Anda di halaman 1dari 7

Komisaris

Sekretaris Direktur Internal Audit

Divisi Adm dan Divisi Divisi Personalia


Divisi Produksi
Keuangan Pemasaran dan Umum

Bagian Bagian Akt. Bagian Bagian Bagian Bagian Bagian Bagian Bagian
Bagian Sarana
Keuangan Pajak dan Pembelian Pabrikasi Produksi Penjualan Pengembangan Personalia Umum
Pabrikasi
Asuransi Pasar
Pelaksanaan
Penghitungan
oleh PT Jof
Metal

Ketentuan Pelaksanaan
Penyetoran oleh Penilaian
Perpajakan
PT Jof Metal Pelaksanaan
Tentang Jasa
Perpajakan
Konstruksi

Pelaksanaan
Pelaporan oleh
PT Jof Metal
Jasa konstruksi termasuk salah satu jenis kegiatan yang penghasilannya dikenakan PPh bersifat final. Pengenaan PPh Final ini mulai diterapkan sejak
2008 sejak munculnya Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008. Pada masa sebelum 2008, saat Peraturan Pemerintah Nomor 140
Tahun 2000 masih berlaku, secara umum penghasilan dari usaha jasa konstruksi dikenakan PPh tetapi tidak bersifat final.

Subjek Pajak
Dalam konteks pengenaan PPh Final jasa konstruksi, yang dimaksud dengan kontraktor adalah pengusaha jasa konstruksi yang memberikan atau
menyediakan layanan jasa kontruksi. Seperti yang disebutkan oleh peraturan-peraturan tersebut di atas, kontraktor yang tercakup meliputi baik
kontraktor yang berbentuk badan hukum (badan usaha) maupun orang pribadi.

Dalam ketentuan dan peraturan perundang-undangan di bidang konstruksi, kontraktor yang berstatus sebagai orang pribadi dikelompokkan ke dalam
kelompok Grade 1 dan hanya diperkenankan untuk mengerjakan proyek konstruksi dengan nilai tidak lebih dari Rp 100.000.000,00 (Peraturan Lembaga
Pengembangan Jasa Konstruksi Nomor 11 Tahun 2006).

Objek PPh Final


Para kontraktor tersebut di atas, dikenakan PPh atas penghasilan mereka yang berasal dari kegiatan usaha jasa konstruksi. Usaha jasa konstruksi yang
penghasilannya ditetapkan menjadi objek PPh Final Pasal 4 ayat (2) terdiri dari 3 kelompok jasa, yaitu:
Jasa Perencanaan Konstruksi
Perencanaan konstruksi adalah layanan jasa di bidang konstruksi yang hasil pekerjaannya diwujudkan dalam bentuk dokumen perencanaan
pembangunan bangunan atau bentuk fisik lain. Misalnya jasa penggambaran bangunan (arsitek), jasa penelitian tanah atau lahan tempat bangunan
akan didirikan, jasa penelitian dan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) dan jasa perencanaan pembangunan lainnya baik yang merupakan
serangkaian kegiatan yang dilakukan secara menyeluruh atau sebagian atau dilakukan secara terpisah. Sedangkan yang dimaksud dengan 'bentuk fisik
lain' adalah konstruksi teknik yang bukan berbentuk bangunan(gedung, rumah, dlsb) seperti misalnya proyek pembangunan instalasi pembangkit tenaga
listrik,pembangunan instalasi pengeboran minyak, dlsb.
Jasa Pelaksanaan Konstruksi
Jasa pelaksanaan konstruksi adalah jasa di bidang konstruksi untuk melaksanakan perencanaan konstruksi menjadi bentuk bangunan atau fisik lain atau
jasa dalam bentuk melaksanakan pembangunan bangunan. Termasuk di dalamnya adalah pekerjaan konstruksi terintegrasi yaitu penggabungan fungsi
layanan dalam model penggabungan perencanaan, pengadaan, dan pembangunan (engineering, procurement and construction) serta model
penggabungan perencanaan dan pembangunan (design and build). Jasa perbaikan, perawatan maupun pemeliharaan bangunan, khususnya yang
dilakukan oleh pemberi jasa yang kegiatan usahanya di bidang konstruksi (punya surat izin usaha jasa konstruksi/SIUJK) juga termasuk dalam pengertian
jasa pelaksanaan konstruksi.
Jasa Pengawasan Konstruksi
Jasa pengawasan konstruksi adalah jasa di bidang pengawasan terhadap proyek atau pelaksanaan konstruksi mulai dari awal pelaksanaan
pekerjaan/proyek konstruksi sampai selesai dan bangunan diserahterimakan. Misalnya jasa mandor konstruksi, jasa penilai pekerjaan konstruksi.

Tarif PPh Final Jasa Konstruksi


Dalam peraturan perundang-undangan di bidang konstruksi ada ketentuan bahwa sebelum mengajukan mengajukan permohonan untuk meminta surat
izin usaha jasa konstruksi, pengusaha harus terlebih dahulu mengajukan sertifikasi dan registrasi kepada Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK)
untuk memperoleh Sertifikat Badan Usaha (SBU). Ini semacam dokumen formal yang menyatakan kemampuan atau kompetensi dari si pengusaha jasa
konstruksi. Dalam kesehariannya, SBU ini sering hanya disebut dengan kualifikasi usaha atau sertifikat kualifikasi usaha.
Khusus untuk jasa pelaksanaan konstruksi, kualifikasi usaha itu bahkan dibagi ke dalam tiga kelompok yakni: kecil, menengah dan besar. Menurut
Peraturan LPJK Nomor 11 Tahun 2006 pengelompokkan tersebut didasarkan pada apa yang disebut 'grade' yaitu tingkat kemampuan atau kompetensi
dari si kontraktor, seperti tampak pada tabel berikut:

Kualifikasi Usaha Jasa Pelaksanaan Konstruksi

KUALIFIKAS KELOMPO
GRADE KOMPETENSI PERUNTUKAN
I K

Pengusaha Perorangan Badan


Grade Rp. 0 Juta s.d Rp. 100
Kecil K3 Usaha Badan Usaha Badan
1= Juta
Usaha

Pengusaha Perorangan Badan


Grade Rp 100
Kecil K2 Usaha Badan Usaha Badan
2= Juta s.d. Rp 300 Juta
Usaha

Pengusaha Perorangan Badan


Grade 3 300 Juta s.d Rp 600
Kecil K1 Usaha Badan Usaha Badan
= Juta
Usaha

600 Juta Pengusaha Perorangan Badan


Grade
Kecil s.d Rp 1.000.000.000. Usaha Badan Usaha Badan
4=
00 Usaha

Grade Rp 1 Milyar s.d. Rp 10


Menengah M Badan Usaha
5= Milyar

Grade 6 Rp 1 Milyar s.d. Rp 25


Besar B2 Badan Usaha
= Milyar

Grade Rp 1 Milyar s.d. tidak


Besar B1 Badan Usaha (termasuk asing)
7= dibatasi
Tetapi dalam kenyataannya tidak sedikit pengusaha jasa konstruksi (kontraktor) yang tidak memiliki sertifikat tersebut. Ada juga kontraktor yang tidak
memperpanjang masa berlaku sertifikat kualifikasi usaha. Asal tahu saja, sertifikat kualifikasi usaha itu memiliki masa berlaku layaknya SIM atau KTP.
Kalau tidak salah, masa berlaku SBU atau sertifikat kualifikasi usaha ini selama 3 tahun.
Kembali ke soal tarif PPh Final jasa konstruksi, menurut PP Nomor 51 Tahun 2008 tarif untuk kontraktor yang punya SBU atau sertifikat kualifikasi usaha
dibedakan dengan tarif untuk kontraktor yang tidak punya SBU (termasuk kontraktor yang masa berlaku SBU-nya sudah habis tetapi tidak atau belum
diperpanjang). Tarif PPh Final jasa konstruksi sebagaimana ditetapkan oleh PP Nomor 51 Tahun 2008 adalah seperti berikut:
Jasa Perencanaan Konstruksi:
4% (empat persen), jika kontraktor mempunyai sertifikat kualifikasi usaha (SBU); atau
6% (enam persen), jika kontraktor tidak mempunyai sertifikat kualifikasi usaha.
Jasa Pelaksanaan Konstruksi:
2% (dua persen), jika kontraktor mempunyai sertifikasi kualifikasi usaha kecil (kelompok Grade 1, Grade 2, Grade 3 dan Grade 4);
3% (tiga persen), jika kontraktor mempunyai sertifikasi kualifikasi usaha menengah maupun besar (kelompok Grade 5, Grade 6 maupun
Grade 7); atau
4% (empat persen), jika kontraktor tidak mempunyai sertifikasi kualifikasi usaha.
Jasa Pengawasan Konstruksi:
4% (empat persen), jika kontraktor mempunyai sertifikat kualifikasi usaha; atau
6% (enam persen), jika kontraktor tidak mempunyai sertifikat kualifikasi usaha.

Dasar Pengenaan Pajak

PPh Final jasa konstruksi dihitung dengan cara mengalikan tarif tersebut di atas dengan Dasar Pengenaan Pajak (DPP). Menurut Pasal 4 ayat (2) dan
ayat (3) PMK Nomor 187/PMK.03/2008, DPP yang digunakan untuk menghitung PPh Final jasa konstruksi adalah:
1. jumlah pembayaran, apabila PPh Final jasa konstruksi dikenakan melalui pemotongan PPh oleh pengguna jasa (pemilik proyek atau owner);
2. jumlah penerimaan pembayaran, apabila PPh Final jasa konstruksi dikenakan melalui penyetoran sendiri oleh kontraktor yang
bersangkutan.
Pasal 4 tersebut hanya menyebutkan kata "jumlah pembayaran" atau kata "jumlah penerimaan pembayaran" tanpa memberikan embel-embel jasa atau
barang (material). Inilah yang membuat praktisi pajak kemudian berpendapat bahwa DPP untuk jasa konstruksi adalah total imbalan jasa dan material,
sama seperti masa sebelumnya saat berlakunya PP Nomor 140 Tahun 2000.

Saat Terutangnya PPh Final


Kemudian jika diperhatikan lebih seksama, Pasal 4 PMK Nomor 187/PMK.03/2008 tadi juga secara tegas menyatakan bahwa saat terutangnya
PPh Final jasa konstruksi terjadi pada saat pembayaran atau diterimanya pembayaran (cash basis), bukan
pada saat munculnya utang atau piutang (accrual basis).
Sebagai contoh misalnya PT Wika (kontraktor) menyampaikan tagihan kepada PT ABC (owner) pada tanggal 9 Nopember 2012. Pada saat menerima
tagihan tersebut baik PT Wika maupun PT ABC sudah sama-sama mengakui beban dan utang/piutang. Jika seandainya tagihan tersebut dibayar pada
bulan Desember 2012, maka saat terutangnya PPh Final adalah di bulan (masa pajak) Desember 2012. Ini artinya, PT ABC harus memotong PPh Final
pada bulan (masa pajak) Desember 2012.
Pemotongan PPh oleh Pengguna Jasa
Pembayaran atau pelunasan PPh Final jasa konstruksi dilakukan melalui salah satu dari dua cara, yakni melalui pemotongan oleh pengguna jasa (owner)
atau dengan cara disetor sendiri oleh si kontraktor (pemberi jasa).
Jika pengguna jasa (owner) berstatus sebagai pemotong PPh, maka pelunasan PPh Final jasa konstruksi dilakukan melalui pemotongan PPh Final oleh
pengguna jasa. Dalam hal ini pengguna jasa wajib melakukan pemotongan, penyetoran dan pelaporan PPh Final pada waktu yang telah ditetapkan.

Pemotongan
PPh Final jasa konstruksi dilakukan pada saat pembayaran (cash basis). Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 4 ayat (2) PMK Nomor 187/PMK.03/2008.
Misalnya pada tanggal 9 Nopember 2012 PT ABC menerima tagihan dari kontraktor atas proyek pembangunan gedung milik PT ABC. Kemudian
pembayaran tagihan itu dilakukan pada bulan Desember 2012. Dalam hal ini pemotongan PPh Final jasa konstruksi wajib dilakukan pada bulan

Desember 2012 (bulan pembayaran).


Saat pemotongan PPh ini dibuktikan dengan tanggal yang tercantum dalam Bukti Pemotongan PPh Final Pasal 3 ayat (2). Artinya, untuk tagihan tersebut
tanggal yang harus tercantum dalam bukti pemotongan PPh maksimal tanggal 31 Desember 2012.

Penyetoran
PPh Final jasa konstruksi dilakukan paling lambat pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah bulan terutangnya PPh Final jasa konstruksi.
Misalnya dalam contoh di atas, PT ABC harus menyetorkan PPh Final jasa konstruksi tersebut paling lambat pada tanggal 10 Januari 2013. Jika tanggal 10
itu jatuh tepat pada hari libur, termasuk hari Sabtu atau libur nasional, maka sesuai ketentuan Pasal 3 PMK Nomor 184/PMK.03/2007, penyetoran pajak
bisa dilakukan pada hari kerja berikutnya.
Penyetoran PPh Final dilakukan dengan menggunakan SSP di mana satu SSP digunakan untuk penyetoran seluruh PPh Final jasa konstruksi yang
dipotong di bulan yang bersangkutan.

Pelaporan
PPh Final jasa konstruksi dilakukan bersamaan dengan pelaporan PPh Final lainnya (seperti pemotongan PPh Final sewa tanah/bangunan, dividen, dlsb).
Pelaporan menggunakan formulir SPT Masa PPh Pasal 4 Ayat (2)kode formulir F.1.1.32.04dan disampaikan ke KPP tempat pemotong PPh terdaftar.
Pelaporan harus dilakukan paling lambat tanggal 20 (dua puluh) bulan berikutnya setelah bulan terutangnya PPh Final. Seperti contoh di atas, PT
ABC wajib melaporkan SPT Masa PPh Pasal 4 Ayat (2) ke KPP tempatnya terdaftar paling lambat tanggal 20 Januari 2013. Dan jika tanggal 20 itu jatuh
tepat pada hari libur, termasuk hari Sabtu maupun libur nasional, maka pelaporan SPT Masa dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.
Dalam peraturan-peraturan yang disebutkan di awal artikel ini, tidak disebutkan siapa saja yang dimaksud dengan subjek pemotong PPh. Akan tetapi jika
kita sandingkan dengan ketentuan umum mengenai potong-pungut PPh (withholding tax) seperti PPh Pasal 21, 23, 26, 15 dan lainnya, maka yang
dimaksud dengan owner subjek pemotong PPh semestinya meliputi:
badan, lembaga atau institusi pemerintah;
Subjek Pajak badan dalam negeri termasuk BUT;
Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya yang ada di Indonesia; dan
Orang pribadi yang ditunjuk oleh Dirjen Pajak (c.q. KPP setempat).

Penyetoran Sendiri oleh Kontraktor


Apabila pengguna jasa (owner) bukan pemotong PPh, maka kontraktor selaku pemberi jasa dan penerima penghasilan wajib menyetorkan sendiri PPh
Final yang terutang tersebut.

1. Penyetoran sendiri PPh Final oleh si pemberi jasa dilakukan paling lambat pada tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah bulan
diterimanya pembayaran (cash basis). Jika tanggal 10 itu jatuh tepat pada hari libur, termasuk hari Sabtu atau libur nasional, maka sesuai
ketentuan Pasal 3 PMK Nomor 184/PMK.03/2007, penyetoran pajak bisa dilakukan pada hari kerja berikutnya. Penyetoran sendiri PPh Final
dilakukan dengan menggunakan SSP di mana satu SSP digunakan untuk penyetoran seluruh PPh Final jasa konstruksi di bulan yang
bersangkutan yang belum dipotong oleh owner.
2. Pelaporan PPh Final jasa konstruksi oleh kontraktor yang melakukan penyetoran sendiri jugadilakukan bersamaan dengan pelaporan PPh
Final lainnya (seperti PPh Final sewa tanah dan bangunan, dan PPh Final lainnya yang tidak dipotong oleh pengguna jasa). Pelaporan
menggunakan formulir SPT Masa PPh Pasal 4 Ayat (2)kode formulir F.1.1.32.04dan disampaikan ke KPP tempat kontraktor terdaftar.
Pelaporan harus dilakukan paling lambat tanggal 20 (dua puluh) bulan berikutnya setelah bulan diterimanya pembayaran imbalan jasa
konstruksi. Dan jika tanggal 20 itu jatuh tepat pada hari libur, termasuk hari Sabtu maupun libur nasional, maka pelaporan SPT Masa dapat
dilakukan pada hari kerja berikutnya.

Anda mungkin juga menyukai