Adi Susmianto
Maman Turjaman
Pujo Setio
ReKaM JeJaK
GAHARU INOKULASI
Teknologi BADAN LITBANG
KEHUTANAN
FORDA PRESS
bekerjasama dengan
PUSAT LITBANG KONSERVASI DAN REHABILITASI
Rekam Jejak
Gaharu
Inokulasi
TEKNOLOGI BADAN LITBANG
KEHUTANAN
Editor:
Adi Susmianto
Maman Turjaman
Pujo Setio
I
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang
Kehutanan
Editor
Adi Susmianto
Maman Turjaman
Pujo Setio
Penerbit:
FORDA Press
Anggota IKAPI No. 257/JB/2014
Jalan Gunung Batu No. 5. Bogor-Jawa Barat
Telp./Fax.: 0251-7520 093
E-mail : fordapress@yahoo.co.id
Kepala Badan
Sejak lebih dari 15 abad yang lalu, gaharu telah dikenal sebagai
produk kehutanan yang bernilai ekonomi tinggi. Gaharu
digunakan sebagai bahan baku wewangian yang produk
turunannya sangat bervariasi. Biasanya gaharu dikaitkan dengan
upacara adat dan keagamaan. Hampir semua acara keagamaan
dan kepercayaan yang dianut oleh umat manusia di bumi ini
biasanya menggunakan gaharu dan produk turunannya sebagai
materi ritual untuk bersembahyang menghadap Sang Pencipta.
Dengan kata lain, produk-produk gaharu dikenal sebagai kayu
tuhan (aloe or ahaloth) seperti yang dijelaskan pada kitab
perjanjian lama (the Old Testament) pada surat Psalm 45:8.
Menurut mitos dari kawasan timur, gaharu berasal dari kebun
surga yang turun bersamaan dengan manusia pertama kali
diturunkan ke bumi. Sejarah Mesir dan Jepang menyatakan
gaharu digunakan sebagai bahan pengawet tubuh manusia yang
telah mati. Budaya Arab di Timur-Tengah mengoles minyak
gaharu di bagian tubuh bayi yang baru lahir agar bayi dapat
tumbuh sehat. Di negara penganut agama Buddha seperti India
dan Kamboja, gaharu digunakan sehari-hari dalam upacara adat
dan keagamaan.
Salah satu riset gaharu yang menjadi nilai komersial yang tinggi
adalah gaharu sebagai bahan obat-obatan untuk kesehatan
manusia. Riset ini sudah banyak dilakukan oleh negara maju
seperti: Eropa, China, Amerika, Jepang, Korea, dan lain-lain.
Bahan aktif gaharu dipercaya mampu memecahkan masalah
kesehatan yang sekarang ini penyakitnya semakin kompleks.
Apabila nanti ditemukan bahan aktif dari gaharu yang akan
digunakan untuk menyembuhkan penyakit kanker, diabetes, dan
jantung, bukan tidak mungkin harga obat yang berbahan dasar
dari gaharu akan menjadi sangat mahal. Produk herbal gaharu
Pendahuluan
Gaharu merupakan salah satu produk elit komoditi hasil hutan
bukan kayu yang saat ini menjadi topik hangat di banyak
kalangan masyarakat Indonesia. Dalam kehidupan sehari-hari
telah dikenal pepatah lama sudah gaharu cendana pula.
Pepatah ini menunjukkan bahwa sebenarnya komoditi gaharu
sudah dipopulerkan oleh nenek moyang kita dan menjadi bukti
sejarah bahwa keharuman gaharu telah dikenal sejak ratusan
tahun yang lalu. Pertanyaan yang muncul, lantas kenapa
komoditi yang telah populer tersebut sepertinya menghilang
begitu lama dan saat ini muncul kembali. Jawaban yang sudah
pasti adalah rumus umum, yaitu karena pengambilan jauh lebih
besar daripada produksinya.
C. Pengolahan Gaharu
Sampai saat ini, produk gaharu yang berasal dari alam umumnya
dipasarkan dalam bentuk bongkahan. Namun, pemasaran ada
pula dalam bentuk minyak hasil sulingan. Cara penyulingan
minyak gaharu dapat dilakukan dengan dua sistem, yaitu sistem
kukus dan tekanan uap. Harga minyak gaharu di pasaran Jakarta
sekitar Rp 750.000,-/tolak (1 tolak = 12 cc).
Klasifikasi mutu
No. Lokasi
Super Tanggung Kacangan Teri Kemedangan Cincangan
1. Samarinda Super king Kacangan A Teri A Kemedangan A
Super A Kacangan B Teri B Kemedangan B
Super AB Kacangan C Teri C Kemedangan
Teri kulit A community
Teri kulit B
2. Muara Kacangan isi Teri isi Sudokan
Kaman Kacangan Teri kulit Serbuk
kosong
3. Kota Super A Kacangan A Teri A Serbuk
Bangun Super B Kacangan B Teri B
4. Muara Super A Tanggung isi Kacangan isi Teri super
Wahau Super B Tanggung Kacangan Teri laying
kosong kosong
Sumber: Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Kalimantan, 2007
Harga
No. Kelas mutu
(Rp/Kg)
1. Super King 30.000.000,-
Super 20.000.000,-
Super AB 15.000.000,-
a b 2. Tanggung 10.500.000,-
3. Kacangan A 7.500.000,-
Kacangan B 5.000.000,-
Kacangan C 2.500.000,-
4. Teri A 1.000.000,-
Teri B 750.000,-
Teri C 500.000,-
Teri Kulit A 300.000,-
Teri Kulit B 250.000,-
5. Kemedangan A 100.000,-
Kemedangan B 75.000,-
Kemedangan C 50.000,-
c d
6. Suloan 25.000,-
Gambar 2.1. Sampel gaharu Sumber: Balai Penelitian dan
Pengembangan Kehutanan Kalimantan,
(a) kelas tanggung; (b) kacangan; 2006
(c) teri; dan (d) kemedangan
Kesetaraan Kandungan
Klasifikasi Bau/aroma
No dengan standar Warna damar
mutu (dibakar)
mutu di pasaran wangi
A. Gubal
1. Mutu Utama Super Hitam merata Tinggi Kuat
2. Mutu I Super AB Hitam kecoklatan Cukup Kuat
3. Mutu II Sabah Super Hitam kecoklatan Sedang Agak kuat
B. Kemedangan
1. Mutu I Tanggung A Coklat kehitaman Tinggi Agak kuat
2. Mutu II Sabah I Coklat bergaris hitam Cukup Agak kuat
3. Mutu III Tanggung AB Coklat bergaris putih tipis Sedang Agak kuat
4. Mutu IV Tanggung C Kecoklatan bergaris putih tipis Sedang Agak kuat
5. Mutu V Kemedangan I Kecoklatan bergaris putih lebar Sedang Agak kuat
6. Mutu VI Kemedangan II Putih keabu-abuan garis hitam Kurang Kurang kuat
tipis
7. Mutu VII Kemedangan III Putih keabu-abuan Kurang Kurang kuat
C. Abu gaharu
1. Mutu Utama Cincangan Hitam Tinggi Kuat
2. Mutu I Sedang Sedang
3. Mutu II Kurang Kurang
Pedagang besar selain memiliki modal besar juga izin usaha yang
dikeluarkan oleh instansi pemerintah. Pembelian gaharu
dilakukan sepanjang tahun melalui pedagang pengumpul atau
pemungut bebas. Pembelian meningkat bilamana permintaan
pasar terhadap gaharu tinggi, bahkan untuk mendapatkan
jumlah yang diinginkan, mereka menanamkan modal yang
disalurkan melalui pedagang pengumpul ataupun secara
langsung kepada pemungut untuk modal kerja mencari gaharu.
Pedagang Pedagang
Pemungut Pengumpul Besar
Bebas
Pemungut
Pemungut Pedagang
Terikat Perantara
Penutup
Teknologi inokulasi pembentukan gaharu yang ditemukan telah
membuka peluang yang besar untuk kegiatan pengusahaan
gaharu. Peluang pengusahaan gaharu tersebut dimulai dari sub
sistem hulu (penyiapan lahan, penyiapan bibit, penanaman,
penyediaan pupuk, pemberantasan hama dan penyakit), sub
sistem tengah (penyuntikan, penyediaan inokulan, peralatan
inokulasi, dan pengamanan), sub sistem hilir (pemanenan,
pengangkutan, pengolahan, pemasaran), dan sub sistem
pendukung (kebijakan pemerintah, riset dan pengembangan,
pendidikan dan pelatihan, tranportasi, infrastruktur, skema
kredit dan asuransi).
Pendahuluan
Gaharu merupakan salah satu komoditi Hasil Hutan Bukan Kayu
(HHBK) unggulan yang dikembangkan oleh Kementerian
Kehutanan (Siran dan Turjaman, 2010). Gaharu dikenal sebagai
gumpalan resin yang berwarna hitam kecoklatan yang yang
dihasilkan dari aktivitas infeksi fungi patogen dalam jaringan sel
hidup kayu pada pohon penghasil gaharu. Gumpalan resin yang
dimaksud dapat menimbulkan aroma wangi dan harum apabila
dibakar.
Gambar 3.1.
Akumulasi resin gaharu pada jaringan kayu gaharu alam berkualitas tinggi (kiri) dan
gaharu budidaya hasil perlakuan jamur di India (kanan) (Ajmal, 2011) .
Proses pembentukan
gaharu dapat didekati
dengan beberapa
hipotesis. Ada dugaan,
perlukaan dan
kehadiran jamur
patogen yang masuk
ke dalam jaringan sel-
sel hidup kayu pohon
penghasil gaharu
merupakan kunci
pembentukan gaharu.
Serangga penggerek
yang membuat lubang
Gambar 3.2. Hifa jamur patogen yang masuk pada
di batang merupakan
jaringan sel-sel kayu pohon penghasil
salah satu vektor untuk
gaharu setelah tiga bulan diinokulasi
membawa propagul
jamur patogen. Oleh
sebab itu, pembuatan banyak lubang inokulasi bertujuan untuk
mempercepat proses pembentukan gaharu.
Gambar 3.4.
Deposit resin gaharu pada sel-sel kayu Aquilaria microcarpa oleh Fusarium solani
di KHDTK Carita, Banten
A. Metode Fisik-Mekanik
Gambar 3.7.
Inokulan tongkat bambu yang
direndam asam sulfat berbahaya
C. Metode Biologi
B. Faktor Inang
No. Jenis Ban Bhu Chi Ind Ina Kam Lao Mal Mya Phi Pap Sin Vie Tai Thai
1. A. agallocha *
2. A. apiculata *
3. A. audate * * *
4. A. acuminate *
5. A. banaense * *
6. A. bailonii * *
7. A. beccariana * *
8. A. brachyantha *
9. A. crassna * * * *
10. A. citrinaecarpa *
11. A. cumingiana * *
12. A. filaria * * *
13. A. grandiflora * *
14. A. hirta * * *
15. A. khasiana *
16. A. malaccensis * * * * * * * * * *
17. A. moszkowskii *
18. A. microcarpa * *
19. A. parvifolia *
20. A. rugosa * *
21. A. rostrata *
22. A. secundana *
23. A. sinensis * *
24. A. tomentosa *
25. A. urdanetensis *
26. A. yunnanensis * *
27. G. versteegii *
28. G. mollucana *
29. G. decipiens *
30. G. ledermanii *
31. G. salicifolia *
32. G. caudate *
33. G. podocarpus *
Tabel 3.3. Jenis tanaman penghasil gaharu (Non-CITES) yang tersebar di Indonesia
Nusa
No. Jenis Sumatera Jawa Kalimantan Sulawesi Maluku Papua
Tenggara
1. Aetoxylon sympetalum *
2. Alceodophoe oriaceae *
3. Arastemon urophyllus *
4. Dalbergia parviflora * * * *
5. Enkleia malaccensis * *
6. Excoecaria agallocha * * *
7. Linostoma scandens *
8. Myristica sp. *
9. Phaleria capitata *
10. Phaleria microcarpa *
11. Phaleria nisdai *
12. Phaleria macrocarpa *
13. Phaleria papuana *
14. Wikstroemia polyantha
15. W. androsaemifola * * * * *
16. W. tenuiramis * *
17. W. candoleana *
18. W. ridleyi *
19. Timoneus sericeus *
D. Faktor Lingkungan
Pemanenan Gaharu
Pemanenan gaharu adalah tahap proses yang penting dalam
kegiatan budidaya gaharu yang diinokulasi oleh jamur patogen
(Gambar 3.11 dan 3.12). Kemudahan dan kesulitan dalam proses
pemanen dipengaruhi oleh pola penyuntikan. Selain peralatan
yang digunakan, keterampilan pengukir gaharu memerlukan
keahlian yang tinggi agar hasil panen dapat maksimal, tanpa
kehilangan resin-resin gaharu utama akibat kesalahan prosedur
memanen. Selain itu, kadar air gaharu menjadi pertimbangan
ukuran biomasa yang dihasilkan. Sebagai contoh, pemanenan
tahap awal dihasilkan 25 kg gaharu, tetapi setelah dibiarkan
selama 30-50 hari berat gaharu dapat menyusut karena proses
pengeringan secara alami.
Gambar 3.11.
Proses pemanenan gaharu hasil budidaya dengan menggunakan peralatan pertukangan
yang sederhana
D. Peralatan
E. Penyuntikan
Gambar 3.16.
Pola penyuntikan gaharu dengan menggunakan mata bor dan alat suntik sederhana
dapat dilakukan 2-3 orang per tim suntik.
F. Keamanan
Gambar 3.18.
Ujicoba panen
Aquilaria malaccensis
umur 15 bulan
setelah suntik di
Sanggau, Kalimantan
Barat. Sebelah kiri
adalah potongan
pohon penghasil
gaharu dengan berat
45 kg, dan sebelah
kanan adalah contoh
gaharu yang
dihasilkan dengan
berat 4,5 kg.
H. Penebangan
I. Pengangkutan
K. Pengkelasan
M. Pemasaran
Penutup
Industri gaharu masa depan adalah gaharu hasil budidaya.
Pengolahan gaharu untuk berbagai diversifikasi produk yang
tinggi menuntut adanya temuan-temuan teknologi agar proses
pengolahan gaharu dapat lebih efektif san efisien. Melalui
diversifikasi produk gaharu, para konsumen gaharu diberikan
variasi pilihan untuk memanfaatkan gaharu sebagai bagian dari
hidup mereka seperti untuk incense, parfum, meditasi, obat-
obatan, dan aksesoris untuk praktek menjalankan ibadah
beberapa agama/kepercayaan.
Tahapan Teknik
No. Penjelasan
Inokulasi
A. Pohon (inang) 1. Pohon yang disuntik adalah pohon penghasil
gaharu
2. Diameter minimum 15 cm setinggi dada (dbh)
3. Pohon sehat, berdaun, dan tidak ada serangan
hama & penyakit.
B. Inokulan 1. Jamur yang digunakan adalah jamur pembentuk
gaharu.
2. Jamur diproduksi oleh laboratorium yang
kompeten dan tenaga ahli di bidang mikrobiologi
hutan.
3. Jamur telah teridentifikasi dengan pasti, misal
melalui teknik biologi molekuler (Analisis DNA)
4. Produk jamur mempunyai batas kadaluarsa
5. Kebutuhan jamur telah diperhitungkan untuk
jumlah pohon yang akan disuntik
C. Lingkungan 1. Perlu dipersiapkan peralatan untuk naik
tangga/steiger yang kuat dan kokoh untuk
keselamatan kerja yang melakukan kegiatan
penyuntikan.
2. Kegiatan penyuntikan dilakukan pada saat tidak
hujan.
3. Pertimbangkan kondisi konfigurasi tempat
tumbuh, misal kondisi pohon yang diperbukitan,
berbatu, dll.
D. Peralatan 1. Generator: 1.000-2.500 watt
2. bahan bakar bensin (campur) yang cukup
3. blender
4. alat bor listrik: 1 unit + 1 unit cadangan
5. mata bor: jari-jari sepeda motor untuk diameter
15-20 cm
6. mata bor: yang lebih panjang untuk diameter 30-
60 cm
7. Kabel listrik plus aksesorisnya: 15-20 m
8. alat suntik (bekas printer): 3-4 unit
9. alat-alat babat (golok, clurit, pahat, obeng, dll.)
Daftar Pustaka
Ajmal, A. (2011). Commercial Cultivation of Medicinal and
Aromatic plants in the North East region with particular
reference to Aquilaria species. Workshop on
implementation of CITES for agarwood-producing
species, 3-6 October 2011. Kuwait.
Donovan, D.G., and Puri, R.K. (2004). Synthesis: Learning from
traditional knowledge of non-timber forest products :
Penan Benalui and the autecology of Aquilaria in
Indonesian Borneo. Ecology and Society, 9 (3):3, 1-23.
Mucharromah. (2011). Development of eaglewood (gaharu) in
Bengkulu, Sumatera. Proceeding of gaharu workshop:
Development of gaharu production technology a forest
community based empowerment. ITTO PD425/06 Rev.1
(I). Bogor. 1-14p.
Pratiwi, Santoso, E., and Turjaman, M. (2011). Soil physical and
chemical properties of the gaharu (Aquilaria spp.) stands
habitat in West Java. Proceeding of gaharu workshop:
Development of gaharu production technology a forest
community based empowerment. ITTO PD425/06 Rev.1
(I). Bogor. 105-120p.
Pendahuluan
Gaharu merupakan komoditas hasil hutan yang bernilai tinggi.
Gaharu merupakan sebuah produk yang berbentuk gumpalan
padat berwarna coklat kehitaman sampai hitam dan berbau
harum yang terdapat pada bagian kayu atau akar pohon inang
yang telah mengalami proses perubahan fisika dan kimia akibat
terinfeksi oleh jamur (Siran, 2010). Masyarakat di Kalimantan
mengenal gaharu dengan sebutan garu, mengkaras atau garu
takaras (Heyne, 1987).
Thymelaeaceae
Marga dari famili ini diantaranya adalah:
- Aquilaria; habitus berupa pohon, daun tunggal, kedudukan
daun tersebar, permukaan atas daun licin mengkilat,
permukaan bawah daun berbulu halus, ujung daun
1. Aquilaria microcarpa
Nama lokal: tengkaras (Malaysia), hepang (Bangka), engkaras
(Kalimantan)
Ciri-ciri :
- Pohon mencapai tinggi 40 m dengan diameter 80 cm,
batang berkulit kelabu, beralur dangkal hingga pecah-
pecah, berserat panjang
- Daun berseling, oval sampai oblong, ukuran 4,5-10 x 1,5-
4,5 cm, pangkal daun menyempit, ujung runcing hingga
meruncing, urat daun sekunder berjumlah 12-19 pasang,
nampak jelas pada permukaan bawah daun, panjang
tangkai daun 3-5 mm.
- Perbungaan di ketiak atas daun, jumlah 6-11 bunga,
bentuk bunga berupa tabung, warna putih kekuningan,
panjang sekitar 5 mm, berbulu rapat.
- Buah bulat lonjong mendekati bentuk hati agak pipih
berukuran 8-12 mm x 10-12 mm.
- Biji berukuran 6 x 4 mm, berwarna kecoklatan, berbulu
halus, berjumlah 2 buah.
3. Aquilaria beccariana
Nama lokal: mengkaras puti (Sumatera), tanduk, garu
(Kalimantan)
Ciri-ciri :
- Pohon tinggi sampai 20 m dengan diameter 36 cm, kulit
batang licin, berwarna kelabu
- Daun elips sampai lanset berukuran 11-27 x 6-8,5 cm,
pangkal daun membaji, ujung runcing sampai meruncing,
urat daun sekunder melengkung naik ke arah tepi daun
dan berjumlah 15-25 pasang, panjang tangkai daun 5-7
mm.
4. Aquilaria hirta
Nama lokal: chamdan, kayu chandan (Malaya), karas
(Sumatera)
Ciri-ciri :
- Pohon setinggi 14 m, kulit batang berwarna keputihan dan
agak licin, ranting berbulu halus rapat berwarna coklat
terang
- Daun berbentuk lonjong sampai oblong, ada juga bulat
telur sampai lonjong berukuran 6,5-14 x 2,5-5,5 cm,
permukaan atas dan bawah daun mengkilap berbulu halus
terutama pada pertulangan daunnya, urat daun sekunder
melengkung kearah tepi daun berjumlah 16-30 pasang,
pangkal daun membaji-tumpul hingga membulat, ujung
daun runcing sampai meruncing.
- Bunga berwarna putih atau kuning muda, mahkota
berbentuk tabung dengan panjang 6-8 mm.
- Buah menonjol dari tabung bunga, lonjong sungsang,
runcing di ujung, menipis ke dasar, buah diselimuti bulu-
bulu halus,berukuran 5 x 1 cm
- Biji bulat telur, 10 x 6 mm, berparuh pendek, meruncing di
dasar, hitam mengkilap.
Gambar 4.2.
Buah A. malaccensis (Dok. Beny R.
dan Edi S.) dan sketsa buah A.
malaccensis (Dok. Flora Malesiana)
Gambar 4.3.
Sketsa buah A. beccariana
(Dok. Flora Malesiana)
Gambar 4.6.
Buah A. crassna (Dok. Beny R.
dan Edi S.)
6. Aquilaria crassna
Aquilaria crassna merupakan tumbuhan penghasil gaharu
endemik dari Kamboja, Laos, Thailand dan Vietnam. Jenis ini
sudah mulai ditanam di beberapa daerah di Indonesia.
Ciri-ciri :
- Pohon setinggi 30-40 m dengan diameter batang 40-50 cm
(Anonim, 2004).
- Bunga kecil berwarna kuning pucat. Buah obovoid
berukuran 3-4 cm, kulit luar sedikit berkerut (Kiet, 2005),
buah berbulu halus berwarna kuning keabu-abuan.
Kelopak besar dan panjang melebihi seperempat dari
panjang buah.
Pendahuluan
Pengembangan tanaman gaharu umumnya tidak bertujuan
untuk menghasilkan kayu, melainkan ditujukan untuk
menghasilkan resin gaharu yang terbentuk dari respon tanaman
akibat infeksi mikroba, khususnya jamur Fusarium sp.,
Cylindrocarpon sp., Trichoderma sp., Pythium sp., Phialophora
sp., dan Popullaria sp. (Santoso et al., 2007; Daijo and Oller,
2001; Parman et al., 1996; Sidiyasa dan Suharti, 1987). Di alam,
kurang dari 5% gaharu terbentuk dari populasi pohon dan bila
terbentuk biasanya kurang dari 10% biomas kayu pada pohon
yang terinfeksi. Namun, gaharu alam dapat mencapai kualitas
tertinggi (kelas super) yang harganya bisa mencapai Rp 30
juta/kg. Karena potensi harga yang sangat tinggi, eksploitasi
gaharu alam dilakukan tanpa mengindahkan kelestariannya.
Akibatnya populasi jenis-jenis gaharu menyusut tajam, sehingga
jenis ini dimasukkan dalam Appendix II CITES (Santoso et al.,
2007). Konsekuensinya, dalam perdagangan resmi, gaharu harus
dihasilkan dari pohon hasil budidaya, bukan dari alam.
Metode
A. Perbanyakan Generatif
Tabel 5.2. Persen jadi bibit (6 minggu setelah penaburan) dari hasil uji
penyimpanan biji
Tabel 5.3. Persen tumbuh bibit cabutan dari uji penyimpanan dan
kondisi tanam bibit
Periode simpan
Dalam sungkup (%) Tanpa sungkup (%)
(hari)
0 80 40
1 76 46
2 87 24
3 76 38
B. Perbanyakan Vegetatif
Tabel 5.4. Persen berakar stek dari rangkaian uji produksi stek
Persen
Tahapan
Spesies Perlakuan berakar
riset
(%)
1 A. crassna Tanpa pot-tray, siram 3 kali 40
seminggu, media cocopeat :
sekam = 2:1
1 A. crassna Dengan pot-tray, siram 3 kali 42
seminggu, media coc-peat :
sekam = 2:1
1 A. microcarpa Tanpa pot-tray, siram 3 kali 44
seminggu, media cocopeat :
sekam = 2:1
1 A. microcarpa Dengan pot-tray, siram 3 kali 47
seminggu, media cocopeat :
sekam = 2:1
2 Campuran Media sekam bakar, siram 1 17
A. crassna dan kali seminggu
A. microcarpa
2 Campuran Media pasir, siram 1 kali 31
A. crassna dan seminggu
A. microcarpa
2 Campuran Media zeolit, siram 1 kali 55
A. crassna dan seminggu
A. microcarpa
3 Campuran Media cocopeat : sekam = 1:1, 53
A. crassna dan siram 1 kali seminggu
A. microcarpa
3 Campuran Media cocopeat : sekam = 1:1, 69
A. crassna dan siram 2 kali seminggu
A. microcarpa
3 Campuran Media cocopeat : sekam = 1:1, 49
A. crassna dan siram 3 kali seminggu
A. microcarpa
Daftar Pustaka
Daijo, V. dan D. Oller. 2001. Scent of Earth. URL:http://store
.yahoo.com/scent-of-earth/alag.html (diakses : 5 Febuari
2001).
Hou, D. 1960. Thymelaceae. In : Flora Malesiana (Van Steenis,
C.G.G.J., ed). Series I, Vol. 6. Walter-Noodhoff,
Groningen. The Netherland. p. 1-15.
Parman, T., Mulyaningsih, dan Y. A. Rahman. 1996. Studi Etiologi
Gubal Gaharu Pada Tanaman Ketimunan. Makalah Temu
Pa-kar Gaharu di Kanwil Dephut Propinsi NTB. Mataram.
Sakai, C. and A. Subiakto. 2007. Pedoman Pembuatan Stek Jenis-
jenis Dipterokarpa dengan KOFFCO System. Badan
Litbang Kehutanan, Komatsu, JICA. Bogor.
Pendahuluan
Gaharu merupakan salah satu hasil hutan non kayu yang
mempunyai nilai penting, karena secara ekonomis jenis ini dapat
meningkatkan devisa negara dan sumber penghasilan bagi
masyarakat yang hidup di dalam maupun sekitar hutan. Gaharu
merupakan salah satu kayu aromatik penting, sehingga hasil
hutan non kayu ini menjadi subjek pemanenan yang cukup
tinggi. Ada beberapa jenis tumbuhan yang dapat menghasilkan
gaharu. Awalnya, gaharu berasal dari pohon tropika yang
terinfeksi jamur, seperti Aquilaria spp., Gonystylus spp.,
Wikstromeae spp., Enkleia spp., Aetoxylon spp., dan Gyrinops
spp. (Chakrabarty et al., 1994, Sidiyasa et al., 1986). Dalam
penulisan ini, fokus bahasan dilakukan terhadap karakteristik
tempat tumbuh jenis-jenis pohon dari genus Aquilaria, yaitu A.
malaccensis dan A. microcarpa. Genus ini termasuk dalam famili
Thymelaeaceae. Mengingat jenis pohon ini mempunyai nilai
ekonomi tinggi, maka keberadaan jenis perlu dipertahankan.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan
mengembangkan tanaman gaharu dalam hutan tanaman di
beberapa area. Oleh karena itu, beberapa informasi sehubungan
dengan habitat pohon penghasil gaharu perlu diinventarisasi,
termasuk sifat-sifat tanah dan komposisi vegetasi tumbuhan
bawah yang ada di sekitarnya, agar kemampuan lahannya dapat
diketahui.
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,
Teknologi Badan Litbang Kehutanan 89
Tanah sebagai bagian dari suatu ekosistem merupakan salah satu
komponen penyangga kehidupan, di samping air, udara, dan
energi matahari. Pratiwi dan Mulyanto (2000) serta Jenny (1941)
menyebutkan bahwa tanah merupakan hasil proses pelapukan
batuan yang dipengaruhi oleh faktor-faktor iklim, topografi,
organisme, dan waktu. Sifat-sifat tanah yang spesifik
mempengaruhi komposisi vegetasi yang ada di atasnya (Pratiwi,
1991). Selanjutnya Pratiwi dan Mulyanto (2000) menyatakan
bahwa penyebaran tumbuhan, jenis tanah, dan iklim (termasuk
iklim mikro) harus dipertimbangkan sebagai bagian dari
ekosistem yang terintegrasi. Sepanjang komponen tanah
bervariasi, maka tanah dan karakteristiknya akan berbeda-beda
dari satu tempat ke tempat lain. Tanah yang berbeda dengan
sistem lingkungan yang bervariasi akan menentukan vegetasi
yang ada di atasnya.
Metodologi
A. Lokasi dan Waktu Penelitian
C. Metode Penelitian
2. Pengamatan Vegetasi
Pengamatan vegetasi dilakukan terhadap seluruh vegetasi
yang ada dalam plot, yaitu pada tingkat pohon, belta, dan
semai. Kriteria pohon adalah tumbuhan dengan diameter
setinggi dada (1,3 m)>10 cm. Sedangkan belta merupakan
tumbuhan dengan diameter setinggi dada (1,3 m) antara 2 cm
hingga < 10 cm dan semai merupakan permudaan dari
kecambah hingga tinggi < 1,5 m (Kartawinata et al., 1976).
Plot-plot contoh berukuran 20 m x 20 m dibuat untuk
pengamatan pohon dengan interval 20 m pada jalur
sepanjang satu km. Sementara, pengamatan belta dilakukan
dengan membuat petak berukuran 10 m x 10 m di sepanjang
jalur tersebut dengan interval 10 m. Seluruh jenis pohon dan
belta dihitung dan diukur diameternya. Tingkat semai dan
tumbuhan bawah diamati dengan cara membuat petak 1 m x
1 m di dalam jalur pengamatan pohon dan belta. Seluruh
D. Analisis Data
2w
SI
ab
2. Sifat-Sifat Tanah
a. Sifat Fisik Tanah
Sifat fisik tanah, antara lain berkaitan dengan tekstur, berat
jenis, porositas, dan permeabilitas. Hasil penelitian sifat-sifat
fisik tanah disajikan pada Tabel 6.1, Tabel 6.2, dan Tabel 6.3.
Pada tabel tersebut terlihat bahwa ketiga lokasi penelitian
memiliki sifat-sifat fisik tanah yang relatif sama. Data analisis
tekstur tanah menunjukkan bahwa tanah di semua lokasi
penelitian memiliki kelas tekstur liat. Hal ini mengindikasikan
bahwa partikel tanah yang dominan adalah fraksi liat.
Implikasi dari kelas tekstur ini adalah retensi air dan hara
pada tanah ini relatif bagus. Dari data tekstur tanah dapat
dilihat juga bahwa tanah di dalam profil menunjukkan adanya
akumulasi liat. Ini berarti seluruh tanah di lokasi penelitian
memiliki sub horizon argilik.
Sifat fisik
Kedalaman Tekstur
Berat Porositas
(cm) Pasir Debu Liat Kelas
Jenis (%)
(%) (%) (%) tekstur
0-30 8,33 25,10 66,57 Liat
30-60 8,55 22,10 69,35 Liat
> 60 6,01 36,51 57,48 Liat
0 0,90 65,86
30 0,87 66,99
60 0,96 63,85
Sifat fisik
Kedalaman Tekstur
Berat Porositas
(cm) Pasir Debu Liat Kelas
Jenis (%)
(%) (%) (%) tekstur
0-30 8,33 12,59 79,08 Liat
30-60 6,33 11,98 81,69 Liat
> 60 5,13 9,09 85,78 Liat
0 0,93 64,99
30 0,84 68,45
60 0,90 66,21
Sifat fisik
Kedalaman Tekstur
Berat Porositas
(cm) Pasir Debu Liat Kelas
Jenis (%)
(%) (%) (%) tekstur
0-30 12,78 18,73 68,49 Liat
30-60 9,95 5,90 84,15 Liat
> 60 11,54 26,37 62,09 Liat
0 0,97 63,43
30 0,86 67,59
60 0,83 68,75
1. Umum
Analisis vegetasi dilakukan terhadap vegetasi/tumbuhan
bawah di Carita, Dramaga, dan Sukabumi. Areal ini
merupakan hutan tanaman pohon penghasil gaharu. Dengan
demikian, tingkat pohon, sapling serta tiang didominasi oleh
tanaman pohon penghasil gaharu. Oleh karena itu, analisis
vegetasi ditekankan pada tumbuhan bawah.
Kesimpulan
1. Tanah di tiga lokasi penelitian memiliki bahan induk yang
relatif sama, yaitu material vulkanik yang bersifat andesitik.
2. Perbedaan sifat-sifat fisik dan kimia tanah di lokasi penelitian
disebabkan perbedaan tingkat proses pelapukan yang
berhubungan dengan kondisi lingkungan dari proses
pelapukan tersebut.
3. Sehubungan dengan tingkat pelapukan, tanah Carita kurang
subur dibandingkan dengan Dramaga dan Sukabumi. Tingkat
kesuburan ini berhubungan dengan tingkat dari proses
pelapukan.
4. Sifat-sifat fisik dan kimia tanah di areal penelitian mendukung
pertumbuhan pohon penghasil gaharu.
5. Jenis dominan dan ko-dominan di masing-masing areal
penelitian berbeda. Di Carita, tumbuhan bawah yang
dominan adalah jampang (Panicum disachyum) dan jenis ko-
dominan adalah selaginela (Selaginella plana). Di Dramaga,
jenis dominan dan ko-dominan masing-masing adalah pakis
(Dictyopteris irregularis) dan seuseureuhan (Piper aduncum),
Daftar Pustaka
Allison, L.E. 1965. Organic Matter by Walkey and Black methods.
In C.A. Black (ed.). Soil Analyses. Part II.
Chakrabarty, K., A. Kumar and V. Menon. 1994. Trade in
Agarwood. WWF-Traffic India.
Jenny, H. 1941. Factors of Soil Formation. McGrawhill. New York.
280 p.
Lembaga Penelitian Tanah. 1962. Peta Tanah Tinjau Jawa dan
Madura. LPT. Bogor.
Mueller-Dumbois, D. and H. Ellenberg. 1974. Aims and Methods
of Vegetation Ecology. John Willey and Son. New York.
Pratiwi. 1991. Soil Characteristics and Vegetation Composition
Along a Topotransect in The Gunung Gede Pangrango
National Park, West Java, Indonesia. MSc. Thesis.
International Training Center For Post Graduate Soil
Scientists, Universiteit Gent, Belgium.
Pratiwi and B. Mulyanto. 2000. The Relationship Between Soil
Characteristics with Vegetation Diversity in Tanjung
Redep, East Kalimantan. Forestry and Estate Crops
Research Journal 1(1): 27-33.
Pendahuluan
Salah satu famili pohon tropika yang sekarang menjadi perhatian
dunia internasional adalah Thymelaeaceae. Famili pohon ini
sangat penting karena menghasilkan produk gaharu dan kayu
mewah untuk masyarakat di sekitar kawasan hutan di Asia
(Lemmens et al., 1998; Oyen dan Dung, 1999). Thymeleaceae
terdiri dari 50 genera dengan Aetoxylon, Gyrinops, Enkleia,
Gonystylus, Phaleria, Wikstroemia, dan Aquilaria yang
memproduksi gaharu (Ding Hou, 1960). Tingginya nilai produk
gaharu menyebabkan jenis-jenis ini mengalami kelebihan
pemanenan di seluruh kawasan Asia selama 20 tahun terakhir
(Paoli et al., 2001). Akibatnya, Aquilaria, Gyrinops, dan
Gonystylus pada saat ini telah dimasukkan ke dalam CITES
(Convention on the International Trade in Endangered Species)
Appendix II (CITES 2005). Jenis-jenis Aquilaria pada umumnya
banyak dijumpai pada hutan-hutan primer dan sekunder dataran
rendah di Indonesia, Papua Nugini, Thailand, Malaysia, Vietnam,
India, Bangladesh, Bhutan, Myanmar, China, Cambodia, dan
Filipina. Jenis-jenis ini merupakan sumber utama dari kayu
gaharu (semacam kayu yang mempunyai resin wangi) yang
termasuk dalam urutan teratas dari kelompok hasil hutan bukan
kayu bernilai sangat tinggi yang berasal dari hutan tropika.
Produk gaharu biasanya digunakan sebagai bahan dasar parfum,
B. Media Semai
E. Parameter Pertumbuhan
G. Analisis Statistik
Daftar Pustaka
Adjoud, D., C. Plenchette, R. Halli-Hargas and F. Lapeyrie. 1996.
Response of 11 Eucalyptus Species to Inoculation with
Three Arbuscular Mycorrhizal Fungi. Mycorrhiza 6 : 129-
135.
Brundrett, M., N. Bougher, B. Dell, T. Grove and N. Malajczuk.
1996. Working with Mycorrhizas in Forestry and
Agriculture. ACIAR Monograph 32, Canberra.
CITES. 2005. Convention on International Trade in Endangered
Species of Wild Fauna and Flora. Appendices I, II and III
of CITES. UNEP. 48 pp.
Ding Hou. 1960. Thymelaeaceae. In : Van Steenis, C.G.G.J. (ed)
Flora Malesiana. Series I, Vol. 6. Wolters-Noordhoff,
Groningen, The Netherlands. p. 1-15.
Duponnois, R., H. Founoune, D. Masse and R. Pontanier (2005).
Inoculation of Acacia holosericea with Ectomycorrhizal
Fungi in a Semiarid Site in Senegal : Growth Response
and Influences on The Mycorrhizal Soil Infectivity After 2
Years Plantation. Forest Ecology and Management 207 :
351-362.
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,
118 Teknologi Badan Litbang Kehutanan
Eurlings, M.C.M. and B. Gravendeel. 2005. TrnL-TrnF Sequence
Data Imply Paraphyly of Aquilaria and Gyrinops
(Thymelaeaceae) and Provide New Perspectives for
Agarwood Identification. Plant Systematics and
Evolution 254 : 1-12.
Giri, B. and K.G. Mukerji. 2004. Mycorrhizal Inoculant Alleviates
Salt Stress in Sesbania aegyptiaca and Sesbania
grandiflora Under Field Conditions: Evidence for Reduced
Sodium and Improved Magnesium Uptake. Mycorrhiza
14 : 307-312.
Guisso, T., A.M. B, J-M.Ouadba, S. Guinko and R. Duponnois.
1998. Responses of Parkia biglobosa (Jacq.) Benth,
Tamarin-dus indica L. and Zizyphus mauritiana Lam. to
Arbuscular Mycorrhizal Fungi in a Phosphorus-Deficient
Sandy Soil. Biology and Fertility Soils 26 : 194-198.
Lemmens, R.H.M.J., I. Soerianegara and W.C. Wong (Eds.). 1998.
Timber Trees: Minor Commercial Timbers. Plant
Resources of South-East Asia No. 5 (2). Prosea, Bogor,
Indonesia.
McGonigle, T.P., M.H. Miller, D.G. Evans, G.L. Fairchild and J.A.
Swan. 1990. A New Method Which Gives an Objective
Measure of Colonization of Roots by Vesicular-
Arbuscular Mycorrhizal Fungi. New Phytologist 115 : 495-
501.
Michelsen, A. and S. Rosendhal. 1990. The Effect of VA
Mycorrhizal Fungi, Phosphorus and Drought Stress on
The Growth of Acacia nilotica and Leucaena
leucocephala Seedlings. Plant and Soil 124 : 7-13.
Muthukumar, T., K. Udaiyan and V. Rajeshkannan. 2001.
Response of Neem (Azadirachta indica A. Juss) to
Indigenous Ar-buscular Mycorrhizal Fungi, Phosphate-
Solubilizing and Asymbiotic Nitrogen-Fixing Bacteria
Pendahuluan
Gaharu merupakan salah satu hasil hutan bukan kayu (HHBK)
yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi, karena harga jualnya
yang dapat mencapai Rp 30 juta/kg untuk kualitas super gaharu
alam (Siran dan Turjaman 2010). Gaharu diperdagangkan untuk
keperluan industri parfum, kosmetik, dupa/hio, pengawet
berbagai jenis asesoris dan obat-obatan (Sumarna 2005) dan
juga acara ritual keagamaan (Barden et al. 2000).
Gambar 8.2. Hifa Fusarium pada jaringan anatomi batang Aquilaria microcarpa
Abundanc e
T IC : I_ 1 .D
T IC : I_ 2 .D
2800000
2600000
2400000
2200000
2000000
1800000
1600000
1400000
1200000
1000000
800000
600000
400000
200000
4 .0 0 5 .0 0 6 .0 0 7 .0 0 8 .0 0 9 .0 0 1 0 .0 0 1 1 .0 0 1 2 .0 0 1 3 .0 0 1 4 .0 0 1 5 .0 0 1 6 .0 0 1 7 .0 0
T im e -->
Daftar Pustaka
Agrios GN. 1997. Plant Pathology. New York. Academic Press.
Barden A, Anak NA, Mulliken T and Song M. 2000. Heart of the
matter: Agarwood use and trade and CITES
implementation for Aquilaria malaccensis. TRAFFIC
report.
Christiansen E 1999. Mechanical injury and fungal infection
induce acquired resistance in norway spruce. J Tree
Physiol 19: 399-403.
Dai H, Liu J, Zeng Y, Han Z, Wang H and Mei W. 2009. A New 2-
(2-Phenylethyl) Chromone from Chinese Eaglewood.
Molecules, ISSN 1420-3049. [diunduh; 28 Agustus 2009]
Tersedia pada; www.mdpi.com/journal/molecules
Pendahuluan
Gaharu, yang merupakan produk komersil bernilai ekonomis
tinggi, sebenarnya merupakan endapan resin yang terakumulasi
pada jaringan kayu sebagai reaksi pohon terhadap perlukaan
atau infeksi penyakit. Gaharu telah diperdagangkan sejak ratusan
tahun lalu. Menurut Suhartono dan Mardiastuti (2002),
perdagangan produk ini di Indonesia pertama kali tercatat pada
abad ke-5 Masehi, di mana China dilaporkan sebagai pembeli
utama. Dalam perdagangan internasional, komoditas ini dikenal
dengan berbagai nama seperti agarwood, aloeswood, karas,
kresna, jinkoh, oudh, dan masih banyak lagi nama lainnya.
Bentuk perdagangan gaharu beragam, mulai dari bongkahan,
chip, serbuk, dan minyak gaharu (Surata dan Widnyana, 2001).
Komoditas berbentuk minyak biasanya diperoleh dari
penyulingan atau ekstraksi chip gaharu dari kelas yang bermutu
rendah.
Saat ini, gaharu bernilai jual tinggi terutama dari resin wanginya
yang disebut sebagai scent of God, meskipun penggunaan
produk ini sebenarnya tidak terbatas hanya pada bidang
wewangian saja. Pada prinsipnya, pemanfaatan gaharu adalah
untuk pengobatan, incense, dan parfum (Barden et al., 2000).
Incense gaharu digunakan dalam ritual kepercayaan dan
upacara-upacara religius keagamaan, sebagai pengharum
ruangan, sembahyang, serta benda-benda rohani seperti rosario
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,
Teknologi Badan Litbang Kehutanan 135
dan tasbih (Barden et al., 2000). Sementara itu, gaharu juga
digunakan dalam bidang pengobatan sebagai analgesik dan anti
imflamatory (Trupti et al., 2007). Gaharu diketahui bermanfaat
untuk mengatasi berbagai penyakit seperti sakit gigi, ginjal,
rematik, asma, diare, tumor, diuretic, liver, hepatitis, kanker,
cacar, malaria, obat kuat pada masa kehamilan dan bersalin, juga
memiliki sifat anti racun, anti mikrobia, stimulan kerja saraf dan
pencernaan (Heyne, 1987; Barden et al., 2000; Adelina, 2004;
Suhartono dan Mardiastuti, 2002).
B. Metode
C. Teknik Inokulasi
1. Inokulasi
Karakter morfologi
Kode
No. Diameter
isolat Asal lokasi Aerial Warna
koloni
Koloni pada mm/7 hari Miselium Medium PDA
1 Ga-1 Kalteng 61 Ada,+++ Putih, kuning muda
2 Ga-2 Maluku 49 Ada,++ Putih, coklat muda
3 Ga-3 Sukabumi 48 Ada,+ Coklat muda
4 Ga-4 Kalsel 50 Ada,++ Putih
5 Ga-5 Kaltim 45 Ada,++ Putih
6 Ga-6 Belitung 38 Ada,+ Putih
7 Ga-7 Riau 59 Ada,++ Putih krem
8 Ga-8 Bengkulu 49 Ada,++ Putih
9 Ga-9 Jambi 59 Ada,+++ Putih krem, coklat
muda
10 Ga-10 Padang 61 Ada,+++ Putih
11 Ga-11 Gorontalo 58 Ada,+++ Putih kecoklatan
12 Ga-12 Lampung 58 Ada,+++ Putih tulang, merah
muda
13 Ga-13 Bangka 59 Ada,+++ Putih
14 Ga-14 Bogor 61 Ada,++ Putih
15 Ga-15 Mentawai 56 Tidak ada Coklet, kuning, putih
16 Ga-16 Kaltim LK 57 Ada,+ Putih, unggu
17 Ga-17 Kalbar 59 Ada,+++ Putih krem
18 Ga-18 Yanlapa 58 Ada,++ Putih, kuning muda
19 Ga-19 Mataram 52 Ada,++ Putih
20 Ga-20 Kalsel MIC 50 Ada,++ Putih, kuning muda
21 Ga-21 Kaltel TL 69 Ada,++ Putih, krem
Kelimpahan relatif aerial miselium: + Sedikit, ++ Cukup banyak, +++ Banyak
b. Warna Koloni
c. Diameter Koloni
Gambar 9.1. Pengeboran batang pohon contoh (A) dan injeksi isolat
pada lubang bor (B)
Gambar 9.2. Keragaman morfologi Fusarium spp. (isolat Ga-1, Ga-2, Ga-3, Ga-
4, Ga-5, Ga-6, Ga-7, dan Ga-8) umur tujuh hari pada medium PDA
Gambar 9.4. Keragaman morfologi Fusarium spp. (isolat Ga-17, Ga-18, Ga-
19, Ga-20, dan Ga-21) umur tujuh hari pada medium PDA
Karakter histologi
No Kode Makrokonidia Mikrokonidia
Jumlah septa Konidiofor Kelimpahan Bentuk
1 Ga-1 3 Simpel Banyak Elips
2 Ga-2 4 Bercabang Banyak Elips, oval
3 Ga-3 3 Simpel Banyak Elips
4 Ga-4 4-7 Simpel Banyak Elips, oval
5 Ga-5 2 Simpel Sedikit Elips
6 Ga-6 3 Simpel Sedikit Elips, oval
7 Ga-7 2 Simpel Sedikit Elips, oval
8 Ga-8 2 Simpel Sedikit Elips, lonjong
9 Ga-9 5 Simpel Sedikit Elips, sekat
10 Ga-10 3 Simpel Banyak Elips, sekat
11 Ga-11 4 Bercabang Banyak Elips
12 Ga-12 5 Simpel Banyak Elips
13 Ga-13 4 Simpel Sedikit Elips
14 Ga-14 7 Simpel Sedikit Elips
15 Ga-15 4 Bercabang Banyak Elips
16 Ga-16 7 Simpel Sedikit Elips, sekat 3
17 Ga-17 5 Bercabang Sedikit Elips
18 Ga-18 3 Bercabang Banyak Elips
19 Ga-19 4 Simpel Banyak Elips
20 Ga-20 2 Bercabang Sedikit Elips, oval
21 Ga-21 3 Bercabang Banyak Elips
Tabel 9.4. Uji lanjut Duncan untuk infeksi 2 bulan umur inokulasi
Kesimpulan
1. Secara morfologi isolat Fusarium spp. didominasi warna
putih, namun terdapat warna koloni merah muda, kuning,
dan ungu. Hampir semua isolat memiliki aerial miselium.
Secara histologi, isolat Fusarium spp. memiliki karakter
makrokonidia bersepta 3-4 dan makrokonidia didominasi oleh
bentuk elips.
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,
Teknologi Badan Litbang Kehutanan 153
2. Uji perbedaan kecepatan tumbuh menunjukkan bahwa isolat
Ga-9, Ga-11, dan Ga-17 merupakan isolat yang memiliki
kecepatan tumbuh tinggi apabila dibandingkan dengan isolat
Fusarium yang lain.
Daftar Pustaka
Adelina, N. 2004. Seed Leaflet: Aquilaria malaccensis Lamk.
Forest and Landscape Denmark. www.SL.kvl.dk. [2
Februari 2007].
Barden, A., A.A. Nooranie, M. Teresia, and S. Michael (2000).
Heart of The Matter Agarwood Use and Trade and CITES
Implementation for Aquilaria malaccensis, TRAFFIC
Network. pp. 2.
Booth, C. (1971). The Genus Cylondrocarpon. (England:
Commonwealth Mycological Institute). pp. 120-127.
Cowan, M. 1999. Plant Products as Antimicrobial Agents. Clinical
microbiology Review.12 (4) : 564-582.
Forestry Commission GIFNFC. 2007. Chemicals from Trees. http:
//treechemicals. csl. gov.uk/review/extraction.cfm. [14
Juli 2007].
Pendahuluan
Gaharu dikenal masyarakat sebagai hasil hutan bukan kayu
(HHBK) yang merupakan salah satu komoditi yang cukup
potensial. Wangi harum yang khas biasa dimanfaatkan untuk
keperluan keagamaan. Selain itu, gaharu juga digunakan sebagai
bahan pembuat parfum, sabun sari aroma gaharu, pengobatan,
dan sampo (Ng et al. 1997; Chakraburty et al., 1994 dalam
Kosmiatin et al., 2005). Kayu gaharu juga cocok digunakan untuk
pembuatan pensil (Lopez, 1998 dalam Kosmiatin et al., 2005).
Sebagai salah satu komoditi potensial, permintaan ekspor gaharu
semakin meningkat. Perdagangan gaharu yang meningkat setiap
tahunnya juga menjadi ancaman bagi keberadaan spesies
tersebut, terutama Gyrinops dan Aquilaria, sehingga keduanya
dimasukkan dalam Appendix II CITES (Convention on
International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and
Flora) (CITES, 2005).
C. Metode Kegiatan
Persentase
Skor Kategori Deskripsi
serangan
0 Sehat 0 Tidak ada serangan / daun lebat
1 Ringan 1 20% Daun yang rusak 1/5 dari jumlah
seluruh daun
2 Sedang 21 40% Daun yang rusak 2/5 dari jumlah
seluruh daun
3 Agak 41 60% Daun yang rusak 3/5 dari jumlah
berat seluruh daun
4 Berat 61 80% Daun yang rusak 4/5 dari jumlah
seluruh daun
5 Sangat > 80% Daun yang rusak > 80% dari
berat jumlah seluruh daun
Gambar 10.2.
Ulat
P. hermesalis
bersembunyi
di dalam
lipatan daun
gaharu
Gambar 10.3.
Bagian
epidermis daun
yang
transparan
Gambar 10.4.
a
(a) Motif tubuh ulat jenis H. vitessoides,
punggung polos dengan garis warna putih
sepanjang ruas tubuh H. vitessoides, (b) Motif
tubuh ulat jenis P. hermesalis, punggung
berbentuk segiempat P. Hermesalis
a b
Gambar 10.5. (a) Kepala ulat jenis H. vitessoides, (b) Kepala ulat jenis P.
Hermesalis
Gambar 10.6. Pembesaran gambar 75x terhadap: (a) Kepala ulat jenis H. vitessoides,
(b) Kepala ulat jenis P. Hermesalis
a b
Gambar 10.7. (a) Ngengat ulat jenis H. vitessoides, (b) Ngengat ulat jenis P.
Hermesalis
a b
Gambar 10.8. (a) Tiga pasang Trueleg, (b) Proleg pada ruas tubuh
Kesimpulan
Ulat jenis P. hermesalis berpotensi sebagai hama daun gaharu di
desa Gumbil, kabupaten Kandangan, Kalimantan Selatan, dengan
persentase serangan sebesar 51,79% dan tingkat kerusakan pada
daun sebesar 25%. P. hermesalis memakan daun hingga tersisa
bagian epidermisnya saja kemudian bersembunyi pada lipatan
daun sebagai sarang. Secara morfologi P. hermesalis berbeda
dengan H. vitessoides dalam hal corak biru pada tubuhnya,
warna ngengat dan bentuk sungut.
Pendahuluan
A. Latar Belakang
B. Tujuan
B. Metodologi Penelitian
A. Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Phylum : Arthropoda
Class : Insecta
Order : Lepidoptera
Family : Pyraloidea
Genus : Heortia
Species : Heortia Vitessoides Moore 1885
Telur 10 hari
Ngengat (4 hari)
Larva 23 hari
Kepompong (8 hari) Telur (23 hari)
Ulat
Larva (8 hari)
Kepompong 8 hari
Ngengat 4 hari (Kalita et al.; 2008)
Daftar Pustaka
Gurung. D, N.Dutta and P.C. Shaman, 2008. On The Insect Pests.
Of Aquilaria agallocha (Roxb) Rai Forest Research
Institute. (Availlable from http : //rfri.icfre.gov.in/
rpap13.htm. Diunduh 8 Desember 2008)
Herbison Evans & Stella Crossley 2008 Heortia vitessoides
Moore, (1885) (Available From http://
lines.socs.uts.edu.au/~don/larvae/odon/vitessoides.htm.
Diunduh 8 Desember 2008)
J. Kalita : Bhattacharyya P.R ; Nath S.C (2008) Heortia vitessoides
Moore (Lepidoptera Pyralidae) A serious pest of
agarwood plant (Aquilaria mallacensis Lamk.)
Santoso E, M. Turjaman, I. R. Sitepu, dan R. SB Irianto. 2008.
Hama daun gaharu. tidak diterbitkan)
Pendahuluan
Gaharu merupakan komoditi hasil hutan bukan kayu (HHBK).
Berdasarkan aspek ekonomi, gaharu memberikan kesejahteraan
masyarakat Indonesia karena permintaan dan kebutuhan gaharu
dunia dari tahun ke tahun semakin meningkat (Siran dan
Turjaman, 2010). Beberapa komoditi gaharu telah masuk CITES
(the Convention on International Trade in Endangered Species of
Wild Fauna and Flora) Appendix II sejak satu dekade yang lalu
dan memberi tanda bahwa jenis pohon ini dalam status langka,
sehingga perlu diambil tindakan penyelamatan berupa riset dan
penanaman berbagai jenis pohon penghasil gaharu di seluruh
Indonesia. Saat ini, tata niaga dan pasar gaharu di Indonesia
lebih mengatur produk gaharu alam, namun tidak
mengakomodir produk gaharu hasil budidaya. Kebijakan dan
pelaksanaan CITES Indonesia yaitu berupa pengaturan kuota
untuk perusahaan eksportir gaharu di seluruh Indonesia hanya
diatur satu asosiasi pengusaha gaharu yang disingkat ASGARIN.
Kondisi tata niaga seperti ini membuat posisi tawar bagi para
pengumpul gaharu alam maupun petani gaharu budidaya
menjadi lemah karena diterapkannya sistem Monopsoni-Legal,
yaitu pedagang menentukan harga gaharu, baik alam maupun
budidaya.
Gambar 12.2.
Outlet gaharu
alam yang
dipasarkan
eceran di mal-
mal negara-
negara Timur
Tengah
Ekonomi Gaharu
Gaharu merupakan salah satu komoditi yang dapat dibuat dalam
bentuk macam produk yang bermanfaat bagi kehidupan sehari-
A. Gubal
Klasifikasi
No Sub Klas Kisaran Harga
Gaharu
I. GUBAL
1. - SUPER - Double Super 10.000.000 s/d 25.000.000
2. - AB - Super Tanggung 5.000.000 s/d 7.000.000
3. - BC - Kacang A 2.000.000 s/d 3.500.000
4. - TA - Kacang B 1.000.000 s/d 2.000.000
5. - TERI - Teri A 750.000 s/d 1.000.000
- Teri B 500.000 s/d 750.000
- Teri C 300.000 s/d 500.000
II. KEMEDANGAN
1. - SABAH - Sabah Tenggelam 1.000.000 s/d 3.000.000
- Sabah Biasa 500.000 s/d 1.000.000
2. - TGC - Medang A 75.000 s/d 100.000
- Medang B 50.000 s/d 75.000
- Abuk Super 50.000 s/d 100.000
- Abuk Medang 25.000 s/d 50.000
- Abuk Kerokan 5.000 s/d 25.000
B. Minyak gaharu
Gambar 12.4. Minyak gaharu hasil destilasi dari berbagai bahan baku
kelas abuk dari gaharu alam Indonesia
C. Parfum
Gambar 12.5.
Contoh parfum merek SAMSARA yang
menggunakan minyak gaharu
sebagai salah satu bahan racikan
parfum
Gambar 12.6. Produksi Dupa/Hio di pabrik gaharu PT. P&I Taipei, Taiwan
produk dupa alami, seperti bahan baku yang berasal dari gaharu.
Penggunaan gaharu sebagai bahan dupa/hio ini sangat tinggi.
Perhitungan sederhana saja, apabila di Republik Rakyat China
(RRC) diasumsikan terdapat 10% dari total penduduknya 1,3 M
Tasbih merupakan
perlengkapan atau
aksesoris yang biasa
digunakan dalam
aktivitas keagamaan
(Gambar 12.8).
Bahan baku tasbih
dapat berupa gaharu Gambar 12.8.
dari kelas buaya yang Tasbih yang terbuat dari kayu gaharu
H. Sabun gaharu
I. Bubuk gaharu
K. Teh gaharu
L. Dekoratif/Artistik
Gambar 12.13.
Akar pohon penghasil gaharu dari Papua yang
dimanfaatkan untuk kepentingan dekoratif/artistik
Gambar 12.14.
Tata niaga gaharu pemungut
gaharu sampai ke pedagang
besar
Selama ini, tata niaga gaharu alam masih berpusat di dua kota
besar, yaitu Jakarta dan Surabaya (Gambar 12.15). Semua gaharu
alam yang berasal dari berbagai pulau di Indonesia akan masuk
ke dua kota tersebut. Alat transportasi umum yang digunakan
adalah kapal laut, pesawat dan truk. Kondisi geografi Indonesia
yang terdiri atas pulau-pulau menyebabkan penyelundupan
Gambar 12.15.
Tata niaga gaharu alam dari berbagai pulau besar di Indonesia
yang semua produk gaharunya mengalir dan berpusat ke Jakarta
dan Surabaya
Turjaman, 2010).
Gambar 12.17.
Bagan alir tata niaga gaharu alam dari daerah asal ke daerah tujuan
lokal dan akhirnya daerah tujuan ekspor
Gambar 12.18.
Bagan alir kemungkinan terjadi
penyelundupan gaharu alam dari sentra
gaharu Papua New Guinea, Papua, dan
Maluku ke beberapa negara tujuan
ekspor
Gambar 12.19.
Data ekspor gaharu
Indonesia mulai
tahun 1975-2005
(Data BPS)
Berdasarkan data
Biro Pusat Statistik
(BPS), ekspor gaharu
alam sejak tahun
1975-1998 rata-rata
di bawah 200 ton per
tahun dengan kualitas yang masih tinggi. Begitu terjadi
peningkatan harga minyak dunia, permintaan gaharu alam dari
Timur Tengah sangat tinggi, maka terjadilah peningkatan ekspor
gaharu alam dengan volume sekitar 400 ton per tahun (Gambar
12.19.). Pada tahun 2004 terjadi peningkatan ekspor hingga
1.400 ton per tahun, namun kemungkinan kualitas gaharunya
sangat rendah, seperti pemanfaatan gaharu alam dari rawa-rawa
yang tenggelam yang berasal dari Papua untuk diambil resin
gaharunya. Resin tersebut digunakan untuk membuat produk
Daftar Pustaka
Donovan, D.G., and Puri, R.K. (2004). Synthesis: Learning from
traditional knowledge of non-timber forest products :
Penan Benalui and the autecology of Aquilaria in
Indonesian Borneo. Ecology and Society, 9 (3):3, 1-23.
Jensen, A., and Meilby, H. (2008) Does commercialization of a
non-timber forest product reduce ecological impact? A
case study of the critically endangered Aquilaria crassna
in Lao PDR. Oryx 42 (02) :214-221.
Kakino, M., Izuta, H., Ito, T., Tsuruma, K., Araki, Y., Shimazawa,
M., Oyama, M., Iinuma, M., Hara, H. (2010). Agarwood
induced laxative effects via Acetylcholine receptors on
Laperamide-Induced constipation in mice. Biosci.
Biotechnol. Biochem. 74 (8): 1550-1555.
Kenmotsu, Y., Yamamura, Y., Ogita, S., Katoh, Y., and Kurosaki, F.
(2010). Transcriptional activation of putative calmodulin
genes Am-cam-1 and Am-cam-2 from Aquilaria
microcarpa, in response to external stimuli. Biol. Pharm.
Bull. 33: 1911-1914.
Pendahuluan
Pembangunan tanaman penghasil gaharu mulai marak
dilaksanakan, baik oleh pemerintah maupun oleh sektor swasta
termasuk masyarakat umum. Gairah penanaman pohon
penghasil gaharu dipicu oleh prospek nilai komersial komoditi
resin gaharu yang tinggi. Sebelum era penanaman pohon
penghasil gaharu digencarkan, eksploitasi gaharu dilakukan di
hutan alam dengan menebang pohonnya. Di hutan alam tropis
Indonesia, pohon penghasil gaharu (Aquilaria spp. dan Gyrinops
spp.) bukan merupakan kelompok pohon penghasil gaharu
dominan. Hal ini dicirikan dengan indeks nilai penting (INP) yang
relatif rendah, seperti di Taman Nasional Bukit Tiga Puluh untuk
Aquilaria spp. dengan INP tingkat pohon 2,27 (Antoko dan
Kwatrina, 2006). Demikian pula dengan INP jenis gaharu lainnya,
yaitu Gyrinops spp. di Sulawesi Tengah dengan INP 1,03
(Sidiyasa, K. 1989). Pemanenan intensif pada jenis-jenis yang
secara alami tidak dominan atau populasi alamnya terbatas
dinilai akan mempercepat penurunan populasinya. Penurunan
tajam populasi pohon penghasil gaharu alam memang terjadi
dan sejak tahun 1994 pohon penghasil gaharu telah dimasukan
dalam Appendix II CITES (Siran, 2010). Konsekuensi dari
masuknya pohon penghasil gaharu dalam Appendix II CITES
Tidak seperti HHBK lainnya, seperti getah pinus dan damar yang
yang dapat langsung dipanen begitu tanaman telah mencapai
diameter tertentu, untuk mendapatkan resin gaharu harus
dilakukan inokulasi mikroba penginduksi resin gaharu. Oleh
sebab itu, penanaman pohon penghasil gaharu harus diikuti
dengan induksi pohon bila tanaman telah mencapai diameter
tertentu. Pada prinsipnya, komponen dalam perhitungan biaya
penanaman pohon penghasil gaharu adalah sama dengan jenis
pohon lainnya. Namun, harga bibit pohon penghasil gaharu
relatif lebih tinggi dibandingkan dengan jenis pohon lainnya,
yaitu dengan kisaran Rp 4.000,- sampai Rp 20.000,- per bibitnya.
Perlu diingat pula bahwa untuk sampai menghasilkan resin
gaharu, masih ada satu tahapan biaya yang harus dikeluarkan,
yaitu untuk kegiatan induksi resin gaharu dengan inokulasi
mikroba. Tulisan ini menyajikan perhitungan biaya penanaman
tahun pertama pohon penghasil gaharu dengan berbagai pola.
Biaya untuk inokulasi mikrobanya disajikan pada tulisan lain
secara terpisah.
Penanaman Gaharu
Hampir di seluruh pelosok tanah air dapat dijumpai kegiatan
penanaman pohon penghasil gaharu yang umumnya dilakukan
oleh masyarakat. Proyek ITTO PD 425 melakukan kegiatan
penanaman pohon penghasil gaharu pada skala yang cukup luas
di KHDTK Carita, Banten, dan Kandangan-Barabai, Kalsel. Pada
tahun 2009-2010 di KHDTK Carita telah ditanam 15.000 bibit
pohon penghasil gaharu pada kawasan seluas 24 ha. Penanaman
pohon penghasil gaharu dilakukan di bawah naungan berbagai
vegetasi, seperti tegakan Dipterokarpa, tanaman cengkeh, petai,
nangka, dan lain-lain. Pada kurun waktu yang sama, penanaman
Gambar 13.1. Tanaman penghasil gaharu gaharu umur 1 tahun 6 bulan di KHDTK
Carita, Banten (kiri) dan kegiatan penanaman pohon penghasil gaharu
di Kandangan, Kalsel (kanan)
Penutup
Peningkatan gairah penanaman pohon penghasil gaharu hampir
melanda di seluruh kawasan tanah air akan membangkitkan
beberapa sektor usaha terkait, seperti pengadaan bibit atau
industri produk turunan gaharu, seperti beragam kosmetik
berbahan aroma gaharu. Gaharu dinilai sebagai komoditi ekspor
kehutanan yang prospektif dan strategis yang akan
membangkitkan beragam sektor usaha, seperti halnya komoditi
kelapa sawit di sektor perkebunan.
Daftar Pustaka
Antoko, B. S., dan Kwatrina, R. T. 2006. Potensi Keragaman Jenis
Flora Pada Kawasan Wisata Alam di Granit Training
Center, T.N. Bukit Tiga Puluh, Riau. J. Pen.Htn & KA. III-6 :
513-532.
Prosea, 1999. Essential-oil plants. No. 19. L.P. Oyen & Nguyen
Xuan Dung (Eds). Backhuys Publishers, Leiden. Pp. 277.
Ragil, S. B. I., Santoso, E., Turjaman, M. Sitepu, I. R. 2010. Hama
Pada Pohon Penghasil Gaharu dan Teknik
Pengendaliannya. Info Hutan. VII-2 : 225-228.
Sidiyasa, K. 1989. Beberapa Aspek Ekologi Diospyros celebica
BAKH. Di Sausu dan Sekitarnya, Sulawesi Tengah. Bul.
Pen. Hut. 508 : 15-26.
Siran, S. A. 2010. Perkembangan Pemanfaatan Gaharu. Dalam :
Pengembangan Teknologi Produksi Gaharu Berbasis
Pemberdayaan Masyarakat. (Siran, S. A. & Turjaman, M.
Ed). 1-30.
Sitepu, I. R., Santoso, E., dan Turjaman, M. 2010. Fragant Wood
Gaharu : When The Wild Can No Longer provide. Foest
and Nature Conservation Research and Development
Center. Bogor.
Pendahuluan
Gaharu merupakan salah satu tanaman hutan yang mempunyai
nilai ekonomi tinggi karena kayunya mengandung resin yang
harum. Sejenis resin beraroma ini berasal dari tanaman jenis
Aquilaria, Gyrinops, dan Gonystylus. Jika tanaman ini terluka,
rusak atau terinfeksi, baik disebabkan penyakit atau serangan
serangga, akan menghasilkan resin/substansi aromatik berupa
gumpalan atau padatan berwarna coklat muda sampai coklat
kehitaman yang terbentuk pada lapisan dalam sebagai reaksi dari
infeksi/luka tersebut. Resin ini sebetulnya dapat melindungi
tanaman dari infeksi yang lebih besar, sehingga dapat dianggap
sebagai sistim imunitas yang dihasilkan (Squidoo, 2008).
Metodologi
Tulisan ini merupakan hasil desk study dari berbagai pustaka,
laporan hasil penelitian, dan data statistik yang tersedia. Data
dan informasi, serta literatur tersebut dihimpun dari berbagai
sumber antara lain: Kementerian Kehutanan, CITES, BPS, Asosiasi
Gaharu Indonesia (ASGARIN), serta berbagai terbitan lainnya.
dimana:
NPV = Net Present Value (Nilai Kini Bersih),
Bt = benefit atau penerimaan pada tahun t,
Ct = biaya pada tahun t,
i = tingkat diskonto atau potongan (=bunga bank yang berlaku),
n = umur ekonomi proyek (cakrawala waktu).
NPV1
IRR i1 (i2 i1) (2)
NPV1 NPV2
dimana:
IRR = Internal Rate of Raturn (tingkat keuntungan internal),
i1 = tingkat diskonto untuk menghasilkan NPV1 mendekati nol,
NPV1 = nilai NPV mendekati nol positif,
i2 = tingkat diskonto untuk menghasilkan NVP2 negatif mendekati
nol,
NPV2 = nilai NPV negatif mendekati nol.
Suatu bisnis dinyatakan layak secara finansial bilai nilai IRR lebih
besar dari tingkat suku pinjaman di bank yang berlaku saat ini.
dimana:
B/C = Benefit Cost Ratio ( Rasio penerimaan-biaya),
Bt = benefit atau penerimaan pada tahun t,
Ct = biaya pada tahun t,
i = tingkat diskonto,
n = umur ekonomis proyek.
Keterangan:
Pakhir = Proporsi bagi hasil tanaman gaharu yang diterima masing-
masing pihak jika ada tanaman yang mati/hilang/tidak/
belum menghasilkan
Pawal = Proporsi bagi hasil tanaman gaharu sesuai kesepakatan
yang tertu-ang dalam perjanjian kerjasama ini
Daftar Pustaka
Adijaya, D. 2009. Gaharu: Harta di Kebun. Trubus online. http:
//www.trubus-online.co.id/mod.php?mod=publisher
&op=viewarticle&cid=8&artid=290. Di-akses 16 Februari
2009.
Anonim. 2002. GAHARU: HHBK yang Menjadi Primadona. Info
Pusat Standardisasi dan Lingkungan Departemen
Kehutan-an. http://www.dephut.go.id/ Halaman/
STANDARDISASI_&_LINGUNGAN_KEHUTANAN/INFO_V0
2/VI_V02.htm. Diak-ses 20 Januari 2009.
Pendahuluan
Gaharu dihasilkan oleh pohon-pohon terinfeksi yang tumbuh di
daerah tropika dan memiliki marga Aquilaria, Gyrinops dan
Gonystilus yang termasuk dalam famili Thymelaeaceae. Marga
Aquilaria terdiri dari 15 spesies, tersebar di daerah tropis Asia
mulai dari India, Pakistan, Myanmar, Lao PDR, Thailand,
Kamboja, China Selatan, Malaysia, Philipina dan Indonesia. Enam
jenis diantaranya ditemukan di Indonesia, yaitu A. malaccensis,
A. microcarpa, A. hirta, A. beccariana, A. cumingiana dan A.
filaria yang tersebar hampir di seluruh kepulauan nusantara.
Marga Gonystilus memiliki 20 spesies, tersebar di Asia Tenggara
hingga Kepulauan Solomon dan Kepulauan Nicobar. Sembilan
spesies diantaranya terdapat di Indonesia. Marga Gyrinops
memiliki tujuh spesies, enam diantaranya tersebar di Indonesia
bagian Timur serta satu spesies di Srilanka (Anonim, 2002;
Aswandi, 2006).
Metode Penelitian
A. Data dan Sumber Data
Tulisan ini merupakan hasil survai lapangan dan desk study dari
berbagai pustaka dan laporan hasil penelitian. Data dan
informasi yang dikumpulkan meliputi data umur dan diameter
tanaman yang siap diinokulasi, harga pohon penghasil gaharu
siap inokulasi, upah tenaga kerja, harga inokulan, bahan kimia,
harga penyusutan peralatan untuk inokulasi dan harga berbagai
kualitas gaharu. Data dan informasi serta literatur tersebut
B. Analisis Data
Dimana :
NPV = Net Present Value (Nilai Kini Bersih);
Bt = Benefit atau penerimaan pada tahun t;
Ct = Biaya pada tahun t;
i = Tingkat diskonto atau potongan (=bunga bank yang berlaku);
n = Umur ekonomis proyek (cakrawala waktu).
Suatu bisnis dinyatakan layak secara finansial bila nilai NPV > 0.
NPV1
b. IRR i1 (i2 i1) ......................... (2)
NPV1 NPV2
Dimana :
IRR = Internal Rate of Raturn (Tingkat keuntungan internal);
i1 = Tingkat diskonto untuk menghasilkan NPV1 mendekati nol;
NPV1 = Nilai NPV mendekati nol positif;
i2 = Tingkat diskonto untuk menghasilkan NVP2 negatif mendekati
nol;
NPV2 = Nilai NPV negatif mendekati nol.
Dimana :
B/C = Benefit Cost Ratio ( Rasio penerimaan biaya);
Bt = Benefit atau penerimaan pada tahun t;
Ct = Biaya pada tahun t;
i = Tingkat diskonto;
n = Umur ekonomis proyek.
Inokulasi adalah salah satu hal yang sangat penting dalam usaha
budidaya pohon penghasil gaharu. Resin gaharu tidak mudah
terjadi secara alami, sehingga perlu campur tangan manusia,
seperti dengan pembuatan perlukaan dan memberikan bahan
pemicu produksi resin gaharu, seperti cendawan dan bahan
lainnya.
Pada Tabel 15.4 terlihat bahwa sejak tahun 1995 hingga 2002
terjadi penurunan kemampuan ekspor gaharu Indonesia secara
signifikan (hampir 40%). Penurunan pasokan gaharu dari
Indonesia sangat berpengaruh terhadap perkembangan harga
gaharu, baik di pasar dunia maupun di tingkat pengumpul. Pada
tahun 1980, harga gaharu di tingkat pengumpul berkisar antara
Rp 30.000-50.000,-/kg untuk kualitas rendah dan Rp 80.000,-/kg
untuk kualitas super. Pada awalnya, kenaikan harga gaharu
Tabel 15.4. Hasil pemanenan dan ekspor gaharu jenis Aquilaria spp.
dari Indonesia tahun 1995 - 2003
Total
Kuota Net
Kuota Aktual ekspor ekspor
hasil ekspor
Tahun hasil berdasar CITES gaharu
panen laporan
aktual*) Indonesia*) (semua
resmi*) CITES **)
spesies)*)
1995 n/a n/a n/a)) 323,577 n/a
1996 300,000 160,000 299,523 (termasuk A. 293,593 299,593
filarial dan jenis lain
1997 300,000 120,000 287,002 (termasuk 305,483 287,002
A.filarial 180,000 kg)
1998 150,000 150,000 148,238 147,212 n/a )
1999 300,000 180,000 81,079 76,401 313,649
2000 225,000 225,000 81,377 81,377 245,150
2001 75,000 70,000 74,826 74,826 219,772
2002 75,000 68,000 70,546 n/a 175,245
2003 50,000 50,000 n/a n/a n/a
*) CITES Management Authority of Indonesia
**) CITES Annual Report Data Compiled by UNEP-WCMC
) the reason for the unavailability of data for 1995 1nd 1998 is not
known
E. Kelayakan Usaha
Daftar Pustaka
Adijaya, 2009. Gaharu : Harta di Kebun. http://www. trubus-
online.co.id/mod.php?mod=publisher&p=allmedia&artid
=1625 Diakses 13 Februari 2009.
Anonim, 2008. Gaharu (Agarwood) http://bisnisfarmasi.
wordpress.com/2008/03/03/ industri aromatic Diakses
16 Februri 2009.
Anonim, 2009. Production and Marketing of Cultivated
Agarwood. Factual information about cultivated
agarwood. http://www.traffic.org/news/press-releases/
wood.htm Diakses 9 Februari 2009.
Anonim, 2010. Manfaat Super Gaharu. http://supergaharu.
wordpress.com/gaharu-sekilas/kegunaan-gaharu/
Diakses 14 Februari 2011.
Pendahuluan
Gaharu merupakan produk kehutanan yang memiliki nilai
ekonomi sangat tinggi dibandingkan produk kehutanan lainnya,
sehingga sangat potensial untuk dikembangkan. Pengembangan
gaharu ini perlu dilakukan, khususnya untuk menjaga
kesinambungan produksi, sekaligus untuk melindungi ragam
pohon penghasil gaharu yang ada di Indonesia. Dalam
pengembangan gaharu, masyarakat di sekitar hutan merupakan
sasaran ideal yang dapat melipat-gandakan peran dan fungsi
program tersebut. Dari aspek keberadaan material bibitnya,
lokasi sekitar hutan memiliki jumlah tegakan gaharu alam
terbanyak. Hal ini mengingat buah pohon ini bersifat rekalsitran,
sehingga tidak menyebar jauh, kecuali dengan campur tangan
manusia. Dari aspek kesiapan masyarakat, pada umumnya
masyarakat yang tinggal di sekitar hutan sudah mengenal
gaharu, bahkan, sebagian pernah menjadi pengumpul, sehingga
pemahaman dan keterampilannya untuk mendukung
pengembangan cluster industri gaharu telah sangat memadai.
B. Teknologi Produksi
C. Pengawasan Mutu
Saat ini, sudah cukup banyak pohon penghasil gaharu yang telah
diinokulasi, khususnya dari jenis Aquilaria dan Gyrinops. Teknik
inokulasi untuk induksi pembentukan gaharu juga telah semakin
efisien dan murah. Pada hasil uji lanjut teknik produksi gaharu
Saat ini, kualitas gaharu hasil inokulasi sudah jauh lebih baik dan
pada beberapa hasil penelitian sudah mendekati mutu gubal
kualitas kemedangan B/C (Santoso, 2008; Mucharromah dan
Surya, 2006) atau bahkan B (Surya, 2008 - komunikasi pribadi;
Mucharromah et al., 2008). Dengan teknik inokulasi dan jenis
Penutup
1. Pengembangan gaharu merupakan suatu program yang
sangat besar, tidak hanya menghasilkan produk bernilai
ekonomi yang sangat tinggi dan berpotensi sangat besar
untuk pemberdayaan masyarakat di sekitar wilayah hutan,
tetapi juga karena upaya ini memerlukan investasi teknologi
dan modal yang cukup besar bagi keberhasilannya. Oleh
karenanya, pengembangan gaharu perlu dilaksanakan dengan
perencanaan yang sangat matang dari setiap tahapan
prosesnya, sehingga dapat berjalan dan meningkatkan
kemandirian masyarakat di wilayah sekitar hutan. Hal ini
sangat penting dilakukan, tidak hanya untuk menjamin
Daftar Pustaka
Agrios, G.N. 1988. Plant Pathology. Academic Press, New York.
Anonim. 1995. Analisa Penyebab Terjadinya Gubal dan Keme-
dangan pada Pohon Gaharu. Makalah Dipresentasikan
pa-da Temu Pertama Pakar Gaharu, 20 Oktober1995.
Jakar-ta.
Anonim. 2006. Agarwood. "http://en.wikipedia.org/wiki
/Agarwood". Terakhir dimodifikasi 11:11, 31 Oktober
2006.
Maryani, N., G. Rahayu dan E. Santoso. 2005. Respon Acremo-
nium sp. Asal Gaharu terhadap Alginate dan CaCl2. Pro-
siding Seminar Nasional Gaharu. Seameo-Biotrop, Bogor,
1-2 Desember 2005.
MacMahon, C. 1998. White Lotus Aromatics. http://members.aol
.com/ratrani/ Agarwood. html. Updated April 16th, 2001,
Accessed 16 April 2006.
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,
Teknologi Badan Litbang Kehutanan 289
Mucharromah, Misnawaty, dan Hartal. 2008. Studi Mekanisme
Akumulasi Resin Wangi Aquilaria malaccensis (Lamk.)
Merespon Pelukaan dan Infeksi Cendawan. Laporan Pe-
nelitian Fundamental. DIKTI.
Mucharromah. 2008. Hipotesa Mekanisme Pembentukan Gubal
Gaharu. Makalah Seminar Nasional Pengembangan Pro-
duksi Gaharu Provinsi Bengkulu untuk Mendukung Pe-
ningkatan Ekspor Gaharu Indonesia. FAPERTA UNIB,
Bengkulu, Indonesia, 12 Agustus 2008.
Mucharromah, Hartal, dan Surani. 2008. Tingkat Akumulasi Re-
sin Gaharu Akibat Inokulasi Fusarium sp. pada Berbagai
Waktu Setelah Pengeboran Batang Aquilaria malaccensis
(Lamk.). Makalah Semirata Bidang MIPA, BKS-PTN Wila-
yah Barat, Universitas Bengkulu, 14-16 Mei 2008.
Mucharromah, Hartal, dan U. Santoso. 2008. Potensi Tiga Isolat
Fusarium sp. dalam Menginduksi Akumulasi Resin Wangi
Gaharu pada Batang Aquilaria malaccensis (Lamk.).
Maka-lah Semirata Bidang MIPA, BKS-PTN Wilayah Barat,
Uni-versitas Bengkulu, 14-16 Mei 2008.
Mucharromah. 2006. Teknologi Budidaya dan Produksi Gubal
Gaharu di Provinsi Bengkulu. Makalah Seminar. Fakultas
Pertanian Universitas Mataram Bekerjasama dengan
Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Dodokan
Moyosari Nu-sa Tenggara Barat (BP DAS Dodokan
Moyosari NTB). Uni-versitas Mataram, Lombok, Nusa
Tenggara Barat, 18 No-vember 2006.
Mucharromah. 2006a. Fenomena Pembentukan Gubal Gaharu
pada Aquilaria malaccensis (Lamk.). (unpublished).
Mucharromah dan J. Surya. 2006b. Teknik Inokulasi dan Pro-
duksi Gaharu. Makalah Workshop Gaharu Tingkat Nasi-
onal. Kerjasama Dirjen PHKA dan ASGARIN. Surabaya 11-
13 September 2006.
Harga/ Total
No Uraian QTY Unit unit cost
(Rp'000) (Rp'000)
A. Biaya akuisisi lahan
Pembelian lahan 1 ha 15.000 15.000
Perizinan/sertifikat/notariat 1 Surat* 4.000 4.000
Total 19.000
B. Biaya pra operasi (start-up cost)
Sarana & prasarana TBM
Rumah jaga 1 Unit 2.000 2.000
Sarana penerangan (PLN) 1 Unit 1.000 1.000
Sarana komunikasi 1 Unit 2.000 2.000
Sarana lainnya 1 - 1.000 1.000
Total 6.000
A+B Total biaya (direkapitulasi) 25.000
C Beban operasi
C.1. Penanaman pohon baru
Land clearing 1 ha 1.000 1.000
Pembelian bibit 1.000 Btg 5 5.000
Pembuatan lubang 1.000 Btg 1 1.000
Penanaman pohon gaharu 1.000 Btg 0,5 500
Pemupukan 1.000 Btg 5 5.000
Perawatan dan
pengamanan 1 ha 24.000 24.000
Total 36.500
C.2. Beban inokulasi
Pengadaan inokulan 1.000 Btg 20 20.000
Pembelian peralatan 1 Set 3.000 3.000
Stressing agent 1.000 Btg 10 10.000
Tenaga kerja 1.000 Btg 5 5.000
Pemelihaaan/perawatan 1.000 Btg 10 10.000
Operasi lainnya 1.000 Btg 1 1.000
Total 49.000
Pasal 2
(1) Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan
atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa
mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ketentuan Pidana
Pasal 72
(1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing
paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau
pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima
miliar rupiah).
(2) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada
umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Diterbitkan oleh: