Presiden Trump baru saja mengumumkan bahwa Amerika Serikat (AS) menarik diri
dari Paris Agreement. Paris Agreement adalah konferensi perubahan iklim yang berlangsung
di Paris pada tahun 2015 sebagai pengganti Protokol Kyoto (1997) yang menyepakati adanya
pembatasan terhadap kenaikan suhu global di bawah dua derajat celcius. Pada era Protokol
Kyoto, AS tidak mau ikut meratifikasinya karena dianggap merugikan perekonomian dalam
negeri. Pada Paris Agreement, AS di bawah kepemimpinan Obama ikut meratifikasi dan
memiliki komitmen untuk mendukung kesepakatan tersebut. Lantas mengapa ketika
kepemimpinan presiden beralih ke Trump kemudian justru menarik diri dari kesepakatan itu?
Clinton sebagai calon dari Partai Demokrat tentu tidak akan jauh dari pendahulunya
dalam mengambil kebijakan terkait dengan perubahan iklim. Clinton memandang bahwa
perubahan iklim tidak hanya menjadi isu nasional, namun juga merupakan permasalahan
global yang menjadi tanggungjawab setiap negara di dunia untuk mengatasinya. Perubahan
iklim harus diatasi dengan kerjasama dan mekanisme global dalam bentuk perjanjian
internasional.
Donald Trump sebagai capres dari kubu Republik memiliki cara pandang yang sangat
bertolak belakang dengan Clinton. Trump tidak menjadikan isu perubahan iklim sebagai isu
penting. Ia bahkan meragukan fakta tentang terjadinya perubahan iklim. Melalui media
sosial, Trump dengan bahasa yang sarkastik menyatakan bahwa perubahan iklim sebagai a
hoax invented by the Chinese. Perubahan iklim dipandang sebagai isu yang diciptakan oleh
China untuk membendung laju industri AS agar tidak kompetitif di tataran global.
Adanya pengunduran diri Trump dari Paris Agreement merupakan janji yang sudah
diusung sejak kampanye pencapresannya. Dalam kampanyenya, Trump menyatakan akan
membatalkan kebijakan perlindungan lingkungan yang telah dicanangkan Obama. Ia
berkeinginan untuk membatalkan kesepakatan Paris yang telah ditandatangi presiden
sebelumnya. Perjanjian internasional lain yang merugikan kepentingan ekonomi AS juga
hendak dibatalkan. Trump ingin agar produksi energi fosil AS ditingkatkan. Ia menyebut
langkah ini sebagai upaya untuk mengembalikan kejayaan AS dalam industri minyak dan
batubara.
Langkah yang diambil Trump tentu menarik bagi kalangan industri produsen bahan
bakar fosil (minyak bumi dan batubara) dan industri yang banyak menggunakan energi
berbasis fosil seperti listrik, dan transportasi. Karena itulah kalangan ini banyak mendukung
upaya Trump dan Partai Republik dalam upaya menghentikan langkah-langkah yang
dilakukan Obama. Mereka berargumen bahwa upaya Obama telah berdampak pada naiknya
tingkat kemiskinan masyarakat termiskin di AS karena kenaikan biaya-biaya untuk listrik dan
transportasi. Mereka berlindung di balik argumen itu untuk menutupi keengganan mereka
beralih ke energi alternatif terbarukan yang ramah lingkungan. Mereka juga ingin
menghindar dari kewajiban mendonasikan dana kelebihan emisinya ke negara-negara
berkembang sebagai konsekuensi dari komitmen yang ditandatangani Obama.
Dari sini terang sudah mengapa Trump mundur dari Paris Agreement. Tabik!