Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN KASUS KECIL

KOLELITIASIS AKUT

Dibuat oleh:
dr. Jeny Pesonawati

Pembimbing:
dr. Fatkhur Roofi Khoeri

PROGRAM DOKTER INTERNSIP

RSUD BATANG
2017
BORANG PORTOFOLIO

Nama Peserta : Jeny Pesonawati, dr.

Nama Wahana : RSUD Batang

Topik : KOLELITIASIS AKUT

Tanggal Kasus : 6 Agustus 2017

Nama Pasien : Ny. T No RM : 37.62.xx

Tanggal Presentasi: Agustus 2017 Nama Pendamping : Fatkhur Roofi Khoeri, dr.

Tempat Presentasi : Ruang Komite Medik RSUD Batang

Obyektif Presentasi :

Keilmuan Ketrampilan Penyegaran Tinjauan Pustaka

Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa

Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia Bumil

Deskripsi :

Tujuan : diagnosis, manajemen, prevensi

Bahan Bahasan : Tinjauan Pustaka Riset Kasus Audit

Cara Pembahasan : Diskusi Presentasi dan diskusi Email Pos

2
BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kolelitiasis atau batu saluran empedu merupakan penyakit yang umumnya lebih sering
ditemukan di negara maju dan jarang ditemukan di negara-negara berkembang. Namun,
dengan membaiknya keadaan sosial ekonomi, perubahan menu makanan ala barat serta
perbaikan sarana diagnosis khususnya ultrasonografi, prevalensi penyakit kolelitiasis di
negara berkembang cenderung mengalami peningkatan.1
Kolelitiasis merupakan salah satu masalah gastrointestinal yang paling sering
menyebabkan dilakukannya intervensi bedah. Tiap tahun, dilakukan sekitar 500.000 prosedur
kolesistektomi di Amerika Serikat. Kolelitiasis terjadi pada sekitar 10% populasi usia dewasa
di Amerika Serikat, dimana batu empedu kolesterol ditemukan pada 70% dari semua kasus
dan 30% sisanya terdiri atas batu pigmen dan jenis batu dari sejumlah komposisi lain. 2 Angka
kejadian batu saluran empedu ini nampak semaking meningkat seiring bertambahnya usia. 3
Penelitian menggunakan pemeriksaan ultrasonografi menunjukkan bahwa 60-80% pasien
dengan batu saluran empedu umumnya nampak asimtomatik.4,5,6
Faktor risiko untuk pembentukan batu empedu meliputi obesitas, diabetes melitus,
estrogen dan kehamilan, penyakit hemolitik, dan sirosis. 3 Manifestasi klinik dari batu empedu
dapat berupa nyeri episodik (kolik bilier), inflamasi akut di kandung empedu (kolesistitis
akut) atau inflamasi di saluran empedu (kolangitis akut), komplikasi- komplikasi akibat
migrasi batu empedu ke dalam koledokus seperti pankreatitis, obstruksi saluran empedu yang
dapat mengganggu fungsi hati yakni ikterus obstruktif sampai sirosis bilier.6
Kolesistitis didefinisikan sebagai inflamasi kandung empedu yang paling sering
disebabkan oleh obstruksi duktus sistikus akibat adanya koleitiasis. Sembilan puluh persen
kasus kolesistitis terjadi akibat adanya batu duktus sistikus (kolesistitis kalkulosa), sementara
10% sisanya merupakan kasus kolesistitis akalkulosa.7 Dari semua warga Amerika Serikat
yang menderita kolelitiasis, sekitar sepertiganya juga menderita kolesistitis akut.8
Faktor risiko kolesistitis umumnya serupa dengan kolelitiasis.9,10 Penyakit ini lebih
sering terjadi pada wanita hamil dan yang mengkonsumsi obat-obat hormonal. Hal ini
mungkin berkaitan dengan kadar progesteron yang tinggi yang menyebabkan hambatan aliran
empedu. Di Indonesia, walaupun belum ada data epidemiologis penduduk, angka kejadian
kolesistitis dan kolelitiasis umumnya relatif lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara
barat. Meskipun dikatakan bahwa pasien kolesistitis akut umumnya perempuan, gemuk dan
3
berusia di atas 40 tahun, tetapi menuruit Lesman LA, dkk, hal ini sering tidak sesuai untuk
pasien-pasien di negara kita.8
Pasien yang asimptomatik umumnya dapat ditangani secara konsrevatif, Namun, sekitar
35% pasien dengan kolelitiasis asimptomatik pada akhirnya dapat mengalami komplikasi
atau gejala berulang sehingga memerlukan terapi bedah. Selama dua dekade terakhir, prinsip
umum penanganan batu saluran empedu tidak banyak mengalami perubahan. Namun, metode
terapi yang digunakan sudah banyak berkembang. Saat ini, kolesistektomi laparoskopik,
laparoskopi eksplorasi duktus biliaris komunis, dan terapi retrograde endoskopik untuk batu
duktus biliaris komunis (CBD) nampak memainkan peranan penting untuk terapi batu saluran
empedu. Namun, terapi pilihan yang utama untuk batu saluran empedu tetap menggunakan
prosedur kolesistektomi.3,9

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi9,10,14

Kolelitiasis adalah istilah medis untuk penyakit batu saluran empedu. Kolelitiasis
disebut juga sebagai batu empedu, gallstone, atau kalkulus biliaris. Batu empedu merupakan
gabungan dari beberapa unsur yang membentuk suatu material mirip batu yang dapat
ditemukan dalam kandung empedu (kolesistolitiasis) atau di dalam saluran empedu
(koledokolitiasis) atau pada kedua-duanya. Koledokolitiasis biasanya terjadi saat batu
empedu keluar dari kandung empedu dan masuk ke duktus biliaris komunis.

Gambar 1. Batu di dalam kandung empedu dan saluran biliaris.

Kolesistitis didefinisikan sebagai inflamasi pada dinding kandung empedu yang paling
sering disebabkan oleh obstruksi duktus sistikus akibat adanya kolelitiasis, yang umumnya
disertai keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan demam.4,7

B. Anatomi1,4,11

Kandung empedu (Vesica fellea) adalah kantong berbentuk buah pear yang terletak
pada permukaan visceral hepar, panjangnya sekitar 7 10 cm. Kapasitasnya sekitar 30-50 cc
dan dalam keadaan terobstruksi dapat menggembung sampai 300 cc. Vesica fellea dibagi
menjadi fundus, corpus dan collum. Fundus berbentuk bulat dan biasanya menonjol dibawah
pinggir inferior hepar yang dimana fundus berhubungan dengan dinding anterior abdomen
setinggi ujung rawan costa IX kanan. Corpus bersentuhan dengan permukaan visceral hati
dan arahnya keatas, belakang dan kiri. Collum dilanjutkan sebagai duktus cysticus yang

5
berjalan dalam omentum minus untuk bersatu dengan sisi kanan ductus hepaticus comunis
membentuk duktus koledokus. Peritoneum mengelilingi fundus vesica fellea dengan
sempurna menghubungkan corpus dan collum dengan permukaan visceral hati.

Gambar 2. Anatomi vesica fellea dan organ sekitarnya.

Pembuluh arteri kandung empedu adalah arteri cystica, cabang arteri hepatica kanan.
Vena cystica mengalirkan darah lengsung kedalam vena porta. Sejumlah arteri yang sangat
kecil dan vena vena juga berjalan antara hati dan kandung empedu.
Pembuluh limfe berjalan menuju ke nodi lymphatici cysticae yang terletak dekat collum
vesica fellea. Dari sini, pembuluh limfe berjalan melalui nodi lymphatici hepaticum
sepanjang perjalanan arteri hepatica menuju ke nodi lymphatici coeliacus. Saraf yang menuju
kekandung empedu berasal dari plexus coeliacus.

Gambar 3. Anatomi vesica fellea dan skema aliran saluran bilier.

6
C. Fisiologi1,2,4,12,13

Salah satu fungsi hati adalah untuk memproduksi cairan empedu, normalnya antara
600-1200 ml/hari. Kandung empedu (vesica fellea) berperan sebagai reservoir empedu dan
mampu menyimpan sekitar 45-50 ml cairan empedu. Diluar waktu makan, empedu disimpan
untuk sementara di dalam kandung empedu, dan di sini akan mengalami proses pemekatan.
Fungsi primer dari kandung empedu adalah memekatkan empedu dengan absorpsi air dan
natrium. Kandung empedu mampu memekatkan zat terlarut yang kedap, yang terkandung
dalam empedu hepatik 5-10 kali dan mengurangi volumenya 80-90%. Untuk membantu
proses pemekatan cairan empedu ini, mukosa vesica fellea mempunyai lipatan-lipatan
permanen yang satu sama lain saling berhubungan. Sehingga permukaanya tampak seperti
sarang tawon. Sel-sel thorak yang membatasinya juga mempunyai banyak mikrovilli.
Empedu dibentuk oleh sel-sel hati dan ditampung di dalam kanalikuli. Cairan ini
kemudian disalurkan ke duktus biliaris terminalis yang terletak di dalam septum interlobaris.
Saluran ini kemudian keluar dari hati sebagai duktus hepatikus kanan dan kiri. Kemudian
keduanya membentuk duktus biliaris komunis. Pada saluran ini sebelum mencapai doudenum
terdapat cabang ke kandung empedu yaitu duktus sistikus yang berfungsi sebagai tempat
penyimpanan empedu sebelum disalurkan ke duodenum.

Menurut Guyton &Hall, 1997 empedu memiliki dua fungsi penting:


Empedu memainkan peranan penting dalam pencernaan dan absorpsi lemak, karena asam
empedu yang melakukan dua hal antara lain: asam empedu membantu mengemulsikan
partikel-partikel lemak yang besar menjadi partikel yang lebih kecil dengan bantuan enzim
lipase yang disekresikan dalam getah pankreas, Asam empedu membantu transpor dan
absorpsi produk akhir lemak yang dicerna menuju dan melalui membran mukosa
intestinal.
Empedu bekerja sebagai suatu alat untuk mengeluarkan beberapa produk buangan yang
penting dari darah, antara lain bilirubin, suatu produk akhir dari penghancuran
hemoglobin, dan kelebihan kolesterol yang di bentuk oleh sel- sel hati.

D. Etiologi9,10,15

Etiologi, faktor risiko dan patogenesis untuk kolesistitis umumnya akan berbeda-beda
menurut jenis batu empedu (batu kolesterol dan batu pigmen).

Batu kolesterol

7
Batu kolesterol berhubungan dengan sejumlah faktor risiko, antara lain adalah:
Jenis kelamin
Batu empedu lebih sering terjadi pada wanita dari pada laki-laki dengan perbandingan 4:1.
Wanita mempunyai resiko 3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan pria.
Ini dikarenakan oleh hormon esterogen berpengaruh terhadap peningkatan eskresi
kolesterol oleh kandung empedu.16
Suku bangsa
Batu empedu memperlihatkan variasi genetik. Kecenderungan membentuk batu empedu
bisa berjalan dalam keluarga10. Di negara Barat penyakit ini sering dijumpai, di Amerika
Serikat 10-20 % laki-laki dewasa menderita batu kandung empedu. Batu empedu lebih
sering ditemukaan pada orang kulit putih dibandingkan kulit hitam. Batu empedu juga
sering ditemukan di negara lain selain AS, Chile dan Swedia.17
Usia
Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. Orang
dengan usia > 60 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan
orang degan usia yang lebih muda. Usia rata-rata tersering terjadinya batu empedu adalah
40-50 tahun.11,18
Obesitas
Sindroma metabolik terkait obesitas, resistensi insulin, diabetes mellitus tipe II, hipertensi,
dan hiperlipidemia berhubungan dengan peningkatan sekresi kolesterol hepar dan
merupakan faktor risiko utama untuk terbentuknya batu kolesterol.9
Kehamilan
Batu kolesterol lebih sering ditemukan pada wanita yang sudah mengalami lebih dari satu
kali kehamilan. Faktor utama yang diperkirakan turut berperan pada risiko ini adalah
tingginya kadar progesteron selama kehamilan. Progesteron dapat mengurangi
kontraktilitas kandung empedu, sehingga menyebabkan terjadinya retensi yang lebih lama
dan pembentukan cairan empedu yang lebih pekat di dalam kandung empedu.9
Stasis cairan empedu
Penyebab lain dari stasis kandung empedu yang berhubungan dengan peningkatan risiko
batu empedu meliputi cedera medula spinalis, puasa jangka panjang dengan pemberian
nutrisi parenteral total saja, serta penurunan berat badan cepat akibat restriksi kalori dan
lemak yang berat (seperti diet, operasi gastric bypass).9
Obat-obatan
Terdapat sejumlah obat yang berhubungan dengan pembentukan batu kolesterol. Estrogen
yang diberikan untuk kontrasepsi atau terapi kanker prostat dapat meningkatkan risiko
batu kolesterol dengan meningkatkan sekresi kolesterol empedu. Clofibrate dan obat
hipolipidemia fibrat lain dapat meningkatkan eliminasi kolesterol hepar hepatik melalui
sekresi biliaris dan nampaknya dapat meningkatkan risiko terbentuknya batu kolesterol.
8
Analog somatostatin nampak menjadi predisposisi terbentuknya baru empedu dengan
mengurangi proses pengosongan batu empedu.9,10
Faktor keturunan
Penelitian pada kembar identik dan fraternal menunjukkan bahwa sekitar 25% kasus batu
kolesterol memiliki predisposisi genetik. Terdapat sekurangnya satu lusin gen yang
berperan dalam menimbulkan risiko ini.19Dapat terjadi suatu sindroma kolelitiasis terkait
kadar fosfolipid yang rendah pada individu dengan defisiensi protein transport bilier
herediter yang diperlukan untuk sekresi lecithin.15

Batu pigmen hitam dan coklat9


Batu pigmen hitam umumnya terbentuk pada individu dengan metabolisme heme yang
tinggi. Kelainan hemolisis yang berhubungan dengan batu pigmen meliputi anemia sel sabit,
sferositosis herediter, dan beta-thalassemia. Pada sirosis, hipertensi portal dapat
menyebabkan terjadinya splenomegali. Hal ini kemudian akan menyebabkan sekuestrasi sel
darah merah, dan menyebabkan terjadinya peningkatan metabolisme hemoglobin. Sekitar
separuh dari semua pasien sirosis nampak memiliki batu pigmen.
Batu pigmen coklat dapat terbentuk bila terjadi stasis intraduktal disertai kolonisasi
bakteri kronik cairan empedu. Di Amerika Serikat, kombinasi ini paling sering ditemukan
pada pasien dengan striktura biliaris paska-pembedahan atau kista koledokus. Di daerah
pertanian Asia Timur, infestasi cacing saluran empedu dapat menyebabkan striktura biliaris
dan memicu terbentuknya batu pigmen coklat di seluruh saluran bilier intrahepatik dan
ekstrahepatik. Kelainan ini, yang disebut sebagai hepatolithiasis, dapat menyebabkan
kolangitis rekuren dan menjadi predisposisi terjadinya sirosis biliaris dan kolangiosarkoma.
Seperti pada kolelitiasis, penyebab kolesistitis juga berbeda menurut jenisnya. Faktor
risiko untuk terjadinya kolesistitis kakulosa umumnya serupa dengan kolelitiasis dan meliputi
jenis kelamin wanita, kelompok etnik tertentu, obesitas atau penurunan berat badan yang
cepat, obat-obatan (terutama terapi hormonal pada wanita), kehamilan dan usia. Sementara
itu, kolesistitis akalkulosa berhubungan dengan penyakit yang berhubungan dengan stasis
cairan empedu, seperti penyakit kritis, operasi besar atau trauma/luka bakar berat, sepsis,
pemberian nutrisi parenteral total (TPN) jangka panjang, puasa jangka panjang, penyakit
jantung (termasuk infark miokardium), penyakit sel sabit, infeksi Salmonella, diabetes
mellitus, pasien AIDS yang terinfeksi cytomegalovirus, cryptosporidiosis, atau
microsporidiosis. Pasien dengan imunodefisiensi juga menunjukkan peningkatan risiko
kolesistitis akibat berbagai sumber infeksi lain. Dapat dijumpai sejumlah kasus kolesistitis
idiopatik.10
9
E. Epidemiologi2,3,7,8

Kolelitiasis terjadi pada sekitar 10% populasi usia dewasa di Amerika Serikat, dimana
batu empedu kolesterol ditemukan pada 70% dari semua kasus dan 30% sisanya terdiri atas
batu pigmen dan jenis batu dari sejumlah komposisi lain. Angka kejadian batu saluran
empedu ini nampak semakin meningkat seiring bertambahnya usia. Diperkirakan bahwa
sekitar 20% pasien dewasa yang berusia lebih dari 40 tahun dan 30% yang berusia lebih dari
70 tahun menunjukkan adanya pembentukan batu saluran empedu. Selama usia reproduksi,
rasio wanita dibandingkan pria adalah sekitar 4:1, sementara pada usia lanjut umumnya
angka kejadian hampir sama pada kedua jenis kelamin.
Sembilan puluh persen kasus kolesistitis terjadi akibat adanya batu duktus sistikus
(kolesistitis kalkulosa), sementara 10% sisanya merupakan kasus kolesistitis akalkulosa. Dari
semua warga Amerika Serikat yang menderita kolelitiasis, sekitar sepertiganya juga
menderita kolesistitis akut.

F. Patogenesis

Batu empedu hampir selalu dibentuk dalam kandung empedu dan jarang pada saluran
empedu lainnya dan diklasifikasikan berdasarkan bahan pembentuknya. Etiologi batu
empedu masih belum diketahui dengan sempurna, akan tetapi, faktor predisposisi yang
paling penting tampaknya adalah gangguan metabolisme yang disebabkan oleh perubahan
susunan empedu, stasis empedu dan infeksi kandung empedu. Perubahan susunan empedu
mungkin merupakan yang paling penting pada pembentukan batu empedu, karena terjadi
pengendapan kolesterol dalam kandung empedu. Stasis empedu dalam kandung empedu
dapat meningkatkan supersaturasi progesif, perubahan susunan kimia, dan pengendapan
unsur tersebut. Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat berperan sebagian dalam
pembentukan batu, melalui peningkatan dan deskuamasi sel dan pembentukan mukus.
Sekresi kolesterol berhubungan dengan pembentukan batu empedu. Pada kondisi yang
abnormal, kolesterol dapat mengendap, menyebabkan pembentukan batu empedu. Berbagai
kondisi yang dapat menyebabkan pengendapan kolesterol adalah terlalu banyak absorbsi air
dari empedu, terlalu banyak absorbsi garam-garam empedu dan lesitin dari empedu, terlalu
banyak sekresi kolesterol dalam empedu, Jumlah kolesterol dalam empedu sebagian
ditentukan oleh jumlah lemak yang dimakan karena sel-sel hepatik mensintesis kolesterol
sebagai salah satu produk metabolisme lemak dalam tubuh. Untuk alasan inilah, orang yang

10
mendapat diet tinggi lemak dalam waktu beberapa tahun, akan mudah mengalami
perkembangan batu empedu.
Batu kandung empedu dapat berpindah kedalam duktus koledokus melalui duktus
sistikus. Didalam perjalanannya melalui duktus sistikus, batu tersebut dapat menimbulkan
sumbatan aliran empedu secara parsial atau komplet sehingga menimbulkan gejala kolik
empedu. Kalau batu terhenti di dalam duktus sistikus karena diameternya terlalu besar atau
tertahan oleh striktur, batu akan tetap berada disana sebagai batu duktus sistikus.K3[7]

G. Manifestasi Klinis

1. Asimtomatik
Batu yang terdapat dalam kandung empedu sering tidak memberikan gejala
(asimtomatik). Dapat memberikan gejala nyeri akut akibat kolesistitis, nyeri bilier,
nyeri abdomen kronik berulang ataupun dispepsia, mual. Studi perjalanan penyakit
sampai 50% dari semua pasien dengan batu kandung empedu, tanpa
mempertimbangkan jenisnya, adalah asimtomatik. Kurang dari 25% dari pasien
yang benar-benar mempunyai batu empedu asimtomatik akan merasakan gejalanya
yang membutuhkan intervensi setelah periode waktu 5 tahun. Tidak ada data yang
merekomendasikan kolesistektomi rutin dalam semua pasien dengan batu empedu
asimtomatik.2,5
2. Simtomatik
Keluhan utamanya berupa nyeri di daerah epigastrium, kuadran kanan atas. Rasa
nyeri lainnya adalah kolik bilier yang berlangsung lebih dari 15 menit, dan kadang
baru menghilang beberapa jam kemudian. Kolik biliaris, nyeri pascaprandial
kuadran kanan atas, biasanya dipresipitasi oleh makanan berlemak, terjadi 30-60
menit setelah makan, berakhir setelah beberapa jam dan kemudian pulih,
disebabkan oleh batu empedu, dirujuk sebagai kolik biliaris. Mual dan muntah
sering kali berkaitan dengan serangan kolik biliaris.14

Manifestasi Kolesistitis

Keluhan yang agak khas untuk serangan kolesistitis akut adalah kolik perut di sebelah
kanan atas epigastrium dan nyeri tekan, takikardia serta kenaikan suhu tubuh. Keluhan
tersebut dapat memburuk secara progresif. Kadang kadang rasa sakit menjalar ke pundak
atau skapula kanan dan dapat berlangsung sampai 60 menit tanpa reda. Berat ringannya
keluhan sangat bervariasi tergantung dari adanya kelainan inflamasi yang ringan sampai
11
dengan gangren atau perforasi kandung empedu. Sekitar 60 70% pasien melaporkan adanya
riwayat serangan yang sembuh spontan.8
Tanda peradangan peritoneum seperti peningkatan nyeri dengan penggetaran atau
pada pernapasan dalam dapat ditemukan. Pasien mengalami anoreksia dan sering mual.
Muntah relatif sering terjadi dan dapat menimbulkan gejala dan tanda deplesi volume
vaskuler dan ekstraseluler. Pada pemeriksaan fisis, kuadran kanan atas abdomen hampir
selalu nyeri bila dipalpasi. Pada seperempat sampai separuh pasien dapat diraba kandung
empedu yang tegang dan membesar. Inspirasi dalam atau batuk sewaktu palpasi subkosta
kudaran kanan atas biasanya menambah nyeri dan menyebabkan inspirasi terhenti (tanda
Murphy).8
Walaupun manifestasi klinis kolesistitis akalkulus tidak dapat dibedakan dengan
kolesistitis kalkulus, biasanya kolesistitis akalkulus terjadi pada pasien dengan keadaan
inflamasi kandung empedu akut yang sudah parah walaupun sebelumnya tidak terdapat tanda
tanda kolik kandung empedu. Biasanya pasien sudah jatuh ke dalam kondisi sepsis tanpa
terdapat tanda tanda kolesistitis akut yang jelas sebelumnya.15

H. Diagnosis1-4

Anamnesis
Setengah sampai duapertiga penderita kolelitiasis adalah asintomatis. Keluhan yang
mungkin timbul adalah dispepsia yang kadang disertai intoleran terhadap makanan
berlemak. Pada yang simtomatis, keluhan utama berupa nyeri di daerah epigastrium, kuadran
kanan atas atau perikomdrium. Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier yang mungkin
berlangsung lebih dari 15 menit, dan kadang baru menghilang beberapa jam kemudian.
Timbulnya nyeri kebanyakan perlahan-lahan tetapi pada 30% kasus timbul tiba-tiba.
Penyebaran nyeri pada punggung bagian tengah, skapula, atau ke puncak bahu, disertai
mual dan muntah. Lebih kurang seperempat penderita melaporkan bahwa nyeri berkurang
setelah menggunakan antasida. Kalau terjadi kolelitiasis, keluhan nyeri menetap dan
bertambah pada waktu menarik nafas dalam.

Pemeriksaan Fisik9
Batu kandung empedu
Apabila ditemukan kelainan, biasanya berhubungan dengan komplikasi, seperti kolesistitis
akut dengan peritonitis lokal atau umum, hidrop kandung empedu, empiema kandung
empedu, atau pangkretitis. Pada pemeriksaan ditemukan nyeri tekan dengan punktum

12
maksimum didaerah letak anatomis kandung empedu. Tanda Murphy positif apabila nyeri
tekan bertambah sewaktu penderita menarik nafas panjang karena kandung empedu yang
meradang tersentuh ujung jari tangan pemeriksa dan pasien berhenti menarik nafas.
Batu saluran empedu
Batu saluran empedu tidak menimbulkan gejala dalam fase tenang. Kadang teraba hati dan
sklera ikterik. Perlu diktahui bahwa bila kadar bilirubin darah kurang dari 3 mg/dl, gejala
ikterik tidak jelas. Apabila sumbatan saluran empedu bertambah berat, akan timbul ikterus
klinis.

Pemeriksaan Penunjang9

Pemeriksaan laboratorium
Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak menunjukkan kelainan pada
pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut, dapat terjadi leukositosis.
Apabila terjadi sindroma mirizzi, akan ditemukan kenaikan ringan bilirubin serum akibat
penekanan duktus koledukus oleh batu. Kadar bilirubin serum yang tinggi mungkin
disebabkan oleh batu di dalam duktus koledukus. Kadar fosfatase alkali serum dan
mungkin juga kadar amilase serum biasanya meningkat sedang setiap setiap kali terjadi
serangan akut.
Pemeriksaan radiologis
o Foto polos Abdomen
Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena hanya
sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak. Kadang kandung
empedu yang mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi dapat dilihat dengan
foto polos. Pada peradangan akut dengan kandung empedu yang membesar atau
hidrops, kandung empedu kadang terlihat sebagai massa jaringan lunak di kuadran
kanan atas yang menekan gambaran udara dalam usus besar, di fleksura hepatica.

13
Gambar 4. Gambaran batu di dalam kandung empedu pada foto polos abdomen.

o Ultrasonografi (USG)
Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi untuk
mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu intrahepatik maupun
ekstra hepatik. Dengan USG juga dapat dilihat dinding kandung empedu yang menebal
karena fibrosis atau udem yang diakibatkan oleh peradangan maupun sebab lain. Batu
yang terdapat pada duktus koledukus distal kadang sulit dideteksi karena terhalang oleh
udara di dalam usus. Dengan USG punktum maksimum rasa nyeri pada batu kandung
empedu yang ganggren lebih jelas daripada dengan palpasi biasa.
o Kolesistografi
Untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena relatif
murah, sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen sehingga dapat
dihitung jumlah dan ukuran batu. Kolesistografi oral akan gagal pada keadaan ileus
paralitik, muntah, kadar bilirubun serum diatas 2 mg/dl, okstruksi pilorus, dan hepatitis
karena pada keadaan-keadaan tersebut kontras tidak dapat mencapai hati. Pemeriksaan
kolesitografi oral lebih bermakna pada penilaian fungsi kandung empedu.

Gambar 5. Hasil USG pada kolelitiasis (kiri); hasil kolesistografi pada kolesistitis
(kanan).

Diagnosis Kolesistitis

Diagnosis kolesistitis akut biasanya dibuat beradasarkan riwayat yang khas dan
pemeriksaan fisis. Trias yang terdiri dari nyeri akut kuadran kanan atas, demam dan
leukositosis sangat sugestif. Biasanya terjadi leukositosis yang berkisar antara 10.000 sampai
dengan 15.000 sel per mikroliter dengan pergeseran ke kiri pada hitung jenis. Bilirubin serum
sedikit meningkat [kurang dari 85,5 mol/L (5mg/dl)] pada 45 % pasien, sementara 25 %

14
pasien mengalami peningkatan aminotransferase serum (biasanya kurang dari lima kali lipat).
Pemeriksaan alkali phospatase biasanya meningkat pada 25 % pasien dengan kolesistitis.
Pemeriksaan enzim amilase dan lipase diperlukan untuk menyingkirkan kemungkinan
pankreatitis, namun amilase dapat meningkat pada kolesistitis. Urinalisis diperlukan untuk
menyingkirkan kemungkinan pielonefritis. Apabila keluhan bertambah berat disertai suhu
tinggi dan menggigil serta leukositosis berat, kemungkinan terjadi empiema dan perforasi
kandung empedu dipertimbangkan.15
Pemindaian saluran empedu dengan radionuklida (mis. HDA) dapat memberikan
konfirmasi bila pada pemeriksaan pencitraan hanya tampak duktus kandung empedu tanpa
visualisasi kandung empedu.15 Foto polos abdomen tidak dapat memperlihatkan gambaran
kolesistitis akut. Hanya pada 15 % pasien kemungkinan dapat terlihat batu tidak tembus
pandang (radiopak) oleh karena mengandung kalsium cukup banyak. Kolesistografi oral tidak
dapat memperlihatkan gambaran kandung empedu bila ada obstruksi sehingga pemeriksaan
ini tidak bermanfaat untuk kolesistitis akut. Gambaran adanya kalsifikasi diffus dari kandung
empedu (empedu porselain) menunjukkan adanya keganasan pada kandung empedu.10
Pada pemeriksaan ultrasonografi (USG) sebaiknya dikerjakan secara rutin dan sangat
bermanfaat untuk memprlihatkan besar, bentuk, penebalan dinding kandung empedu, batu
dan saluran empedu ekstra hepatik. Nilai kepekaan dan ketepatan USG mencapai 90 95%.
Adapun gambaran di USG yang pada kolesistitis akut diantaranya adalah cairan perikolestik,
penebalan dinding kandung empedu lebih dari 4 mm dan tanda sonographic Murphy. Adanya
batu empedu membantu penegakkan diagnosis.10
Sensitifitas dan spesifisitas pemeriksaan CT scan abdomen dan MRI dilaporkan lebih
besar dari 95%. Pada kolesistitis akut dapat ditemukan cairan perikolestik, penebalan dinding
kandung empedu lebih dari 4 mm, edema subserosa tanpa adanya ascites, gas intramural dan
lapisan mukosa yang terlepas. Pemeriksaan dengan CT scan dapat memperlihatkan adanya
abses perikolesistik yang masih kecil yang mungkin tidak terlihat pada pemeriksaan USG.24

15
Gambar 6. CT Scan abdomen pada pasien kolesistitis akut menunjukkan adanya batu
empedu dan penebalan dinding kandung empedu.

I. Diagnosis Banding

Diagnosis kolelitiasis dan kolesistitis harus dapat ditegakkan sesegera mungkin agar
dapat dilakukan penanganan sedini mungkin dan menghindari terjadinya peningkatan
morbiditas dan mortalitas pada pasien. Untuk kolelitiasis, dapat dipertimbangkan
kemungkinan adanya patologi intra-abdominal maupun ekstra-abdominal yang
menyebabkan nyeri abdomen bagian atas. Beberapa penyakit yang perlu dipertimbangkan
adalah penyakit ulkus peptik, pankreatitis (akut atau kronik), hepatitis, dispepsia,
gastroesophageal reflux disease (GERD), irritable bowel syndrome, spasme esofagus,
pneumonia, nyeri dada karena penyakit jantung, ketoasidosis diabetik, apendisitis, striktura
duktus biliaris, kolangiokarsinoma, kolesistitis, atau kanker pankreas.9
Untuk kolesistitis akut, dapat dipertimbangkan diagnosis banding untuk nyeri perut
kanan atas yang tiba tiba, perlu dipikirkan seperti penjalaran nyeri saraf spinal, kelainan
organ di bawah diafragma seperti appendiks yang retrosekal, sumbatan usus, perforasi ulkus
peptikum, pankreatitis akut, pielonefritis dan infark miokard. Pada wanita hamil
kemungkinannya dapat preeklampsia, appendisitis dan kolelitiasis. Pemeriksaan lebih lanjut
dan penanganan harus dilakukan segera karena dapat mengancam nyawa ibu dan bayi.
Penyakit lain yang dapat dipertimbangkan antara lain adalah aneurisma aorta abdominal,
iskemia mesenterik akut, dan kolik biliaris.10

J. Penatalaksanaan3,9,10
Penatalaksanaan untuk Kolelitiasis
Saat ditemukan adanya batu empedu asimptomatik selama melakukan pemeriksaan
pasien, maka umumnya belum perlu dilakukan kolesistektomi profilaktik karena adanya
beberapa faktor. Hanya sekitar 30% pasien dengan kolelitiasis asimptomatik yang
memerlukan operasi selama masa hidup mereka, dan ini menunjukkan bahwa pada beberapa
pasien, kolelitiasis merupakan suatu kelainan yang relatif ringan dan tidak berbahaya. Pada
beberapa pasien ini dapat dilakukan penanganan konservatif. 3,9Namun, terdapat beberapa
faktor yang menunjukkan kemungkinan terjadinya perjalanan penyakit yang lebih berat pada
pasien dengan batu empedu asimptomatik sehingga perlu dilakukan kolesistektomi
profilaksis. Beberapa faktor ini antara lain adalah pasien dengan batu empedu yang berukuran
besar (>2,5 cm), pasien dengan anemia hemolitik kongenital atau kandung empedu yang
tidak berfungsi, atau pasien yang menjalani operasi kolektomi.3
16
Pada batu empedu yang simptomatik, umumnya diindikasikan untuk melakukan
intervensi bedah definitif menggunakan kolesistektomi, meskipun pada beberapa kasus dapat
dipertimbangkan untuk meluruhkan batu menggunakan terapi medikamentosa. Pada
kolelitiasis non-komplikata dengan kolik biliaris, penanganan medikamentosa dapat menjadi
alternatif untuk beberapa pasien tertentu, terutama yang menunjukkan risiko tinggi bila
menjalani operasi.9

Penatalaksanaan konservatif
Untuk penatalaksanaan konservatif dapat diberikan obat yang dapat menekan sintesis
dan sekresi kolesterol, serta menginhibisi absorbsi kolesterol di usus. Ursodiol merupakan
jenis obat yang paling sering digunakan. Ursodiol (asam ursodeoksikolat) diindikasikan
untuk batu empedu radiolusens yang berdiameter kurang dari 20 mm pada pasien yang tidak
dapat menjalani kolesistektomi. Obat ini memiliki sedikit efek inhibitorik pada sintesis dan
sekresi asam empedu endogen ke dalam cairan empedu dan nampaknya tidak mempengaruhi
sekresi fosfolipid ke dalam cairan empedu. Setelah pemberian dosis berulang, obat akan
mencapai kondisi seimbang setelah kurang lebih 3 minggu. Dosis lazim yang digunakan ialah
8-10 mg/kgBB terbagi dalam 2-3 dosis harian. Intervensi ini membutuhkan waktu 6-18 bulan
dan umumnya berhasil bila batu berukuran kecil dan murni merupakan batu kolesterol, serta
memiliki angka kekambuhan sebesar 50 % dalam 5 tahun.1,9
Terapi lain yang dapat digunakan adalah Extarcorporal Shock Wave Lithotripsy
(ESWL). Litotripsi pernah sangat populer beberapa tahun yang lalu, namun saat ini hanya
digunakna pada pasien yang benar-benar dianggap perlu menjalani terapi ini karena biayanya
yang mahal. Supaya efektif, ESWL memerlukan terapi tambahan berupa asam
ursodeoksilat.16
Penatalaksanaan Operatif
Sebaiknya tidak dilakukan terapi bedah untuk batu empedu asimptomatik. Risiko
komplikasi akibat intervensi pada penyakit asimptomatik nampak lebih tinggi dari risiko pada
penyakit simptomatik. Sekitar 25% pasien dengan batu empedu asimptomatik akan
mengalami gejala dalam waktu 10 tahun. Individu dengan diabetes dan wanita hamil perlu
menjalani pengawasan ketat untuk menentukan apakah mereka mulai mengalami gejala atau
komplikasi. Terdapat beberapa indikasi untuk melakukan kolesistektomi pada batu empedu
asimpomatik, antara lain adalah:
Pasien dengan batu empedu besar yang berdiameter lebih dari 2 cm

17
Pasien dengan kandung empedu yang nonfungsional atau nampak mengalami kalsifikasi
(porcelaingallbladder)pada pemeriksaan pencitraan dan pada pasien yang berisiko tinggi
mengalami karsinoma kandung empedu
Pasien dengan cedera medula spinalis atau neuropati sensorik yang mempengaruhi
abdomen
Pasien dengan anemia sel sabit, dimana kita akan sulit membedakan antara krisis yang
menyebabkan nyeri dengan kolesistitis
Selain itu, terdapat sejumlah faktor risiko terjadinya komplikasi batu empedu yang dapat
menjadi indikasi untuk menawarkan kolesistektomi elektif pada pasien, meskipun masih
asimptomatik. Beberapa faktor tersebut antara lain adalah:
Sirosis
Hipertensi porta
Anak-anak
Kandidat transplantasi
Diabetes dengan gejala minor
Pasien dengan kalsifikasi kandung empedu
Pada pasien kolelitiasis yang diputuskan akan menjalani terapi operatif, terdapat beberapa
teknik pembedahan yang dapat digunakan:

Kolesistektomi
Pengambilan kandung empedu (kolesistektomi) umumnya diindikasikan pada pasien
yang mengalami gejala atau komplikasi akibat adanya batu empedu, kecuali usia atau
kondisi umum pasien tidak memungkinkan dilakukannya operasi. Pada beberapa kasus
empiema kandung empedu, dapat dilakukan drainase pus sementara dari kandung empedu
(kolesistostomi) sehingga memungkinkan dilakukannya stabilisasi, untuk nantinya
dilanjutkan dengan terapi kolesistektomi elektif.
Pada pasien dengan batu empedu yang dicurigai juga memiliki batu di saluran
empedu, dokter bedah dapat melakukan kolangiografi intraoperatif pada saat operasi
kolesistektomi. Duktus biliaris komunis dapat dieksplorasi menggunakan koledokoskop.
Bila ditemukan adanya batu duktus biliaris komunis, maka biasanya akan dilakukan
ekstraksi intraoperatif. Alternatif lain yang dapat ditempuh, dokter bedah dapat membuat
sebuah fistula antara bagian distal duktus biliaris dan duodenum di sebelahnya
(koledokoduodenostomi), sehingga batu dapat masuk ke dalam usus dengan aman.
Kolesistektomi laparoskopik merupakan revolusi terapi minimal invasif, yang telah
mempengaruhi semua area praktek bedah modern. Saat ini, kolesistektomi terbuka hanya
dilakukan pada kondisi tertentu saja. pendekatan kolesistektomi terbuka dilakukan
menggunakan sebuah insisi subkostal kanan yang besar. Sebaliknya, kolesistektomi
18
laparoskopik menggunakan 4 insisi yang sangat kecil. Waktu pemulihan dan nyeri
paskaoperasi nampak jauh lebih rendah pada pendekatan laparoskopik.
Selama melakukan kolesistektomi laparoskopik, seorang dokter bedah harus
mengambil semua batu yang tidak sengaja keluar melalui perforasi pada kandung empedu.
Pada beberapa kasus tertentu, mungkin perlu dilakukan perubahan menjadi operasi
terbuka. Pada pasien dengan batu empedu yang masuk dan hilang di cavum peritoneum,
direkomendasikan untuk melakukan pemeriksaan follow-up dengan USG selama 12 bulan.
Sebagian besar kejadian komplikasi (biasanya terbentuk abses di sekitar batu) akan terjadi
dalam jangka waktu ini.
Komplikasi yang paling ditakuti dari kolesistektomi adalah kerusakan pada duktus
biliaris komunis. Kejadian cedera duktus biliaris nampak semakin meningkat sejak
dikembangkannya teknik kolesistektomi laparoskopik, namun kejadian dari komplikasi ini
sudah mulai berkurang seiring bertambahnya pengalaman dan pelatihan yang dilakukan
oleh para dokter bedah dalam bidang operasi minimal invasif.10
Kolangiografi rutin umumnya tidak banyak membantu untuk mencegah terjadinya
cedera duktus biliaris komunis. Namun, bukti menunjukkan bahwa teknik ini dapat
membantu mendeteksi cedera semacam ini pada masa intraoperasi.
Kolesistostomi
Pada pasien yang berada dalam kondisi sakit kritis dengan empiema kandung empedu
dan sepsis, operasi kolesistektomi dapat berbahaya. Pada kondisi ini, dokter bedah dapat
memilih untuk melakukan kolesistostomi, suatu prosedur minimal invasif yang dilakukan
dengan memasang pipa drainase di kandung empedu. Teknik ini biasanya dapat
memperbaiki kondisi klinis pasien. saat pasien sudah stabil, dapat dilakukan
kolesistektomidefinitif secara elektif.
Pada beberapa kasus, kolesistostomi juga dapat dilakukan oleh spesialis radiologi
invasif menggunakan panduan dari CT-scan. Pendekatan ini tidak memerlukan anestesi
dan nampak bermanfaat untuk pasien dengan kondisi klinis yang tidak stabil.
Spincterotomi endoskopik
Bila kita tidak dapat segera melakukan pengambilan batu dalam duktus biliaris
komunis, maka dapat digunakan spincterotomi retrograde endoskopik. Pada prosedur ini,
dokter akan melakukan kanulasi duktus biliaris melalui papilla Vater. Menggunakan
spincterotome elektrokauter, dokter akan membuat insisi dengan ukuran sekitar 1 cm
melalui sphincter Oddi dan bagian intraduodenal dari duktus biliaris komunis, sehingga
menghasilkan suatu lubang yang dapat digunakan untuk mengeksktraksi batu.
Spincterotomi retrograde endoskopik terutama bermanfaat pada pasien dengan
kondisi sakit berat yang mengalami kolangitis ascenderen akibat tersumbatnya ampulla

19
Vater oleh batu empedu. Indikasi lain untuk melakukan prosedur ini adalah sebagai
berikut:
o Mengambil batu duktus biliaris komunis yang tertinggal selama dilakukannya prosedur
kolesistektomi sebelumnya.
o Melakukan pembersihan batu preoperatif dari duktus biliaris komunis untuk
mengeliminasi kebutuhan akan eksplorasi duktus biliaris intraoperatif, terutama pada
kondisi dimana keahlian seorang dokter bedah dalam bidang eksplorasi
laparoskopikduktus biliaris masih terbatas atau pasien menunjukkan risiko tinggi untuk
menggunakan anestesia.
o Mencegah rekurensi pankreatitis akut akibat batu empedu atau komplikasi lain dari
koledokolitiasis pada pasien dengan keadaan umum yang terlalu buruk untuk menjalani
kolesistektomielektif atau pada pasien dengan prognosis jangka panjang yang buruk.
Spincterotomi endoskopikintraoperatif (IOES) selama dilakukannya kolesistektomi
laparoskopik dapat menjadi terapi alternatif untuk spincterotomi endoskopik preoperatif
(POES) dilanjutkan dengan kolesistektomi laparoskopik; hal ini disebabkan karena IOES
memiliki efektivitas dan tingkat keamanan yang sama dengan POES serta dapat
mengurangi lamanya perawatan di rumah sakit.9

Penatalaksanaan untuk Kolesistitis


Terapi konservatif
Walaupun intervensi bedah tetap merupakan terapi utama untuk kolestasis akut dan
komplikasinya, mungkin diperlukan periode stabilisasi di rumah sakit sebelum
kolesistektomi. Pengobatan umum termasuk istirahat total, perbaiki status hidrasi pasien,
pemberian nutrisi parenteral, diet ringan, koreksi elektrolit, obat penghilang rasa nyeri seperti
petidin dan antispasmodik. Pemberian antibiotik pada fase awal sangat penting untuk
mencegah komplikasi seperti peritonitis, kolangitis dan septisemia. Golongan ampisilin,
sefalosporin dan metronidazol cukup memadai untuk mematikan kuman-kuman yang umum
terdapat pada kolesistitis akut seperti E. Coli, Strep. faecalis dan Klebsiela, namun pada
pasien diabetes dan pada pasien yang memperlihatkan tanda sepsis gram negatif, lebih
dianjurkan pemberian antibiotik kombinasi.10,15
Berdasarkan rekomendasi Sanford, dapat diberikan ampisilin/sulbactam dengan dosis
3 gram / 6 jam, IV, cefalosporin generasi ketiga atau metronidazole dengan dosis awal 1
gram, lalu diberikan 500 mg / 6 jam, IV. Pada kasus yang sudah lanjut dapat diberikan
imipenem 500 mg / 6 jam, IV. Bila terdapat mual dan muntah dapat diberikan antiemetik atau
dipasang nasogastrik tube. Pemberian CCK secara intravena dapat membantu merangsang
20
pengosongan kandung empedu dan mencegah statis aliran empedu lebih lanjut. Pasien-pasien
dengan kolesistitis akut tanpa komplikasi yang hendak dipulangkan harus dipastikan tidak
demam dengan tanda-tanda vital yang stabil, tidak terdapat tanda-tanda obstruksi pada hasil
laboratorium dan USG, penyakit-penyakit lain yang menyertai (seperti diabetes mellitus)
telah terkontrol. Pada saat pulang, pasien diberikan antibiotik yang sesuai seperti
Levofloxasin 1 x 500 mg PO dan Metronidazol 2 x 500 mg PO, anti-emetik dan analgesik
yang sesuai.10,15

K. Komplikasi

Kolesistitis akut merupakan komplikasi penyakit batu empedu yang paling umum dan sering
meyebabkan kedaruratan abdomen, khususnya diantara wanita usia pertengahan dan manula.
Peradangan akut dari kandung empedu, berkaitan dengan obstruksi duktus sistikus atau
dalam infundibulum. Massa yang dapat dipalpasi hanya ditemukan pada 20% kasus.
Kebanyakan pasien akhirnya akan memerlukan terapi berupa kolesistektomi terbuka atau
laparoskopik.2,10
Komplikasi Kolesistektomi
Komplikasi dini setelah kolesistektomi adalah atelektasis dan gangguan paru lainnya,
pembentukan abses (sering subfrenik), perdarahan eksterna dan interna, fistula biliaris-
enterik dan kebocoran empedu. Ikterus mungkin mengisyaratkan absorpsi empedu dari suatu
sumber intraabdomen akibat kebocoran empedu atau sumbatan mekanis duktus koledokus
oleh batu, bekuan darah intraduktus atau tekanan ekstrinsik. Untuk mengurangi insidensi
komplikasi dini tersebut secara rutin dilakukan kolangiografi intraoperatif sewaktu
kolesistektomi.15

21
BAB III
IDENTITAS PASIEN

Identitas Pasien
Nama : Ny. T
Jenis kelamin : Wanita
Umur : 37 th
Alamat : Tegalsari, Kandeman, Batang
Agama : Islam
Pekerjaan : Pegawai Swasta
No. Rekam Medik : 37.62.xx
MRS : 6 Agustus 2017
DPJP : dr. M. Faizun, Sp. PD alih rawat dr. Muryanto, M.Si.Med, Sp. B
Diagnosis Masuk : Colic Abdomen
Diagnosis Keluar : Cholelitiasis multiple dengan Cholesititis Kronik
Anamnesa
Keluhan Utama : Nyeri perut kanan atas
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Batang dengan keluhan nyeri perut kanan atas sejak satu
minggu dan semakin memberat sejak satu jam Sebelum Masuk Rumah Sakit (SMRS). Nyeri
dirasakan terus-menerus menjalar sampai ulu hati, nyeri dirasakan seperti tertusuk-tusuk dan
dirasakan makin lama makin memberat. Nyeri dirasakan memberat saat perut ditekan dan
pasien bergerak, sehingga pasien tidak bisa beraktivitas. Pasien juga mengeluh tidak nafsu
makan sejak 2 hari yang lalu, demam (+), mual (+), muntah (+) dan perut terasa kembung.
Pasien belum BAB selama 2 hari , flatus (+), BAK normal. Kurang lebih satu tahun yang lalu
pasien pernah mengeluh sakit yang sama dan sering kumat-kumatan. Pada awal mulanya
nyeri dirasakan di ulu hati, kemudian berpindah diperut kanan atas. Kemudian pasien berobat
ke dokter diberi obat dan disarankan untuk periksa ke rumah sakit namun masih menunda
dengan alasan belum siap. Setelah minum obat, nyeri pun hilang.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat mondok di RS sebelumnya : tidak ada
Riwayat KB : Suntik 1 bulan
Riwayat Penyakit Keluarga

22
Tidak ada keluarga yang sakit seperti pasien
Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien merupakan pegawai swasta dan biaya pengobatan menggunakan BPJS mandiri kelas
2, kesan sosial ekonomi cukup.

Pemeriksaan Fisik
Vital sign
Nadi : 98 x/menit, teratur, kuat
Suhu : 36,8oC
Respiratory rate : 20x/menit
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Tinggi Badan : 158 cm
Berat Badan : 95 kg
Status gizi : Obesitas
Keadaan umum
Pasien tampak lemah
KU : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : Compos mentis
Pemeriksaan generalis
Kepala : mesosefal
Mata : mata cowong (-/-), conj palpebra anemis (-/-), ikterik (-/-)
Leher : pembesaran kelenjar getah bening (-/-)
Thorax : simetris, retraksi (-)
Cor : I : Ictus cordis tak tampak
Pa : Ictus cordis teraba di SIC V 2 cm sebelah medial LMCS
Pe : konfigurasi jantung dalam batas normal
Au: Suara jantung I-II murni, bising (-), gallop (-)
Pulmo : I : Simetris, statis, dinamis
Pa : Stem fremitus kanan = kiri
Pe : Sonor seluruh lapangan paru
Au: Suara dasar vesikuler, suara tambahan (-)
Abdomen : St.lokalis
Ekstremitas : akral hangat, edema (-), CRT<2/<2

23
Status lokalis (Abdomen)
Inspeksi : Bentuk simetris, datar
Auskultasi : Bising usus (+)
Palpasi : Dinding perut simetris, supel , Massa (-), Nyeri tekan (+) kuadran kanan atas,
epigastrik
Perkusi : timpani (+), Hepatomegali (+), Splenomegali (-)

Rectal toucher
Tidak dilakukan pemeriksaan RT

Pemeriksaan Laboratorium
6 Agustus 2017
HEMATOLOGI
JENIS HASIL SATUAN NILAI RUJUKAN
PEMERIKSAAN
DARAH LENGKAP :
Hemoglobin 13,1 gr/dl (11,5-16,5)

Hematokrit 37,8 % (35,0-49,0)

Lekosit 12,64 10^3/uL (4.0-10,0)

Trombosit 393 10^3/uL (150-450)

Eritrosit 4,45 10^6/uL (4,4-6,0)

INDEX ERITROSIT
MCV 84,9 Fl 79-99

MCH 29,4 Pg 27-31

MCHC 34,7 g/dl 33-37

RDW-CV 13,8 % 11,5-14,5

RDW-SD 42 fL 35-47

HITUNG JENIS (DIFF)


EOSINOFIL 0,6 % 0-3

BASOFIL 0,2 % 0-1

NEUTROFIL 65,6 % 50-70

LIMFOSIT 25,5 % 20-40

24
MONOSIT 8,1 % 2-8

KOAGULASI
CT 330 DETIK 1-6
BT 200 DETIK 2-6

KIMIA KLINIK
Ureum 20,0 mg/dL 10,0-50,0
Creatinin 0,8 mg/dL 0,6-1,0
Asam Urat 3,7 mg/dL 3,4-7,0
Cholesterol Total 178 mg/dL <200
Trigliserida 106 mg/dL <150
HLD 41 mg/dL 40-59
LDL 116 mg/dL 130-159
SGOT 11 U/L <40
SGPT 18 U/L <34
Glukosa Sewaktu 104 mg/dl 70-140

Pemeriksaan Radiologi
kesan : Hepatomegali, batu uk 3 cm di VF

25
Assesment : Colic abdomen susp. Cholelitiasis dg cholesistitis kronik

Initial Plan
Terapi:
Inf. RL 20 tpm
Inj. Pantoprazole 1 Amp/24jam
Inj. Ketorolac 1 Amp/8jam
Inj.cefotaxim 1 gr/12jam
Sukralfat syr 3x1C
Celecoxin 2x1
Urdafalk 2x1
USG abdomen

CATATAN KEMAJUAN
Tanggal Perjalanan Penyakit Perintah pengobatan/Tindakan yang
diberikan
7 Agustus S: nyeri perut kanan atas, Inf. RL 20 tpm
2017 mual, muntah Inj. Pantoprazole 1 Amp/24jam
KU : baik Inj. Ketorolac 1 Amp/8jam
TD : 110/80 Inj.cefotaxim 1 gr/12jam
N : 96 x/menit
Sukralfat syr 3x1C
t : 37
Celecoxin 2x1
Diagnosa : colic abd. Susp.
Urdafalk 2x1
Cholelitiasis dg Cholesistitis
Pro USG abdomen
kronik
8 Agustus S: nyeri perut kanan atas, Inf. RL 20 tpm
2017 mual, muntah Inj. Pantoprazole 1 Amp/24jam
KU : baik Inj. Ketorolac 1 Amp/8jam
TD : 143/92 Inj.cefotaxim 1 gr/12jam
N : 71 x/menit
Sukralfat syr 3x1C
t : 36
Celecoxin 2x1
Diagnosa : colic abd. Susp.
Urdafalk 2x1
Cholelitiasis dg Cholesistitis
Pro USG abdomen
kronik
9 Agustus S: nyeri perut kanan atas, Inf. RL 20 tpm
26
2017 mual, muntah Inj. Pantoprazole 1 Amp/24jam
KU : baik Inj. Ketorolac 1 Amp/8jam
TD : 150/89 Inj.cefotaxim 1 gr/12jam
N : 61 x/menit Sukralfat syr 3x1C
t : 36
Celecoxin 2x1
Diagnosa : colic abd. Susp.
Urdafalk 2x1
Cholelitiasis dg Cholesistitis
Hasil USG Cholelitiasis alih rawat dr.
kronik
Muryanto, sp.B
10 Agustus S: nyeri perut kanan atas, Inf. RL 20 tpm
2017 mual, muntah Inj. Pantoprazole 1 Amp/24jam
KU : baik Inj. Ketorolac 1 Amp/8jam
TD : 140/80 Inj.cefotaxim 1 gr/12jam
N : 80 x/menit
Sukralfat syr 3x1C
t : 36
Celecoxin 2x1
Diagnosa : Cholelitiasis
Urdafalk 2x1
multiple dg Cholesistitis
Pro Kolesitektomi
kronik
15 Agustus S: nyeri perut kanan atas, Kolesistektomi hari ini
2017 mual, muntah
KU : baik
TD : 135/80
N : 77 x/menit
t : 36
Diagnosa : Cholelitiasis
multiple dg Cholesistitis
kronik
16 Agustus S: nyeri bekas sayatan
operasi
KU : baik
TD : 110/80
N : 96 x/menit
t : 37
Diagnosa : post laparastomi
cholesistectomy h+1
27
21 Agustus S: BAB lancar, jalan, nyeri BLPL
2017 perut minimal Ciprofloxacin 2x500mg
KU : baik Asam Mefenamat 3x500mg
TD : 124/87 Lansoprazole 1x1
N : 82 x/menit
t : 36
Diagnosa : post laparastomi
cholesistectomy h+6

28
BAB IV
PEMBAHASAN

Subjective: wanita 37 tahun datang keluhan nyeri perut kanan atas sejak satu minggu dan
semakin memberat sejak satu jam Sebelum Masuk Rumah Sakit (SMRS). Nyeri dirasakan
terus-menerus menjalar sampai ulu hati, nyeri dirasakan seperti tertusuk-tusuk dan dirasakan
makin lama makin memberat. Nyeri dirasakan memberat saat perut ditekan dan pasien
bergerak, sehingga pasien tidak bisa beraktivitas. Pasien juga mengeluh tidak nafsu makan
sejak 2 hari yang lalu, demam (+), mual (+), muntah (+) dan perut terasa kembung. Pasien
belum BAB selama 2 hari , flatus (+), BAK normal. Kurang lebih satu tahun yang lalu pasien
pernah mengeluh sakit yang sama dan sering kumat-kumatan. Riwayat menggunakan KB
hormonal, badan gemuk.
Analisa kasus: nyeri akut akibat kolesistitis, nyeri bilier, nyeri abdomen kronik berulang
ataupun dispepsia, mual merupakan gejala kolelitiasis. Batu empedu lebih sering terjadi
pada wanita dari pada laki-laki dengan perbandingan 4:1, dikarenakan oleh hormon
esterogen berpengaruh terhadap peningkatan eskresi kolesterol oleh kandung empedu. 16
Obesitas pada pasien berhubungan dengan peningkatan sekresi kolesterol hepar dan
merupakan faktor risiko utama untuk terbentuknya batu kolesterol. 9 Riwayat KB hormonal
Estrogen yang diberikan untuk kontrasepsi atau terapi kanker prostat dapat meningkatkan
risiko batu kolesterol dengan meningkatkan sekresi kolesterol empedu.

Objective: pemeriksaan fisik didapatkan nyeri tekan epigastrik dan kuadran kanan atas, hasil
laboratorium didapatkan peningkatan leukosit sebesar 12,64rb, permeriksaan USG abdomen
didapatkan kesan adanya batu di vesica felea ukuran 3cm, serta hepatomegali.
Analisa kasus: Pada pemeriksaan ditemukan nyeri tekan dengan punktum maksimum
didaerah letak anatomis kandung empedu. Tanda Murphy positif apabila nyeri tekan
bertambah sewaktu penderita menarik nafas panjang karena kandung empedu yang
meradang tersentuh ujung jari tangan pemeriksa dan pasien berhenti menarik nafas.
Diagnosis kolesistitis akut biasanya dibuat beradasarkan riwayat yang khas dan
pemeriksaan fisis. Trias yang terdiri dari nyeri akut kuadran kanan atas, demam dan
leukositosis.

Assesment: Cholelitiasis dengan Cholesistitis Kronik

29
Planning: dilakukan tindakan kolesitektomi dan terapi medikamentosa yang diberikan inj.
Cefotaxim 1gr/12jam, inj. Pantoprazole 1amp/24jam, inj. Ketorolac 1amp/8jam, sukralfat syr
3x1C, celecoxin 2x1, urdafalk 2x1.
Analisa kasus: Indikasi untuk melakukan kolesistektomi karena pasien dengan batu
empedu besar yang berdiameter lebih dari 2 cm. Urdafalk (asam ursodeoksikolat) obat
yang dapat menekan sintesis dan sekresi kolesterol, serta menginhibisi absorbsi kolesterol
di usus. Obat ini memiliki sedikit efek inhibitorik pada sintesis dan sekresi asam empedu
endogen ke dalam cairan empedu dan nampaknya tidak mempengaruhi sekresi fosfolipid
ke dalam cairan empedu. Pemberian antibiotik pada fase awal sangat penting untuk
mencegah komplikasi seperti peritonitis, kolangitis dan septisemia. Golongan ampisilin,
sefalosporin dan metronidazol cukup memadai untuk mematikan kuman-kuman yang
umum terdapat pada kolesistitis akut seperti E. Coli, Strep. faecalis dan Klebsiela, namun
pada pasien diabetes dan pada pasien yang memperlihatkan tanda sepsis gram negatif,
lebih dianjurkan pemberian antibiotik kombinasi.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Lesmana L. Batu Empedu dalam Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid 1. Edisi 3. Jakarta:
Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2000.380- 4.
2. Hunter JG. Gallstones Diseases. In : Schwarts Principles of Surgery 8th edition.
2007. US : McGraw-Hill Companies.826-42.
3. Schirmer BD, Winters KL, Edlich RF. Cholelithiasis and cholecystitis. J Long Term
Eff Med Implants. 2005;15(3):329-38.
4. Greenbergen N.J., Isselbacher K.J. Diseases of the Gallbladder and Bile Ducts, dari
Harrisons Princi-ples of Internal Medicine, Edisi ke-14, hal.1725-1736, Editor Fauci
dkk. Mc Graw Hill, 1998
5. Jacobson I.M. Gallstones, dari Current Diagnosis and Treatment in Gastro-
enterology, Editor Grendell J.H., McQuaid K.R., Friedman S.L., hal. 668-678,
Appleton & Lange , 1996
6. Malet P.F. Complications of Chole- lithiasis, dari Liver and Biliary Diseases, Edisi II,
hal 673-691, Editor Kaplowitz N., Williams & Wilkins, 1996
7. Huffman JL, Schenker S. Acute acalculous cholecystitis - a review. Clin Gastroenterol
Hepatol. Sep 9 2009
8. Sudoyo W. Aru, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Perhimpunan Dokter
Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I Edisi IV.
EGC. Jakarta. 2009.
9. Bloom AA, Katz J. Cholecystitis. Diunduh tanggal : 25 Juli 2013. Dari [online]
http://emedicine.medscape.com/article/171886-overview
10. Heuman DM, Katz J. Cholelithiasis. Diunduh tanggal : 25 Juli 2013. Dari [online]
http://emedicine.medscape.com/article/175667-overview
11. Sjamsuhidayat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 2005. 570-9.
12. Price SA, Wilson LM. Kolelitiasis dan Kolesistisis dalam : Patofisiologi. Konsep
Klinis Proses-Proses Penyakit, edisi 4. Jakarta : EGC. 1995. 430-44.
13. Guyton AC, Hall JE. Sistem Saluran Empedu dalam: Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.
Edisi ke-9. Jakarta: EGC, 1997. 1028-1029.
14. Doherty GM. Biliary Tract. In : Current Diagnosis & Treatment Surgery 13th edition.
2010. US : McGraw-Hill Companies,p544-55.
15. Poupon R, Rosmorduc O, Boelle PY, Chretien Y, Corpechot C, Chazouilleres O, et al.
Genotype- phenotype relationships in the low-phospholipid associated cholelithiasis
syndrome. A study of 156 consecutive patients. Hepatology. Mar 26 2013
16. Sarr MG, Cameron JL. Sistem empedu dalam : Buku Ajar Bedah. Esentials of
Surgery, edisis ke-2. Jakarta: EGC, 1996. 121-123

31
17. Garden Jet et al. Gallstone dalam: Principle and Practice of Surgery. China: Elseiver,
2007. 23.
18. Bateson M. Batu Empedu dan Penyakit Hati. Jakarta: Arcan, 1991. 35-41.
19. Portincasa P, Moschetta A, Palasciano G. Cholesterol gallstone disease. Lancet. Jul 15
2006;368(9531):230-9.
20. Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL. Biliary Tract. In : Sabiston
Textbook of Surgery 17th edition. 2004. Pennsylvania : Elsevier.
21. Donovan JM. Physical and metabolic factors in gallstone pathogenesis. Gastroenterol
Clin North Am. 2009;28(1):75-97.
22. Cullen JJ, Maes EB, Aggrawal S, et al. Effect of endotoxin on opossum gallbladder
motility: a model of acalculous cholecystitis. Ann Surg. 2009;232(2):202-7.
23. Sitzmann JV, Pitt HA, Steinborn PA, et al. Cholecystokinin prevents parenteral
nutrition induced biliary sludge in humans. Surg Gynecol Obstet. 2008;170(1):25-31.
24. Kim YK, Kwak HS, Kim CS, Han YM, Jeong TO, Kim IH, et al. CT findings of mild
forms or early manifestations of acute cholecystitis. Clin Imaging. 2009;33(4):274-80.
25. Sahai AV, Mauldin PD, Marsi V, et al. Bile duct stones and laparoscopic
cholecystectomy: a decision analysis to assess the roles of intraoperative
cholangiography, EUS, and ERCP. Gastrointest Endosc. 2009;49(3 Pt1):334-43.
26. Binenbaum SJ, Teixeira JA, Forrester GJ, Harvey EJ, Afthinos J, Kim GJ, et al.
Single-incision laparoscopic cholecystectomy using a flexible endoscope. Arch Surg.
2009;144(8):734-8.
27. Ghazal AH, Sorour MA, El-Riwini M, El-Bahrawy H. Single-step treatment of gall
bladder and bile duct stones: a combined endoscopic-laparoscopic technique. Int J
Surg. Aug 2009;7(4):338-46.
28. Wilson E, Gurusamy K, Gluud C, Davidson BR. Cost-utility and value of information
analysis of early versus delayed laparoscopic cholecystectomy for acute cholecystitis.
Br J Surg. 2010;97(2):210-9.

32

Anda mungkin juga menyukai