora
Malesiana) .. 75
4.3. Sketsa buah A. beccariana (Dok. Flora Malesiana) .. 75
4.4. Sketsa buah A. hirta (Dok. Flora Malesiana) 76
4.5. Buah G. Versteegii . 76

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan xi
4.6. Buah A. crassna (Dok. Beny R. dan Edi S.) 76
7.1. Pertumbuhan tinggi dan diameter pohon penghasil
gaharu Aquilaria beccariana setelah dua tahun
ditanam di tingkat lapang. K= Kontrol; Ent=
Entrophospora sp.; Gg= G. decipiens; G.Aca= Glomus
sp. ACA; Gc= G.clarum; G.ZEA= Glomus sp. ZEA .. 117
8.1. Pengambilan sampel kayu dengan cara pengeboran .. 125
8.2. Hifa Fusarium pada jaringan anatomi batang
Aquilaria microcarpa . 129
8.3. Penampang dan kulit tersisip yang memiliki endapan
dan tidak dijumpai adanya Fusarium solani 130
8.4. Hasil analisis GC MS pada tanaman A. microcarpa .. 130
9.1. Pengeboran batang pohon contoh (A) dan injeksi
isolat pada lubang bor (B) ........................................... 143
9.2. Keragaman morfologi Fusarium spp. (isolat Ga-1, Ga-
2, Ga-3, Ga-4, Ga-5, Ga-6, Ga-7, dan Ga-8) umur
tujuh hari pada medium PDA ...................................... 143
9.3. Keragaman morfologi Fusarium spp. (isolat Ga-9, Ga-
10, Ga-11, Ga-12, Ga-13, Ga-14, Ga-15, dan Ga-16)
umur tujuh hari pada medium PDA............................. 144
9.4. Keragaman morfologi Fusarium spp. (isolat Ga-17,
Ga-18, Ga-19, Ga-20, dan Ga-21) umur tujuh hari
pada medium PDA ...................................................... 144
9.5. Keragaman makrokonidia (a) dan mikrokonidia (b)
Fusarium spp. (isolat Ga-1, Ga- 2, Ga-9, Ga-12, Ga-
15, Ga-17, Ga-20, dan Ga-21) dengan perbesaran
40x ............................................................................. 147
9.6. Keragaman makrokonidia (a) dan mikrokonidia (b)
Fusarium spp. (isolat Ga-4, Ga-5, GA-7, Ga-8, GA-10,
Ga-11, Ga-14, dan Ga-18) dengan perbesaran 40x .... 148
9.7. Keragaman makrokonidia (a) dan mikrokonidia (b)
Fusarium spp. (isolat Ga-3, Ga-6, Ga-13, Ga-16, dan
Ga-19) dengan per-besaran 40x ................................. 148
9.8. Panjang infeksi batang A. microcarpa ........................ 152
9.9. Laju infeksi pada batang A. microcarpa ...................... 152
10.1. Dua daun gaharu saling melekat sebagai sarang ulat 165
10.2. Ulat P. hermesalis bersembunyi di dalam lipatan
daun gaharu 165
10.3. Bagian epidermis daun yang transparan 165

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


xii Teknologi Badan Litbang Kehutanan
10.4. (a) Motif tubuh ulat jenis H. vitessoides, punggung
polos dengan garis warna putih sepanjang ruas
tubuh H. vitessoides, (b) Motif tubuh ulat jenis P.
hermesalis, punggung berbentuk segiempat P.
hermesalis .. 166
10.5. (a) Kepala ulat jenis H. vitessoides, (b) Kepala ulat
jenis P. hermesalis .. 167
10.6. Pembesaran gambar 75x terhadap: (a) Kepala ulat
jenis H. vitessoides, (b) Kepala ulat jenis P.
hermesalis . 168
10.7. (a) Ngengat ulat jenis H. vitessoides, (b) Ngengat ulat
jenis P. hermesalis 168
10.8. (a) Tiga pasang Trueleg, (b) Proleg pada ruas tubuh 168
11.1. hama ulat daun H. vittessoides yang menyerang
pohon penghasil gaharu Aquilaria microcarpa di
KHDTK Carita, Banten 177
11.2. Intensitas serangan hama ulat daun pohon
penghasil gaharu Aquilaria microcarpa di KHDTK
Carita (Banten) pada bulan Oktober 2008 .. 178
12.1. Negara produsen dan konsumen gaharu . 187
12.2. Outlet gaharu alam yang dipasarkan eceran di mal-
mal negara-negara Timur Tengah 188
12.3. Gaharu hasil inokulasi jamur F. solani umur tiga
tahun setelah suntik . 191
12.4. Minyak gaharu hasil destilasi dari berbagai bahan
baku kelas abuk dari gaharu alam Indonesia . 192
12.5. Contoh parfum merek SAMSARA yang menggunakan
minyak gaharu sebagai salah satu bahan racikan
parfum 193
12.6. Produksi Dupa/Hio di pabrik gaharu PT. P&I Taipei,
Taiwan .. 194
12.7. Contoh produk gaharu dalam bentuk Incense Cones
Makmul yang disukai oleh konsumen di Timur
Tengah .. 195
12.8. Tasbih yang terbuat dari kayu gaharu . 195
12.9. Sabun berbahan dasar minyak gaharu merupakan
contoh produk dari Badan Litbang Kehutanan . 196
12.10. Bubuk gaharu yang diproduksi perusahaan P&I di
Taipei, Taiwan 196

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan xiii
12.11. Obat nyamuk berbahan dasar gaharu 197
12.12. Teh gaharu dari jenis Gyrnops yang diproduksi di
Denpasar (Bali) .. 197
12.13. Akar pohon penghasil gaharu dari Papua yang
dimanfaatkan untuk kepentingan dekoratif/artistik .. 198
12.14. Tata niaga gaharu pemungut gaharu sampai ke
pedagang besar ... 199
12.15. Tata niaga gaharu alam dari berbagai pulau besar di
Indonesia yang semua produk gaharunya mengalir
dan berpusat ke Jakarta dan Surabaya .. 201
12.16. Tata niaga ekspor gaharu alam dari Indonesia ke
Singapura dan Timur Tengah 202
12.17. Bagan alir tata niaga gaharu alam dari daerah asal ke
daerah tujuan lokal dan akhirnya daerah tujuan
ekspor . 203
12.18. Bagan alir kemungkinan terjadi penyelundupan
gaharu alam dari sentra gaharu Papua New Guinea,
Papua, dan Maluku ke beberapa negara tujuan
ekspor . 204
12.19. Data ekspor gaharu Indonesia mulai tahun 1975-
2005 (Data BPS) 205
12.20. Tujuan ekspor gaharu alam rata-rata tahun 1999-
2005 ke berbagai negara di Asia (diolah dari Data
BPS) .. 207
12.21. Gaharu hasil inokulasi dengan jamur adalah produk
gaharu budidaya yang mempunyai prospek bernilai
ekonomi tinggi yang akan menggantikan posisi
produk gaharu alam yang makin sulit dicari di alam .. 208
13.1. Tanaman penghasil gaharu gaharu umur 1 tahun 6
bulan di KHDTK Carita Banten (kiri) dan kegiatan
penanaman pohon penghasil gaharu di Kandangan
Kalsel (kanan) . 219

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


xiv Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Pendahuluan
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,
15Teknologi Badan Litbang Kehutanan
K ETIKA GAHARU MENJADI
1
BOOMING
Adi Susmianto dan Erdy Santoso
Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi

Sejak lebih dari 15 abad yang lalu, gaharu telah dikenal sebagai
produk kehutanan yang bernilai ekonomi tinggi. Gaharu
digunakan sebagai bahan baku wewangian yang produk
turunannya sangat bervariasi. Biasanya gaharu dikaitkan dengan
upacara adat dan keagamaan. Hampir semua acara keagamaan
dan kepercayaan yang dianut oleh umat manusia di bumi ini
biasanya menggunakan gaharu dan produk turunannya sebagai
materi ritual untuk bersembahyang menghadap Sang Pencipta.
Dengan kata lain, produk-produk gaharu dikenal sebagai kayu
tuhan (aloe or ahaloth) seperti yang dijelaskan pada kitab
perjanjian lama (the Old Testament) pada surat Psalm 45:8.
Menurut mitos dari kawasan timur, gaharu berasal dari kebun
surga yang turun bersamaan dengan manusia pertama kali
diturunkan ke bumi. Sejarah Mesir dan Jepang menyatakan
gaharu digunakan sebagai bahan pengawet tubuh manusia yang
telah mati. Budaya Arab di Timur-Tengah mengoles minyak
gaharu di bagian tubuh bayi yang baru lahir agar bayi dapat
tumbuh sehat. Di negara penganut agama Buddha seperti India
dan Kamboja, gaharu digunakan sehari-hari dalam upacara adat
dan keagamaan.

Industri gaharu one stop service merupakan trend yang


berkembang di negara-negara penghasil gaharu. Mereka

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan
3
memproduksi gaharu dari hulu ke hilir. Artinya, produksi gaharu
tidak hanya dijual dalam bentuk bahan mentah gubal atau
minyak gaharu. Negara produsen gaharu ini telah membangun
industri gaharu yang kokoh dan berkelanjutan. Berbagai aneka
produk gaharu telah dihasilkan sesuai keinginan konsumen,
mulai dari berbagai jenis parfum, hio/dupa, sabun, teh gaharu,
obat-obat herbal, makmul, dan sebagainya. Mereka ingin
menguasai kebutuhan gaharu dunia yang berjumlah 4.000
ton/tahun dan semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Penguasaan dimulai dari negara-negara berpenduduk besar,
seperti China dan India. Selanjutnya, negara-negara di Indochina
pun tidak mau ketinggalan untuk mengembangkan produk
gaharu, seperti: Laos, Kamboja, Vietnam dan Thailand. Negara-
negara yang memiliki kultur penggunaan gaharu yang telah
mendarah-daging dan turun-temurun lebih serius menangani
aspek produksi. Negara-negara tersebut mulai melakukan
penanaman pohon penghasil gaharu sebanyak-banyaknya dan
juga mempelopori pembangunan industri gaharu berbasis
penelitian dan pengembangan.

Malaysia juga mempunyai


keseriusan yang hampir
sama dalam pembangunan
industry gaharu. Mereka
memiliki penduduk yang
berasal dari etnis China
yang turut memberi
kontribusi besar terhadap
upaya percepatan
pengembangan gaharu di
negeri jiran tersebut.
Bahkan, saat ini Malaysia
Gambar 1.1. menjadikan gaharu
Hutan monokultur Aquilaria malaccensis di Bahorok, sebagai komoditi nomor
Sumatera Utara. tiga, setelah komoditi
kelapa sawit dan karet.

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


4 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Malaysia juga telah menggelontorkan biaya riset gaharu dengan
nilai setara Rp 50 Milyar/tahun agar proses penemuan-
penemuan baru untuk kebutuhan petani dan pengusaha gaharu
dapat diaplikasikan secara luas di Malaysia.

Sebaliknya, posisi Indonesia saat ini masih pada tahap semangat


menanam pohon penghasil gaharu yang dilakukan di sentra-
sentra gaharu di Indonesia (Gambar 1.1). Namun, semangat
menanam ini banyak disalahgunakan oleh orang-orang tertentu
yang mengambil keuntungan sesaat. Pada saat regulator di
tingkat pusat maupun daerah belum mempunyai aturan yang
pasti tentang tata aturan budidaya gaharu (termasuk juga
didalamnya adalah peredaran inokulan pembentuk gaharu),
maka telah beredar bibit gaharu dan inokulan dengan harga yang
sangat fantastis. Saat ini banyak muncul perusahaan dalam
bentuk persero (PT) maupun CV yang menyediaan bibit-bibit dan
inokulan unggul gaharu. Padahal, mereka belum tentu
mempunyai SDM dan Laboratorium khusus yang
mengembangkan inokulan gaharu. Selain itu, terdapat juga
perusahaan yang mengimpor bibit maupun inokulan dari negara
lain dan menjual dengan harga tinggi. Beberapa jenis pohon
penghasil gaharu yang diimpor dari Thailand dan Malaysia adalah
Aquilaria crassna dan A. subintegra.

Riset gaharu telah lama dilakukan sejak oleh berbagai institusi di


banyak negara di Asia, Eropa dan Amerika. Namun publikasi di
jurnal internasional terbatas sekali, karena temuan mereka
dianggap rahasia dan memiliki nilai komersial tinggi. Beberapa
hasil riset mereka sudah dipatenkan di beberapa negara. Dengan
demikian, kemajuan riset tentang publikasi gaharu di tingkat
nasional maupun internasional menjadi terbatas karena terlalu
banyak komponen-komponen hasil riset yang bersifat rahasia
dan si peneliti tidak ingin hasil risetnya diketahui oleh khalayak
ramai. Pada beberapa pertemuan internasional, seperti seminar
atau simposium gaharu, cenderung yang didiskusikan adalah
hasil riset gaharu yang umum dan beberapa teknologi gaharu

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 5
yang produknya sudah dipantenkan oleh masing-masing institusi
yang mempresentasikannya.

Pihak CITES di Genewa beranggapan bahwa dengan semakin


banyaknya populasi pohon penghasil gaharu budidaya, maka
kebutuhan gaharu dunia akan tercukupi. Mereka beranggapan
bahwa setiap individu pohon penghasil gaharu yang ditanam
sudah pasti menghasilkan gaharu. Padahal tidak semudah itu,
upaya pemenuhan kebutuhan gaharu masih diperlukan satu
perlakuan lagi, yaitu memasukan jamur patogen pembentuk
gaharu. Proses ini sangat penting, sehingga usaha budidaya
gaharu akan membuahkan hasil dan dapat dipasarkan ke negara-
negara konsumen gaharu. Pernyataan umum yang muncul
adalah bahwa kualitas gaharu hasil inokulasi masih kalah baik
dengan kualitas gaharu yang berasal dari alam. Pernyataan itu
ada benarnya karena waktu inkubasi gaharu hasil inokulasi sudah
dapat ditentukan. Petani dapat memanen sesuka hati, misalnya
dalam waktu 1-2 tahun setelah diinokulasi boleh ditebang dan
dapat diolah untuk menghasilkan minyak gaharu. Tetapi bagi
mereka yang ingin mendapatkan gubal gaharu kualitas baik,
sebaiknya harus menunggu waktu lebih dari 3 tahun setelah
diinokulasi. Sementara itu, gaharu yang berasal dari alam tidak
pernah dapat diprediksi berapa umur gaharu yang terbentuk
secara alam dan berapa banyak gaharu yang dipanen dapat
diperoleh. Kita pun tidak tahu mekanisme pembentukan gaharu
yang terjadi secara alami, kapan dimulainya dan bagaimana
prosesnya dapat terbentuk.

Gaharu budidaya masih terbentur pada aturan kebijakan


nasional karena belum ada aturan yang jelas, mulai dari kegiatan
penanaman, pengangkutan, hingga tata niaganya. Pengawasan
perdagangan gaharu masih bertumpu pada produk gaharu alam.
Peraturan yang tidak jelas membuat petani yang ingin
mengembangkan gaharu banyak bertanya-tanya, bagaimana
mau menanam pohon penghasil gaharu, sementara harus ada
ijin tertulis dari Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA). Ada

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


6 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
beberapa usulan yang cerdas, bahwa tidak diperlukan ijin bagi
masyarakat atau petani yang ingin menanam pohon penghasil
gaharu. Hal yang penting adalah mereka cukup melapor saja ke
Dinas Kehutanan terdekat atau perangkat desa terdekat. Setelah
itu, mereka akan membuat daftar pemilik pohon penghasil
gaharu di tingkat desa maupun kecamatan secara berjenjang.
Begitu mereka mau menginokulasi atau memanen pohon
penghasil gaharu, mereka cukup melapor agar dokumen-
dokumen yang berisi riwayat budidaya gaharu di suatu lokasi
dapat dideteksi oleh pihak BKSDA. Selanjutnya, berdasarkan
riwayat budidaya gaharu yang jelas, surat angkut dalam negeri
maupun luar negeri dapat diurus dengan baik dan tanpa
dikenakan kuota gaharu, sebagaimana halnya gaharu alam yang
ekspornya dibatasi oleh kuota.

Budidaya gaharu untuk kalangan petani gaharu di Sumatera dan


Kalimantan sudah tidak masalah. Mereka yang memiliki
perkebunan karet biasanya menemukan pohon penghasil gaharu
yang tumbuh di sela-sela pohon karet. Penulis pernah
menemukan pohon penghasil gaharu yang tumbuh alami
berjumlah 22 batang seluas satu hektar kebun karet. Diduga,
penyebaran biji gaharu dibantu oleh tupai dan tikus tanah yang
memakan biji-biji gaharu dan tersebar luas di kebun-kebun karet
di Sumatera dan Kalimantan. Anakan alam gaharu dapat
dengan mudah ditemukan di bawah indukan pohon penghasil
gaharu. Jumlah anakan tersebut hampir ribuan bahkan puluhan
ribuan dapat dikumpulkan oleh petani gaharu. Mereka
bermodalkan polybag dan membuat persemaian sederhana
dapat membuat bibit gaharu dalam jumlah besar. Bibit
dipelihara seadanya selama 6-8 bulan. Kemudian, bibit
berukuran 40-50 cm ditanam secara tumpangsari dengan
tanaman pokok lainnya. Hal ini dilakukan mengingat bibit
gaharu perlu naungan untuk tahap awal pertumbuhannya.
Apabila bibit gaharu berlebih, bibit gaharu dapat dijual ke petani
lain yang membutuhkan dengan kisaran harga Rp 5.000-10.000
per bibitnya.

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 7
Sekarang terdapat trend baru, para peminat gaharu dari pulau
Jawa mencari sumber bibit dari luar jawa. Mereka membeli bibit
berukuran 5 cm sekitar Rp 500-1.000,- per bibit, setelah itu
dibesarkan di persemaian di Jawa selama 6-8 bulan, dan mereka
jual kembali ke petani setempat di Jawa dengan harga Rp
25.000-30.000,- per bibit. Bisnis pembibitan gaharu semakin
ramai di berbagai tempat, namun kualitas jenis gaharu yang
diperdagangkan belum dapat dikontrol. Mereka hanya
berkeinginan untuk mengembangkan jenis-jenis Aquilaria dan
Gyrinops saja (Gambar 1.2).

Permasalahan yang akan dihadapi dalam mengembangkan


budidaya gaharu adalah timbulnya hama dan penyakit pada
komoditi ini. Industri gaharu memerlukan ketahanan yang kuat
untuk menghadapi serangan hama dan penyakit yang dapat
menimbulkan kerugian ekonomi yang sangat tinggi. Tanpa ada
pencegahan hama dan penyakit pada pohon penghasil gaharu,
maka industri gaharu yang dikembangkan sejak 10 tahun yang
lalu akan hancur akibat serangan hama dan penyakit tersebut.
Salah satu jenis hama pemakan daun yang telah muncul
beberapa tahun yang lalu adalah jenis Heortia vitessoides yang
telah menyerang di beberapa wilayah Indonesia. Pengendalian
hama secara biologis sangat diperlukan, karena industri gaharu
memerlukan pengendalian yang ramah lingkungan.

Pemuliaan pohon penghasil gaharu merupakan riset penting


yang harus segera dilaksanakan. Kualitas gaharu budidaya masa
depan akan ditentukan oleh temuan-temuan riset pemuliaan
pohon. Tentunya riset pemulihaan pohon harus bersinergis
dengan riset pencarian jamur patogen pembentukan gaharu
unggul. Tanpa adanya sinkronisasi antara dua riset pemuliaan
dan pythopathologi, maka akan mustahil pengembangan gaharu
berkualitas unggul dapat dipasarkan di kemudian hari. Memang,
kegiatan riset pemuliaan memerlukan waktu yang cukup lama
karena pohon penghasil gaharu dapat diketahui hasilnya antara
7-10 tahun. Jadi, program riset ini perlu disusun jangka panjang

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


8 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
dan bersifat nasional. Hal ini sangat
penting mengingat keanekaragaman
jenis-jenis pohon penghasil gaharu di
Indonesia sangat bervariasi,
dibandingkan dengan negara produsen
gaharu lainnya, yang hanya memiliki 1-
3 jenis pohon saja.

Filosofi riset gaharu adalah


memadukan kompleksitas
terbentuknya pembentukan gaharu,
yaitu segitiga faktor inang,
mikroorganisme, dan lingkungan.
Memproduksi gaharu adalah
menguasai kendali segitiga faktor
utama pembentukan gaharu dan
ditambah dengan prosedur standar
penyuntikan gaharu yang berbasis
penggunaan jamur patogen. Badan
Litbang Kehutanan telah menerapkan Gambar 1.2.
filosofi tersebut dan beberapa hasil Buah Aquilaria malaccensis yang
inokulasi gaharu telah dihasilkan dari menjadi sumber perbanyakan bibit
umur 1-3 tahun (Gambar 1.3). gaharu

Namun demikian, beberapa kalangan memandang teknologi


gaharu adalah teknik sederhana yang semua orang dapat
membuatnya pada skala rumahan dengan bahan dan alat yang
sederhana. Penipuan pernah terjadi akibat ketidak-mengertian
masyarakat. Pohon kenari yang banyak tumbuh di Flores (NTT)
disuntik masal oleh kelompok orang yang mengaku mengerti
tentang gaharu. Akibatnya, banyak masyarakat lokal yang kena
tipu daya, harta bendanya hilang karena banyaknya iming-iming
yang tidak masuk akal, dan mendapat keuntungan instan yang
membuat orang bisa sakit jiwa. Ketika orang Dayak di pedalaman
Kalimantan mencoba memasukkan oli dan gula ke dalam batang
gaharu berlubang, dia mengaku sebagai ahli pembuat gaharu.

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 9
Gambar 1.3.
Gaharu hasil inokulasi dari Badan
Litbang Kehutanan
Gambar 1.4.
Koleksi gaharu kelas super yang
dimiliki pengusaha gaharu asal
Taiwan

Ketika seseorang berlatar belakang teknik mesin membuat paku


berlubang untuk memasukan jamur patogen, dianggapnya paku
berlubang adalah sebagai kunci pembentuk gaharu. Ketika
seseorang yang tidak memiliki dasar pendidikan tentang
mikrobiologi atau ilmu penyakit pohon serta tidak memiliki
laboratorium, dia dengan yakinnya membuat formulasi bahan
kimia berupa asam sulfat dan menyuntikan ke batang gaharu, dia
pun beranggapan bahwa air aki dapat membentuk gaharu.
Perusahaan bisnis gaharu yang berbasis MLM (Multi Level

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


10 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Marketing) juga turut memperkeruh keadaan. Mereka menjual
bibit gaharu dengan harga paket yang sangat mahal, dan juga
menjanjikan melakukan penyuntikan pohon setelah berumur
lima tahun. Tentunya, jaminan itu mungkin hanya janji-janji
kosong. Perusahaan tersebut belum tentu kembali lagi ke petani
yang sudah mengikat kontrak dan mengeluarkan uang jutaan
rupiah. Semua tentang teknik inokulasi yang beredar di
masyarakat sangat mengganggu kelangsungan produksi gaharu
budidaya.

Dari semua permasalahan tentang teknik suntik-menyuntik


gaharu yang banyak beredar di masyarakat, memang ada
beberapa pemegang kebijakan mengatakan bahwa kita biarkan
saja berdasarkan mekanisme pasar yang berlaku. Tetapi,
beberapa kalangan menyatakan bahwa peredaran gaharu perlu
diatur dengan tertib karena banyak masyarakat awam yang tidak
berpendidikan tidak mengerti teknologi penyuntikan gaharu
yang beraneka-ragam. Masyarakat umum jangan sampai
dirugikan karena mereka telah menunggu lama sekitar 5-7 tahun
untuk menumbuhkan pohon penghasil gaharu. Diharapkan,
pemerintah sebagai regulator yang membuat kebijakan dapat
menertibkan aturan main dalam masalah pergaharuan ini. Orang
yang membuat kriminal dan penipuan yang banyak merugikan
masyarakat seyogyanya dapat dilaporkan ke pihak yang
berwajib.

Salah satu riset gaharu yang menjadi nilai komersial yang tinggi
adalah gaharu sebagai bahan obat-obatan untuk kesehatan
manusia. Riset ini sudah banyak dilakukan oleh negara maju
seperti: Eropa, China, Amerika, Jepang, Korea, dan lain-lain.
Bahan aktif gaharu dipercaya mampu memecahkan masalah
kesehatan yang sekarang ini penyakitnya semakin kompleks.
Apabila nanti ditemukan bahan aktif dari gaharu yang akan
digunakan untuk menyembuhkan penyakit kanker, diabetes, dan
jantung, bukan tidak mungkin harga obat yang berbahan dasar
dari gaharu akan menjadi sangat mahal. Produk herbal gaharu

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 11
akan menjadi trend riset ke depan untuk menghasilkan produk-
produk kesehatan yang sangat bermanfaat bagi masyarakat luas.

Harga gaharu alam kelas double super king memang sangat


mencengangkan karena bernilai hingga milyaran rupiah per kg di
pasaran internasional (Gambar 1.4). Padahal di alam nyata,
apabila orang mendapat gaharu double super king yang
berasal dari hutan, maka harga yang dibeli tengkulak tangan
pertama tidak sampai ratusan juta rupiah. Harga gaharu alam di
tingkat hulu hanya berkisar 5-10 jutaan rupiah saja. Begitu
sampai kota besar seperti Jakarta dan Surabaya, harganya
melonjak sampai Rp 300 jutan per kgnya. Sekarang, orang
mencari gaharu alam kelas termahal sangatlah sulit. Yang
mungkin terjadi adalah sistem reseller, artinya, pedagang di
Singapura akan mencari gaharu alam terbaik dunia bukan ke
hutan alam lagi, tetapi mencari dari kolektor-kolektor yang masih
memegang gaharu tersebut di Timur Tengah. Mereka dapat
membeli gaharu termahal hingga harga USD 100.000 per kg dan
mereka menjual kembali ke pedagang di China dengan harga 2-3
kali lipat dari harga pokok. Memotong rantai panjang
pemasaran tidaklah semudah membalikan telapak tangan.
Masalah pemasaran gaharu sangat kompleks. Kita berhadapan
dengan berbagai kalangan yang sejak dahulu telah membuat
rantai pemasaran yang sangat panjang, dari mulai di pinggiran
hutan hingga gaharu masuk ke outlet-outlet yang tersebar di
seluruh mancanegara di dunia. Harga gaharu yang menjulang
tinggi tentunya masih berkaitan tentang status jenis-jenis pohon
penghasil gaharu yang masuk CITES Appendix II sejak tahun
1994. Para pedagang gaharu alam merasa nyaman dengan
kondisi tersebut karena harga gaharu alam akan tetap stabil.
Tetapi mereka tetap saja khawatir dengan mulai berkurangnya
pasokan gaharu alam yang berkualitas karena pohon gaharu
alam ditebang dengan cara serampangan. Para pedagang gaharu
alam juga berharap-harap cemas karena suatu saat muncul
produk gaharu budidaya yang membahayakan eksitensi gaharu
alam. Mereka berpendapat harga gaharu alam akan jatuh di

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


12 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
pasaran domestik maupun internasional akibat adanya produk
gaharu budidaya.

Ketika gaharu menjadi booming, maka seluruh pemain yang


bermain dalam industri gaharu harus siap menghadapi segala
tantangan dan cobaan yang dihadapi. Komoditi gaharu budidaya
ke depan akan semakin diminati banyak orang. Tentunya, mutu
gaharu yang baik akan dihasilkan dari hasil penelitian dan
pengembangan yang terprogram, terarah dan didukung oleh
semua stakeholder dari hulu ke hilir yang berniat membangun
industi gaharu di Indonesia. Pada masa depan, kita akan
menemukan bibit pohon penghasil gaharu yang bermutu,
inokulan gaharu yang terjamin dan yakin membentuk gaharu,
serangan hama dan penyakit dapat dicegah sejak dini, dan
pemasaran gaharu, baik di dalam maupun luar negeri, sudah
mempunyai standar dan aturan-aturan yang baku. Pada masa
depan pun, gaharu bukan menjadi barang yang misterius,
penjualannya serba gelap, harga ditentukan oleh pedagang, atau
semua orang sangat mudah mendapatkannya. Segilintir orang
menyatakan bahwa apabila produksi gaharu budidaya semakin
berlimpah maka harga komoditi gaharu akan menurun drastis.
Tetapi sebagian orang tetap optimis bahwa harga gaharu tetap
akan bertahan di nilai yang tinggi selama produk gaharu tersebut
memang mempunyai nilai komersial tinggi. Produk gaharu juga
akan tetap terjual karena hampir semua turunan produk akan
habis dibakar konsumen, dan parfum minyak gaharu juga habis
digunakan sehari-hari oleh konsumen.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, buku gaharu ini merupakan


informasi penting tentang rekam jejak gaharu inokulasi yang
telah dikembangkan oleh Badan Litbang Kehutanan sejak tahun
1984. Jatuh-bangun riset ini telah dirasakan oleh tim peneliti
yang terlibat. Keterbatasan peralatan dan biaya merupakan salah
satu hambatan dalam menjalankan riset gaharu ini. Akses untuk
mendapatkan pohon contoh dan kerjasama dengan petani
pemilik pohon memerlukan pendekatan tersendiri, agar mereka

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 13
mau mengorbankan pohon penghasil gaharunya untuk dijadikan
bahan penelitian. Sementara itu, buku rekam jejak masih berupa
bunga rampai yang berisi tentang kumpulan tulisan riset dari
beberapa bidang yang ditekuni dari beberapa instansi riset yang
turut bersama-sama mewujudkan hasil-hasil riset tentang
beberapa aspek gaharu yang cukup membanggakan. Namun
demikian, hasil riset ini masih terus berkembang dan hal ini
menjadi bahan umpan balik bagi peneliti-peneliti gaharu di
Indonesia yang pada tahun 2013 ini kebetulan Badan Litbang
Kehutanan telah berusia 100 tahun. Buku ini dapat dijadikan
dasar untuk memulai lebih serius lagi dan memperoleh hasil riset
yang lebih maju, sehingga dapat berkontribusi bagi
perkembangan gaharu di Indonesia. Materi buku gaharu ini berisi
tentang tulisan hasil penelitian maupun review kondisi aktual
pergaharuan di Indonesia, diantaranya tentang prospek industri
gaharu ke depan, teknologi budidaya dan inokulasinya, sosial dan
ekonomi gaharu, fitokimia, interaksi gaharu dan lingkungannya.
Sekilas, buku ini hanyalah bunga rampai yang hasil-hasil risetnya
masih dalam bentuk serpihan-serpihan. Pada masa mendatang,
buku tentang gaharu ini akan disempurnakan terus dan lebih
fokus pada topik-topik tertentu yang dibahas secara mendalam
untuk menghasilkan konklusi-konklusi yang bermanfaat bagi
industri gaharu Indonesia.

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


14 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Prospek Gaharu
Hasil Bioinduksi
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,
15
Teknologi Badan Litbang Kehutanan
G AHARU BIOINDUKSI:
2
Komoditi Elit Masa Depan
Sektor Kehutanan
Sulistyo A. Siran
Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan

Pendahuluan
Gaharu merupakan salah satu produk elit komoditi hasil hutan
bukan kayu yang saat ini menjadi topik hangat di banyak
kalangan masyarakat Indonesia. Dalam kehidupan sehari-hari
telah dikenal pepatah lama sudah gaharu cendana pula.
Pepatah ini menunjukkan bahwa sebenarnya komoditi gaharu
sudah dipopulerkan oleh nenek moyang kita dan menjadi bukti
sejarah bahwa keharuman gaharu telah dikenal sejak ratusan
tahun yang lalu. Pertanyaan yang muncul, lantas kenapa
komoditi yang telah populer tersebut sepertinya menghilang
begitu lama dan saat ini muncul kembali. Jawaban yang sudah
pasti adalah rumus umum, yaitu karena pengambilan jauh lebih
besar daripada produksinya.

Apabila dilihat dari wujud dan manfaatnya, gaharu memang


sangat unik. Gaharu sebenarnya suatu produk yang berbentuk
gumpalan padat berwarna coklat kehitaman sampai hitam dan
berbau harum yang terdapat pada bagian kayu atau akar
tanaman pohon inang (misalnya Aquilaria sp.) yang telah
mengalami proses perubahan fisika dan kimia akibat terinfeksi
oleh sejenis jamur. Oleh sebab itu, tidak semua pohon penghasil
gaharu mengandung gaharu.

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan
17
Dari sisi manfaat, gaharu sejak zaman dahulu kala sudah
digunakan, baik oleh kalangan elit kerajaan maupun masyarakat
suku pedalaman di Sumatera dan Kalimantan. Dengan demikian,
gaharu mempunyai nilai sosial, budaya dan ekonomi yang cukup
tinggi. Secara tradisional, gaharu dimanfaatkan antara lain dalam
bentuk dupa untuk acara ritual dan keagamaan, pengharum
tubuh dan ruangan, bahan kosmetik dan obat-obatan sederhana.
Saat ini, pemanfaatan gaharu telah berkembang demikian
meluas antara lain untuk parfum, aroma terapi, sabun, body
lotion, bahan obat-obatan yang memiliki khasiat sebagai anti
kanker, anti asmatik, anti mikroba, dan stimulan kerja syaraf dan
pencernaan.

Meningkatnya perdagangan gaharu sejak tiga dasawarsa terakhir


ini telah menimbulkan kelangkaan produksi gubal gaharu dari
hutan alam. Berdasarkan informasi, harga gaharu di pasaran
lokal Samarinda, Tarakan, dan Nunukan, Kalimantan Timur untuk
kualitas Super mencapai Rp 40.000.000,- s/d Rp 50.000.000,- per
kilogram, disusul kualitas Tanggung dengan harga rata-rata per
kilogram Rp 20.000.000,-, kualitas Kacangan dengan harga rata-
rata Rp 15.000.000,-, kualitas Teri dengan harga Rp 10.000.000,-
s/d Rp 14.000.000,-, kualitas Kemedangan dengan harga Rp
1.000.000,- s/d Rp 4.000.000,-, dan kualitas Suloan sekitar Rp
75.000,-.

Masyarakat dan pemerintah daerah di berbagai daerah di pulau


Kalimantan dan Sumatera telah bertahun-tahun menikmati
berkah dari keberadaan gaharu, baik sebagai sumber
pendapatan masyarakat maupun penerimaan daerah. Besarnya
permintaan pasar, harga jual yang tinggi dan pola pemanenan
yang berlebihan, serta perdagangan yang masih mengandalkan
pada hutan alam, maka jenis-jenis tertentu, misalnya Aquilaria
dan Gyrinops, saat ini sudah tergolong langka dan masuk dalam
lampiran Convention on International Trade on Endangered
Species of Flora and Fauna (Appendix II CITES).

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


18 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Sejak tahun 1994, Indonesia berkewajiban melindungi pohon
penghasil gaharu. Namun menurut kenyataan, keberadaan
pohon penghasil gaharu tersebut di Indonesia, tidak terkecuali di
Sumatera dan Kalimantan, semakin langka. Selama ini
masyarakat hanya tinggal memanen gaharu yang dihasilkan oleh
alam. Seringkali masyarakat tidak tahu pasti kapan pohon
penghasil gaharu mulai membentuk gaharu dan bagaimana
prosesnya. Kelangkaan terjadi karena pohon penghasil gaharu
ditebang tanpa memperhatikan ada atau tidak adanya gaharu
pada pohon tersebut. Menurut hasil kajian, dari 20 pohon
penghasil gaharu yang ditebang di hutan alam hanya ada satu
atau sering sama sekali tidak ada yang mengandung gaharu.
Kalaupun ada pohon yang mengandung gaharu, maka jumlah
gaharu yang ada di pohon tersebut hanya beberapa gram saja.
Oleh karena itu, dapat dibayangkan seandainya pencari gaharu
mendapatkan gaharu kira-kira 5 kilogram, mungkin puluhan atau
bahkan ratusan pohon penghasil gaharu yang harus ditebang.
Praktek semacam inilah yang mengakibatkan jumlah pohon
pengahasil gaharu di alam semakin menurun dari tahun ke
tahun. Indikasi penurunan populasi pohon penghasil gaharu
ditunjukkan oleh kecenderungan produksi gaharu dari
Kalimantan dan Sumatera dari tahun ke tahun. Realisasi produksi
gaharu pada dekade 80-an pernah mencapai ribuan ton dengan
kualitas yang tinggi, sedangkan saat ini produksi tersebut
merosot drastis hanya kira-kira puluhan ton saja dengan kualitas
yang bervariasi.

Cara untuk menghindari agar jenis-jenis pohon penghasil gaharu


di hutan alam tidak punah dan pemanfaatannya dapat lestari
maka perlu diupayakan untuk konservasi, baik in-situ (dalam
habitat) maupun ek-situ (di luar habitat) dan budidaya pohon
penghasil gaharu. Namun, upaya tersebut tidak mudah
dilaksanakan, dan kalaupun ada usaha konservasi dan budidaya,
skalanya terbatas dan hanya dilakukan oleh lembaga penelitian,
perguruan tinggi, dan LSM konservasi. Sementara itu,
masyarakat secara luas enggan untuk melakukan budidaya

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 19
pohon penghasil gaharu karena dianggap tidak memberikan
keuntungan apa-apa.

Prospek untuk mengembalikan gaharu menjadi komoditi andalan


kembali terbuka dengan ditemukannya teknologi rekayasa
produksi gaharu. Melalui teknologi inokulasi, produksi gaharu
dapat direncanakan dan dipercepat dengan melakukan induksi
jamur pembentuk gaharu pada pohon penghasil gaharu.
Peningkatan produksi gaharu mulai dari kegiatan di bagian hulu
hingga ke hilir tersebut selanjutnya akan berdampak pada
peningkatan penerimaan bagi masyarakat petani, pengusaha
gaharu, pendapatan asli daerah dan devisa negara.

Tulisan ini dipaparkan dengan maksud untuk memberikan


gambaran secara umum mengenai pemanfaatan gaharu,
pemahaman mengenai pentingnya nilai gaharu, perlunya
budidaya, konservasi, dan rekayasa pembentukan gaharu yang
dapat mengembalikan status komoditi dari kelangkaan menjadi
produk andalan.

Gambaran Umum Tumbuhan Penghasil Gaharu


Hutan hujan tropis di Indonesia semenjak tiga puluh tahun yang
lalu dikenal sebagai salah satu penghasil utama kayu bulat (log)
untuk bahan baku industri perkayuan. Selain itu, hutan hujan
tropis Kalimantan juga sangat kaya dengan hasil hutan bukan
kayu (HHBK), di mana salah satunya adalah gaharu yang bernilai
ekonomis tinggi.

Gaharu adalah gumpalan berbentuk padat, berwarna coklat


kehitaman sampai hitam dan berbau harum, yang terdapat pada
bagian kayu atau akar dari jenis tumbuhan penghasil gaharu
yang telah mengalami proses perubahan kimia dan fisika akibat
terinfeksi oleh sejenis jamur. Oleh sebab itu, tidak semua
tanaman penghasil gaharu menghasilkan gaharu.

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


20 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Di lndonesia hingga saat ini diperkirakan terdapat lebih kurang
25 jenis tumbuhan penghasil gaharu yang dikelompokkan ke
dalam delapan marga dan tiga suku. Berdasarkan sebaran
tempat tumbuh, tumbuhan penghasil gaharu umumnya tumbuh
di Pulau Kalimantan (12 jenis) dan Pulau Sumatera (10 jenis),
kemudian dalam jumlah terbatas tumbuh di Kepulauan Nusa
Tenggara (3 jenis), Pulau Papua (2 jenis), Pulau Sulawesi (2 jenis),
Pulau Jawa (2 jenis), dan Kepulauan Maluku (1 jenis). Dari
pengamatan sebaran Aquilaria spp. yang dilaksanakan pada
tahun 2000 ditemukan bahwa Aquilaria spp. tumbuh tersebar
secara luas di Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan
Tengah, dan Kalimantan Selatan.

Tingginya permintaan pasar dunia akan gaharu dan harga jual


gaharu yang cukup tinggi telah menarik minat masyarakat, baik
lokal maupun pendatang untuk melakukan eksploitasi gaharu
secara besar-besaran. Akibatnya, populasi Aquilaria spp. di hutan
alam semakin menurun dan bahkan pada suatu saat menjadi
punah. Untuk mencegah dari kepunahan maka pada pertemuan
CITES (The Convention on International Trade in Endangered
Species of Wild Flora and Fauna) ke-IX di Florida, Amerika Serikat
pada tahun 1994, Aquilaria malaccensis, salah satu tumbuhan
penghasil gaharu terpenting yang banyak tumbuh di Kalimantan,
telah dimasukkan ke dalam Appendix II sebagai tumbuhan yang
terancam punah, sehingga dalam penebangan dan
perdagangannya perlu dibatasi. Bahkan sejak tahun 2004,
seluruh jenis Aquilaria telah dimasukkan dalam Appendix II
CITES.

Indikasi dari menurunnya populasi Aquilaria spp. antara lain dari


pergerakan pencari gaharu yang telah mengarah pada bagian
utara Kalimantan Timur, di pedalaman hutan Kalimantan Barat
dan Kalimanatan Tengah, serta menurunnya realisasi produksi
gaharu dari tahun ke tahun. Walaupun realisasi produksi gaharu
tidak menggambarkan besarnya potensi, indikator semakin
sulitnya mendapatkan gaharu dari waktu ke waktu menunjukkan

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 21
populasi Aquilaria spp. terus mengalami penurunan. Menyadari
semakin langkanya tumbuhan penghasil gaharu, beberapa
instansi pemerintah dan masyarakat telah melakukan inisiatif
untuk mengadakan pelestarian tumbuhan penghasil gaharu dan
sekaligus membudidayakan, baik untuk kepentingan konservasi
maupun ekonomi.

Kandungan dan Manfaat Gaharu


Terdapat beberapa zat penting yang terkandung dalam gubal
gaharu yaitu: -agarofuran, nor-ketoagarofuran, (-)-10-epi-y-
eudesmol, agarospirol, jinkohol, jinkohon-eremol, kusunol,
dihydrokaranone, jinkohol II, serta oxo-agarospirol. Susilo (2003)
mengatakan bahwa terdapat 17 macam senyawa yang terdapat
pada gaharu, antara lain: nor-oxoagarofuran, agarospirol, 3,4
dihydroxy-dihydro-agarofuran, p-methoxy-benzylaceton, dan
aquillochin. Selanjutnya, Oiler (tanpa tahun) dalam Suhartono
dan Mardiastuti (2003) menyebutkan terdapat 31 unsur kimia
yang terkandung di dalam gaharu, sedangkan bahan kimia
penyusun utamanya adalah 2-(2-(4-methoxyphenyl)ethil)
chromone (27 %) dan 2-(2-phenylethyl)chromone (15 %).

Gaharu, dengan aromanya yang khas dan harum, telah


dipergunakan sebagai bahan baku industri parfum, kosmetika,
dan pengawet berbagai jenis aksesori. Gubal gaharu juga
diperdagangkan sebagai komoditi elit untuk keperluan
keagamaan seperti tasbih, membakar jenazah (bagi umat Hindu),
hio, dan setanggi (dupa). Masyarakat di Timur Tengah banyak
menggunakan gaharu sebagai bahan wewangian.

Perkembangan ilmu dan teknologi industri telah digunakan


berbagai negara untuk memanfaatkan gaharu tidak hanya
sebagai bahan pengharum (parfum) dan kosmetik, tetapi juga
sebagai bahan obat-obatan. Saat ini, telah berkembang industri
pemanfaatan gaharu sebagai bahan baku industri obat herbal
alami untuk pengobatan stres, asma, reumatik, radang lambung
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,
22 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
dan ginjal, malaria, bahan antibiotik, TBC, liver, kanker, dan
tumor yang masih dalam proses uji klinis. Penggunaan gaharu
sebagai bahan obat-obatan banyak dilakukan di China.
Pemanfaatan gaharu untuk berbagai keperluan juga telah
dilakukan oleh masyarakat di Kabupaten Berau, Kalimantan.
Limbah bekas gaharu yang telah disuling digunakan untuk dupa
dan bahan untuk upacara agama, sedangkan air suling gaharu
dimanfaatkan untuk kesehatan, kecantikan, kebugaran serta
bahan minuman (kopi).

Pemungutan dan Pengolahan Gaharu


A. Cara Pendugaan Kandungan Gaharu

Karena tidak semua tumbuhan penghasil gaharu berisi gaharu,


maka pengetahuan cara pendugaan kandungan gaharu pada
tumbuhan penghasil gaharu yang terinfeksi jamur pembentuk
gaharu perlu diketahui, terutama oleh para pemungut pemula.
Dengan demikian, kesalahan tebang pada pohon yang tidak
berisi gaharu tidak terjadi. Adapun ciri dari tumbuhan penghasil
gaharu yang berisi gaharu antara lain adalah: daun berwarna
kuning dan rontok, tajuk pohon kecil dan tipis, cabang pohon
banyak yang patah, banyak terdapat benjolan dan lekukan
sepanjang batang atau cabang pohon, kulit kayu kering dan
rapuh serta bila ditarik mudah putus. Setelah ditemukan ciri-ciri
tersebut, maka dilakukan uji pelukaan pada batang pohon
dengan menggunakan kapak atau parang. Bilamana terdapat
alur coklat kehitaman pada batang, hal ini dapat menunjukkan
adanya kandungan gaharu. Untuk lebih meyakinkan, biasanya
serpihan kayu tadi selanjutnya dibakar untuk mengetahui apakah
mengeluarkan bau/aroma wangi khas gaharu.

B. Sistem Pemungutan Gaharu

Pohon dari tumbuhan penghasil gaharu yang telah diyakini


mengandung gaharu ditebang, kemudian dipotong-potong dan

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 23
dibelah untuk diambil gaharunya. Cara pemungutan gaharu
semacam ini di Sumatera dan Kalimantan disebut servis, puncut
atau pahat. Cara lain yang berlaku pada masyarakat Dayak
Kenyah dan Punan di Kalimantan Timur adalah dengan mengiris
dan memotong bagian kayu dari tumbuhan penghasil gaharu
yang terkena infeksi penyakit hingga ke bagian tengah batang.
Cara ini disebut tubuk. Potongan kayu berisi gaharu kemudian
dikumpulkan dan secara perlahan bagian kayu dipisahkan dari
gaharu dengan menggunakan pisau kecil atau pahat cekung.

C. Pengolahan Gaharu

Sampai saat ini, produk gaharu yang berasal dari alam umumnya
dipasarkan dalam bentuk bongkahan. Namun, pemasaran ada
pula dalam bentuk minyak hasil sulingan. Cara penyulingan
minyak gaharu dapat dilakukan dengan dua sistem, yaitu sistem
kukus dan tekanan uap. Harga minyak gaharu di pasaran Jakarta
sekitar Rp 750.000,-/tolak (1 tolak = 12 cc).

Klasifikasi Mutu Gaharu


Klasifikasi mutu gaharu di Kalimantan Timur, khususnya di Kota
Samarinda dan daerah sekitarnya, hingga saat ini masih belum
seragam (Tabel 2.1) dan penentuannya dilakukan secara visual.
Keragaman klasifikasi dan ketidakjelasan dalam penentuan mutu
tersebut menyebabkan harga jual yang berbeda, padahal dengan
kelas mutu yang sama. Oleh sebab itu, penetapan standar
nasional untuk mutu gaharu dianggap sangat penting. Standar
mutu tersebut diharapkan dapat segera menjadi bahan acuan
para pengusaha gaharu, pedagang pengumpul, dan pemungut
gaharu dalam menentukan kelas mutu gaharu. Selanjutnya,
pada Tabel 2.2 disajikan kriteria dan klasifikasi mutu gaharu.

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


24 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Tabel 2.1. Klasifikasi mutu gaharu di Kota Samarinda dan daerah
sekitarnya

Klasifikasi mutu
No. Lokasi
Super Tanggung Kacangan Teri Kemedangan Cincangan
1. Samarinda Super king Kacangan A Teri A Kemedangan A
Super A Kacangan B Teri B Kemedangan B
Super AB Kacangan C Teri C Kemedangan
Teri kulit A community
Teri kulit B
2. Muara Kacangan isi Teri isi Sudokan
Kaman Kacangan Teri kulit Serbuk
kosong
3. Kota Super A Kacangan A Teri A Serbuk
Bangun Super B Kacangan B Teri B
4. Muara Super A Tanggung isi Kacangan isi Teri super
Wahau Super B Tanggung Kacangan Teri laying
kosong kosong
Sumber: Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Kalimantan, 2007

Tabel 2.2. Kriteria dan klasifikasi mutu gaharu

No. Klasifikasi Kriteria


1. Super Gaharu berwarna hitam pekat, padat, keras, mengkilap dan sangat berbau,
tidak ada campuran dengan serat kayu, berupa bongkahan atau butiran
berukuran besar, bagian dalam tidak berlubang.
2. Tanggung Gaharu berwarna hitam dan coklat, padat, keras, bagian dalam kadang
berlubang, kadang bercampur serat kayu dan berukuran tangung.
3. Kacangan Gaharu berwarna hitam terkadang bercampur coklat, bercampur kayu,
berupa butiran-butiran sebesar biji kacang atau berdiameter sekitar 2 mm.
4. Teri Gaharu berwarna hitam terkadang bercampur coklat, bercampur kayu,
berupa butiran-butiran lebih kecil dari biji kacang dan lebih tipis atau
berdiameter sekitar 1 mm.
5. Kemedangan Kayu yang mengandung getah gaharu.
6. Cincangan Potongan kecil kayu dari pemisahan gaharu.
Sumber : Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Kalimantan, 2006

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 25
Secara umum klasifikasi mutu gaharu dapat dikelompokkan
menjadi enam kelas mutu yaitu super, tanggung, kacangan, teri,
kemedangan, dan cincangan. Setiap kelas mutu tersebut
dibedakan lagi menjadi beberapa sub kelas mutu.

Tabel 2.3. Harga jual gaharu di


pasaran Samarinda,
Kalimantan Timur

Harga
No. Kelas mutu
(Rp/Kg)
1. Super King 30.000.000,-
Super 20.000.000,-
Super AB 15.000.000,-
a b 2. Tanggung 10.500.000,-
3. Kacangan A 7.500.000,-
Kacangan B 5.000.000,-
Kacangan C 2.500.000,-
4. Teri A 1.000.000,-
Teri B 750.000,-
Teri C 500.000,-
Teri Kulit A 300.000,-
Teri Kulit B 250.000,-
5. Kemedangan A 100.000,-
Kemedangan B 75.000,-
Kemedangan C 50.000,-
c d
6. Suloan 25.000,-
Gambar 2.1. Sampel gaharu Sumber: Balai Penelitian dan
Pengembangan Kehutanan Kalimantan,
(a) kelas tanggung; (b) kacangan; 2006
(c) teri; dan (d) kemedangan

Berdasarkan informasi pasar di Samarinda (Tabel 2.3) harga


gaharu dengan kualitas super dapat mencapai Rp 30.000.000,-
per kg, disusul kualitas tanggung dengan harga rata-rata Rp

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


26 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
10.000.000,- per kg. Kualitas gaharu yang paling rendah
berharga sekitar Rp 25.000,- per kg, dan pada umumnya
digunakan sebagai bahan baku penyulingan untuk menghasilkan
minyak gaharu. Secara visual beberapa sampel gaharu dapat
dilihat pada Gambar 2.1.

Berdasarkan Keputusan Kepala Badan Standarisasi Nasional


(BSN) No. 1386/BSN-I/HK.71/09/99 telah ditetapkan Standar
Nasional mutu gaharu dengan judul dan nomor: Gaharu SNI 01-
5009.1-1999. Dalam standar ini diuraikan mengenai definisi
gaharu, lambang dan singkatan, istilah, spesifikasi, klasifikasi,
cara pemungutan, syarat mutu, pengambilan contoh, cara uji,
syarat lulus uji dan syarat penandaan. Klasifikasi mutu gaharu
terdiri dari gubal gaharu, kemedangan, dan abu gaharu. Setiap
kelas mutu selanjutnya dibedakan lagi menjadi beberapa sub
kelas berdasarkan ukuran, warna, kandungan damar wangi,
serat, bobot, dan aroma ketika dibakar.

Menurut SNI 01-5009.1-1999, yang dimaksud dengan gubal


gaharu adalah kayu yang berasal dari pohon atau bagian pohon
penghasil gaharu, dengan aroma yang kuat, ditandai oleh
warnanya yang hitam atau kehitaman berseling coklat.
Kemudian, yang dimaksud dengan kemedangan adalah kayu
yang berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil gaharu,
memiliki kandungan damar wangi dengan aroma yang lemah,
ditandai oleh warnanya yang putih keabu-abuan sampai
kecoklat-coklatan, berserat kasar dan kayunya yang lunak. Abu
gaharu adalah serbuk kayu sisa pemisahan gaharu dari kayu.
Klasifikasi mutu gaharu menurut Standar Nasional Indonesia
dapat dilihat pada Tabel 2.4.

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 27
Tabel 2.4. Klasifikasi mutu gaharu menurut Standar Nasional Indonesia

Kesetaraan Kandungan
Klasifikasi Bau/aroma
No dengan standar Warna damar
mutu (dibakar)
mutu di pasaran wangi
A. Gubal
1. Mutu Utama Super Hitam merata Tinggi Kuat
2. Mutu I Super AB Hitam kecoklatan Cukup Kuat
3. Mutu II Sabah Super Hitam kecoklatan Sedang Agak kuat
B. Kemedangan
1. Mutu I Tanggung A Coklat kehitaman Tinggi Agak kuat
2. Mutu II Sabah I Coklat bergaris hitam Cukup Agak kuat
3. Mutu III Tanggung AB Coklat bergaris putih tipis Sedang Agak kuat
4. Mutu IV Tanggung C Kecoklatan bergaris putih tipis Sedang Agak kuat
5. Mutu V Kemedangan I Kecoklatan bergaris putih lebar Sedang Agak kuat
6. Mutu VI Kemedangan II Putih keabu-abuan garis hitam Kurang Kurang kuat
tipis
7. Mutu VII Kemedangan III Putih keabu-abuan Kurang Kurang kuat
C. Abu gaharu
1. Mutu Utama Cincangan Hitam Tinggi Kuat
2. Mutu I Sedang Sedang
3. Mutu II Kurang Kurang

Tata Niaga Gaharu


Proses pemasaran gaharu di Kalimantan dimulai dari pemungut
gaharu yang menjual gaharu yang ditemukannya kepada
pedagang pengumpul di desa atau di kecamatan dan selanjutnya
oleh pedagang pengumpul dijual ke pedagang besar (eksportir)
di Kota Samarinda. Salah satu contoh alur tata niaga gaharu di
Kalimantan Timur dapat diuraikan seperti pada Gambar 2.2.

Pemungut gaharu terdiri dari pemungut bebas dan pemungut


terikat. Pemungut bebas adalah pemungut gaharu dengan modal
kerja sendiri, sehingga bebas di dalam menentukan waktu
pencarian gaharu dan menjual hasil perolehannya, baik kepada
pedagang pengumpul di desa, pedagang pengumpul di
kecamatan maupun langsung kepada pedagang besar (eksportir)

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


28 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
di Kota Samarinda. Pemungut terikat adalah pemungut gaharu
yang dimodali, sehingga waktu pencarian dan penjualan hasil
perolehannya terikat pada pemberi modal yaitu pedagang
pengumpul yang merupakan perpanjangan dari pedagang besar.

Pedagang pengumpul terdiri dari pedagang perantara di desa


yang langsung melakukan pembelian gaharu yang diperoleh
para pemungut. Hasil pembelian dari pedagang perantara ini
kemudian dikumpulkan oleh pedagang pengumpul di
kecamatan untuk selanjutnya dijual kepada pedagang besar
karena adanya ikatan kontrak.

Pedagang besar selain memiliki modal besar juga izin usaha yang
dikeluarkan oleh instansi pemerintah. Pembelian gaharu
dilakukan sepanjang tahun melalui pedagang pengumpul atau
pemungut bebas. Pembelian meningkat bilamana permintaan
pasar terhadap gaharu tinggi, bahkan untuk mendapatkan
jumlah yang diinginkan, mereka menanamkan modal yang
disalurkan melalui pedagang pengumpul ataupun secara
langsung kepada pemungut untuk modal kerja mencari gaharu.

Pedagang Pedagang
Pemungut Pengumpul Besar
Bebas
Pemungut

Pemungut Pedagang
Terikat Perantara

Gambar 2.2. Alur tata niaga gaharu di Kalimantan Timur

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 29
Rekayasa Pembentukan Gaharu
Teknik budidaya perlu dikuasai dengan baik untuk dapat
membudidayakan pohon penghasil gaharu. Teknik budidaya
yang dimaksud, meliputi: kegiatan perbanyakan bibit,
penanaman, pemeliharaan, pemberantasan hama dan penyakit,
hingga tumbuhan tersebut memiliki volume yang cukup
memadai. Rekayasa produksi gaharu diarahkan untuk pohon-
pohon penghasil gaharu hasil budidaya, sedangkan pohon-
pohon penghasil gaharu yang tumbuh secara alami perlu
dikonservasi dan dipelihara dengan baik untuk dijadikan pohon
induk penghasil anakan.

Secara garis besar, proses pembentukan gaharu terdiri dari dua


cara, yaitu secara alami dan buatan. Kedua cara tersebut
berkaitan dengan proses patologis yang dirangsang oleh adanya
luka pada batang, seperti patah cabang atau ranting. Luka
tersebut menyebabkan pohon terinfeksi oleh penyakit (bakteri,
virus, jamur) yang diduga mengubah pentosan atau selulosa
menjadi resin atau damar. Semakin lama kinerja penyakit
berlangsung, kadar gaharu menjadi semakin tinggi.

Proses pembentukan gaharu di hutan alam sulit dipantau dan


diamati. Oleh karena itu, rekayasa dengan cara inokulasi
(penyuntikan) jamur atau cendawan pada pohon penghasil
gaharu perlu dilakukan agar dapat mengamati secara langsung
proses pembentukan gaharu. Rekayasa pembentukan gaharu
dengan inokulasi telah dilakukan oleh banyak pihak melalui
teknik induksi yang bermacam-macam dan jenis jamur yang
bervariasi. Tahapan rekayasa produksi gaharu tersebut juga
meliputi banyak kegiatan, yaitu dimulai dengan isolasi jamur
pembentuk gaharu, identifikasi dan skrining serta teknik
perbanyakan inokulum dan teknik inokulasi (penyuntikan) pada
batang pohon penghasil gaharu.

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


30 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti pada
Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi di beberapa tempat
seperti di Bengkulu, Bangka, Lampung, Jawa Barat, dan
Kalimantan Barat, pemanenan gaharu dapat dilakukan setelah
minimal satu tahun setelah proses inokulasi dilakukan. Untuk
mendapatkan produksi gaharu dengan kualitas dan kuantitas
yang lebih baik, maka pemanenan dapat dilakukan 2 atau 3
tahun setelah inokulasi.

Untuk sementara, produk gaharu hasil dari rekayasa setelah


satu tahun inokulasi berada pada klas Teri dengan harga US $
100 per kg atau 1.500-2.000 Saudi Real/kg. Sementara itu,
jumlah kandungan zat aktif yang ada pada gaharu hasil rekayasa
hampir menyamai gaharu hasil alam.

Penutup
Teknologi inokulasi pembentukan gaharu yang ditemukan telah
membuka peluang yang besar untuk kegiatan pengusahaan
gaharu. Peluang pengusahaan gaharu tersebut dimulai dari sub
sistem hulu (penyiapan lahan, penyiapan bibit, penanaman,
penyediaan pupuk, pemberantasan hama dan penyakit), sub
sistem tengah (penyuntikan, penyediaan inokulan, peralatan
inokulasi, dan pengamanan), sub sistem hilir (pemanenan,
pengangkutan, pengolahan, pemasaran), dan sub sistem
pendukung (kebijakan pemerintah, riset dan pengembangan,
pendidikan dan pelatihan, tranportasi, infrastruktur, skema
kredit dan asuransi).

Pengusahaan gaharu tersebut di atas memerlukan investasi yang


cukup besar, peluang penyerapan tenaga kerja yang besar dan
penerimaan asli daerah yang cukup signifikan. Agar dapat
mewujudkan kondisi dan harapan tersebut, seluruh sektor harus
memainkan peran sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya
masing-masing. Hanya dengan koordinasi dan integrasi yang baik

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 31
di antara seluruh komponen masyarakat dan pemerintah, maka
produk gaharu akan menjadi produk andalan.

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


32 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
T EKNOLOGI BIOINDUKSI JAMUR
3
PEMBENTUK GAHARU
Erdy Santoso
Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi

Pendahuluan
Gaharu merupakan salah satu komoditi Hasil Hutan Bukan Kayu
(HHBK) unggulan yang dikembangkan oleh Kementerian
Kehutanan (Siran dan Turjaman, 2010). Gaharu dikenal sebagai
gumpalan resin yang berwarna hitam kecoklatan yang yang
dihasilkan dari aktivitas infeksi fungi patogen dalam jaringan sel
hidup kayu pada pohon penghasil gaharu. Gumpalan resin yang
dimaksud dapat menimbulkan aroma wangi dan harum apabila
dibakar.

Produk-produk incense, kosmetik, parfum, obat-obatan, dan


accesoris untuk keperluan religius sangat banyak sekali
dihasilkan oleh gaharu (Shaw, 2004). Minyak gaharu dikenal
sebagai bahan pengikat dalam campuran parfum-parfum kelas
satu yang diproduksi oleh industri parfum di Eropa dan Amerika.
Negara-negara Timur Tengah, Asia Selatan dan Asia Timur adalah
konsumen tradisional pengguna gaharu untuk aktivitas
keagamaan/kepercayaan seperti Buddha, Hindu, Islam, Shinto,
dan Konghuchu. Pada acara seremonial bisnis atau keluarga di
Timur Tengah, pembakaran gubal dari kelas double super atau
super menunjukkan status kelas atas dari orang-orang kaya dan
berselera tinggi. Bahkan, sejak Timur Tengah mulai booming
minyak bumi dengan harga tinggi, permintaan produk gaharu
semakin meningkat. Demikian pula dengan Republik Rakyat

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan
33
China, salah satu negara yang memiliki cadangan devisa terbesar
di dunia berkeinginan untuk impor gaharu dari dari Indonesia.
Kebutuhan impor tersebut terdiri dari berbagai kelas sebanyak
500 ton per tahun, padahal kuota gaharu Indonesia dibatasi
sampai 600 ton per tahun. Sayangnya, hasil survey stok gaharu
alam yang ada pada eksportir gaharu di Jakarta menunjukan
bahwa kualitas gaharu yang ditemukan berupa kelas rendah dan
menengah saja; yaitu kelas tanggung, kacangan, kemedangan,
dan abuk. Untuk mencari kelas super atau double super sangat
sulit. Kecenderungan yang terjadi adalah pedagang besat gaharu
dari Indonesia dan Singapore mencari gaharu double super di
Timur Tengah. Mereka membeli kepada kolektor gaharu super di
Timur Tengah dan dijual kembali kepada pembeli dari RRC.

Pohon penghasil gaharu termasuk keluarga Thymelaeaceae.


Beberapa genera yang dapat menghasilkan gaharu, diantaranya
adalah : Aquilaria, Gyrinops, Wikstroemia, Enkleia, Gonystylus,
Phaleria, Aetoxylon, Excoecaria, dan lain-lain. Keberadaan jenis-
jenis pohon penghasil gaharu saat ini dalam posisi terancam
punah dan telah masuk daftar Appendix II CITES, terutama dari
genera Aquilaria dan Gyrinops. Gonystylus juga masuk Appendix
II CITES, tetapi bukan karena produk gaharunya, melainkan
kelangkaan kayunya yang dikenal sebagai kayu mewah (Sitepu et
al., 2011a).

Pulau Sumatera dan Kalimantan adalah gudang gaharu dari jenis-


jenis Aquilaria. Jenis Aquilaria yang telah dikenal di pasaran
internasional dengan nama pasaran Malaccensis. Nama trading
Malaccensis ini terdiri dari Aquilaria malaccensis itu sendiri, A.
microcarpa, A. beccariana, A. hirta, dan A. cumingiana. Kualitas
gaharu inokulasi berdasarkan hasil riset tiga tahun terakhir
menunjukkan prospek dan hasil yang cukup signifikan (Santoso
et al., 2011a; Santoso et al., 2011b). Uji coba panen di Sanggau
(Kalimantan Barat) pada pohon penghasil gaharu Aquilaria
malaccensis hasil budidaya berdiameter 15 cm diperoleh 4,5 kg
berat kering dengan nilai USD 200 per kg. Satu batang pohon

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


34 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
penghasil gaharu jenis Aquilaria malaccensis yang tumbuh di
alam di Kandangan (Kalimantan Selatan) dan telah 18 bulan
diinokulasi dengan diameter 40 cm dapat menghasilkan 13 kg
berat kering gaharu yang bernilai USD 500 per kg (Turjaman dan
Santoso, 2012). Dalam waktu lima tahun mendatang
diperkirakan akan banyak muncul produk-produk gaharu hasil
budidaya dengan kuantitas dan kualitas yang berbeda-beda. Hal
ini disebabkan para praktisi gaharu memanfaatkan bahan
inokulan yang berbeda. Selain itu, kemungkinan berdirinya
industri gaharu berbasis gaharu budidaya dapat menjadi
fenomena yang positif agar produk gaharu budidaya dapat
diolah dan dipasarkan sesuai dengan harga pasaran internasional
yang berlaku.

Tujuan penulisan ini adalah memberikan informasi dan pedoman


bagi praktisi gaharu dalam menerapkan teknologi bioinduksi
gaharu yang berbasis pada inokulan jamur patogen untuk
mengembangkan industri gaharu di Indonesia. Harapannya,
pihak praktisi gaharu dapat menggunakan metode yang tepat
dalam memproduksi gaharu dan tidak salah memilih inokulan
jamur yang sekarang ini banyak beredar luas di website maupun
penawaran langsung dalam bentuk brosur-brosur.

Proses Pembentukan Gaharu


A. Pembentuk Gaharu Alam

Pembentukan gaharu alam merupakan proses panjang yang


misterius (Siran dan Turjaman, 2010; Santoso et al., 2011b).
Proses awal pembentukan gaharu dimungkinkan dimulai dari
faktor perlukaan yang dapat disebabkan oleh ranting atau
cabang pohon penghasil gaharu patah akibat gesekan antar
pohon. Tajuk pohon penghasil gaharu yang terkena sengatan
petir dapat juga terjadi pelukaan. Orang yang membawa golok ke
hutan, tanpa atau dengan sengaja membuat perlukaan pada

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 35
batang pohon penghasil gaharu. Satwa liar di hutan seperti
kelompok primata, beruang, tikus, bajing, burung pelatuk dapat
membuat perlukaan pada batang pohon penghasil gaharu.
Serangga penggerek yang menempel di batang dapat membuat
lubang pada batang penghasil gaharu. Semua penyebab dari
macam-macam faktor yang membuka perlukaan di batang
pohon penghasil gaharu merupakan pintu/jalan masuk bagi
jamur patogen pembentuk gaharu. Spora, hifa atau propagul
lain dapat terbawa air atau angin dan masuk ke dalam batang.
Kondisi perlukaan yang cocok dan tersedia cairan makanan dari
batang pohon menyebabkan jamur patogen pembentuk gaharu
menjadi berkembang cepat. Serangan jamur patogen ini
merupakan awal dari pembentukan gaharu. Serangan jamur
yang mengeluarkan racun/toxin dalam batang dapat
mengakibatkan pohon merespon dan memproduksi zat-zat
metabolik sekunder dalam bentuk resin sebagai reaksi bertahan,
walaupun mengganggu proses fisiologis pohon penghasil gaharu.
Proses ini terjadi terus menerus dan membutuhkan waktu.
Apabila perlukaan hanya terjadi pada beberapa lubang saja,
maka proses pembentukan gaharu di alam menjadi sangat lama
dan memerlukan waktu yang panjang (Gambar 3.1).

Gambar 3.1.
Akumulasi resin gaharu pada jaringan kayu gaharu alam berkualitas tinggi (kiri) dan
gaharu budidaya hasil perlakuan jamur di India (kanan) (Ajmal, 2011) .

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


36 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
B. Proses Pembentukan Gaharu

Proses pembentukan gaharu masih sangat misteri. Tidak ada


publikasi satu pun secara komprehensif melaporkan riset
tentang proses fisiologis pembentukan gaharu. Proses resinisasi
gaharu tentu berbeda pada pohon penghasil getah lainnya
seperti pada Pinus merkusii, Dyera costulata, Styrax benzoin,
Shorea javanica, Santalum album, Agathis dammara, Hevea
brasiliensis, dan lain-lain. Produksi getah pada pohon-pohon
tersebut secara alami terjadi pada saluran jaringan kayu yang
diteres/dikoak. Sebaliknya, pohon penghasil gaharu
memproduksi resin yang menyatu dengan jaringan kayu dan
tidak akan mengeluarkan resin jika diteres. Resin yang diproduksi
oleh gaharu tidak menimbulkan aroma wangi jika tidak dibakar.

Proses pembentukan
gaharu dapat didekati
dengan beberapa
hipotesis. Ada dugaan,
perlukaan dan
kehadiran jamur
patogen yang masuk
ke dalam jaringan sel-
sel hidup kayu pohon
penghasil gaharu
merupakan kunci
pembentukan gaharu.
Serangga penggerek
yang membuat lubang
Gambar 3.2. Hifa jamur patogen yang masuk pada
di batang merupakan
jaringan sel-sel kayu pohon penghasil
salah satu vektor untuk
gaharu setelah tiga bulan diinokulasi
membawa propagul
jamur patogen. Oleh
sebab itu, pembuatan banyak lubang inokulasi bertujuan untuk
mempercepat proses pembentukan gaharu.

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 37
Gambar 3.3.
Deposit resin gaharu pada sel-sel kayu Aquilaria malaccensis oleh Fusarium sp. di Bengkulu
(Mucharromah, 2011)

Gambar 3.4.
Deposit resin gaharu pada sel-sel kayu Aquilaria microcarpa oleh Fusarium solani
di KHDTK Carita, Banten

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


38 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Jamur patogen memproduksi cairan enzym atau toksin yang
masuk ke sel-sel kayu. Sebaliknya, batang pohon penghasil
gaharu yang terinfeksi jamur bereaksi mengeluarkan fitoaleksin
yang berkumpul di sel-sel kayu. Akumulasi fitoaleksin atau
metabolik sekunder menyebabkan adanya kumpulan resin yang
bertumpuk di sekitar lubang perlukaan akibat adanya hifa-hifa
jamur patogen. Pada tahap awal, hifa-hifa yang masuk ke kayu
dapat terdeteksi melalui mikroskop pada tiga bulan setelah
inokulasi. Setelah itu, penutupan sel-sel kayu oleh resin terjadi
dan hifa-hifa jamur sudah tidak dapat terdeteksi lagi (Gambar
3.2). Deposit resin gaharu akan terakumulasi pada sel-sel kayu di
sekitar lubang inokulasi (Gambar 3.3. dan 3.4).

Teknologi Bioinduksi Gaharu


Ada tiga metode induksi gaharu, yaitu: metode fisik-mekanik,
kimia, dan biologi (Tabel 3.1). Aplikasi ketiga metode ini
memberikan hasil yang berbeda-beda. Metode fisik-mekanik
terbatas pada stimulasi fisik berupa perlukaan yang
kemungkinan terdapat peran fungi patogen yang masuk secara
bersamaan. Metode induksi kimia lebih menekankan kepada
peran zat tertentu agar tanaman memberikan jawaban stimulasi
berupa pembentukan gaharu secara cepat. Sementara itu,
metode bioinduksi dengan biologi adalah cara jamur patogen
menyerang jaringan sel-sel kayu pohon penghasil gaharu agar
proses pembentukan gaharu dapat terjadi melalui interaksi
kedua makhuk hidup tersebut (Santoso et al., 2011a; Santoso et
al., 2011b; Sitepu et al., 2011b; Wollenberg, 2001).

Ketiga metode induksi tersebut mempunyai kelemahan dan


kelebihan. Ole sebab itu, penilaian harus dilakukan dari berbagai
aspek; mulai dari kepraktisan aplikasi, nilai investasi yang harus
dikeluarkan, kualitas dan kuantitas gaharu yang dihasilkan, nilai
ekonomi gaharu, sifat ramah lingkungan, dan keamanan bagi
konsumen gaharu dan lingkungan.

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 39
Tabel 3.1. Tiga metode induksi gaharu

Fisik-Mekanik Kimia Biologi


Pemakuan : paku Gula + Oli Torula spp.
Pemakuan+pemanasan(api) Asam Jasmonic Aspergillus spp.
Pencacahan Minyak Kedelai Fusarium spp.
Pengulitan Asam Sulfat Botrydiplodia spp.
Penggergajian (alat gergaji) Asam Cuka Penicillium spp.

A. Metode Fisik-Mekanik

Metode fisik-mekanik yang dikenal lama adalah metode


pemakuan. Pohon penghasil gaharu dilukai dengan cara dipaku.
Pemakuan dilakukan dengan jarak tertentu (Gambar 3.5 dan
Gambar 3.6). Diperlukan banyak paku dalam satu pohon.
Apabila satu pohon memerlukan 500 paku dengan berat 20 g,
maka diperlukan 10 kg paku per pohon. Apabila pemakuan
dilaksanakan untuk 1.000 pohon, maka paling sedikit diperlukan
10 ton paku. Kombinasi pemakuan dan pemanasan dengan api
juga pernah dilakukan oleh praktisi gaharu di Sumatera dan
Kalimantan. Mereka percaya cara ini dapat membentuk gaharu
lebih baik.

Beberapa praktisi gaharu mencoba metode pencacahan dengan


alat tajam, seperti golok atau mandau. Tujuan akhir adalah
terjadinya perlukaan pada batang atau cabang pohon penghasil
gaharu. Mereka akan mengecek hasil perlukaan setelah 1-3
tahun kemudian. Metode pengulitan juga dilakukan oleh
beberapa orang dengan cara membuka kulit batang pohon
penghasil gaharu, dan diharapkan terjadi perlukaan. Metode
lainnya adalah penggergajian pada beberapa tempat terhadap
batang pohon sebagai cara untuk membuat perlukaan. Hingga
saat ini belum diketahui informasi berapa hasil gaharu yang
diperoleh dari teknologi tersebut.

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


40 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
B. Metode Kimia

Metode kimia adalah teknik


induksi dengan bahan kimia
tertentu pada setiap lubang
pohon penghasil gaharu.
Penggunaan asam jasmonik
dan minyak kedelei pernah
dilakukan di beberapa tempat.
Pembentukan gaharu yang
terjadi sangat terbatas dan
kurang memuaskan. Aplikasi
asam sulfat dan asam cuka
juga telah dilakukan. Hasilnya,
gaharu terbentuk dengan
kualitas rendah dan ada bagian
batang yang hangus dan mati,
serta dikhawatirkan terdapat
residu bahan kimia. Oleh
sebab itu, penggunaan metode
kimia dengan bahan kimia
berbahaya tidak disarankan.

Hingga saat ini, informasi


kualitas dan kuantitas gaharu
yang dihasilkan dengan Gambar 3.5. Metode paku di Bangladesh
metode kimia belum diketahui.
Sebagai bahan pertimbangan, inokulasi dengan bahan kimia
berbahaya (seperti asam sulfat) dapat mematikan jaringan sel-sel
kayu dan kayu menjadi hitam terbakar. Reaksi dari inang berupa
pyhtoalexin dapat muncul tapi juga dapat bercampur dengan
asam sulfat. Aroma gaharu yang bercampur dengan asam sulfat
akan mengganggu kesehatan manusia yang menghirupnya,
bahkan, pengaruh terburuk adalah kanker paru-paru (Gambar
3.7).

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 41
Gambar 3.6.
Gaharu hasil paku dari jenis
Aquilaria crassna di Vietnam
dan Gyrinops versteegii di
Lombok (NTB)

Gambar 3.7.
Inokulan tongkat bambu yang
direndam asam sulfat berbahaya

C. Metode Biologi

Metode biologi merupakan teknik


inokulasi dengan menggunakan mikroba
atau jasad renik. Banyak sekali jenis
jamur (fungi) yang telah diujicoba dari
sejak tahun 1930-an hingga kini. Metode
biologi yang menggunakan mikroba
untuk menstimulasi pembentukan
gaharu telah dilaporkan oleh Sitepu et al.
(2011), Sundara (2011), Donovan dan
Puri (2004). Beberapa peneliti lain juga
melakukan inokulasi pada pohon
penghasil gaharu dengan jenis fungi yang
berbeda; antara lain: Bose (1934) dengan
jenis Torula sp., Battcharrya (1952)
dengan Epicoccum sp., Gibson (1977)
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,
42 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
dengan Aspergillus, Santoso (1984) dengan Fusarium solani
(untuk jenis Aquilaria dan Gyrinops), Subansenee (1985) dengan
Botrydiplodia sp., Tamuli (2000) dengan Penicillium sp., Rahayu
(2003) dengan Acremonium sp., Burfield (2005) dengan
Cladosporium sp., dan Agustini (2006) dengan Fusarium
xylaroides untuk jenis Aquilaria microcarpa. Selain itu,
Blanchette (2006) menyebutkan produk inokulan jamur yang
berasal dari jenis Deuteromycota sp., Ascomycota sp., dan
Basidiomycota sp. telah diujicobakan untuk jenis Aquilaria
crassna di Vietnam.

Penggunaan jamur-jamur tersebut memberikan variasi


pembentukan gaharu menurut jenis jamur, jenis pohon
penghasil gaharu yang digunakan, dan lokasi riset yang berbeda.
Beberapa laporan menyebutkan terdapat kegagalan
pembentukan gaharu dengan inokulasi jamur tertentu, atau
terjadi pembentukan gaharu tetapi tidak menimbulkan wangi
dengan inokulasi jenis jamur yang lain. Sebaliknya, Santoso et al.
(2011a) melaporkan bahwa inokulasi F. solani dapat membentuk
gaharu pada jenis-jenis Aquilaria dan Gyrnops di Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi, Bali, Lombok, dan Maluku. Komunikasi
pribadi dengan dua perusahaan gaharu di Vietnam menyatakan
bahwa penggunaan Kit-inokulan yang diproduksi oleh Blanchette
dapat terbentuk gaharu dalam skala terbatas, yaitu 200-300
gram per pohon dengan jumlah pohon yang diinokulasi sebanyak
lebih dari 1.000 pohon.

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 43
Segitiga Faktor Pembentukan Gaharu
A. Segitiga Faktor Pembentukan Gaharu

Gaharu secara alami terbentuk karena adanya serangan jamur


patogen pada sel-sel hidup kayu pohon penghasil gaharu.
Gaharu dimungkinkan terbentuk karena faktor inang, jamur
patogen, dan lingkungan. Ketiga faktor ini saling terkait erat.
Inang merupakan pohon penghasil gaharu dari jenis tertentu.

Gambar 3.8. Segitiga faktor pembentukan gaharu

B. Faktor Inang

Inang yang dimaksud adalah jenis-jenis pohon penghasil gaharu.


Di Asia, termasuk negara-negara lautan Pasifik, diketahui
terdapat lebih dari 26 jenis Aquilaria dan 7 jenis Gyrinops yang
telah masuk dalam daftar kelangkaan CITES (Appendix II) (Tabel
3.2). Artinya, secara alami jenis-jenis pohon penghasil gaharu
telah dieksplotasi sejak lama dan menghasilkan gaharu yang
berkualitas baik, serta mempunyai nilai ekonomi yang tinggi.

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


44 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Tabel 3.2. Jenis-jenis pohon penghasil gaharu yang tersebar di Asia

No. Jenis Ban Bhu Chi Ind Ina Kam Lao Mal Mya Phi Pap Sin Vie Tai Thai

1. A. agallocha *
2. A. apiculata *
3. A. audate * * *
4. A. acuminate *
5. A. banaense * *
6. A. bailonii * *
7. A. beccariana * *
8. A. brachyantha *
9. A. crassna * * * *
10. A. citrinaecarpa *
11. A. cumingiana * *
12. A. filaria * * *
13. A. grandiflora * *
14. A. hirta * * *
15. A. khasiana *
16. A. malaccensis * * * * * * * * * *
17. A. moszkowskii *
18. A. microcarpa * *
19. A. parvifolia *
20. A. rugosa * *
21. A. rostrata *
22. A. secundana *
23. A. sinensis * *
24. A. tomentosa *
25. A. urdanetensis *
26. A. yunnanensis * *
27. G. versteegii *
28. G. mollucana *
29. G. decipiens *
30. G. ledermanii *
31. G. salicifolia *
32. G. caudate *
33. G. podocarpus *

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 45
Tidak semua inang pohon penghasil gaharu dapat membentuk
gaharu yang beraroma wangi dan berwarna hitam kecoklatan.
Dua genera utama yang disebutkan di atas sudah terkenal
sebagai inang yang menghasilkan wangi gaharu, yaitu Aquilaria
dan Gyrinops. Genera lain yang masuk kategori Non-CITES
seperti Phalleria, Aetoxylon, Excoecaria dan Wikstroemia (Tabel
3) dapat juga membentuk gaharu dan menghasilkan wangi,
namun permintaan pasar terbatas (Sitepu et al., 2011a; Subiakto
et al., 2011).

Tabel 3.3. Jenis tanaman penghasil gaharu (Non-CITES) yang tersebar di Indonesia

Nusa
No. Jenis Sumatera Jawa Kalimantan Sulawesi Maluku Papua
Tenggara

1. Aetoxylon sympetalum *
2. Alceodophoe oriaceae *
3. Arastemon urophyllus *
4. Dalbergia parviflora * * * *
5. Enkleia malaccensis * *
6. Excoecaria agallocha * * *
7. Linostoma scandens *
8. Myristica sp. *
9. Phaleria capitata *
10. Phaleria microcarpa *
11. Phaleria nisdai *
12. Phaleria macrocarpa *
13. Phaleria papuana *
14. Wikstroemia polyantha
15. W. androsaemifola * * * * *
16. W. tenuiramis * *
17. W. candoleana *
18. W. ridleyi *
19. Timoneus sericeus *

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


46 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
C. Faktor Jamur Patogen

Berbagai referensi menyebutkan beberapa jenis mikroba yang


dapat digunakan untuk menstimulasi pembentukan gaharu.
Salah satu penelitian yang dilakukan oleh Badan Litbang
Kehutanan menunjukan bahwa penggunaan jamur patogen
Fusarium solani (Gambar 3.9) memberikan respons
pembentukan gaharu yang signifikan.

Gambar 3.9. Biakan Fusarium solani.

Jamur patogen merupakan salah satu faktor kunci pembentukan


gaharu. Oleh sebab itu, teknologi bioinduksi memfokuskan pada
aplikasi jamur patogen. Jamur patogen menggunakan gula
sederhana sebagai sumber energinya karena tidak dapat
berfotosintesis. Jamur patogen yang digunakan adalah jamur
yang berasal dari inang gaharu. Sifat-sifat fisiologis jamur
dipelajari dengan melihat tingkat agresivitasnya; baik di media,
anakan gaharu, maupun batang pohon penghasil gaharu.
Beberapa jenis jamur patogen menunjukkan pertumbuhan yang
lambat dan pembentukan gejala gaharu juga sangat lambat.

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 47
Sebaliknya, beberapa jenis jamur patogen lainnya menunjukkan
pertumbuhan yang sangat cepat dan gejala gaharu juga sangat
cepat, bahkan dapat mematikan pohon. Oleh sebab itu, seleksi
jamur patogen yang khusus diperuntukan pembentukan gaharu
harus dilakukan melalui serangkaian screening, uji coba, dan
evaluasi dari berbagai lokasi dan jenis pohon penghasil gaharu
yang berbeda.

D. Faktor Lingkungan

Faktor lingkungan yang mungkin dapat mempengaruhi


pembentukan gaharu adalah kesuburan tempat tumbuh
(Gambar 3.10), suhu dan kelembaban, intensitas cahaya,
serangan hama dan penyakit (Pratiwi et al., 2011; Purnomo dan
Turjaman, 2011). Hasil survey
gaharu di Bangka-Belitung
menunjukkan kesuburan
tempat tumbuh turut
berpengaruh terhadap
pembentukan gaharu. Pada
kondisi tempat tumbuh yang
tidak subur (kering/berbatu)
banyak ditemukan pohon
penghasil gaharu berkualitas
baik, dibandingkan pada
kondisi tempat tumbuh yang
subur. Faktor hama dan
penyakit turut mempengaruhi
pembentukan gaharu. Pohon
penghasil gaharu yang
diserang oleh hama pemakan
daun dianjurkan untuk tidak
Gambar 3.10. diinokulasi dengan jamur
Faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh dalam patogen. Kondisi pohon tanpa
pembentukan gaharu (Purnomo dan Turjaman, daun merupakan ciri pohon
2011) dalam kondisi stress, sehingga

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


48 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
tidak dianjurkan untuk melakukan proses inokulasi pada kondisi
tersebut. Inokulasi dapat dilakukan setelah pohon penghasil
gaharu kembali sehat dan normal.

Pemanenan Gaharu
Pemanenan gaharu adalah tahap proses yang penting dalam
kegiatan budidaya gaharu yang diinokulasi oleh jamur patogen
(Gambar 3.11 dan 3.12). Kemudahan dan kesulitan dalam proses
pemanen dipengaruhi oleh pola penyuntikan. Selain peralatan
yang digunakan, keterampilan pengukir gaharu memerlukan
keahlian yang tinggi agar hasil panen dapat maksimal, tanpa
kehilangan resin-resin gaharu utama akibat kesalahan prosedur
memanen. Selain itu, kadar air gaharu menjadi pertimbangan
ukuran biomasa yang dihasilkan. Sebagai contoh, pemanenan
tahap awal dihasilkan 25 kg gaharu, tetapi setelah dibiarkan
selama 30-50 hari berat gaharu dapat menyusut karena proses
pengeringan secara alami.

Gambar 3.11.
Proses pemanenan gaharu hasil budidaya dengan menggunakan peralatan pertukangan
yang sederhana

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 49
Gambar 3.12.
Gaharu A. malaccensis dari pohon yang tumbuh secara alami di kebun karet rakyat dan
diinokulasi jamur patogen F. solani

Proses pemanenan gaharu budidaya berbeda dengan gaharu


alam. Pada pengerokan gaharu alam, output-nya adalah kualitas
dan kuantitas gaharu yang diperoleh, walaupun tidak ada
kepastian. Mereka mencacah semua batang pohon gaharu alam
sampai habis menjadi serpihan kayu. Sebaliknya, proses
pengerokan gaharu budidaya lebih fokus pada lubang-lubang
inokulasi yang di dalamnya telah terbentuk gaharu. Selain
keterampilan dalam pengerokan gaharu hasil inokulasi,
diperlukan pengembangan alat-alat kerok gaharu yang modern
dan dibantu dengan tenaga listrik. Dukungan peralatan modern
yang efektif dan efisien dapat mempercepat peningkatan
diversifikasi produk gaharu dalam skala industri.

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


50 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Industri gaharu masa depan adalah gaharu hasil budidaya.
Pengolahan gaharu untuk berbagai diversifikasi produk yang
tinggi menuntut adanya temuan-temuan teknologi agar proses
pengolahan gaharu dapat lebih efektif dan efisien. Diversifikasi
produk gaharu memberikan variasi pilihan bagi para konsumen
untuk memanfaatkan gaharu sebagai bagian dari hidup mereka;
seperti untuk incense, parfum, meditasi, obat-obatan, dan
aksesoris religius. Oleh sebab itu, industri gaharu Indonesia perlu
didukung dengan kelestarian bahan baku gaharu berupa
penanaman berbagai jenis Aquilaria dan Gyrinops di berbagai
lokasi di Indonesia. Salah satunya, Provinsi Kalimantan Timur
merupakan lumbung gaharu alam yang harus dipertahankan dan
ditingkatkan, sehingga dapat beralih ke industri gaharu budidaya.
Tarakan dan Malinau telah dikenal lama sebagai sumber gaharu
berkualitas terbaik dan telah dikenal lama oleh para pedagang
gaharu dari Timur Tengah.

Petunjuk Teknis Bioinduksi


A. Pohon Penghasil Gaharu (Inang)

Jenis pohon yang diinokulasi adalah pohon penghasil gaharu.


Pohon penghasil gaharu yang dapat diinokulasi adalah pohon
yang berdiameter minimum 15 cm. Semakin besar diameter
pohon maka semakin baik, karena volume gaharu yang
dihasilkan semakin tinggi. Pohon harus dalam keadaan sehat
tanpa ada gangguan serangan hama dan penyakit hutan.
Sebaiknya posisi dan lokasi pohon yang akan diinokulasi dicatat;
seperti ukuran tinggi dan diameter pohon, nama pemilik pohon,
lokasi dan posisi koordinat (dengan alat ukur GPS), nama desa
dan kecamatan lokasi penyuntikan, waktu penyuntikan, dan
data dokumentasi foto kegiatan penyuntikan gaharu.

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 51
B. Inokulan jamur

Inokulan jamur patogen dibuat dari tahapan riset yang


memerlukan waktu yang panjang. Artinya, riset ini dilakukan di
laboratorium mikrobiologi yang dilengkapi dengan peralatan dan
bahan kimia tertentu, serta dikerjakan oleh SDM yang kompeten
di bidangnya (Santoso et al., 2011a). Tanpa ada SDM dan
laboratorium mikrobiologi yang standar, maka sangat mustahil
seseorang dapat membuat inokulan yang standar dan dapat
dipertanggungjawabkan. Melalui riset dapat dijawab beberapa
pertanyaan; antara lain: bagaimana jamur patogen ditemukan,
bagaimana karakter pertumbuhan jamur yang tumbuh di media,
apa media jamur yang cocok untuk dipergunakan, bagaimana
cara mengisolasi dan mengidentifikasi jamur patogen secara
biologi molekuler, bagaimana cara memelihara dan
memperbanyak jenis jamur pathogen, bagaimana membedakan
jenis jamur patogen dengan jenis jamur lainnya, bagaimana
mempertahankan daya agresivitas jamur pathogen, dan apakah
jamur yang diinokulasikan pada pohon penghasil gaharu akan
membentuk gaharu. Pertanyaan-pertanyaan tersebut
merupakan kumpulan formulasi yang harus ditemukan agar
jamur patogen dapat digunakan untuk pembentukan gaharu
(Gambar 3.13).
Gambar 3.13.
Inokulan jamur patogen
yang telah diseleksi, dapat
diproduksi massal, dan
dapat diinokulasi pada
pohon penghasil gaharu
secara massal

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


52 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
C. Lingkungan

Sebelum melakukan kegiatan penyuntikan, pengamatan kondisi


lingkungan secara visual perlu dilakukan di sekitar pohon
penghasil gaharu; seperti tempat tumbuh, suhu dan
kelembaban, serta kondisi geografis lapangan. Hal ini berkaitan
pula dengan persiapan peralatan, seperti tangga/steiger yang
kuat dan kokoh untuk naik, dan keselamatan kerja dalam
melakukan kegiatan penyuntikan. Penyuntikan disarankan untuk
dilakukan pada saat tidak hujan. Apabila pada pohon penghasil
gaharu terdapat koloni semut rang-rang, penyemprotan air
dapat dilakukan untuk mengusir sementara semut tersebut agar
tidak mengganggu petugas yang akan menyuntik.

D. Peralatan

Sebelum berangkat ke lokasi


penyuntikan, semua peralatan
diperiksa dan diujicoba fungsinya.
Sebagai contoh, generator dapat
dinyalakan dan bahan bakarnya
tersedia cukup. Kelengkapan
peralatan untuk kegiatan
inokulasi yang diperlukan adalah:
satu unit generator kapasitas
1.000-2.500 watt, bahan bakar
bensin (campur) yang cukup,
blender, alat bor listrik (1 unit + 1
unit cadangan), mata bor jari-jari
sepeda motor untuk diameter Gambar 3.14.
pohon 15-20 cm dan mata bor Mata bor yang terbuat dari jari-jari sepeda
motor berukuran 3 mm
yang lebih panjang untuk diameter
pohon 30-60 cm (Gambar 3.14), kabel listrik dan aksesorisnya
sepanjang 15-20 m, alat suntik (bekas printer) sebanyak 3-4 unit
atau alat suntik otomatis (Gambar 3.15), alat tali untuk

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 53
memanjat, tangga besi atau bambu, serta peralatan pendukung
lainnya (golok, clurit, pahat, obeng, dan lain-lain).

E. Penyuntikan

Alat untuk memanjat disiapkan


pada pohon penghasil gaharu yang
akan disuntik. Pembuatan pola
penyuntikan dilakukan dengan
ukuran tertentu (20x5 cm), (15x5
cm), (10x5 cm) dengan
menggunakan tali atau benang
untuk mempermudah dan
mempercepat proses penyuntikan
(Gambar 3.16 dan Gambar 3.17).
Pada inokulasi dengan jamur yang
ganas digunakan ukuran jarak
antara 20 cm (jarak vertikal) dan 5
cm (jarak horisontal), sedangkan
jamur yang tidak ganas adalah 10-
15 cm (jarak vertikal) dan 5 cm
Gambar 3.15. (jarak horisontal). Selanjutnya,
Alat suntik inokulan jamur yang dibuat mesin generator diisi BBM dan
otomatis yang kapasitas masuknya cairan dinyalakan. Kemudian, inokulan
dapat diatur (0,5 cc, 1 cc, atau 2 cc) jamur di-blender sekitar 5 menit
dan dituangkan pada gelas plastik
atau botol air mineral bersih. Alat suntik dibersihkan dan diisi
inokulan jamur. Apabila menggunakan alat suntik otomatis, dosis
dapat diatur sesuai anjuran yang telah ditentukan agar
penggunaan inokulan menjadi lebih hemat dan efisien.
Kemudian, bor listrik disiapkan dan mata bor dipasang. Satu
orang khusus melakukan pengeboran sesuai pola. Pada proses
penyuntikan, mata bor hanya boleh masuk maksimum 1/3
diameter batang. Kehati-hatian diperlukan dalam mengebor,
jangan sampai melewati batas yang telah ditetapkan. Resiko
akibat kesalahan dalam pengeboran adalah batang akan busuk

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


54 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
dan pohon dapat merana atau mati. Satu orang menyuntik
inokulan ke dalam setiap lubang sekitar 0,5-1 cc dan jangan
sampai ada cairan yang keluar. Cairan jamur yang keluar dapat
memungkinkan terjadinya kontaminan dengan jamur lain yang
hidup di alam bebas, dan dapat mengganggu proses
pembentukan gaharu.

Gambar 3.16.
Pola penyuntikan gaharu dengan menggunakan mata bor dan alat suntik sederhana
dapat dilakukan 2-3 orang per tim suntik.

F. Keamanan

Keamanan merupakan faktor penting setelah proses inokulasi.


Lokasi penyuntikan yang jauh dari permukiman membutuhkan
koordinasi antar kelompok tani agar pohon penghasil gaharu
yang telah diinokulasi dapat dijaga dengan sebaik-baiknya.
Biasanya, pohon yang berada di sekitar permukiman akan lebih
aman. Pembentukan kelompok tani gaharu di tingkat desa atau
kecamatan diperlukan untuk komunikasi dan koordinasi masalah
keamanan tersebut.

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 55
Gambar 3.17.
Pola suntik gaharu alam pada jenis
Aquilaria malaccensis di Sumatera
Utara (foto milik Suparno) dan dapat
dilihat gejala pembentukan gaharu
dengan jarak yang teratur.

Gambar 3.18.
Ujicoba panen
Aquilaria malaccensis
umur 15 bulan
setelah suntik di
Sanggau, Kalimantan
Barat. Sebelah kiri
adalah potongan
pohon penghasil
gaharu dengan berat
45 kg, dan sebelah
kanan adalah contoh
gaharu yang
dihasilkan dengan
berat 4,5 kg.

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


56 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
G. Teknik Evaluasi Keberhasilan Inokulasi

Evaluasi dapat dilakukan setiap tiga bulan. Caranya dengan


membuka lubang suntik dengan pola jendela, yaitu kulit batang
disayat pisau/cutter dengan bentuk bujur sangkar (yang dipotong
adalah sisi bawah, kiri, dan kanan). Pada setiap batang, sekitar 2-
3 lubang saja yang dievaluasi. Apabila ditemukan kayu berwana
coklat/kehitaman, diambil beberapa potong saja, dikeringkan
beberapa saat, setelah itu dibakar. Apabila tercium wangi khas
gaharu, maka dapat dikatakan tiga bulan pertama sudah mulai
terbentuk gaharu. Pada evaluasi pohon yang lebih enam bulan
suntik, luka infeksi kemungkinan tertutup oleh jaringan kayu
yang tumbuh, sehingga perlu dipahat beberapa cm.

H. Penebangan

Pohon penghasil gaharu yang telah diinokulasi dapat ditebang


setelah 1, 2, dan 3 tahun. Apabila ingin mendapatkan gaharu
yang berkualitas baik, pemanenan dilakukan setelah tiga tahun
inokulasi. Pemanenan dilakukan dengan menebang batang
menggunakan golok atau kapak. Penggunaan mesin chain-saw
jangan dilakukan karena minyak pelumasnya dapat mencemari
gaharu yang ada dalam batang. Kemudian, batang dipotong
dalam beberapa bagian setiap 2-3 meter. Semua batang diangkut
ke tempat pengerokan.

I. Pengangkutan

Proses pengolahan gaharu tidak dilakukan di hutan atau kebun.


Pengangkutan batang gaharu harus dilengkapi dokumentasi
resmi dari hutan ke lokasi pengolahan/pabrik gaharu. Tanpa ada
dokumen resmi, pemilik gaharu akan dikenakan sanksi hukum
karena barang yang dibawa adalah komoditi gaharu yang langka
dan dilindungi oleh CITES.

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 57
J. Pengerokan

Keterampilan mengerok gaharu harus sudah dilatih. Proses


pengerokan yang bersih dan telaten dapat meningkatkan harga >
100% dari harga gaharu yang dikerok asalan karena tidak
menyisakan sisa-sisa kayu yang masih berwarna putih.
Pengerokan menggunakan alat-alat yang standar agar tidak
terjadi kesalahanan. Rekayasa peralatan untuk pengerokan
gaharu sangat diperlukan dalam membantu diversifikasi produk
gaharu untuk skala industri.

K. Pengkelasan

Saat ini, pengkelasan gaharu budidaya belum ada pedomannya.


Oleh sebab itu, pengkelasan gaharu budidaya diharapkan segera
tersedia. Namun demikian, pengkelasan yang sederhana dapat
dibuat beberapa bagian, contohnya untuk pohon yang telah
disuntik setelah 3 tahun. Antara bagian batang, cabang, dan
akar dapat dijumpai kualitas gaharu yang berbeda. Potongan
gaharu yang sudah bersih dapat dikelaskan berdasarkan warna.
Apabila ditemukan warna hitam yang dominan (>80%) dan
sisanya kecoklatan, maka chips dapat dikelompokkan dalam satu
kelas gaharu. Potongan gaharu dengan warna 50% coklat dan
50% hitam dikelaskan dalam kelompok tersendiri. Satu kelas lagi
apabila ditemukan gaharu yang 100% berwarna coklat. Limbah
hasil kerokan gaharu yang berwarna coklat dan putih dijadikan
satu karung, sebagai bahan baku untuk penyulingan minyak
gaharu.

L. Penyulingan minyak gaharu

Diversifikasi produk gaharu yang mempunyai nilai komersial


tinggi adalah minyak gaharu. Usaha ini memerlukan pabrik
minyak gaharu berupa investasi modal, tenaga terampil,
peralatan, ruang khusus, tempat penjemuran, tempat
perendaman, dan gedung administrasi. Kapasitas alat

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


58 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
penyulingan disesuaikan dengan kapasitas bahan baku abuk
yang tersedia. Kapasitas alat suling dapat dibuat minimal 10 kg
sampai 200 kg. Menjual minyak gaharu adalah menjual
kepercayaan perusahaan, artinya, sekali perusahaan
memalsukan kualitas gaharu, maka pelanggan akan berpindah ke
tempat lain.

M. Pemasaran

Pemasaran gaharu di pasar internasional masih terbuka luas


karena antara permintaan dan ketersediaan gaharu di alam
terjadi kelangkaan. Hingga saat ini, pasar gaharu budidaya masih
dianggap satu kesatuan dengan gaharu alam. Padahal, dokumen
sejarah penanaman sampai inokulasi tercatat lengkap dan
diketahui BKSDA setempat. Saat penebangan dan pengangkutan
pun harus ada surat jalan dari institusi yang berwenang agar
produk gaharu budidaya tidak dikenakan sistem kuota. Gaharu
budidaya yang berkualitas akan diberi harga tinggi oleh pembeli
yang serius. Penawaran dapat dilakukan kepada buyer dari
dalam negeri maupun luar negeri dengan harga tertinggi. Pada
waktu yang akan datang, perusahaan yang khusus menangani
gaharu budidaya dari proses hulu hingga ke hilir diharapkan
dapat terbentuk.

Penutup
Industri gaharu masa depan adalah gaharu hasil budidaya.
Pengolahan gaharu untuk berbagai diversifikasi produk yang
tinggi menuntut adanya temuan-temuan teknologi agar proses
pengolahan gaharu dapat lebih efektif san efisien. Melalui
diversifikasi produk gaharu, para konsumen gaharu diberikan
variasi pilihan untuk memanfaatkan gaharu sebagai bagian dari
hidup mereka seperti untuk incense, parfum, meditasi, obat-
obatan, dan aksesoris untuk praktek menjalankan ibadah
beberapa agama/kepercayaan.

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 59
Teknologi bioinduksi dengan jamur patogen merupakan salah
satu cara yang efektif untuk mempercepat pembentukan gaharu
yang ramah lingkungan dan tidak berbahaya bagi kesehatan.
Teknologi ini mengikuti proses-proses gaharu alam yang terjadi
selama ini. Pembentukan gaharu alam terjadi pada satu atau
beberapa titik di bagian tertentu dari batang pohon penghasil
gaharu. Proses ini terjadi akibat perlukaan pohon penghasil
gaharu yang disusul dengan masuknya jamur patogen secara
alami, tetapi potensi inokulan atau jamur patogen yang masuk
tersebut tidak teridentifikasi. Karakteristik teknologi bioinduksi
adalah membuat lubang inokulasi dengan pola tertentu agar
jamur patogen dapat menstimulasi semaksimal mungkin
pembentukan gaharu di seluruh batang.

Keberhasilan penerapan teknologi bioinduksi dalam


pembentukan gaharu sangat dipengaruhi faktor pohon, jamur
patogen, dan lingkungan tempat tumbuh. Pohon yang disuntik
adalah pohon penghasil gaharu. Inokulan adalah jamur patogen
yang berasal dari pohon penghasil gaharu alam yang telah di-
screening, diidentifikasi, diujicobakan, dan diproduksi massal
melalui proses labotarorium yang canggih dan tenaga ahli yang
kompeten. Faktor lingkungan yang sangat berpengaruh adalah
kesuburan lahan, suhu dan kelembaban, dan yang bebas dari
serangan hama dan penyakit. Aturan protokol penyuntikan turut
memberikan kontribusi dalam keberhasilan pembentukan
gaharu dan mengurangi tingkat kebusukan batang pohon
penghasil gaharu.

Metode fisik-mekanik dapat diterapkan dengan


mempertimbangkan biaya yang harus dikeluarkan dari jumlah
paku yang diperlukan, biaya tenaga kerja, teknik pemanenan,
dan keuntungan produk gaharu yang dihasilkan. Metode kimia
dengan menggunakan bahan kimia berbahaya sangat tidak
disarankan dalam aplikasi secara massal. Produk gaharu yang
dihasilkan dari inokulasi bahan kimia tergolong gaharu bermutu
rendah. Selain tidak ramah lingkungan, produk gaharu ini dapat

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


60 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
menyebabkan gangguan kesehatan manusia, yang pada akhirnya
merugikan pasar gaharu asal Indonesia di pasar internasional.

Tabel 3.4. Resume Teknis Bioinduksi Gaharu

Tahapan Teknik
No. Penjelasan
Inokulasi
A. Pohon (inang) 1. Pohon yang disuntik adalah pohon penghasil
gaharu
2. Diameter minimum 15 cm setinggi dada (dbh)
3. Pohon sehat, berdaun, dan tidak ada serangan
hama & penyakit.
B. Inokulan 1. Jamur yang digunakan adalah jamur pembentuk
gaharu.
2. Jamur diproduksi oleh laboratorium yang
kompeten dan tenaga ahli di bidang mikrobiologi
hutan.
3. Jamur telah teridentifikasi dengan pasti, misal
melalui teknik biologi molekuler (Analisis DNA)
4. Produk jamur mempunyai batas kadaluarsa
5. Kebutuhan jamur telah diperhitungkan untuk
jumlah pohon yang akan disuntik
C. Lingkungan 1. Perlu dipersiapkan peralatan untuk naik
tangga/steiger yang kuat dan kokoh untuk
keselamatan kerja yang melakukan kegiatan
penyuntikan.
2. Kegiatan penyuntikan dilakukan pada saat tidak
hujan.
3. Pertimbangkan kondisi konfigurasi tempat
tumbuh, misal kondisi pohon yang diperbukitan,
berbatu, dll.
D. Peralatan 1. Generator: 1.000-2.500 watt
2. bahan bakar bensin (campur) yang cukup
3. blender
4. alat bor listrik: 1 unit + 1 unit cadangan
5. mata bor: jari-jari sepeda motor untuk diameter
15-20 cm
6. mata bor: yang lebih panjang untuk diameter 30-
60 cm
7. Kabel listrik plus aksesorisnya: 15-20 m
8. alat suntik (bekas printer): 3-4 unit
9. alat-alat babat (golok, clurit, pahat, obeng, dll.)

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 61
E. Penyuntikan 1. Dibuat pola penyuntikan dengan ukuran tertentu
(20x5 cm), (15x5 cm), (10x5 cm)
2. Mesin generator diisi BBM dan dinyalakan.
3. Inokulan jamur diblender sekitar 5 menit, dan
dituang di gelas plastik atau botol aqua bekas.
4. Alat suntik dibersihkan dan diisi inokulan jamur.
5. Bor listrik disiapkan, dan mata bor dipasang.
6. Satu orang khusus melakukan pemboran sesuai
pola. Mata Bor masuk hanya 1/3 diameter
batang. Diperlukan kehati-hatian dalam
mengebor, jangan sampai melewati batas yang
telah ditetapkan. Resikonya batang akan busuk.
7. Satu orang menyuntik inokulan ke setiap lubang
sekitar 0,5-1 cc. Jangan sampai ada cairan keluar.
8. Satu orang mengawasi jalannya penyuntikan,
memberi bantuan kedua orang yang bertugas
membor dan menyuntik. Mengechek,
mematikan dan menghidupkan generator,
mengatur letak kabel, dan kegiatan teknis
lainnya.
9. Dipastikan tidak ada lubang yang terlewat, dan
lupa disuntik.
F. Keamanan 1. Lokasi penyuntikan yang jauh dari pemukiman
diperlukan koordinasi antar kelompok tani, agar
pohon penghasil gaharu yang telah diinokulasi
dapat dijaga dengan sebaik-baiknya.
2. Pohon yang berada di sekitar pemukiman lebih
aman.
G. Teknik Evaluasi 1. Evaluasi dapat dilakukan setiap 3 bulan.
2. Caranya dengan membuka lubang suntik dengan
pola jendela, kulit batang disayat pisau/cutter
dengan bentuk bujur sangkar (yang dipotong
adalah sisi bawah, kiri, dan kanan). Setiap batang
sekitar 2-3 lubang saja yang dievaluasi.
3. Apabila ditemukan kayu berwana
coklat/kehitaman, diambil beberapa potong saja,
dikeringkan beberapa saat, setelah itu dibakar.
Apabila tercium wangi khas gaharu, maka dapat
dikatakan 3 bulan pertama sudah mulai
terbentuk gaharu.
4. Evaluasi yang lebih 6 bulan suntik: kemungkinan
infeksi tertutup oleh jaringan kayu yang tumbuh,
sehingga perlu dipahat beberapa cm.

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


62 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
H. Penebangan 1. Penebangan batang dilakukan dengan golok atau
kapak. Jangan gunakan mesin chain-saw,
karena minyak pelumasnya akan mencemari
gaharu yang ada dalam batang.
2. Batang dipotong dalam beberapa bagian, setiap
2-3 meter.
3. Semua batang diangkut ke tempat pengerikan.
4. Pengerikan yang bersih dan telaten dapat
meningkatkan harga > 100% dari harga gaharu
yang dikerok asalan, dan masih menyisakan sisa-
sisa kayu yang masih berwarna putih.
I Pengangkutan Pengangkutan batang gaharu harus dilengkapi
dokumentasi resmi dari hutan ke lokasi
pengolahan/pabrik gaharu.
J. Pengerokan 1. Ketrampilan mengerok gaharu harus sudah
dilatih.
2. Menggunakan alat-alat kerok yang standar agar
tidak terjadi kesalahanan dalam pengerokan.
K. Pengkelasan 1. Pengkelasan dapat dibuat beberapa bagian,
misal untuk pohon yang telah disuntik setelah 3
tahun. Antara bagian batang, cabang, dan akar
dapat dijumpai kualitas gaharu yang berbeda.
2. Potongan gaharu yang sudah bersih dapat
dikelaskan berdasarkan warna. Apabila
ditemukan warna hitam yang dominan (>80%)
sisanya kecoklatan, maka chips dapat dijadikan
satu kelas gaharu. Potongan gaharu dengan
warna 50% coklat dikelaskan dalam satu wadah
tersendiri. Satu kelas lagi apabila ditemukan
gaharu yang 100% berwarna coklat.
3. Limbah hasil kerokan gaharu yang berwarna
coklat dan putih dijadikan satu karung, sebagai
bahan baku untuk penyulingan minyak gaharu.
L Penyulingan 1. Perlu pabrik minyak gaharu berupa investasi
minyak gaharu modal, tenaga terampil, peralatan, ruang khusus,
tempat penjemuran, tempat perendaman,
gedung administrasi..
2. kapasitas alat penyulingan disesuaikan dengan
kapasitas bahan baku abuk yang tersedia.
3. alat suling terdiri dari kapasitas yang 10, 20, 30,
40, 50, 100, 150, 200, 300 kg.

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 63
M. Pemasaran 1. Pasar gaharu budidaya masih dianggap satu
kesatuan dengan gaharu alam.
2. Dokumen sejarah penanaman sampai inokulasi
tercatat lengkap dan diketahui BKSDA setempat.
3. Saat penebangan dan pengangkutan-pun harus
ada surat jalan dari institusi yang berwenang,
agar produk gaharu budidaya tidak dikenakan
sistem kuota.
4. Gaharu budidaya yang berkualitas akan diberi
harga tinggi oleh pembeli yang serius.
Penawaran dapat dilakukan kepada buyer dari
DN maupun LN dengan harga tertinggi

Daftar Pustaka
Ajmal, A. (2011). Commercial Cultivation of Medicinal and
Aromatic plants in the North East region with particular
reference to Aquilaria species. Workshop on
implementation of CITES for agarwood-producing
species, 3-6 October 2011. Kuwait.
Donovan, D.G., and Puri, R.K. (2004). Synthesis: Learning from
traditional knowledge of non-timber forest products :
Penan Benalui and the autecology of Aquilaria in
Indonesian Borneo. Ecology and Society, 9 (3):3, 1-23.
Mucharromah. (2011). Development of eaglewood (gaharu) in
Bengkulu, Sumatera. Proceeding of gaharu workshop:
Development of gaharu production technology a forest
community based empowerment. ITTO PD425/06 Rev.1
(I). Bogor. 1-14p.
Pratiwi, Santoso, E., and Turjaman, M. (2011). Soil physical and
chemical properties of the gaharu (Aquilaria spp.) stands
habitat in West Java. Proceeding of gaharu workshop:
Development of gaharu production technology a forest
community based empowerment. ITTO PD425/06 Rev.1
(I). Bogor. 105-120p.

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


64 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Purnomo, E. and Turjaman, M. (2011). The environmental of
characteristics of Kandangan site for gaharu plantation
projects. Proceeding of gaharu workshop :Development
of gaharu production technology a forest community
based empowerment. ITTO PD425/06 Rev.1 (I). Bogor.
95-104p.
Shaw, M. (2004) Agarwood : A mysterious substance of energy.
P & I Ltd., Taipei. 145 Pp. ISBN 978-957630744-7.
Siran, S.A., and Turjaman, M. (2010). Pengembangan teknologi
gaharu berbasis pemberdayaan masyarakat. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi
Alam. Bogor.
Sitepu, I.R., Santoso E., Siran, S.A., and Turjaman, M. (2011a).
Fragrant wood gaharu: when the wild can no longer
provide. ITTO PD425/06 Rev.1. R&D Center for Forest
Conservation and Rehabilitation. Bogor.
Sitepu, I.R., Santoso E., Turjaman, M. (2011b). Identification of
eaglewood (gaharu) tree species susceptibility. Technical
Report 1. ITTO PD425/06 Rev.1. R&D Center for Forest
Conservation and Rehabilitation. Bogor.
Santoso, E., Irianto R.S.B. Sitepu I.R., Turjaman M. (2011a).
Better inoculation engineering techniques. Technical
Report 2. ITTO PD425/06 Rev.1. R&D Center for Forest
Conservation and Rehabilitation. Bogor.
Santoso, E., Pratiwi, Purnomo E., Irianto R.S.B., Wiyono B.,
Novriyanto E., Turjaman M. (2011b). Selection
pathogens for eaglewood (gaharu) inoculation.
Technical Report 3. ITTO PD425/06 Rev.1. R&D Center
for Forest Conservation and Rehabilitation. Bogor.
Subiakto, A., Santoso E., Pratiwi, Purnomo E., Irianto R.S.B.,
Wiyono B., Novriyanti E., Suharti S., and Turjaman M.
(2011). Establishing demonstration plot of eaglewood

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 65
(gaharu) plantation and inoculation technology.
Technical Report 4. ITTO PD425/06 Rev.1. R&D Center
for Forest Conservation and Rehabilitation. Bogor.
Sundara, S. (2011). Conservation and sustainable development
of Aquilaria species in Lao PDR. Workshop on
implementation of CITES for agarwood producing
species, October 3-6, 2011. Kuwait City.
Turjaman, M. dan Santoso E. (2012). Status kemajuan riset
budidaya dan teknologi inokulasi gaharu di Asia.
Prosiding seminar nasional hasil hutan bukan kayu.
BPTHHBK-Mataram.
Wollenberg, E.K. (2001). Incentives for collecting gaharu
(fungal-infected wood of Aquilaria spp.; Thymelaeaceae)
in East Kalimantan. Economic Botany 55 (3):444-456.

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


66 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Pengenalan
Jenis, Budidaya
dan Pemacu
Tumbuh Gaharu
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,
Teknologi Badan Litbang Kehutanan
67
P ENGENALAN JENIS-JENIS POHON
4
PENGHASIL GAHARU
Beny Rahmanto dan Edi Suryanto
Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru

Pendahuluan
Gaharu merupakan komoditas hasil hutan yang bernilai tinggi.
Gaharu merupakan sebuah produk yang berbentuk gumpalan
padat berwarna coklat kehitaman sampai hitam dan berbau
harum yang terdapat pada bagian kayu atau akar pohon inang
yang telah mengalami proses perubahan fisika dan kimia akibat
terinfeksi oleh jamur (Siran, 2010). Masyarakat di Kalimantan
mengenal gaharu dengan sebutan garu, mengkaras atau garu
takaras (Heyne, 1987).

Tumbuhan penghasil gaharu di indonesia yang dilaporkan hingga


saat ini terdiri dari tiga famili yaitu Thymelaeaceae,
Euphorbiacea dan Fabaceae. Tumbuhan penghasil gaharu
anggota famili Thymelaeaceae terdiri dari lima marga (Aquilaria,
Gyrinops, Enkleia, Gonystylus, dan Wikstroemia). Anggota famili
Euphorbiaceae terdiri dari satu marga (Excoecaria). Anggota
famili Fabaceae terdiri dari satu marga (Dalbergia). Penyebaran
tumbuhan penghasil gaharu di Kalimantan (12 jenis), Sumatera
(10 jenis), Kepulauan Nusa Tenggara (tiga jenis), Papua (dua
jenis), Sulawesi (dua jenis), Jawa (dua jenis) dan Kepulauan
Maluku (satu jenis). Tumbuhan penghasil gaharu dapat tumbuh
pada kisaran suhu 24o-32o C, kelembaban udara antara 80-90%
dengan curah hujan antara 1.000-1.500 mm/tahun. Kondisi lahan
tempat tumbuh pohon penghasil gaharu sebagian besar

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 69
tergolong tanah podsolik dengan struktur tanah liat berpasir
atau lahan marginal dengan altitude 10-400 mdpl
(Mucharromah, 2010).

Bagi orang awam, kesulitan dalam proses identifikasi pohon


penghasil gaharu adalah pada saat kondisi masih bibit.
Morfologi daun bibit gaharu hampir mirip semua, tidak diketahui
identifikasi yang khas dan mudah dikenali dari daun gaharu.
Selain itu, apabila di alam terjadi dua jenis pohon penghasil
gaharu mengalami hibridisasi secara alami, maka akan semakin
sulit mengidentifikasi secara morfologi. Ke depan, proses
identifikasi secara molekuler dapat mengkonfirmasi dan
dicocokkan dengan identifikasi secara morfologi.

Tulisan ini menyajikan pengenalan jenis-jenis pohon penghasil


gaharu melalui identifikasi secara morfologi. Selanjutnya, kami
akan menyempurnakan lagi pada edisi berikutnya.

Deskripsi Umum Keluarga Thymelaeaceae


Pengenalan jenis tumbuhan penghasil gaharu merupakan faktor
penting mengingat gaharu dihasilkan oleh beberapa jenis pohon
yang berbeda-beda, sehingga akan menunjukkan kualitas hasil
gaharu yang berbeda juga. Salah satu cara pengenalan
tumbuhan penghasil gaharu dapat dilakukan dengan mengenali
ciri-ciri marga. Deskripsi ciri-ciri marga dan jenis tumbuhan
penghasil gaharu berdasarkan pengamatan dan sumber lainnya,
serta sebagai pelengkap deskripsi berdasarkan identifikasi
Steenis (1960).

Thymelaeaceae
Marga dari famili ini diantaranya adalah:
- Aquilaria; habitus berupa pohon, daun tunggal, kedudukan
daun tersebar, permukaan atas daun licin mengkilat,
permukaan bawah daun berbulu halus, ujung daun

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


70 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
runcing sampai meruncing, pangkal daun tumpul sampai
membaji, urat daun primer menonjol di permukaan bawah
daun, urat daun sekunder menyirip tidak beraturan, daun
jika dilipat tidak patah dan jika disobek berserat, tepi daun
bergelombang sedikit menggulung ke arah bawah daun,
bentuk daun oval sampai lanset, tangkai daun bulat agak
pipih pendek (3-6 mm) berbulu halus.
- Enkleia; habitus berupa liana, daun tunggal, kedudukan
daun berhadapan, ujung daun tumpul sampai runcing
- Gyrinops; habitus berupa pohon, daun tunggal, kedudukan
daun sepiral beraturan, ujung daun runcing sampai
meruncing, bentuk daun oval sampai lanset, tepi daun
menebal, pangkal daun tumpul sampai membulat, tangkai
daun bulat.
- Gonystylus; habitus berupa pohon, daun tunggal,
kedudukan daun tersebar, ujung daun runcing, tepi daun
rata dan sedikit menggulung ke arah permukaan bawah
daun, tulang daun primer menonjol di bawah permukaan
daun dan tenggelam di atas permukaan daun, daun agak
tebal jika dilipat patah (sobek), pangkal daun membaji,
tangkai daun bulat melengkung, permukaan atas daun
licin mengkilap, permukaan bawah daun berwarna hijau
kusam.
- Wikstroemia; habitus berupa semak, beberapa berupa
pohon, daun tunggal, sangat jarang yang majemuk
menjari, kedudukan daun berhadapan sampai berhadapan
bersilangan
Euphorbiaceae
- Excoecaria; habitus berupa pohon, tumbuh di hutan
mangrove, daun tunggal, kedudukan daun tersebar, ujung
daun runcing, pangkal daun membaji, permukaan atas
daun hijau kusam, permukaan bawah daun merah muda
sampai merah oranye.

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 71
Fabaceae
- Dalbergia; habitus berupa pohon, daun majemuk menyirip
ganjil, anak daun oval-lonjong asimetris, tepi daun rata,
permukaan atas dan bawah daun licin.

Pengenalan ciri marga merupakan tahap awal dalam proses


pengenalan jenis tumbuhan penghasil gaharu. Tahapan
selanjutnya adalah mengenali ciri jenis tumbuhan penghasil
gaharu. Dalam buku ini hanya akan dibahas beberapa jenis
tumbuhan penghasil gaharu anggota marga Aquilaria.

1. Aquilaria microcarpa
Nama lokal: tengkaras (Malaysia), hepang (Bangka), engkaras
(Kalimantan)
Ciri-ciri :
- Pohon mencapai tinggi 40 m dengan diameter 80 cm,
batang berkulit kelabu, beralur dangkal hingga pecah-
pecah, berserat panjang
- Daun berseling, oval sampai oblong, ukuran 4,5-10 x 1,5-
4,5 cm, pangkal daun menyempit, ujung runcing hingga
meruncing, urat daun sekunder berjumlah 12-19 pasang,
nampak jelas pada permukaan bawah daun, panjang
tangkai daun 3-5 mm.
- Perbungaan di ketiak atas daun, jumlah 6-11 bunga,
bentuk bunga berupa tabung, warna putih kekuningan,
panjang sekitar 5 mm, berbulu rapat.
- Buah bulat lonjong mendekati bentuk hati agak pipih
berukuran 8-12 mm x 10-12 mm.
- Biji berukuran 6 x 4 mm, berwarna kecoklatan, berbulu
halus, berjumlah 2 buah.

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


72 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
2. Aquilaria malaccensis
Nama lokal: alim (Batak), halim (Lampung), kareh
(Minangkabau)
Ciri-ciri :
- Pohon mencapai tinggi 40 m dan berdiameter 60 cm, kulit
batang licin berwarna keputihan
- Daun berseling, oval sampai lanset, pangkal daun tumpul
sampai runcing, ujung daun meruncing, permukaan atas
dan bawah daun mengkilap ukuran 7,5-12 cm x 2-5 cm,
Urat daun bagian bawah berbulu halus, urat daun
sekunder menyirip tidak beraturan berjumlah 12-16
pasang, panjang tangkai daun 4-6 mm.
- Bunga berwarna hijau sampai kuning kusam, perbungaan
muncul di ketiak daun berbentuk malai, kelopak bunga
berbentuk bulat telur sampai oblong berukuran 2-3 mm.
- Buah bulat telur dengan bagian ujung buah membulat,
mengecil di bagian pangkal buah, ukuran 3-4 x 2,5 cm,
daging buah keras (berkayu)
- Biji berbentuk oval berbulu kemerahan

3. Aquilaria beccariana
Nama lokal: mengkaras puti (Sumatera), tanduk, garu
(Kalimantan)
Ciri-ciri :
- Pohon tinggi sampai 20 m dengan diameter 36 cm, kulit
batang licin, berwarna kelabu
- Daun elips sampai lanset berukuran 11-27 x 6-8,5 cm,
pangkal daun membaji, ujung runcing sampai meruncing,
urat daun sekunder melengkung naik ke arah tepi daun
dan berjumlah 15-25 pasang, panjang tangkai daun 5-7
mm.

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 73
- Perbungaan pada ketiak daun, bunga berupa tabung
memanjang sekitar 7-12 mm, bunga berwarna kekuningan
atau putih kekuningan.
- Buah berukuran 2-3,5 x 1,75 cm berbentuk bulat telur
hingga lonjong, pangkal buah menyempit sepanjang 1,5
cm, pada bagian tengah buah berlekuk kemudian
meruncing kebagian ujungnya (menggelendong).
- Biji berbulat telur berwarna hitam berukuran 10 x 5 mm
berbulu halus berwarna coklat kemerahan, meruncing
pada bagian ujungnya.

4. Aquilaria hirta
Nama lokal: chamdan, kayu chandan (Malaya), karas
(Sumatera)
Ciri-ciri :
- Pohon setinggi 14 m, kulit batang berwarna keputihan dan
agak licin, ranting berbulu halus rapat berwarna coklat
terang
- Daun berbentuk lonjong sampai oblong, ada juga bulat
telur sampai lonjong berukuran 6,5-14 x 2,5-5,5 cm,
permukaan atas dan bawah daun mengkilap berbulu halus
terutama pada pertulangan daunnya, urat daun sekunder
melengkung kearah tepi daun berjumlah 16-30 pasang,
pangkal daun membaji-tumpul hingga membulat, ujung
daun runcing sampai meruncing.
- Bunga berwarna putih atau kuning muda, mahkota
berbentuk tabung dengan panjang 6-8 mm.
- Buah menonjol dari tabung bunga, lonjong sungsang,
runcing di ujung, menipis ke dasar, buah diselimuti bulu-
bulu halus,berukuran 5 x 1 cm
- Biji bulat telur, 10 x 6 mm, berparuh pendek, meruncing di
dasar, hitam mengkilap.

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


74 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Gambar 4.1.
Buah Aquilaria microcarpa (Dok.
Beny R. dan Edi S.) dan sketsa buah
A.microcarpa (Dok. Flora Malesiana)

Gambar 4.2.
Buah A. malaccensis (Dok. Beny R.
dan Edi S.) dan sketsa buah A.
malaccensis (Dok. Flora Malesiana)

Gambar 4.3.
Sketsa buah A. beccariana
(Dok. Flora Malesiana)

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 75
Gambar 4.4.
Sketsa buah A. hirta
(Dok. Flora Malesiana)

Gambar 4.5. Buah G. versteegii

Gambar 4.6.
Buah A. crassna (Dok. Beny R.
dan Edi S.)

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


76 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
5. Aquilaria filaria
Nama lokal: Age (Sorong), lason (Seram)
Ciri-ciri :
- Pohon ini dapat mencapai tinggi 17 meter dengan
diameter 50 cm. Percabangan muda berwarna coklat
cerah, berbulu halus sampai kasar.
- Daun berbentuk oblong sampai lanset berukuran 10-20 x
3-5,5 cm. Pangkal daun tumpul sampai membaji, ujung
daun sedikit meruncing. Pertulangan daun timbul dan
nampak jelas pada bagian bawah permukaan daun,
panjang tangkai daun 3-5 mm.
- Bunga berwarna hijau kekuningan atau putih berbentuk
tabung dengan panjang 5-6,5 mm. Panjang tangkai bunga
2-5 mm dan berbulu halus.
- Buah berukuran 1,25-1,5 x 1,25 cm berbentuk elip sampai
oval atau agak bundar sedikit pipih (gepeng) dan berkerut.
- Biji bentuk delta, cembung dan berwarna hitam berukuran
7,5 x 7,5 mm.

6. Aquilaria crassna
Aquilaria crassna merupakan tumbuhan penghasil gaharu
endemik dari Kamboja, Laos, Thailand dan Vietnam. Jenis ini
sudah mulai ditanam di beberapa daerah di Indonesia.
Ciri-ciri :
- Pohon setinggi 30-40 m dengan diameter batang 40-50 cm
(Anonim, 2004).
- Bunga kecil berwarna kuning pucat. Buah obovoid
berukuran 3-4 cm, kulit luar sedikit berkerut (Kiet, 2005),
buah berbulu halus berwarna kuning keabu-abuan.
Kelopak besar dan panjang melebihi seperempat dari
panjang buah.

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 77
Daftar Pustaka
Anonim, 2004. Cambodia Tree Species, Monograph. Forestry
Administration. Cambodia.
Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Jilid III. Badan Litbang
Departemen Kehutanan. Jakarta.
Kiet, L.C., P. J.A.Kessler, dan M. Eurling. 2005. A new species of
Aquilaria (Thymelaeaceae) from Vietnam. BLUMEA : 50,
135-141. National Herbarium Netherland.
Mucharromah. 2010. Mengenal Gaharu dan Proses
Pembentukannya. Badan Penerbitan Fakultas Pertanian
Universitas Bengkulu. Bengkulu.
Siran, S.A. 2010. Pengembangan Teknologi Produksi Gaharu
Berbasis Pemberdayaan Masyarakat Sekita Hutan:
Perkembangan Pemanfaatan Gaharu. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor.
Steenis, C.G.G.J.V. 1960. Flora Malesiana: Thymelaeaceae vol.6,
ser.1. Biodiversity Heritage Library.http//
biodiversitylibrary.org. Date: 20/6/2013.

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


78 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
B UDIDAYA GAHARU DENGAN
5
SILVIKULTUR INTENSIF
Atok Subiakto
Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi

Pendahuluan
Pengembangan tanaman gaharu umumnya tidak bertujuan
untuk menghasilkan kayu, melainkan ditujukan untuk
menghasilkan resin gaharu yang terbentuk dari respon tanaman
akibat infeksi mikroba, khususnya jamur Fusarium sp.,
Cylindrocarpon sp., Trichoderma sp., Pythium sp., Phialophora
sp., dan Popullaria sp. (Santoso et al., 2007; Daijo and Oller,
2001; Parman et al., 1996; Sidiyasa dan Suharti, 1987). Di alam,
kurang dari 5% gaharu terbentuk dari populasi pohon dan bila
terbentuk biasanya kurang dari 10% biomas kayu pada pohon
yang terinfeksi. Namun, gaharu alam dapat mencapai kualitas
tertinggi (kelas super) yang harganya bisa mencapai Rp 30
juta/kg. Karena potensi harga yang sangat tinggi, eksploitasi
gaharu alam dilakukan tanpa mengindahkan kelestariannya.
Akibatnya populasi jenis-jenis gaharu menyusut tajam, sehingga
jenis ini dimasukkan dalam Appendix II CITES (Santoso et al.,
2007). Konsekuensinya, dalam perdagangan resmi, gaharu harus
dihasilkan dari pohon hasil budidaya, bukan dari alam.

Budidaya gaharu memerlukan input iptek agar pertumbuhan dan


produksi resin gaharu dapat optimal. Dukungan iptek yang
dimaksud berkaitan dengan aspek pembibitan dan penyuntikan
stimulan gaharu. Pembahasan tulisan ini difokuskan pada aspek
pembibitan atau perbanyakan bibit pohon penghasil gaharu.

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 79
Perbanyakan bibit pohon penghasil gaharu dapat dilakukan, baik
secara generatif maupun vegetatif. Biji pohon penghasil gaharu
tergolong rekalsitran (Hou, 1960). Biji rekalsitran umumnya
cepat berkecambah dan tidak dapat disimpan dalam jangka
panjang (Roberts and King, 1980). Penerapan perbanyakan
vegetatif dan pemuliaan pohon berpotensi untuk menghasilkan
bibit klon gaharu yang memiliki keunggulan, baik pertumbuhan
maupun produktivitas resin gaharunya.

Proyek ITTO PD 425/06 berupaya untuk mengembangkan dan


menerapkan iptek pada penanaman pohon penghasil gaharu
agar pertumbuhan dan produktivitas resin gaharunya tinggi.
Namun informasi iptek mengenai teknik perbenihan dan teknik
perbanyakan vegetatif gaharu masih sangat terbatas. Tulisan ini
menyajikan hasil penelitian berkaitan dengan aspek perbenihan
dan perbanyakan stek gaharu.

Metode
A. Perbanyakan Generatif

Pengujian pada perbanyakan generatif dilakukan pada benih


(biji) dan cabutan (anakan alam). Benih pohon penghasil gaharu
yang digunakan pada uji penyimpanan dan daya kecambah benih
adalah campuran Aquilaria microcarpa dan A. malacensis asal
Sukabumi. Perlakuan pada uji penyimpanan benih adalah waktu
(0, 2, 4, 6, dan 8 minggu) dan temperatur penyimpanan (25,4-
26,1o C dan 4,9-6,5o C). Pengujian dilakukan menggunakan
rancangan acak lengkap dengan 5 ulangan.

Bibit cabutan yang digunakan dalam uji waktu simpan cabutan


adalah campuran Aquilaria microcarpa dan A. malacensis.
Perlakuan pada uji waktu simpan bibit cabutan adalah tiga waktu
simpan (1, 2, dan 3 hari penyimpanan) serta kondisi penyapihan
(dalam sungkup dan tanpa sungkup). Pengujian dilakukan
menggunakan rancangan acak lengkap dengan 5 ulangan.

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


80 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
B. Perbanyakan Vegetatif

Teknik perbanyakan vegetatif yang digunakan pada penelitian ini


adalah teknik stek pucuk. Penelitian dilakukan pada rumah kaca
yang menggunakan sistem pendingin kabut KOFFCO system
(Sakai dan Subiakto, 2007; Subiakto dan Sakai, 2007). Bahan stek
yang digunakan pada pengujian ini adalah A. malacensis. Uji
produksi bibit stek gaharu dilakukan dalam tiga tahap. Perlakuan
pada pengujian pertama menggunakan prosedur rutin, yaitu
media campuran serbuk kulit kelapa dan sekam padi dengan
perbandingan 2 : 1. Penyiraman 2 kali seminggu. Pada pengujian
kedua perlakuan intensitas penyiraman dikurangi menjadi sekali
seminggu dengan media arang sekam. Pada pengujian ketiga,
media menggunakan campuran serbuk kulit kelapa dan sekam
padi dengan perbandingan 1 : 1 dan intensitas penyiraman 1 kali
pada bulan pertama, 2 kali pada bulan kedua, dan 3 kali pada
bulan ketiga.

Hasil dan Pembahasan


A. Perbanyakan Generatif

Biji gaharu tergolong rekalsitran, sehingga harus secepatnya


dikecambahkan. Uji penyimpanan benih dilakukan untuk
mengetahui seberapa lama benih gaharu dapat disimpan. Hasil
uji pengecambahan biji dari dua kondisi penyimpanan disajikan
pada Tabel 5.1 dan Tabel 5.2. Kondisi penyimpanan (kondisi
ruang dan dalam refrigerator) tidak secara nyata mempengaruhi
perkecambahan benih (P Anova = 0,0993). Di lain pihak, periode
penyimpanan mempengaruhi persen kecambah benih (P Anova =
< 0,0001).

Secara teknis pengecambahan biji gaharu mudah dilakukan,


media tabur dapat menggunakan arang sekam atau zeolit. Dalam
pengujian ini, media kecambah yang digunakan adalah arang
sekam padi. Pada jenis-jenis biji rekalsitran seperti meranti,

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 81
penaburan biji dilakukan segera setelah buah yang masak dan
jatuh. Pada jenis gaharu, penyimpanan pada kondisi ruang
selama 2 bulan masih dapat menghasilkan kecambah dengan
tingkat keberhasilan 48%.

Tabel 5.1. Persen kecambah dari hasil uji penyimpanan biji

Periode simpan Kondisi ruang (%) Refrigerator (%)


Langsung 82 -
2 minggu 69 69
4 minggu 77 69
6 minggu 56 61
8 minggu 48 24

Perkecambahan umumnya dimulai pada minggu kedua dan


persen jadi bibit dihitung pada minggu keenam setelah
penaburan. Pada Tabel 5.2 tampak ada penurunan antara
persen berkecambah dan persen jadi bibit. Penurunannya
cenderung lebih besar bila bibit disimpan dalam jangka waktu
yang lebih lama. Oleh sebab itu, pengecambahan harus
dilakukan segera setelah pengunduhan buah untuk
mendapatkan persen jadi bibit yang tinggi.

Tabel 5.2. Persen jadi bibit (6 minggu setelah penaburan) dari hasil uji
penyimpanan biji

Periode simpan Kondisi ruang (%) Refrigerator (%)


Langsung 74 -
2 minggu 50 54
4 minggu 64 58
6 minggu 37 48
8 minggu 29 9

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


82 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Perbanyakan generatif dapat pula dilakukan dengan
menggunakan bibit yang diperoleh dari cabutan di bawah pohon
induknya. Pada pengujian penanaman cabutan digunakan bibit
gaharu berukuran tinggi 7 cm dan kotiledonnya telah luruh. Hasil
uji penanaman cabutan disajikan pada Tabel 5.3. Penggunaan
sungkup meningkatkan secara nyata persen tumbuh bibit
cabutan (P Anova = < 0,0001).

Tabel 5.3. Persen tumbuh bibit cabutan dari uji penyimpanan dan
kondisi tanam bibit
Periode simpan
Dalam sungkup (%) Tanpa sungkup (%)
(hari)
0 80 40
1 76 46
2 87 24
3 76 38

Umumnya, bibit cabutan yang masih memiliki kotiledon dapat


langsung ditanam dalam kantong plastik tanpa penyungkupan.
Namun bila kotiledon telah luruh, maka penanaman bibit
cabutan harus melalui tahap penyungkupan. Sungkup dapat
dibuat dari plastik PVC transparan dan penyungkupan harus
rapat agar kelembaban dalam sungkup dapat dijaga pada level di
atas 95%. Hasil pengujian ini membuktikan bahwa kelembaban
tinggi di dalam sungkup mempengaruhi keberhasilan
penanaman bibit cabutan. Penyimpanan bibit cabutan selama
tiga hari masih memberikan hasil yang cukup baik (76%) bila
penanamannya menggunakan sungkup.

B. Perbanyakan Vegetatif

Uji produksi stek gaharu dilakukan dengan menggunakan


teknologi KOFFCO system yang dikembangkan oleh Badan
Litbang Kehutanan dan Komatsu (Sakai dan Subiakto, 2007;
Subiakto dan Sakai, 2007). Teknologi ini mengatur kondisi

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 83
lingkungan, yaitu cahaya, kelembaban, temperatur, dan media
pada tingkat optimal bagi pertumbuhan (Sakai et al., 2002). Hasil
uji produksi stek gaharu disajikan pada Tabel 5.4.

Tabel 5.4. Persen berakar stek dari rangkaian uji produksi stek

Persen
Tahapan
Spesies Perlakuan berakar
riset
(%)
1 A. crassna Tanpa pot-tray, siram 3 kali 40
seminggu, media cocopeat :
sekam = 2:1
1 A. crassna Dengan pot-tray, siram 3 kali 42
seminggu, media coc-peat :
sekam = 2:1
1 A. microcarpa Tanpa pot-tray, siram 3 kali 44
seminggu, media cocopeat :
sekam = 2:1
1 A. microcarpa Dengan pot-tray, siram 3 kali 47
seminggu, media cocopeat :
sekam = 2:1
2 Campuran Media sekam bakar, siram 1 17
A. crassna dan kali seminggu
A. microcarpa
2 Campuran Media pasir, siram 1 kali 31
A. crassna dan seminggu
A. microcarpa
2 Campuran Media zeolit, siram 1 kali 55
A. crassna dan seminggu
A. microcarpa
3 Campuran Media cocopeat : sekam = 1:1, 53
A. crassna dan siram 1 kali seminggu
A. microcarpa
3 Campuran Media cocopeat : sekam = 1:1, 69
A. crassna dan siram 2 kali seminggu
A. microcarpa
3 Campuran Media cocopeat : sekam = 1:1, 49
A. crassna dan siram 3 kali seminggu
A. microcarpa

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


84 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Uji produksi stek dilakukan dalam tiga tahap penelitian. Pada
tahap pertama digunakan prosedur baku pembuatan stek.
Perlakuannya adalah jenis dan wadah tanam (tabur) stek. Rata-
rata persen jadi stek pada uji tahap pertama berkisar antara 40-
47%. Pembuatan stek dinilai dapat diusahakan secara ekonomis
bila persen jadi mencapai 70% (Subiakto dan Sakai, 2007).
Perlakuan jenis tidak menunjukkan perbedaan nyata (P Anova =
0,6600) dalam persen jadi stek. Demikian pula perlakuan wadah
tanam tidak menunjukkan perbedaan nyata (P Anova = 0,8276)
dalam persen jadi stek. Mengingat persen jadi stek masih di
bawah 70%, maka dilakukan pengujian lebih lanjut.

Pada pengujian tahap kedua, penyiraman dikurangi menjadi satu


kali seminggu, adapun perlakuan yang diuji adalah tiga jenis
media (arang sekam padi, pasir, dan zeolit). Hasil pengujian
menunjukkan media berpengaruh secara nyata (P Anova =
0,0083) terhadap persen jadi stek. Media terbaik adalah zeolit,
namun persen berakar masih di bawah 70%. Zeolit merupakan
media dengan porositas yang baik dan tidak ditumbuhi oleh
cendawan atau pun alga. Karena zeolit adalah media yang berat
dan relatif lebih mahal, maka perlu dicoba media lain yang
memiliki tingkat porositas relatif sama dengan zeolit.

Pada pengujian ketiga digunakan media campuran cocopeat dan


sekam padi yang telah disteril. Perlakuan yang diuji adalah
tingkat penyiraman (1 kali seminggu, 2 kali seminggu, dan 3 kali
seminggu). Hasil pengujian menunjukkan bahwa pada tingkat
kepercayaan 5%, penyiraman berpengaruh secara nyata
terhadap persen berakar stek (P Anova = 0,0210). Penyiraman
terbaik adalah dua kali seminggu dengan persen berakar 69%.
Efek dari penyiraman adalah menyebabkan jenuhnya media dan
meningkatkan pertumbuhan cendawan, termasuk cendawan
pembusuk.

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 85
Kesimpulan
Persen kecambah terbaik diperoleh dari benih yang langsung
dikecambahkan setelah pengunduhan. Namun dengan
mengantisipasi penurunan daya kecambah, benih masih dapat
disimpan selama dua bulan. Benih gaharu tidak perlu disimpan
dalam refrigerator, cukup disimpan pada suhu ruangan.
Penanaman bibit cabutan menggunakan sungkup menghasilkan
persen tumbuh lebih baik dibandingkan bila tidak menggunakan
sungkup.

Media terbaik untuk penyetekan gaharu adalah campuran antara


serbuk kulit kelapa (cocopeat) dan sekam padi dengan
perbandingan 1 : 1. Penyiraman terbaik dilakukan dua kali dalam
seminggu. Pembuatan stek gaharu tersebut dilaksanakan pada
rumah kaca dengan KOFFCO system.

Daftar Pustaka
Daijo, V. dan D. Oller. 2001. Scent of Earth. URL:http://store
.yahoo.com/scent-of-earth/alag.html (diakses : 5 Febuari
2001).
Hou, D. 1960. Thymelaceae. In : Flora Malesiana (Van Steenis,
C.G.G.J., ed). Series I, Vol. 6. Walter-Noodhoff,
Groningen. The Netherland. p. 1-15.
Parman, T., Mulyaningsih, dan Y. A. Rahman. 1996. Studi Etiologi
Gubal Gaharu Pada Tanaman Ketimunan. Makalah Temu
Pa-kar Gaharu di Kanwil Dephut Propinsi NTB. Mataram.
Sakai, C. and A. Subiakto. 2007. Pedoman Pembuatan Stek Jenis-
jenis Dipterokarpa dengan KOFFCO System. Badan
Litbang Kehutanan, Komatsu, JICA. Bogor.

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


86 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Sakai, C., A. Subiakto, H. S. Nuroniah, dan N. Kamata. 2002. Mass
Propagation Method from The Cutting of Three
Dipterocarps Species. J. For. Res. 7:73-80.
Santoso, E., A. W. Gunawan, dan M. Turjaman. 2007. Kolonisasi
Cendawan Mikoriza Arbuskula pada Bibit Tanaman
Penghasil Gaharu Aquilaria microcarpa. J. Pen. Htn & KA.
IV-5 : 499-509.
Sidiyasa, K. dan M. Suharti. 1987. Jenis-Jenis Tumbuhan
Penghasil Gaharu. Makalah Utama Diskusi Pemanfaatan
Kayu Kurang Dikenal. Cisarua, Bogor.
Subiakto, A. dan C. Sakai. 2007. Manajemen Persemaian KOFFCO
System. Badan Litbang Kehutanan, Komatsu, JICA. Bogor.
Roberts, E. H. and M. W. King. 1980. The Characteristic of Re-
calcitrant Seeds. In : Recalcitran Crop Seeds (Chin, H. F.,
and Roberts, E. H., eds). Tropical Press SDN. BHD. Kuala
Lumpur, Malaysia. 1-5.
Turjaman, M., Y. Tamai, and E. Santoso. 2006. Arbuscular My-
corrhizal Fungi Increased Early Growth of Two Timber
Forest Product Species Dyera polyphylla and Aquilaria
filaria Under Greenhouse Conditions. Mycorrhiza 16 :
459-464.

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 87
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,
88 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
K ARAKTERISTIK TEMPAT TUMBUH
6
GAHARU
Pratiwi
Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam

Pendahuluan
Gaharu merupakan salah satu hasil hutan non kayu yang
mempunyai nilai penting, karena secara ekonomis jenis ini dapat
meningkatkan devisa negara dan sumber penghasilan bagi
masyarakat yang hidup di dalam maupun sekitar hutan. Gaharu
merupakan salah satu kayu aromatik penting, sehingga hasil
hutan non kayu ini menjadi subjek pemanenan yang cukup
tinggi. Ada beberapa jenis tumbuhan yang dapat menghasilkan
gaharu. Awalnya, gaharu berasal dari pohon tropika yang
terinfeksi jamur, seperti Aquilaria spp., Gonystylus spp.,
Wikstromeae spp., Enkleia spp., Aetoxylon spp., dan Gyrinops
spp. (Chakrabarty et al., 1994, Sidiyasa et al., 1986). Dalam
penulisan ini, fokus bahasan dilakukan terhadap karakteristik
tempat tumbuh jenis-jenis pohon dari genus Aquilaria, yaitu A.
malaccensis dan A. microcarpa. Genus ini termasuk dalam famili
Thymelaeaceae. Mengingat jenis pohon ini mempunyai nilai
ekonomi tinggi, maka keberadaan jenis perlu dipertahankan.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan
mengembangkan tanaman gaharu dalam hutan tanaman di
beberapa area. Oleh karena itu, beberapa informasi sehubungan
dengan habitat pohon penghasil gaharu perlu diinventarisasi,
termasuk sifat-sifat tanah dan komposisi vegetasi tumbuhan
bawah yang ada di sekitarnya, agar kemampuan lahannya dapat
diketahui.
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,
Teknologi Badan Litbang Kehutanan 89
Tanah sebagai bagian dari suatu ekosistem merupakan salah satu
komponen penyangga kehidupan, di samping air, udara, dan
energi matahari. Pratiwi dan Mulyanto (2000) serta Jenny (1941)
menyebutkan bahwa tanah merupakan hasil proses pelapukan
batuan yang dipengaruhi oleh faktor-faktor iklim, topografi,
organisme, dan waktu. Sifat-sifat tanah yang spesifik
mempengaruhi komposisi vegetasi yang ada di atasnya (Pratiwi,
1991). Selanjutnya Pratiwi dan Mulyanto (2000) menyatakan
bahwa penyebaran tumbuhan, jenis tanah, dan iklim (termasuk
iklim mikro) harus dipertimbangkan sebagai bagian dari
ekosistem yang terintegrasi. Sepanjang komponen tanah
bervariasi, maka tanah dan karakteristiknya akan berbeda-beda
dari satu tempat ke tempat lain. Tanah yang berbeda dengan
sistem lingkungan yang bervariasi akan menentukan vegetasi
yang ada di atasnya.

Sehubungan dengan hal tersebut, penelitian telah dilakukan


dengan tujuan untuk mendapatkan informasi tentang sifat-sifat
habitat pohon penghasil gaharu di hutan tanaman gaharu di
daerah Carita, Dramaga, dan Sukabumi. Penelitian dilakukan
dengan membuat plot-plot penelitian untuk pengamatan sifat-
sifat tanah dan topografi serta vegetasi. Informasi ini diharapkan
dapat mendukung pengembangan hutan tanaman pohon
penghasil gaharu, sehingga keberadaan jenis ini dapat
dilestarikan, sebagaimana juga diharapkan dapat meningkatkan
pendapatan dan kesejahteraan masyarakat.

Metodologi
A. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan September 2008 di Carita,


Dramaga, dan Sukabumi. Secara administrasi pemerintahan,
Carita terletak di Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten
sedangkan Dramaga terletak di Kabupaten Bogor, Jawa Barat
serta Sukabumi di Provinsi Jawa Barat.
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,
90 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Carita memiliki topografi bergelombang sampai bergunung
dengan tipe curah hujan A (Schmidt dan Ferguson, 1951) dan
curah hujan tahunan sekitar 3.959 mm. Temperatur minimum
sekitar 26o C dan temperatur maksimum 32o C. Kelembaban
udara rata-rata berkisar antara 77% sampai 85% (Pusat Litbang
Hutan dan Konservasi Alam, 2005). Dramaga mempunyai
topografi datar sampai bergelombang dengan tipe curah hujan A
(Schmidt dan Ferguson, 1951) dan curah hujan sekitar 3.600 mm
per tahun. Temperatur udara bervariasi antara 24o C sampai 30o
C. Kelembaban udara rata-rata berkisar antara 80% sampai 90%.
Sementara itu, Sukabumi mempunyai topografi bergelombang
sampai berbukit dengan tipe curah hujan A (Schmidt dan Fer-
guson, 1951) dan curah hujan sekitar 3.000 mm per tahun.
Temperatur udara bervariasi antara 20o C sampai dengan 25o C .

B. Bahan dan Alat Penelitian

Sebagai bahan penelitian adalah contoh tanah yang diambil


dalam plot penelitian di Carita, Dramaga, dan Sukabumi. Jumlah
contoh tanah yang diambil di masing-masing lokasi adalah
sebanyak 6 sampel. Bahan lain adalah berupa data hasil analisis
vegetasi untuk tingkat semai (termasuk tumbuhan bawah).
Sedangkan alat yang dipakai dalam penelitian lapangan adalah
alat-alat tulis, alat-alat survei lapangan seperti bor tanah,
Munsell Color Chart, cangkul, dan meteran.

C. Metode Penelitian

Penelitian dilakukan dengan membuat plot-plot penelitian untuk


pengamatan sifat-sifat tanah, topografi, dan vegetasi.
Pengamatan terhadap sifat-sifat tanah dan topografi dilakukan di
dalam plot yang sama dengan pengamatan vegetasi.

1. Pengambilan Contoh Tanah


Plot dibuat di area yang telah dipilih berdasarkan peta tanah
Jawa dan Madura pada skala 1:500.000 (Lembaga Penelitian
Tanah, 1962). Contoh tanah diambil dari setiap horizon yang

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 91
telah diidentifikasi untuk dianalisis di laboratorium. Dua
macam contoh tanah yang diambil adalah contoh tanah
terganggu untuk analisis sifat-sifat fisik dan kimia tanah, serta
contoh tanah tidak terganggu untuk pengamatan sifat fisik
tanah (porositas dan berat jenis tanah). Sifat-sifat tanah yang
dianalisis, meliputi: a) sifat fisik yaitu tekstur, berat jenis,
porositas, permeabilitas, dan sifat kimia yaitu pH H2O, Corg,
Ntotal, ketersediaan P, K, Na, Ca, Mg, KB, KTK, Al, dan H+
(sifat kimia) (Blackmore et al., 1981).

Contoh tanah komposit diambil pada kedalaman 0-30 cm, 30-


60 cm, dan > 60 cm di setiap lokasi penelitian. Pada setiap
kedalaman tanah, contoh tanah diambil pada 20 titik yang
tersebar di masing-masing horizon. Kemudian contoh tanah
dicampur sesuai kedalamannya. Total tanah komposit yang
dikumpulkan dari masing-masing lokasi adalah enam contoh
(tiga untuk analisis sifat fisik tanah dan tiga untuk analisis sifat
kimia tanah). Dengan demikian ada 18 contoh tanah yang
dikumpulkan.

2. Pengamatan Vegetasi
Pengamatan vegetasi dilakukan terhadap seluruh vegetasi
yang ada dalam plot, yaitu pada tingkat pohon, belta, dan
semai. Kriteria pohon adalah tumbuhan dengan diameter
setinggi dada (1,3 m)>10 cm. Sedangkan belta merupakan
tumbuhan dengan diameter setinggi dada (1,3 m) antara 2 cm
hingga < 10 cm dan semai merupakan permudaan dari
kecambah hingga tinggi < 1,5 m (Kartawinata et al., 1976).
Plot-plot contoh berukuran 20 m x 20 m dibuat untuk
pengamatan pohon dengan interval 20 m pada jalur
sepanjang satu km. Sementara, pengamatan belta dilakukan
dengan membuat petak berukuran 10 m x 10 m di sepanjang
jalur tersebut dengan interval 10 m. Seluruh jenis pohon dan
belta dihitung dan diukur diameternya. Tingkat semai dan
tumbuhan bawah diamati dengan cara membuat petak 1 m x
1 m di dalam jalur pengamatan pohon dan belta. Seluruh

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


92 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
semai dan tumbuhan bawah yang ada dicatat dan dihitung
jumlahnya.

Pengamatan vegetasi dilakukan terhadap semai dan


tumbuhan bawah yang ada di bawah tegakan/pohon
penghasil gaharu. Kriteria semai adalah permudaan jenis
tumbuhan berkayu dari kecambah sampai tinggi < 1,5 m
(Kartawinata et al., 1976).

Plot-plot berukuran 1 m x 1 m diletakkan pada jalur


pengamatan vegetasi di dalam plot tegakan/pohon penghasil
gaharu. Pada masing-masing lokasi, jalur dibuat sebanyak tiga
buah masing-masing sepanjang 100 m. Seluruh semai dan
tumbuhan bawah yang ada dalam plot dicatat nama
daerahnya, dihitung jumlahnya dan diukur luas penutupan
tajuknya. Jenis yang diperoleh kemudian dibuat spesimen
herbariumnya untuk diidentifikasi di laboratorium Botani dan
Ekologi Hutan, P3HKA, Bogor.

D. Analisis Data

Sifat-sifat fisik dan kimia tanah dihitung sesuai dengan formula


pada standar prosedur dari setiap karakteristik tanah, kemudian
ditabulasi untuk setiap horizon.

Untuk vegetasi, data yang diperoleh ditentukan spesies


dominannya dengan menghitung nilai penting sesuai dengan
rumus yang dikemukakan oleh Kartawinata et al. (1976). Spesies
dominan merupakan spesies yang mempunyai nilai penting
tertinggi di dalam tipe vegetasi yang bersangkutan. Indeks
kesamaan jenis dihitung dengan menggunakan rumus Sorensen
(Mueller-Dumbois and Ellenberg, 1974), yaitu:

2w
SI
ab

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 93
Dimana :
SI = Similarity Index
w = Jumlah dari nilai penting terkecil untuk jenis yang sama yang
ditemukan pada dua komunitas yang dibandingkan (A dan B)
a = Jumlah nilai penting dari semua jenis yang ada di komunitas A
b = Jumlah nilai penting dari semua jenis yang ada di komunitas B

Hasil dan Pembahasan


A. Karakteristik Tanah di Daerah Penelitian

Karakteristik tanah sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor


pembentukan tanah dan sifat-sifat tanah.

1. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Tanah di


Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di tiga lokasi, yaitu Carita, Dramaga, dan
Sukabumi. Topografi di daerah Carita bergelombang sampai
bergunung, sedangkan di Dramaga datar sampai
bergelombang dan di Sukabumi bergelombang sampai
berbukit.

Bahan induk tanah Carita adalah dari Gunung Danau,


sedangkan Dramaga dan Sukabumi masing-masing dari
Gunung Salak dan Gede Pangrango. Vulkanik material dari
lokasi-lokasi ini memiliki sifat andesitik. Ini berarti bahan
induk daerah ini kaya akan mineral-mineral ferro-magnesium
dan beberapa mineral sebagai sumber elemen basa. Tipe
mineral-mineral ini sangat dipengaruhi oleh sifat-sifat tanah,
khususnya sifat fisik dan kimia.

Penggunaan lahan di ketiga lokasi penelitian adalah hutan


tanaman pohon penghasil gaharu. Di Carita, jenis yang
ditanam adalah Aquilaria microcarpa, dengan areal sekitar 5
ha dan dibangun pada tahun 1998 dengan total 346 pohon.
Pohon penghasil gaharu ditanam bersama dengan tanaman
lain, umumnya pohon serbaguna seperti pete (Parkia

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


94 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
speciosa), melinjo (Gnetum gnemon), nangka (Artocarpus
integra), durian (Durio zibethinus) dan sebagainya. Ketinggian
daerah ini sekitar 100 meter di atas permukaan laut.
Sementara itu, lokasi di Dramaga dan Sukabumi, gaharu
ditanam secara monokultur dan ditanam masing-masing
tahun 1993 dan 1999. Spesies yang ditanam adalah Aquilaria
crassna dan A. microcarpa di Darmaga dan A. microcarpa di
Sukabumi.

2. Sifat-Sifat Tanah
a. Sifat Fisik Tanah
Sifat fisik tanah, antara lain berkaitan dengan tekstur, berat
jenis, porositas, dan permeabilitas. Hasil penelitian sifat-sifat
fisik tanah disajikan pada Tabel 6.1, Tabel 6.2, dan Tabel 6.3.
Pada tabel tersebut terlihat bahwa ketiga lokasi penelitian
memiliki sifat-sifat fisik tanah yang relatif sama. Data analisis
tekstur tanah menunjukkan bahwa tanah di semua lokasi
penelitian memiliki kelas tekstur liat. Hal ini mengindikasikan
bahwa partikel tanah yang dominan adalah fraksi liat.
Implikasi dari kelas tekstur ini adalah retensi air dan hara
pada tanah ini relatif bagus. Dari data tekstur tanah dapat
dilihat juga bahwa tanah di dalam profil menunjukkan adanya
akumulasi liat. Ini berarti seluruh tanah di lokasi penelitian
memiliki sub horizon argilik.

Tabel 6.1. Sifat-sifat fisik tanah di lokasi penelitian Dramaga

Sifat fisik
Kedalaman Tekstur
Berat Porositas
(cm) Pasir Debu Liat Kelas
Jenis (%)
(%) (%) (%) tekstur
0-30 8,33 25,10 66,57 Liat
30-60 8,55 22,10 69,35 Liat
> 60 6,01 36,51 57,48 Liat
0 0,90 65,86
30 0,87 66,99
60 0,96 63,85

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 95
Tabel 6.2. Sifat-sifat fisik tanah di lokasi penelitian Carita

Sifat fisik
Kedalaman Tekstur
Berat Porositas
(cm) Pasir Debu Liat Kelas
Jenis (%)
(%) (%) (%) tekstur
0-30 8,33 12,59 79,08 Liat
30-60 6,33 11,98 81,69 Liat
> 60 5,13 9,09 85,78 Liat
0 0,93 64,99
30 0,84 68,45
60 0,90 66,21

Tabel 6.3. Sifat-sifat fisik tanah di lokasi penelitian Sukabumi

Sifat fisik
Kedalaman Tekstur
Berat Porositas
(cm) Pasir Debu Liat Kelas
Jenis (%)
(%) (%) (%) tekstur
0-30 12,78 18,73 68,49 Liat
30-60 9,95 5,90 84,15 Liat
> 60 11,54 26,37 62,09 Liat
0 0,97 63,43
30 0,86 67,59
60 0,83 68,75

Berat jenis (BD) tanah di semua lokasi penelitian kurang dari 1


tetapi lebih dari 0,8. Hal ini menunjukkan bahwa tanah di
lokasi penelitian berkembang dari material vulkanik tuff.

Tanah yang memiliki horizon argilik dapat diklasifikasikan


sebagai alfisol atau ultisol tergantung kejenuhan basanya
(KB). Tanah di Carita dan Dramaga memiliki KB kurang dari
50% (Tabel 6.4, Tabel 6.5, dan Tabel 6.6). Oleh sebab itu,
tanah ini diklasifikasikan sebagai ultisol. Sedangkan tanah di

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


96 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
lokasi penelitian Sukabumi memiliki KB lebih dari 50%
sehingga diklasifikan sebagai alfisol.

Tabel 6.4. Sifat-sifat kimia tanah di lokasi penelitian Dramaga

Horizon 1 Horizon 2 Horizon 3


Sifat-sifat kimia
(0-30 cm) (30-60 cm) (>60 cm)
pH H2O 1:1 4,70 (Rendah) 4,60 (Rendah) 4,50 (Rendah)
C org (%) 1,43 (Rendah) 1,03 (Rendah) 1,03 (Rendah)
N-total (%) 0,15 (Rendah) 0,12 (Rendah) 0,11(Rendah)
P Bray (ppm) 1,7 (Sangat 1,3 (Sangat 1,7 (Sangat
rendah) rendah) rendah)
NH4OAc pH 7
(me/100 gr):
Ca 5,29 (Medium) 4,17 (Rendah) 5,32 (
Medium)
Mg 1,19 ( Medium) 1,09 (Medium) 1,70(Medium)
K 0,44 (Medium) 0,44 (Medium) 0,58 (Tinggi)
Na 0,30 (Rendah) 0,26 (Rendah) 0,26 (Rendah)
KTK 17,75 (Medium) 16,61 (Medium) 16,99
(Medium)
KB (%) 40,68 (Medium) 35,88 (Medium) 46,26
(Medium)
KCl (me/100 gr):
Al 3,72 (Sangat 4,16 (Sangat 4,90 (Sangat
rendah) rendah) rendah)
H 0,33 0,36 0,41
0,05 N HCl
(ppm):
Fe 2,04 1,80 1,48
Cu 3,44 2,64 2,40
Zn 5,24 4,88 5,28
Mn 85,60 88,01 79,20

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 97
Tabel 6.5. Sifat-sifat kimia tanah di lokasi penelitian Carita

Sifat-sifat Horizon 1 Horizon 2 Horizon 3


kimia (0-30 cm) (30-60 cm) (>60 cm)
pH H2O 1:1 4,60 (Rendah) 4,50 (Rendah) 4,60 (Rendah)
C org (%) 2,31 (Medium) 1,51 (Rendah) 0,71 (Sangat
rendah)
N-total (%) 0,17 (Rendah) 0,14 (Rendah) 0,08 (Sangat
rendah)
P Bray (ppm) 1,70 (Sangat 1,20 (Sangat 1,20 (Sangat
rendah) rendah) rendah)
NH4OAc pH 7
(me/100 gr):
Ca 1,49 (Sangat 1,01 (Sangat 1,00 (Sangat
rendah) rendah) rendah)
Mg 0,75 (Rendah) 0,53 (Rendah) 0,52 (Rendah)
K 0,16 (Rendah) 0,14 (Rendah) 0,13 (Rendah)
Na 0,20 (Rendah) 0,22 (Rendah) 0,21 (Rendah)
KTK 15,77 (Rendah) 13,11 (Rendah) 13,03 (Rendah)
KB (%) 16,49 (Sangat 14,49 (Sangat 14,27 (Sangat
rendah) rendah) rendah)
KCl
(me/100 gr):
Al 5,84 (Rendah) 7,36 (Rendah) 6,40 (Rendah)
H 0,49 0,53 0,45
0,05 N HCl
(ppm):
Fe 1,72 1,00 1,04
Cu 1,64 1,68 1,52
Zn 3,00 2,60 2,80
Mn 28,48 17,08 16,40

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


98 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Tabel 6.6. Sifat-sifat kimia tanah di lokasi penelitian Sukabumi

Sifat-sifat Horizon 1 Horizon 2 Horizon 3


kimia (0-30 cm) (30-60 cm) (>60 cm)
pH H2O 1:1 5,10 (Rendah) 5,10 (Rendah) 4,60 (Rendah)
C org (%) 1,60 (Rendah) 2,07 (Medium) 1,01 (Rendah)
N-total (%) 0,15 (Rendah) 0,18 (Rendah) 0,11 (Rendah)
P Bray (ppm) 3,90 (Sangat 3,70 (Sangat 3,40 (Sangat
rendah) rendah) rendah)
NH4OAc pH 7
(me/100 gr):
Ca 16,98 (Tinggi) 16,99 (Tinggi) 14,64 (Tinggi)
Mg 10,52 (Sangat 10,94 (Sangat 10,05 (Sangat
tinggi) tinggi) tinggi)
K 0,71 (Tinggi) 0,40 (Medium) 0,22 (Rendah)
Na 0,36 (Medium) 0,43 (Medium) 0,22 (Rendah)
KTK 41,07 (Sangat 36,48 (Tinggi) 39,35 (Tinggi)
tinggi)
KB (%) 69,56 (Tinggi) 78,84 (Sangat 63,86 (Tinggi)
tinggi)
KCl
(me/100 gr):
Al 2,32 (Sangat 2,76 (Sangat 6,40 (Rendah)
rendah) rendah)
H 0,25 0,30 0,42
0,05 N HCl
(ppm):
Fe 0,52 0,36 0,32
Cu 1,20 1,12 1,44
Zn 1,40 1,56 1,56
Mn 17,00 22,12 26,36

Data porositas tanah menunjukkan bahwa di semua lokasi


penelitian, porositas tanah di horizon permukaan lebih
rendah daripada di bagian bawahnya. Informasi ini
menunjukkan bahwa terjadi fenomena pemadatan tanah (soil
compaction) karena adanya injakan (trampling) dan mungkin

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 99
adanya jatuhan butir-butir hujan dari batang pohon (stem
fall).

Sementara itu, berat jenis tanah di tiga kedalaman kurang


dari satu. Hal ini menunjukkan bahwa tanah ini mempunyai
sifat andik, sehingga tanah di lokasi penelitian termasuk
dalam ordo andisol dalam sistem taksonomi tanah (Soil
Survey Staff, 1994).

Porositas di lokasi penelitian menunjukkan bahwa semakin ke


bawah porositasnya semakin kecil. Hal ini menunjukkan
bahwa semakin ke dalam jumlah pori-pori semakin kecil yang
diakibatkan antara lain oleh adanya pemadatan tanah.
Pratiwi dan Garsetiasih (2003) menyatakan bahwa
pemadatan tanah dapat diakibatkan oleh injakan manusia.
Hal ini terjadi juga di ketiga lokasi penelitian, di mana lokasi-
lokasi ini merupakan hutan tanaman. Pori-pori yang menurun
jumlahnya mengakibatkan kapasitas tanah menampung air
dan udara akan menurun.

Nilai permeabilitas tanah menunjukkan laju pergerakan air.


Peningkatan berat jenis tanah umumnya diikuti dengan
penurunan persentase ruang pori atau porositas, dan nilai
permeabilitas tanah. Hal ini terlihat pada lokasi penelitian.
Namun demikian, Bullock et al. (1985) menyatakan bahwa
nilai ini tergantung bukan saja oleh jumlah pori tetapi juga
tingkat kontinuitas pori.

b. Sifat Kimia Tanah


Sifat-sifat kimia tanah, meliputi pH H2O, C, N, P tersedia, Ca,
Mg, K, Na, kapasitas tukar kation (KTK), kejenuhan basa (KB),
Al, Fe, Cu, Zn, dan Mn. Keterangan yang lebih lengkap
sebagaimana terlihat pada Tabel 6.4, Tabel 6.5, dan Tabel 6.6.

pH H2O di semua lokasi penelitian umumnya kurang dari


lima, kecuali Sukabumi. Namun demikian, tanah-tanah di
lokasi penelitian masih dikategorikan asam. Walaupun tanah-

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


100 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
tanah di lokasi penelitian berkembang dari bahan vulkanik
andesitik yang kaya akan material-material basa, namun
karena adanya proses pelapukan yang intensif dan juga
adanya pencucian (leaching), maka reaksinya asam dan
kejenuhan basanya kurang dari 100%. Reaksi ini
mempengaruhi ketersediaan unsur hara esensial.

Unsur hara esensial merupakan unsur yang diperlukan oleh


tanaman dan fungsinya tidak dapat digantikan oleh unsur lain
(Pratiwi, 2004 dan 2005). Unsur-unsur ini dikategorikan
sebagai unsur hara makro (C, H, O, N, P, K, Ca, Mg, dan S) dan
unsur hara mikro (Fe, Mn, B, Mo, Cu, Zn, Cl, dan Co). Selain
pH, ketersediaan dari unsur-unsur esensial ditentukan oleh
bahan organik dan proses-proses dinamis yang ada di dalam
profil tanah.

Carbon organik dan nitrogen total di lokasi penelitian


menurun semakin ke bawah. Jumlah carbon organik relatif
rendah di semua horizon, tetapi di Carita, carbon organik
lebih tinggi daripada Sukabumi dan Dramaga. Rendahnya
carbon organik dan nitrogen total berhubungan dengan
rendahnya bahan organik. Hal ini dapat dimengerti karena di
lokasi penelitian Carita banyak dijumpai tumbuhan bawah,
jika dibandingkan dengan lokasi penelitian Sukabumi dan
Dramaga. Tumbuhan bawah merupakan sumber bahan
organik.

Menurut Sutanto (1988), bahan organik juga menyebabkan


meningkatnya KTK dengan meningkatnya muatan negatif.
Perbandingan C/N di semua horizon tergolong tinggi,
khususnya di horizon bagian atas. Hal ini menunjukkan bahwa
dekomposisi bahan organik tidak terlalu kuat.

Kandungan P di semua lokasi penelitian tergolong sangat


rendah (< 2). Pratiwi (2004 dan 2005) menyatakan bahwa
unsur ini, khususnya di lapisan atas, mempunyai fungsi yang

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 101
sangat penting dalam perkecambahan biji. Elemen penting
lainnya adalah K, Al+3, dan H+. Di areal penelitian Dramaga, K
tergolong medium sedangkan di Carita dan Sukabumi masing-
masing tergolong rendah dan tinggi dan Al+3 dan H+ rendah
sampai sangat rendah di semua lokasi. Tanah dengan
kandungan Al yang tinggi memiliki sifat toksik. Oleh karena itu
di ketiga lokasi penelitian tidak ada bahaya keracunan Al.

Unsur hara mikro juga mempengaruhi pertumbuhan


tanaman, tetapi diperlukan dalam jumlah sangat sedikit.
Unsur-unsur tersebut adalah Fe, Cu, Zn, dan Mn. Unsur-unsur
Fe, Cu, dan Zn relatif rendah, sementara kandungan Mn
sedang sampai relatif cukup. Kondisi ini relatif sesuai untuk
pertumbuhan tanaman.

Kapasitas tukar kation (KTK) menunjukkan tingkat kesuburan


tanah. Tanah dengan KTK tinggi dapat menyerap unsur hara,
sehingga ketersediaan hara akan lebih bagus pada areal
dengan KTK rendah. KTK tanah dianalisis dengan larutan
buffer NH4Oact pH 7 dan KTK sum of cation. Tabel 6.4, Tabel
6.5, dan Tabel 6.6 menunjukkan secara jelas bahwa KTK
NH4Oact pH 7 dari seluruh profil sangat tinggi daripada KTK
sum of cation. KTK tinggi berarti areal tersebut cukup subur.

Data pada Tabel 5.4, Tabel 5.5, dan Tabel 5.6


mengindikasikan bahwa tanah di Sukabumi memiliki KB tinggi
(39,35-41,07), sedangkan di Dramaga medium (16,01-17,75)
dan yang terendah adalah di Carita (13,05-15,77). Tanah
dengan pH lebih tinggi umumnya memiliki KTK yang lebih
tinggi. Kecenderungan ini terjadi di areal penelitian, di mana
pH daerah Sukabumi lebih tinggi daripada Carita dan
Dramaga.

Kandungan kation basa di Sukabumi termasuk tinggi,


sedangkan di Dramaga medium dan Carita termasuk rendah.

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


102 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Di semua horizon dari tiga lokasi penelitian ini, kation basa
didominasi oleh calcium dan magnesium.

Jumlah kation tertinggi di areal penelitian terdapat di


Sukabumi dan yang terendah di Carita. Hal ini disebabkan
karena Sukabumi memiliki pH H2O tertinggi. Terdapat
kecenderungan bahwa daerah dengan pH yang tinggi
memiliki kejenuhan basa yang tinggi pula.

B. Komposisi Vegetasi dan Spesies Dominan

1. Umum
Analisis vegetasi dilakukan terhadap vegetasi/tumbuhan
bawah di Carita, Dramaga, dan Sukabumi. Areal ini
merupakan hutan tanaman pohon penghasil gaharu. Dengan
demikian, tingkat pohon, sapling serta tiang didominasi oleh
tanaman pohon penghasil gaharu. Oleh karena itu, analisis
vegetasi ditekankan pada tumbuhan bawah.

2. Komposisi Tumbuhan Bawah


Hasil pengamatan menunjukkan bahwa komposisi jenis
tumbuhan bawah di Carita lebih tinggi dibandingkan di
Sukabumi dan Dramaga (Tabel 6.7).

Tabel 6.7. Jumlah jenis tumbuhan bawah dan familinya di lokasi


penelitian

Lokasi penelitian Jumlah jenis Jumlah famili


Carita 30 18
Dramaga 8 16
Sukabumi 6 3

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 103
Kondisi ini terjadi kemungkinan karena perbedaan sistem
penanaman dalam hutan tanaman tersebut. Di Carita, pohon
penghasil gaharu ditanam dengan sistem campuran dengan
jenis tanaman serba guna, sedangkan di Sukabumi dan
Dramaga ditanam dengan sistem monokultur. Sistem
penanaman di Carita yang multikultur mendukung beberapa
anakan muncul dari jenis-jenis lain selain jenis tanaman
penghasil gaharu.

3. Jenis Tumbuhan Bawah Dominan


Secara ekologis, nilai vegetasi ditentukan oleh peran dari jenis
dominan. Jenis dominan merupakan jenis yang mempunyai
nilai penting tertinggi di dalam komunitas yang bersangkutan.
Nilai ini merupakan hasil dari interaksi di antara jenis dengan
kondisi-kondisi lingkungan.

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa jenis dominan dan ko-


dominan masing-masing areal penelitian berbeda. Di Carita,
jenis dominan dan ko-dominan dari tumbuhan bawah yang
ditemui adalah jampang (Panicum disachyum) dan selaginela
(Selaginella plana), sedangkan di Dramaga adalah pakis
(Dictyopteris iregularis) dan seuseureuhan (Piper aduncum),
serta di Sukabumi adalah jampang (Panicum disachyum) dan
rumput pait (Panicum barbatum). Data ini mengindikasikan
bahwa habitat dari masing-masing lokasi penelitian secara
ekologis memiliki karakteristik yang berbeda-beda.

4. Indeks Kesamaan Jenis Tumbuhan Bawah


Berdasarkan indeks kesamaan jenis menurut Sorensen
(Mueller-Dumbois and Ellenberg, 1974), komposisi jenis
tumbuhan bawah di tiap lokasi penelitian berbeda satu
dengan lainnya. Hal ini diindikasikan dengan nilai indeks
similaritas yang rendah (< 50%) (Tabel 6.8).

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


104 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Perbedaan komposisi jenis ini dikarenakan adanya perbedaan
faktor lingkungan seperti iklim, topografi, dan karakteristik
tanah.

Tabel 6.8. Indeks similaritas (%) dari komunitas tumbuhan di


lokasi penelitian
Lokasi Carita Dramaga Sukabumi
Carita - 9 35
Darmaga - - 9
Sukabumi - - -

Kesimpulan
1. Tanah di tiga lokasi penelitian memiliki bahan induk yang
relatif sama, yaitu material vulkanik yang bersifat andesitik.
2. Perbedaan sifat-sifat fisik dan kimia tanah di lokasi penelitian
disebabkan perbedaan tingkat proses pelapukan yang
berhubungan dengan kondisi lingkungan dari proses
pelapukan tersebut.
3. Sehubungan dengan tingkat pelapukan, tanah Carita kurang
subur dibandingkan dengan Dramaga dan Sukabumi. Tingkat
kesuburan ini berhubungan dengan tingkat dari proses
pelapukan.
4. Sifat-sifat fisik dan kimia tanah di areal penelitian mendukung
pertumbuhan pohon penghasil gaharu.
5. Jenis dominan dan ko-dominan di masing-masing areal
penelitian berbeda. Di Carita, tumbuhan bawah yang
dominan adalah jampang (Panicum disachyum) dan jenis ko-
dominan adalah selaginela (Selaginella plana). Di Dramaga,
jenis dominan dan ko-dominan masing-masing adalah pakis
(Dictyopteris irregularis) dan seuseureuhan (Piper aduncum),

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 105
dan di Sukabumi masing-masing adalah jampang (Panicum
disachyum) dan rumput pait (Panicum barbatum).
6. Komposisi jenis tumbuhan bawah juga berbeda di tiap lokasi
penelitian sebagaimana diindikasikan dengan nilai SI < 50%.
Perbedaan komposisi jenis ini dikarenakan adanya perbedaan
faktor-faktor lingkungan, seperti iklim, topografi, dan sifat-
sifat tanah.

Daftar Pustaka
Allison, L.E. 1965. Organic Matter by Walkey and Black methods.
In C.A. Black (ed.). Soil Analyses. Part II.
Chakrabarty, K., A. Kumar and V. Menon. 1994. Trade in
Agarwood. WWF-Traffic India.
Jenny, H. 1941. Factors of Soil Formation. McGrawhill. New York.
280 p.
Lembaga Penelitian Tanah. 1962. Peta Tanah Tinjau Jawa dan
Madura. LPT. Bogor.
Mueller-Dumbois, D. and H. Ellenberg. 1974. Aims and Methods
of Vegetation Ecology. John Willey and Son. New York.
Pratiwi. 1991. Soil Characteristics and Vegetation Composition
Along a Topotransect in The Gunung Gede Pangrango
National Park, West Java, Indonesia. MSc. Thesis.
International Training Center For Post Graduate Soil
Scientists, Universiteit Gent, Belgium.
Pratiwi and B. Mulyanto. 2000. The Relationship Between Soil
Characteristics with Vegetation Diversity in Tanjung
Redep, East Kalimantan. Forestry and Estate Crops
Research Journal 1(1): 27-33.

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


106 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Pratiwi. 2004. Hubungan Antara Sifat-Sifat Tanah dan Komposisi
Vegetasi di Daerah Tabalar, Kabupaten Berau,
Kalimantan Timur. Buletin Penelitian Hutan 644: 63-76.
Pratiwi. 2005. Ciri dan Sifat Lahan Habitat Mahoni (Swietenia
macrophylla King.) di Beberapa Hutan Tanaman di Pulau
Jawa. Gakuryoku XI(2):127-131.
Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. 2005. Hutan
Penelitian Carita. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi
Alam. Bogor. 21 p.
Schmidt, F.H. and J.H.A. Ferguson. 1951. Rainfall Based on Wet
and Dry Period Ratios for Indonesia with Western New
Guinea. Verhand. 42. Kementerian Perhubungan.
Djawatan Meteorologi dan Geofisika. Jakarta.
Sidiyasa, K., S. Sutomo, dan R. S. A. Prawira. 1986. Eksplorasi dan
Studi Permudaan Jenis-Jenis Penghasil Gaharu di Wilayah
Hutan Kintap, Kalimantan Selatan. Buletin Penelitian
Hutan 474: 59-66.
Sutanto, R. 1988. Minerlogy, Charge Properties and Classification
of Soils on Volcanic Materials and Limestone in Central
Java. Indonesia. PhD Thesis. ITC-RUG. Gent. 233 p.
Soil Survey Staff. 1994. Key to Soil Taxonomy. United Stated
Department of Agriculture. Soil Conservation Service. Six
Edi-tion. 306 p.
Soil Conservation Service. 1984. Procedure for Collecting
Samples and Methods of Analyses for Soil Survey. Report
No. I. Revised ed.,U.S. Dept.Agric. 68 p.

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 107
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,
108 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
M IKORIZA UNTUK STIMULASI
7
PERTUMBUHAN EMPAT JENIS
Aquilaria
Maman Turjaman
Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi

Pendahuluan
Salah satu famili pohon tropika yang sekarang menjadi perhatian
dunia internasional adalah Thymelaeaceae. Famili pohon ini
sangat penting karena menghasilkan produk gaharu dan kayu
mewah untuk masyarakat di sekitar kawasan hutan di Asia
(Lemmens et al., 1998; Oyen dan Dung, 1999). Thymeleaceae
terdiri dari 50 genera dengan Aetoxylon, Gyrinops, Enkleia,
Gonystylus, Phaleria, Wikstroemia, dan Aquilaria yang
memproduksi gaharu (Ding Hou, 1960). Tingginya nilai produk
gaharu menyebabkan jenis-jenis ini mengalami kelebihan
pemanenan di seluruh kawasan Asia selama 20 tahun terakhir
(Paoli et al., 2001). Akibatnya, Aquilaria, Gyrinops, dan
Gonystylus pada saat ini telah dimasukkan ke dalam CITES
(Convention on the International Trade in Endangered Species)
Appendix II (CITES 2005). Jenis-jenis Aquilaria pada umumnya
banyak dijumpai pada hutan-hutan primer dan sekunder dataran
rendah di Indonesia, Papua Nugini, Thailand, Malaysia, Vietnam,
India, Bangladesh, Bhutan, Myanmar, China, Cambodia, dan
Filipina. Jenis-jenis ini merupakan sumber utama dari kayu
gaharu (semacam kayu yang mempunyai resin wangi) yang
termasuk dalam urutan teratas dari kelompok hasil hutan bukan
kayu bernilai sangat tinggi yang berasal dari hutan tropika.
Produk gaharu biasanya digunakan sebagai bahan dasar parfum,

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 109
incence, obat tradisional, dan produk komersial lainnya (Eurling
dan Gravendeel, 2005). Selain jenis Aquilaria berkurang
populasinya di alam, pengaturan perlindungan genus ini dan
termasuk juga dalam pengaturan kelestarian produksi gaharu
alami sulit sekali untuk dilakukan.

Ketersediaan nutrisi tanah merupakan salah satu faktor


pembatas untuk pertumbuhan awal dalam kegiatan penanaman
bibit-bibit tanaman hutan pada kondisi lahan hutan yang
terdegradasi (Santiago et al., 2002). Pada tahap awal
pertumbuhan jenis Aquilaria sering mengalami pertumbuhan
yang lambat. Hal ini disebabkan kondisi lahan hutan tropika di
Indonesia pada umumnya kahat unsur hara, terutama N dan P.
Pada saat ini, kegiatan reforestasi telah memproduksi ratusan
juta bibit tanaman hutan setiap tahunnya. Penggunaan bibit
tanaman hutan yang vigor sangat diperlukan dalam kegiatan
reforestasi. Pada kenyataannya ketersediaan bibit biasanya
cenderung dibuat dengan kualitas rendah dan mengalami
defisiensi unsur hara dan pada akhirnya mengalami kematian
yang tinggi pada saat telah ditanam di lapangan.

Beberapa jurnal internasional telah banyak melaporkan


pentingnya pemanfaatan fungi mikoriza arbuskula dari beberapa
jenis tanaman hutan yang berbeda untuk membantu kegiatan
reforestasi. Fungi mikoriza arbuskula (FMA) telah diuji dengan
hasil yang signifikan pertumbuhannya pada jenis Leucaena
leucocephala (Michelsen dan Rosendahl, 1990), Parkia biglobosa,
Tamarindus indica, Zizyphus mauritiana (Guissou et al., 1998),
Sesbania aegyptiaca dan S. grandiflora (Giri and Mukerji, 2004),
11 jenis Eucalyptus (Adjoud et al., 1996), Tectona grandis (Rajan
et al., 2000). Namun berdasarkan hasil studi literatur, uji
inokulasi fungi mikoriza arbuskula pada jenis-jenis Aquilaria
belum dilaporkan. Tujuan dari penelitian ini adalah menentukan
tingkat pengaruh fungi mikoriza arbuskula pada jenis-jenis
Aquilaria, baik di tingkat persemaian maupun di lapangan.

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


110 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Bahan dan Metode
A. Perbenihan dan Perkecambahan

Benih Aquilaria crassna diperoleh dari Dramaga (Bogor), A.


malaccensis dikoleksi dari Desa Gudang (Pulau Bangka), A.
microcarpa dari Desa Mianas (Kalimantan Barat), A. beccariana
berasal dari Sanggau (Kalimantan Barat). Semua benih Aquilaria
spp. direndam selama dua jam, kemudian disterilisasi dengan
sodium hypochlorit (5%) selama lima menit. Setelah disterilisasi,
benih tersebut dicuci beberapa kali dengan air sampai bersih.
Benih Aquilaria spp. dikecambahkan pada bak plastik yang berisi
media zeolite. Benih Aquilaria spp. mulai berkecambah 21 hari
setelah ditaburkan.

B. Media Semai

Jenis tanah ultisol diambil dari Hutan Penelitian Haurbentes,


Jasinga, dan kemudian disimpan di rumah kaca. Media semai
tersebut disaring dengan diameter saringan 5 mm. pH media
adalah 4,7; P tersedia (Bray-1) adalah 0,17 mg kg-1, dan N total
(Kjeldahl) adalah 1,7 mg kg-1. Kemudian, media semai
o
disterilisasi pada temperatur 121 C selama 30 menit.

C. Inokulum Mikoriza Arbuskula

Fungi mikoriza arbuskula, G. decipiens, G. clarum, Glomus sp.


ZEA, dan Glomus sp. ACA, diisolasi dari Desa Kalampangan,
Palangkaraya, Kalimantan Tengah, melalui teknik pot kultur.
Teknik pot kultur dimulai dengan cara spora tunggal. Inang yang
digunakan untuk mempropagasi FMA adalah Pueraria javanica.
Pot plastik diisi dengan zeolite steril dan ditambahkan 5 g dari
masing-masing jenis FMA. Kemudian, benih P. javanica yang
telah berumur enam hari ditanam pada pot plastik tersebut. Pot-
pot disusun pada rak-rak besi di rumah kaca dan dipelihara
selama 90 hari. Spora, hifa eksternal, dan akar yang terkolonisasi
dari masing-masing jenis FMA diamati dengan mikroskop.

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 111
D. Inokulasi FMA

Polybag (ukuran 15 cm x 10 cm) diisi tanah steril 500 g. Inokulasi


FMA diberikan 5 g untuk setiap pot dan diletakkan di dekat akar
semai Aquilaria spp. Sementara itu, semai empat jenis Aquilaria
yang tidak diinokulasi digunakan sebagai kontrol (berdasarkan
hasil penelitian pendahuluan, penggunaan inokulum steril tidak
memberikan pengaruh pertumbuhan pada Aquilaria spp). Semai
dipelihara dan disiram setiap hari pada kondisi rumah kaca dan
diamati selama 6 bulan. Temperatur di rumah kacar berkisar
antara 26-35o C dan kelembaban udara 80-90%. Gulma dan
hama yang mengganggu semai dimonitor setiap hari.

E. Parameter Pertumbuhan

Percobaan inokulasi pada jenis-jenis Aquilaria terdiri atas (a)


kontrol (tanpa inokulum); (b) Entrophospora sp.; (c) G. decipiens;
(d) G. clarum; (e) Glomus sp. ZEA; dan (f) Glomus sp. ACA. Desain
penelitian dilakukan dengan rancangan acak lengkap (RAL)
dengan 30 ulangan. Parameter yang diukur adalah tinggi,
diameter, dan daya hidup semai. Setelah berumur enam bulan,
dilakukan pemanenan pucuk dan akar semai Aquilaria. Semua
sampel di-oven pada suhu 70o C selama tiga hari. Analisis N
dan P jaringan semai dilakukan dengan metode semi-micro
Kjeldahl dan vanadomolybdate-yellow assay (Olsen and
Sommers, 1982). Pada tingkat lapang, percobaan yang dilakukan
hanya pada jenis A. beccariana dengan desain RAL yang sama.
Percobaan dilakukan di Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus
(KHDTK) Dramaga di bawah naungan tegakan Gmelina arborea.
Paramater yang diamati pada tingkat lapang ini adalah tinggi dan
diameter A. beccariana yang telah dilakukan selama dua tahun.

F. Kolonisasi Mikoriza Arbuskula

Akar dari masing-masing jenis Aquilaria dicuci untuk


membersihkan partikel-partikel tanah yang masih menempel.
Akar dibersihkan dalam 100 g l-1 KOH selama satu jam,

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


112 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
diasamkan dalam larutan HCl dan diberi warna dengan 500 mg l-
1 tryphan blue dalam lactoglycerol (Brundrett et al., 1996).
Kemudian, akar dicuci dalam 50% glycerol dan 100 potong akar
berukuran satu cm diamati di bawah mikroskop compound
dengan perbesaran 200x. Penghitungan kolonisasi mikoriza
dilakukan dengan sistem skoring keberadaan dan tidak adanya
struktur FMA (McGonigle et al., 1990).

G. Analisis Statistik

Analisis statistik menggunakan ANOVA dengan software


StatView 5.0 (Abacus Concepts). Kemudian, analisis statistik
lanjutan menggunakan uji beda nyata terkecil (LSD) apabila nilai
F signifikan.

Hasil dan Pembahasan


Lima jenis fungi mikoriza arbuskula (FMA) sangat efektif
mengkolonisasi sistem perakaran dari A. crassna, A. malaccensis,
A. Microcarpa, dan A. beccariana setelah enam bulan diinokulasi
pada kondisi rumah kaca. Hasil penelitian sebelumnya yang
dilakukan Santoso et al. (2008) menunjukkan bahwa kolonisasi
FMA yang terjadi pada akar bibit A. microcarpa dimulai sebelum
minggu ke-7 setelah inokulasi. Tidak ada perbedaan nyata antara
lima jenis FMA dalam mengkolonisasi perakaran empat jenis
Aquilaria. Kolonisasi FMA dapat meningkatkan parameter
pertumbuhan tinggi, diameter batang, berat kering, berat basah,
dan daya hidup semai Aquilaria di persemaian (Tabel 7.1). Pada
jenis A. crassna, A. Malaccensis, dan A. microcarpa, penggunaan
FMA Entrophospora sp. lebih efektif meningkatkan parameter
pertumbuhan dibandingkan jenis FMA lainnya. Khusus FMA G.
clarum, mikoriza ini sangat efektif meningkatkan parameter
pertumbuhan pada jenis A. beccariana. Semai yang tidak
diinokulasi terkolonisasi oleh FMA yang tidak teridentifikasi (1-
10%), tetapi tidak dapat mempengaruhi pertumbuhan empat
jenis Aquilaria. Kolonisasi FMA mampu meningkatkan serapan N
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,
Teknologi Badan Litbang Kehutanan 113
dan P pada jaringan empat jenis Aquilaria dibandingkan semai
yang tidak diinokulasi (Tabel 7.2). Peningkatan serapan N dan P
ini memberikan pengaruh pada peningkatan dari parameter
pertumbuhan empat jenis Aquilaria. Pada tingkat lapang,
dilakukan kegiatan penanaman hanya pada jenis A. beccariana
dua tahun setelah diinokulasi oleh FMA. Hasil penelitian pada
tingkat lapang menunjukkan bahwa jenis G. clarum lebih efektif
dalam meningkatkan pertumbuhan A. beccariana dibandingkan
dengan kontrol dan jenis FMA lain yang telah diujicobakan.

Tabel 7.1. Kolonisasi mikoriza arbuskula dan pertumbuhan pada jenis-jenis


Aquilaria setelah enam bulan pada kondisi di rumah kaca

Kolonisasi Tinggi Diameter Berat basah Berat kering Daya


Perlakuan AM (cm) (mm) Pucuk (g) Akar (g) Pucuk (g) Akar (g) hidup
(%)
A. crassna
Kontrol 4a* 20,90a 2,9 a 0,68a 1,06a 0,33a 0,13a 70
Entrophospora sp. 73b 46,14c 5,4 c 12,58b 5,72b 3,82b 1,35b 100
G. decipiens 63b 29,58b 4,1 b 11,64b 7,36b 3,26b 1,56b 100
G. clarum 78b 32,43b 4,4 b 8,82b 4,3b 0,86a 0,27a 100
Glomus sp. ZEA 78b 38,94c 4,7 b 9,92b 4,54b 2,99b 1,01b 87
Glomus sp. ACA 59b 24,60a 3,7 a 13,46b 6,94b 4,19b 1,52b 100
A. malaccensis
Kontrol 1a 16,43a 2,28a 1,46a 0,52a 0,41a 0,18a 73
Entrophospora sp. 97b 25,97c 3,88c 4,68c 2,24c 1,44c 0,48c 100
G. decipiens 88b 21,91b 3,02b 2,92b 1,20b 0,88b 0,27b 100
G. clarum 83b 19,96b 2,94b 2,90b 1,28b 1,95c 0,78c 97
Glomus sp. ZEA 84b 22,33b 3,26b 2,62b 1,38b 0,79b 0,27b 90
Glomus sp. ACA 86b 21,30b 3,12b 2,74b 1,22b 0,89b 0,26b 93
A. microcarpa
Kontrol 2a 13,39a 2,23a 0,75a 0,34a 0,23a 0,09a 67
Entrophospora sp. 97b 24,74d 3,89c 4,32c 2,29c 1,31c 0,37b 100
G. decipiens 88b 21,99c 3,67c 3,87c 3,41d 1,44c 0,57c 97
Glomus clarum 83b 20,28c 3,58c 3,46c 1,55b 0,95b 0,30b 93
Glomus sp. ZEA 85b 17,24b 2,84b 2,24b 1,08b 0,64b 0,24b 87
Glomus sp. ACA 87b 18,09b 2,98b 2,70b 1,23b 0,76b 0,28b 90
A. beccariana
Kontrol 10a 15,40a 1,90a 0,30a 0,10a 0,09a 0,02a 73
Entrophospora sp. 85b 19,20b 2,37b 5,46e 2,54c 1,76c 0,78c 100
G. decipiens 71b 32,18d 3,94c 4,74d 1,64b 1,59c 0,41b 100
Glomus clarum 79b 45,30e 5,02d 6,74f 2,82d 2,30d 0,91d 100
Glomus sp. ZEA 61b 32,03d 3,75c 3,14b 1,38c 0,97b 0,36b 100
Glomus sp. ACA 84b 26,24c 3,53c 3,84c 1,20b 1,19b 0,28b 100

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


114 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Tabel 7.2. Kandungan N dan P pada jenis-jenis Aquilaria setelah enam
bulan diinokulasi oleh beberapa jenis fungi mikoriza arbuskula
(FMA)

Perlakuan N Concentrations N Content P Concentrations P Content


(mg/g) (mg/plant) (mg/g) (mg/plant)
A. crassna
Kontrol 7,9 0,1a* 2,6 0,6a 0,78 0,02a 0,26 0,06a
Entrophospora sp. 9,8 0,1c 37,7 4,3d 1,42 0,03e 5,4 0,6d
G. decipiens 8,2 0,2a 26,7 4,1c 0,85 0,02b 2,8 0,5c
G. clarum 8,7 0,2b 7,4 1,0b 0,95 0,02c 0,82 0,14b
Glomus sp. ZEA 8,7 0,1b 25,8 3,6c 0,96 0,03c 2,85 0,41c
Glomus sp. ACA 10,8 0,2d 45,9 9,6d 1,22 0,02d 5,14 1,0d
A. malaccensis
Kontrol 8,6 0,2a 3,49 0,5a 0,65 0,02a 0,26 0,04a
Entrophospora sp. 12,1 0,1d 17,28 2,0c 0,73 0,01b 1,06 0,15d
G. decipiens 10,7 0,1c 9,02 0,7b 0,85 0,01c 0,75 0,07c
G. clarum 10,4 0,1b 20,5 3,3c 0,72 0,02b 1,60 0,20e
Glomus sp. ZEA 11,1 0,2c 8,8 0,9b 0,77 0,03b 0,6 0,07b
Glomus sp. ACA 10,9 0,2c 9,7 1,8b 1,04 0,03d 0,92 0,17c
A. microcarpa
Kontrol 7,8 0,1a 1,02 0,07a 0,65 0,02a 0,08 0,01a
Entrophospora sp. 9,6 0,2c 16,9 1,5d 1,12 0,03d 1,97 0,18d
G. decipiens 9,6 0,1c 11,7 0,9c 0,86 0,01c 1,20 0,18c
G. clarum 9,3 0,1c 8,3 0,4b 0,78 0,02b 0,70 0,03b
Glomus sp. ZEA 9,4 0,1c 9,17 1,35b 0,77 0,03b 0,75 0,12b
Glomus sp. ACA 8,9 0,2b 8,28 0,40b 0,77 0,02b 0,9 0,1b
A. beccariana
Kontrol 6,0 0,1a 5,02 0,07a 0,40 0,02a 0,10 0,01a
Entrophospora sp. 9,9 0,2c 10,2 1,0c 0,98 0,02d 0,87 0,20d
G. decipiens 10,6 0,1c 11,8 0,8c 0,89 0,03c 1,25 0,21c
G. clarum 11,3 0,d 12,5 0,4d 1,11 0,02e 1,95 0,03e
Glomus sp. ZEA 9,4 0,1b 9,17 1,35b 0,77 0,03b 0,75 0,12b
Glomus sp. ACA 8,8 0,2b 9,28 0,40b 0,97 0,02d 1,04 0,1c
Keterangan: *Nilai-nilai dengan huruf yang sama adalah tidak berbeda nyata (P<0.05)

Hasil penelitian ini memberikan informasi yang sangat penting


dalam memanfaatkan inokulum FMA pada jenis-jenis Aquilaria
spp. Regenerasi jenis-jenis Aquilaria yang berkelanjutan dapat
dibantu dengan adanya pemanfaatan teknologi FMA yang
dimulai pada saat di persemaian. Penggunaan FMA yang efektif
dapat meningkatkan pertumbuhan Aquilaria yang sangat
signifikan, sehingga biomassa pohon penghasil gaharu yang akan

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 115
dipanen akan meningkat. Artinya, produk gaharu hasil induksi
yang akan dipanen lebih meningkat produksinya. Penelitian ini
sejalan dengan penelitian yang terdahulu, yaitu tentang
pemanfaatan FMA pada 11 jenis Eucalyptus spp. (Adjoud et al.,
1996), 17 jenis tanaman legume (Duponnois et al., 2001),
Sesbania aegyptiaca dan S. grandiflora (Giri dan Mukerji, 2004).

Penelitian pemanfaatan FMA pada jenis-jenis pohon tropika


(Muthukumar et al., 2001) dan khususnya jenis-jenis Aquilaria
menunjukkan bahwa ada kemungkinan inokulum FMA dapat
menurunkan penggunaan pupuk kimia di persemaian. Meskipun
perhitungan tentang keuntungan dan biaya penggunaan FMA
belum diuji dalam penelitian ini, hasilnya tidak diragukan lagi
bahwa FMA dapat menurunkan penggunaan pupuk kimia dalam
penyediaan semai tanaman penghasil gaharu. Selanjutnya,
mekanisme penggunaan FMA sebagai pemacu pertumbuhan
jenis-jenis Aquilaria pada tanah masam dan pada tanah yang
populasi FMA sangat rendah harus menjadi perhatian dan
pertimbangan untuk mengetahui keberadaan FMA alami.

Pola penanaman jenis-jenis Aquilaria dengan pola agroforestry


sangat membantu mempercepat ketersediaan pohon-pohon
penghasil gaharu di Indonesia. Pada prinsipnya, pencampuran
dilakukan untuk melindungi pertumbuhan semai Aquilaria pada
tahun pertama dan kedua dari sengatan sinar matahari. Jenis-
jenis Aquilaria yang telah dikolonisasi oleh FMA akan dapat
membentuk hubungan antara sistem perakaran pohon jenis-
jenis lain, sehingga kebutuhan nutrisi untuk pertumbuhan
gaharu dapat terpenuhi. Jenis-jenis pohon yang
direkomendasikan sebagai pohon pencampur dengan pohon
penghasil gaharu adalah pohon karet, kelapa sawit, kelapa,
sengon, gmelina, melinjo, jengkol, dan beberapa jenis lain pohon
buah-buahan.

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


116 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Gambar 7.1. Pertumbuhan tinggi dan diameter pohon penghasil
gaharu Aquilaria beccariana setelah dua tahun ditanam
di tingkat lapang. K= Kontrol; Ent= Entrophospora sp.;
Gg= G. decipiens; G.Aca= Glomus sp. ACA; Gc= G.clarum;
G.ZEA= Glomus sp. ZEA.

Kesimpulan dan Rekomendasi


Penggunaan FMA pada jenis-jenis Aquilaria sangat signifikan
dalam memacu pertumbuhan awal di persemaian dan lapangan.

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 117
Jenis FMA Entrophospora sp. sangat efektif dalam memacu
pertumbuhan tanaman dan serapan nurtisi pada jenis A.
malaccensis, A. crassna, dan A. microcarpa. Khusus jenis pohon
penghasil gaharu A. beccariana lebih memilih jenis FMA G.
clarum untuk memacu pertumbuhan tanaman dan serapan
nutrisinya, baik di tingkat semaian maupun lapangan.

Direkomendasikan untuk menggunakan jenis FMA efektif untuk


mempercepat pertumbuhan jenis-jenis Aquilaria mulai di tingkat
persemaian. Ketersediaan inokulum FMA di tingkat pengguna
dan sosialisasi penggunaanya perlu dilakukan, agar penggunaan
FMA menjadi efektif dan efisien.

Daftar Pustaka
Adjoud, D., C. Plenchette, R. Halli-Hargas and F. Lapeyrie. 1996.
Response of 11 Eucalyptus Species to Inoculation with
Three Arbuscular Mycorrhizal Fungi. Mycorrhiza 6 : 129-
135.
Brundrett, M., N. Bougher, B. Dell, T. Grove and N. Malajczuk.
1996. Working with Mycorrhizas in Forestry and
Agriculture. ACIAR Monograph 32, Canberra.
CITES. 2005. Convention on International Trade in Endangered
Species of Wild Fauna and Flora. Appendices I, II and III
of CITES. UNEP. 48 pp.
Ding Hou. 1960. Thymelaeaceae. In : Van Steenis, C.G.G.J. (ed)
Flora Malesiana. Series I, Vol. 6. Wolters-Noordhoff,
Groningen, The Netherlands. p. 1-15.
Duponnois, R., H. Founoune, D. Masse and R. Pontanier (2005).
Inoculation of Acacia holosericea with Ectomycorrhizal
Fungi in a Semiarid Site in Senegal : Growth Response
and Influences on The Mycorrhizal Soil Infectivity After 2
Years Plantation. Forest Ecology and Management 207 :
351-362.
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,
118 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Eurlings, M.C.M. and B. Gravendeel. 2005. TrnL-TrnF Sequence
Data Imply Paraphyly of Aquilaria and Gyrinops
(Thymelaeaceae) and Provide New Perspectives for
Agarwood Identification. Plant Systematics and
Evolution 254 : 1-12.
Giri, B. and K.G. Mukerji. 2004. Mycorrhizal Inoculant Alleviates
Salt Stress in Sesbania aegyptiaca and Sesbania
grandiflora Under Field Conditions: Evidence for Reduced
Sodium and Improved Magnesium Uptake. Mycorrhiza
14 : 307-312.
Guisso, T., A.M. B, J-M.Ouadba, S. Guinko and R. Duponnois.
1998. Responses of Parkia biglobosa (Jacq.) Benth,
Tamarin-dus indica L. and Zizyphus mauritiana Lam. to
Arbuscular Mycorrhizal Fungi in a Phosphorus-Deficient
Sandy Soil. Biology and Fertility Soils 26 : 194-198.
Lemmens, R.H.M.J., I. Soerianegara and W.C. Wong (Eds.). 1998.
Timber Trees: Minor Commercial Timbers. Plant
Resources of South-East Asia No. 5 (2). Prosea, Bogor,
Indonesia.
McGonigle, T.P., M.H. Miller, D.G. Evans, G.L. Fairchild and J.A.
Swan. 1990. A New Method Which Gives an Objective
Measure of Colonization of Roots by Vesicular-
Arbuscular Mycorrhizal Fungi. New Phytologist 115 : 495-
501.
Michelsen, A. and S. Rosendhal. 1990. The Effect of VA
Mycorrhizal Fungi, Phosphorus and Drought Stress on
The Growth of Acacia nilotica and Leucaena
leucocephala Seedlings. Plant and Soil 124 : 7-13.
Muthukumar, T., K. Udaiyan and V. Rajeshkannan. 2001.
Response of Neem (Azadirachta indica A. Juss) to
Indigenous Ar-buscular Mycorrhizal Fungi, Phosphate-
Solubilizing and Asymbiotic Nitrogen-Fixing Bacteria

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 119
Under Tropical Nursery Conditions. Biology and Fertility
Soils 34 : 417-426
Olsen, S.R. and L.E. Sommers. 1982. Phosphorus. In: Page AL
(ed.) Methods of Soil Analysis Part 2 Chemical and
Microbiological Properties. American Society of
Agronomy, Madison, p 403-430.
Oyen, L.P.A. and N.X. Dung (Eds.). 1999. Essential-Oil Plants.
Plant Resources of South-East Asia No. 19. Prosea, Bogor,
Indonesia.
Paoli, G.D., D.R. Peart, M. Leighton and I. Samsoedin. 2001. An
Ecological and Economic Assessment of The Nontimber
Forest Product Gaharu Wood in Gunung Palung National
Park, West Kalimantan, Indonesia. Conservation Biology
15 : 1721-1732.
Rajan, S.K., B.J.D. Reddy and D.J. Bagyaraj. 2000. Screening of
Arbuscular Mycorrhizal Fungi for Their Symbiotic
Efficiency with Tectona grandis. Forest Ecology and
Management 126: 91-95.
Santiago, G.M., Q. Garcia and M.R. Scotti. 2002. Effect of Post-
Planting Inoculation with Bradyrhizobium sp. and
Mycorrhizal Fungi on The Growth Brazilian Rosewood,
Dalbergia nigra Allem. Ex Benth., in Two Tropical Soils.
New Forests 24 : 15-25.
Santoso, E., A.W. Gunawan dan M. Turjaman. 2008. Kolonisasi
Cendawan Mikoriza Arbuskula pada Bibit Tanaman
Penghasil Gaharu. Jurnal Penelitian Hutan dan
Konservasi Alam IV (5): 499-509. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam, Bogor.

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


120 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Pembentukan
Gaharu dan
Teknik Bioinduksi
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,
Teknologi Badan Litbang Kehutanan 121
P ROSES PEMBENTUKAN GAHARU
8
Aquilaria microcarpa
Rima HS Siburian
Fakultas Kehutanan Universitas Papua, Manokwari

Pendahuluan
Gaharu merupakan salah satu hasil hutan bukan kayu (HHBK)
yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi, karena harga jualnya
yang dapat mencapai Rp 30 juta/kg untuk kualitas super gaharu
alam (Siran dan Turjaman 2010). Gaharu diperdagangkan untuk
keperluan industri parfum, kosmetik, dupa/hio, pengawet
berbagai jenis asesoris dan obat-obatan (Sumarna 2005) dan
juga acara ritual keagamaan (Barden et al. 2000).

Meningkatnya permintaan pasar atas komoditas ini


menyebabkan proses pencarian gaharu di hutan alam tak
terkendali. Padahal, tidak semua pohon yang dicari mengandung
gaharu. Minimnya pengetahuan masyarakat dalam
membandingkan tanaman yang bergaharu dan tidak bergaharu
mengakibatkan populasi tanaman penghasil gaharu semakin
berkurang akibat kejadian asal tebang.

Pembatasan ekspor dengan kuota merupakan salah satu


kebijakan pemerintah dalam perdagangan ekspor-impor gaharu.
Berdasarkan data Ditjen PHKA (Direktorat Jenderal Perlindungan
Hutan dan Konservasi Alam) tahun 2010, kuota ekspor gaharu
telah ditetapkan untuk jenis A. malaccensis yaitu 146,125 ton per
tahun, sedangkan untuk jenis A. filaria sebanyak 427

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 123
ton/tahun. Untuk memenuhi kuota yang telah ditetapkan, maka
beberapa perkebunan telah membudidayakan gaharu. Budidaya
ini dilakukan karena tanaman penghasil gaharu di alam semakin
sulit ditemukan. Selama ini, gaharu untuk ekspor berasal dari
beberapa sentra produksi gaharu yang tersebar di berbagai
daerah di Indonesia, seperti Kalimantan Barat, Papua, Nusa
Tenggara Barat, Kalimantan Timur, Jambi, Bengkulu, Maluku,
Lombok, Riau, dan beberapa daerah lainnya.

Upaya peningkatan produksi gubal gaharu telah lama dilakukan


oleh beberapa peneliti. Salah satu upaya yang dilakukan adalah
dengan memberikan inokulasi jamur pada tanaman penghasil
gaharu, seperti yang telah dilakukan oleh Ngatiman dan
Armansyah (2005); serta Santoso et al. (2010). Mekanisme
pembentukan gaharu pada pohon penghasil gaharu hingga saat
ini masih belum begitu dipahami, namun, pembentukan ini
diduga merupakan bagian dari mekanisme pertahanan tanaman
terhadap rangkaian patogenesis (Keeling dan Bohlmann 2006).
Pada mekanisme terinduksi, hama atau pathogen memicu
tanaman untuk membentuk sistim pertahanan diantaranya
melalui proses inokulasi (Agrios 1997).

Serangan dan infeksi patogen dalam hal ini F. solani dapat


mengganggu proses fisiologis yang berdampak pada perubahan
morfologi tanaman (Nieamann dan Visintini 2005; Lee dan
Bostock 2006). Perubahan tersebut dapat berupa gejala lokal
dan gejala sistimatik (Christiansen 1999). Gejala lokal adalah
gejala yang hanya terdapat di daerah inokulasi primer, yang
dapat terlihat dengan melakukan pengamatan perubahan
morfolog. Sementara itu, gejala sistemik adalah gejala yang
terjadi jauh dari daerah inokulasi sehingga pengamatannya perlu
dilakukan dengan menggunakan alat bantu, seperti mikroskop.

Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui proses


perkembangan interaksi Fusarium solani pada tanaman A.
microcarpa dalam pembentukan gaharu.

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


124 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2011 sampai dengan


bulan Agustus 2011 pada laboratorium Pusat Penelitian dan
Pengembangan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan.

Bahan tanaman yang digunakan adalah tanaman A. microcarpa


yang telah diinokulasi yang berasal dari Kawasan Hutan Dengan
Tujuan Khusus (KHDTK) Carita Banten dengan koordinat 06o8-
06o14 Lintang Selatan dan 105o50-105o55 Bujur Timur.
Tanaman A.microcarpa pada kawasan ini berasal dari Desa
Penghidupan, Kecamatan Kampar Kiri-Tengah, Kabupaten
Kampar, Riau, yang ditanam pada tahun 1998. Pada tahun 2009
beberapa tanaman diantaranya diinokulasi dengan beberapa F.
solani.

Sampel tanaman yang belum diinokulasi dipilih tanaman yang


seumur dan dekat dengan tanaman yang telah diinokulasi, yaitu
pohon nomor 22. Pengambilan sampel kayu dilakukan dari
empat arah mata angin (timur, barat, utara dan selatan) dengan
cara dibor seperti disajikan pada Gambar 8.1.

Gambar 8.1. Pengambilan sampel kayu dengan cara pengeboran

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 125
Bahan kimia yang digunakan antara lain alkohol teknis, gliserin
teknis, larutan FAA (Formaldehid 37% : asam asetat glasial :
alkohol 70% = 5 : 5 : 90), larutan n-Butanol, larutan Gifford (asam
asetat glasial : etanol 60% : gliserin teknis = 20 : 80 : 5),
formaldehid 4%, K2HPO4 100 mM, safranin 2%, I2KI 1%, dan
larutan tembaga asetat [Cu(CH3COO)2H2O] 50%.

Alat yang digunakan yaitu fotomikroskop (Nikon Obtiphot 2),


mikroskop (Nikon AFX-DX Labophot -2), mikrotom putar (Yamato
RV- 240), mikrotom sorong (Microm HM 400 R) dan mikrotom
beku (Yamato RV-240).

Pembuatan Slide Mikrotom

Sampel kayu direndam dengan larutan alkohol 70% segera


setelah diambil dari pohon. Selanjutnya, sampel diinfiltrasi
dengan poly-ethylene-glycol 2000 menurut petunjuk Richter
(1990) yang telah dimodifikasi, dimana contoh kayu dimasukkan
ke dalam gelas berisi larutan 20 % PEG 2000 dalam etanol.
Sesudah itu, gelas berisi contoh tersebut dimasukkan kedalam
oven dengan suhu 60oC selama 3-4 hari sampai semua etanol
menguap. Penyayatan dilakukan dengan mikrotom putar. Untuk
membantu agar jaringan tidak sobek, permukaan yang akan
disayat dilapisi dengan pita pelekat (scotch tape). Contoh uji
disayat dengan menggunakan pisau sayat mikrotom dengan
ketebalan 12-20 m pada arah melintang, radial dan tangensial.
Selanjutnya, pewarnaan dilakukan dengan safranin-O 2% dan
didiamkan selama kurang lebih 1-2 jam. Sayatan yang telah
direndam dengan safranin-O kemudian dicuci dengan alkohol
30%, 50%, 70%, 90%, dan 100%, untuk kemudian direndam
dalam xylol sekitar 1 menit. Proses selanjutnya adalah mounting
(proses mengatur dan meletakkan bahan sayatan di atas kaca
preparat). Setelah mounting, preparat dikeringkan pada slide
warmer pada suhu 40-500 C.

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


126 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Bagian anatomi kayu yang diamati meliputi warna kayu, bahan
endapan dalam pori, include phloem. Selain bau/aroma kayu,
pengamatan juga dilakukan terhadap proses pergerakan
Fusarium solani dalam tanaman yang telah diinokulasi.

Pengujian Gas Chromatography Mass Spectrometry (GC MS)

Pengujian GC MS dilakukan di Laboratorium Forensik Markas


Besar Polisi Republik Indonesia (Jakarta), untuk menguji
senyawa-senyawa yang terkandung dalam endapan yang
teramati pada pengamatan anatomi. Sampel untuk pengujian
GC MS berasal dari sampel yang sama dengan pengamatan
anatomi. Namun pada tahapan ini, kayu dicincang hingga halus,
kemudian direndam dalam aseton selama 1 malam. Hasil
rendaman ini kemudian dikering-anginkan dan dianalisis lebih
lanjut dengan menggunakan GC MS.

Analisis GC MS A. microcarpa dilakukan dengan Instrumen


Agilent Technologies 6890N, Detector Mass Spectrometer,
interface 300o C, kolom yang digunakan HP-5 Capilary Coloumn,
panjang (m) 30 X 0,25 (mm) I.D X 0,25 (m) Film thickness ( 5% -
Phenyl)- methylpolysiloxane, suhu oven 100o-3000 C pada 150
C/min., selama 35 menit, kondisi injection Port Temperature
(Spplit 1:50; 300oC) dengan gas Helium, model kolom Constant,
laju kolom 1 ml/min., injection 4 L untuk setiap sampel dan
diulang 2 kali.

Hasil dan Pembahasan


Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Fusarium solani yang
diinokulasikan tiga tahun sebelum penelitian ini dilakukan masih
tetap ada dan aktif dalam jaringan tanaman, seperti disajikan
dalam Gambar 8.2.

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 127
Tanaman yang diinokulasi dengan F. solani, menimbulkan respon
terhadap infeksi yang terjadi pada tingkat sel, jaringan maupun
organ. Respon yang teramati pada pengamatan ini adalah
perbedaan pada jaringan pengakumulasi senyawa terpenoid,
dimana pada tanaman A. microcarpa yang telah dilalui oleh F.
solani seperti pada jejari parenkima, include phloem dan
empulur, akan terlihat adanya endapan, seperti pada Gambar
8.3. Dalam hubungannya dengan ketahanan tanaman, maka
inokulasi yang dilakukan pada tanaman Aquilaria microcarpa
tergolong ketahanan terinduksi agensia biotik (Misaghi 1982).
Oleh karena ketahanan ini banyak berkaitan dengan proses
fisiologis tanaman, maka semua faktor yang berpengaruh pada
proses fisiologi tanaman akan berpengaruh pula pada ketahanan
tersebut. Beberapa faktor tersebut antara lain umur tanaman,
suhu, panjang hari, intensitas dan kualitas sinar, bahanbahan
mineral, hormon tanaman, kerusakan, keberadaan
mikroorganisme, atau adanya infeksi (Kuc, 1983). Terjadinya
induksi ketahanan ini akibat adanya infeksi lokal. Hal ini diduga
disebabkan oleh cairan sel tanaman yang terinfeksi tidak
mempunyai persediaan makanan yang cukup atau cocok, atau
karena di dalam tanaman yang terinfeksi tersebut terbentuk
senyawa yang bersifat racun, sehingga menghambat
perkembangan patogen (Caruso dan Kuc 1979).

Perubahan fisik dalam tubuh tanaman sebagai tanggapan


terhadap kerusakan atau infeksi dapat terjadi, baik di tingkat
seluler maupun subseluler. Tanggapan ini merupakan proses
yang kompleks dan terkoordinasi yang terjadi segera setelah
masuknya patogen. Perubahan tersebut mengakibatkan
terbentuknya struktur atau bangunan fisik yang berperan
sebagai pembatas (barrier) fisik penghambat perkembangan
patogen. Pembentukan periderm dan kalose (Callose) pada
tanaman merupakan bagian dari proses tersebut. Pembentukan
periderm dan kalose sebagai tanggapan tanaman terhadap
kerusakan oleh F. solani tersebut merupakan mekanisme
ketahanan tanaman. Dalam kalose ini terkandung senyawa fenol

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


128 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
yang berperan, baik sebagai peghalang fisik maupun khemis
terhadap serangan patogen (Mehrotra 1980). Meningkatnya
pembentukan gel (Gom) dan tilosis diduga pula akibat serangan
patogen. Tanaman akan membentuk gom dan tilosis pada
jaringan pengangkutan (xylem) segera setelah ada infeksi
patogen. Adanya tilosis ini menyebabkan terhambatnya
perkembangan dan penyebaran patogen pada jaringan tersebut.

Gambar 8.2. Hifa Fusarium pada jaringan anatomi batang Aquilaria microcarpa

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 129
Gambar 8.3. Penampang dan kulit tersisip yang memiliki endapan dan tidak dijumpai
adanya Fusarium solani

Abundanc e

T IC : I_ 1 .D
T IC : I_ 2 .D
2800000

2600000

2400000

2200000

2000000

1800000

1600000

1400000

1200000

1000000

800000

600000

400000

200000

4 .0 0 5 .0 0 6 .0 0 7 .0 0 8 .0 0 9 .0 0 1 0 .0 0 1 1 .0 0 1 2 .0 0 1 3 .0 0 1 4 .0 0 1 5 .0 0 1 6 .0 0 1 7 .0 0
T im e -->

Gambar 8.4. Hasil analisis GC MS pada tanaman A. microcarpa

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


130 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Komponen Kimia Tanaman Aquilaria microcarpa

Hasil analisis dengan menggunakan GC MS pada tanaman A.


microcarpa yang telah diinokulasi, menunjukkan senyawa kimia
yang diduga berkorelasi dengan pembentukan gaharu seperti
pada Gambar 8.4.

Beberapa senyawa penting yang terkandung dalam gaharu


adalah agarospirol, jinkohol dan chromone yang mungkin akan
menyebabkan aroma khas gaharu (Nakanishi et al 1984, Ishihara
et al 1991; Dai et al 2009). Selanjutnya Yuan (1995) menemukan
perbedaan komponen kimia antara gaharu kualitas tinggi dan
rendah. Agarol merupakan senyawa seskuiterpen pertama yang
diisolasi dari gaharu (Yuan 1995), dan oxo agarospirol
merupakan komponen aroma gaharu yang dihasilkan dari infeksi
jamur pada kayu A. sinensis.

Daftar Pustaka
Agrios GN. 1997. Plant Pathology. New York. Academic Press.
Barden A, Anak NA, Mulliken T and Song M. 2000. Heart of the
matter: Agarwood use and trade and CITES
implementation for Aquilaria malaccensis. TRAFFIC
report.
Christiansen E 1999. Mechanical injury and fungal infection
induce acquired resistance in norway spruce. J Tree
Physiol 19: 399-403.
Dai H, Liu J, Zeng Y, Han Z, Wang H and Mei W. 2009. A New 2-
(2-Phenylethyl) Chromone from Chinese Eaglewood.
Molecules, ISSN 1420-3049. [diunduh; 28 Agustus 2009]
Tersedia pada; www.mdpi.com/journal/molecules

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 131
Ishihara M, Tomoyuki T, Tsuneya, Kenji U. 1991. Fragrant
sesquiterpenes from agarwood. Phytochem 33: 1147-
1155
Keeling CI, Bohlmann J. 2006. Genes, enzymes and chemicals of
terpenoid diversity in the constitutive and induced
defense of conifers against insects and pathogens. New
Phytologist 170: 657-675
Lee MH, Bostock RM. 2006. Induction, regulation, and role in
pathogenesis of appressoria in Monilinia fructicola.
Phytopathology 96:1072-1080.
Mishaghi IJ. 1982. Physiology and Biochemistry of Plant-
Pathogen Interactions. New York.
Nakanishi, T., Yamagata, E., Yoneda, K., Nagashima, T., Kawasaki,
I. Yoshida, T., Mori, H. and Muira, I. 1984. Three fragrant
sesquiterpenes of agarwood. Phytochemistry
23(9):2066-2067
Ngatiman, Armansyah. 2005. Uji coba pembentukan gaharu
dengan cara inokulasi. Seminar Nasional Gaharu
Peluang dan Tantangan Pengembangan Gaharu di
Indonesia Bogor, 1-2 Desember 2005. Seameo Boitrop.
Nieamann KO, Visintini. 2005. Assessment of potential for
remote sensing detection of bark beetle-infested areas
during green attack: a Literature Review. Canada:
Mountain Pine Beetle Initiative
Santoso E, Irianto RSB, Turjaman M, Sitepu IR, Santosa S,
Najmulah, Yani A, Aryanto. 2010. Teknologi Induksi
Pohon Penghasil Gaharu. Di dalam: Siran S dan
Turjaman, editor. Pengembangan Teknologi Produksi
Gaharu Berbasis Pemberdayaan Masyarakat Sekitar
Hutan.

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


132 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Siran S dan Turjaman M 2010. Pengembangan Teknologi Gaharu
Berbasis Pemberdayaan Masyarakat. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor.
Sumarna Y. 2005. Teknologi Pengembangan Rekayasa Produksi
Gaharu. Makalah pada Promosi Gaharu dan Mikoriza.
Pekanbaru. Tidak diterbitkan.
Yuan QS 1995. Aquilaria spesies: in vitro culture and the
production of eaglewood (agarwood) dalam Bajaj YPS
editor. Biotecnology in Agriculture and Forestry 33:
Medicinal and Aromatic Plants VIII.

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 133
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,
134 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
T EKNOLOGI BOINDUKSI GAHARU
9
Erdy Santoso
Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi

Pendahuluan
Gaharu, yang merupakan produk komersil bernilai ekonomis
tinggi, sebenarnya merupakan endapan resin yang terakumulasi
pada jaringan kayu sebagai reaksi pohon terhadap perlukaan
atau infeksi penyakit. Gaharu telah diperdagangkan sejak ratusan
tahun lalu. Menurut Suhartono dan Mardiastuti (2002),
perdagangan produk ini di Indonesia pertama kali tercatat pada
abad ke-5 Masehi, di mana China dilaporkan sebagai pembeli
utama. Dalam perdagangan internasional, komoditas ini dikenal
dengan berbagai nama seperti agarwood, aloeswood, karas,
kresna, jinkoh, oudh, dan masih banyak lagi nama lainnya.
Bentuk perdagangan gaharu beragam, mulai dari bongkahan,
chip, serbuk, dan minyak gaharu (Surata dan Widnyana, 2001).
Komoditas berbentuk minyak biasanya diperoleh dari
penyulingan atau ekstraksi chip gaharu dari kelas yang bermutu
rendah.

Saat ini, gaharu bernilai jual tinggi terutama dari resin wanginya
yang disebut sebagai scent of God, meskipun penggunaan
produk ini sebenarnya tidak terbatas hanya pada bidang
wewangian saja. Pada prinsipnya, pemanfaatan gaharu adalah
untuk pengobatan, incense, dan parfum (Barden et al., 2000).
Incense gaharu digunakan dalam ritual kepercayaan dan
upacara-upacara religius keagamaan, sebagai pengharum
ruangan, sembahyang, serta benda-benda rohani seperti rosario
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,
Teknologi Badan Litbang Kehutanan 135
dan tasbih (Barden et al., 2000). Sementara itu, gaharu juga
digunakan dalam bidang pengobatan sebagai analgesik dan anti
imflamatory (Trupti et al., 2007). Gaharu diketahui bermanfaat
untuk mengatasi berbagai penyakit seperti sakit gigi, ginjal,
rematik, asma, diare, tumor, diuretic, liver, hepatitis, kanker,
cacar, malaria, obat kuat pada masa kehamilan dan bersalin, juga
memiliki sifat anti racun, anti mikrobia, stimulan kerja saraf dan
pencernaan (Heyne, 1987; Barden et al., 2000; Adelina, 2004;
Suhartono dan Mardiastuti, 2002).

Penelitian mengenai berbagai aspek yang terkait dengan gaharu


sudah dilakukan sejak lama dan semakin berkembang dewasa
ini. Penelitian-penelitian ini terutama didorong oleh berbagai
hal, seperti pasokan komersil untuk gaharu yang masih sangat
tergantung dari produksi alam. Tingginya intensitas pemungutan
produk ini telah menyebabkan tercantumnya genus utama
tanaman penghasil gaharu, Gyrinops dan Aquilaria dalam
Appendix II CITES. Selain itu, tidak semua tanaman penghasilnya
mengandung gaharu yang hanya terpicu pembentukannya jika
terjadi kondisi cekaman. Proses pembentukan gaharu juga
membutuhkan waktu yang lama, di mana selama proses tersebut
berlangsung dihasilkan variasi mutu dan pada akhir proses dapat
diperoleh gaharu dengan mutu paling tinggi (Sumadiwangsa dan
Harbagung, 2000).

Terbentuknya gaharu pada tanaman penghasilnya terpicu oleh


faktor biotik maupun abiotik. Untuk menghasilkan gaharu secara
artifisial, perlukaan mekanis pada batang dan pengaruh bahan-
bahan kimia seperti metal jasmonat, oli, gula merah, dan yang
lainnya dapat memicu pembentukan gaharu. Namun,
pembentukan gaharu oleh faktor abiotik (seperti yang telah
disebutkan sebelumnya) tidak menyebabkan terjadinya
penyebaran mekanisme pembentukan ini ke bagian lain dari
pohon yang tidak terkena efek langsung faktor abiotik tersebut.
Lain halnya jika pembentukan gaharu dipicu oleh faktor biotik,
seperti jamur atau jasad renik lainnya. Mekanisme pembentukan

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


136 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
dapat menyebar ke bagian lain pada pohon karena penyebab
mekanisme ini adalah makhluk yang melakukan semua aktivitas
yang diperlukan untuk kehidupannya. Dengan terjadinya
penyebaran pembentukan gaharu ke jaringan lain pada batang
pohon, maka kualitas dan kuantitas produk gaharu yang
dihasilkan akan lebih memuaskan.

Bahan dan Metode


A. Bahan

Bahan yang digunakan pada kegiatan ini adalah 21 isolat


Fusarium spp. yang diinokulasi di Laboratorium Mikrobiologi
Hutan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan
Konservasi Alam Bogor. Isolat fungi tersebut diperoleh dari
batang Aquilaria spp. yang telah menunjukkan adanya
pembentukan gaharu secara alami. Batang Aquilaria spp. diambil
dari beberapa tanaman gaharu yang terdapat di Jawa,
Kalimantan, Sumatera, Maluku, NTB dan Sulawesi (Tabel 9.1).

Tabel 9.1. Isolat-isolat yang diamati

No Kode Asal lokasi No Kode Asal lokasi


1 Ga 1 Kalimantan Tengah 12 Ga 12 Lampung
2 Ga 2 Maluku 13 Ga 13 Bengkulu
3 Ga 3 Sukabumi 14 Ga 14 Bogor
4 Ga 4 Kalsel 15 Ga 15 Mentawai
5 Ga 5 Kaltim 16 Ga 16 Kaltim LK
6 Ga 6 Belitung 17 Ga 17 Kalbar
7 Ga 7 Riau 18 Ga 18 Yanlapa
8 Ga 8 Bengkulu 19 Ga 19 NTB
9 Ga 9 Jambi 20 Ga 20 Kalsel MIC
10 Ga 10 Sumatera Barat 21 Ga 21 Kalteng TL
11 Ga 11 Gorontalo

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 137
Media yang digunakan untuk menambahkan fungi adalah Potato
Dekstrose Agar (PDA). Inokulasi jenis fungi Fusarium spp.
dilakukan pada A. microcarpa tingkat pohon yang berumur 13
tahun. Fungi pembentuk gaharu berasal dari Gorontalo, Jambi,
Kalbar, dan Padang (Sumatera Barat). Alat inokulasi terdiri dari
bor listrik, mata bor ukuran 3 mm, genset, dan lain-lain.

B. Metode

Masing-masing koloni ditumbuhkan pada media PDA dalam


cawan petri, kemudian diinokulasi pada suhu kamar dan
diletakkan di ruangan inokulasi selama tujuh hari. Pengamatan
morfologi dilakukan dengan mikroskop terhadap parameter
ukuran diameter koloni, baik secara horizontal maupun vertikal.
Selain itu, pegamatan dilakukan pula terhadap warna koloni dan
keberadaan aerial miselium.

Identifikasi juga dilakukan dengan mengamati ciri makrokonidia,


mikrokonidia serta bentuk konidiofor. Sediaan kultur dibuat
dengan cara memindahkan potongan kecil isolat fungi
menggunakan alat pelubang gabus berdiameter 5 mm. Isolat
diletakkan pada gelas obyek yang kemudian ditutup dengan
cover glass preparat dan diinkubasi. Ikubasi dilakukan dengan
meletakkan gelas obyek isolat pada ruang tertutup yang
kelembabannya dijaga dengan cara memasukkan kapas yang
telah dibasahi aquadesh steril. Sediaan kultur tersebut diinkubasi
selama tujuh hari, setelah itu koloni yang tumbuh pada gelas
obyek diamati di bawah mikroskop setelah preparat diberi zat
pewarna. Hal yang diamati adalah bentuk dan miselium.

C. Teknik Inokulasi

1. Inokulasi

Pohon contoh yang diunakan adalah A. microcarpa di Hutan


Penelitian Carita. Rancangan acak lengkap dengan perlakuan
daerah asal isolat, yaitu Fusarium spp. asal Gorontalo;

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


138 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Kalimantan Barat; Jambi dan Padang; serta campuran dari
keempat isolat tersebut. Masing-masing isolat diinokulasikan
pada 3 ulangan.

Inokulasi dilakukan pada semua pohon contoh. Sebelum


penginjeksian, semua peralatan yang digunakan disterilkan
terlebih dahulu dengan alkohol 70% untuk menghindari adanya
kontaminasi dari mikrobamikroba lain. Pengeboran dilakukan
dengan kedalaman mencapai 1/3 diameter batang dengan
tujuan inokulum cair nantinya mencapai kambium dan bagian
floem kayu. Inokulum Fusarium spp. cair selanjutnya diinjeksikan
sebanyak 1 ml untuk setiap lubang bor di batang pohon. Lubang
injeksi dibiarkan terbuka untuk memberi kondisi aerasi bagi
mikroba yang diinokulasikan.

2. Pengamatan dan Pengambilan Contoh Gaharu

Pengamatan infeksi dilakukan pada umur inokulasi 2 bulan dan 6


bulan dengan mengukur panjang infeksi vertikal dan horizontal
yang terjadi pada permukaaan batang A. microcarpa.
Pengambilan data dilakukan secara acak pada beberapa titik
injeksi inokulasi dan nilai panjang infeksi merupakan rata-rata
dari panjang titik-titik infeksi tersebut dalam satu pohon.

Hasil dan Pembahasan


A. Keragaman Isolat Fusarium spp.

1. Keragaman Morfologi Isolat Fusarium spp. yang Berasal dari


Berbagai Daerah

Karakter morfologi aerial miselium, warna koloni dan diameter


koloni isolat Fusarium spp. yang berasal dari berbagai daerah
sangat beragam (Tabel 9.2). Keragaman karakter morfologi
Fusarium spp. disebabkan oleh perbedaan asal isolat.

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 139
Tabel 9.2. Keragaman morfologi Fusarium spp. yang berasal dari
berbagai daerah

Karakter morfologi
Kode
No. Diameter
isolat Asal lokasi Aerial Warna
koloni
Koloni pada mm/7 hari Miselium Medium PDA
1 Ga-1 Kalteng 61 Ada,+++ Putih, kuning muda
2 Ga-2 Maluku 49 Ada,++ Putih, coklat muda
3 Ga-3 Sukabumi 48 Ada,+ Coklat muda
4 Ga-4 Kalsel 50 Ada,++ Putih
5 Ga-5 Kaltim 45 Ada,++ Putih
6 Ga-6 Belitung 38 Ada,+ Putih
7 Ga-7 Riau 59 Ada,++ Putih krem
8 Ga-8 Bengkulu 49 Ada,++ Putih
9 Ga-9 Jambi 59 Ada,+++ Putih krem, coklat
muda
10 Ga-10 Padang 61 Ada,+++ Putih
11 Ga-11 Gorontalo 58 Ada,+++ Putih kecoklatan
12 Ga-12 Lampung 58 Ada,+++ Putih tulang, merah
muda
13 Ga-13 Bangka 59 Ada,+++ Putih
14 Ga-14 Bogor 61 Ada,++ Putih
15 Ga-15 Mentawai 56 Tidak ada Coklet, kuning, putih
16 Ga-16 Kaltim LK 57 Ada,+ Putih, unggu
17 Ga-17 Kalbar 59 Ada,+++ Putih krem
18 Ga-18 Yanlapa 58 Ada,++ Putih, kuning muda
19 Ga-19 Mataram 52 Ada,++ Putih
20 Ga-20 Kalsel MIC 50 Ada,++ Putih, kuning muda
21 Ga-21 Kaltel TL 69 Ada,++ Putih, krem
Kelimpahan relatif aerial miselium: + Sedikit, ++ Cukup banyak, +++ Banyak

a. Keberadaan Aerial Miselium

Karakter aerial miselium terdapat hampir pada setiap isolat


Fusarium spp. Isolat yang tidak memiliki aerial miselium dijumpai
pada Ga-15 asal Mentawai. Walaupun sebagian besar isolat

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


140 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Fusarium spp. memiliki aerial miselium, namun terdapat
perbedaan antar isolat jika dilihat berdasarkan kerlimpahan
relatif aerial miseliumnya. Isolat Ga-1, Ga-9, Ga-10, Ga-11, Ga-12,
Ga-13, dan Ga-17 memiliki kelimpahan aerial miselium relatif
banyak (Tabel 9.2), sedangkan isolat Ga-3, Ga-6, dan Ga-16
merupakan isolat dengan kelimpahan aerial miselium sedikit.

Irawati (2004) melaporkan bahwa secara umum cendawan yang


ditumbuhkan pada kondisi terang secara terus-menerus akan
membentuk aerial miselium relatif lebih banyak. Aerial miselium
yang terbentuk dengan kelimpahan relatif banyak merupakan
mekanisme fototropi terhadap kehadiran cahaya (Irawati, 2004).
Namun, karena pada penelitian semua isolat yang diuji
mendapat perlakuan cahaya yang sama, maka perbedaan
kelimpahan aerial miselium adalah disebabkan oleh karakter
masing-masing isolat.

b. Warna Koloni

Selain aerial miselium, keragaman morfologi isolat Fusarium spp.


adalah warna koloni. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa
warna koloni putih terdapat pada isolat Ga-4, Ga-5, Ga-6, Ga-8,
Ga-10, Ga-13, Ga-14, dan Ga-19 (Gambar 9.2, Gambar 9.3, dan
Gambar 9.4). Selain warna putih, beberapa isolat memiliki warna
putih dan warna kuning muda pada isolat Ga-1, cokelat muda
(Ga-2), putih krem (Ga-7, Ga-17, dan Ga-21). Isolat ga-17 dan Ga-
21 memiliki kemiripan warna koloni dengan isolat Fusarium yang
berasal dari Riau yang telah teridentifikasi dan merupakan
spesies Fusarium solani (Luciasih et al., 2006).

Fusarium solani merupakan spesies yang kosmopolit dengan ciri


khas kelimpahan mikrokonidianya elips. Isolat Ga-10 dan Ga-11
memiliki warna koloni putih dan warna cokelat muda (peach).
Isolat Ga-18, Ga-19, dan Ga-20 memiliki warna koloni putih dan
kuning muda.

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 141
Penelitian ini menemukan pula isolat yang memiliki warna koloni
yang sangat berbeda dengan isolat lain, yaitu warna hifa
miselium didominasi oleh warna ungu, namun memiliki warna
koloni putih sedikit tipis pada aerial miselium yang terletak pada
bagian tepi koloni (Gambar 9.3). Keragaman yang terdapat pada
warna koloni berhubungan dengan pigmen yang dikandung oleh
dinding sel hifa. Cendawan yang tidak berpigmen umumnya
berwarna hialin.

c. Diameter Koloni

Diameter koloni Fusarium spp. berkisar antara 30-69 mm. Semua


isolat yang diuji dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok,
yaitu diameter kurang dari 40 mm (isolat Ga-6), isolat dengan
diameter antara 40-50 mm (isolat Ga-2, Ga-4, Ga-5, Ga-8, dan
Ga-20), dan isolat dengan diameter lebih dari 50 mm (isolat Ga-
1, Ga-3, Ga-7, Ga-9, Ga-10, Ga-11, Ga-12, Ga-13, Ga-14, Ga-15,
Ga-16, Ga-17, Ga-18, Ga-19, dan Ga-21) (Tabel 9.2, Gambar 9.2,
Gambar 9.3, dan Gambar 9.4).

Keragaman diameter koloni Fusarium spp. berhubungan dengan


kecepatan tumbuh hifa. Selain itu, terdapat hubungan yang erat
antara kecepatan tumbuh hifa dengan kehadiran aerial miselium.

Diameter koloni merupakan veriabel yang berhubungan erat


dengan kecepatan tumbuh. Pada beberapa isolat Fusarium,
kecepatan tumbuh merupakan karakter yang khas pada setiap
isolat. Kecepatan tumbuh yang tinggi dapat berhubungan juga
dengan kemampuan virulensi. Untuk mengetahui kemampuan
virulensi, maka isolat perlu diuji, misalnya terhadap inangnya.

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


142 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
A B

Gambar 9.1. Pengeboran batang pohon contoh (A) dan injeksi isolat
pada lubang bor (B)

Gambar 9.2. Keragaman morfologi Fusarium spp. (isolat Ga-1, Ga-2, Ga-3, Ga-
4, Ga-5, Ga-6, Ga-7, dan Ga-8) umur tujuh hari pada medium PDA

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 143
Gambar 9.3. Keragaman morfologi Fusarium spp. (isolat Ga-9, Ga-10, Ga-11,
Ga-12, Ga-13, Ga-14, Ga-15, dan Ga-16) umur tujuh hari pada
medium PDA.

Gambar 9.4. Keragaman morfologi Fusarium spp. (isolat Ga-17, Ga-18, Ga-
19, Ga-20, dan Ga-21) umur tujuh hari pada medium PDA

2. Keragaman Mikro dan Makrokonidia serta Konidiofor Isolat


Fusarium spp.

Fusarium spp. memiliki keragaman pada karakter morfologi juga


tampak adanya keragaman karakter mikrokonidia dan
makrokonidia dari isolat yang diuji. Hasil pengamatan
menunjukkan bahwa keragaman terlihat pada karakter jumlah
septa makrokonidia, percabangan konidiofor, bentuk, dan
kelimpahan mikrokonidia.

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


144 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Jumlah septa makrokonidia dominan berjumlah 2-3 yang dimiliki
oleh isolat Ga-1, Ga-3, Ga-5, Ga-6, Ga-7, Ga-8, Ga-10, Ga-18, Ga-
20, dan Ga-21. Namun, dari ke-10 isolat tersebut terdapat
perbedaan pada percabangan konidifornya. Isolat dengan
konidiofor bercabang adalah Ga-18 dan Ga-21; sedangkan isolat
Ga-1, Ga-3, Ga-5, Ga-6, GA-7, Ga-8, dan Ga-10 memiliki
konidiofor sederhana (Tabel 9.3).

Tabel 9.3. Keragaman karakter makrokonidia Fusarium spp. yang


berasal dari berbagai daerah

Karakter histologi
No Kode Makrokonidia Mikrokonidia
Jumlah septa Konidiofor Kelimpahan Bentuk
1 Ga-1 3 Simpel Banyak Elips
2 Ga-2 4 Bercabang Banyak Elips, oval
3 Ga-3 3 Simpel Banyak Elips
4 Ga-4 4-7 Simpel Banyak Elips, oval
5 Ga-5 2 Simpel Sedikit Elips
6 Ga-6 3 Simpel Sedikit Elips, oval
7 Ga-7 2 Simpel Sedikit Elips, oval
8 Ga-8 2 Simpel Sedikit Elips, lonjong
9 Ga-9 5 Simpel Sedikit Elips, sekat
10 Ga-10 3 Simpel Banyak Elips, sekat
11 Ga-11 4 Bercabang Banyak Elips
12 Ga-12 5 Simpel Banyak Elips
13 Ga-13 4 Simpel Sedikit Elips
14 Ga-14 7 Simpel Sedikit Elips
15 Ga-15 4 Bercabang Banyak Elips
16 Ga-16 7 Simpel Sedikit Elips, sekat 3
17 Ga-17 5 Bercabang Sedikit Elips
18 Ga-18 3 Bercabang Banyak Elips
19 Ga-19 4 Simpel Banyak Elips
20 Ga-20 2 Bercabang Sedikit Elips, oval
21 Ga-21 3 Bercabang Banyak Elips

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 145
Isolat Ga-2, Ga-3, dan Ga-15 memiliki jumlah septa empat,
namun dari ke-3 isolat tersebut dapat dibedakan berdasarkan
percabangan konidifor dan bentuk mikrokonidianya. Isolat Ga-2
memiliki konidifor bercabang, bentuk mikrokonidianya elips dan
oval. Isolat Ga-13 memiliki bentuk konidifor simpel dan Ga-15
bentuk konidifornya bercabang.

Mikrokonidia pada berbagai Fusarium memiliki bentuk yang


khas, yaitu berbentuk bulan sabit (fusoid), sehingga
memungkinkan dapat dengan mudah dibedakan dengan genus
lain yang memiliki ciri mirip Fusarium. Genus Fusarium memiliki
kemiripan dengan Cylindrocarpon pada karakter morfologi,
namun Booth (1971) membedakan Cylindrocarpon karena
karakter pangkal konidianya yang relatif tumpul dan tidak
memiliki hock/foot cell yang jelas seperti pada Fusarium spp.

Isolat Ga-12, Ga-14, dan Ga-16 merupakan isolat yang memiliki


jumlah septa makrokonidia relatif banyak, yaitu berkisar 5-7
(Tabel 9.3). Dua dari tiga isolat tersebut, yaitu isolat Ga-12 dan
Ga-14 memiliki kemiripan pada bentuk konidiofor dan bentuk
mikrokonidia, namun kedua isolat tersebut berbeda pada tipe
makrokonidianya. Isolat Ga-12 memiliki ukuran relatif lebih besar
pada makrokonidianya apabila dibandingkan dengan Ga-14
(Gambar 9.5 dan Gambar 9.6). Isolat Ga-14 berbeda dengan
isolat Ga-16 karena pada isolat Ga-16 mikrokonidianya bersekat
(Gambar 9.7).

Luciasih et al. (2006) melaporkan bahwa keragaman antar


Fusarium spp. dari 21 isolat Fusarium spp., beberapa isolat telah
teridentifikasi sampai pada tingkat spesies. Spesies tersebut
merupakan F. sambunicum (isolat Ga-1), F. tricinctum (isolat Ga-
2, Ga-3, dan Ga-5), dan F. solani (isolat Ga-4, Ga-6, Ga-7, Ga-8,
dan Ga-9). Di antara ketiga spesies tersebut, F. solani diketahui
keberadaannya paling dominan sehingga perlu mendapat
perhatian khusus.

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


146 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Fusarium solani berbeda dengan F. sambunicum, antara lain
berdasarkan karakter kelimpahan dan bentuk mikrokonidianya.
Sedangkan F. solani dibedakan dari F. tricinctum berdasarkan
karakter bentuk makrokonidianya, juga bentuk mikrokonidianya
relatif lebih besar untuk F. solani dengan mikrokonidianya
berbentuk elips.

Cowan (1999) menerangkan bahwa tanaman memiliki


kemampuan yang tidak terbatas dalam mensintesis substansi
aromatis yang kebanyakan merupakan senyawa fenol atau
turunan oksigen tersubstitusinya. Pada umumnya, senyawa-
senyawa tersebut merupakan metabolit sekunder yang seringkali
berperan dalam mekanisme pertahanan tanaman terhadap
serangan mikroorganisme, serangga ataupun herbivora.

Gambar 9.5. Keragaman makrokonidia (a) dan mikrokonidia (b) Fusarium


spp. (isolat Ga-1, Ga- 2, Ga-9, Ga-12, Ga-15, Ga-17, Ga-20, dan
Ga-21) dengan perbesaran 40x

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 147
Gambar 9.6. Keragaman makrokonidia (a) dan mikrokonidia (b) Fusarium
spp. (isolat Ga-4, Ga-5, GA-7, Ga-8, GA-10, Ga-11, Ga-14, dan
Ga-18) dengan perbesaran 40x

Gambar 9.7. Keragaman makrokonidia (a) dan mikrokonidia (b)


Fusarium spp. (isolat Ga-3, Ga-6, Ga-13, Ga-16, dan Ga-19)
dengan per-besaran 40x

Gaharu merupakan senyawa fitoaleksin dari pohon gaharu


sebagai mekanisme pertahanannya terhadap infeksi patogen.
Kayu ber-resin ini merupakan metabolit sekunder yang dibentuk
tanaman sebagai respon pertahanan. Pohon penghasil gaharu
sehat tidak pernah memproduksi sesquiterpenoid sebagai
metabolit sekunder yang beraroma harum (Yuan dalam Isnaini,

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


148 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
2004). Tanaman dapat mensintesis dan mengakumulasi
metabolit sekunder sebagai respon terhadap infeksi oleh agen
tertentu, rangsangan fisiologi maupun keadaan cekaman
(Goodman et al. dalam Isnaini, 2004).

Metabolit sekunder dalam sistem pertahanan tanaman, baik


fitoantisipin maupun fitoaleksin, memainkan peranan penting
(Verpoorte et al., 2000). Fitoantisipin adalah senyawa aktif anti
mikrobial yang telah terdapat pada tanaman, kadangkala terpicu
pengaktifannya saat perlukaan. Fitoaleksin adalah senyawa aktif
anti mikrobial yang diproduksi secara de novo setelah perlukaan
atau infeksi. Biosintesis keduanya terpicu pada level gen
(Verpoorte et al., 2000; Vidhyasekaran, 2000).

Metabolit sekunder tanaman yang diturunkan dari terpenoid


memiliki berbagai fungsi dalam tanaman, di antaranya sebagai
minyak esensial (monoterpenoid), atraktan serangga, fitoaleksin
sebagai agen anti mikrobial (sesqui-, di-, dan triterpena).
Berdasarkan berbagai fungsi tersebut, ekspresi dari jalur
biosintesis yang terlibat akan berbeda. Terdapat jalur biosintesis
yang terpicu pada level gen setelah perlukaan atau infeksi dan
ada yang terjadi pada level senyawa, di mana senyawa yang
telah ada secara enzimatis dirubah menjadi senyawa aktif ketika
perlukaan. Sebagai contoh, biosintesis sesquiterpena tertentu
pada solanaceae terpicu oleh infeksi mikroba, sedangkan pada
tanaman lain biosintesis sesquiterpenoid merupakan ekspresi
pembentukan yang umum; misalnya pada Morinda citrifolia,
anthraquinone biasa ditemukan di seluruh bagian tanaman
(Verpoorte, 2000).

Konsentrasi metabolit sekunder bervariasi antar spesies, antar


jaringan (konsentrasi tertinggi berada di kulit, kayu teras, akar,
pangkal percabangan, dan jaringan luka), antar pohon dalam
spesies yang sama, antar spesies, dan antar musim. Jenis-jenis
tropis dan sub-tropis umumnya mengandung jumlah ekstratif

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 149
yang lebih banyak dibanding jenis-jenis di daerah temperet
(Forestry Comission GIFNFC, 2007).

Metabolit sekunder pada kayu dapat disebut sebagai zat


ekstratif. Zat ekstratif yang terdiri dari bermacam-macam bahan
ini memilki fungsi yang penting dalam daya tahan terhadap
serangan jamur dan serangga, memberi bau, rasa, dan warna
pada kayu. Zat ekstratif pada kayu teras dapat menjadi
pertahanan pohon terhadap agen perusak meskipun
pengaruhnya sangat bervariasi pada berbagai habitat (Hills,
1987). Rowell (1984) menyatakan bahwa di antara fungsi zat
ekstratif adalah sebagai bagian dari mekanisme sistem
pertahanan pohon terhadap serangan mikroorganisme.
Metabolit sekunder tanaman efektif dalam melawan hama dan
agen penyakit, karena analog dengan komponen vital tertentu
dari sistem sinyal seluler atau dapat terlibat dengan enzim vital
dan memblokir jalur metabolisme (Forestry Comission GIFNFC,
2007).

B. Analisis Infeksi Batang

Dalam kondisi menghadapi infeksi oleh jamur, pohon penghasil


gaharu akan memberi respon untuk mempertahankan dan
memulihkan dirinya. Daya tahan pohon akan menentukan
pemenang antara pohon dengan penyakit yang disebabkan
mikroorganisme tersebut. Dalam hal pembentukan gaharu,
tentunya diharapkan penyakitlah yang akan menang, sehingga
dihasilkan produk gaharu yang diinginkan. Senyawa kimia yang
dimiliki pohon merupakan salah satu upaya pertahanan pohon
terhadap mikroorganisme penyebab penyakit. Gaharu sendiri
telah diidentifikasi sebagai sesquiterpenoid, senyawa pertahanan
tipe fitoaleksin. Kerentanan pohon dalam menghadapi infeksi
jamur akan berkaitan dengan gaharu yang terbentuk, dapat
direfleksikan masing-masing oleh besar infeksi dan komponen
kimianya.

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


150 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Pada Gambar 9.8 terlihat panjang infeksi yang terjadi pada
batang pohon A. microcarpa pada umur inokulasi 2 bulan dan 6
bulan. Pada umur inokulasi 2 bulan, isolat Fusarium spp. asal
Gorontalo memperlihatkan nilai infeksi yang paling besar, yaitu
4,13 cm; diikuti oleh isolat campuran, Padang, Kalbar, dan yang
terendah adalah infeksi yang terbentuk oleh isolat asal Jambi.
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam, terlihat bahwa asal isolat
berpengaruh nyata terhadap panjang infeksi yang terjadi pada
batang A. microcarpa. Hasil uji lanjut Duncan memastikan bahwa
pada dua bulan sejak inokulasi, isolat asal Gorontalo
menyebabkan infeksi yang paling besar pada batang pohon
penghasil gaharu, diikuti oleh isolat campuran (Tabel 9.4).

Tabel 9.4. Uji lanjut Duncan untuk infeksi 2 bulan umur inokulasi

Asal isolat (Isolate origin) Rataan (Mean value)


Jambi 1,857a
Kalimantan Barat 2,223a
Padang 2,297a
Campuran 3,193a
Gorontalo 4,133a
Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata
pada 0,05

Berbeda dengan kondisi pada umur 2 bulan, pada umur inokulasi


6 bulan, isolat campuran menyebabkan infeksi yang lebih tinggi
dibandingkan isolat yang lain (Gambar 9.8). Pada saat ini, secara
statistik, asal isolat tidak lagi memberikan pengaruh nyata
terhadap infeksi yang terbentuk pada batang A. microcarpa.
Namun sama halnya dengan kondisi pada umur inokulasi 2
bulan, pada Gambar 9.8 terlihat bahwa infeksi tertinggi masih
disebabkan oleh isolat asal Gorontalo dan campuran.

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 151
Gambar 9.8. Panjang infeksi batang A. microcarpa

Gambar 9.9. Laju infeksi pada batang A.


microcarpa

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


152 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Gambar 9.9 menunjukkan perubahan panjang infeksi yang
terjadi sejak dua bulan inokulasi hingga bulan keenam. Meskipun
masih merupakan isolat yang menyebabkan infeksi terbesar,
tetapi infeksi bulan keenam oleh isolat asal Gorontalo terlihat
tidak mengalami perkembangan, sedangkan infeksi oleh
keempat asal isolat yang lain menunjukkan peningkatan yang
beragam. Namun demikian, secara statistik untuk bulan keenam
inokulasi, asal daerah isolat tidak memberikan pengaruh nyata
pada laju infeksi yang terjadi (nilai signifikansi 0,186 pada 5%).

Perkembangan infeksi yang terjadi hingga 6 bulan setelah


inokulasi menunjukkan asal daerah isolat tidak lagi memberikan
pengaruh yang nyata, meskipun yang terbesar masih disebabkan
oleh isolat campuran dan isolat asal Gorontalo. Hal ini diduga
ada kaitannya dengan pertahanan masing-masing pohon contoh.
Meskipun tetap menyebabkan infeksi yang besar, kekonsistenan
perkembangan infeksi sebaiknya diteliti lebih lanjut dengan
mengikuti perkembangan laju infeksi oleh isolat asal Gorontalo
ini hingga kurun waktu tertentu.

Berdasarkan perkembangan infeksi pada pohon A. microcarpa ini


dapat dikatakan bahwa isolat asal Gorontalo menyebabkan
infeksi yang terbesar, yang berarti isolat ini menghasilkan
kuantitas gaharu yang paling besar. Meskipun isolat campuran
menunjukkan panjang infeksi yang lebih tinggi saat 6 bulan
setelah inokulasi, namun ada kemungkinan hal ini masih
merupakan pengaruh dari isolat asal Gorontalo tersebut.

Kesimpulan
1. Secara morfologi isolat Fusarium spp. didominasi warna
putih, namun terdapat warna koloni merah muda, kuning,
dan ungu. Hampir semua isolat memiliki aerial miselium.
Secara histologi, isolat Fusarium spp. memiliki karakter
makrokonidia bersepta 3-4 dan makrokonidia didominasi oleh
bentuk elips.
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,
Teknologi Badan Litbang Kehutanan 153
2. Uji perbedaan kecepatan tumbuh menunjukkan bahwa isolat
Ga-9, Ga-11, dan Ga-17 merupakan isolat yang memiliki
kecepatan tumbuh tinggi apabila dibandingkan dengan isolat
Fusarium yang lain.

3. Hasil inokulasi Fusarium spp. pada batang Aquilaria


microcarpa dapat dianalisis kuantitas dan kualitasnya melalui
pendekatan besaran infeksi dan komponen kimia yang dapat
dianggap masing-masing sebagai refleksi kuantitas dan
kualitas gaharu yang terbentuk.

4. Isolat Fusarium spp. asal Gorontalo menyebabkan infeksi


yang paling besar, jadi sebaiknya isolat ini digunakan untuk
inokulasi pada A. microcarpa jika diinginkan hasil gaharu
dalam jumlah besar.

Daftar Pustaka
Adelina, N. 2004. Seed Leaflet: Aquilaria malaccensis Lamk.
Forest and Landscape Denmark. www.SL.kvl.dk. [2
Februari 2007].
Barden, A., A.A. Nooranie, M. Teresia, and S. Michael (2000).
Heart of The Matter Agarwood Use and Trade and CITES
Implementation for Aquilaria malaccensis, TRAFFIC
Network. pp. 2.
Booth, C. (1971). The Genus Cylondrocarpon. (England:
Commonwealth Mycological Institute). pp. 120-127.
Cowan, M. 1999. Plant Products as Antimicrobial Agents. Clinical
microbiology Review.12 (4) : 564-582.
Forestry Commission GIFNFC. 2007. Chemicals from Trees. http:
//treechemicals. csl. gov.uk/review/extraction.cfm. [14
Juli 2007].

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


154 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Heyne, K. (1987). Tumbuhan Berguna Indonesia. Jilid III. Badan
Litbang Kehutanan. Jakarta. pp. 267-269.
Hills, W. E. 1987. Heartwood and Tree Exudates. Berlin: Springer-
Verlag. Hua SST. 2001. Inhibitory Effect of
Acetosyringone on Two Aflatoxin Biosynthetic Genes.
Applied Microbiology 32 : 278-281.
Irawati. 2004. Karakterisasi Mikoriza Rhizocstonia dari Perakaran
Tanaman Vanili Sehat. Tesis. Magelang. pp. 6-7.
Isnaini, Y. 2004. Induksi Produksi Gubal Gaharu Melalui Inokulasi
Cendawan dan Aplikasi Faktor Biotik. Disertasi. Program
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor
Luciasih, A., D. Wahyuno, dan E. Santoso. 2006. Keanekaragaman
Jenis Jamur yang Potensial dalam Pembentukan Gaharu
dari Batang Aquilaria spp. Jurnal Penelitian Hutan dan
Konservasi Alam III(5):555-564. Pusat Litbang Hutan dan
Konservasi Alam. Bogor.
Rowell, Rm. 1984. The Chemistry of Solid Wood. Washington:
American Chemical Society.
Soehartono, T., A. Mardiastuti. 2002. CITES and Implementation
in Indonesia. Nagao Natural Environment Foundation.
Jakarta.
Sumadiwangsa, E. S. dan Harbagung. 2000. Laju Pertumbuhan
Tegakan Gaharu (Aquilaria malaccensis) di Riau yang
Ditanam dengan Intensitas Budidaya Tinggi dan Manual.
Info Hasil Hutan 6 (1) : 1-16. Pusat Penelitian Hasil Hutan.
Bogor.
Surata, I K., I M. Widnyana. 2001. Teknik Budidaya Gaharu. Aisuli
14. Balai Penelitian Kehutanan Kupang.
Trupti, C., P. Bhutada, K. Nandakumar, R. Somani, P. Miniyar, Y.
Mundhada, S. Gore, K. Kain. 2007. Analgesik and
AntiImfla-matoryactivity of Heartwood of Aquilaria

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 155
agallocha in Laboratory Animal. Pharmacology-online 1 :
288-298.
Verpoorte, R.; R van der Heijden, J. Memelink. 2000. General
Strategies. In Verpoorte, R. and Alfermann, A. W.
(Editors). Metabolic Engineering of Plant Secondary
Metabolism. Kluwer Academic Publisher. Dordrecht,
Boston, London. p : 31-50.
Verpoorte, R. 2000. Plant Secondary Metabolism. In: Verpoorte,
R. and Alfermann, A. W. (Editors). Metabolic Engineering
of Plant Secondary Metabolism. Kluwer Academic
Publisher. Dordrecht, Boston, London. p : 1-30.
Vidhyasekaran, P. 2000. Physiology of Disease Resistant in Plant.
CRC Press Inc. Boca Raton, Florida.

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


156 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Hama Gaharu
dan
Pengendaliannya
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,
157
Teknologi Badan Litbang Kehutanan
10
M ENGENAL HAMA ULAT DAUN
GAHARU Pitama hermesalis
Fajar Lestari dan Edi Suryanto
Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru

Pendahuluan
Gaharu dikenal masyarakat sebagai hasil hutan bukan kayu
(HHBK) yang merupakan salah satu komoditi yang cukup
potensial. Wangi harum yang khas biasa dimanfaatkan untuk
keperluan keagamaan. Selain itu, gaharu juga digunakan sebagai
bahan pembuat parfum, sabun sari aroma gaharu, pengobatan,
dan sampo (Ng et al. 1997; Chakraburty et al., 1994 dalam
Kosmiatin et al., 2005). Kayu gaharu juga cocok digunakan untuk
pembuatan pensil (Lopez, 1998 dalam Kosmiatin et al., 2005).
Sebagai salah satu komoditi potensial, permintaan ekspor gaharu
semakin meningkat. Perdagangan gaharu yang meningkat setiap
tahunnya juga menjadi ancaman bagi keberadaan spesies
tersebut, terutama Gyrinops dan Aquilaria, sehingga keduanya
dimasukkan dalam Appendix II CITES (Convention on
International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and
Flora) (CITES, 2005).

Selama ini, gaharu diambil langsung dari hutan alam (Hartadi


1997; Peters 1996 dalam Kosmiatin et al., 2005), sehingga
populasi pohon menurun dan terancam punah (Oldfield et al.,
1998 dalam Kosmiatin et al., 2005). Penurunan populasi tersebut
disebabkan oleh perburuan dan pemungutan yang dilakukan
berlebihan tanpa memperhatikan kelestariannya. Selain itu,

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 159
kelangkaan juga disebabkan oleh pemungutan yang dilakukan
dengan menebang pohon secara langsung tanpa melihat apakah
pohon tersebut menghasilkan gaharu atau tidak (Sumarna,
2002).

Berbagai upaya perlu dilakukan untuk mengatasi kepunahan


gaharu, salah satunya dengan kegiatan pelestarian melalui
budidaya. Upaya ini diharapkan mampu meningkatkan
produktifitas pohon penghasil gaharu. Selain itu, salah satu kunci
keberhasilan pembangunan hutan juga memerlukan usaha
perencanaan yang baik untuk melindungi tegakan dari
kerusakan. Perlindungan pohon dari berbagai kerusakan
memerlukan perhatian khusus terutama yang disebabkan oleh
adanya organisme pengganggu pohon (OPT) seperti hama pada
gaharu.

Serangan hama dapat menimbulkan dampak negatif, seperti


mengganggu pertumbuhan dan menurunkan produktifitas
tegakan. Pada tingkat serangan yang berat dapat menimbulkan
kematian, sehingga apabila diabaikan maka akan menimbulkan
kerugian secara ekonomi. Lestari dan Suryanto (2010) telah
mengidentifikasi jenis hama yang menyerang pohon gaharu,
yaitu ulat Heortia vitessoides dan kutu putih. Ulat menyerang
pohon gaharu di lapangan dengan memakan daging daun,
sedangkan kutu menyerang pada tingkat semai dengan
menghisap cairan dengan cara menempel pada permukaan daun
dan seluruh batang bibit gaharu. Selain kedua hama tersebut,
diduga terdapat hama ulat jenis lain yang berpotensi menyerang
pohon gaharu di lapangan.

Informasi mengenai jenis, persentase dan intensitas serangan


hama diperlukan sebelum upaya pengendalian dilakukan. Hal ini
dikarenakan apabila terjadi kesalahan dalam mengidentifikasi
dapat menimbulkan permasalahan yang baru. Oleh karena itu,
penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis hama lain yang
berpotensi menyerang pohon gaharu di desa Gumbil, Kecamatan

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


160 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Telaga Langsat, Kandangan (Hulu Sungai Selatan), Kalimantan
Selatan.

Bahan dan Metode


A. Tempat dan Waktu

Penelitian dilakukan di Desa Gumbil, Kecamatan Telaga Langsat,


Kandangan (Hulu Sungai Selatan), Kalimantan Selatan, pada
bulan Juli 2012.

B. Bahan dan Alat

Bahan penelitian terdiri dari tegakan gaharu dan alkhohol,


sedangkan alat yang digunakan antara lain toples, kamera,
dinolite (digital microscope) dan alat tulis.

C. Metode Kegiatan

Persentase serangan hama dihitung dengan menggunakan


rumus menurut Sinaga (2000) dalam Anggraini dan Wibowo
(2006), sebagai berikut:

P = persentase serangan hama (%); n = jumlah pohon yang diserang


hama; N = total pohon dalam petak ukur.

Data intensitas serangan dihitung dengan menggunakan rumus


sebagai berikut :

I = Intensitas serangan hama (%); ni = jumlah pohon yang terserang


dengan klasifikasi tertentu; vj = skor untuk klasifikasi kerusakan tertentu;
Z = skor tertinggi dalam klasifikasi; N = jumlah pohon seluruhnya dalam
satu petak contoh.

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 161
Penilaian intensitas serangan dibagi dalam beberapa kategori
(Bower at al., 1995 dalam Winarto, 1997 dalam Utami et al.,
2009), yang telah dimodifikasi sebagai dasar dalam menentukan
intesitas serangan hama (Tabel 10.1).

Tabel 10.1. Klasifikasi tingkat kerusakan daun yang disebabkan oleh


ulat H. vitessoides

Persentase
Skor Kategori Deskripsi
serangan
0 Sehat 0 Tidak ada serangan / daun lebat
1 Ringan 1 20% Daun yang rusak 1/5 dari jumlah
seluruh daun
2 Sedang 21 40% Daun yang rusak 2/5 dari jumlah
seluruh daun
3 Agak 41 60% Daun yang rusak 3/5 dari jumlah
berat seluruh daun
4 Berat 61 80% Daun yang rusak 4/5 dari jumlah
seluruh daun
5 Sangat > 80% Daun yang rusak > 80% dari
berat jumlah seluruh daun

Hasil dan Pembahasan


A. Tanda dan Persentase Serangan Pitama hermesalis

Inventarisasi dan identifikasi jenis hama yang menyerang pohon


penghasil gaharu diperlukan sebagai informasi awal guna
menentukan langkah/upaya untuk mengambil kebijakan. Selain
itu, informasi tersebut juga diperlukan sebelum upaya
pengendalian dilakukan. Hal ini dikarenakan pada jenis hama
yang berbeda, upaya pengendalian yang dilakukan juga berbeda.

Hasil pengamatan di lapangan ditemukan beberapa daun gaharu


berlubang dan berwarna kecoklatan (kering). Selain itu, juga

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


162 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
ditemukan daun satu dengan yang lainnya menempel/ melekat
dan daun bagian bawah nampak transparan (Gambar 10.1).

Berdasarkan hasil identifikasi diketahui bahwa jenis hama yang


ditemukan menyerang pohon penghasil gaharu di Kandangan
adalah jenis Pitama hermesalis. Hama ini termasuk dalam ordo
Lepidoptera, family Crambidae dan menyerang daun pada stadia
larva/ulat. Larva P. hermesalis hidup di dalam daun- daun yang
melekat atau berdempetan satu sama lain, dan di dalam lipatan
ini ulat melakukan aktifitas makannya (Gambar 10.2). Aktifitas
seperti ini juga terjadi pada ulat jenis Agrotera basinotata
Hampson (Pyralidae: Lepidoptera) yang menyerang daun gelam
(Melaleuca lecadendron) di Sumatera Selatan, yaitu daun-daun
muda dan daun-daun bagian pucuk melekat atau berdempetan
satu sama lain dan membentuk suatu ruangan yang digunakan
sebagai tempat untuk aktifitas makannya (Asmaliyah, 2010).

Pada satu individu pohon gaharu, ulat ditemukan tidak


secara berkelompok, namun menyebar secara acak pada setiap
bagian tajuk atas, tengah dan bawah. Ulat P. hermesalis
memakan lapisan daun gaharu yang digunakan sebagai sarang
hingga daun tersebut terlihat transparan. Bagian transparan
tersebut adalah jaringan epidermis yang tertinggal karena daging
dan serat daun telah dimakan ulat (Gambar 10.3). Hal ini juga
terjadi pada pohon gelam (Melaleuca leucadendron) di Sumatera
Selatan yang diserang hama ulat Agrotera basinotata Hampson
(Pyralidae: Lepidoptera). Daun diserang ulat tersebut dengan
memakan daging daun atau zat hijau daun dan urat daun yang
ada dibagian pucuk sehingga yang tersisa hanya epidermis daun
yang transparan (Asmaliyah et al., 2010).

Daun yang telah dimakan lama kelamaan akan kering, berwarna


coklat dan akhirnya daun berlubang atau gugur. Dampak dari
gugurnya daun dapat menghambat dan mengurangi hasil
fotosintesa dan selanjutnya akan menghambat pertumbuhan.
Daun merupakan organ tumbuhan yang mempunyai peran

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 163
penting dalam memproduksi bahan makanan (fotosintesa),
fotosintesa adalah proses pembuatan gula dari karbondioksida
(CO2) dan air (H2O) dengan bantuan klorofil dan cahaya matahari
sebagai sumber energinya (Agrios, 2005).

Pengamatan dan pengukuran tingkat kerusakan akibat serangan


hama dapat diketahui berdasarkan kejadian hama dan intensitas
serangan hama tersebut. Persentase kejadian hama ulat P.
hermesalis sebesar 51,79 %, sedangkan tingkat kerusakan pada
daun sebesar 25%. Hal ini mengindikasikan bahwa sebagian
besar pohon yang berada pada plot pengamatan diserang,
namun tingkat kerusakan pada daun yang ditimbulkan masuk
dalam kategori sedang. Tingkat kerusakan daun (sedang) diduga
karena ulat tidak memakan seluruh daging daun dan ulat tidak
menyerang bagian pucuk seperti jenis ulat Heortia vitessoides.
Lestari dan Suryanto (2010) melaporkan bahwa ulat H.
vitessoides menyerang pohon penghasil gaharu dengan
membentuk koloni dan memakan daging daun mulai dari pucuk
sampai daun tua, sehingga pohon menjadi gundul (tidak
berdaun).

Pada umumnya besarnya tingkat kerusakan akibat


serangan hama dipengaruhi oleh jumlah populasi hama, bagian
yang diserang, dan tipe serangan. Larva P. hermesalis menyerang
daun dengan jumlah populasi yang rendah yaitu 1 sampai
dengan 2 larva pada tiap lipatan daun. Bagian yang diserang
adalah daun dengan tipe serangan memakan sebagian daging
daun. Namun demikian kerusakan sekecil apapun apabila
dibiarkan terus menerus akan menimbulkan kerugian. Hardi dan
Anggraeni (2004) mengatakan bahwa pada populasi yang relatif
kecil, kerusakan yang ditimbulkan secara ekonomi tidak berarti,
namun apabila populasi terus meningkat maka kerusakan yang
ditimbulkan akan merugikan secara ekonomi.

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


164 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Gambar 10.1.
Dua daun
gaharu saling
melekat sebagai
sarang ulat

Gambar 10.2.
Ulat
P. hermesalis
bersembunyi
di dalam
lipatan daun
gaharu

Gambar 10.3.
Bagian
epidermis daun
yang
transparan

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 165
B. Morfologi Pitama hermesalis

Larva P. hermesalis tubuh beruas, berwarna kuning dengan


kepala lebih besar dan berwarna lebih gelap daripada tubuhnya.
Sepanjang ruas kiri kanan tubuhnya terdapat rambut-rambut
yang sangat lembut. Ciri khas dari ulat ini adalah corak biru tua
mengkilap sepanjang tubuhnya dari kepala sampai dengan ekor.
Warna tubuh berubah pada saat memasuki fase prepupa, yaitu
kuning kecoklatan.

Gambar 10.4.
a
(a) Motif tubuh ulat jenis H. vitessoides,
punggung polos dengan garis warna putih
sepanjang ruas tubuh H. vitessoides, (b) Motif
tubuh ulat jenis P. hermesalis, punggung
berbentuk segiempat P. Hermesalis

Secara kasat mata morfologi dan ukuran


tubuh ulat P. hermesalis dan jenis H.
vitessoides sama. Persamaan kedua jenis
ulat ini terlihat pada bentuk tubuh,
ukuran tubuh dan siklus hidup. Akan
b tetapi apabila diamati lebih dalam kedua
jenis ulat ini mempunyai beberapa
perbedaan. Perbedaan tersebut
diantaranya terletak pada bentuk kepala,
corak warna biru yang terdapat sepanjang
ruas tubuh dan warna ngengat (imago).

Ciri khas dari kedua jenis ulat ini adalah


adanya corak/motif warna biru mengkilap
pada sepanjang ruas tubuhnya. Jenis H.
vitessoides corak biru hanya terdapat
pada kedua sisi bagian luar sepanjang

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


166 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
ruas tubuh dan sepanjang punggung tidak bermotif (polos),
berwarna seperti bagian lainnya kuning kehijau-hijauan (Gambar
10.4.a). Selain itu, pada permukaan atasnya terdapat garis putih
memanjang membingkai motif biru mengkilap pada setiap
sisinya. Sedangkan jenis P. Hermesalis, pada sepanjang seluruh
permukaan atas ruas tubuhnya terdapat motif biru mengkilap
berbentuk kotak, dan sisi kiri maupun sisi kanan berbentuk bulat
(Gambar 10.4.b).

a b

Gambar 10.5. (a) Kepala ulat jenis H. vitessoides, (b) Kepala ulat jenis P.
Hermesalis

Perbedaan kepala (thorax) kedua jenis ulat ini terletak pada


bentuk dan warnanya. Pada jenis H. vitessoides kepala berwarna
kuning, lebih terang dan bentuknya lebih bulat melengkung
kebawah (Gambar 10.5.a), dibandingkan pada jenis P. hermesalis
yaitu warna kepala lebih gelap (kecoklatan) dan bentuknya pipih,
lurus memanjang (Gambar 10.5.b). Pada perbesaran 75X dengan
menggunakan dinolight panjang kepala H. vitessoides 1.396 mm
(Gambar 10.6.a), sedangkan P. hermesalis adalah 3.022 mm
(Gambar 10.6.b).

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 167
b

Gambar 10.6. Pembesaran gambar 75x terhadap: (a) Kepala ulat jenis H. vitessoides,
(b) Kepala ulat jenis P. Hermesalis

a b

Gambar 10.7. (a) Ngengat ulat jenis H. vitessoides, (b) Ngengat ulat jenis P.
Hermesalis

a b

Gambar 10.8. (a) Tiga pasang Trueleg, (b) Proleg pada ruas tubuh

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


168 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Perbedaan ngengat yang terbentuk pasca kepompong terletak
pada warna dan bentuk sungut (antena) (Gambar 10.7). Pada
jenis H. vitessoides ngengat berwarna putih dengan motif putih
di sepanjang tubuh dan sayapnya. Sedangkan pada jenis P.
hermesalis ngengat berwarna putih dengan warna hitam di
bagian tepi dan ujung sayapnya.

Ukuran tubuh ngengat kurang lebih sama, dengan panjang 15


mm dan lebar 18-20 mm dan aktif pada waktu malam hari.
Perbedaan lain tampak pada sungutnya yaitu sungut H.
vitessoides lurus menghadap keluar, sedangkan pada P.
hermesalis melengkung pada ujungnya.

Anggota-anggota ordo ini mengalami metamorfosis sempurna.


Larva/ulat berbentuk erusiform dengan satu kepala dan tubuh
yang silindrik, beruas. Kepala mengandung stemmata pada
masing-masing sisi diatas mandible dan sepasang sungut yang
pendek. Ruas kepala mempunyai sepasang tungkai, tiga pasang
trueleg dan ruas-ruas perut mengandung proleg (Gambar 10.8).
Pada proleg terdapat kait-kait kecil yang biasa disebut kroset
(Borror, et al.,1992).

Kesimpulan
Ulat jenis P. hermesalis berpotensi sebagai hama daun gaharu di
desa Gumbil, kabupaten Kandangan, Kalimantan Selatan, dengan
persentase serangan sebesar 51,79% dan tingkat kerusakan pada
daun sebesar 25%. P. hermesalis memakan daun hingga tersisa
bagian epidermisnya saja kemudian bersembunyi pada lipatan
daun sebagai sarang. Secara morfologi P. hermesalis berbeda
dengan H. vitessoides dalam hal corak biru pada tubuhnya,
warna ngengat dan bentuk sungut.

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 169
Daftar Pustaka
Agrios, G.N. 2005. Plant Pathology. 5th eds. Elsevier Academic
Press. USA.
Anggraeni, I dan A. Wibowo. 2006. Serangan Penyakit Embun
Tepung dan Karat Daun pada Acacia auriculifomis A.
Cunn. Ex Benth. Di Kediri Jawa Timur. Jurnal Penelitian
Hutan dan Konservasi Alam Vol. 3 (1) : 45-53. Bogor.
Asmaliyah, E. E. Hadi dan Bastoni. 2010. Serangan Hama Pada
Perpohon Gelam (Melaleuca leucadendron) Dan Peta
Sebarannya di Sumatera Selatan. Prosiding Workshop
Sintesa Hasil Penelitian Hutan Pohon 2010. Pusat Litbang
Peningkatan Produktivitas Hutan. Bogor, Desember
2011.
Borror, D. J., C. A. Triplehorn dan N. F. Johnson. 1992.
Pengenalan Pelajaran Serangga. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta.
CITES. 2005. Convention on International Trade in Endangered
Species of Wild Fauna and Flora. Appendice I, II and III of
CITES. UNEP. 48 pp.
Hardi, T dan I. Anggraeni. 2004. Hama dan Penyakit Pada Pohon
Jati dan Kayu Putih. Ekspose Terpadu Hasil-Hasil
Penelitian. Yogyakarta 11-12 Oktober 2004. P3BPTH.
Yogyakarta.
Kosmiatin, M., A. Husni dan I. Mariska. 2005. Perkecambahan
danPerbanyakan Gaharu Secara In Vitro. Jurnal
AgroBiogen 1(2): 62 67. Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik
Pertanian. Bogor.
Lestari, F. dan E. Suryanto. 2010. Identifikasi jenis-jenis hama dan
penyakit Gaharu. Laporan Hasil Penelitian. Balai
Penelitian Kehutanan Banjarbaru. Tidak dipublikasikan.

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


170 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Sumarna, Y. 2002. Budidaya Gaharu Seri Agribisnis. Cetakan ke-1.
PT Penebar Swadaya. Jakarta.
Utami, S., Asmaliyah dan H. Siahaan. 2009. Identifikasi Penyakit
Pada Bibit Jelutung (Dyera costulata Hook. F) di
Persemaian. Jurnal Penelitian Hutan Pohon Vol. 6 (1): 29-
36. Bogor.

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 171
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,
172 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
11
P ENGENDALIAN HAMA DAUN
GAHARU Aquilaria microcarpa
Ragil S.B. Irianto
Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi

Pendahuluan
A. Latar Belakang

Gaharu merupakan salah satu komoditas hasil hutan bukan kayu


yang mempunyai peran penting dalam peningkatan devisa
negara. Gaharu merupakan kayu resin yang diproduksi oleh
pohon dari genus Aquilaria dan Gyrinops yang digunakan untuk
dupa, bahan parfum, dan bahan obat. Indonesia mempunyai
lebih dari 26 jenis penghasil gaharu yang tersebar di Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua.

Akibat dari pola pemanenan yang berlebihan dan perdagangan


gaharu yang masih mengandalkan pada alam tersebut, maka
jenis-jenis Aquilaria spp. dan Gyrinops spp. saat ini sudah
tergolong langka dan masuk dalam lampiran Convention on
International Trade on Endangered Species of Flora and Fauna
(Appendix II, CITES).

Guna menghindari agar jenis-jenis pohon penghasil gaharu di


alam tidak punah dan pemanfaatannya dapat lestari, maka perlu
upaya konservasi, baik in-situ (dalam habitat), maupun ex-situ (di
luar habitat), dan budidaya. Penanaman/budidaya gaharu dalam

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 173
skala luas secara monokultur akan rentan terhadap serangan
hama dan penyakit.

Berdasarkan hasil survey pada tahun 2005 telah ditemukan


adanya serangan hama ulat daun di beberapa lokasi penanaman
pohon penghasil gaharu di Indonesia. Selanjutnya, pada tahun
2008, serangan hama ulat di lokasi-lokasi budidaya gaharu
meningkat tajam. Oleh karena itu, pengembangan budidaya
gaharu ke depan secara luas juga perlu diperhatikan dengan
adanya serangan hama daun, yang juga dapat menghambat
penanaman dan pertumbuhan. Serangan hama daun ini dapat
menyebabkan pertumbuhan tanaman penghasil gaharu merana
dan dapat menimbulkan kematian.

B. Tujuan

Tujuan dari penulisan ini adalah melakukan pengkajian terhadap


serangan hama daun Heortia vitessoides pada jenis-jenis pohon
penghasil gaharu di Indonesia. Selain itu, strategi pengendalian
hama ulat daun tersebut perlu diformulasikan pula, terutama
apabila terjadi ledakan serangan hama ulat daun gaharu.

Bahan dan Metode


A. Lokasi Penelitian

Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Carita terletak


12 km dari kota Labuan, Propinsi Banten. Luas areal KHDTK
adalah 3.000 hektar. Sebelumnya, kawasan ini dikelola oleh
Perum Perhutani, tetapi kemudian berdasarkan Surat Keputusan
Menteri Kehutanan tahun 2006, pengelolaan ini ditujukan
khusus untuk kegiatan penelitian dan pengembangan di bawah
pengelolaan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan,
Departemen Kehutanan. Permasalahan pokok yang ada di
kawasan hutan produksi terbatas ini adalah telah masuknya
masyarakat sekitar hutan menanam jenis-jenis pohon

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


174 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
perkebunan dan pertanian seperti singkong, pisang, pepaya,
melinjo, pete, jengkol, durian, dan lain-lain.

B. Metodologi Penelitian

1. Pengamatan tingkat serangan hama ulat

Pengamatan tingkat serangan hama ulat pohon gaharu dilakukan


secara sensus. Tingkat serangan dihitung berdasarkan skor
tingkat kerusakan dan pohon gaharu yang telah mati juga
diamati. Jumlah pohon gaharu yang ada di KHDTK Carita adalah
360 batang pohon.

2. Pengamatan siklus hidup

Pengamatan siklus hidup dilakukan dengan cara mengoleksi


larva-larva hama daun gaharu yang masih muda. Larva
diletakkan di dalam sebuah toples berukuran 20-30 cm. Setiap
toples diberikan daun gaharu agar larva berkembang dengan
baik dan berubah menjadi kepompong. Pada bagian dasar toples
diletakkan serbuk gergaji agar kepompong dapat berkembang
dengan baik. Pengamatan selanjutnya adalah proses dari
kepompong menjadi ngengat/kupu, dan kemudian dari kupu
diamati proses bertelurnya. Parameter yang diukur adalah
waktu perubahan telur, larva, kepompong, ngengat dan sampai
bertelur.

3. Pengendalian Hama ulat

Pengendalian hama ulat pada tahap mendesak dilakukan dengan


menggunakan insektisida sistemik dan kontak. Selain itu, pupuk
daun dan perekat insektisida ditambahkan agar proses
penyemprotan dapat lebih efektif, terutama pada musim hujan.
Pohon yang disemprot adalah pohon yang sudah terserang hama
ulat daun. Penyemprotan dilakukan sebanyak tiga kali setiap
interval tiga minggu. Parameter yang diukur adalah persentase

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 175
tunas/daun muda yang tumbuh dan waktu pertumbuhan
daunnya.

Hasil dan Pembahasan


Hama daun yang menyerang pohon penghasil gaharu pada tiga
tahun terakhir ini sangat mengganggu pertumbuhan. Akibat
serangan ini, daun pohon penghasil gaharu dapat rusak dan
daun-daunnya habis dimakan hama. Selanjutnya, pohon tidak
mendapat kesempatan untuk tumbuh kembali, sehingga lama
kelamaan pohon akan mati. Untuk mengantisipasi hama daun
penghasil gaharu ini diperlukan pengendalian secara integratif,
baik secara kimia dengan insektisida, biologi dengan bakteri atau
jamur entomopatogenik maupun dengan sistem silvikultur.

Hasil identifikasi hama daun pada pohon penghasil gaharu


diketahui berasal dari jenis Heortia Vitessoides Moore. Hama ini
telah dilaporkan menyerang tanaman gaharu (Aquilaria
malaccenssis Lamk) pada tahun 1998 di India.

A. Klasifikasi

Kingdom : Animalia
Phylum : Arthropoda
Class : Insecta
Order : Lepidoptera
Family : Pyraloidea
Genus : Heortia
Species : Heortia Vitessoides Moore 1885

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


176 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
B. Siklus Hidup

Telur 10 hari
Ngengat (4 hari)


Larva 23 hari
Kepompong (8 hari) Telur (23 hari)
Ulat


Larva (8 hari)
Kepompong 8 hari


Ngengat 4 hari (Kalita et al.; 2008)

Bentuk larva dan ngengat yang ditemukan oleh Santoso et al.


(2008) secara visual sama dengan yang ditemukan oleh Kalita et
al. (2008). Pada Gambar 11.1 ditampilkan ulat daun dan ngengat
yang ditemukan di KHDTK Carita, Banten.

Gambar 11.1. hama ulat daun H. Vittessoides yang menyerang pohon


penghasil gaharu Aquilaria microcarpa di KHDTK
Carita, Banten

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 177
Menurut Kalita et al. (2008), ngengat-ngengat tersebut
meletakkan telur-telurnya di daun muda pohon penghasil gaharu
dengan jumlah 350-550 telur. Berdasarkan hasil pengamatan di
lapangan, tingkat serangan hama ulat daun di KHDTK Carita
telah mencapai 100% dengan intensitas serangan daun
bervariasi, sekitar 20-100%. Visualiasi intensitas serangan hama
ulat daun di KHDTK Carita ditampilkan pada Gambar 11.2.

Gambar 11.2. Intensitas serangan hama ulat daun pohon penghasil


gaharu Aquilaria microcarpa di KHDTK Carita (Banten)
pada bulan Oktober 2008

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


178 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
C. Sebaran hama daun pohon penghasil gaharu

Sebaran hama daun tersebut meliputi wilayah Fiji, Hongkong,


Thailand, dan utara Queensland (Australia) (Don Herbison Evans,
2008). Sementara itu, serangan hama daun di Indonesia telah di
laporkan oleh Santoso et al. (2008). Daerah sebaran hama daun
pohon penghasil gaharu tersebut, antara lain KHDTK Carita di
Banten; Desa Parindu, Bodok, Sanggau, di Kalimantan Barat;
Kandangan, Barabai di Kalimantan Selatan; Malino di Kalimantan
Timur, NTB, dan Sumatera Selatan.

Serangan hama daun pohon penghasil gaharu mula-mula


ditemukan pada pertengahan 2005 di daerah KHDTK Carita,
(Banten) dan Desa Parindu, Sanggau (Kalimantan Barat).
Serangan hama pada tahun 2008 cukup parah, intensitas
serangan hama tersebut di KHDTK Carita (Banten) dapat
mencapai 100% dan mengakibatkan kematian pohon penghasil
gaharu berumur 13 tahun sebanyak 20 pohon. Sementara itu,
serangan hama daun pohon penghasil gaharu di Desa Parindu,
Bodok, Sanggau (Kalimantan Barat) telah menimbulkan
kematian sekitar 50 pohon.

Serangan hama perlu dikendalikan dengan cepat dan untuk


untuk mengantisipasinya diperlukan strategi pengendalian yang
tepat. Berdasarkan hasil pengamatan Pusat Litbang Hutan dan
Konservasi Alam tahun 2008, waktu serangan umumnya terjadi
pada musim pancaroba, yaitu peralihan dari musim kemarau ke
musim hujan (April-Juni 2008), dan peralihan dari musim hujan
ke musim kemarau (Oktober-November 2008).

Pengendalian hama ulat daun pohon penghasil gaharu dapat


dibagi menjadi:

a) Pengendalian Jangka Pendek

Pengendalian dilakukan dengan cara menggunakan bahan kimia.


Insektisida (kimiawi) yang telah diuji cobakan terdiri dari

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 179
campuran 2 jenis insektisida kontak dan sistemik, ditambah
perekat (untuk serangan musim hujan) dan pupuk daun. Hasil
kombinasi bahan kimia ini (Tabel 1) cukup memuaskan, dimana
hama ulat daun gaharu di KHDTK Carita mengalami kematian
dan dalam waktu satu minggu terubusan daun muda pada pohon
penghasil gaharu tumbuh kembali. Namun demikian, teknik
penyemprotan bahan kimia secara manual kurang efiesien dan
praktis. Oleh sebab itu, ujicoba penyemprotan dengan beberapa
peralatan mekanis berupa alat pengkabutan air yang bertekanan
tinggi perlu dilakukan.

Tabel 11.1. Jenis-jenis insektisida yang digunakan untuk


mengendaliakan hama ulat daun gaharu Aquilaria
microcarpa di KHDTK Carita, Banten.

No. Jenis Insektisida Dosis Keterangan

1. Ripcord (Basf) 1cc/1 L Kontak

2. Caleb Tsan 2 EC 1cc/1L Sistemik

3. Bayfolan 1cc/1L Pupuk daun

4. Pro Sticcer 1cc/1L Perekat

Selain itu, pada jangka pendek perlu dilakukan usaha


pencegahan dan pengendalian, sebagai berikut :

- Membersihkan semak-semak di bagian bawah pohon


penghasil gaharu, sehingga kepompong yang diletakkan di
tanah dapat dikendalikan dengan menggunakan bakteri
(seperti Bacillus thuringiensis) dan jamur (seperti Beauveria
bassiana).

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


180 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
- Perlakuan pemangkasan terhadap ranting-ranting pohon
penghasil gaharu, dimana ngengat-ngengat tersebut
terbangnya rendah (diduga karena kemampuan terbang
ngengat terbatas), sehingga apabila ranting-ranting di
pangkas, maka ngengat-ngengat tersebut tidak dapat
meletakkan telur-telurnya di daun pohon penghasil gaharu.

- Pengendalian dengan biologi (saat penulisan ini belum


dilakukan tetapi akan diuji cobakan).

b) Pengendalian Jangka Panjang

- Melakukan tanaman campuran (teknik silvikultur), misalnya


pohon penghasil gaharu dicampur dengan pohon mimba
(Azadirachta indica).

- Melakukan ujicoba penggunaan predator semut untuk


mengendalikan hama ulat yang terdapat di KHDTK (Kawasan
Khusus Dengan Tujuan Khusus) Carita, Provinsi Banten.

- Mencari tanaman yang resisten terhadap hama dan pohon


penghasil gaharu.

Kesimpulan dan Rekomendasi


Berdasarkan hasil kajian ini diperoleh informasi tentang potensi
serangan hama ulat daun gaharu dari tahun ke tahun (2005-
2008) yang telah mengalami peningkatan secara signifikan. Hasil
pengendalian hama ulat daun dengan insektisida menunjukkan
hasil yang signifikan setelah dilakukan tiga kali penyemprotan
pada setiap tiga minggu. Pengamatan dan monitoring
keberadaan hama ulat daun pada pohon gaharu tetap dilakukan
hingga musim kemarau mendatang. Strategi pengendalian
jangka pendek dengan menggunakan bahan kimia cukup efektif
untuk digunakan dalam mengendalikan hama ulat daun gaharu.
Selanjutnya, serangan hama ulat daun gaharu yang biasanya

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 181
dimulai pada bulan Februari hingga November setiap tahunnya
perlu diantisipasi. Badan Litbang Kehutanan perlu
menginformasikan kepada jajaran eselon I lainnya yang ada di
Departemen Kehutanan, agar menindaklanjuti temuan ini ke
seluruh provinsi/kabupaten yang mempunyai program kegiatan
budidaya pohon penghasil gaharu. Selain itu, informasi teknis
pengendalian perlu disebarluaskan sampai ke tingkat kelompok
tani hutan yang mengembangkan pohon penghasil gaharu.

Daftar Pustaka
Gurung. D, N.Dutta and P.C. Shaman, 2008. On The Insect Pests.
Of Aquilaria agallocha (Roxb) Rai Forest Research
Institute. (Availlable from http : //rfri.icfre.gov.in/
rpap13.htm. Diunduh 8 Desember 2008)
Herbison Evans & Stella Crossley 2008 Heortia vitessoides
Moore, (1885) (Available From http://
lines.socs.uts.edu.au/~don/larvae/odon/vitessoides.htm.
Diunduh 8 Desember 2008)
J. Kalita : Bhattacharyya P.R ; Nath S.C (2008) Heortia vitessoides
Moore (Lepidoptera Pyralidae) A serious pest of
agarwood plant (Aquilaria mallacensis Lamk.)
Santoso E, M. Turjaman, I. R. Sitepu, dan R. SB Irianto. 2008.
Hama daun gaharu. tidak diterbitkan)

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


182 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Sosial Ekonomi
dan
Pengembangan
Gaharu
12
I NDUSTRI HULU-HILIR GAHARU
Maman Turjaman
Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi

Pendahuluan
Gaharu merupakan komoditi hasil hutan bukan kayu (HHBK).
Berdasarkan aspek ekonomi, gaharu memberikan kesejahteraan
masyarakat Indonesia karena permintaan dan kebutuhan gaharu
dunia dari tahun ke tahun semakin meningkat (Siran dan
Turjaman, 2010). Beberapa komoditi gaharu telah masuk CITES
(the Convention on International Trade in Endangered Species of
Wild Fauna and Flora) Appendix II sejak satu dekade yang lalu
dan memberi tanda bahwa jenis pohon ini dalam status langka,
sehingga perlu diambil tindakan penyelamatan berupa riset dan
penanaman berbagai jenis pohon penghasil gaharu di seluruh
Indonesia. Saat ini, tata niaga dan pasar gaharu di Indonesia
lebih mengatur produk gaharu alam, namun tidak
mengakomodir produk gaharu hasil budidaya. Kebijakan dan
pelaksanaan CITES Indonesia yaitu berupa pengaturan kuota
untuk perusahaan eksportir gaharu di seluruh Indonesia hanya
diatur satu asosiasi pengusaha gaharu yang disingkat ASGARIN.
Kondisi tata niaga seperti ini membuat posisi tawar bagi para
pengumpul gaharu alam maupun petani gaharu budidaya
menjadi lemah karena diterapkannya sistem Monopsoni-Legal,
yaitu pedagang menentukan harga gaharu, baik alam maupun
budidaya.

Riset yang inovatif untuk kelestarian gaharu merupakan solusi


untuk pemenuhan kebutuhan gaharu pasar internasional.
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,
Teknologi Badan Litbang Kehutanan 185
Gaharu merupakan produk alami yang dapat diolah dan
didiversifikasi untuk berbagai macam penggunaan. Produk
gaharu selama ini digunakan antara lain sebagai bahan incense,
aktivitas religius, meditasi, obat-obatan, parfum. Gaharu
merupakan produk yang digunakan sehari-hari dan terus-
menerus. Bardasarkan sejarahnya, produk gaharu telah
digunakan sejak zaman dahulu kala. Dengan demikian, produk
gaharu ini memerlukan sentuhan teknologi agar pelestarian dan
produksinya tetap terjaga, baik kuantitas maupun kualitasnya.
Teknologi inokulasi gaharu merupakan salah satu teknologi yang
ditunggu oleh para praktisi gaharu yang telah banyak menanam
pohon penghasil gaharu di seluruh Indonesia. Selain itu, riset
teknologi tentang diversifikasi produk gaharu juga sangat
diperlukan untuk memenuhi tuntutan pasar gaharu internasional
(Turjaman dan Santoso, 2012; Sitepu et al., 2011a).

Beberapa review telah menganalisis bahwa pembentukan gaharu


merupakan hasil simultan dari proses patologis. Aroma resin
gaharu diproduksi dari respon berupa penebalan resin akibat
dari perlukaan infeksi jamur patogen (Sitepu et al., 2011a;
Donovan dan Puri, 2004; Wollenberg, 2001). Riset lainnya
terkait dengan kelestarian dan konservasi jenis pohon penghasil
gaharu, pemberdayaan masyarakat dalam mengusahakan
budidaya gaharu, komersialisasi HHBK gaharu yang dikaitkan
dengan penurunan fungsi ekologi hutan, batas insentif dan akses
komunitas hutan dalam mengumpulkan gaharu yang lestari.
Hasil riset tersebut telah dilaporkan dalam publikasi nasional dan
jurnal internasional (Siran dan Turjaman, 2010; Zhang et al.,
2008; Jensen, 2008; Wollenberg, 2003). Riset tentang budidaya
pada jenis Aquilaria crassna telah dilakukan dengan perlakuan
naungan dan pemupukan (Page dan Awarau, 2012). Riset
tentang Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) sebagai pemacu
pertumbuhan Aquilaria filaria telah dilakukan di tingkat
persemaian (Turjaman et al., 2006). Riset tentang biokima dan
farmasi kandungan gaharu yang kemungkinan mempunyai bahan

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


186 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
aktif untuk obat telah diteliti oleh peneliti dari Jepang (Kakino et
al., 2010; Kenmotsu et al., 2010).

Negara produsen gaharu terutama berasal dari negara di Asia


Selatan dan Asia Tenggara. Negera-negara produsen gaharu
tersebut adalah India, Srilanka, Bangladesh, Myanmar, Laos,
Kamboja, Vietnam, Thailand, Malaysia, Filipina, Indonesia, Papua
Nugini, dan bebeberapa negara di kepulauan Pasifik (Gambar
12.1). Masing-masing negara memiliki kekhasan produk gaharu
yang dihasilkannya. Indonesia adalah salah satu negara penghasil
gaharu terbesar di dunia, karena Indonesia memilki kekayaaan
jenis pohon penghasil gaharu terbesar di dunia. Berdasarkan
perhitungan Asosiasi Pengusaha Ekspor Gaharu Indonesia
(ASGARIN) kebutuhan gaharu di pasar global mencapai 3.000
ton/tahun dengan nilai berkisar Rp 3-4 Triliun. Gaharu Indonesia
menguasai hampir 70% pangsa pasar gaharu di dunia (Siran dan
Turjaman, 2010).

Gambar 12.1. Negara produsen dan konsumen gaharu

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 187
Negara pengimpor gaharu adalah negara-negara di kawasan
Timur Tengah, Singapura, Hongkong, Republik Rakyat China,
Hongkong, Taiwan, Korea, Eropa, USA, Afrika, dan Jepang.
Setiap negara mempunyai karakter impor yang berbeda. Seperti
Singapura, merupakan negara pengimpor sekaligus pengekspor
(re-ekspor) gaharu terbesar di dunia. Negara ini tidak
mempunyai SDA gaharu tetapi memiliki kuota ekspor yang besar
dibandingkan negara produsen yang memiliki SDA gaharu.

Gambar 12.2.
Outlet gaharu
alam yang
dipasarkan
eceran di mal-
mal negara-
negara Timur
Tengah

Tujuan dari penulisan ini adalah memberikan informasi tentang


ekonomi gaharu yang mempunyai nilai komersial yang tinggi
karena gaharu dapat diproduksi berbagai macam (diversifikasi)
produk dan juga kondisi pasar gaharu yang saat ini diterapkan
oleh pelaksana CITES di Indonesia. Prospek produk gaharu
budidaya yang diinokulasi jamur juga akan didiskusikan dalam
tulisan ini.

Ekonomi Gaharu
Gaharu merupakan salah satu komoditi yang dapat dibuat dalam
bentuk macam produk yang bermanfaat bagi kehidupan sehari-

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


188 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
hari yang berkaitan dengan produk incense, peralatan dan
asesoris untuk keperluan religius, industi parfum, meditasi dan
obat-obatan. Berikut ini dijelaskan beberapa diversifikasi produk
yang telah dikenal oleh para konsumen gaharu dari berbagai
negara.

A. Gubal

Produk utama gaharu dinamakan gubal atau gaharu (Gambar


12.2). Produk ini yang sangat digemari oleh konsumen di Timur
Tengah. Tiap hari mereka memerlukan gubal untuk dibakar di
rumah, di tempat pertemuan, pesta-pesta, masjid, dan lain-lain.
Di Timur tengah, gubal memiliki nilai yang tinggi yang dijual oleh
pedagang eceran mulai dari 5, 10, 15, 20, dan 25 Real per g
gubal. Dengan kata lain, apabila ada yang membeli 1 kg gubal
dengan harga eceran 25 Real per g, maka 1 kg gubal bernilai
25.000 Real atau setara dengan Rp. 75.000.000,-.

Gaharu Kalimantan Timur yang terkenal diantaranya adalah


gaharu yang berasal dari Malinau dan Tarakan. Gaharu jenis
super dari kelompok Malaccensis berasal dari kedua daerah
tersebut dengan kualitas gaharu yang sangat disukai oleh
konsumen di Timur Tengah. Adapun perkiraan harga jual gaharu
di Samarinda (Kalimantan Timur) pada tahun 2000-an disajikan
pada Tabel 12.1. (Siran dan Turjaman, 2010).

Riset Badan Litbang Kehutanan pada pilot testing ITTO telah


menghasilkan data pemanenan gaharu (Subiakto et al., 2011).
Riset ini menunjukkan bahwa inokulasi Fusarium solani tehadap
tiga pohon penghasil gaharu A. malaccensis berdiameter 20 cm
dengan umur inokulasi 18-24 bulan di Sanggau (Kalimantan
Barat) menghasilkan gubal bervariasi, masing-masing 4,5 kg, 5
kg, dan 8 kg. Harga gaharu yang ditawar oleh anggota ASGARIN
di Kalimantan Barat berkisar Rp 1.000.000-1.500.000 per kg
(Gambar 12.3). Hasil pemanenan satu batang A. crassna
berdiameter 30 cm diperoleh 5 kg gubal (grade AB) dengan

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 189
harga USD 800 per kg dan sisanya sebagai grade kemedangan
dengan berat 15 kg berharga USD 100-200 per kg menurut
pedagang besar gaharu dari Riyadh (Gambar 12.3). Pada tahun
2011 telah dipanen satu pohon A. malaccensis dengan umur
inokulasi 15 bulan dan diperoleh 13 kg gubal dengan harga USD
300-500 per kg yang ditawar oleh pedagang gaharu asal Jeddah.
Selain itu, uji penawaran harga gaharu hasil inokulasi 2-3 tahun
pernah dilakukan kepada anggota ASGARIN, mereka hanya
berani menawar antara Rp 600.000-Rp. 1.000.000,- per kg
(Santoso et al., 2011a; Santoso et al., 2011b).

Tabel 12.1. Perkiraan harga jual gaharu di Samarinda (Kalimantan


Timur) pada tahun 2000-an.

Klasifikasi
No Sub Klas Kisaran Harga
Gaharu

I. GUBAL
1. - SUPER - Double Super 10.000.000 s/d 25.000.000
2. - AB - Super Tanggung 5.000.000 s/d 7.000.000
3. - BC - Kacang A 2.000.000 s/d 3.500.000
4. - TA - Kacang B 1.000.000 s/d 2.000.000
5. - TERI - Teri A 750.000 s/d 1.000.000
- Teri B 500.000 s/d 750.000
- Teri C 300.000 s/d 500.000

II. KEMEDANGAN
1. - SABAH - Sabah Tenggelam 1.000.000 s/d 3.000.000
- Sabah Biasa 500.000 s/d 1.000.000
2. - TGC - Medang A 75.000 s/d 100.000
- Medang B 50.000 s/d 75.000
- Abuk Super 50.000 s/d 100.000
- Abuk Medang 25.000 s/d 50.000
- Abuk Kerokan 5.000 s/d 25.000

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


190 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Gambar 12.3. Gaharu hasil inokulasi jamur F. solani umur tiga tahun
setelah suntik

Pasar gaharu hasil inokulasi jamur sebenarnya mempunyai


pangsa pasar dan konsumen yang sama. Namun demikian, tata
niaga oleh pelaksana CITES masih menjadikan satu gaharu hasil
inokulasi dengan pemasaran gaharu alam. Sekarang ini banyak
beredar gaharu imitasi/buatan di Timur Tengah dengan harga
USD 3.000-4.000 per kg, dengan ciri-ciri produk gaharu akan
hilang wanginya setelah disimpan 3-4 bulan. Produk ini adalah
gaharu budidaya yang disuntik dengan resin gaharu pada suhu
dan tekanan tinggi, sehingga seolah-olah gaharu tersebut adalah
gaharu alam yang berkualitas tinggi. Peredaran produk gaharu
hasil inokulasi bahan kimia berbahaya sangat dikhawatirkan akan
menyebabkan terjadinya boikot produk ekspor gaharu secara
keseluruhan oleh para konsumen di Timur Tengah, Asia Selatan,
dan Asia Timur. Oleh sebab itu, aturan dan kebijakan yang jelas
dan tegas dari proses gaharu budidaya sejak di hulu sampai ke
hilir perlu dbuat. Kebijakan tersebut arus mengatur tentang

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 191
peredaran bibit gaharu antar negara, termasuk peredaran
inokulan, baik cara biologi maupun kimia. Hampir semua orang
yang merasa sebagai praktisi gaharu mampu membuat inokulan
gaharu tanpa adanya riset ilmiah, SDM dan fasilitas laboratorium
mikrobiologi yang memadai. Produk gaharu budidaya adalah
produk gaharu yang hasil dan kualitasnya dapat ditentukan
berdasarkan umur inokulasi secara konsisten, jenis inokulan
biologi apa yang digunakan, metode inokulasi, pasca panennya,
dan-lain-lain.

B. Minyak gaharu

Produk dalam bentuk minyak gaharu dari pohon penghasil


gaharu sangat diperlukan sebagai bahan industri parfum dunia
(Gambar 12.4.) Produk ini dihasilkan dari penyulingan dan bahan
baku pada umumnya berasal dari gaharu kelas kemedangan.
Rendemen bahan baku gaharu kemedangan yang berasal dari
hutan alam sebesar 0,1%. Untuk menghasilkan satu cc minyak
gaharu memerlukan 1 kg kemedangan. Harga minyak gaharu
lokal berkisar antara Rp. 50.000-100.000,- per cc. Di pasar

Gambar 12.4. Minyak gaharu hasil destilasi dari berbagai bahan baku
kelas abuk dari gaharu alam Indonesia

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


192 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
internasional, harga minyak gaharu yang berkualitas tinggi
berkisar USD 200-300 per cc. Kelangkaan bahan baku gaharu
kemedangan mulai terjadi karena bahan baku berasal dari alam.
Dari hasil analisis laboratorium, limbah gaharu hasil inokulasi
minimal mempunyai rendemen yang sama (0,1%) yang layak
sebagai bahan baku minyak gaharu. Bahkan, beberapa jenis
bahan baku terdapat rendemen yang mencapai 0,2-0,4%.

C. Parfum

Parfum bermerek terkenal dan mahal banyak diproduksi di


negara-negara Eropa dan Amerika (Gambar 12.5). Minyak gaharu
berfungsi sebagai zat fiksatif atau pengikat wangi. Salah satu
campuran dan racikan dalam parfum tersebut adalah zat
pengikat wangi. Dengan menggunakan minyak gaharu, parfum
terkenal lebih lama mengikat wangi sampai beberapa hari.
Bandingkan dengan parfum yang dicampur dengan alkohol,
maka yang terjadi adalah wangi cepat hilang karena menguap
akibat temperatur udara yang panas. Selama ini, perusahaan
parfum terkenal membeli minyak gaharu ke Riyadh (Arab Saudi),
sebagai pusat pasar minyak gaharu dunia. Berbagai sumber
minyak gaharu dari Asia Selatan, Asia Tenggara, maupun
Australia dikumpulkan di Riyadh. Tentu harga minyak gaharu
yang telah dicampur dari berbagai negara,
menjadikan harga gaharu menjadi lebih mahal
dibandingkan dengan harga minyak gaharu dari
negara aslinya.

Gambar 12.5.
Contoh parfum merek SAMSARA yang
menggunakan minyak gaharu
sebagai salah satu bahan racikan
parfum

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 193
D. Dupa/Hio

Dupa merupakan produk dari ampas serbuk gaharu dari hasil


penyulingan (Gambar 12.6). Produk ini digunakan sebagai bahan
ritual keagamaan terutama Budha, Hindu, Konghucu, dan Shinto.
Produk alami ini tidak berbahaya bagi kesehatan. Apabila dupa
asli dibakar tidak membuat mata menjadi perih. Perekat yang
digunakan biasanya jenis perekat yang berasal dari pohon
gemor. Sebelumnya, pernah ada pemimpin agama Budha
menggunakan dupa dari bahan kimia sejak lama. Penggunaan
dupa dari bahan kimia tersebut menyebabkan yang
bersangkutan terkena penyakit kanker paru-paru. Sekarang,
para pengguna dupa untuk kepentingan ibadah mulai beralih ke

Gambar 12.6. Produksi Dupa/Hio di pabrik gaharu PT. P&I Taipei, Taiwan

produk dupa alami, seperti bahan baku yang berasal dari gaharu.
Penggunaan gaharu sebagai bahan dupa/hio ini sangat tinggi.
Perhitungan sederhana saja, apabila di Republik Rakyat China
(RRC) diasumsikan terdapat 10% dari total penduduknya 1,3 M

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


194 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
(sekitar 130 juta penduduk) setiap hari membakar dupa masing-
masing 1 stik dupa dengan harga per stik Rp. 1000,-, berarti
warga RRC membakar dupa dengan nilai Rp 130 milyar per hari.
Tentunya, implikasi yang terjadi adalah perlunya penyediaan
bahan baku dupa. Sekarang RRC sudah menanam juta-an pohon
Aquilaria sinensis di daratan China Selatan.

E. Makmul (Incense cones makmul)

Makmul adalah limbah gaharu dari hasil


penyulingan minyak gaharu yang
dibentuk model kerucut. Serbuk gergaji
limbah dicetak dan dicampur dengan
perekat dari kayu gemor. Asap dari
makmul yang asli tidak menimbulkan
rasa perih di mata dan wanginya harum
tanpa sesak nafas. Produk ini sangat
terkenal di kalangan masyarakat Arab
dan biasa digunakan di masjid-masjid,
pusat-pusat perbelanjaan, hotel, toko-
toko penjual khusus produk gaharu dan
tempat umum lainnya. Harga eceran di Gambar 12.7.
Indonesia berkisar Rp 20.000-50.000,- Contoh produk gaharu dalam bentuk
per toples (Gambar 12.7). Incense Cones Makmul yang disukai oleh
konsumen di Timur Tengah
G. Tasbih

Tasbih merupakan
perlengkapan atau
aksesoris yang biasa
digunakan dalam
aktivitas keagamaan
(Gambar 12.8).
Bahan baku tasbih
dapat berupa gaharu Gambar 12.8.
dari kelas buaya yang Tasbih yang terbuat dari kayu gaharu

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 195
mempunyai karakteristik mudah dibentuk dan kayunya keras.
Harga tasbih gaharu bervariasi, mulai dari Rp. 50.000,- hingga
bernilai juta-an rupiah.

H. Sabun gaharu

Sabun beraroma gaharu


adalah salah satu bentuk
produk diversifikasi
berbahan baku dari
minyak gaharu (Gambar
12.9). Minyak gaharu
dengan takaran tertentu
dicampur saat pembuatan
sabun. Sabun dapat dibuat
dengan berbagai macam
Gambar 12.9. bentuk dan ditambah
Sabun berbahan dasar minyak gaharu merupakan aroma pewangi yang lain.
contoh produk dari Badan Litbang Kehutanan Minyak gaharu memiliki
kandungan zat antiseptik
untuk membersihkan kulit
wajah, sehingga dapat
diperuntukkan untuk
perawatan wajah. Sabun
gaharu dapat diproduksi
masal, baik untuk skala
komersial maupun untuk
souvenir.

I. Bubuk gaharu

Bubuk gaharu (agarwood


powder) merupakan salah
satu produk untuk
Gambar 12.10. mengharumkan badan
Bubuk gaharu yang diproduksi perusahaan P&I di Taipei, dan ruangan (Gambar
Taiwan

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


196 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
12.10). Dengan menggunakan arang, bubuk gaharu akan
terbakar dan menimbulkan wangi di ruangan. Produk ini
merupakan cara praktis untuk menikmati wanginya gaharu
bersama-sama keluarga.

J. Obat nyamuk Gambar 12.11.


Obat nyamuk berbahan dasar gaharu
Obat nyamuk sekaligus berfungsi
sebagai incense dan pengharum
ruangan (Gambar 12.11). Produk ini
dibuat berdasarkan ukuran waktu.
Konsumen diberi pilihan membeli obat
nyamuk yang dibakar untuk 6, 12, 24,
atau 36 jam. Asap obat nyamuk yang
berbahan gaharu tidak membuat mata
menjadi perih atau menyebabkan sesak
nafas.

K. Teh gaharu

Daun gaharu dari jenis-


jenis Aquilaria dan
Gyrnops dapat diproses
untuk dibuat teh gaharu
(Gambar 12.12). Hasil
riset membuktikan bahwa
pohon penghasil gaharu
yang diinokulasi oleh
Fusarium solani
memberikan kandungan Gambar 12.12.
anti-oksidan yang lebih Teh gaharu dari jenis Gyrnops yang diproduksi di
tinggi dibandingkan Denpasar (Bali)
kontrol (tidak diinokulasi).
Pohon penghasil gaharu berumur lima tahun dengan diameter
15 cm sudah dapat diinokulasi dan dalam waktu 12 bulan setelah
penyuntikan, daun gaharu yang muda sudah dapat dipanen

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 197
untuk diproses menjadi teh gaharu. Pengendalian hama ulat
daun gaharu disarankan tidak menggunakan bahan pestisida
kimia. Bahan kimia tersebut dapat terakumulasi pada daun
gaharu yang pada akhirnya dapat menyebabkan keracunan pada
manusia yang mengkonsumsi daun teh gaharu. Penggunaan
bahan bio-pestisida dan pengendalian ulat secara biologi lebih
diutamakan. Pada skala pabrik, diperlukan peralatan untuk
pencacah dan pengering daun teh gaharu.

L. Dekoratif/Artistik

Seluruh bagian pohon penghasil gaharu dapat dimanfaatkan


untuk kepentingan artistik atau dekorasi. Sebagai contoh bagian
akar pohon penghasil gaharu alam yang berasal dari papua
diekspor ke manca negara untuk tujuan dekoratif (Gambar
12.13). Batang pohon penghasil gaharu juga dijual dalam
bentuk log (block) berbagai ukuran. Batang dalam bentuk log
dapat diolah menjadi ukiran patung bentuk tertentu sesuai
keinginan pembeli. Harga pasaran log dijual USD 20 per kg.

Gambar 12.13.
Akar pohon penghasil gaharu dari Papua yang
dimanfaatkan untuk kepentingan dekoratif/artistik

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


198 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Tata Niaga dan Pemasaran Gaharu
Pemungut adalah pemburu gaharu dalam bentuk kelompok
maupun perorangan (Siran dan Turjaman, 2010). Mereka secara
tradisional dan turun-temurun bekerja mencari gaharu di hutan
alam. Pemburu gaharu ada yang bekerja dengan pemilik modal
dan disebut pemungut terikat, tetapi ada juga yang tidak terikat
dengan pemilik modal atau disebut pemungut bebas. Pemungut
terikat dibekali sejumlah perlengkapan logistik untuk beberapa
bulan bekerja dan tinggal di hutan. Hasil buruan gaharu yang
diperoleh harus dijual kepada pemilik modal, tentunya dikurangi
biaya logistik yang telah dipergunakan. Posisi tawar pemungut
terikat sangat lemah, bahkan kualitas dan harga gaharu pun
ditentukan pemilik modal. Pemungut terikat hanya menerima
keuntungan dikurangi biaya logistik. Sebagai contoh, saat
berangkat pemburu gaharu dipinjami uang sebesar Rp 3 juta
rupiah untuk keperluan logisitk. Begitu kembali ke kota,
pemburu gaharu menjual gaharu alam dari hutan kepada pemilik
modal dengan nilai Rp 5 juta, maka pemburu gaharu akan
mendapat sisanya senilai Rp 2 juta. Pemungut terikat hanya
dapat menjual gaharu alam kepada pedagang perantara saja,
yang biasanya berada di tingkat desa/kecamatan. Sementara itu,
pemungut bebas dapat menjual gaharu alam kepada pedagang

Gambar 12.14.
Tata niaga gaharu pemungut
gaharu sampai ke pedagang
besar

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 199
perantara dan pedagang pengumpul. Pedagang pengumpul
biasanya berdomisili di tingkat kabupaten/propinsi. Pedagang
pengumpul menjual produk gaharu alamnya ke pedagang besar
yang berdomisili di kota besar, seperti Jakarta, Surabaya,
Pekanbaru, dan Medan. Itulah rantai tata niaga gaharu alam
dari hutan sampai ke kota besar (Gambar 12.14.).

Seharusnya tata niaga gaharu budidaya atau gaharu hasil


inokulasi tidak seperti tata niaga gaharu alam yang mempunyai
rantai panjang. Rantai tata niaga dapat dipotong dan diputus
agar tidak terlalu panjang, sehingga biaya transaksi rantai
panjang dapat dikurangi untuk kepentingan kesejahteraan
masyarakat. Pada masa depan, grade gaharu budidaya harus
ada, sehingga kelompok tani gaharu mempunyai posisi tawar
yang kuat dalam menjual dan mengekspor gaharu ke
mancanegara. Gaharu budidaya adalah barang yang tidak
terkena aturan kuota, sehingga proses administrasinya harus
lebih sederhana. Secara otomatis, sistem ekonomi gaharu yang
monopsoni legal dapat terhapus dengan sendirinya di
Indonesia. Hal yang selalu menjadi alasan mengapa harga
gaharu di tingkat pemungut rendah adalah bahwa gaharu yang
diperoleh dianggap berkualitas rendah, berkadar air tinggi, dan
wanginya kurang baik. Padahal, para anggota asosiasi pedagang
gaharu seharusnya bekerjasama dengan Kementerian
Perdagangan dan Kementerian Kehutanan dengan membuat
pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan mutu gaharu yang
diperoleh, sehingga masyarakat di sekitar hutan dapat
menikmati hasil gaharu dengan harga yang standar dan wajar
(Siran dan Turjaman, 2010).

Selama ini, tata niaga gaharu alam masih berpusat di dua kota
besar, yaitu Jakarta dan Surabaya (Gambar 12.15). Semua gaharu
alam yang berasal dari berbagai pulau di Indonesia akan masuk
ke dua kota tersebut. Alat transportasi umum yang digunakan
adalah kapal laut, pesawat dan truk. Kondisi geografi Indonesia
yang terdiri atas pulau-pulau menyebabkan penyelundupan

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


200 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
gaharu, baik pada masa lalu maupun sekarang, menjadi masalah
utama. Pada masa lalu, Sumatera dan Kalimantan merupakan
gudang utama gaharu alam dari kelompok Malaccensis, tetapi
sekarang Papua merupakan benteng terakhir produk gaharu
alam dari kelompok Filaria. Pemodal besar dari kota besar
(Jakarta, Surabaya, Pekanbaru. Medan) biasanya mempunyai
orang-orang kepercayaan di setiap tingkat daerah
(provinsi/kabupaten/kecamatan/desa) yang menangani aliran
produksi gaharu alam. Bahkan, pernah ada pedagang besar
gaharu alam dari Singapura yang mengaku bahwa dia
mempunyai orang-orang kepercayaan gaharu alam di
Kalimantan, Papua, sampai ke Papua New Guinea.

Gambar 12.15.
Tata niaga gaharu alam dari berbagai pulau besar di Indonesia
yang semua produk gaharunya mengalir dan berpusat ke Jakarta
dan Surabaya

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 201
Produk gaharu alam Indonesia sebagian besar diekspor ke
Singapura dan negara-negara Timur Tengah (Gambar 12.16). Dari
Singapura, produk gaharu alam Indonesia diekspor lagi ke
Malaysia, Jepang, Hongkong, China, Taiwan, dan India. Mengapa
ekspor gaharu ke Singapura sangat besar? Karena ada anggota
ASGARIN yang membuka usaha di Singapura dan ada
kemungkinan pengusaha Singapura memberikan investasi yang
besar, sehingga produk gaharu harus melalui Singapura. Produk
gaharu alam Indonesia yang sampai ke Timur Tengah beredar
luas ke Bahrain, Oman, Kuwait, Qatar, UAE, Irak, Iran, dan Arab
Saudi. Dari Arab Saudi, produk-produk minyak gaharu mengalir
ke eropa khususnya ke industri parfum di Eropa (Siran dan

Turjaman, 2010).

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


202 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Gambar 12.16.
Tata niaga ekspor gaharu alam dari Indonesia ke Singapura dan Timur Tengah
Berikut ini adalah aliran tata niaga gaharu alam dari Indonesia.
Dari daerah asal sentra gaharu, perdagangan dan peredaran
harus dilengkapi beberapa syarat, yaitu dokumen SATS-DN (Surat
Angkut Tumbuhan dan Satwa Liar Dalam Negeri), pembayaran
PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak), dan bukti pembayaran
dana koordinasi ASGARIN (Gambar 12.17). Kemudian, produk
gaharu alam dapat diekspor ke negara tujuan ekspor dengan
persyaratan terdapat kelengkapan dokumen SATS-LN CITES,
PEB/Invoice/Packing List, dan bukti pembayaran PNBP ekspor
(Siran dan Turjaman, 2010).

Gambar 12.17.
Bagan alir tata niaga gaharu alam dari daerah asal ke daerah tujuan
lokal dan akhirnya daerah tujuan ekspor

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 203
Kuota ekspor gaharu alam Indonesia ditentukan oleh pelaksana
CITES yang terdiri dari dua institusi, yaitu Management Authority
yang dikelola oleh Eselon I Kemenhut (Ditjen PHKA) dan Scientific
Authority (LIPI). Perusahaan pengekspor gaharu alam harus
menjadi anggota ASGARIN. Hanya anggota ASGARIN saja yang
akan mendapat jatah kuota ekspor gaharu setiap tahunnya.
Mekanisme pembagian kuota diatur oleh ASGARIN, dan ada
pembayaran dana koordinasi dari setiap anggotanya kepada
ASGARIN.

Sistem tata niaga gaharu yang berlaku saat ini dapat


menyebabkan kemungkinan terjadinya penyelundupan (Siran
dan Turjaman, 2010). Pemodal-pemodal asing memanfaatkan
pedagang perantara di beberapa provinsi yang merupakan
sentra-sentra gaharu di Indonesia. Bahkan, mereka ada yang
menjadi pengumpul di Papua New Guinea, kemudian gaharu

Gambar 12.18.
Bagan alir kemungkinan terjadi
penyelundupan gaharu alam dari sentra
gaharu Papua New Guinea, Papua, dan
Maluku ke beberapa negara tujuan
ekspor

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


204 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
alam selundupan dibawa ke Papua. Untuk gaharu alam yang
berasal dari Sumatera Utara (termasuk Provnsi Nangro Aceh
Darussalam) dan Riau dapat dikirim secara ilegal ke Singapura.
Semarang dan Surabaya adalah salah satu kota transit untuk
menyelundupkan gaharu alam ke Taiwan. Bagan alir
kemungkinan terjadinya penyelundupan gaharu alam disajikan
pada Gambar 12.18. Pengawasan penyelundupan gaharu alam
dari Indonesia ke luar negeri merupakan hal yang sulit dan
menjadi pekerjaan rumah yang besar, sekaligus untuk menindak
secara tegas dengan pemberlakuan hukuman yang berat.

Gambar 12.19.
Data ekspor gaharu
Indonesia mulai
tahun 1975-2005
(Data BPS)

Berdasarkan data
Biro Pusat Statistik
(BPS), ekspor gaharu
alam sejak tahun
1975-1998 rata-rata
di bawah 200 ton per
tahun dengan kualitas yang masih tinggi. Begitu terjadi
peningkatan harga minyak dunia, permintaan gaharu alam dari
Timur Tengah sangat tinggi, maka terjadilah peningkatan ekspor
gaharu alam dengan volume sekitar 400 ton per tahun (Gambar
12.19.). Pada tahun 2004 terjadi peningkatan ekspor hingga
1.400 ton per tahun, namun kemungkinan kualitas gaharunya
sangat rendah, seperti pemanfaatan gaharu alam dari rawa-rawa
yang tenggelam yang berasal dari Papua untuk diambil resin
gaharunya. Resin tersebut digunakan untuk membuat produk

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 205
gaharu imitasi BMW (Black Magic Wood). Setelah tahun 2005-
2012, ekspor gaharu kembali pada posisi 600 ton per tahun,
termasuk kelompok Malaccensis dan Filaria/Gyrinops. Kondisi
kebijakan gaharu alam yang diimplementasikan oleh pelaksana
CITES Indonesia masih mempertahankan pada pengelolaan
gaharu alam, dan mendorong tetap bertahannya pasar gaharu
alam yang bersifat Monopsoni yang Legal yang dikelola oleh
satu payung asosiasi gaharu saja. Kuota dibagi menurut potensi
gaharu alam yang diprediksi berdasarkan perkiraan saja, tanpa
riset ilmiah yang valid, baik melalui teknik inventarisasi potensi
gaharu alam yang nyata (misalnya dengan teknologi citra satelit)
maupun pengecekan di lapangan (ground check). Semua
perusahaan dari seluruh provinsi di Indonesia, yang
mengumpulkan gaharu alam dari bumi Indonesia dan ingin
mengekspornya ke pasaran internasional, harus mempunyai
kuota dari asosiasi gaharu melalui satu pintu saja. Sistem
monopsoni yang legal adalah harga gaharu alam ditentukan
oleh pembeli atau pedagang, tetapi tidak ada ruang dan tempat
untuk gaharu budidaya.

Menurut data BPS, akumulasi eksport gaharu dari tahun 1999-


2005 lebih dari 62.000 ton masuk ke Singapura (Gambar 12.20.).
Gaharu tersebut diolah dan di-grading lagi oleh Singapura dan
dire-ekspor ke berbagai negara, tentunya dengan harga yang
lebih tinggi. Singapura yang tidak mempunyai SDA gaharu telah
menjadi pemain gaharu dunia khususnya menangani trading
gaharu. Posisi kedua importir gaharu terbesar adalah Arab Saudi
dengan jumlah sebesar 2.655 ton (1999-2005). Pedagang Arab
Saudi mengekspor kembali ke negara-negara di Timur Tengah,
Afrika, dan Eropa. Importir minyak gaharu dari Eropa membeli
dari Arab Saudi sebagai bahan baku parfum. Negara pengimpor
lainnya adalah Taiwan, Jepang, Arab Emirat, Korea, Vietnam, dan
Jepang.

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


206 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Terdapat anggapan Gambar 12.20.
masyarakat umum Tujuan ekspor gaharu alam
bahwa apabila gaharu rata-rata tahun 1999-2005 ke
budidaya berkembang berbagai negara di Asia (diolah
pesat, maka harga dari Data BPS)
gaharu alam akan
mengalami penurunan
harga secara drastis,
sebagaimana hukum
ekonomi penawaran
dan permintaan
berlaku. Apabila stok
gaharu berlimpah,
maka permintaan
konsumen menurun,
sehingga harga gaharu
menjadi turun. Namun,
apabila dilihat dari
penggunaan produk gaharu yang lebih didominasi untuk
kepentingan dan kebutuhan religius berupa aktivitas incense
yang menjadikan gaharu sebagai bahan habis pakai, maka harga
gaharu akan tetap stabil berdasarkan kualitas kelas gaharu.
Demikian juga industri parfum yang berbahan baku gaharu,
maka parfum adalah bahan yang habis pakai, penggunaannya
akan diperlukan terus-menerus, sehingga gaharu menjadi produk
ekonomi yang penting bagi umat manusia di dunia. Apalagi
sekarang ini, gaharu juga dipergunakan sebagai bahan baku
untuk obat-obatan bagi kesehatan manusia, maka diversifikasi
produk adalah kunci keberlanjutan penggunaan gaharu sebagai
kebutuhan hidup manusia sehari-hari.

Prospek Gaharu Hasil Bioinduksi


Aplikasi teknologi budidaya pohon penghasil gaharu di Indonesia
pada umumnya dilakukan melalui perbanyakan generatif, yaitu

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 207
Gambar 12.21.
Gaharu hasil inokulasi dengan jamur adalah produk gaharu budidaya yang mempunyai prospek
bernilai ekonomi tinggi yang akan menggantikan posisi produk gaharu alam yang makin sulit
dicari di alam

mengumpulkan benih dari pohon penghasil gaharu (Turjaman


dan Santoso, 2012; Subiakto et al., 2011; Sitepu et al., 2011b).
Dengan mengetahui waktu musim buah pohon penghasil gaharu,
penyiapan bibit di persemaian dapat dilakukan setiap tahun.
Indonesia, yang memiliki biodiversitas jenis pohon penghasil
gaharu di dunia, masih mengandalkan produksi bibit gaharu
secara tradisional. Pemanfaatan anakan alam (wilding) untuk
penyediaan bibit gaharu masih dilakukan di beberapa sentra
gaharu di Indonesia. Sementara, produksi bibit gaharu melalui
teknik mikropropagasi masih dilakukan secara terbatas di
beberapa negara. Thailand dan Laos telah melakukan teknik
kultur jaringan untuk skala komersial. Bahkan, Thailand telah
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,
208 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
memperbanyak jenis Aquilaria crassna dengan teknik kultur
jaringan dan mengekspor bibit gaharu dalam bentuk eksplan ke
Australia Utara. Teknik kultur jaringan memerlukan investasi
tinggi karena perusahaan gaharu budidaya harus melengkapi
fasilitas laboratorium dan SDM yang terampil. Harga bibit dari
hasil kultur jaringan lebih mahal dibandingkan dengan harga
bibit yang berasal dari benih maupun stek pucuk. Sebenarnya,
teknik kultur jaringan dan stek pucuk akan lebih efektif dan
bermanfaat, apabila sumber pohon induk gaharu yang diambil
untuk diperbanyak adalah pohon penghasil gaharu yang
termasuk jenis unggul dan telah terbukti menghasilkan
pembentukan gaharu yang berkualitas tinggi (Tabel 12.2.)

Tabel 12.2. Produksi bibit pohon penghasil gaharu di Asia

Anakan Stek/ Mikro-


Negara Benih
alam Cangkok propagasi
Bangladesh + +
Bhutan +
China +
India +
Indonesia + + + +
Kamboja +
Laos + +
Malaysia + +
Myanmar + +
Papua New
nr nr nr nr
Guinea
Philippines nr nr nr nr
Singapore nr nr nr nr
Vietnam + +
Taiwan +
Thailand + +
nr = tidak ada laporan

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 209
Berdasakan hasil paparan laporan dari setiap negara produsen
gaharu, teknologi budidaya gaharu dari mulai pengadaan benih,
produksi bibit di persemaian, penanaman dan pemeliharaan
sudah memenuhi standar silvikultur yang baku. Perusahaan atau
kelompok tani gaharu masih mengandalkan keunggulan genetik
gaharu yang alami, seperti jenis-jenis A. agallocha, A. crassna,
dan A. malaccensis yang secara komersial telah ditanam massal
di berbagai negara. Pada masa mendatang, peran dari riset
pemuliaan pohon penghasil gaharu sangat dibutuhkan agar
kualitas gaharu yang super atau double super dapat diproduksi
massal. Potensi gaharu jenis lain yang hanya dimiliki oleh
Indonesia dan Papua New Guinea adalah jenis-jenis Gyrinops
spp. Teknologi gaharu budidaya yang diinokulasi jamur adalah
termasuk kategori Low-End Technology (Turjaman dan Santoso,
2012). Artinya, teknologi tersebut bagi orang awam dianggap
sebagai teknologi sederhana yang dapat mudah dilakukan oleh
siapapun. Hampir semua praktisi gaharu di negara-negara
produsen gaharu Asia mempunyai metode-metode yang telah
dikembangkan dengan berbagai cara. Mereka saling mengklaim
bahwa teknologi yang dibuat adalah teknologi terbaik. Sebagai
contoh, teknologi inokulasi gaharu yang dipraktekkan orang suku
Dayak di Kalimantan adalah dengan menginokulasikan oli dan
gula ke dalam batang pohon penghasil gaharu. Ada lagi satu
perusahaan MLM (Multi Level Marketing) di Kalimantan Barat
menjual 10 bibit gaharu unggul (sumber bibit sebenarnya berasal
dari bibit gaharu cabutan lokal) dengan harga Rp. 500.000, dan
menjual inokulan berisi asam sulfat yang dikemas dalam botol
dua liter dengan harga Rp. 1.800.000,-. Pada tingkat masyarakat
ilmiah di perguruan tinggi juga ikut berpartisipasi membuat
inokulan dengan mencampur berbagai jenis mikroba, termasuk
fungi dan bakteri yang tidak jelas identitasnya. Begitu dilakukan
proses inokulasi dan dievaluasi satu tahun setelah inokulasi,
ternyata hasilnya tidak terjadi pembentukan gaharu. Demikian
pula, ada seorang profesor di Taiwan menggunakan 12 jenis
mikroba yang jenisnya dirahasiakan, namun hasil inokulasinya

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


210 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
sangat terbatas. Inokulan fungi patogen yang digunakan di Laos
diantaranya adalah Philophora parasitica, Torula sp., Aspergillus
sp., Penicillium sp., Fusarium sp., dan Cladosporium sp. (Sundara,
2011).

Apakah ada perusahaan swasta yang bergerak menangani


gaharu budidaya dari hulu ke hilir di Indonesia? Jawabannya
belum ada. Berdasarkan hasil investigasi penulis, pernah ada
beberapa pihak yang mengaku sebagai badan usaha (padahal
lebih bersifat individu) untuk sementara waktu memanfaatkan
animo masyarakat yang mencari bibit gaharu dan menjual
inokulan asalan melalui selebaran atau website. Gerakan usaha
mereka terutama dilakukan mulai dari pengadaan bibit pohon
penghasil gaharu dan menjual inokulan gaharu, serta jasa
penyuntikannya. Mereka mempromosikan barang dagangannya
ke petani atau orang awam dengan denan janji akan
mendapatkan keuntungan yang luar biasa (di luar akal sehat
manusia dan di luar perhitungan kaidah berbisnis yang sehat).
Dengan penawaran itu, perusahaan atau individu akan
mendapatkan keuntungan secara instant dengan cara menjual
bibit dan inokulan yang tidak jelas asal-usulnya. Seharusnya,
perusahaan swasta yang bergerak di Indonesia, minimal
mengikuti cara-cara yang telah dilakukan oleh perusahaan
gaharu budidaya dari negara tetangga, seperti di Malaysia, Laos,
Thailand, Vietnam, Kamboja, dan India yang secara profesional
melakukan kegiatan budidaya dan inokulasi secara massal.
Meskipun untuk sementara ini, hasil gaharu budidaya yang telah
dihasilkan lebih fokus untuk produksi minyak gaharu.

Mengapa perusahaan budidaya gaharu yang profesional dengan


basis R & D belum dapat terbentuk di Indonesia? Salah satu
penyebabnya adalah kondisi kebijakan yang dibuat oleh
pelaksana CITES Indonesia, baik dari Management Authority
(PHKA-Kemenhut) dan Scientific Authority (LIPI), masih
mempertahankan pada pengelolaan gaharu alam, dan
mendorong tetap bertahannya pasar gaharu alam yang bersifat

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 211
Monopsoni yang Legal yang dibentuk oleh satu payung asosiasi
gaharu saja. Kemungkinan efek negatif dari sistem tersebut
adalah terjadinya penyelundupan gaharu dan perdagangan
gaharu secara illegal. Kondisi aktual di lapangan menunjukkan
bahwa harga gaharu budidaya dihargai sangat rendah, dengan
alasan klasik bahwa mutu gaharu budidaya masih sangat rendah
dibandingkan dengan gaharu alam. Peredaran gaharu budidaya
akan melimpah dan muncul dalam beberapa tahun ke depan di
Indonesia, kebalikannya, produksi gaharu alam semakin
menurun di alam. Pada kondisi seperti ini, pemerintah perlu
mengambil kebijakan yang tepat untuk mengakomodasi petani-
petani atau perorangan yang telah membudidayakan pohon
penghasil gaharu skala massal dan tersebar di seluruh Indonesia.

Pada umumnya, teknologi inokulasi yang telah dikembangkan di


beberapa negara Asia dilakukan terutama untuk memperoleh
gaharu sebagai produk minyak gaharu. Sementara, gubal terbaik
yang terbentuk dari hasil inokulasi dijual dalam skala terbatas.
Terdapat empat negara yang dianggap mampu memproduksi
gubal yang baik dan dijual dengan nilai > USD 1.000-3.000 per kg,
yaitu India, Laos, Vietnam, dan Thailand. Vietnam dilaporkan
telah menanam pohon penghasil gaharu seluas 18.000 ha di
seluruh negeri. Apabila diasumsikan satu hektar ditanam 1.000
pohon maka Vietnam memiliki standing stock sekitar 18 juta
pohon penghasil gaharu yang telah ditanam sejak lebih dari 10
tahun yang lalu. Berdasarkan hasil presentasi pengusaha gaharu
asal India dan Laos yang hadir dalam workshop, fokus produk
utama mereka adalah produksi minyak gaharu. Sementara,
produksi untuk gubal secara bertahap mulai meningkat sambil
menunggu teknologi inokulasi gaharu yang paling efektif dan
efisien. Inovasi diversifikasi produk gaharu dari hasil limbah
penyulingan terus dilakukan untuk kebutuhan religius, seperti
hio, makmul, obat nyamuk, tasbih, dan lain-lain.

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


212 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Penutup
Pasar gaharu Indonesia menguasai hampir 70% gaharu di
pasaran internasioanal. Secara ekonomi, produk gaharu ini
memberikan andil bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia
karena permintaan dan kebutuhan gaharu dunia dari tahun ke
tahun semakin meningkat. Namun demikian, beberapa komoditi
gaharu telah masuk dalam daftar Appendix II CITES sejak satu
dekade yang lalu dan memberi tanda bahwa jenis pohon ini
dalam status langka. Dengan demikian, tindakan penyelamatan
dan pengembangan berbagai jenis pohon penghasil gaharu perlu
dilakukan. Selain itu, pemerintah perlu mendorong
pengembangan diversifikasi produk gaharu yang beranekaragam
karena permintaan pasarnya semakin meningkat dari tahun ke
tahun. Gaharu dapat dijual dalam bentuk gubal, minyak gaharu,
industri parfum, dupa/hio, obat nyamuk, dekoratif/artisitik, dan
lain-lain.

Gaharu budidaya yang melalui proses inokulasi jamur


memberikan prospek komersialisasi di pasaran internasional.
Kelembagaan dan peraturan sebagai kebijakan nasional
pengembangan gaharu inokulasi harus dirumuskan oleh
pelaksana CITES di Indonesia, baik oleh Management Authority
maupun Scientific Authority. Kebijakan tersebut, khususnya
tentang tata niaga gaharu dan perizinannya, tentunya
perlakuannya harus berbeda dengan gaharu alam. Sekarang ini,
populasi pohon penghasil gaharu yang ditanam oleh
masyarakat/perusahaan di negara produsen gaharu telah
meningkat tajam. Melalui sentuhan teknologi inokulasi yang
teruji dan teknologi pasca panen yang modern, produk gaharu
budidaya akan mendapat tempat di pasar internasional karena
gaharu budidaya tidak termasuk produk yang dibatasi oleh
kuota. Gaharu budidaya merupakan produk yang dijamin
kelestariannya. Kualitas gaharu pun akan meningkat dengan
ditemukannya teknologi inokulasi dari hasil-hasil penelitian yang
dilakukan oleh berbagai institusi.

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 213
Selain itu, provokasi positif berupa rekomendasi/saran dari
kelompok tani dan para stakeholder yang bergerak menangani
budidaya gaharu perlu dilakukan agar terdapat perbaikan
kebijakan ekonomi dalam pasar gaharu. Demikian pula halnya
dengan pelaksana CITES di Indonesia, mereka harus mendorong
perbaikan kebijakan tersebut. Tentunya, kebijakan yang berpihak
kepada ekonomi kerakyatan dan sangat ditunggu-tunggu oleh
komunitas masyarakat di sekitar hutan yang telah
membudidayakan gaharu sebagai komoditas HHBK andalan
sebagai pendapatan tambahan untuk jangka panjang dapat
dilaksanakan. Pada akhirnya, keberadaan gaharu budidaya non-
kuota, cepat atau lambat, akan menguasai pasar gaharu
internasional.

Daftar Pustaka
Donovan, D.G., and Puri, R.K. (2004). Synthesis: Learning from
traditional knowledge of non-timber forest products :
Penan Benalui and the autecology of Aquilaria in
Indonesian Borneo. Ecology and Society, 9 (3):3, 1-23.
Jensen, A., and Meilby, H. (2008) Does commercialization of a
non-timber forest product reduce ecological impact? A
case study of the critically endangered Aquilaria crassna
in Lao PDR. Oryx 42 (02) :214-221.
Kakino, M., Izuta, H., Ito, T., Tsuruma, K., Araki, Y., Shimazawa,
M., Oyama, M., Iinuma, M., Hara, H. (2010). Agarwood
induced laxative effects via Acetylcholine receptors on
Laperamide-Induced constipation in mice. Biosci.
Biotechnol. Biochem. 74 (8): 1550-1555.
Kenmotsu, Y., Yamamura, Y., Ogita, S., Katoh, Y., and Kurosaki, F.
(2010). Transcriptional activation of putative calmodulin
genes Am-cam-1 and Am-cam-2 from Aquilaria
microcarpa, in response to external stimuli. Biol. Pharm.
Bull. 33: 1911-1914.

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


214 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Shaw, M. (2004) Agarwood : A mysterious substance of energy.
P & I Ltd., Taipei. 145 Pp. ISBN 978-957630744-7.
Siran, S.A., and Turjaman, M. (2010). Pengembangan teknologi
gaharu berbasis pemberdayaan masyarakat. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi
Alam. Bogor.
Sitepu, I.R., Santoso E., Siran, S.A., and Turjaman, M. (2011a).
Fragrant wood gaharu: when the wild can no longer
provide. ITTO PD425/06 Rev.1. R&D Center for Forest
Conservation and Rehabilitation. Bogor.
Sitepu, I.R., Santoso E., Turjaman, M. (2011b). Identification of
eaglewood (gaharu) tree species susceptibility. Technical
Report 1. ITTO PD425/06 Rev.1. R&D Center for Forest
Conservation and Rehabilitation. Bogor.
Santoso, E., Irianto R.S.B. Sitepu I.R., Turjaman M. (2011a).
Better inoculation engineering techniques. Technical
Report 2. ITTO PD425/06 Rev.1. R&D Center for Forest
Conservation and Rehabilitation. Bogor.
Santoso, E., Pratiwi, Purnomo E., Irianto R.S.B., Wiyono B.,
Novriyanto E., Turjaman M. (2011b). Selection
pathogens for eaglewood (gaharu) inoculation.
Technical Report 3. ITTO PD425/06 Rev.1. R&D Center
for Forest Conservation and Rehabilitation. Bogor.
Subiakto, A., Santoso E., Pratiwi, Purnomo E., Irianto R.S.B.,
Wiyono B., Novriyanti E., Suharti S., and Turjaman M.
(2011). Establishing demonstration plot of eaglewood
(gaharu) plantation and inoculation technology.
Technical Report 4. ITTO PD425/06 Rev.1. R&D Center
for Forest Conservation and Rehabilitation. Bogor.
Sundara, S. (2011). Conservation and sustainable development
of Aquilaria species in Lao PDR. Workshop on

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 215
implementation of CITES for agarwood producing
species, October 3-6, 2011. Kuwait City.
Turjaman, M. dan Santoso E. (2012). Status kemajuan riset
budidaya dan teknologi inokulasi gaharu di Asia.
Prosiding seminar nasional hasil hutan bukan kayu.
BPTHHBK-Mataram.
Turjaman, M., Tamai, Y., Santoso, E., Osaki, M., Tawaraya, K.
2006. Arbuscular mycorrhizal fungi increased early
growth of two nontimber forest product species Dyera
polyphylla and Aquilaria filaria under greenhouse
conditions. Mycorrhiza 16:459-464.
Wollenberg, E.K. (2001). Incentives for collecting gaharu
(fungal-infected wood of Aquilaria spp.; Thymelaeaceae)
in East Kalimantan. Economic Botany 55 (3):444-456.
Wollenberg, E.K. (2003). Boundary keeping and access to gaharu
among Kenyah forest users. Environment and Planning A
35:1007-1023.

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


216 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
13
K AJIAN BIAYA PEMBANGUNAN
HUTAN TANAMAN GAHARU
Atok Subiakto
Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi

Pendahuluan
Pembangunan tanaman penghasil gaharu mulai marak
dilaksanakan, baik oleh pemerintah maupun oleh sektor swasta
termasuk masyarakat umum. Gairah penanaman pohon
penghasil gaharu dipicu oleh prospek nilai komersial komoditi
resin gaharu yang tinggi. Sebelum era penanaman pohon
penghasil gaharu digencarkan, eksploitasi gaharu dilakukan di
hutan alam dengan menebang pohonnya. Di hutan alam tropis
Indonesia, pohon penghasil gaharu (Aquilaria spp. dan Gyrinops
spp.) bukan merupakan kelompok pohon penghasil gaharu
dominan. Hal ini dicirikan dengan indeks nilai penting (INP) yang
relatif rendah, seperti di Taman Nasional Bukit Tiga Puluh untuk
Aquilaria spp. dengan INP tingkat pohon 2,27 (Antoko dan
Kwatrina, 2006). Demikian pula dengan INP jenis gaharu lainnya,
yaitu Gyrinops spp. di Sulawesi Tengah dengan INP 1,03
(Sidiyasa, K. 1989). Pemanenan intensif pada jenis-jenis yang
secara alami tidak dominan atau populasi alamnya terbatas
dinilai akan mempercepat penurunan populasinya. Penurunan
tajam populasi pohon penghasil gaharu alam memang terjadi
dan sejak tahun 1994 pohon penghasil gaharu telah dimasukan
dalam Appendix II CITES (Siran, 2010). Konsekuensi dari
masuknya pohon penghasil gaharu dalam Appendix II CITES

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 217
adalah dibatasinya kuota perdagangan gaharu. Namun, gaharu
hasil budidaya (penanaman) tentunya tidak termasuk dalam
pembatasan kuota perdagangannya.

Tidak seperti HHBK lainnya, seperti getah pinus dan damar yang
yang dapat langsung dipanen begitu tanaman telah mencapai
diameter tertentu, untuk mendapatkan resin gaharu harus
dilakukan inokulasi mikroba penginduksi resin gaharu. Oleh
sebab itu, penanaman pohon penghasil gaharu harus diikuti
dengan induksi pohon bila tanaman telah mencapai diameter
tertentu. Pada prinsipnya, komponen dalam perhitungan biaya
penanaman pohon penghasil gaharu adalah sama dengan jenis
pohon lainnya. Namun, harga bibit pohon penghasil gaharu
relatif lebih tinggi dibandingkan dengan jenis pohon lainnya,
yaitu dengan kisaran Rp 4.000,- sampai Rp 20.000,- per bibitnya.
Perlu diingat pula bahwa untuk sampai menghasilkan resin
gaharu, masih ada satu tahapan biaya yang harus dikeluarkan,
yaitu untuk kegiatan induksi resin gaharu dengan inokulasi
mikroba. Tulisan ini menyajikan perhitungan biaya penanaman
tahun pertama pohon penghasil gaharu dengan berbagai pola.
Biaya untuk inokulasi mikrobanya disajikan pada tulisan lain
secara terpisah.

Penanaman Gaharu
Hampir di seluruh pelosok tanah air dapat dijumpai kegiatan
penanaman pohon penghasil gaharu yang umumnya dilakukan
oleh masyarakat. Proyek ITTO PD 425 melakukan kegiatan
penanaman pohon penghasil gaharu pada skala yang cukup luas
di KHDTK Carita, Banten, dan Kandangan-Barabai, Kalsel. Pada
tahun 2009-2010 di KHDTK Carita telah ditanam 15.000 bibit
pohon penghasil gaharu pada kawasan seluas 24 ha. Penanaman
pohon penghasil gaharu dilakukan di bawah naungan berbagai
vegetasi, seperti tegakan Dipterokarpa, tanaman cengkeh, petai,
nangka, dan lain-lain. Pada kurun waktu yang sama, penanaman

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


218 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
pohon penghasil gaharu juga dilakukan di lahan masyarakat di
Kandangan-Barabai, Kalsel, pada areal seluas 48 ha dengan
jumlah bibit pohon penghasil gaharu yang ditanam adalah
30.000 bibit.

Di Indonesia, pohon penghasil gaharu (A. malaccensis, A.


beccariana, A. crassna, A. microcarpa dan Gyrinops cumingiani)
tumbuh secara alami di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi,
NTB, Maluku dan Papua (Siran 2010). Tempat tumbuh ideal
pohon penghasil gaharu adalah pada ketinggian 0-750 meter dari
permukaan laut dan umumnya pada tanah mineral berlempung
(Sitepu et al, 2010; Prosea, 1999). Curah hujan ideal untuk genus
Aquilaria adalah di atas 2.000 mm per tahun. Curah hujan ideal
untuk genus Gyrinops adalah di atas 1.500 mm per tahun. Hama
utama pohon penghasil gaharu adalah serangan ulat hijau
Heortia vitessoides yang mengganas di beberapa kawasan di
KHDTK Carita (Banten), Sanggau (Kalbar) dan Lombok (NTB)
(Ragil et al. 2010).

Gambar 13.1. Tanaman penghasil gaharu gaharu umur 1 tahun 6 bulan di KHDTK
Carita, Banten (kiri) dan kegiatan penanaman pohon penghasil gaharu
di Kandangan, Kalsel (kanan)

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 219
Rata-rata tingkat keberhasilan tumbuh tanaman penghasil
gaharu gaharu di KHDTK Carita adalah 76%, kematian umumnya
diakibatkan oleh serangan hama ulat. Pada akhir 2010, tinggi
tanaman berkisar antara 60 cm sampai dengan 160 cm (Gambar
13.1). Di Kandangan-Barabai (Kalsel), tingkat keberhasilan
tumbuh di atas 80%.

Kajian Biaya Penanaman Gaharu


Kajian biaya penanaman pohon penghasil gaharu didasarkan dari
pengalaman kegiatan penanaman pohon penghasil gaharu di
KHDTK Carita (Banten) dan Kandangan-Barabai (Kalsel) dalam
kerangka proyek ITTO PD 251. Kajian perhitungan biaya
didasarkan pada tiga pola penanaman, yaitu (1) pola pohon
penghasil gaharu murni dengan dua varasi jarak tanam, yaitu 3x3
m dan 4x4 m; (2) pola penanaman campuran pohon penghasil
gaharu dan kelapa sawit dengan kerapatan total tanaman per
hektar 278 pohon; dan (3) pola campuran pohon penghasil
gaharu dan karet dengan kerapatan total tanaman per hektar
1.112 pohon.

Komponen biaya dalam perhitungan biaya penanaman pohon


penghasil gaharu pada tulisan ini, meliputi (1) pembelian bibit,
(2) pembelian ajir, (3) upah babat jalur tanam dan pemasangan
ajir, (4) upah pembuatan lubang dan penanaman, (5) pembelian
pupuk, (6) upah pemupukan, (7) upah pembersihan gulma
pertama dan (8) upah pembersihan gulma kedua. Faktor
pengeluaran yang menyebabkan perbedaan biaya penanaman
antara ketiga pola di atas, adalah harga bibit (pohon penghasil
gaharu, kelapa sawit dan karet) dan kerapatan tegakan (jumlah
tanaman per hektar). Tabel berikut menyajikan perhitungan
biaya penanaman pohon penghasil gaharu atas dasar pola
tanamnya.

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


220 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Tabel 13.1. Biaya penanaman pohon penghasil gaharu pola murni
kerapatan 1.100 pohon/ha (3x3 m)

Jml per Satuan


No Komponen biaya Harga (Rp)
Ha (Rp)
1. Bibit pohon penghasil 1.100 5.000,- 5.500.000,-
gaharu
2. Ajir 1.100 500,- 550.000,-
3. Babad jalur dan 36 40.000,- 1.440.000,-
pengajiran (HOK)
4. Lubang tanam dan 56 40.000,- 2.240.000,-
penanaman (HOK)
5. Pupuk (Kg) 22 11.000,- 242.000,-
6. Aplikasi pupuk (HOK) 36 40.000,- 1.440.000,-
7. Perawatan pertama 13 40.000,- 520.000,-
(HOK)
8. Perawatan kedua 13 40.000,- 520.000,-
(HOK)
Total biaya 12.452.000,-

Biaya penanaman pohon penghasil gaharu pola murni dengan


kerapatan 1.100 pohon per hektar adalah Rp 12.452.000,-. Pola
penanaman murni pohon penghasil gaharu pada kenyataannya
tidak sepenuhnya murni pohon penghasil gaharu, tetapi pada
awalnya ada jenis pohon penaungnya seperti pepaya, pisang,
kopi, dan lain-lain. Bila tanaman penghasil gaharu telah berumur
2 tahun dengan tinggi antara 1,5-2,0 m, pohon penaung bisa
ditebang. Pada beberapa kebun masyarakat, tanaman penaung
seperti coklat, cengkeh dan karet tidak ditebang dan dibiarkan
tumbuh menjadi tegakan campuran bersama pohon penghasil
gaharu.

Biaya penanaman pohon penghasil gaharu pola murni dengan


kerapatan 625 pohon per hektar adalah Rp 8.460.500,-. Biaya
pada pola ini lebih rendah dibandingkan dengan pola murni
kerapatan 1.100 pohon per hektar, karena biaya pembelian bibit
dan upah yang diperlukan lebih rendah.

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 221
Tabel 13.2. Biaya penanaman pohon penghasil gaharu pola murni
kerapatan 625 pohon/ha (4x4 m)

Jml per Satuan


No Komponen biaya Harga (Rp)
Ha (Rp)
1. Bibit pohon penghasil 625 5.000,- 3.125.000,-
gaharu
2. Ajir 625 500,- 312.500,-
3. Babad jalur dan 36 40.000,- 1.200.000,-
pengajiran (HOK)
4. Lubang tanam dan 56 40.000,- 1.680.000,-
penanaman (HOK)
5. Pupuk (Kg) 22 11.000,- 143.000,-
6. Aplikasi pupuk (HOK) 36 40.000,- 1.200.000,-
7. Perawatan pertama 13 40.000,- 400.000,-
(HOK)
8. Perawatan kedua (HOK) 13 40.000,- 400.000,-
Total biaya 8.460.500,-

Biaya penanaman pohon penghasil gaharu pola campuran


merupakan jumlah dari biaya penanaman pohon penghasil
gaharu (Tabel 13.3) dan biaya penanaman jenis kelapa sawit
(Tabel 13.4). Total biaya per hektar untuk membangun pohon
penghasil gaharu dengan pola campuran kelapa sawit dengan
kerapatan total 278 pohon per ha adalah Rp 2.957.500,- + Rp
6.345.500,- = Rp 9.303.000,-.

Pada pola ini, penanaman pohon penghasil gaharu umumnya


dilakukan sekitar dua tahun setelah penanaman kelapa sawit.
Hal ini dimaksudkan agar tajuk kelapa sawit telah dapat
memberikan naungan kepada pohon penghasil gaharu yang baru
ditanam. Pola ini telah diterapkan oleh petani gaharu di Muara
Jambi.

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


222 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Tabel 13.3. Biaya penanaman pohon penghasil gaharu pola
campuran dengan kelapa sawit kerapatan jenis gaharu
139 pohon per hektar

Jml per Satuan


No Komponen biaya Harga (Rp)
Ha (Rp)
1. Bibit pohon penghasil 139 5.000,- 695.000,-
gaharu
2. Ajir 139 500,- 69.500,-
3. Babad jalur dan 36 40.000,- 480.000,-
pengajiran (HOK)
4. Lubang tanam dan 56 40.000,- 720.000,-
penanaman (HOK)
5. Pupuk (Kg) 22 11.000,- 33.000,-
6. Aplikasi pupuk (HOK) 36 40.000,- 480.000,-
7. Perawatan pertama 13 40.000,- 240.000,-
(HOK)
8. Perawatan kedua (HOK) 13 40.000,- 240.000,-
Total biaya 2.957.500,-

Tabel 13.4. Biaya penanaman pohon penghasil gaharu pola


campuran dengan kelapa sawit, kerapatan jenis kelapa
sawit 139 pohon per hektar

Jml per Satuan


No Komponen biaya Harga (Rp)
Ha (Rp)
1. Bibit kelapa sawit 139 21.000,- 2.919.000,-
2. Ajir 139 500,- 69.500,-
3. Babad jalur dan 36 40.000,- 720.000,-
pengajiran (HOK)
4. Lubang tanam dan 56 40.000,- 1.200.000,-
penanaman (HOK)
5. Pupuk (Kg) 22 11.000,- 77.000,-
6. Aplikasi pupuk (HOK) 36 40.000,- 720.000,-
7. Perawatan pertama 13 40.000,- 320.000,-
(HOK)
8. Perawatan kedua (HOK) 13 40.000,- 320.000,-
Total biaya 6.345.500,-

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 223
Tabel 13.5. Biaya penanaman pohon penghasil gaharu pola
campuran dengan karet, kerapatan jenis gaharu 556
pohon per hektar

Jml per Satuan


No Komponen biaya Harga (Rp)
Ha (Rp)
1. Bibit pohon penghasil 556 5.000,- 2.780.000,-
gaharu
2. Ajir 556 500,- 278.500,-
3. Babad jalur dan 26 40.000,- 1.040.000,-
pengajiran (HOK)
4. Lubang tanam dan 38 40.000,- 1.520.000,-
penanaman (HOK)
5. Pupuk (Kg) 12 11.000,- 132.000,-
6. Aplikasi pupuk (HOK) 28 40.000,- 1.120.000,-
7. Perawatan pertama 9 40.000,- 360.000,-
(HOK)
8. Perawatan kedua (HOK) 9 40.000,- 360.000,-
Total biaya 7.590.000,-

Tabel 13.6. Biaya penanaman pohon penghasil gaharu pola


campuran dengan karet, kerapatan jenis karet 556 pohon
per hektar

Jml per Satuan


No Komponen biaya Harga (Rp)
Ha (Rp)
1. Bibit karet 556 3.000,- 1.668.000,-
2. Ajir 556 500,- 278.500,-
3. Babad jalur dan 26 40.000,- 1.040.000,-
pengajiran (HOK)
4. Lubang tanam dan 38 40.000,- 1.520.000,-
penanaman (HOK)
5. Pupuk (Kg) 12 11.000,- 132.000,-
6. Aplikasi pupuk (HOK) 28 40.000,- 1.120.000,-
7. Perawatan pertama 9 40.000,- 360.000,-
(HOK)
8. Perawatan kedua (HOK) 9 40.000,- 360.000,-
Total biaya 6.478.000,-

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


224 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Total biaya per hektar untuk membangun pohon penghasil
gaharu dengan pola campuran karet dengan kerapatan total
1.112 pohon adalah Rp 7.590.000,- + Rp 6.478.000,- = Rp
14.068.000,-. Pola penanaman campuran pohon penghasil
gaharu dan karet telah dilakukan oleh masyarakat di Sanggau,
Kalimantan Barat dan Kandangan, Kalimantan Selatan.

Perhitungan biaya penanaman pada Tabel 13.1 sampai Tabel


13.6 belum mencakup komponen biaya lainnya, yaitu (1)
penataan kawasan, (2) operasional pengelolaan kawasan, (3)
perawatan tahun kedua dan (4) biaya inokulasi mikroba stimulan
gaharu. Perhitungan upah (HOK) didasarkan pada standar harga
rata-rata HOK tahun 2010 di berbagai tempat di Banten dan
Kalimantan Selatan. Kondisi lahan tanam sebelum dilakukan
penanaman, berupa belukar dengan beberapa individu tanaman
tingkat pohon. Jadi, pada saat penjaluran untuk membuat lubang
tanam tidak dilakukan kegiatan penebangan tanaman tingkat
pohon. Adanya tanaman tingkat pohon diperlukan untuk
naungan tanaman penghasil gaharu. Pada penanaman pola
campuran dengan kelapa sawit dan karet, bibit pohon penghasil
gaharu ditanam 2 atau 3 tahun setelah penanaman kelapa sawit
atau karet, dimana tajuk kelapa sawit dan karet telah dapat
memberikan naungan bagi bibit pohon penghasil gaharu yang
baru ditanam.

Penutup
Peningkatan gairah penanaman pohon penghasil gaharu hampir
melanda di seluruh kawasan tanah air akan membangkitkan
beberapa sektor usaha terkait, seperti pengadaan bibit atau
industri produk turunan gaharu, seperti beragam kosmetik
berbahan aroma gaharu. Gaharu dinilai sebagai komoditi ekspor
kehutanan yang prospektif dan strategis yang akan
membangkitkan beragam sektor usaha, seperti halnya komoditi
kelapa sawit di sektor perkebunan.

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 225
Hal penting yang perlu diwaspadai dalam penanaman pohon
penghasil gaharu, adalah pengendalian serangan hama ulat H.
vitessoides yang mengganas di beberapa lokasi baik di Jawa
maupun Kalimantan. Serangan ulat H. vitessoides dapat
mengakibatkan kematian tanaman penghasil gaharu, bahkan
pohon yang telah mencapai diameter 30 cm. Perhitungan biaya
dalam tulisan ini belum termasuk biaya pengendalian hama ulat.

Daftar Pustaka
Antoko, B. S., dan Kwatrina, R. T. 2006. Potensi Keragaman Jenis
Flora Pada Kawasan Wisata Alam di Granit Training
Center, T.N. Bukit Tiga Puluh, Riau. J. Pen.Htn & KA. III-6 :
513-532.
Prosea, 1999. Essential-oil plants. No. 19. L.P. Oyen & Nguyen
Xuan Dung (Eds). Backhuys Publishers, Leiden. Pp. 277.
Ragil, S. B. I., Santoso, E., Turjaman, M. Sitepu, I. R. 2010. Hama
Pada Pohon Penghasil Gaharu dan Teknik
Pengendaliannya. Info Hutan. VII-2 : 225-228.
Sidiyasa, K. 1989. Beberapa Aspek Ekologi Diospyros celebica
BAKH. Di Sausu dan Sekitarnya, Sulawesi Tengah. Bul.
Pen. Hut. 508 : 15-26.
Siran, S. A. 2010. Perkembangan Pemanfaatan Gaharu. Dalam :
Pengembangan Teknologi Produksi Gaharu Berbasis
Pemberdayaan Masyarakat. (Siran, S. A. & Turjaman, M.
Ed). 1-30.
Sitepu, I. R., Santoso, E., dan Turjaman, M. 2010. Fragant Wood
Gaharu : When The Wild Can No Longer provide. Foest
and Nature Conservation Research and Development
Center. Bogor.

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


226 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
14
P ELUANG BISNIS GAHARU BERSAMA
MASYARAKAT
Sri Suharti
Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi

Pendahuluan
Gaharu merupakan salah satu tanaman hutan yang mempunyai
nilai ekonomi tinggi karena kayunya mengandung resin yang
harum. Sejenis resin beraroma ini berasal dari tanaman jenis
Aquilaria, Gyrinops, dan Gonystylus. Jika tanaman ini terluka,
rusak atau terinfeksi, baik disebabkan penyakit atau serangan
serangga, akan menghasilkan resin/substansi aromatik berupa
gumpalan atau padatan berwarna coklat muda sampai coklat
kehitaman yang terbentuk pada lapisan dalam sebagai reaksi dari
infeksi/luka tersebut. Resin ini sebetulnya dapat melindungi
tanaman dari infeksi yang lebih besar, sehingga dapat dianggap
sebagai sistim imunitas yang dihasilkan (Squidoo, 2008).

Tanaman penghasil gaharu secara alami tumbuh di wilayah Asia


Selatan dan Asia Tenggara. Beberapa nama diberikan pada
gaharu seperti agarwood, aloeswood, gaharu (Indonesia), ood,
oudh, oodh (Arab), chenxiang (China), pau daquila (Portugis),
bois daigle (Perancis), dan adlerholz (Jerman). Aquilaria yang
merupakan tanaman penghasil gaharu saat ini menjadi jenis yang
dilindungi di banyak negara dan eksploitasi gaharu dari hutan
alam dianggap sebagai kegiatan ilegal.

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 227
Kesepakatan internasional seperti CITES (Convention on In-
ternational Trade in Endangered Species of Wild Fauna and
Flora) oleh 169 negara menetapkan para pihak sepakat
menjamin bahwa perdagangan gaharu tidak mengganggu
survival dari Aquilaria. Meskipun demikian, eksploitasi gaharu
secara ilegal ternyata tetap berlangsung dan konsumen yang
kurang memahami hal ini secara tidak sadar justru menciptakan
permintaan yang tinggi yang dapat membahayakan keberadaan
tanaman Aquilaria (Blanchette, 2006).

Sampai saat ini, permintaan terhadap gaharu jauh melebihi


supply yang ada. Sebagai akibatnya, pada beberapa tahun
terakhir terdapat kecenderungan besar-besaran untuk
membudidayakan gaharu, terutama di wilayah Asia Tenggara
(Squidoo, 2008). Di Indonesia, tingginya harga gaharu dan
semakin langkanya tanaman gaharu di hutan alam juga
mendorong masyarakat di berbagai daerah untuk melakukan
budidaya gaharu, seperti yang terjadi di Riau, Jambi, Sumatera
Utara, dan Kalimantan Selatan. Upaya pembudidayaan tersebut
semakin berkembang karena ditunjang oleh kemajuan hasil
penelitian yang menunjukkan bahwa budidaya gaharu
memberikan keuntungan yang layak bagi pelakunya. Namun
karena pengusahaan gaharu memerlukan modal yang tidak
sedikit, maka masyarakat yang mampu membudidayakan gaharu
adalah kelompok yang memiliki permodalan yang kuat.

Untuk mengembangkan budidaya gaharu secara lebih luas, perlu


dikembangkan suatu skema kerjasama antara pemilik modal
dengan masyarakat. Salah satu bentuk kemitraan yang dapat
dikembangkan adalah pola PHBM (Pengelolaan Hutan Berbasis
Masyarakat). Pengembangan budidaya gaharu dengan pola
PHBM (sistem bagi hasil) merupakan salah satu alternatif bentuk
usahatani produktif, yang selain bertujuan untuk
mengembangkan budidaya gaharu secara luas, sekaligus dapat
meningkatkan pendapatan masyarakat, serta mengurangi

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


228 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
tekanan masyarakat terhadap hutan yang tingkat
ketergantungannya tinggi.

PHBM diharapkan menjadi suatu cara yang efektif karena


melibatkan masyarakat sekitar hutan dan para pihak pemangku
kepentingan lainnya untuk bekerjasama dan berbagi (ruang,
waktu, hak dan kewajiban) dengan prinsip saling
menguntungkan, saling memperkuat, dan saling mendukung.
Tulisan ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang
prospek pengusahaan gaharu oleh masyarakat melalui pola
pengelolaan hutan berbasis masyarakat (PHBM).

Metodologi
Tulisan ini merupakan hasil desk study dari berbagai pustaka,
laporan hasil penelitian, dan data statistik yang tersedia. Data
dan informasi, serta literatur tersebut dihimpun dari berbagai
sumber antara lain: Kementerian Kehutanan, CITES, BPS, Asosiasi
Gaharu Indonesia (ASGARIN), serta berbagai terbitan lainnya.

Data dan informasi yang berhasil dihimpun, diolah dan dianalisis


secara deskriptif. Khusus untuk perhitungan finansial usahatani
gaharu, analisis menggunakan kriteria kelayakan Net Present
Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), dan Benefit Cost Ratio
(B/C).

NPV atau nilai kini bersih dirumuskan sebagai berikut:


n Bt Ct
NPV (1)
t0 (1 i)t

dimana:
NPV = Net Present Value (Nilai Kini Bersih),
Bt = benefit atau penerimaan pada tahun t,
Ct = biaya pada tahun t,
i = tingkat diskonto atau potongan (=bunga bank yang berlaku),
n = umur ekonomi proyek (cakrawala waktu).

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 229
Suatu kegiatan usaha dinyatakan layak secara finansial bila nilai
NPV > 0.

IRR atau tingkat pengembalian internal dirumuskan sebagai


berikut:

NPV1
IRR i1 (i2 i1) (2)
NPV1 NPV2

dimana:
IRR = Internal Rate of Raturn (tingkat keuntungan internal),
i1 = tingkat diskonto untuk menghasilkan NPV1 mendekati nol,
NPV1 = nilai NPV mendekati nol positif,
i2 = tingkat diskonto untuk menghasilkan NVP2 negatif mendekati
nol,
NPV2 = nilai NPV negatif mendekati nol.

Suatu bisnis dinyatakan layak secara finansial bilai nilai IRR lebih
besar dari tingkat suku pinjaman di bank yang berlaku saat ini.

Selanjutnya, nilai B/C dirumuskan sebagai berikut:


n Bt

(1 i)t
B/C t n0 (3)
Ct

t 0 (1 i)t

dimana:
B/C = Benefit Cost Ratio ( Rasio penerimaan-biaya),
Bt = benefit atau penerimaan pada tahun t,
Ct = biaya pada tahun t,
i = tingkat diskonto,
n = umur ekonomis proyek.

Kegiatan usaha dikatakan layak apabila B/C > 1.

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


230 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Prospek Pengusahaan Gaharu
A. Prospek Pasar Gaharu

Indonesia adalah produsen gaharu terbesar di dunia dan menjadi


tempat tumbuh endemik beberapa spesies gaharu komersial dari
marga Aquilaria seperti A. malaccensis, A. microcarpa, A. hirta,
A. beccariana, A. filarial, dan lain-lain. Pada tahun 1985, jumlah
ekspor gaharu Indonesia mencapai sekitar 1.487 ton, namun
eksploitasi hutan alam tropis dan perburuan gaharu yang tidak
terkendali telah mengakibatkan spesies-spesies gaharu menjadi
langka. Tingginya harga jual gaharu mendorong masyarakat
untuk memburu gaharu, tidak hanya dengan cara memungut
dari pohon gaharu yang mati alami, melainkan juga dengan
menebang pohon hidup. Oleh karena itu, pada tahun 1995 CITES
memasukkan A. malaccensis, penghasil gaharu terbaik, ke dalam
daftar Appendix II dan sejak saat itu, ekspor gaharu dibatasi oleh
kuota yaitu hanya 250 ton/tahun (Anonim, 2005).

Perkembangan yang terjadi selanjutnya ternyata kurang begitu


bagus. Bahkan sejak tahun 2000, total ekspor gaharu dari
Indonesia terus menurun hingga jauh di bawah ambang kuota
CITES. Semakin sulitnya mendapatkan gaharu di hutan alam
telah mengakibatkan semua pohon gaharu (Aquilaria spp. dan
Gyrinops spp.) dimasukkan dalam Apendix II pada konvensi CITES
tanggal 2-14 Oktober 2004 di Bangkok (Gun et al., 2004).
Selanjutnya, karena adanya kekhawatiran akan punahnya spesies
gaharu di Indonesia, maka sejak tahun 2005 Departemen
Kehutanan kembali menurunkan kuota ekspor menjadi hanya
125 ton/tahun (Anonim, 2005).

Permintaan terhadap gaharu terus meningkat karena banyaknya


manfaat gaharu. Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi industri, gaharu tidak hanya digunakan sebagai
bahan wangi-wangian (industri parfum), tetapi juga digunakan
sebagai bahan baku obat-obatan, kosmetika, dupa, dan

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 231
pengawet berbagai jenis aksesoris. Selain itu, beberapa agama di
dunia mensyaratkan wangi gaharu yang dibakar sebagai sarana
peribadatan (untuk keperluan kegiatan religi).

Namun dari sisi negara pengekspor, tingginya permintaan gaharu


belum dapat dipenuhi karena kekurangan bahan baku bermutu
tinggi untuk ekspor. Hal ini banyak dikeluhkan oleh beberapa
eksportir gaharu Indonesia. Sebagai contoh, ekspor untuk pasar
Timur Tengah menurun dari 67.245 kg pada tahun 2005 menjadi
39.400 kg tahun 2006, karena sulitnya memperoleh bahan baku
gubal super yang diminta. Keluhan kekurangan bahan baku
gaharu untuk ekspor juga dialami oleh pemasok pasar Singapura.
Sebagai contoh, CV Ama Ina Rua, eksportir di Jakarta yang pada
tahun 2005 bisa mengekspor 5-6 ton/bulan, pada tahun 2006
hanya mampu mengekspor 2-3 ton/bulan (Adijaya, 2009).
Penurunan kemampuan ekspor Indonesia tersebut sudah
diprediksi oleh berbagai pihak karena eksploitasi hutan dan
perburuan gaharu yang tidak terkendali.

Penurunan kemampuan ekspor Indonesia tersebut sangat


berpengaruh terhadap perkembangan harga gaharu, baik di
pasar dunia maupun di tingkat pengumpul. Pada tahun 1980,
harga gaharu di tingkat pengumpul berkisar antara Rp 30.000-
50.000,-/kg untuk kualitas rendah dan Rp 80.000,-/kg untuk
kualitas super. Pada awalnya, kenaikan harga gaharu relatif
lambat, yaitu hanya naik menjadi Rp 100.000,-/kg pada tahun
1993. Kenaikan pesat terjadi pada saat krisis ekonomi melanda
Indonesia tahun 1997, di mana harga gaharu mencapai Rp 3-5
juta/kg. Kenaikan harga gaharu terus berlanjut dan semakin
tajam hingga mencapai Rp 10 juta/kg pada tahun 2000 dan
meningkat lagi hingga mencapai Rp 15 juta/kg pada tahun 2009
(Adijaya, 2009; Wiguna, 2006).

Kondisi tersebut menggambarkan bahwa gaharu sangat


prospektif untuk dikembangkan, khususnya bagi Indonesia yang
memiliki potensi biologis, yaitu tersedianya beragam spesies

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


232 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
tumbuhan penghasil gaharu dan masih luasnya lahan-lahan
kawasan hutan yang potensial. Selan itu, tersedianya teknologi
inokulasi juga menunjang untuk pembudidayaan gaharu.

B. Potensi dan Peluang Usaha

Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk


menghasilkan gaharu. Namun, potensi yang tersedia tersebut
sampai saat ini belum dimanfaatkan secara optimal dan produksi
gaharu lebih banyak berasal dari proses alami, sehingga produksi
gaharu Indonesia terus menurun.

Pada saat ini, luas kawasan hutan dan perairan Indonesia


berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan tentang
Penunjukkan Kawasan Hutan dan Perairan serta Tata Guna
Hutan Kesepakatan (TGHK) tercatat seluas 137,09 juta ha, terdiri
dari Kawasan Suaka Alam dan Pelestarian Alam 23,31 juta ha,
Hutan Lindung 31,6 juta ha, Hutan Produksi Terbatas 22,5 juta
ha, Hutan Produksi Tetap 36,65 juta ha, Hutan Produksi yang
dapat Dikonversi 22,8 juta ha, dan Taman Buru 0,23 juta ha
(Departemen Kehutanan, 2007). Dari kawasan hutan tersebut
khususnya hutan produksi alam, gaharu merupakan salah satu
hasil hutan bukan kayu yang bernilai ekonomi tinggi.

Gaharu dihasilkan oleh pohon-pohon terinfeksi yang tumbuh di


daerah tropika dan memiliki marga Aquilaria, Gyrinops, dan
Gonystilus, yang keseluruhannya termasuk dalam famili
Thymelaeaceae. Marga Aquilaria terdiri dari 15 spesies, tersebar
di daerah tropis Asia mulai dari India, Pakistan, Myanmar, Lao
PDR, Thailand, Kamboja, China Selatan, Malaysia, Philipina, dan
Indonesia. Enam jenis diantaranya ditemukan di Indonesia (A.
malaccensis, A. microcarpa, A. hirta, A. beccariana, A.
cumingiana, dan A. filarial). Keenam jenis tersebut terdapat
hampir di seluruh kepulauan Indonesia, kecuali Jawa, Bali, dan
Nusa Tenggara. Marga Gonystilus memiliki 20 spesies, tersebar
di Asia Tenggara mulai dari Malaysia, Peninsula, Serawak, Sabah,

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 233
Indonesia, Papua New Guinea, Philipina, dan Kepulauan Solomon
serta Kepulauan Nicobar. Sembilan spesies diantaranya terdapat
di Indonesia yaitu di Sumatera, Kalimantan, Bali, Maluku, dan
Irian Jaya. Marga Gyrinops memiliki tujuh spesies, enam
diantaranya tersebar di Indonesia bagian timur, serta satu
spesies terdapat di Srilanka (Anonim, 2002).

Hasil penelitian tentang tanaman gaharu memberikan hasil yang


sangat menggembirakan karena berbagai jenis tanaman gaharu
dari hutan alam dapat dibudidayakan dan produksi gaharu dapat
direkayasa. Pembudidayaan tanaman penghasil gaharu dapat
dilakukan secara monokultur maupun tumpangsari dengan
tanaman lainnya. Persyaratan tumbuh serta pemeliharaan
tanaman penghasil gaharu relatif tidak terlalu rumit. Karena sifat
permudaan gaharu yang toleran terhadap cahaya (butuh
naungan), penanaman pohon gaharu sebaiknya dilakukan secara
tumpangsari atau berada di bawah naungan tegakan lain, seperti
karet, sawit, durian (Rizlani dan Aswandi, 2009) atau di bawah
tegakan pohon hutan, seperti meranti, mahoni, dan pulai yang
dikembangkan di KHDTK Carita. Jika ditanam secara monokultur
dan tanpa naungan, terdapat resiko kegagalan penanaman
(tanaman muda) lebih tinggi. Beberapa alternatif pengembangan
budidaya pohon penghasil gaharu, selain pada hutan produksi
(LOA), HTI, Hutan Rakyat, juga dapat ditanam pada areal
tanaman perkebunan (karet, kelapa, sawit, dan lain-lain).

Setelah tanaman penghasil gaharu berumur 5 tahun dengan


diameter 15 cm, rekayasa produksi untuk menghasilkan gaharu
sudah mulai dapat dilakukan dengan cara teknik
induksi/inokulasi penyakit pembentuk gaharu yang sesuai
dengan jenis pohon. Hasil rekayasa tersebut dapat dipanen satu
atau dua tahun kemudian. Pemanenan dapat dilakukan pada
kondisi pohon belum mati, tetapi idealnya dipanen setelah
pohon mati dengan variasi mutu produksi akan terdiri dari kelas
gubal, kemedangan, dan abu/bubuk (Sumarna, 2007).
Keberhasilan berbagai hasil penelitian tersebut semakin

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


234 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
mendorong dan menggugah pemburu gaharu untuk melakukan
budidaya tanaman gaharu.

Upaya pembudidayaan gaharu sudah mulai dirintis sejak tahun


1994/1995 oleh sebuah perusahaan pengekspor gaharu, PT
Budidaya Perkasa di Riau, dengan menanam A. malaccensis
seluas lebih dari 10 hektar. Selain itu, Dinas Kehutanan Riau juga
menanam jenis yang sama seluas 10 hektar di Taman Hutan Raya
Syarif Hasyim. Selanjutnya pada tahun 2001-2002, beberapa
individu atau kelompok tani juga mulai tertarik untuk
membudidayakan jenis pohon penghasil gaharu. Sebagai contoh,
usaha yang dilakukan oleh para petani di Desa Pulau Aro,
Kecamatan Tabir Ulu, Kabupaten Merangin, Jambi, yang
menanam gaharu dari jenis A. malacensis dan A. microcarpa. Di
desa tersebut, sampai akhir tahun 2002 terdapat sekitar 116
petani yang tergabung dalam Kelompok Tani Penghijauan Indah
Jaya yang telah mengembangkan lebih dari seratus ribu bibit
gaharu (Anonim, 2008). Selain itu, BP DAS Batanghari
bekerjasama dengan Badan Litbang Kehutanan pada 2004/2005
membuat demplot budidaya gaharu diantara tegakan tanaman
karet rakyat seluas 50 ha (Sumarna, 2007).

C. Kelayakan Pengusahaan Gaharu

Untuk memperoleh gambaran bagaimana kelayakan


pengusahaan gaharu melalui budidaya dan rekayasa produksi
gaharu, berikut ini dilakukan contoh analisis finansial budidaya
gaharu dengan asumsi tingkat keberhasilan mencapai 60%.
Analisis finansial tersebut menggunakan beberapa batasan dan
asumsi sebagai berikut:

1. Pengusahaan gaharu dilakukan pada luasan satu ha dengan


jarak tanam 5x5 m, sehingga kerapatan 400 pohon per
hektar.
2. Tanaman yang bertahan hidup dan menghasilkan gaharu
diasumsikan 60% dengan tingkat produksi 2 kg per pohon,

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 235
sehingga total produksi 480 kg/ha dengan 3 kualitas masing-
masing kelas kemedangan I sebesar 10%, kelas kemedangan II
sebesar 40%, dan kelas kemedangan III sebesar 50%.
3. Harga jual produksi gaharu hasil inokulasi untuk kelas
kemedangan I = Rp 5 juta/kg, kelas kemedangan II = Rp 2
juta/kg, dan kelas kemedangan III = Rp 500 ribu/kg.
4. Upah tenaga kerja, baik tenaga kerja keluarga maupun luar
keluarga diasumsikan sebesar Rp 50.000,-/HK, sedangkan
upah tenaga kerja untuk inokulasi Rp 30.000,-/pohon.
5. Harga inokulan diasumsikan Rp 50.000,-/pohon, sehingga
total biaya inokulan Rp 20 juta/ha.
6. Analisis finansial menggunakan tingkat diskonto sebesar 15%.

Berdasarkan asumsi dan batasan tersebut ternyata untuk


pengusahaan satu hektar gaharu dibutuhkan biaya sebesar Rp
141,350 juta. Biaya tersebut meliputi biaya pra-investasi dan
persiapan lahan, serta penanaman sebesar Rp 26,50 juta, biaya
bahan dan peralatan Rp 40,350 juta, dan biaya tenaga kerja Rp
74,50 juta. Apabila diperhatikan lebih seksama, beban biaya yang
relatif besar adalah untuk pembelian bahan inokulan, tenaga
kerja untuk inokulasi, dan tenaga kerja untuk pemungutan hasil
(panen) yang besarnya mencapai Rp 77 juta atau sekitar 54,47%
dari total biaya.

Hasil analisis finansial menunjukkan bahwa pengusahaan gaharu


tersebut layak untuk dilaksanakan karena dapat menghasilkan
keuntungan bersih nilai kini (NPV) sebesar Rp 147,74 juta/ ha,
IRR sebesar 48,53%, dan B/C = 3,32.

Prospek Pengusahaan Gaharu dengan Pola PHBM


A. Peluang Pengembangan Gaharu dengan Pola PHBM

Pembudidayaan tanaman penghasil gaharu akhir-akhir ini


semakin marak karena sebagian masyarakat sudah dapat
menikmati hasilnya. Namun, di sisi lain juga dijumpai beberapa

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


236 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
kasus ketidakberhasilan pengusahaan gaharu yang disebabkan
antara lain oleh kegagalan dalam pemeliharaan, kegagalan dalam
melakukan inokulasi, dan adanya pencurian pohon di kebun
gaharu (Duryatmo, 2009).

Untuk lebih membudayakan penanaman gaharu secara luas,


meningkatkan peluang keberhasilan serta mengurangi resiko
kerugian yang diderita, perlu dikembangkan suatu pola
kemitraan dalam budidaya tanaman penghasil gaharu. Salah satu
bentuk kemitraan yang dapat dikembangkan adalah melalui pola
pengelolaan hutan berbasis masyarakat (PHBM), baik di lahan
milik di luar kawasan hutan maupun di kawasan hutan. PHBM
merupakan salah satu jawaban dari pergeseran paradigma dalam
pengelolaan sumberdaya hutan, dari yang berbasis negara (state
based) ke arah yang berbasis komunitas/masyarakat (community
based) (Indradi, 2009).

Perubahan paradigma ke arah PHBM menjadi momentum


penting bagi masyarakat desa hutan. Di satu sisi, masyarakat
dapat mendayagunakan potensi-potensi kehutanan untuk
kesejahteraan mereka, dan di sisi lain, masyarakat di dalam dan
di sekitar kawasan hutan dapat menjadi aset bagi usaha-usaha
penjagaan, pemeliharaan dan pengelolaan hutan (Hayat, 2007).

Melalui pola PHBM, para pihak yang tertarik (pemerintah,


pengusaha/investor, kelompok usaha bersama/koperasi,
masyarakat) dapat berbagi peran dan tanggung jawab untuk
mengembangkan tanaman gaharu. Masyarakat dengan
keterbatasan sumberdaya yang dimiliki (lahan, input produksi,
sarana prasarana, keterampilan, akses pasar, dan lain-lain) dapat
ikut berperan dalam pengusahaan tanaman gaharu.

Karena bentuk kerjasamanya adalah kemitraan, maka para pihak


yang terlibat dalam kegiatan ini dapat memperoleh bagian/
sharing manfaat sesuai kontribusi masing-masing.
Pengembangan gaharu melalui pola PHBM merupakan salah satu

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 237
alternatif peningkatan produksi gaharu melalui pelibatan
masyarakat dalam budidaya gaharu. Dengan pola ini, areal
tanam dan juga kualitas dan kuantitas produksi gaharu
diharapkan akan dapat ditingkatkan.

Pengembangan gaharu dengan pola PHBM dapat dilakukan, baik


dalam areal hutan milik (hutan rakyat) maupun dalam kawasan
hutan Negara. Pada areal hutan milik, masyarakat diharapkan
melakukan penanaman gaharu pada lahannya sendiri, terutama
pada lahan kosong (tidak produktif) secara swadaya. Agar
masyarakat bersedia menanam gaharu, maka perlu diberikan
berbagai bentuk insentif, baik berupa pengadaan bibit, biaya
tanam, biaya inokulasi tanaman maupun informasi tentang
peluang dan teknik pengembangan gaharu.

Pengadaan bibit dan inokulasi dapat difasilitasi oleh mitra


kerjasama yang disalurkan kepada petani, baik dalam bentuk
bantuan/hibah maupun melalui sistim kredit yang akan dibayar
jika tanaman gaharu telah menghasilkan nantinya. Oleh karena
lahan milik rakyat umumnya tidak begitu luas dan sudah
ditumbuhi berbagai jenis tanaman, proporsi tanaman gaharu
yang ditanam disesuaikan dengan luasan dan kondisi areal hutan
milik yang ada. Dalam prakteknya, pengembangan hutan rakyat
gaharu umumnya dikombinasikan dengan tanaman semusim
atau tahunan lainnya yang sudah ada (tanaman sisipan).

Pengembangan tanaman gaharu dalam kawasan hutan dapat


dilakukan melalui pelibatan masyarakat sekitar hutan dalam
pengelolaan hutan. Hal ini sesuai dengan paradigma
pembangunan kehutanan yang lebih menitikberatkan pada
peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan
dan menempatkan masyarakat desa hutan sebagai partner/mitra
menuju pengelolaan hutan lestari. Oleh karena kawasan hutan
umumnya sudah ditumbuhi dengan berbagai jenis tumbuhan,
maka pola tanam yang dikembangkan adalah pola tumpangsari
(sisipan atau tanaman sela di antara tegakan yang sudah ada).

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


238 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa pola kerjasama
kemitraan pengelolaan hutan dengan masyarakat desa hutan
memberikan dampak positif, baik secara ekonomi, sosial maupun
ekologi. Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan
meningkatkan posisi tawar dan rasa memiliki masyarakat
terhadap sumberdaya hutan yang ada. Dampak positif yang
terjadi selanjutnya adalah sumberdaya hutan akan lebih terjaga
dan terpelihara, produktivitas meningkat, serta kesejahteraan
masyarakat akan meningkat pula. Adanya peningkatan
kesejahteraan dari budidaya gaharu selanjutnya akan
mengurangi tekanan masyarakat terhadap sumberdaya hutan
dalam bentuk illegal logging dan perambahan lahan. Bahkan,
masyarakat secara sadar akan mempertahankan setiap jengkal
hutan dari kerusakan, apapun penyebabnya (Aswandi, 2009).

Menempatkan masyarakat sebagai mitra dalam pengelolaan


hutan secara tidak langsung juga telah memposisikan
masyarakat sebagai garda terdepan dalam pengamanan
sumberdaya hutan. Dari sisi masyarakat, pengembangan gaharu
dengan pola PHBM memberikan peluang kepada masyarakat
untuk memperoleh manfaat ganda, yaitu dari hasil tanaman
gaharu jika telah menghasilkan nantinya dan kesempatan untuk
memanfaatkan lahan di antara tanaman untuk usahatani
tanaman semusim.

B. Sistim Bagi Hasil dalam PHBM

Pengembangan gaharu dengan pola PHBM merupakan salah satu


alternatif usaha yang dapat mengakomodasikan kepentingan
ekologi di satu sisi dan pertimbangan ekonomi di sisi lain.
Tanaman gaharu dipilih karena tanaman ini dapat tumbuh di
dalam areal hutan yang sudah banyak ditumbuhi tegakan pohon
dengan intensitas cahaya < 70%, pemeliharaannya relatif mudah
dan bernilai ekonomi tinggi. Beberapa prinsip utama yang
dipegang dalam pengembangan gaharu dengan pola PHBM
adalah:

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 239
1. Pengembangan kerjasama memang layak secara ekonomi
dalam jangka panjang (sesuai jangka waktu kontrak perjanjian
kerjasama);
2. Adanya tujuan bersama yang ingin dicapai;
3. Adanya pengaturan kerjasama yang saling menguntungkan
dan adil sesuai dengan kontribusi yang diberikan masing-
masing pihak untuk mencapai tujuan bersama;
4. Adanya kesepahaman tentang resiko dan konsekuensi dari
adanya perjanjian kerjasama tersebut.

Beberapa skenario sebagai alternatif bentuk kemitraan yang


dapat dikembangkan antara lain sebagaimana disajikan dalam
Tabel 14.1.

Tabel 14.1. Alternatif bentuk kemitraan yang dapat dikembangkan

Skenario I Skenario II Skenario III Skenario IV


Jenis input
1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
Lahan
Saprodi
Tenaga kerja
Bahan
inokulan
Biaya inokulasi
Pengolahan
hasil
Pemasaran
Keterangan: 1. Petani; 2. Investor/Pengusaha; 3. Pemda/Pihak lain

Sebagaimana diuraikan sebelumnya, pengembangan gaharu


dengan pola PHBM dapat dilakukan di areal hutan milik maupun
di dalam kawasan hutan sepanjang persyaratan tumbuhnya
terpenuhi. Berbeda dengan pengusahaan gaharu skala besar
yang dilakukan oleh para investor, budidaya gaharu oleh
masyarakat umumnya dilakukan dalam skala kecil dengan pola
campuran. Sebagaimana sifat usahatani skala kecil oleh

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


240 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
masyarakat yang ketergantungannya terhadap lahan usahatani
yang dimiliki/digarap sangat tinggi, maka gaharu bukan
merupakan komoditi utama yang diusahakan. Gaharu
diusahakan sebagai investasi jangka panjang, sepanjang modal
yang dimiliki mencukupi untuk biaya budidaya tanaman, berikut
biaya inokulasinya yang cukup besar. Konsekuensinya, populasi
tanaman gaharu dalam setiap garapan petani berjumlah relatif
sedikit serta tidak seragam, tergantung luas lahan garapan dan
kepadatan tanaman yang ada.

Dengan pola PHBM, diharapkan masyarakat yang memiliki


banyak keterbatasan, baik dari segi permodalan, teknologi serta
akses terhadap pasar dapat ikut berpartisipasi dalam budidaya
tanaman gaharu. Besarnya bagi hasil yang diperoleh oleh
masing-masing pihak yang terlibat dalam PHBM disesuaikan
dengan kontribusi masing-masing pihak dan merupakan hasil
kesepakatan bersama. Dengan demikian, meskipun
investor/penyandang dana memberikan kontribusi input dengan
porsi terbesar, belum tentu bagian hasil/sharing yang
diperolehnya akan paling besar pula. Apalagi jika pengembangan
kemitraan dengan pola PHBM bertujuan untuk meningkatkan
kelestarian sumberdaya hutan (dalam hal ini tanaman gaharu
yang sudah langka) dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat
desa hutan dan bukan semata-mata untuk tujuan komersial
(mendapat profit terbesar).

C. Uji Coba Pengembangan Gaharu dengan Pola PHBM di


KHDTK Carita

Di areal KHDTK Carita, Banten, pada tahun 2008 telah


dikembangkan uji coba skema kemitraan budidaya tanaman
penghasil gaharu dengan pola PHBM. Uji coba ini merupakan
kerjasama antara Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan
dan Konservasi Alam dengan masyarakat sekitar areal KHDTK
Carita, Banten. Kegiatan dilaksanakan pada sebagian Petak 21 di
areal KHDTK Carita dengan luas 40 hektar.

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 241
Kegiatan dilaksanakan dengan melibatkan masyarakat yang telah
berusaha tani di areal tersebut untuk ikut mengembangkan
tanaman penghasil gaharu di lahan garapan mereka. Kelompok
masyarakat yang terlibat dalam kegiatan penelitian ini berasal
dari Desa Sindang Laut dan Desa Suka Jadi, tepatnya dari
Kampung Longok, Cangkara, dan Cilaban sebanyak 49 orang
(anggota Kelompok Tani Hutan Giri Wisata Lestari yang dipimpin
Ustad Jafar sebanyak 40 orang dan Kelompok Tani Hutan Carita
Lestari pimpinan Pak Rembang sebanyak 19 orang).

Selama ini masyarakat ikut menggarap lahan di Petak 21 dengan


budidaya berbagai tanaman jenis pohon serbaguna (JPSG) dan
buah-buahan seperti melinjo, durian, cengkeh, jengkol, petai,
dan nangka. Selain tanaman JPSG milik masyarakat, di areal
tersebut juga terdapat berbagai pohon hutan seperti meranti,
mahoni, pulai, khaya, dan hawuan. Oleh karena areal kerjasama
sudah ditumbuhi berbagi jenis tumbuhan, maka pola tanam yang
diterapkan adalah pola tumpangsari (sisipan di antara tanaman
yang ada). Gaharu ditanam dengan jarak 5x5 m. Dengan
demikian, jumlah tanaman gaharu yang ditanam di areal
kerjasama sebanyak 15.000 pohon ( 400 pohon/ha).

Sebelum penanaman, kegiatan pembangunan demplot uji coba


tanaman penghasil gaharu di KHDTK Carita diawali dengan
pendekatan yang lebih intensif kepada berbagai pihak yang
terkait pengembangan gaharu di areal tersebut, seperti
Perhutani, Pemda, dan masyarakat calon peserta. Pendekatan
intensif dimaksudkan untuk mempelajari prospek partisipasi
masyarakat dalam kegiatan dan pemeliharaan tanaman. Setelah
diperoleh gambaran prospek partisipasi masyarakat dalam
pembangunan demplot uji coba ini, kegiatan dilanjutkan dengan
penyusunan rancangan teknis kerjasama penelitian dan
penyusunan draft perjanjian kerjasama. Dengan pendekatan
yang lebih intensif ini diharapkan masyarakat akan lebih
memahami tujuan kerjasama penelitian serta dapat lebih aktif
berpartisipasi dalam budidaya tanaman plot uji coba.

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


242 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Beberapa prinsip utama yang disepakati antara pihak pertama
(Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam) dengan pihak kedua
(kelompok masyarakat peserta uji coba) dalam pola kemitraan di
areal KHDTK Carita adalah:

1. Pihak pertama menyediakan biaya bagi pihak kedua untuk


melakukan kegiatan budidaya penanaman pohon gaharu,
yang meliputi biaya upah dan bibit tanaman.
2. Pihak pertama memberikan pembinaan teknis budidaya
tanaman gaharu secara rutin kepada pihak kedua.
3. Pihak pertama menyediakan jamur pembentuk gaharu
untuk kegiatan inokulasi sebanyak 25% dari jumlah tanaman
gaharu pada masing-masing penggarap setelah tanaman
gaharu berumur 5 tahun.
4. Pihak pertama akan membantu mencarikan investor untuk
bekerjasama menyediakan produksi jamur pembentuk
gaharu untuk kegiatan inokulasi untuk 75% tanaman gaharu
lainnya.
5. Pihak pertama akan memberikan pelatihan budidaya gaharu
serta pemanenan gaharu (paket training gaharu) kepada
pihak kedua.
6. Pihak kedua berkewajiban memelihara dan menjaga
keamanan tanaman gaharu dan tanaman hutan lainnya.
7. Pihak kedua berkewajiban mengikuti aturan teknis dan
kaidah konservasi yang berlaku di dalam areal KHDTK Carita.
8. Pihak kedua berkewajiban melaporkan setiap kejadian,
seperti serangan hama/penyakit tanaman, kebakaran atau
bencana lain yang mengakibatkan kerusakan sumberdaya
hutan, baik pada tanaman gaharu maupun tanaman lainnya
di areal kerjasama.
9. Jika sudah menghasilkan, pihak pertama dan pihak kedua
memperoleh hasil tanaman gaharu yang ditanam dan
dipelihara di lokasi kerjasama dengan proporsi masing-
masing 35% untuk pihak pertama dan 60% untuk pihak

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 243
kedua. Selain pihak pertama dan pihak kedua, sebagian hasil
tanaman gaharu akan diberikan pada Desa Sindang Laut
sebesar 2,5% dan LMDH (kelompok) 2,5%.
10. Jika pada saat pemanenan tanaman gaharu ternyata
terdapat tanaman yang mati/hilang/tidak/belum
menghasilkan, maka resiko akan ditanggung bersama,
sehingga perhitungan bagi hasil pada saat panen ditentukan
dengan rumus sebagai berikut:
tan total tan mati x P
P awal
akhir tan total

Keterangan:
Pakhir = Proporsi bagi hasil tanaman gaharu yang diterima masing-
masing pihak jika ada tanaman yang mati/hilang/tidak/
belum menghasilkan
Pawal = Proporsi bagi hasil tanaman gaharu sesuai kesepakatan
yang tertu-ang dalam perjanjian kerjasama ini

Butir-butir kesepakatan tersebut tertuang dalam naskah


perjanjian kerjasama yang disusun berdasarkan hasil
kesepakatan/negosiasi antara pihak pertama dan pihak kedua.

Kesimpulan dan Saran


1. Gaharu sangat prospektif untuk dikembangkan, khususnya
bagi Indonesia yang memiliki potensi biologi, yaitu
tersedianya beragam spesies tumbuhan penghasil gaharu dan
masih luasnya lahan-lahan kawasan hutan yang potensial,
serta tersedianya teknologi inokulasi yang menunjang untuk
pembudidayaan gaharu.
2. Budidaya gaharu layak untuk dilaksanakan karena secara
finansial akan memberikan keuntungan bersih nilai kini (NPV)

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


244 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
sebesar Rp 147,74 juta/ha, IRR sebesar 48,53%, dan B/C =
3,32.
3. Kerjasama kemitraan pengembangan tanaman penghasil
gaharu dengan pola PHBM merupakan salah satu alternatif
solusi untuk menjaga kelestarian hutan, meningkatkan
produktivitas lahan dan meningkatkan pendapatan
masyarakat sekitar hutan.
4. Prinsip utama yang dipegang dalam pengembangan
kerjasama kemitraan dengan pola PHBM adalah prinsip
kelestarian dan kelayakan secara ekonomi dalam jangka
panjang sesuai jangka waktu kontrak, serta saling
menguntungkan berdasarkan nilai kontribusi yang diberikan
masing-masing pihak untuk mencapai tujuan sosial, ekonomi,
dan ekologi.
5. Skema kemitraan dengan pola PHBM memberikan
kesempatan kepada para pihak yang berminat
mengembangkan tanaman gaharu untuk bekerjasama sesuai
dengan input/sumberdaya yang dimiliki dan memperoleh
bagian hasil/sharing sesuai dengan kontribusi serta
kesepakatan parapihak yang terlibat.

Daftar Pustaka
Adijaya, D. 2009. Gaharu: Harta di Kebun. Trubus online. http:
//www.trubus-online.co.id/mod.php?mod=publisher
&op=viewarticle&cid=8&artid=290. Di-akses 16 Februari
2009.
Anonim. 2002. GAHARU: HHBK yang Menjadi Primadona. Info
Pusat Standardisasi dan Lingkungan Departemen
Kehutan-an. http://www.dephut.go.id/ Halaman/
STANDARDISASI_&_LINGUNGAN_KEHUTANAN/INFO_V0
2/VI_V02.htm. Diak-ses 20 Januari 2009.

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 245
Anonim. 2003. Review of Significant Trade Aquilaria malaccensis.
Convention on International Trade in Endangered
Species of Wild Fauna and Flora (CITES).
http://www.cites.org/eng /com/PC/14/E-PC14-09-02-02-
A2.pdf. Diakses 16 Februari 2009.
Anonim. 2005. Pelatihan Nasional: BUDIDAYA DAN PENGOLAH-
AN GAHARU. BIOTROP Training and Information Centre.
http://www.bticnet. com/gaharu. htm. Diakses 16
Februari 2009.
Anonim. 2008. Perkembangan Gaharu dan Prospeknya di Indo-
nesia. http:// forestry-senu57.blogspot.com/2008/01
/perkembangan-gaharu-dan-prospeknya-di.html. Diakses
16 Februari 2009.
Aswandi. 2009. BUDIDAYA GAHARU : Alternatif Pemberdayaan
Masyarakat Desa Hutan. http://bpk-aeknauli.org/
index.php?option=com_content&task=view&id=74&Ite
mid=1. Diakses, 12 Februari, 2009.
Blanchette, R. A. 2006. Sustainable Agarwood Production in
Aquilaria Trees. http:// forestpathology.cfans.umn.edu
/agarwood.htm. Access November, 3 2008.
Departemen Kehutanan. 2007. Statistik Kehutanan Indonesia
2006. Depatemen Kehutanan. Jakarta.
Duryatmo, S. 2009. Tersandung Wangi Gaharu. Trubus online.
http://www.trubus-online.co.id/mod.php?mod=
publisher&op=viewarticle&cid=1&artid=1618. Diakses 16
Februari 2009.
Gun, B., P. Steven., M. Sungadan., L. Sumari and P. Chatteron.
(2004). Eaglewood in Papua New Guinea. Tropical Rain
Forest Project. Working paper No. 51. Vietnam.
Hayat, Z. 2007. Mencari Solusi PHBM di Geumpang. http://www
.ffi.or.id/id/news/1/tahun/2007/bulan/11/tanggal/17/id
/60/. Diakses 4 Maret 2009.

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


246 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Indradi, Y. 2009. Perjalanan Panjang Pengelolaan Hutan Berbasis
Masyarakat di Indonesia. http://fwi.or.id. Di akses 4
Maret 2009.
Rizlani, C. dan Aswandi. 2009. Prospek Budidaya Gaharu Secara
Ringkas. http://laksmananursery.blogspot.com/2009/01
/prospek-budidaya-gaharu-secara ringkas.html. Diakses
13 Januari, 2009.
Sumarna, Y. 2007. Budidaya dan Rekayasa Produksi Gaharu. Te-
mu Pakar Pengembangan Gaharu. Direktorat Jenderal
RLPS. Jakarta.
Squidoo. 2008. Production and marketing of cultivated agar-
wood. http://www. squidoo.com/agarwood Copyright
2008, Squidoo, LLC and respective copyright owners.
Ac-cess November,3 2008.
Wiguna, I. 2006. Tinggi Permintaan Terganjal Pasokan. Trubus
online. http://www.trubus-online.co.id/mod.php?mod
=publisher&op=viewarticle& cid=8 &artid=290. Diakses
16 Februari 2009.

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 247
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,
248 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
15
P ERHITUNGAN BIAYA INOKULASI
GAHARU
Sri Suharti
Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi

Pendahuluan
Gaharu dihasilkan oleh pohon-pohon terinfeksi yang tumbuh di
daerah tropika dan memiliki marga Aquilaria, Gyrinops dan
Gonystilus yang termasuk dalam famili Thymelaeaceae. Marga
Aquilaria terdiri dari 15 spesies, tersebar di daerah tropis Asia
mulai dari India, Pakistan, Myanmar, Lao PDR, Thailand,
Kamboja, China Selatan, Malaysia, Philipina dan Indonesia. Enam
jenis diantaranya ditemukan di Indonesia, yaitu A. malaccensis,
A. microcarpa, A. hirta, A. beccariana, A. cumingiana dan A.
filaria yang tersebar hampir di seluruh kepulauan nusantara.
Marga Gonystilus memiliki 20 spesies, tersebar di Asia Tenggara
hingga Kepulauan Solomon dan Kepulauan Nicobar. Sembilan
spesies diantaranya terdapat di Indonesia. Marga Gyrinops
memiliki tujuh spesies, enam diantaranya tersebar di Indonesia
bagian Timur serta satu spesies di Srilanka (Anonim, 2002;
Aswandi, 2006).

Masyarakat awam seringkali mengaburkan istilah gaharu dengan


pohon penghasil gaharu. Menurut SNI 01-5009.1-1999 gaharu
didefinisikan sebagai sejenis kayu dengan berbagai bentuk dan
warna yang khas serta mengandung kadar damar wangi yang
berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil gaharu yang
tumbuh secara alami dan telah mati sebagai akibat dari proses

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 249
infeksi, baik secara alami atau buatan yang pada umumnya
terjadi pada pohon Aquilaria sp. Nilai ekonomis gaharu terletak
pada gubal gaharu yang muncul setelah pohon penghasil gaharu
yang terinfeksi dan mati (Persoon, 2007).

Indonesia merupakan produsen gaharu terbesar di dunia dan


yang dihasilkan paling tidak berasal dari 16 jenis tumbuhan
penghasil gubal gaharu. Pada tahun 1985, ekspor gaharu
Indonesia tercatat sekitar 1.487 ton. Tingginya harga jual gaharu
mendorong masyarakat untuk memburu gaharu, tidak hanya
dengan cara memungut dari pohon penghasil gaharu yang mati
alami melainkan juga dengan menebang pohon penghasil gaharu
yang masih hidup. Akibatnya, spesies-spesies pohon penghasil
gaharu menjadi langka. Oleh karena itu, pada tahun 1995 CITES
memasukkan A. malaccensis, sebagai pohon penghasil gaharu
terbaik, ke dalam daftar Appendix II dan sejak saat itu, ekspor
gaharu dibatasi oleh kuota, yaitu hanya 250 ton/tahun (Anonim,
2005; Blanchete, 2006).

Pada tahun 2000, Asosiasi Pengusaha Eksportir Gaharu Indonesia


(ASGARIN) mensurvei populasi pohon penghasil gaharu alam di
berbagai hutan. Hasilnya menunjukkan bahwa di Sumatera
tersisa 26%, Kalimantan 27%, Nusa Tenggara 5%, Sulawesi 4%,
Maluku 6%, dan Papua 37% (Adijaya, 2009). Apabila dilihat
populasi per ha, maka pohon penghasil gaharu diperkirakan
hanya terdapat sekitar 1,87 pohon per ha di Sumatera, 3,37
pohon per ha di Kalimantan dan 4,33 pohon per ha di Papua.
Namun, keberadaan pohon penghasil gaharu tersebut tidak
menjamin keberadaan resin. Para ilmuwan memperkirakan
hanya 10% dari pohon Aquilaria di dalam hutan yang
mengandung gaharu (Anonim, 2008).

Untuk mengantisipasi permintaan gaharu yang cenderung terus


meningkat, sekaligus mencegah agar populasi pohon penghasil
gaharu di alam tidak punah, maka berbagai upaya
pembudidayaan pohon penghasil gaharu mulai dikembangkan di

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


250 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
berbagai wilayah di Indonesia, seperti di Sumatera Utara, Riau,
Jambi, Jawa Barat, NTB, Kalimantan Selatan dan Kalimantan
Barat. Pembudidayaan tersebut semakin berkembang karena
ditunjang oleh hasil penelitian yang menunjukkan bahwa
budidaya pohon penghasil gaharu memberikan keuntungan yang
layak bagi pelakunya (Marliani, 2008; Tarmiji, 2009; The Angel,
2009; Suharti, 2009).

Beberapa faktor pendukung upaya pengembangan budidaya


pohon penghasil gaharu antara lain: ketersediaan lahan potensial
yang luas, kondisi agroklimat yang mendukung, teknik budidaya
yang relatif mudah dan telah dikuasai, teknik induksi pathogen
yang juga sudah tersedia, serta permintaan gaharu yang
cenderung terus meningkat dengan harga yang tinggi. Kunci
keberhasilan pengusahaan gaharu adalah keberhasilan teknik
induksi pathogen, kesesuaian pathogen yang diinduksikan dan
daya tahan pohon penghasil gaharu yang diinokulasi. Jika ketiga
aspek tersebut berhasil dipenuhi, maka mulai dari periode satu
tahun setelah induksi, pohon penghasil gaharu sudah dapat
dipanen dengan hasil yang cukup menguntungkan. Tulisan ini
bertujuan memberikaan gambaran kelayakan inokulasi pohon
penghasil gaharu pada berbagai kelas diameter batang dan umur
panen setelah inokulasi.

Metode Penelitian
A. Data dan Sumber Data

Tulisan ini merupakan hasil survai lapangan dan desk study dari
berbagai pustaka dan laporan hasil penelitian. Data dan
informasi yang dikumpulkan meliputi data umur dan diameter
tanaman yang siap diinokulasi, harga pohon penghasil gaharu
siap inokulasi, upah tenaga kerja, harga inokulan, bahan kimia,
harga penyusutan peralatan untuk inokulasi dan harga berbagai
kualitas gaharu. Data dan informasi serta literatur tersebut

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 251
dihimpun dari berbagai sumber, antara lain: Kementerian
Kehutanan, CITES, BPS dan ASGARIN.

B. Analisis Data

Data dan informasi yang berhasil dihimpun kemudian diolah dan


dianalisis menggunakan analisis finansial dengan kriteria
kelayakan Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR)
dan Benefit Cost Ratio (B/C ) yang dirumuskan sebagai berikut
(Grey, et.al.1987) :
n
Bt Ct
a. NPV ................................ (1)
t 0 (1 i) t

Dimana :
NPV = Net Present Value (Nilai Kini Bersih);
Bt = Benefit atau penerimaan pada tahun t;
Ct = Biaya pada tahun t;
i = Tingkat diskonto atau potongan (=bunga bank yang berlaku);
n = Umur ekonomis proyek (cakrawala waktu).

Suatu bisnis dinyatakan layak secara finansial bila nilai NPV > 0.

NPV1
b. IRR i1 (i2 i1) ......................... (2)
NPV1 NPV2

Dimana :
IRR = Internal Rate of Raturn (Tingkat keuntungan internal);
i1 = Tingkat diskonto untuk menghasilkan NPV1 mendekati nol;
NPV1 = Nilai NPV mendekati nol positif;
i2 = Tingkat diskonto untuk menghasilkan NVP2 negatif mendekati
nol;
NPV2 = Nilai NPV negatif mendekati nol.

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


252 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Suatu bisnis dinyatakan layak secara finansial bilai nilai IRR lebih
besar dari tingkat suku pinjaman di bank.
n
Bt
(1 i)
t 0
t
c. B/C n
............................ (3)
Ct

t 0 (1 i)
t

Dimana :
B/C = Benefit Cost Ratio ( Rasio penerimaan biaya);
Bt = Benefit atau penerimaan pada tahun t;
Ct = Biaya pada tahun t;
i = Tingkat diskonto;
n = Umur ekonomis proyek.

Kegiatan usaha dikatakan layak apabila B/C > 1.

C. Asumsi dan Batasan

Penelitian ini menggunakan beberapa asumsi, batasan dan


istilah, sebagai berikut :

a. Pohon penghasil gaharu yang digunakan untuk penelitian


dibeli dari petani sebanyak 300 pohon, masing-masing 100
pohon dengan diameter batang 15 - 25 cm, > 25 - 35 cm
dan > 35 cm - 40 cm.
b. Pohon penghasil gaharu tersebut dibeli dengan harga masing-
masing Rp 250.000,-/pohon untuk tanaman berdiameter 15
- 25 cm, Rp 300.000,-/pohon untuk tanaman berdiameter >
25 - 35 cm dan Rp 350.000,-/pohon untuk tanaman
berdiameter > 35 cm - 40 cm.
c. Tanaman yang diinokulasi diasumsikan hidup dan
menghasilkan sebanyak 90% dari populasi awal (90 pohon).
Pemanenan pohon penghasil gaharu dilakukan secara

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 253
berturut-turut sebanyak 20% dari populasi (18 pohon) yang
dimulai sejak setahun hingga lima tahun setelah inokulasi.
d. Produktivitas pohon penghasil gaharu diasumsikan sebagai
berikut (Tabel 15.1) :
- Untuk diamater 15 - 25 cm, produksi gaharu kualitas
super bervariasi antara 0,6-1,20 kg/pohon dan gaharu
kualitas rendah bervariasi antara 3-7 kg/pohon.
- Untuk diamater > 25 - 35 cm, produksi gaharu kualitas
super bervariasi antara 0,75-1,35 kg/pohon dan gaharu
kualitas rendah bervariasi antara 4-8 kg/pohon.
- Untuk diamater > 35 cm - 40 cm, produksi gaharu kualitas
super bervariasi antara 0,9-1,45 kg/pohon dan gaharu
kualitas rendah bervariasi antara 5-9 kg/pohon.
e. Untuk proses inokulasi 100 pohon penghasil gaharu,
diperlukan waktu 10 hari oleh beberapa tenaga kerja dengan
upah harian, sebagai berikut :
- Tenaga teknis ahli yang melaksanakan proses inokulasi
sebesar Rp 150.000,-/hari.
- Tenaga pembantu proses inokulasi sebesar Rp 100,000,-
/hari.
- Tenaga pengangkut peralatan dan bahan inokulasi sebesar
Rp 150.000,-/hari.
f. Harga gaharu pada berbagai umur panen untuk kualitas super
dan kualitas biasa adalah sebagaimana pada Tabel 15.2.
g. Analisis finansial menggunakan tingkat diskonto sebesar
12,5% per tahun.

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


254 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Tabel 15.1. Produktivitas pohon penghasil gaharu pada berbagai
diameter pohon dan umur tanaman

Diameter Diameter Diameter


Umur panen
15- 25 cm > 25- 35 cm > 35-40 cm
gaharu setelah
Produksi Produksi Produksi
inokulasi
(kg/pohon) (kg/pohon) (kg/pohon)
- Gaharu 1 th 0,60 3 0,75 4 0,90 5
- Gaharu 2 th 0,75 4 0,90 5 1,0 6
- Gaharu 3 th 0,90 5 1,05 6 1,15 7
- Gaharu 4 th 1,05 6 1,20 7 1,30 8
- Gaharu 5 th 1,20 7 1,35 8 1,45 9

Tabel 15.2. Harga gaharu pada berbagai umur panen

Umur Harga gaharu


panen Kualitas super Kualitas biasa Keterangan
setelah
inokulasi $ Rp $ Rp
- Gaharu 1 th 100 900.000,- 25 225.000,-
- Gaharu 2 th 250 2.250.000,- 25 225.000,-
$ 1 = Rp
- Gaharu 3 th 800 7.200.000,- 25 225.000,-
9.000,-
- Gaharu 4 th 1.500 12.000.000,- 25 225.000,-
- Gaharu 5 th 2.000 18.000.000,- 25 225.000,-

Hasil dan Pembahasan


A. Aspek Ekologi dan Penyebaran Gaharu di Indonesia

Di Indonesia gaharu memiliki peranan yang cukup penting


karena gaharu merupakan salah satu komoditi penghasil devisa
negara. Nilai ekonomis gaharu yang cukup tinggi menyebabkan
pohon penghasil gaharu menjadi subyek pemanenan yang cukup
tinggi (Pratiwi et al., 2010).

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 255
Sesuai dengan kondisi habitat alami, pohon penghasil gaharu
tumbuh baik pada dataran rendah hingga berbukit (< 750 m
dpl.). Jenis Aquilaria spp. tumbuh optimal pada jenis tanah
Podsolik Merah Kuning, tanah lempung berpasir dengan drainase
sedang sampai baik, iklim A-B, kelembaban 80%, suhu 22-280 C
dan curah hujan 2.000-4.000 mm/th. Pohon penghasil gaharu
tidak tumbuh dengan baik di tanah tergenang, rawa, ketebalan
solum tanah kurang 50 cm, pasir kwarsa serta tanah dengan pH <
4 (Rizlani dan Aswandi, 2009).

Sampai saat ini, pohon penghasil gaharu di Indonesia dihasilkan


dari pohon tropika yang terinfeksi jamur, seperti: Aquilaria spp.,
Gonystylus spp., Wikstroemia spp., Enkleia spp., Aetoxylon spp.,
Gyrinops spp. (Chakrabarty et al., 1994, Sidiyasa et al., 1986) dan
Excocaria agaloccha (Chakrabarty et al., 1994, Sidiyasa et al.,
1986, Sidiyasa dan Suharti, 1987, dan Sumarna, 1998 dalam
Sudarmalik et al., 2006). Jenis-jenis tersebut tersebar di berbagai
pulau di Indonesia (Tabel 15.3).

Pohon penghasil gaharu tumbuh pada berbagai ekosistem dan


tipe hutan. Hasil penelitian Pratiwi et al., (2010) menunjukkan
bahwa performance pohon penghasil gaharu, khususnya
Aquilaria crassna dan A.microcarpa, yang tumbuh di Hutan
Penelitian (HP) Dramaga dan Kampung Tugu (Sukabumi) memiliki
pertumbuhan yang lebih bagus dibandingkan di Kawasan Hutan
Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Carita. Berdasarkan aspek
lingkungan, ketiga lokasi memiliki lingkungan yang hampir sama,
yaitu: curah hujan tipe A, suhu berkisar antara 20-300C,
kelembaban udara 77-85% dan topografi datar sampai
bergelombang. Perbedaan performance pohon penghasil gaharu
di ketiga lokasi agaknya terkait dengan tingkat kesuburan
tanahnya. Tanah di daerah KHDTK Carita telah mengalami
pelapukan lebih lanjut dibandingkan tanah di HP Dramaga dan
Kampung Tugu (Sukabumi), sehingga kesuburan tanah di KHDTK
Carita lebih rendah dibandingkan tanah di daerah Hutan
Penelitian Dramaga dan Kampung Tugu (Sukabumi).

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


256 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Tabel 15.3. Jenis-jenis pohon penghasil gaharu di Indonesia

No. Nama botanis Family Penyebaran


1. Aquilaria malaccensis Thymeleaceae Sumatera, Kalimantan
2. A. hirta Thymeleaceae Sumatera, Kalimantan
3. A. filaria Thymeleaceae Nusa Tenggara, Maluku, Papua
4. A. microcarpa Thymeleaceae Sumatera, Kalimantan
5. A. agalloccha Thymeleaceae Sumatera, Kalimantan, Jawa
6. A. beccariana Thymeleaceae Sumatera, Kalimantan
7. A.seccunda Thymeleaceae Maluku, Papua
8. A.moszkowskii Thymeleaceae Sumatera
9. A. tomentosa Thymeleaceae Papua
10 Aetoxylon sympethalum Thymeleaceae Kalimantan, Papua, Maluku
11. Enkleia malacensis Thymeleaceae Papua, Maluku
12. Wikstroemia poliantha Thymeleaceae Nusa Tenggara, Papua
13. W. tenuriamis Thymeleaceae Sumatera, Kalimantan, Bangka
14. W. androsaemofilia Thymeleaceae Kalimantan, Nusa Tenggara
Timur, Papua, Sulawesi
15. Gonystylus bancanus Thymeleaceae Sumatera, Kalimantan, Bangka
16. G. macrophyllus Thymeleaceae Kalimantan, Sumatera
17. G. cumingiana Thymeleaceae Nusa Tenggara, Papua
18. Gyrinops rosbergii Thymeleaceae Nusa Tenggara
19. G. versteegii Thymeleaceae Nusa Tenggara
20. G. moluccana Thymeleaceae Maluku, Halmahera
21. G. decipiens Thymeleaceae Sulawesi Tengah
22. G. ledermanii Thymeleaceae Papua
23. G. salicifolia Thymeleaceae Papua
24. G. audate Thymeleaceae Papua
25. G. podocarpus Thymeleaceae Papua
26. Dalbergia farviflora Leguminosae Sumatera, Kalimantan
27. Excocaria agaloccha Euphorbiaceae Jawa, Kalimantan, Sumatera
Sumber: Sidiyasa dan Suharti (1987), Sumarna (1998) dalam Sudarmalik
(2006).

Sementara itu, hasil pengamatan Sumarna (2008) di daerah


Jambi (Kecamatan Tabir Angin, Kabupaten Merangin),
menunjukkan bahwa ekologi tempat tumbuh sesuai penyebaran
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,
Teknologi Badan Litbang Kehutanan 257
pohon induk Aquilaria malaccensis dan A.microcarpa,
berdasarkan ketinggian di atas permukaan laut, diperoleh nilai
rata-rata kondisi suhu sampai ketinggian 100 m dpl. adalah 270 C,
kelembaban nisbi 78%, dan intensitas cahaya 75%. Pada
ketinggian 200 m dpl., diperoleh nilai suhu rata-rata 240 C,
kelembaban sekitar 85%, dan intensitas cahaya sekitar 67%.
Pada ketinggian di atas 200 m, suhu rata-rata 200 C, kelembaban
udara sekitar 81% dan intensitas cahaya sekitar 56%.

Berdasarkan kedua hasil penelitian tersebut dapat dikatakan


bahwa jenis Aquilaria spp. dapat tumbuh baik pada suhu antara
20-330 C, kelembaban berkisar antara 77-85% dan intensitas
cahaya sekitar 56-75%. Namun demikian, faktor lingkungan yang
optimal yang mempengaruhi produksi gaharu masih perlu
diteliti.

B. Rekayasa Pembentukan Gaharu Melalui Proses Inokulasi

Inokulasi adalah salah satu hal yang sangat penting dalam usaha
budidaya pohon penghasil gaharu. Resin gaharu tidak mudah
terjadi secara alami, sehingga perlu campur tangan manusia,
seperti dengan pembuatan perlukaan dan memberikan bahan
pemicu produksi resin gaharu, seperti cendawan dan bahan
lainnya.

Setelah pohon penghasil gaharu berumur 5 tahun dengan


diameter 15 cm, rekayasa produksi untuk menghasilkan gaharu
sudah dapat dilakukan dengan cara teknik induksi/inokulasi
penyakit pembentuk gaharu yang sesuai dengan jenis pohon.
Hasil rekayasa tersebut dapat dipanen satu atau dua tahun
kemudian. Pemanenan dapat dilakukan pada kondisi pohon
penghasil gaharu belum mati, tetapi idealnya dipanen setelah
pohon penghasil gaharu mati dengan variasi mutu produksi akan
terdiri dari kelas gubal, kemedangan dan abu/bubuk (Sumarna,
2007).

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


258 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Cendawan yang biasa diinokulasikan antara lain dari jenis
Fusarium sp., Phialopora parasitica, Torula sp., Aspergillus sp.,
Penicillium sp., Cladosporium sp., Epicoccum granulatum,
Clymndrocladium sp., Sphaeropsis sp., Botryodiplodia
theobromae, Trichoderma sp., Phomopsis sp., dan
Chunninghamella echinulata (Anonim, 2009).

Pada dasarnya, cendawan tersebut membuat perlukaan yang


tetap terbuka, sehingga memicu produksi resin dari jaringan
kayu. Metoda inokulasi atau penyuntikan sangat bervariasi dari
besarnya lubang yang dibuat. Lubang dengan diameter 5 mm
dapat dilakukan dengan kedalaman 5-10 cm dengan jarak yang
lebih rapat seperti 5 cm, sehingga satu pohon dapat dibuat
ribuan lubang. Akan tetapi, ukuran lubang yang cukup besar
juga akan harus disesuaikan dengan jarak lubang agar pohon
dapat bertahan dari terpaan angin, sehingga tidak roboh.
Mekanisme proses fisiologis terbentuknya gaharu dimulai dari
masuknya mikroba penyakit ke dalam jaringan kayu. Untuk
mempertahankan hidup dan perkembangannya, mikroorganisme
itu memanfaatkan cairan sel jaringan pembuluh batang sebagai
sumber energi. Secara perlahan, efek hilangnya cairan sel akan
menurunkan kinerja jaringan pembuluh dalam mengalirkan hara
ke daun. Sel-sel yang isinya sudah dikonsumsi mikroba itu akan
membentuk suatu kumpulan sel mati pada jaringan pembuluh.
Akibatnya, fungsi daun dalam memproses hara menjadi energi
pun terhenti, sehingga daun menguning dan tanaman mati.
Secara fisik, cabang dan ranting akan mengering, kulit batang
pecah dan mudah dikelupas. Kondisi itu merupakan ciri biologis
pohon yang menghasilkan gaharu. Singkatnya, gaharu terbentuk
sebagai hasil respon pohon terhadap infeksi pathogen, luka atau
stres.

Untuk menginfeksi pohon penghasil gaharu jenis Aquilaria spp.


agar diperoleh gubal gaharu atau kemedangan (satu tingkat
kualitasnya di bawah gubal), setiap pohon yang berusia lima
tahun disuntik fusarium. Suntikan dinilai berhasil bila kemudian

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 259
muncul guratan kecoklatan yang diikuti layunya daun, sebelum
akhirnya tumbang. Kualitas super berasal dari pohon penghasil
gaharu yang telah tumbang puluhan tahun dan tercampur tanah.
Di alam, gubal gaharu nomor satu jenis double super semakin
sulit ditemukan menyusul eksploitasi pohon penghasil gaharu
yang terus dilakukan. Keberadaannya diyakini ada di bagian
tengah hutan yang membutuhkan waktu berminggu-minggu
untuk memperolehnya. Pada tingkat internasional, harga gubal
gaharu double super yang ditandai warna kehitaman dapat
mencapai Rp 25 juta per kilogram. Meskipun mahal, permintaan
internasional terhadap gubal atau kemedangan gaharu terus
meningkat, diantaranya dari Arab Saudi, Taiwan, Singapura,
Korea, Hongkong dan Jepang (Anonim, 2008). Tingkat
keberhasilan inokulasi pada satu pohon penghasil gaharu sangat
bervariasi. Perhitungan yang sangat pesimis hasil budidaya pada
tahun ke 7 adalah 1 kg gubal, 10 kg kemedangan dan 15 kg abu.

Inokulasi cendawan merupakan satu tahapan yang sangat


penting untuk merangsang timbulnya gaharu pada pohon
penghasil gaharu, namun harus dilakukan dengan hati-hati.
Apabila tidak, upaya tersebut cukup berisiko karena dapat
menyebabkan kematian pohon penghasil gaharu dan
menyebabkan kerugian yang sangat besar. Hal ini bisa
disebabkan cendawan yang diinokulasikan terlampau ganas,
sehingga menyebabkan kematian pohon penghasil gaharu.
Kegagalan inokulasi bisa juga disebabkan oleh gagalnya
cendawan bereaksi, karena pohon penghasil gaharu memberikan
respon yang berbeda-beda. Faktor kesesuaian atau
kecocokan antara mikroba yang diinokulasikan dengan pohon
penghasil gaharu yang diinokulasi merupakan syarat mutlak yang
harus dipenuhi. Oleh karena itu, salah satu faktor penting yang
menentukan keberhasilan timbulnya gaharu adalah menentukan
mikroba yang paling pas dan sesuai yang berbeda untuk setiap
jenis pohon penghasil gaharu, serta lingkungan tempat tumbuh
(Duryatmo, 2009).

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


260 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
C. Peluang Pasar dan Pengusahaan Gaharu

Permintaan terhadap gaharu terus meningkat, jauh melebihi


pasokan yang ada. Hal ini terjadi karena pemanfaatan gaharu
semakin beragam, selaras dengan kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi industri. Gaharu tidak hanya digunakan sebagai
bahan wangi-wangian (industri parfum), tetapi juga digunakan
sebagai bahan baku obat-obatan, kosmetika, dupa dan pengawet
berbagai jenis aksesoris.

Perkembangan teknologi kedokteran telah membuktikan secara


klinis bahwa gaharu dapat dimanfaatkan sebagai obat, seperti
anti asmatik, anti mikroba, stimulan kerja syaraf dan
pencernaan. Di Cina kuno, gaharu digunakan sebagai obat sakit
perut, perangsang nafsu birahi, penghilang rasa sakit, kanker,
diare, tersedak, ginjal, tumor paru-paru dan lain-lain. Di Eropa,
gaharu diperuntukkan sebagai obat kanker. Di India, gaharu juga
dipakai sebagai obat tumor usus. Di samping itu, beberapa
negara seperti Singapura, Cina, Korea, Jepang dan Amerika
Serikat sudah mengembangkan gaharu sebagai obat-obatan,
seperti penghilang stress, gangguan ginjal, sakit perut, asma,
hepatitis, sirosis, pembengkakan liver dan limfa. Selain itu,
beberapa agama di dunia mensyaratkan wangi gaharu yang
dibakar sebagai sarana peribadatan (Anonim, 2010). Gambaran
hal tersebut disajikan sebagai data hasil kajian tentang
perdagangan gaharu di Indonesia yang diterbitkan CITES pada
tahun 2003 (Tabel 15.4).

Pada Tabel 15.4 terlihat bahwa sejak tahun 1995 hingga 2002
terjadi penurunan kemampuan ekspor gaharu Indonesia secara
signifikan (hampir 40%). Penurunan pasokan gaharu dari
Indonesia sangat berpengaruh terhadap perkembangan harga
gaharu, baik di pasar dunia maupun di tingkat pengumpul. Pada
tahun 1980, harga gaharu di tingkat pengumpul berkisar antara
Rp 30.000-50.000,-/kg untuk kualitas rendah dan Rp 80.000,-/kg
untuk kualitas super. Pada awalnya, kenaikan harga gaharu

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 261
relatif lambat, yaitu hanya naik menjadi Rp 100.000,-/kg pada
tahun 1993. Kenaikan pesat terjadi pada saat krisis ekonomi
melanda Indonesia tahun 1997, dimana harga gaharu mencapai
Rp 3-5 juta/kg. Kenaikan harga gaharu terus berlanjut hingga
mencapai Rp 10 juta/kg pada tahun 2000 dan meningkat lagi
hingga mencapai Rp 15 juta/kg pada tahun 2009 (Adijaya, 2009;
Wiguna, 2006).

Kondisi tersebut menggambarkan bahwa gaharu sangat


prospektif untuk dikembangkan, khususnya bagi Indonesia yang
memiliki potensi biologis, yaitu tersedianya beragam spesies
pohon penghasil gaharu dan masih luasnya lahan-lahan kawasan
hutan yang potensial, serta tersedianya teknologi inokulasi yang
menunjang pembudidayaan pohon penghasil gaharu.

Tabel 15.4. Hasil pemanenan dan ekspor gaharu jenis Aquilaria spp.
dari Indonesia tahun 1995 - 2003

Total
Kuota Net
Kuota Aktual ekspor ekspor
hasil ekspor
Tahun hasil berdasar CITES gaharu
panen laporan
aktual*) Indonesia*) (semua
resmi*) CITES **)
spesies)*)
1995 n/a n/a n/a)) 323,577 n/a
1996 300,000 160,000 299,523 (termasuk A. 293,593 299,593
filarial dan jenis lain
1997 300,000 120,000 287,002 (termasuk 305,483 287,002
A.filarial 180,000 kg)
1998 150,000 150,000 148,238 147,212 n/a )
1999 300,000 180,000 81,079 76,401 313,649
2000 225,000 225,000 81,377 81,377 245,150
2001 75,000 70,000 74,826 74,826 219,772
2002 75,000 68,000 70,546 n/a 175,245
2003 50,000 50,000 n/a n/a n/a
*) CITES Management Authority of Indonesia
**) CITES Annual Report Data Compiled by UNEP-WCMC
) the reason for the unavailability of data for 1995 1nd 1998 is not
known

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


262 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Upaya pembudidayaan pohon penghasil gaharu sudah mulai
dirintis sejak tahun 1994/1995 oleh sebuah perusahaan
pengekspor gaharu, PT. Budidaya Perkasa di Riau dengan
menanam A. malaccensis seluas lebih dari 10 hektar. Selain itu,
Dinas Kehutanan Riau juga menanam jenis yang sama dengan
luas 10 hektar di Taman Hutan Raya Syarif Hasyim. Selanjutnya,
pada tahun 2001-2002 beberapa individu atau kelompok tani
juga mulai tertarik untuk membudidayakan jenis pohon
penghasil gaharu. Sebagai contoh, usaha yang dilakukan oleh
para petani di Desa Pulau Aro, Kecamatan Tabir Ulu, Kabupaten
Merangin, Jambi, yang menanam pohon penghasil gaharu dari
jenis A. malaccensis dan A. microcarpa. Di desa tersebut, sampai
akhir tahun 2002 terdapat sekitar 116 petani yang tergabung
dalam Kelompok Tani Penghijauan Indah Jaya yang telah
mengembangkan lebih dari seratus ribu bibit pohon penghasil
gaharu (Anonim, 2008). Selain itu, BP DAS Batanghari
bekerjasama dengan Badan Litbang Kehutanan pada 2004/2005
membuat demplot budidaya pohon penghasil gaharu di antara
tegakan tanaman karet rakyat seluas 50 ha (Sumarna, 2007).

D. Biaya Investasi Inokulasi dan Pengelolaan

Untuk melakukan kegiatan penelitian analisis finansial kelayakan


inokulasi pohon penghasil gaharu ini diperlukan sejumlah biaya
yang meliputi biaya investasi dan biaya pengelolaan yang relatif
besar. Secara terperinci, biaya-biaya tersebut dapat dilihat pada
Tabel 15.5.

Pada Tabel 15.5 terlihat bahwa biaya investasi, pengelolaan dan


panen untuk 100 pohon penghasil gaharu relatif besar dengan
penjelasan, sebagai berikut:

1. Biaya investasi meliputi biaya pembelian pohon penghasil


gaharu, bahan inokulan, bahan kimia, penyusutan peralatan
yang digunakan, bahan bakar dan tenaga kerja pelaksanaan
inokulasi.

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 263
a. Pembelian pohon penghasil gaharu dengan harga Rp
250.000,-; Rp 300.000,- dan Rp 350.000,- masing-masing
berdiameter 15- 25 cm; > 25- 35 cm dan > 35 cm -
40 cm.
b. Biaya pembelian bahan inokulan sebesar Rp 150.000,-;
Rp 300.000,- dan Rp 400.000,-. untuk gaharu dengan
15- 25 cm; > 25- 35 cm dan > 35 cm - 40 cm.
c. Pembelian bahan kimia campuran lainnya sebesar Rp
5.000.000,-, Rp 10.000.000,- dan Rp 15.000,- masing-
masing untuk gaharu dengan 15- 25 cm; > 25-
35 cm dan > 35 cm - 40 cm.
d. Biaya peralatan dengan nilai penyusutan sebesar Rp
1.010.000,- sama untuk semua ukuran diameter pohon
gaharu yang akan diinokulasi.
e. Kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) selama proses
inokulasi adalah sebesar Rp 450.000,- sama untuk semua
ukuran diameter pohon gaharu yang akan diinokulasi.
f. Kebutuhan tenaga kerja pelaksana proses inokulasi
(tenaga ahli dan tenaga pembantu) sebesar Rp
4.000.000,- sama untuk semua ukuran diameter pohon
yang diinokulasi.

2. Besarnya biaya pengelolaan pohon penghasil gaharu setelah


proses inokulasi, meliputi biaya penjagaan pohon penghasil
gaharu dan biaya panen, sebagai berikut:
a. Biaya penjagaan pohon penghasil gaharu mulai saat
inokulasi dilakukan sampai akhir masa panen tahun ke-5
sebesar Rp 36 juta, sama untuk semua ukuran diameter
pohon penghasil gaharu yang diinokulasi.
b. Biaya panen sebesar Rp 153,9 juta, Rp 190,35 juta dan
220,32 juta masing-masing untuk pohon penghasil
gaharu berdiameter 15- 25 cm; > 25- 35 cm dan > 35
cm - 40 cm.

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


264 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Tabel 15.5. Biaya investasi, pengelolaan dan panen gaharu (Rp)

No. Biaya D = 15 - 25 D = > 25 - 35 D = > 35 - 40


1 Pembelian pohon 25. 000.000,- 30. 000.000,- 35. 000.000,-
penghasil gaharu
2 Bahan inokulan 15. 000.000,- 30. 000.000,- 40. 000.000,-
3 Bahan kimia lainnya 5. 000.000,- 10. 000.000,- 15. 000.000,-
4 Peralatan 1. 010.000,- 1. 010.000,- 1. 010.000,-
5 BBM 450.000,- 450.000,- 450.000,-
6 - Tenaga kerja Ahli 1. 500.000,- 1. 500.000,- 1. 500.000,-
- Tenaga kerja inokulasi 1. 000.000,- 1. 000.000,- 1. 000.000,-
- Tenaga kerja kasar 1. 500.000,- 1. 500.000,- 1. 500.000,-
7 Pengiriman inokulan 4. 650.000,- 9. 300.000,- 13. 950.000,-
Jlh inokulasi (2-7) 30. 110.000,- 54. 760.000,- 74. 410.000,-
8 Biaya penjagaan 36. 000.000,- 36. 000.000,- 36. 000.000,-
9 Biaya panen 153. 900.000,- 190. 350.000,- 220. 320.000,-
Sumber : Analisis data primer.

E. Kelayakan Usaha

Berdasarkan asumsi dan batasan tersebut, maka untuk inokulasi


100 pohon penghasil gaharu berdiameter 15-20 cm diperlukan
biaya investasi sebesar Rp 55,11 juta, yang terdiri dari biaya
pembelian pohon penghasil gaharu Rp 25 juta dan biaya
inokulasi pohon penghasil gaharu Rp 30,11 juta. Selain itu, biaya
yang diperlukan untuk pemeliharaan/penjagaan pohon penghasil
gaharu selama 6 tahun sebesar Rp 36 juta dan biaya panen
sebesar Rp 153,9 juta. Biaya investasi, biaya pemeliharaan dan
biaya panen tersebut menghasilkan pendapatan bersih kini pada
tingkat diskonto 12,5% (NPV df=12,5%) sebesar Rp 329,4 juta,
IRR= 80,45 dan B/C= 2,97 (Lampiran 15.1).

Lebih lanjut, kegiatan inokulasi terhadap pohon penghasil gaharu


berdiameter 25-30 cm memerlukan biaya investasi sebesar Rp
84,76 juta, yang terdiri dari biaya pembelian pohon penghasil
gaharu Rp 30 juta dan biaya inokulasi pohon penghasil gaharu Rp
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,
Teknologi Badan Litbang Kehutanan 265
54,76 juta. Selain itu, biaya yang diperlukan unuk
pemeliharaan/penjagaan pohon penghasil gaharu selama 6
tahun sebesar Rp 36 juta dan biaya panen sebesar Rp 190,35
juta. Biaya investasi, biaya pemeliharaan dan biaya panen
tersebut menghasilkan pendapatan bersih kini pada tingkat
diskonto 12,5% (NPV df=12,5%) sebesar Rp 376,65 juta, IRR=
72,66 dan B/C= 2,75 (Lampiran 15.2).

Sementara itu, kegiatan inokulasi terhadap pohon penghasil


gaharu berdiameter 40 cm memerlukan biaya investasi sebesar
Rp 109,41 juta, yang terdiri dari biaya pembelian pohon
penghasil gaharu Rp 35 juta dan biaya inokulasi Rp 74,41 juta.
Selain itu, biaya yang diperlukan untuk pemeliharaan/penjagaan
pohon penghasil gaharu selama 6 tahun sebesar Rp 36 juta dan
biaya panen sebesar Rp 220,32 juta. Biaya investasi, biaya
pemeliharaan dan biaya panen tersebut menghasilkan
pendapatan bersih kini pada tingkat diskonto 12,5% (NPV
df=12,5%) sebesar Rp 393,56 juta, IRR= 66,02 dan B/C= 2,53
(Lampiran 15.3).

Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa inokulasi pohon


penghasil gaharu membutuhkan biaya yang cukup besar, tetapi
keuntungan yang diperoleh juga sangat besar dan sangat layak
untuk dilaksanakan. Tingkat kelayakan usaha tersebut akan lebih
tinggi lagi jika pelaksanaan panen dilakukan seluruhnya setelah 5
tahun inokulasi (Tabel 15.6).

Tabel 15.6. Hasil analisis finansial inokulasi 100 pohon penghasil


gaharu yang dipanen setelah 5 tahun inokulasi

No. Uraian D=15-20 Cm D=25-30 Cm D=40 Cm


1. NPV (DF 12,5%) 859.636.865 934.500.351 987.837.607
(Rp)
2. IRR (%) 94,93% 84,71% 78,94%
3. B/C 6,0806 5,1683 4,7884
Sumber : Analisis data primer

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


266 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Pada Tabel 15.6 tampak bahwa penundaan panen hingga umur
inokulasi 5 tahun akan menghasilkan pendapatan bersih kini
(NPV), IRR dan B/C yang lebih tinggi dibandingkan dengan hasil
analisis sebelumnya (Lampiran 15.1, Lampiran 15.2 dan Lampiran
15.3). Penundaan panen sampai 5 tahun setelah inokulasi
memiliki keuntungan karena akan menghasilkan gaharu
berkualitas tinggi lebih banyak dan relatif lebih aman dari
pencurian, karena belum/tidak diketahui bahwa pohon penghasil
gaharu sudah bisa dipanen. Namun demikian, waktu tunggu yang
cukup lama kurang disukai bagi masyarakat yang telah
menanamkan modalnya. Masyarakat ingin cepat menikmati
hasilnya walaupun keuntungan totalnya relatif lebih kecil.

Kesimpulan dan Saran


Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan
dan saran, sebagai berikut :

1. Gaharu merupakan komoditas ekspor utama hasil hutan


bukan kayu. Prospek pengembangan budidaya dan rekayasa
produksi gaharu melalui teknik inokulasi sangat baik.
2. Beberapa faktor pendukung keberhasilan budidaya dan
rekayasa produksi gaharu, antara lain ketersediaan lahan
potensial yang luas bagi pengembangan pohon penghasil
gaharu, kondisi agroklimat yang mendukung, teknik
budidaya yang relatif mudah dan telah dikuasai, teknik
inokulasi pathogen sudah tersedia, serta permintaan akan
produk gaharu yang cenderung terus meningkat dengan
harga yang tinggi.
3. Faktor yang menentukan keberhasilan pengusahaan gaharu
adalah teknologi inokulasi, kesesuaian antara pathogen
dengan tanaman yang diinokulasi dan daya tahan tanaman
yang diinokulasi

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 267
4. Pengembangan usaha inokulasi pohon penghasil gaharu
pada beberapa kelas diameter batang pohon ( 15- 25 cm,
> 25- 35 cm dan > 35 cm - 40 cm) dan umur inokulasi
memberikan nilai NPV positif, IRR jauh di atas tingkat bunga
pasar dan nilai B/C ratio > 1, sehingga layak dilaksanakan.
5. Untuk mempertahankan Indonesia sebagai penghasil utama
gaharu, meningkatkan ekspor hasil hutan bukan kayu dan
meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar hutan, maka
upaya pengembangan pohon penghasil gaharu serta
rekayasa produksi gaharu melalui teknik inokulasi perlu
dikembangkan secara luas.
6. Upaya pengembangan pohon penghasil gaharu dan rekayasa
produksi gaharu melalui teknik inokulasi bersifat padat
modal, sehingga perlu dikembangkan melalui skema
kemitraan.

Daftar Pustaka
Adijaya, 2009. Gaharu : Harta di Kebun. http://www. trubus-
online.co.id/mod.php?mod=publisher&p=allmedia&artid
=1625 Diakses 13 Februari 2009.
Anonim, 2008. Gaharu (Agarwood) http://bisnisfarmasi.
wordpress.com/2008/03/03/ industri aromatic Diakses
16 Februri 2009.
Anonim, 2009. Production and Marketing of Cultivated
Agarwood. Factual information about cultivated
agarwood. http://www.traffic.org/news/press-releases/
wood.htm Diakses 9 Februari 2009.
Anonim, 2010. Manfaat Super Gaharu. http://supergaharu.
wordpress.com/gaharu-sekilas/kegunaan-gaharu/
Diakses 14 Februari 2011.

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


268 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Blanchette, R. A, 2006. Sustainable Agarwood Production in
Aquilaria Trees. http:// forestpathology.cfans.umn.edu/
agarwood.htm. Accessed November, 3 2008.
Chakrabarty,K., A.Kumar., and V.Menon. 1994. Trade in
Garwood. WWF-Traffic Trade.
Duryatmo, S. 2009. Tersandung Wangi Gaharu. Trubus Online.
http://www.trubus-online.co.id/members/ma/mod.php?
mod=publisher&op=viewarticle&cid=1&artid=1618
Diakses 16 Februari 2009.
Gray, C., P. Simanjuntak, L.K., Sabur dan P.F.L. Maspaitella, 1987.
Pengantar Evaluasi Proyek. Gramedia, Jakarta. 272p.
Marliani, L 2008 Suntikan Inukolan-Sumber Majalah Trubus
Indonesia http://gaharuman.blogspot.com/2008/09/
suntikan-inokulan-sumber-majalah-trubus.html Diakses 9
Februari 2009.
Marliani, L. 2008. Wangian Dari Kebun. http://gaharuman.
blogspot.com/2008_09_01_archive.html Diakses 5
November 2008.
Rizlani, C dan Aswandi.2009. Prospek Budidaya Gaharu Secara
Ringkas. http://laksmananursery.blogspot.com/2009/01/
prospek-budidaya-gaharu-secara-ringkas.html. Diakses
18 Februari 2009.
Persoon, G. 2007. Agarwood : The Life of a Wounded Tree. IIAS
Newsletter # 45 Autumn 2007.
Pratiwi., E.Santoso., dan M.Turjaman. 2010. Karakteristik Lahan
Habitat Pohon Penghasil Gaharu di Beberapa Hutan
Tanaman di Jawa Barat. Info Hutan Vol. VII, No.2 Th
2010: 129-139.
Sidiyasa., K., S. Sutomo., dan R.S.A. Prawira. 1986. Eksplorasi dan
Studi Permudaan Jenis-jenis Penghasil Gaharu di Wilayah

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 269
Hutan Kintap, Kalimantan Selatan. Buletin penelitian
Hutan 474 : 59-66.
Sumarna, Y, 2007. Budidaya dan Rekayasa Produksi Gaharu.
Temu Pakar Pengembangan Gaharu. Direktorat Jenderal
RLPS, Jakarta.
Sumarna, Y. 2008. Beberapa Aspek Ekologi, Populasi Pohon dan
Permudaan Alam Tumbuhan Penghasil Gaharu Kelompok
Karas (Aquilaria spp.) di Wilayah Provinsi Jambi. Jurnal
Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. Vol.V, No.1, 2008:
93-99.
Sudarmalik., Y.Rochmayanto., dan Purnomo. 2006. Peranan
Beberapa Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) di Riau dan
Sumatera Barat. Prosiding Seminar Hasil Litbang Hasil
Hutan 2006 : 199-219. Pusat Litbang Hasil Hutan. Bogor.
Suharti, S, 2009. Prospek Pengusahaan Gaharu Melalui Pola
Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM). Dalam
Prosiding Workshop : Pengembangan Teknologi Produksi
Gaharu Berbasis Pemberdayaan Masyarakat Sekitar
Hutan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan
Konservasi Alam, Bogor Bekerjasama dengan ITTO PD
425/06 Rev. I (1)
Tarmiji, M. 2009. Perhitungan Kelayakan Usaha Gaharu.
http://wahanagaharu.blogspot.com/2009/08/perhitunga
n-kelayakan-usaha-gaharu.html Diakses 14 November
2009.
The Angel, 2009. Siapkan Masa Depan, Ayo Tanam Gaharu
http://theangel.wordpress.com /2009/07/25/siapkan-
masa-depan-ayo-tanam-gaharu/ Diakses 28 Maret 2009.
Wiguna, I. 2006. Tinggi Permintaan Terganjal Pasokan. Trubus
online. http://www.trubusonline.co.id/mod.php?
mod=publisher&op=viewarticle&cid=8&artid=290
Diakses 16 Februari 2009.

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


270 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,
Teknologi Badan Litbang Kehutanan 271
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,
272 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,
Teknologi Badan Litbang Kehutanan 273
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,
274 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
16
P ENGEMBANGAN GAHARU DI
BENGKULU
Mucharromah
Fakultas Pertanian Jurusan Perlindungan Tanaman
Universitas Bengkulu

Pendahuluan
Gaharu merupakan produk kehutanan yang memiliki nilai
ekonomi sangat tinggi dibandingkan produk kehutanan lainnya,
sehingga sangat potensial untuk dikembangkan. Pengembangan
gaharu ini perlu dilakukan, khususnya untuk menjaga
kesinambungan produksi, sekaligus untuk melindungi ragam
pohon penghasil gaharu yang ada di Indonesia. Dalam
pengembangan gaharu, masyarakat di sekitar hutan merupakan
sasaran ideal yang dapat melipat-gandakan peran dan fungsi
program tersebut. Dari aspek keberadaan material bibitnya,
lokasi sekitar hutan memiliki jumlah tegakan gaharu alam
terbanyak. Hal ini mengingat buah pohon ini bersifat rekalsitran,
sehingga tidak menyebar jauh, kecuali dengan campur tangan
manusia. Dari aspek kesiapan masyarakat, pada umumnya
masyarakat yang tinggal di sekitar hutan sudah mengenal
gaharu, bahkan, sebagian pernah menjadi pengumpul, sehingga
pemahaman dan keterampilannya untuk mendukung
pengembangan cluster industri gaharu telah sangat memadai.

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 275
Dari aspek keamanan lingkungan dan keragaman hayati,
pengembangan gaharu di sekitar hutan juga akan membantu
pengamanan keragaman hayati dan kelestarian hutan. Hal ini
mengingat masyarakat sudah dapat memperoleh penghasilan
dari usaha pengembangan gaharu yang sangat prospektif secara
ekonomi. Selain itu, pohon penghasil gaharu memiliki morfologi
yang sangat mendukung perannya sebagai penjaga lingkungan,
yaitu meningkatkan kapasitas absorbsi dan retensi air tanah,
menguatkan tanah, sehingga tidak mudah longsor serta
menyerap CO2 dan menghasilkan O2 yang sangat penting dalam
mendukung kehidupan.

Dengan demikian, pengembangan gaharu di wilayah sekitar


hutan akan memperkuat fungsi hutan tersebut, selain
pemberdayaan dan pemakmuran masyarakat di sekitar wilayah
hutan. Dengan nilai ekonomi gaharu yang sangat tinggi dan
permintaan pasar dunia yang terus meningkat, maka
pengembangan gaharu sangat berpotensi menyejahterakan
masyarakat, bangsa dan negara. Pengembangan budidaya
gaharu juga berdampak positif bagi upaya menghindarkan dari
bahaya bencana alam kekeringan, kekurangan air bersih,
longsor, peningkatan temperatur udara, polusi, dan kekurangan
oksigen. Namun demikian, pengembangan gaharu tidak sama
dengan pengembangan tanaman pertanian yang dapat
langsung menghasilkan. Pada pohon penghasil gaharu, produksi
gaharu justru tidak akan terjadi bila pohonnya tumbuh sangat
baik dan tidak terganggu sedikit pun. Oleh karenanya,
pengembangan produksi gaharu tidak cukup hanya dilakukan
dengan penanaman bibit pohon penghasilnya saja, tetapi juga
perlu didukung dengan pengembangan teknik produksi dan
pengembangan sistem yang akan mendukung pengembangan
produksi, khususnya yang berkaitan dengan pendanaan karena
proses produksi memerlukan dana cukup besar.

Sejauh ini, produksi gaharu Indonesia masih banyak diambil dari


alam, sehingga disebut sebagai gaharu alam. Gaharu alam telah

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


276 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
dikenal sejak ribuan tahun lalu yang diperdagangkan ke Timur
Tengah oleh para pedagang India dan Indo-China, termasuk dari
wilayah barat Indonesia atau Sumatera. Gaharu dihargai sangat
mahal, khususnya yang memiliki kualitas super dan di atasnya.
Gaharu kualitas super sudah mengeluarkan aroma harum walau
tanpa dipanasi atau dibakar. Bentuk gaharu super sangat
beragam, dengan tekstur yang sangat keras dan halus tidak
berserat, berwarna hitam mengkilat dan berat hingga tenggelam
dalam air. Sementara gaharu yang memiliki kualitas lebih rendah
(kemedangan dan abuk) disuling untuk diambil resinnya dan
ampasnya dibuat makmul atau hio untuk ritual keagamaan.
Dengan semakin meningkatnya permintaan pasar internasional,
maka volume perdagangan gaharu semakin meningkat pula.
Akibatnya, keberadaan pohon penghasil gaharu juga semakin
terancam akibat banyak yang ditebangi dan dicacah masyarakat
untuk diambil gaharunya. Kondisi ini tak akan dapat diatasi
kecuali dengan melakukan pengembangan gaharu secara besar-
besaran, khususnya di area yang paling potensial, yaitu wilayah
sekitar hutan. Dengan upaya ini, produksi gaharu Indonesia akan
tetap melimpah dan masyarakat yang memproduksinya juga
semakin makmur dan sejahtera, sehingga lebih mampu menjaga
keamanan lingkungan dan keragaman sumberdaya alam di
sekitarnya.

Faktor Pendukung Pengembangan Gaharu


A. Sumber Daya Manusia (SDM)

Meskipun gaharu sudah sangat lama menjadi salah satu komoditi


ekspor Indonesia, namun banyak masyarakat umum yang tidak
mengetahui apa yang disebut gaharu, kecuali masyarakat di
sekitar wilayah hutan yang sudah pernah terlibat dalam
pencarian, pembersihan, dan perdagangan gaharu. Karenanya,
mereka merupakan kelompok sasaran yang sudah siap menjadi
SDM untuk pengembangan gaharu, khususnya pada proses pasca

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 277
panen, pembersihan gaharu dari sisa kayu putihnya. Proses ini
sangat lambat, hampir seperti seni memahat, sehingga
membutuhkan banyak tenaga kerja terampil. Dengan
pengalaman mencari gaharu alam yang sudah cukup lama,
banyak masyarakat di sekitar hutan yang terampil membersihkan
gaharu, sehingga cukup siap untuk mendukung pengembangan
gaharu di daerahnya.

B. Teknologi Produksi

Berbeda dengan produk pepohonan lainnya yang selalu


dihasilkan selama tanaman tumbuh sehat, atau dengan kata lain,
produksi merupakan fungsi dari pertumbuhan tanaman sehat,
gaharu justru tidak akan didapat pada pohon yang tumbuh sehat
tanpa ada gangguan apapun. Kebanyakan gaharu justru
ditemukan pada pohon yang terganggu, baik secara alami oleh
faktor abiotik maupun biotik ataupun telah diinduksi oleh
manusia. Faktor abiotik dapat berupa angin atau hujan angin dan
petir. Namun kejadian pembentukan gaharu oleh faktor abiotik
dari alam ini sulit ditiru, sehingga tidak dapat dijadikan dasar
pada proses produksi dalam bentuk industri.

Sementara itu, pembentukan gaharu oleh faktor biotik dapat


disebabkan oleh infeksi jasad renik terhadap tanaman, selain
akibat gesekan hewan dan perilaku manusia yang tidak
direncanakan. Temuan tentang adanya jenis jasad renik yang
dapat menginduksi terjadinya akumulasi resin wangi yang
selanjutnya membentuk gaharu inilah yang mendasari adanya
temuan tentang teknik induksi pembentukan gaharu, yang dapat
digunakan untuk mendukung proses produksi gaharu dalam
skala industri. Beberapa kelompok peneliti telah mampu
melakukan inokulasi yang merangsang pembentukan gaharu
(Mucharromah et al., 2008a,b,c,d; Santoso et al., 2006, 2008;
Kadir, 2009). Namun mengingat teknik yang diterapkan belum
biasa dilakukan masyarakat, maka untuk persiapan
pelaksanaannya dalam proses produksi dibutuhkan pelatihan-

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


278 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
pelatihan, baik pelatihan teknik inokulasi maupun pelatihan
teknik monitoring pembentukan gaharu. Selain itu, teknik
pelatihan produksi inokulan juga perlu dilakukan, sehingga
proses produksi dapat berlangsung lebih efisien. Dengan
dukungan operasional, maka teknik produksi inokulan dan
induksi pembentukan gaharu dengan inokulasi telah siap untuk
dilatihkan kepada masyarakat guna mendukung pengembangan
produksi gaharu melalui pemberdayaan masyarakat di sekitar
wilayah hutan.

C. Pengawasan Mutu

Untuk keberhasilan dan kesinambungan suatu proses produksi,


pada umumnya selalu dilakukan monitoring kualitas produk.
Untuk itu, penyiapan SDM pendukung pengembangan gaharu
juga perlu dilakukan, sehingga mampu mengenali kualitas dan
mensortasi atau mengumpulkan gaharu yang dihasilkan
berdasarkan gradasi kualitas dan kegunaannya. Berdasarkan
bentuk fisik, gaharu merupakan jaringan kayu dari pohon jenis
tertentu (penghasil gaharu) dengan kandungan resin
sesuiterpenoid volatil beraroma harum gaharu yang cukup tinggi.
Adanya aroma harum yang khas dan tahan lama inilah yang
membuat gaharu sangat disukai dan dihargai dengan nilai
ekonomi yang sangat tinggi. Selain itu, jaringan yang
mengandung resin wangi gaharu juga hanya diperoleh dari
bagian pohon yang mengalami proses tertentu, seperti
perlukaan yang disertai infeksi patogen melalui inokulasi atau
proses lainnya. Selanjutnya, proses tersebut membuat jaringan
kayu memiliki warna, aroma, tekstur, dan tingkat kekerasan dan
berat jenis berbeda. Hal ini membuat gaharu menjadi semakin
mahal dan nilainya sangat ditentukan oleh kualitas kadar dan
kemurnian resin yang dikandungnya.

Pada gaharu alam, gradasi kualitas ditentukan berdasarkan


standar mutu yang telah ditetapkan secara nasional dalam SNI
01-5009.1-1999. Dalam standar ini, kualitas gaharu dibedakan

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 279
menjadi tiga sortimen, yaitu gubal gaharu, kemedangan, dan abu
gaharu. Ketiga sortimen tersebut dibagi lagi dalam 13 kelas
kualitas, yang terdiri dari:

1. Gubal gaharu, dengan 3 tanda mutu, yaitu:


a. mutu utama = mutu super
b. mutu pertama = mutu AB
c. mutu kedua = mutu sabah super
2. Kemedangan, dengan 7 kelas mutu, yaitu:
a. mutu pertama = mutu TGA/TK1
b. mutu TGB/TK2
c. mutu TGC/TK3
d. mutu TGD/TK4
e. mutu TGE/TK5
f. mutu TGF/TK6
g. mutu ketujuh = setara dengan M3
3. Abu gaharu yang terbagi dalam 3 kelas mutu, yaitu:
a. mutu utama
b. mutu pertama
c. mutu kedua.

Namun, pembedaan kelas kualitas tersebut secara detil sangat


sulit dilakukan, sehingga pada prakteknya hingga saat ini,
konsumenlah yang menentukan tingkat mutu produk dan harga
gaharu. Hal ini merupakan anomali dari kondisi perdagangan
komoditi lainnya, di mana pemilik barang merupakan penentu
harga. Namun dengan tingkat keahlian sortasi, standar kualitas
gaharu dan harganya akan lebih terjamin. Untuk itu, pelatihan
SDM dalam teknik monitoring perkembangan pembentukan
gaharu dan kontrol kualitasnya sangat penting dilakukan.

Saat ini, sudah cukup banyak pohon penghasil gaharu yang telah
diinokulasi, khususnya dari jenis Aquilaria dan Gyrinops. Teknik
inokulasi untuk induksi pembentukan gaharu juga telah semakin
efisien dan murah. Pada hasil uji lanjut teknik produksi gaharu

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


280 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
yang dilakukan beberapa bulan lalu di Provinsi Bengkulu, proses
pembentukan gaharu telah semakin cepat terjadi. Pada 6 bulan
setelah inokulasi telah dicapai produk kualitas kemedangan TGB
dan TGA, yang biasanya baru dapat dicapai pada 12-18 bulan
setelah inokulasi, meskipun sebagian besar masih berada pada
mutu TGC (Mucharromah et al., 2008).

Perkembangan keberhasilan teknik inokulasi ini sangat


prospektif untuk mendukung pengembangan produksi gaharu
yang pohon penghasilnya telah mulai banyak dibudidayakan di
Sumatera dan wilayah lain di Indonesia. Dengan demikian,
pengembangan gaharu siap dilaksanakan, tidak hanya di sekitar
wilayah hutan, tetapi bahkan hingga ke halaman rumah,
perkantoran dan sekolah, seperti yang telah dilakukan di Kota
Bengkulu dan sekitarnya. Namun, pengembangan gaharu di
sekitar wilayah hutan kemungkinan akan jauh lebih efisien
proses produksinya, selain lebih besar manfaatnya bagi
pengamanan lingkungan dan pemberdayaan, serta pemakmuran
masyarakat.

D. Potensi jenis pohon penghasil gaharu

Indonesia merupakan negara yang sangat kaya dengan beragam


jenis pohon penghasil gaharu. Hal ini menjadi modal utama yang
membuat proses produksi gaharu menjadi jauh lebih mudah dan
murah. Saat ini, pembentukan gaharu di alam telah dilaporkan
terjadi pada sedikitnya 16 jenis pohon dari beberapa genus
dalam famili Thymelaceae, satu famili Leguminoceae, dan satu
famili Euphorbiaceae (Wiriadinata, 2008 dan Sumarna, 2002).

Di alam, tidak semua pohon penghasil gaharu membentuk


gaharu atau hanya sedikit sekali menghasilkan gaharu. Jumlah
gaharu yang dihasilkan per pohon di hutan alam sangat
bervariasi dari 0,3 hingga 14 kg dan umumnya semakin banyak
dengan semakin besarnya diameter pohon (MacMahon, 1998).
Selain itu, tidak semua pohon menghasilkan gaharu. Hal ini

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 281
membuat proses produksi gaharu alam menjadi kian mahal. Pada
gaharu budidaya, proses produksi gaharu sangat ditentukan
kuantitasnya oleh jumlah lubang atau luka yang diinokulasi dan
kualitasnya tergantung dengan lamanya waktu sejak inokulasi
hingga panen. Semakin lama, maka semakin banyak resin wangi
yang terakumulasi dan semakin tinggi kualitas gaharu yang
dihasilkan. Dengan demikian, pengembangan gaharu hasil
budidaya dan inokulasi dapat jauh lebih efisien dibandingkan
produksi yang mengandalkan gaharu bentukan alam.

Namun demikian, pengembangan gaharu tetap memerlukan


dukungan dana yang relatif besar meskipun rasio keuntungannya
terhadap modal juga cukup besar, sebagaimana disajikan pada
analisis usaha inokulasi gaharu (Lampiran 16.1) dan analisis
budidaya gaharu (Lampiran 16.2). Berdasarkan hasil analisis
tersebut, pengembangan gaharu yang paling efisien apabila
dilakukan di area sekitar hutan yang masih kaya dengan tegakan
gaharu berdiameter > 20 cm. Tegakan tersebut dapat diinokulasi
untuk mempercepat produksi dan menambah modal awal untuk
penanaman pada area yang lebih luas untuk kesinambungan
usaha pengembangan gaharu. Selain itu, kerjasama dan
komitmen semua pihak juga diperlukan untuk membantu
mengawali usaha ini berdasarkan expertise dan bidang
pekerjaannya.

Sejauh ini, keberadaan pohon penghasil gaharu di lapangan telah


banyak membantu pelaksanaan uji efektivitas inokulasi, uji
produksi, pelatihan inokulasi, pelatihan monitoring
pembentukan gaharu dan upaya produksi gaharu hasil inokulasi.
Namun dari segi kualitas, gaharu hasil inokulasi hingga kini
belum dapat mencapai kualitas seperti gaharu alam, yaitu super,
double super, dan lebih tinggi lagi. Terbentuknya gaharu kualitas
super atau yang sering disebut gubal super ini kemungkinan akan
dapat dicapai seiring dengan pengembangan penelitian inokulan
unggul yang terus dilakukan. Secara teoritis, keunggulan inokulan
dalam menginduksi pembentukan gaharu berkaitan dengan jenis

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


282 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
dan kemurnian mikroorganisme yang digunakan. Hal tersebut
sebagaimana ditunjukkan oleh data mikroskopis perkembangan
deposisi resin gaharu pada area jaringan sekitar lubang yang
diinokulasi atau hanya dilukai (Mucharromah dan Marantika,
2009).

Sementara itu, kehadiran jenis cendawan lainnya, khususnya


cendawan pelapuk kayu, justru mendegradasi kembali resin
gaharu yang sudah dideposisi. Bahkan, proses terjadi hingga
menghancurkan selnya, sehingga gaharu yang sudah mulai
terbentuk menjadi hancur dan lapuk, minimal sebagiannya.
Kualitas gaharu yang dihasilkan pun akan menurun. Dengan
demikian, penggunaan inokulan unggul dan teknik inokulasi yang
meminimalkan kontaminasi akan dapat meningkatkan kualitas
gaharu yang dihasilkan dan mengefisienkan proses produksi,
hingga dapat dilaksanakan dengan modal lebih rendah.

Pada gaharu kualitas gubal, akumulasi resin wangi terjadi


maksimal hingga luber dan menutupi sel-sel di sekitarnya.
Akibatnya, jaringan kayu tersebut menjadi halus seperti dilapisi
agar dan berwarna coklat kemerahan atau kehitaman,
tergantung intensitas atau kadar resin gaharu yang
dikandungnya. Apabila kualitas seperti ini dapat dihasilkan dari
inokulasi pohon pada awal proses pengembangan, maka
produksi gaharu selanjutnya tidak banyak memerlukan bantuan
modal lagi. Kualitas gubal yang dihasilkan tersebut dapat
mendekati kualitas gaharu alam dan bernilai sangat tinggi, yaitu
USD 2.000 hingga 16.000 per kg di tingkat end-consumer di luar
negeri, sehingga mampu menutupi pembiayaan untuk
pengembangan selanjutnya.

Saat ini, kualitas gaharu hasil inokulasi sudah jauh lebih baik dan
pada beberapa hasil penelitian sudah mendekati mutu gubal
kualitas kemedangan B/C (Santoso, 2008; Mucharromah dan
Surya, 2006) atau bahkan B (Surya, 2008 - komunikasi pribadi;
Mucharromah et al., 2008). Dengan teknik inokulasi dan jenis

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 283
isolat yang lebih murni dan potensial serta waktu antara
inokulasi dan panen yang lebih panjang, maka kualitas gubal
super mungkin akan dapat dicapai.

Selain karena kandungan resinnya yang jauh lebih tinggi, aroma


resin gaharu juga sangat menentukan kualitas. Sejauh ini, aroma
gaharu alam lebih lembut dibandingkan hasil inokulasi,
kemungkinan karena kemurnian resin yang dikandungnya. Pada
pengamatan mikroskopis (Mucharromah dan Marantika, 2009)
menunjukkan bahwa pada jaringan yang terkontaminasi resin
gaharu yang awalnya berwarna coklat bening kemerahan
berubah menjadi berwarna kehitaman dan menghilang sebelum
akhirnya selnya menjadi hancur. Oleh karena itu, proses produksi
gaharu dengan inokulasi perlu diterapkan prinsip-prinsip aseptik
yang akan membatasi peluang terjadinya kontaminasi
(Mucharromah et al., 2008).

Selain itu, kekhasan aroma gaharu juga dipengaruhi oleh jenis


pohon penghasilnya dan kemungkinan juga jenis mikro
organisme inokulannya, sehingga aroma gubal gaharu kualitas
terbaik dari berbagai wilayah dapat berbeda (Mucharromah et
al., 2007). Jenis-jenis pohon penghasil gaharu dari spesies
Aquilaria malaccensis, A. beccariana, A. microcarpa, A. hirta, dan
A. agallocha yang banyak dijumpai di Sumatera, dikenal
menghasilkan gaharu yang disukai konsumen mancanegara sejak
jaman dahulu. Oleh karenanya, pengembangan gaharu di
wilayah sekitar hutan dengan cara memperbanyak pohon-pohon
jenis Aquilaria yang ada di lokasi tersebut dan menginokulasi
pohon yang sudah tua untuk membiayai peremajaannya akan
dapat mengembalikan potensi produksi gaharu yang dahulu
dimiliki Sumatera dan wilayah Indonesia lainnya.

Model Pengembangan Gaharu di Bengkulu


Secara teoritis, akumulasi resin wangi gaharu telah dilaporkan
dapat distimulasi oleh infeksi cendawan dari jenis tertentu
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,
284 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
(Mucharromah dan Surya, 2006, 2008a,b,c; Santoso et al., 2006;
Sumarna, 2002). Kemampuan cendawan inokulan dalam
menstimulir produksi resin juga sangat terkait dengan tingkat
akumulasi resin yang merupakan hasil netto dari proses sintesis
dikurangi dengan degradasinya, serta jenis resin dan
kemurniannya (Agrios, 2005; Langenhein, 2004; Mucharromah,
2004). Dengan demikian, penggunaan jenis inokulan tertentu
dan kemurniannya, penerapan teknik aseptik dalam penyiapan
dan aplikasi inokulan, ketepatan teknik inokulasi, dan
keterampilan pekerja akan sangat mempengaruhi proses
produksi dan kualitas produk. Oleh karenanya, pengembangan
gaharu di Bengkulu diawali dengan pengujian efektivitas
berbagai isolat cendawan yang berpotensi menginduksi
pembentukan gaharu dan diikuti dengan pengembangan
inokulan unggul yang masih terus dilakukan untuk peningkatan
kualitas.

Selain itu, setelah didapat inokulan efektif dan hasil inokulasi


yang cukup menjanjikan, maka kepada masyarakat pemilik
tegakan gaharu yang diameternya telah mencapai > 20 cm
ditawarkan kerjasama pengembangan gaharu dengan
penanaman kembali dan inokulasi. Kerjasama ini meliputi
pemeliharaan dan penanaman kembali anakan alam yang ada di
sekitar tegakan induk hingga mencapai populasi minimal 10-100
batang tanaman muda per pohon induk dan diinokulasi untuk
produksi gaharu. Sejauh ini, pengembangan gaharu sebanyak >
10.000 batang yang ditanam di sekitar pohon induk yang
diinokulasi telah dilakukan. Namun, kerjasama ini masih
membutuhkan cukup banyak modal agar menjadi usaha
pengembangan gaharu yang mandiri. Meskipun gaharu yang
dipanen akan menghasilkan produk yang dapat dijual, namun
untuk pelaksanaan proses panen dan pembersihan yang bersifat
padat karya tersebut diperlukan modal yang cukup besar. Oleh
sebab itu, pengembangan gaharu masih sulit dilakukan secara
mandiri, khususnya pada masyarakat yang tidak memiliki modal
dan hanya mengandalkan sumberdaya alam dan keterampilan.

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 285
Dengan demikian, campur tangan pemerintah sangat
diharapkan.

Sebagaimana diuraikan sebelumnya, pengembangan gaharu


memerlukan modal yang cukup besar karena prosesnya cukup
kompleks. Pertama, anakan alam atau bibit harus ditanam dan
dipelihara. Selanjutnya pohon yang sudah cukup besar (diameter
> 20 cm) perlu diinduksi dengan inokulasi jasad renik atau
perlakuan lainnya agar membentuk gaharu. Proses induksi
pembentukan gaharu dilakukan dengan memberikan inokulan
pada sejumlah besar lubang yang dibuat spiral dengan jarak 7-10
cm horisontal dan 12-20 cm vertikal dari pangkal batang hingga
ujung pucuk yang masih bisa dipanjat. Proses inokulasi ini, selain
memerlukan keterampilan, juga memerlukan keberanian dan
ketersediaan personil dengan kondisi fisik yang mendukung
pelaksanaan pekerjaan. Selanjutnya, pohon yang telah
diinokulasi dimonitor hingga waktu panen. Setelah dipanen
secara total, proses pembersihan dilakukan untuk memisahkan
gaharu dari jaringan kayu yang lebih sedikit kandungan resin
wanginya. Proses ini dilakukan secara manual dengan melibatkan
sejumlah besar tenaga kerja.

Pada gaharu hasil inokulasi, pembersihan 1 kg gaharu umumnya


memerlukan 4-5 orang hari kerja, sehingga untuk menghasilkan
gaharu sebanyak 270 ton (sebagaimana jumlah yang diekspor
pada tahun 2000-an) akan mampu menyerap tenaga kerja
sebanyak 56.000-68.000 orang/hari. Jumlah ini cukup besar dan
akan mampu mempekerjakan masyarakat sekitar hutan
sebanyak 280 hingga 340 orang/tahun dengan 200 hari
kerja/tahun. Semakin meningkat permintaan dan kapasitas
produksi, jumlah tenaga kerja yang dikaryakan juga akan
semakin meningkat. Dari segi jumlah tenaga kerja yang
menangani proses pembersihan produk ini, kemungkinan tidak
banyak berbeda antara produksi gaharu alam dengan gaharu
budidaya. Namun, dari segi keamanan pekerja dan lingkungan,
pengembangan gaharu hasil budidaya dan inokulasi semakin

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


286 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
lama semakin memberikan keuntungan melimpah dan semakin
sustainable. Sebaliknya, gaharu alam akan semakin habis,
sehingga tidak berkelanjutan. Oleh karenanya, pengembangan
gaharu harus dilakukan secara serius, sehingga upaya-upaya
yang dilakukan akan memberi hasil yang berkelanjutan.

Selain itu, mengingat proses produksi gaharu jauh lebih rumit


dibandingkan proses produksi komoditi hasil hutan dan
perkebunan atau pertanian lainnya, maka perlu ada suatu
kelembagaan yang bertugas untuk membantu penyiapan dan
pelaksanaan proses produksinya hingga berhasil berkembang
menjadi industri gaharu yang mandiri. Kelembagaan tersebut
dapat sangat sederhana bila pengembangan gaharu dapat
diberlakukan seperti komoditi pertanian atau perkebunan hasil
budidaya. Namun, apabila perdagangan gaharu masih diatur
oleh kuota yang proses perdagangannya melibatkan banyak
pihak, maka pengembangan gaharu perlu dilakukan dengan
melibatkan berbagai pihak yang terkait dengan perdagangannya,
tidak hanya dengan pihak yang dapat membantu
pengembangannya.

Dalam pelaksanaannya, pelibatan banyak pihak ini harus


dipayungi dengan deskripsi tugas yang mendetil dan tidak saling
tumpang-tindih. Hal ini untuk mencegah hambatan
pengembangan gaharu yang dituju. Sejauh ini, pengembangan
gaharu yang dilakukan di Provinsi Bengkulu, baik oleh pihak
swasta maupun perguruan tinggi dan kelompok masyarakat,
dibuat secara sangat sederhana dengan kontrak kerjasama
antara pemilik pohon/lahan dengan pelaksana yaitu perguruan
tinggi, swasta atau kelompok masyarakat. Mengingat pohon
yang diinokulasi atau bibit yang ditanam berada di lahan pribadi,
baik halaman maupun kebun, maka proses pengembangan
gaharu yang telah dilakukan sejauh ini masih berjalan aman. Hal
ini dikarenakan upaya pengembangan yang dilakukan masih
belum mencapai tahap produksi gaharu yang siap
diperdagangkan. Apabila sudah mencapai tahap produksi dan

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 287
mengikuti aturan kuota, maka penjualan gaharu memerlukan
sertifikasi jumlah untuk memastikan bahwa batas kuota belum
terlewati. Memang, pola ini cukup menyulitkan meskipun
prosesnya sederhana. Hal ini mungkin perlu disederhanakan
dalam upaya pengembangan gaharu yang dilakukan, mengingat
wilayah sekitar hutan yang menjadi area pengembangan gaharu
umumnya cukup jauh dari lokasi institusi yang mensertifikasi
produknya.

Dalam hal pengembangan gaharu, perguruan tinggi dapat


memainkan peran yang dapat menguntungkan semua pihak.
Dalam hal ini, peran perguruan tinggi yang mengembangkan
penelitian gaharu dapat dilakukan dalam bentuk pembinaan
kelompok produksi gaharu di sekitar wilayah hutan dan
penelitian untuk pemutakhiran teknik produksi, pengembangan
inokulan unggul untuk peningkatan mutu, serta pengembangan
teknik pengawasan kualitas produk. Peran tersebut dapat
dilakukan melalui kegiatan penelitian dan pengabdian pada
masyarakat yang sudah secara rutin dilakukan perguruan tinggi
dengan dukungan pendanaan dari instansi pemerintah maupun
swasta.

Penutup
1. Pengembangan gaharu merupakan suatu program yang
sangat besar, tidak hanya menghasilkan produk bernilai
ekonomi yang sangat tinggi dan berpotensi sangat besar
untuk pemberdayaan masyarakat di sekitar wilayah hutan,
tetapi juga karena upaya ini memerlukan investasi teknologi
dan modal yang cukup besar bagi keberhasilannya. Oleh
karenanya, pengembangan gaharu perlu dilaksanakan dengan
perencanaan yang sangat matang dari setiap tahapan
prosesnya, sehingga dapat berjalan dan meningkatkan
kemandirian masyarakat di wilayah sekitar hutan. Hal ini
sangat penting dilakukan, tidak hanya untuk menjamin

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


288 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
peningkatan dan kesinambungan produksi gaharu, tetapi juga
untuk melindungi hutan dan keragaman hayati yang ada di
sekitarnya. Selain itu, pengembangan gaharu dapat
meningkatkan kapasitas hutan dalam menanggulangi potensi
bahaya bencana alam yang disebabkan oleh longsor, banjir,
kekeringan, polusi, dan beragam kerusakan lingkungan
lainnya.

2. Untuk lebih mengefisienkan proses produksi dan menekan


pembiayaan, program pengembangan gaharu perlu dilakukan
dengan mengadopsi model yang paling efisien dan praktis,
sehingga keberhasilannya akan lebih terjamin. Hal ini sangat
penting untuk diperhatikan mengingat proses pembentukan
gaharu tidak berjalan secara otomatis pada tanaman yang
tumbuh sehat, sebagaimana produk pertanian atau
perkebunan dan kehutanan lainnya.

Daftar Pustaka
Agrios, G.N. 1988. Plant Pathology. Academic Press, New York.
Anonim. 1995. Analisa Penyebab Terjadinya Gubal dan Keme-
dangan pada Pohon Gaharu. Makalah Dipresentasikan
pa-da Temu Pertama Pakar Gaharu, 20 Oktober1995.
Jakar-ta.
Anonim. 2006. Agarwood. "http://en.wikipedia.org/wiki
/Agarwood". Terakhir dimodifikasi 11:11, 31 Oktober
2006.
Maryani, N., G. Rahayu dan E. Santoso. 2005. Respon Acremo-
nium sp. Asal Gaharu terhadap Alginate dan CaCl2. Pro-
siding Seminar Nasional Gaharu. Seameo-Biotrop, Bogor,
1-2 Desember 2005.
MacMahon, C. 1998. White Lotus Aromatics. http://members.aol
.com/ratrani/ Agarwood. html. Updated April 16th, 2001,
Accessed 16 April 2006.
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,
Teknologi Badan Litbang Kehutanan 289
Mucharromah, Misnawaty, dan Hartal. 2008. Studi Mekanisme
Akumulasi Resin Wangi Aquilaria malaccensis (Lamk.)
Merespon Pelukaan dan Infeksi Cendawan. Laporan Pe-
nelitian Fundamental. DIKTI.
Mucharromah. 2008. Hipotesa Mekanisme Pembentukan Gubal
Gaharu. Makalah Seminar Nasional Pengembangan Pro-
duksi Gaharu Provinsi Bengkulu untuk Mendukung Pe-
ningkatan Ekspor Gaharu Indonesia. FAPERTA UNIB,
Bengkulu, Indonesia, 12 Agustus 2008.
Mucharromah, Hartal, dan Surani. 2008. Tingkat Akumulasi Re-
sin Gaharu Akibat Inokulasi Fusarium sp. pada Berbagai
Waktu Setelah Pengeboran Batang Aquilaria malaccensis
(Lamk.). Makalah Semirata Bidang MIPA, BKS-PTN Wila-
yah Barat, Universitas Bengkulu, 14-16 Mei 2008.
Mucharromah, Hartal, dan U. Santoso. 2008. Potensi Tiga Isolat
Fusarium sp. dalam Menginduksi Akumulasi Resin Wangi
Gaharu pada Batang Aquilaria malaccensis (Lamk.).
Maka-lah Semirata Bidang MIPA, BKS-PTN Wilayah Barat,
Uni-versitas Bengkulu, 14-16 Mei 2008.
Mucharromah. 2006. Teknologi Budidaya dan Produksi Gubal
Gaharu di Provinsi Bengkulu. Makalah Seminar. Fakultas
Pertanian Universitas Mataram Bekerjasama dengan
Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Dodokan
Moyosari Nu-sa Tenggara Barat (BP DAS Dodokan
Moyosari NTB). Uni-versitas Mataram, Lombok, Nusa
Tenggara Barat, 18 No-vember 2006.
Mucharromah. 2006a. Fenomena Pembentukan Gubal Gaharu
pada Aquilaria malaccensis (Lamk.). (unpublished).
Mucharromah dan J. Surya. 2006b. Teknik Inokulasi dan Pro-
duksi Gaharu. Makalah Workshop Gaharu Tingkat Nasi-
onal. Kerjasama Dirjen PHKA dan ASGARIN. Surabaya 11-
13 September 2006.

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


290 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Ng., L.T., Y.S. Chang and A.K. Azizil. 1997. A Review on Agar (Ga-
haru) Producing Aquilaria Species. Journal of Tropical Fo-
rest Products 2 : 272-285.
Ngatiman dan Armansyah. 2005. Uji Coba Pembentukan Gaharu
dengan Cara Inokulasi. Prosiding Seminar Nasional
Gaha-ru Peluang dan Tantangan Pengembangan Gaharu
di In-donesia, Bogor, 1-2 Desember 2005. SEAMEO
BIOTROP.
Parman, T. Mulyaningsih, dan Y.A. Rahman. 1996. Studi Etiologi
Gubal Gaharu pada Tanaman Ketimunan. Makalah Temu
Pakar Gaharu. Kanwil Dephut Propinsi NTB, Mataram,
11-12 April 1996.
Parman dan T. Mulyaningsih. 2006. Teknologi Budidaya Ta-
naman Gaharu untuk Menuju Sistem Produksi Gubal Ga-
haru secara Berkelanjutan. Makalah disampaikan pada
Workshop Gaharu Tingkat Nasional. Surabaya, 11-13
Sep-tember 2006.
Purba, J.N. 2007. Identifikasi Genus Cendawan yang Berasosiasi
dengan Pohon Aquilaria malaccensis (Lamk.) dan Gubal
Gaharu Hasil Inokulasi serta Potensinya untuk
Menginfeksi Bibit Gaharu. Skripsi Fakultas Pertanian
Universitas Beng-kulu.
Raintree. 2001. Database Entry For Aquilaria agallocha. Raintree
Nutrition, Inc., Austin, Texas. Sites : hhtp//www.rain-tree
.com/aquilaria.htm. Date 3/3/06.
Santoso, E., L. Agustini, D. Wahyuno, M. Turjaman, Y. Sumarna,
R.S.B. Irianto. 2006. Biodiversitas dan Karakterisasi
Jamur Potensial Penginduksi Resin Gaharu. Makalah
Workshop Gaharu Tingkat Nasional. Kerjasama Dirjen
PHKA dan ASGARIN, Surabaya 12 September 2006.

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 291
Sumarna, Y. 2005. Strategi Budidaya dan Pengembangan Pro-
duksi Gaharu. Prosiding Seminar Nasional Gaharu,
Seameo-Biotrop, Bogor, 1-2 Desember 2005.

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


292 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Lampiran 16.1. Analisis usaha inokulasi gaharu

Waktu inokulasi : 3 tahun


Jumlah tegakan gaharu : 1 batang
Proyeksi hasil : 20 kg/batang (Kelas BC);
30 kg/batang (Kemedangan)
Total proyeksi hasil : 50 kg/batang
Penjualan kelas BC per batang : 60 kg
Penjualan powder : 100 kg/batang

Harga/unit Total cost


No Uraian QTY Unit
(Rp'000) (Rp'000)
A. Beban operasional
Pembelian batang/tanah 1 Btg 100 100
Pengadaan inokulan 1 Btg 5.000 5.000
Pembelian peralatan 1 Set 90 90
Stressing agent 1 Btg 1.500 1.500
Tenaga ahli inokulasi 1 Btg 200 200
Tenaga kerja 1 Btg 600 600
Pemeliharaan/perawatan 3 Thn 12 36
Operasi lainnya 1 Btg 300 300
Total 7.826
A.1. Beban panen dan pasca panen
Penebangan 1 Btg 50 50
Angkut ke gudang 1 Btg 50 50
Pembersihan gaharu 50 Kg 25 1.250
Packing 50 Kg 2 100
Total 1.450
A.2. Beban pemasaran & umum lainnya
Angkut penjualan 50 Kg 5 250
Penjualan 50 Kg 10 500
Retribusi 50 Kg 5 250
Pengurusan surat-surat 1 Btg 6 6
Umum lainnya 50 Kg 0,5 25
Total 1.031
Total beban operasi 10.307
B. Proyeksi penghasilan
Penjualan kelas BC 60 Kg 2.000 120.000
Penjualan powder 100 Kg 5 500
Total proyeksi penghasilan 120.500
C. Beban zakat/pajak 5% % 6.025
D. Proyeksi keuntungan 104.168
Sumber: Hasil perhitungan peneliti dengan CV Gaharu 88 Bengkulu, 2006

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 293
Lampiran 16.2. Analisis usaha budidaya gaharu

Waktu budidaya : 7 tahun


Luas lahan : 1 ha
Populasi tegakan : 1.000/ha
Rasio jumlah suntikan : 80 lubang/kg
Jumlah lubang : 160/batang
Proyeksi hasil panen per batang : 160/80 = 2 kg
Exchange rate IDR : 9.000

Harga/ Total
No Uraian QTY Unit unit cost
(Rp'000) (Rp'000)
A. Biaya akuisisi lahan
Pembelian lahan 1 ha 15.000 15.000
Perizinan/sertifikat/notariat 1 Surat* 4.000 4.000
Total 19.000
B. Biaya pra operasi (start-up cost)
Sarana & prasarana TBM
Rumah jaga 1 Unit 2.000 2.000
Sarana penerangan (PLN) 1 Unit 1.000 1.000
Sarana komunikasi 1 Unit 2.000 2.000
Sarana lainnya 1 - 1.000 1.000
Total 6.000
A+B Total biaya (direkapitulasi) 25.000
C Beban operasi
C.1. Penanaman pohon baru
Land clearing 1 ha 1.000 1.000
Pembelian bibit 1.000 Btg 5 5.000
Pembuatan lubang 1.000 Btg 1 1.000
Penanaman pohon gaharu 1.000 Btg 0,5 500
Pemupukan 1.000 Btg 5 5.000
Perawatan dan
pengamanan 1 ha 24.000 24.000
Total 36.500
C.2. Beban inokulasi
Pengadaan inokulan 1.000 Btg 20 20.000
Pembelian peralatan 1 Set 3.000 3.000
Stressing agent 1.000 Btg 10 10.000
Tenaga kerja 1.000 Btg 5 5.000
Pemelihaaan/perawatan 1.000 Btg 10 10.000
Operasi lainnya 1.000 Btg 1 1.000
Total 49.000

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


294 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Harga/ Total
No Uraian QTY Unit unit cost
(Rp'000) (Rp'000)
C.3. Beban panen & pasca panen
Penebangan 1.000 Btg 5 5.000
Angkut ke gudang 1.000 Btg 5 5.000
Pembersihan gaharu 2.000 Kg 10 20.000
Packing 2.000 Kg 2 4.000
Total 34.000
C.4. Beban pemasaran & umum lainnya
Angkut penjualan 2.000 Kg 5 10.000
Penjualan 2.000 Kg 10 20.000
Retribusi 2.000 Kg 20 40.000
Umum lainnya 2.000 Kg 0,5 1.000
Total 71.000
Total beban operasi 190.500
D Proyeksi penghasilan
Penjualan kelas C 2.000 Kg 2.000 4.000.000
Total proyeksi penghasilan 4.000.000
E Beban zakat /pajak 5% % 200.000
F Proyeksi keuntungan 3.609.500
Sumber : Hasil perhitungan peneliti dengan CV Gaharu 88 Bengkulu, 2006

Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,


Teknologi Badan Litbang Kehutanan 295
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,
296 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta

Lingkup Hak Cipta

Pasal 2

(1) Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan
atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa
mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ketentuan Pidana

Pasal 72

(1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing
paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau
pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima
miliar rupiah).

(2) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada
umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Diterbitkan oleh:

FORDA Press (Anggota IKAPI No. 257/JB/2014)


Jalan Gunung Batu No. 5. Bogor-Jawa Barat
Telp./Fax. 0251 7520 093
E-mail : fordapress@yahoo.co.id

Bekerjasama dengan/Dibiayai oleh:

PUSAT LITBANG KONSERVASI DAN REHABILITASI


Jalan Gunung Batu No. 5. Bogor-Jawa Barat
Telp: 0251 8633234, 7520067 Fax: 0251 8638111

Anda mungkin juga menyukai