Anda di halaman 1dari 11

MKPW.

EKOLOGI TEKNOLOGI

TEKNOLOGI ARSITEKTUR PERNAUNGAN

Disusun Oleh:

CHRISTIAN ELFAN P.W (14.A1.0007)

Dosen Koordinator:
Ir. Ch. Koesmartadi, MT

FAKULTAS ARSITEKTUR DAN DESAIN


PROGRAM STUDI ARSITEKTUR
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA
SEMARANG
2017
A. PERBANDINGAN ARSITEKTUR PERNAUNGAN DAN PERLINDUNGAN
Arsitektur Pernaungan arsitektur yang mensyaratkan adanya atap. Seperti sebutannya Arsitektur Pernaungan menitikberatkan pada fungsi
nya sebagai naungan. Berbeda dengan Arsitektur Perlindungan yang identik dengan orientasi bangunannya yang kedalam, tertutup dengan
lingkungan, berdinding dan beratap serta identik pula dengan Arsitektur Barat; Arsitektur pernaungan lebih mengutamakan orientasinya pada
tapak sekitar/orientasi keluar, terhubung dengan lingkungan sekitar bangunan, serta berdinding dan beratap. Sebagai gambaran dapat dilihat pada
ilustrasi berikut:

Arsitektur Pernaunan (Timur)


Orientasi keluar
Terhubung dengan lingkungan sekitar
Beratap dan tidak berdinding
Arsitektur Perlindungan (Barat)
Orientasi kedalam
Tertutup dengan lingkungan sekitar ARSITEKTUR PERNAUNGAN (TIMUR) ARSITEKTUR PERLINDUNGAN (BARAT)
Berdinding dan beratap (ARSITEKTUR NUSANTARA) (ARSITEKTUR ESKIMO)
(Sumber foto: http://jendela-arsitektur- (Sumber foto:
desain.blogspot.co.id/2013/09/arsitektur- https://eskimos.wikispaces.com/file/view/inupiat-
perlindungan-dan-arsitektur.html) eskimo-igloo_438.jpg/116805455/inupiat-eskimo-
igloo_438.jpg)

B. KEMUNCULAN ARSITEKTUR PERNAUNGAN


Arsitektur pernaungan muncul karena respon/tanggapan keberadaan iklim nusantara ini, yaitu iklim tropis lembab. Bagi iklim tropis lembab
yang utama adalah atap, dinding yang muncul bukanlah dinding masif tapi bernafas dan sebenarnya hanya bersifat partisi, sedangkan untuk
penyangga atap dihadirkan kolom-kolom utama (yang di Jawa muncul sebagai 4 sokoguru, dan di tempat lain disebut tiang Ibu, dan sebagainya).
Pernaungan muncul karena manusia nusantara hanya cukup ber-TEDUH dari panasnya matahari dan lebatnya hujan serta karena respon
alam/iklim. Poin-poin yang diperhatikan dalam arsitektur pernaungan adalah responnya terhadap alam/iklim daerah bangunan tersebut. Poin-poin
alam yang paling diperhatikan adalah:
a. Curah Hujan
b. Arah Matahari
c. Kelembaban
d. Angin

ARSITEKTUR PERNAUNGAN ARSITEKTUR PERNAUNGAN


(ARSITEKTUR NUSANTARA-RUMAH JOGLO) (ARSITEKTUR NUSANTARA-RUMAH MAMASA)
(Sumber foto: (Sumber foto: https://www.satujam.com/wp-
https://eapriliantara.files.wordpress.com/2015/05/joglo-kudus.jpg) content/uploads/2015/06/rumah-adat-mamasa.jpg)

C. LATAR BELAKANG RESPON ARSITEKTUR PERNAUNGAN PADA ARSITEKTUR NUSANTARA


Dalam mencapai suatu arsitektur pernaungan dilakukan berbagai macam respon terhadap alam sekitar. Hal-hal ini sangat dekat dengan
respon-respon yang ada pada arsitektur Nusantara dengan iklimnya yang memiliki 2 musim (Kemarau dan Penghujan) membuatnya mencapai
respon-respon arsitektur sebagai pernaungan berdasarkan aspek-aspek respon sebagai berikut:
a. Lembab
Lautan yang menjadi penghubung antar pulau juga memberikan kekhususan pada iklim yang ada di Indonesia. Iklim di Indonesia tidak
hanya tropik, tetapi juga lembab, jadi beriklim tropik lembab. Kelembaban dari iklim ini dipermantap oleh kekayaan hutan hujan tropik yang mengisi
daratan Nusantara. Dengan kelembaban ini pula tubuh menjadi mudah sekali berkeringat serta udara berkurang kenyamanannya karena
menimbulkan kegerahan. Berhadapan dengan kelembaban ini, sebuah penyelesaian yang cemerlang telah berhasil ditemukan oleh anak-anak
bangsa Nusantara. Pertama, tidak merasa perlu untuk mengenakan pakaian. Penutup tubuh yang ada hanyalah penutup kelamin semata, atau
lebih diperluas lagi adalah sebatas dari pusar hingga lutut. Busana seperti itu adalah norma kesopanan yang berlaku, dan itu berarti bahwa
samasekali tidak porno sebagaimana kita sekarang ini menilainya. Dan karena itu tidaklah mengherankan bila hingga abad ke 16 Masehi kita
masih bisa menyaksikan relief candi yang menggambarkan sosok manusia dengan busana yang seperti tersebutkan tadi. Dari wayang kulit di
Jawa kita juga menyaksikan bahwa sebagian terbanyak tokoh yang digambarkan bertelanjang dada. Dihadapkan pada orang-orang yang
bertelanjang dada ini orang-orang Eropa yang mengunjungi Nusantara menilainya sebagai tidak beradab (maklum, dalam adat dan budaya Eropa,
ihwal berbusana yang menutup seluruh tubuh adalah sebuah tanda beradab). Dengan memperhatikan kenyataan bahwa bertelanjang dada adalah
penyelesaian atas kelembaban yang tak dapat dihindari, tentunya dapat
dibayangkan bagaimana semestinya bangunan yang didirikan untuk
mewadahi manusia Nusantara. Sebuah ruangan yang memakai dinding
serba tertutup sudah pasti sulit untuk dipahami sebagai penyelesaian atas
kelembaban ini. Betapa tidak, dalam hal berada di luar bangunan saja
sudah tak berpakaian, bagaimana nyaman bila berada dalam ruangan
yang serba berdinding tertutup. Dengan pencermatan seperti itu, dapat
kemudian dikatakan bahwa bangunan yang mewadahi manusia yang
harus berhadapan dengan kelembaban adalah bangunan yang tidak
memiliki dinding tertutup. Sebuah beranda, serambi (teras) dan kolong
bangunan adalah tempat-tempat di bangunan yang dapat mewadahi
manusia yang berkeringat dan gerah karena kelembaban. Dangau-
dangau di sawah serta warung dan gardu jaga juga dengan jitu menjadi
wujud bangunan yang merupakan penyelesaian atas kelembaban yang
menimbulkan keringat. Apabila terpaksa harus ada dinding, maka dinding
ini adalah berupa kerai atau kalau mau lebih canggih, dinding yang berukir
tembus seperti lazimnya sekat berukir. Bagaimana halnya dengan bagian
bangunan yang berdinding, bahkan berdinding rapat tanpa jendela? RUMAH ADAT JOGLO
Keadaan bangunan yang serba tertutup seperti itu akan sangat jitu bila (Sumber foto: http://bluekarmaresort.com/wp-
digunakan untuk menyimpan barang serta untuk menghangatkan tubuh content/uploads/2014/04/4.jpg)
bila suhu udara menjadi dingin. Kalau tidur di malam hari dianggap
sebagai menyimpan badan, maka bagian bangunan yang serba tertutup itu tidak hanya menyimpan barang tetapi juga menyimpan badan. Dengan
demikian, bagian bangunan yang berdinding tertutup itu asal-muasalnya bukanlah sebuah tempat tinggal, melainkan tempat penyimpanan. Bagian
dari rumah yang digunakan untuk berbagai kegiatan harian hadir sebagai serambi, beranda, dangau atau gardu serta kolong dari bangunan
panggung. Kalau dipaksakan untuk disebut tempat tinggal, maka bagian yang berdinding rapat adalah tempat untuk tinggal di malam hari sedang
di siang hari adalah di beranda, serambi atau kolong. Dengan gambaran yang berdasar kelembaban seperti di depan, pembacaan denah dari
arsitektur Nusantara akan menjadi sangat berbeda dari pembacaan denah dari bangunan Erorika. Di Nusantara, beranda, serambi dan kolong
adalah tempat melangsungkan aktifitas siang hari. Bilik yang berdinding tertutup adalah tempat penyimpanan (termasuk menyimpan badan di
malam hari). Pembagian bangunan dari irisan/potongan bangunan Nusantara juga bukan terdiri dari kepala-badan-kaki, melainkan terdiri dari atap-
bilik-kolong. Bila antara bilik dengan muka tanah ada geladak, maka pembagiannya menjadi atap-bilik-geladak-kolong. Dengan kelembaban maka
ketropikan di Nusantara menjadi berbeda dari ketropikan di Afrika, misalnya. Daerah-daerah yang bertropik-lembab tentu tidak hanya Indonesia.
Malaysia dan Philipina, juga segenap daerah kepulauan di Amerika Tengah adalah daerah-daerah yang beriklim tropik lembab. Di segenap tempat
tadi, beranda atau kolong dan ruangan berdinding tertutup memang menghadirkan diri, sekaligus mendapat pendayagunaan yang serupa dengan
yang di Nusantara. Yang menjadikan berbeda dari Nusantara adalah dalam bentukan atap bangunan. Sebagian banyak bangunan di Amerika
Tengah adalah bentukan atap pelana atau atap perisai; sedang yang di Malaysia dan Philipina umumnya serupa dengan yang ada di Nusantara,
jadi cukup berragam bentukannya.
b. Angin
Kita tidak perlu menyangkal betapa pentingnya angin ini bagi pelayaran
mengingat adalah angin yang seakan menjadi motor bagi bergeraknya kapal
dan perahu. Dengan kemampuan berlayar par pelaut dan peniaga Nusantara
hingga Madagaskar di abad-abad sebelum Masehi, tak ayal lagi pengetahuan
akan pola pergerakan angin, dan sudah barang tentu pengetahuan akan arus
laut yang bergantiganti sepanjang tahun, telah sangat dikuasai. Sebutan mata-
angin dapat dipastikan berawal dari ihwal pelayaran, bukan dari ihwal
bercocoktanam. Laut dan gunung dijadikan titik rujukan bagi mataangin itu,
sehingga arah ke laut dalam mataangin orang Bali dinamakan kelod, di Madura
dinamakan Laok, sedang di Jawa dinamakan Lor. Sementara itu, dalam hal
menyusuri sungai, motor penggerak dari kapal dan perahu bukan angin,
melainkan dayung dan keras-lemahnya arus sungai dari hulu ke hilir, dan
karena itu arah hilir dan arah hulu atau udik (mudik) lebih banyak digunakan.
Angin yang merupakan pergerakan udara dari dua tempat yang berbeda
tekanan udaranya juga mampu didayagunakan dengan baik di daratan. Dalam
keadaan normal (bukan dalam masa pancaroba khususnya), angin menjadi
sumber utama bagi penyejukan udara. Angin yang berhembus dari laut akan
membawa uap air dan mendatangkan udara yang lembab. Tetapi, bersamaan
dengan angin yang berhembus itu, kepengapan udara dalam ruangan juga akan RUMAH PANGGUNG
menjadi berkurang dengan cukup bena (signifikan). Di sini pula kolong, serambi (Sumber foto: https://2.bp.blogspot.com/-
dan beranda menjadi bagian dari bangunan yang dengan cemerlang mampu y2HBv0xN2dY/VyWVnXo9mQI/AAAAAAAACXU/lC_KqupQqDQNN
mendayagunakan hembusan angin guna menghadirkan ruangan yang nyaman WpjF06xf-S1IvPyRVMLACKgB/s1600/rmh%2Bp5.png)
(comfort). Melalui pembacaan atas asal angin berhembus, bangunan yang
didirikan diarahkan agar dapat semaksimal mungkin memanfaatkan hembusan angin. Tidaklah mengherankan bila kebanyakan bangunan
Nusantara didirikan dengan arah bubungan atap yang berlawanan dengan arah hembusan angin, seakan menjadi penangkap hembusan angin.
Secara umum, arah hadap ke laut atau ke gunung adalah keletakan dari bangunan-bangunan Nusantara yang memakai bangun persegi empat;
bangunan menjadi memanjang dan letaknya dibuat menangkap angin yang berhembus. Oleh karena itulah bangunan-bangunan di pantai utara
Jawa memanjang dari timur ke barat dan menghadap ke ke laut Jawa (utara), sedang di daerah Jawa selatan, bangunan dibuat menghadap ke
Samudra Hindia (selatan). Jikalau hubungan antara bangun geometrik dari denah bangunan menunjukkan adanya kaitan antara bangunan dengan
arah angin, maka bangunan-bangunan dengan denah lingkaran rupanya bertempat pada daerah yang arah anginnya cenderung memutar, seperti
misalnya di daerah lembah atau daerah yang dikelilingi oleh bukit. Selanjutnya, mengitari sekelompok gugus bangunan maupun sebuah gugus
bangunan yang berdiri sendiri, pepohonan yang ditanam sepanjang pagar tapak lingkungan hunian serta pepohonan yang ditanam di seputar
dusun diberi peran untuk menjadi pelambat lajunya hembusan angin. Dengan hembusan angin yang menyejukkan dan dengan kelembaban yang
dapat ditanggulangi dengan tinggal di beranda. Serambi atau kolong, maka keberadaan bilik di dalam bangunan menjadi nyaris tak terkunjungi di
siang hari. Di malam hari saja bilik-bilik itu digunakan sebagai tempat untuk tidur, untuk menyimpan badan. Kegiatan harian yang lebih banyak
terpusat pada sekeliling bagian luar bangunan memberi kesempatan bagi tampang luar bangunan untuk ditangani dengan citarasa estetika dan
artistika yang mempesona. Tubuh luar bangunan tidak hanya kaya dengan ukiran (dan di percandian dielokkan dengan relief-relief), tetapi juga
dengan menggunakan warna yang cerah dan segar. Tidak itu saja, sosok bagian atap juga menjadi sangat berragam perupaannya. Bagian bilik
dan kolong boleh saja tanpa sentuhan artistika dan estetika yang menyita perhatian, tetapi tidak demikian halnya dengan bentuk atapnya.
Nampaknya, demi penandaan bagian yang terpenting dan terutama dari sesuatu bangunan Nusantara, maka bentukan atap menjadi sangat
mencolok penampilannya.
c. Kemarau dan Penghujan
Iklim tropik memang bukan iklim subtropik bukan pula iklim yang empat
musim. Iklim tropik hanya mengenal musim kemarau dan musim penghujan.
Kalau mau dipaksakan menjadi empat musim, maka ada tambahan dua musim
pancaroba, yakni pancaroba menuju penghujan dan pancaroba menuju
kemarau. Salah satu pembeda mencolok antara iklim tropik dengan iklim
subtropik adalah suhu udara. Bagi iklim subtropik rentang suhu udara dapat
dipastikan mencakup suhu udara yang di sekitar nol derajat Celsius, sebuah
suhu udara yang dalam iklim mereka berada dalam cakupan musim dingin. Suhu
yang sangat rendah dalam musim dingin dengan langsung menjadi ancaman
bagi kelangsungan hidup manusia yang berdiam di tempat itu. Dan karena itu
tidak mengherankan bila mereka mengatakan bahwa iklim adalah ancaman,
bahkan ancaman yang mematikan. Artinya, suhu yang rendah berpotensi
mengakibatkan kematian. Dihadapkan pada ancaman kematian ini, tak ada jalan
lain kecuali harus melindungi diri dari ancaman tadi. Di situ pula lalu muncul
perumusan bangunan adalah perlindungan, arsitektur adalah tempat berlindung.
Sebuah tindakan berlindung adalah tindaan menyembunyikan diri, dan oleh RUMAH GADANG
karena itu lawan yang mengancam sebisa mungkin tidak bisa mengetahui di (Sumber foto: https://3.bp.blogspot.com/-
manakah yang berlindung itu berada. Sebuah ketertutupan di semua sisi lalu HJKBitQzxhI/WNsPkK625kI/AAAAAAAAABo/GpOTrWBwiGUwpPy
menjadi jawaban dari pihak yang berlindung. Sebuah bangunan, karena ZRy0xZ8ASy3wX_4l0QCLcB/s400/sumatera%2Bbarat%2Brumah%
dijadikan perlindungan adalah buatan manusia yang disemua sisinya tertutup; 2Badat.jpg)
yaitu lantai, dinding dan atap semuanya serba tertutup. Sekurangnya tiga bulan lamanya orang harus berdiam di tempat yang serba tertutup, yang
serba terpisah atau terisolasi dari dan lingkungan sekitar bangunan dan dunia luar. Perasaan ketersendirian yang dialami lalu membuat penghuni
bangunan empat musim ini mengenal dengan baik perbedaannya dari kebersamaan.
Bagaimanakah halnya dengan iklim tropik seperti yang ada di Nusantara ini? Musim kemarau maupun musim penghujan tidak menghasilkan
suhu udara yang selisihnya seekstrim seperti yang empat musim. Suhu udara juga samasekali tidak mampu menjadi ancaman bagi keselamatan
hidup anak-anakbangsa Nusantara. Baik dalam musim kemarau maupun dalam musim penghujan orang tetap dapat menikmati hidup dengan
busana yang hanya melingkari dari peerut hingga lutut. Terhadap terik matahari yang menyengat atau curah hujan yang demikian deras, cukuplah
bernaung di bawah pohon yang sangat rindang. Kalau harus tetap melakukan perjalanan, orang Nusantara cukup memotong daun pisang atau
daun keladi untuk menaungi kepala dan badan. Kalau mau mengenakan yang buatan sendiri, sebuah topi yang berdaun lebar atau sebuah payung
juga sudah dapat menjadi penyelesaiannya. Dihadapkan pada keadaan yang dua iklim ini, bukan tindakan berlindung yang diperlukan, tetapi
adalah tindakan bernaung atau berteduh. Dari sini tentunya sudah dapat dibayangkan bagaimanakah bangunan yang diperlukan bagi tanggapan
terhadap iklim kemarau dan penghujan. Sepotong daun pisang atau keladi, sebuah topi lebar dan sebuah payung dan sebuah atap adalah
tanggapan atas iklim tropik. Petikan dari naskah kuno di Jawa menggambarkan kebenaran dari hal itu tiyang sumusup ing griya punika saged
kaupamekaken ngaub ing sangandhaping kajeng ageng orang yang menyusup ke dalam bangunan itu dapat diupamakan dengan
bernaung/berteduh di bawah pohon yang rindang. Kebutuhan utama akan bangunan dan arsitektur lalu bukan untuk dijadikan perlindungan
sebagaimana dilakukan oleh bangunan di Erorika; yang dibutuhkan adalah sebuah pernaungan atau perteduhan. Arsitektur lalu bukan sebuah
perlindungan; arsitektur adalah sebuah pernaungan. Itulah yang menjadi pengertian tentang arsitektur di Nusantara. Bagi kebutuhan seperti ini,
yakni akan adanya pernaungan atau perteduhan, maka cukup hadirnya sebidang atap penaung atau peneduh yang menjadi jawabannya. Di depan
telah dikatakan bahwa keaneka-ragaman bentukan atap itu berkaitan dengan peran penting dan terhormat dari bagian atap. Melalui peninjauan
atas ketropikan yang berisi musim kemarau dan musim penghujan, tentu menjadi semakin mantap dan nyata bahwa unsur pertama dan utama
dari arsitektur Nusantara adalah atap. Dengan peran dan kedudukan yang utama ini pula lalu struktur bangunan menjadikan tiang-tiang penyangga
atap sebagai tiang-tiang utama. Sementara itu, dihadapkan pada musim penghujan yang basah, permukaan tanah akan dengan langsung menjadi
basah bila hujan tiba. Menanggapi kepastian basahnya tanah ini, sebentang geladak dapat dihadirkan, dan merentang di atara tiang-tiang yang
menopang atap. Geladak ini sudah barang tentu membentuk jarak dengan muka tanah, membentuk kolong bangunan. Lantai bangunan yang
berupa geladak ini lalu bukan hadir karena takut pada binatang buas, melainkan agar diperoleh bidang yang tidak becek. Selanjutnya, melihat
bahwa kolong geladak ini dapat didayagunakan pula untuk berbagai kegiatan manakala musimnya bukan musim penghujan, maka letak geladak
semakin ditinggikan dari muka tanah di satu sisi, dan di sisi lain dibangun pula penopang-penopang geladak. Kini konstruksi bangunan tidak lagi
hanya berupa tiang-tiang penopang atap tetapi juga tiang-tiang penopang geladak.

D. TEKNIS TEKNOLOGI ARSITEKTUR PERNAUNGAN PADA ARSITEKTUR NUSANTARA


Arsitektur Pernaungan tidak akan jauh kaitannya dengan Arsitektur Nusantara yang hendaknya dilihat, dipelajari, dan dipahami sebagai
arsitektur yang berbeda dengan arsitektur di Eropa. Josef Prijotomo menyampaikan perbedaan arsitektur Nusantara dari arsitektur Eropa,
khususnya untuk arsitektur Eropa hingga masa Neo-Klasik. Beberapa perbedaan itu adalah :
1. Arsitektur Nusantara dua musim, sedang arsitektur Eropa itu arsitektur 4 musim.
2. Arsitektur Nusantara melibatkan lautan dan daratan sedang arsitektur Eropa hanya melibatkan daratan saja.
3. Arsitektur Nusantara tidak mematikan karya anak bangsanya sedang arsitektur Eropa mematikan arsitektur anak benua.
4. Arsitektur Nusantara menggunakan bahan bangunan yang organik sedang arsitektur Eropa adalah arsitektur batu/anorganik.
5. Arsitektur Nusantara adalah arsitektur pernaungan dan arsitektur Eropa adalah arsitektur Perlindungan.
6. Arsitektur Nusantara bersolek di (tampang) luar dan arsitektur Eropa bersolek di (tampang) dalam.
7. Arsitektur Nusantara berkonstruksi tanggap gempa sedang arsitektur Eropa berkonstruksi tanpa gempa. Struktur di Arsitektur
Nusantara 20 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016
8. Arsitektur mengonsepkan pelestarian dengan ketergantian sedang arsitektur Eropa mengonsepkannya sebagai menjaga dan
merawat.
9. Arsitektur Nusantara menjadikan perapian utamanya untuk mengawetkan bahan bangunan organiknya, sedang arsitektur Eropa
untuk menghangatkan ruangan dan menjadikannya galih (core) dari huniannya.
10. Arsitektur Nusantara mengonsepkan kesementaraan sedang arsitektur Eropa mengonsepkan keabadian.
11. Arsitektur Nusantara adalah arsitektur kami/kita sedang arsitektur Eropa adalah arsitektur aku.
Begitu panjang perbedaan yang ditemui di Arsitektur Nusantara bila dipersandingkan dengan arsitektur yang lain, begitu luas kemungkinan
yang dapat digunakan untuk menggali dan menemukan serta mengungkapkan apa saja yang ada di Arsitektur Nusantara. Mempelajari Arsitektur
Nusantara dengan tepat harus ditegaskan lebih dahulu ruang dan waktu dari kegiatan yang dilakukan. Penjelajahan pengetahuan Arsitektur
Nusantara tentu saja menggunakan data arsitektur tradisional untuk dianalisis dan diinterpretasikan secara arsitektural. Mari kita coba untuk
menemukan apa yang terselip di antara lipatan-lipatan kekayaan keragaman arsitektur tradisional di Nusantara karena pasti ada sesuatu yang
perlu diungkapkan sebagai pengetahuan yang dapat dipelajari dan akan memperkaya kita dalam memahami arsitektur anak bangsa di Nusantara
ke depan.
Struktur Bawah
Struktur dimengerti sebagai sarana untuk menyalurkan beban dan akibat penggunaan dan atau kehadiran bangunan ke dalam tanah. Sarana di
sini adalah obyek fisik dan nyata yang merupakan organisasi yang secara keseluruhan terdiri dari unsur-unsur pokok bangunan yang ditempatkan
dalam ruang dengan interaksi dari bagian-bagiannya (taat pada prinsip-prinsip dasar perilaku gaya obyek fisik) secara utuh/kesatuan. Oleh karena
itu dalam memahami suatu struktur ada 3 (tiga) faktor yang harus diperhatikan yaitu unsur-unsur pokok yang saling bekerja sama; tata letak antar
unsur-unsur tersebut dan bagaimana unsur-unsur tersebut dikonstruksikan sehingga secara keseluruhan bekerjasama melayani fungsi aktifitas di
dalamnya. Mempelajari struktur di Arsitektur Tradisional dengan pengetahuan ke-arsitektur-an yang akan disampaikan memang hanya dilakukan
dengan metode pendekatan logika gejala gaya yang diduga. Unsur bangunan dan/atau perencanaan komponen struktur yang ada diamati bentuk
dan konstruksinya. Berikut ini akan disampaikan beberapa temuan pada Arsitektur Nusantara bagaimana organisasi struktur bangunan berprilaku
dalam menanggapi beban lateral (gempa). Dalam menghadapi gempa, sebuah bangunan akan berperilaku plastis (daktail terhadap gempa)
disebabkan oleh perencanaan bangunan yang berkaitan dengan konfigurasi atau tata letak unsur-unsur struktur bangunan dan konstruksi pada
komponen strukturnya. Sistem struktur pada akhirnya harus dengan aman menyalurkan semua beban bagian struktur ke tanah. Pada intinya,
sistem struktur sebuah bangunan, dibangun berdasarkan pemecahan statika gaya sistem strukturnya agar tetap dalam kondisi seimbang. Pada
arsitektur tradisional di Nusantara banyak dijumpai rumah-rumah panggung yang berdiri di atas struktur tiang-tiang kayu sebagai landasan, bagian
di atasnya terdapat lantai bangunan yang dinaungi oleh atap dan biasanya dengan kemiringan yang curam. Ditemui pada landasan bangunan
tiang-tiang dengan berbagai posisi (ada yang diletakkan tegak tetapi juga ditemui tiang-tiang kayu yang direbahkan dan dijumpai pula adanya
tiang kayu yang dirikan menyilang). Jenis kayu bervariasi tergantung ketersediaan jenis kayu
yang terdapat di sekitarnya. Tinggi dan dimensi kayu serta jarak antar tiang pun ditemui
berbagai macam. Rumah Lamin di Kalimantan; Rumah Limas di Palembang; rumah
Bumbungan Limo di Sumatra Barat; rumah Tongkonan di Toraja adalah beberapa contoh
bangunan yang mempunyai tiang tinggi. Tiang-tiang ini dipersatukan dengan balok kayu datar
dengan konstruksi fleksibel dengan konstruksi ikat dan atau balok kayu mendatar bertugas
sebagai pendukung rusuk penahan papan lantai. Sedang rumah tradisional Sunda, Bali, Bugis
adalah contoh rumah dengan tiang-tiang pendek, di mana tidak ditemui bracing. Bila kita
perhatikan rumah-rumah tradisional yang terletak di daerah level kegempaan tinggi di
Nusantara, sistem struktur pasak rumah tradisional Nias Utara dan Nias Selatan menanggapi
gaya lateralnya secara khas yaitu dengan memilih bahan dari gelondong kayu sebagai tiang
tegak dan tiang bracing miring dengan perletakan yang rapat. Sedang di rumah Batak
Simalungun landasan tidak ditemui adanya bracing, tetapi demensi gelondong kayu sangat
besar.Tetapi kita juga menemui pemecahan struktur di daerah rawan gempa ini dengan
menggunakan gelondong kayu yang diletakkan mendatar sebagai landasan bangunan seperti
ditemui antara lain di Bolon Adat Simalungun dan Lobo di Ngata Toro Sulawesi tengah. Hal ini
memperlihatkan teknologi dalam menanggapi gaya lateral diselesaikan dengan
memperluas permukaan yang menerima gaya lateral dan memperberat kekakuan bahan
bangunan (reaksi internal bahan bangunan). Kalau diperhatikan pada contoh bangunan
arsitektur tradisional di atas, maka semua landasan yang berupa tiang tegak atau balok
mendatar di daerah tersebut diletakkan di atas Struktur di Arsitektur Nusantara 22 |
Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016 umpak batu. Hal ini juga memperlihatkan bahwa
distribusi beban yang disalurkan oleh tiang tegak maupun mendatar adalah gaya aksial
saja. Sistem Base Isolation adalah pemecahan yang brilian dan mencengangkan
bagaimana kesadaran akan perilaku gaya yang terjadi akibat bentuk bangunan dan
pemilihan bahan bangunan dari kayu yang tidak tahan terhadap torsi diselesaikan dengan
konstruksi goyang yang fleksibel dan perletakkan yang bersifat roll. Berdasarkan temuan
pada rumah-rumah tradisional di atas dapat diambil kesimpulan bahwa penggunaan bahan
kayu dan pemahaman akan karakter bahan kayu; tinggi tiang kayu; jarak antar tiang; ukuran
diameter kayu; pemilihan konstruksi sambungan yang fleksibel merupakan keandalan
cemerlang struktur rumah tradisional dalam menanggapi gaya lateral gempa.
Struktur Atas
Pada pembicaraan sebelumnya kita telah membuka lipatan-lipatan pengetahuan tentang
landasan bangunan maka pada sesi kedua ini akan kita buka lipatan-lipatan pada bagian atas
alas bangunan di arsitektur Tradisional. Pada dasarnya struktur bangunan terdiri dari 3 bagian
sarana struktur yaitu struktur landasan bangunan dan struktur badan bangunan serta struktur
atap bangunan. Arsitektur Nusantara menurut Josef Prijotomo (2012) adalah Arsitektur
Pernaungan di mana konsep perencanaan di Arsitektur Nusantara terdiri dari alas/lantai
bangunan yang mewadahi kegiatan bernaung dan Atap yang menaungi kegiatan di atas alas
tersebut. Mari kita perhatikan tata-cara membangun rumah tradisional Wae Rebo, tiang-tiang
tegak landasan didirikan dengan menanamnya sampai 1 (satu) meter ke dalam tanah. Sebelum
ditanam, tiang-tiang dibalut dengan tali ijuk sepanjang bagian tiang kayu yang dibenamkan
dalam tanah. Kemudian tiang-2 ini dipersatukan dengan balokbalok kayu mendatar yang
berfungsi sebagai rusuk papan lantai. Di atas alas lantai ini didirikan2 (dua) tiang utama yang
menjadi penopang rusuk rangka atap. Baru setelah itu papan kayu sebagai penutup rangka
badan bangunan. Demikian pula dapat kita saksikan kerangka bangunan arsitektur tradisional di
Nusantara yang mempunyai prosedur membangun yang sama (rumah Jawa, rumah Nias; rumah
Tongkonan; rumah Limas; rumah Batak dll). Dari sisi teknik membangun, proses pembangunan
menunjukkan bahwa landasan adalah bagian bangunan yang didirikan lebih dahulu, kemudian
kerangka lantai dipasang dan kemudian
diatasnya didirikan tiang-tiang penyangga
struktur atap. Sehingga yang terjadi lebih
dahulu adalah kerangka utama bangunan, barulah dipasangkan penutup atap dan penutup
badan bangunan. Bagian atap bangunan merupakan struktur tersendiri yang didirikan diatas
lantai/alas bangunan (tiang penahan atap tidak menerus dari tanah). Tidak menggunakan kuda-
kuda Murtijas Sulistijow ati Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016 | 23 sebagai penahan beban atap.
Contoh tiang tunjuk langit di Bolon Adat berdiri di atas struktur lantai. Bentuk bangunan
mengikuti tinggi rendahnya tiang-tiang pemegang bagian atas lempeng penutup atap. Mome n
torsi yang terjadi pada masing-masing kerangka atap di kunci/dikat oleh balok-balok mendatar
mengelilingi ruang seturut alur. Sehingga masingmasing balok merupakan gaya reaksi terhadap
beban yang disalurkan dari bagian struktur lainnya secara fleksibel tetapi tetap dalam kestabilan
bangunan. Pada rumah Limas dari Palembang; rumah Dalem dari Jawa Tengah bila diperlukan,
lempengan penutup badan bangunan ini bisa dilepas. Dengan demikian ruang menjadi lebih
luas terbuka. Dapat kita temui bahwa penutup badan bangunan (gebyok) di Dalem Jawa Tengah
dapat dilepas, hal ini juga ditemui di rumah Limas Palembang. Hanya yang lebih menarik pada
rumah Limas Palembang ditemui bahwa penutup badan bangunan ini (di sisi depan yang
berbatasan dengan teras) berfungsi juga sebagai daun pintu yang hanya bisa di buka ke atas,
Seluruh penutup badan di sisi ini dikaitkan pada balok/gording, sehingga tidak perlu dipindahkan
dan dapat menjadi plafond sekaligus. Dinding pada tongkonan Toraja (oma Sebua) dibentuk
oleh papan-papan kayu yang diletakkan melintang dan diisi oleh lidah papan kayu Aru atau kayu
Kelapi yang dipenuhi ukiran di sisi luar. Lidah papan pengisi yang berukuran sama (25 x 40 cm)
yang diatur secara alur. Bila terjadi kerusakan di satu lidah akan mudah diganti. Demikian pula
yang ditemui pada uma Sebua, Nias Selatan, dinding sisi depan (towa) terdiri kerangka dari
bilah-bilah papan (Ina Lago dan Ono Lago) yang berdiri vertikal. Lempeng dinding sisi depan
Uma ini terdiri dari 2 bagian. Dinding bagian atas menumpang balok kayu Lago-lago. Dinding
bagian bawah menumpu pada balok skholi. Pemakaian bilah papan yang diletakkan tanpa
sambungan yang rumit, memudahkan dalam mengganti, mencopot karena alasan kerusakan.
Pada Siwaluh Jabu Batak Karo, penutup badan bangunan diletakkan miring. Penutup ini juga
terdiri dari bilah bilah papan yang diukir di bagian luar. Bilah bilah ini di jepit oleh balok kayu
mendatar dan yang didirikan terlepas dari tiang-tiang tegak penahan struktur atap. Beberapa
temuan di atas menunjukkan bahwa struktur atap disalurkan melalui tiang tiang tegak di badan
bangunan dan kemudian oleh struktur landasan/dasar bangunan beban mati dan beban dinamis
lainnya diteruskan ke dalam tanah melalui tiang-tiang landasan. Kestabilan badan bangunan diperoleh dari bagaimana balok-balok kayu
pengikat/pengunci bergerak menanggapi aksi torsi tiang tegaknya secara kesatuan Dengan memahami bahwa bagian demi bagian struktur atap
dan landasan yang saling bergerak sebagai sebuah gaya aksi-reaksi hal ini juga menunjukkan bahwa sistem struktur bangunan Toraja Nias Utara
Batak Karo Struktur di Arsitektur Nusantara 24 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016 tradisional dari Arsitektur Nusantara di atas menggunakan
sistem struktur rangka batang yang berperilaku sebagai
rangka ruang terutama pada daerah dengan tingkat
kegempaan tinggi. Akibat sistem rangka batang ini,
keberadaan penutup badan bangunan hanyalah sebagai
selungkup bangunan yang berfungsi hanya sebagai tirai
atau bagian bangunan yang non struktural, sehingga sangat
layak bila ia bersifat fleksibel bagi penggunaan fungsi dan
pengembangan ruangan yang lain serta memudahkan
untuk diperbaiki tanpa merusak bagian yang lain. Temuan-
temuan yang telah disampaikan adalah sebagian kecil hasil
membuka lipatan lipatan pengetahuan struktur di Arsitektur
Nusantara. Kecemerlangan dan kearifan lokal Arsitektur
Nusantara m asih perlu digali untuk dipelajari dan dijadikan
langkah awal mengkinikannya.

Anda mungkin juga menyukai