Anda di halaman 1dari 4

MAKALAH KASUS REPRODUKSI

HIPOFUNGSI OVARIUM

Disusun Oleh:
Rangga Alyansa Putra B94164302
Bong Ai Yin B94164310
Latifah Suri Anisa B94164327

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2017
Pengertian
Hipofungsi ovarium atau ovarium yang kurang aktif adalah suatu keadaan dimana tidak
terjadinya perkembangan yang dapat menyebabkan terjadinya kasus anestrus. Perkembangan
folikel yang menurun diakibatkan oleh gagalnya kelenjar hipofise anterior untuk mensekresikan
Follicle Stimulating Hormone (FSH) dalam jumlah yang cukup. Keadaan ini sering terjadi pada sapi
dara menjelang pubertas dan sapi dewasa post partus atau setelah inseminasi tapi tidak terjadi
konsepsi (BALIVET Bukit tinggi 2014). Ovarium yang mengalami hipofungsi memiliki
permukaan yang licin karena tidak terjadi pertumbuhan folikel dan corpus luteum, meski
memiliki ukuran yang normal (Hardjopranjoto 1995).

Gambar 1 Ovarium normal dan hipofungsi ovarium (Disnakkeswan 2014).

Laporan kasus
Menurut penelitian Salman (2013), hipofungsi ovarium merupakan gangguan reproduksi
utama yang ditemukan pada ternak betina di Jawa Tengah. Pada tahun 2012, sebesar 6,05%
kasus hipofungsi ovarium terlapor dengan kejadian di Kabupaten Klaten sebesar 6,23%.

Penyebab
Hipofungsi ovarium dapat diakibatkan oleh manajemen pakan yang buruk, stres
lingkungan dan defisiensi hormon (Herry 2015) sehingga terjadi gangguan hormonal.
Manajemen pakan yang buruk dimana pemberian pakan dalam jumlah yang tidak sesuai
mengakibatkan nutrisi yang diabsorpsi ke dalam tubuh ternak tidak memadai dengan nutrisi yang
dibutuhkan oleh penggunaan energi harian. Hal ini menyebabkan kondisi tubuh ternak
memburuk sehingga mengganggu fungsi tubuh secara keseluruhan maka dalam pemberian pakan
sehari-hari, dibutuhkan nutrisi yang menunjang saluran reproduksi seperti protein, vitamin A,
dan mineral seperti fosfor, yodium, dan tembaga (Lukman et al. 2007).
Selain itu, lingkungan yang tidak mendukung memicu timbulnya stres pada ternak
sehingga fisiologis tubuh berubah. Sebagai contoh, ternak yang diletakkan pada kandang sempit,
dengan ventilasi udara yang tidak baik dan sanitasi yang buruk akan lebih mudah mengalami
stres dibandingkan ternak yang ditempatkan di lingkungan yang nyaman. Tingkat stres yang
tinggi dapat menyebabkan terjadinya gangguan siklus hormonal. Defisiensi hormon dapat terjadi
ketika kelenjar endokrin tidak dapat mensekresikan hormon dalam jumlah yang cukup sehingga
fungsi-fungsi normal organ tubuh tidak dapat bekerja dengan optimal. Dalam hal ini, hormon
yang disekresi di hipotalamus, hipofisa anterior, dan ovarium sehingga terjadinya hipofungsi
ovarium.
Akibat dari faktor-faktor tersebut, efisiensi reproduksi terganggu sehingga produktivitas
menurun. Kejadian ini menyebabkan calving interval yang lebih panjang (Deden 2000) sehingga
secara ekonomis merugikan peternak. Menurut Herry (2015), terganggunya kerja hipotalamus-
hipofise-ovarium oleh beberapa faktor yang dijelaskan diatas dapat menyebabkan penurunan
sekresi Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH), diikuti dengan penurunan Follicle
Stimulating Hormone (FSH) dan Luteinizing Hormone (LH). Kekurangan sekresi hormon-
hormon gonadotropin mengakibatkan folikel tidak bertumbuh sehingga tidak terjadi ovulasi.
Tidak terjadinya ovulasi menyebabkan tidak tumbuhnya CL di ovarium.

Gejala klinis
Menurut Herry (2015), ternak yang mengalami hipofungsi ovarium tidak terlihat gejala
estrus (anestrus) atau menampakkan silent heat dalam jangka waktu yang lama karena estrogen
yang berperan dalam gejala birahi dihasilkan dalam jumlah sedikit dimana belum mencapai batas
threshold. Selain itu, ternak betina tidak terlihat bunting setelah dilakukan inseminasi buatan (IB)
berulang kali (Deden 2000). Ovulasi pada ternak tersebut bisa jadi tertunda (Ruiqing dan Xinli
2009) karena gangguan hormon FSH dan LH sehingga tidak terdapat folikel yang cukup matang
untuk diovulasikan. Ovarium yang mengalami hipofungsi berukuran normal, tetapi
permukaannya teraba licin ketika dilakukan palpasi perektal (Herry 2015). Penyataan Herry
(2015) dapat didukung oleh Lopez-Gatius et al. (2001) yang menyatakan bahwa ovari yang
mengalami hipofungsi berukuran minimal 8-15 mm ketika dilakukan dua kali pemeriksaan
dalam jedah waktu 7 hari, dan tidak ditemukan CL atau kista serta tanda estrus.

Diferensial Diagnosa
Gejala utama yang terlihat pada hipofungsi ovarium adalah anestrus yang berkepanjangan.
Fase anestrus pada siklus estrus normalnya terjadi selama 1 6 bulan. Ditandai dengan
inaktivitas ovarium, involusi uterus dan perbaikan endometrium. Kondisi ini juga terjadi pada
sistik ovari, kebuntingan, korpus luteum persisten, mumifikasi, hipoplasia ovari, pyometra dan
endometritis subklinis (Hafez 2000 ; Syarifudin 2015).

Terapi
Pemberian agonis GnRH seperti lutrelin, fertirelin, deslorelin, leuprolide, dan buserelin
untuk menginduksi estrus (Kutzler 2005). Hormon2 tersebut berfungsi merangsang pelepasan
gonadotropin FSH dan LH dari hipofisa anterior sehingga terjadi pertumbuhan dan
perkembangan folikel. Pertumbuhan dan perkembangan folikel menghasilkan estrogen sehingga
sapi menunjukkan tanda2 birahi (Suartini et al 2013). Perbaikan manajemen pemeliharaan ternak
juga diperlukan di samping terapi hormone (Pemayun 2009).
DAFTAR PUSTAKA
[BALIVET] Balai Veteriner Bukittinggi. 2014. Laporan Pelaksanaan Kegiatan :
Penanggulangan Penyakit Gangguan Reproduksi Pada Sapi Potong. Kementrian Pertanian
Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan. No. 530/2014.
Deden S. 2000. Teknik Masage Ovari dan Penggunaan Potahormon pada Kasus Hipofungsi
Ovarium Sapi Perah Di Kabupaten Bogor. [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Hafez SE. 2000. Reproduction in Farm Animals 7th Edition. Philadelphia (US) : Lea and Febiger.
Herry AH. 2015. Pemberantasan Kasus Kemajiran Pada Ternak Menuju Kemandirian Dibidang
Kesehatan Reproduksi Hewan Dan Ketahanan Pangan Di Indonesia. Makalah. Dalam:
Pidato Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga, 25 April.
Ruiqing L dan Xinli G. 2009. Treating infertile milk cows by traditional chinese medicine. J Agr
Sci. 1(1): 82-85.
Lopez-Gatius F, Santolaria P, Yaniz J, Rutllant J dan Lopez- Be jar M. 2001. Persistent
ovarian follicles in dairy cows: a therapeutic approach. Theriogenology. 56: 649659.
Lukman AS, Wulan CP dan Dian R. 2007. Petunjuk Teknis Penanganan Gangguan Reproduksi
Pada Sapi Potong. Grati Pasuruan (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan.
[DISNAKKESWAN] Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Jawa Tengah. 2014.
Penanganan Hipofungsi Ovaria pada Ternak Sapi. [Internet]. [diunduh 2017 18 April].
Tersedia pada: http://disnakkeswan.jatengprov.go.id/berita-penanganan-hipofungsi-ovaria-
pada-ternak-sapi-.html.
Salman A. 2013. Status reproduksi ternak sapi dan kerbau betina di Jawa Tengah. Di dalam:
Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan: Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah Kesehatan
Hewan Tahun 2013. Jakarta, Indonesia. Jakarta (ID): Kementerian Pertanian.
Syarifuddin, N. 2005. Laporan Kegiatan Aplikasi Teknologi Reproduksi Ternak dan Kesehatan
Ternak pada Program Pendayagunaan dan Pengembangan Iptek Nuklir Bidang Peternakan
Di Daerah Kalimantan Selatan Tahun 2005. Fakultas Pertanian Universitas Lambung
Mangkurat, Banjarbaru.

Anda mungkin juga menyukai