Anda di halaman 1dari 36

PERSENTASI KASUS

Sirosis Hepatis

Disusun Oleh :
Fatima Zahra
1102011101

Pembimbing :
dr. Sibli Sp, PD

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
RSUD ARJAWINANGUN
2016
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabilalamin segala puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah swt
yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya. Terimakasih kepada dr. Sibli Sp,PD selaku
pembimbing kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam, atas kesediaan waktu dan segala bantuan
yang diberikan. Terimakasih kepada rekan-rekan kepanitraan ilmu penyakit dalam atas
motivasi dan kerjasama yang baik dan bantuan material maupun spiritual.
Persentasi kasus ini berjudul Sirosis Hepatis. Disusun untuk memenuhi tugas
kepanitraan bagian ilmu penyakit dalam RSUD Arjawinangun sebagai salah satu prasyarat
kelulusan. Penulis menyadari bahwa persentasi kasus ini jauh dari kata sempurna. Kritik dan
saran yang membangun diharapkan demi perbaikan laporan kasus ini.

Semoga tulisan ini berguna bagi semua pihak yang terkait.

Wassalamualaikum wr.wb

Arjawinangun, Maret 2016

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

Sirosis hati merupakan perjalanan patologi akhir berbagai macam penyakit hati.
Istilah sirosis diperkenalkan pertama kali oleh Laennec pada tahun 1826. Diambil dari
bahasa Yunani scirrhus atau kirrhos yang artinya warna oranye dan dipakai untuk
menunjukkan warna oranye atau kuning kecoklatan permukaan hati yang tampak saat otopsi.
Batasan fibrosis sendiri adalah penumpukan berlebihan matriks ekstraseluler (seperti
kolagen, glikoprotein, proteoglikan) dalam hati. Respons fibrosis terhadap kerusakan hati
bersifat reversibel. Namun pada sebagian besar pasien sirosis, proses fibrosis biasanya tidak
reversibel.
Penyakit hati menahun dan sirosis dapat menimbulkan sekitar 35.000 kematian per
tahun di Amerika Serikat. Sirosis merupakan penyebab kematian utama yang kesembilan di
AS, dan bertanggung jawab terhadap 1,2% seluruh kematian di AS. Banyak pasien yang
meninggal pada dekade keempat atau kelima. Setiap tahun ada tambahan 2000 kematian
yang disebabkan karena gagal hati fulminan (fulminant hepatic failure). FHF dapat
disebabkan hepatitis virus (virus hepatitis A dan B), obat (asetaminofen), toksin (jamur
Amanita phalloides atau jamur yellow death-cap), hepatitis autoimun, penyakit Wilson, dan
berbagai macam penyebab lain yang jarang ditemukan.
Belum ada data resmi nasional tentang sirosis hati di Indonesia. Namun dari beberapa
laporan rumah sakit umum pemerintah di Indonesia, berdasarkan diagnosis klinis saja dapat
dilihat bahwa prevalensi sirosis hati yang dirawat di bangsal penyakit dalam umumnya
berkisar antara 3,6 - 8,4% di Jawa dan Sumatra, sedang di Sulawesi dan Kalimantan di bawah
1%. Secara keseluruhan rata-rata prevalensi sirosis adalah 3,5% dari seluruh pasien yang
dirawat di bangsal penyakit dalam, atau rata-rata 47, 4% dari seluruh pasien penyakit hati
yang dirawat.
Dengan data seperti ini, dapat disimpulkan bahwa sirosis hati merupakan penyakit
kronik progresif yang dapat meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas jika tidak
ditindaklanjuti secara profesional. Tindakan yang tepat dapat dilakukan jika para praktisi
medis mengenal dengan baik faktor-faktor risiko, etiologi, patogenesis, serta tanda dan gejala
klinis dari sirosis hati.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Hati

Hati merupakan kelenjar terbesar dalam tubuh, rata-rata sekitar 1.500 gr atau 2,5 %
berat badan pada orang dewasa normal. Permukaan superior adalah cembung dan
terletak di bawah kubah kanan diafragma dan sebagian kubah kiri. Bagian bawah hati
adalah cekung dan merupakan atap ginjal kanan, lambung, pankreas, dan usus. Hati
memiliki dua lobus utama, kanan dan kiri. Lobus kanan dibagi menjadi segmen anterior
dan posterior oleh fisura segmentalis kanan yang tdak terlihat dari luar. Lobus kiri
dibagi menjadi segmen medial dan lateral oleh ligamentum falsiforme yang dapat
dilihat dari luar. Ligamentum falsiforme berjalan dari hati ke diafragma dan dinding
depan abdomen. Permukaan hati diliputi oleh peritoneum viseralis, kecuali daerah kecil
pada permukaan posterior yang melekat langsung pada diafragma. Beberapa
ligamentum yang merupakan lipatan peritoneum membantu menyokong hati. Di bawah
peritoneum terdapat jaringan penyambung padat yag dinamakan kapsula Glisson, yang
meliputi seluruh permukaan organ; kapsula ini pada hilus atau porta hepatis di
permukaan inferior, melanjutkan diri ke dalam massa hati, membentuk rangka untuk
cabang-cabang vena porta, arteria hepatika, dan saluran empedu.(Sylvia, 1995)

Struktur mikroskopik

Setiap lobus hati terbagi menjadi struktur-struktur yang dinamakan lobulus, yang
merupakan unit mikroskopis dan fungsional organ. Setiap lobulus merupakan badan
heksagonal yang terdiri atas lempeng-lempeng sel hati berbentuk kubus, tersusun radial
mengelilingi vena sentralis. Di antara lempengan sel hati terdapat kapiler-kapiler yang
dinamakan sinusoid, yang merupakan cabang vena porta dan arteria hepatika. Tidak
seperti kapiler lain, sinusoid dibatasi oleh sel fagositik atau sel Kupffer. Sel Kupffer
merupakan sistem monosit-makrofag, dan fungsi utamanya adalah menelan bakteri dan
benda asing lain dalam darah. Hanya sumsum tulang yang mempunyai massa sel
monosit-makrofag yang lebih banyak daripada yang terdapat dalam hati, jadi hati
merupakan salah satu organ utama sebagai pertahanan terhadap invasi bakteri dan agen
toksik. Selain cabang-cabang vena porta dan arteria hepatika yang melingkari bagian
perifer lobulus hati, juga terdapat saluran empedu. Saluran empedu interlobular
membentuk kapiler empedu yang sangat kecil yang dinamakan kanalikuli, berjalan
ditengah-tengah lempengan sel hati. Empedu yang dibentuk dalam hepatosit diekskresi
ke dalam kanalikuli yang bersatu membentuk saluran empedu yang makin lama makin
besar, hingga menjadi saluran empedu yang besar (duktus koledokus). (Sylvia, 1995)

2.2 Definisi Sirosis Hati

Istilah Sirosis hati diberikan oleh Laence tahun 1819, yang berasal dari kata
Khirros yang berarti kuning orange (orange yellow), karena perubahan warna pada
nodul-nodul yang terbentuk. Pengertian sirosis hati dapat dikatakan sebagai suatu
keadaan disorganisassi yang difuse dari struktur hati yang normal akibat nodul
regeneratif yang dikelilingi jaringan mengalami fibrosis. (Maryati, Sri. 2003).
Sirosis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium akhir fibrosis
hepatic yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi dari arsitektur hepar
dan pembentukan nodulus regeneratif. Gambaran ini terjadi akibat nekrosis
hepatoseluler. Jaringan retikulin kolaps disertai deposit jaringan ikat, distorsi jaringan
vaskular, dan regenerasi nodularis parenkim hati. (Nurdjanah, Siti. 2007)

2.3 Klasifikasi
Sirosis hati secara klinis dibagi menjadi sirosis hati kompensata yang berarti belum
adanya gejala klinis yang nyata dan sirosis hati dekompensata yang ditandai gejala-
gejala dan tanda klinis yang jelas. Sirosis hati kompensata merupakan kelanjutan dari
proses hepatitis kronik dan pada satu tingkat tidak terlihat perbedaannya secara klinis.
Hal ini hanya dapat dibedakan melalui pemeriksaan biopsi hati.
Sirosis secara konvensional diklasifikasikan sebagai makronodular (besar nodul
lebih dari 3 mm) atau mikronodular (besar nodul kurang dari 3 mm) atau campuran
mikro dan makronodular. Sebagian besar jenis sirosis dapat diklasifikasikan secara
etiologis dan morfologis menjadi :
1. Alkoholik
2. Kriptogenik dan Post hepatitis (pasca nekrosis)
3. Biliaris
4. Kardiak
5. Metabolik, keturunan, dan terkait obat
(Nurdjanah, Siti. 2007)

Klasifikasi sirosis hati menurut kriteria Child-Pugh :


Skor/parameter 1 2 3
Bilirubin (mg %) <2,0 2,0 - <3,0 <3,0
Albumin (gr %) >3,5 2,8 - <3,5 <2,8
Prothrombin time >70 40 - <70 <40
(quick %)
Asites 0 Minimal Banyak (+++)
sedang
(+) (++)
Hepatic Tidak ada Stadium I dan II Stadium III dan
Encephalopathy IV
(Maryati, Sri. 2003)

2.4 Etiologi
a. Penyakit Infeksi
- Bruselosis
- Ekinokokus
- Skistomiasis
- Toksoplasmosis
- Hepatitis virus (hepatitis B, hepatitis C, hepatitis D, sitomegalovirus)

b. Penyakit Keturunan dan Metabolik


- Defisiensi 1-antitripsin
- Sindrom Fanconi
- Galaktosemia
- Penyakit Gaucher
- Penyakit simpanan glikogen
- Hemokromatosis
- Intoleransi fluktosa herediter
- Tirosinemia Herediter
- Penyakit Wilson
c. Obat dan Toksin
- Alkohol
- Amiodaron
- Arsenik
- Obstruksi bilier :
Saluran empedu membawa empedu yang dihasilkan oleh hati ke usus, dimana
empedu membantu mencerna lemak. Pada bayi penyebab sirosis terbanyak adalah
akibat tersumbatnya saluran empedu yang disebut Biliary atresia. Pada penyakit ini
empedu memenuhi hati karena saluran empedu tidak berfungsi atau rusak. Bayi yang
menderita Biliary berwarna kuning (kulit kuning) setelah berusia satu bulan. Kadang
bisa diatasi dengan pembedahan untuk membentuk saluran baru agar empedu
meninggalkan hati, tetapi transplantasi diindikasikan untuk anak-anak yang
menderita penyakit hati stadium akhir. Pada orang dewasa, saluran empedu dapat
mengalami peradangan, tersumbat, dan terluka akibat Primary Biliary Sirosis atau
Primary Sclerosing Cholangitis. Secondary Biliary Cirrosis dapat terjadi sebagai
komplikasi dari pembedahan saluran empedu. (Maryati, Sri. 2007).
- Penyakit perlemakan hati non alkoholik
- Sirosis bilier primer
- Kolangitis sklerosis primer

d. Penyebab Lain atau Tidak Terbukti


- Penyakit usus inflamasi kronik
- Fibrosis kistik
- Pintas jejunoileal
- Sarkoidosis
(Nurdjanah, Siti. 2007)

2.5 Patogenesis
Gambar 1. Patogenesis Fibrosis dan Sirosis Hati (Teks dan Atlas Berwarna
Patofisiologi hal.173)
Meskipun etiologi dari berbagai bentuk sirosis tidak dimengerti dengan baik, ada
tiga pola khas yang ditemukan pada kebanyakan kasus sirosis Laennec, postnekrotik,
dan biliaris. Sirosis dapat juga terjadi setelah penyumbatan pada aliran keluar darah
atau setelah kerusakan hati lain, misal pada stadium akhir penyakit penyimpanan
(hemokromatosis, penyakit Wilson) atau defisiensi enzim yang ditentukan secara
genetik.
Factor yang terlibat dalam kerusakan sel hati adalah :
- defisiensi ATP akibat gangguan metabolisme energy sel
- peningkatan pembentukan metabolit oksigen yang sangat reaktif
- defisiensi antioksidan (misal, glutation) dan/atau kerusakan enzim perlindungan
(glutation peroksidase, superoksidase dismutase) yang timbul bersamaan.
Metabolit O2 misalnya akan bereaksi dengan asam lemak tidak jenuh pada fosfolipid
(peroksidase lemak). Hal ini membantu terjadinya kerusakan membran plasma dan
organel sel (lisosom, reticulum endoplasma). Akibatnya, konsentrasi Ca 2+ di sitosol
meningkat, yang mengaktifkan protease dan enzim lain sehingga akhirnya terjadi
kerusakan sel yang bersifat ireversibel. Fibrosis hati terjadi dalam beberapa tahap. Jika
hepatosit yang rusak mati, diantaranya akan terjadi kebocoran enzim lisosom dan
pelepasan sitokim dari matriks ekstrasel. Sitokin ini bersama dengan debris sel yang
mati akan mengaktifkan sel Kupffer di sinusoid hati dan menarik sel inflamasi
(granulosit, limfosit, dan monosit). Berbagai faktor pertumbuhan dan sitokin kemudian
dilepaskan dari sel Kupffer dan dari sel inflamasi yang terlibat. Faktor pertumbuhan ini
dan sitokin selanjutnya :
- Mengubah sel ito penyimpan lemak di hati menjadi miofibroblas
- Mengubah monosit yang bermigrasi menjadi makrofag aktif
- Memicu proliferasi fibroblast
Aksi kemotaktik transforming growth factor (TGF-) dan protein kemotaktik
monosit 1 (MCP-1), yang dilepaskan dari sel ito (dirangsang oleh tumor necrosis factor
(TNF-), platelet-derived growth factor (PDGF), dan interleukin) akan memperkuat
proses ini, demikian pula dengan sejumlah zat sinyal lainnuya. Akibat sejumlah
interaksi ini (penjelasan yang lebih rinci belum sepenuhnya dipahami), pembentukan
matriks sel ditingkatkan oleh miofibroblas dan fibroblast, berarti menyebabkan
peningkatan penimbunan kolagen (tipe I, III dan IV), proteoglikan (dekorin, biglikan,
lumikan, agrekan) dan glikoprotein (fibronektin, laminin, tenaskin, undulin) di ruang
Disse. Fibrosis glikoprotein di ruang Disse menghambat pertukaran zat antara sinusoid
darah dan hepatosit, serta meningkatkan resistansi aliran di sinusoid.
Jumlah matriks yang berlebihan dapat dirusak (mula-mula oleh metaloprotease),
dan hepatosit dapat mengalami regenerasi. Jika nekrosis terbatas di lobules hati,
penggantian struktur yang sempurna dimungkinkan terjadi. Namun, jika nekrosis telah
meluas menembus parenkim oerifer lobules hati, akan terbentuk septa jaringan ikat.
Akibatnya, regenerasi fungsional yang sempurna tidak mungkin lagi terjadi dan akan
terbentuk nodul (sirosis). (Lang, Florian. 2007)

Sirosis Laennec

Sirosis Laennec (juga disebut sirosis alkoholik, portal, dan sirosis gizi) merupakan
suatu pola sirosis yang aneh yang dihubungkan dengan penyalahgunaan alkohol kronik.
Sirosis jenis ini merupakan 50% atau lebih dari seluruh kasus sirosis. Hubungan yang
pasti antara penyalahgunaan alkohol dengan sirosis Laennec tidaklah diketahui,
meskipun asosiasi keduanya demikian jelas dan pasti. Perubahan pertama pada hati
yang ditimbulkan alkohol adalah akumulasi lemak secara gradual di dalam sel-sel hati
(infiltrasi lemak). Akumulasi lemak mencerminkan adanya sejumlah gangguan
metabolik, termasuk pembentukan trigliserida secara berlebihan, pemakaiannya yang
berkurang dalam pembentukan lipoprotein, dan penurunan oksidasi asam lemak.
Mungkin pula bahwa individu yang mengkonsumsi alkohol dalam jumlah berlebihan,
tidak makan secara layak dan gagal mengkonsumsi protein dalam jumlah yang cukup
untuk menghasilkan faktor-faktor lipotropik yang diperlukan untuk transpor lemak
dalam jumlah cukup (kolin dan metionin). Diketahui bahwa diet rendah protein akan
menekan aktivitas dari dehidrogenase alkohol, yaitu enzim utama dalam metabolisme
alkohol. Namun demikian, sebab utama kerusakan pada hati diduga merupakan efek
langsung alkohol terhadap sel-sel hati, yang akan diperberat oleh keadaan malnutrisi.

Degenerasi lemak yang tak berkomplikasi pada hati seperti yang dapat terlihat pada
alkoholisme dini, dapat reversibel asalkan individu tersebut berhenti minum alkohol;
beberapa kasus dari kondisi yang relatif jinak ini akan berkembang menjadi sirosis.
Secara makroskopis, hati membesar, rapuh, dan tampak berlemak, dan mengalami
gangguan fungsional akibat akumulasi lemak yang banyak tersebut.

Bila kebiasaan minum alkohol diteruskan, apalagi bila menjadi semakin hebat,
maka terjadi sesuatu (belum diketahui apa) yang akan memacu seluruh proses sehingga
akan terbentuk jaringan parut yang tersebar luas. Sebagian pakar yakin bahwa lesi kritis
dalam perkembangan sirosis hati mungkin adalah hepatitis alkoholik. Hepatitis
alkoholik ditandai secara histologis oleh nekrosis hepatoselular dan infiltrasi leukosit
polimorfonuklear (PMN) di hati. Akan tetapi, tidak semua pasien yang memiliki lesi
hepatitis alkoholik akan berkembang menjadi sirosis hati yang lengkap.

Pada kasus sirosis Laennec yang sangat lanjut, lembaran-lembaran jaringan ikat
yang tebal terbentuk pada pinggir-pinggir lobulus, membagi parenkim menjadi nodula-
nodula halus. Nodula-nodula ini dapat membesar akibat aktivitas regenerasi sebagai
usaha hati untuk mengganti sel-sel yang rusak. Hati tampak terdiri dari sarang-sarang
sel-sel degenerasi dan regenerasi yang dikemas padat dalam kapsula fibrosa yang tebal.
Pada keadaan ini, sirosis sering disebut sebagai sirosis nodular halus. Hati akan
menciut, keras dan hampir tidak memiliki parenkim normal pada stadium akhir sirosis,
dengan akibat hipertensi portal dan gagal hati. (Sylvia,1995)

Sirosis Postnekrotik

Sirosis postnekrotik agaknya terjadi menyusul nekrosis berbercak pada jaringan


hati, menimbulkan nodula-nodula degeneratif besar dan kecil yang dikelilingi dan
dipisah-pisahkan oleh jaringan parut, berselang-seling dengan jaringan parenkim hati
normal. Sekitar 75% kasus cenderung berkembang dan berakhir dengan kematian
dalam 1 hingga 5 tahun. Sirosis postnekrotik adalah kira-kira 20% dari seluruh kasus
sirosis. Sekitar 25% kasus memiliki riwayat hepatitis virus sebelumnya. Banyaknya
pasien dengan hasil tes HbsAg positif menunjukkan bahwa hepatitis kronik aktif
agaknya merupakan peristiwa yang besar perannya. Persentase kecil kasus memiliki
dokumentasi intoksikasi dengan bahan kimia industri, racun ataupun obat-obatan
seperti fosfat, kloroform, dan karbon tetraklorida, atau jamur beracun.

Ciri yang agak aneh dari sirosis postnekrotik adalah bahwa tampaknya merupakan
predisposisi terhadap neoplasma hati primer (hepatoma). Hal ini juga terlihat pada
sirosis Laennec, namun dalam derajat yang lebih ringan. (Sylvia, 1995)

Sirosis biliaris

Kerusakan sel hati yang dimulai di sekitar duktus biliaris akan menimbulkan pola
sirosis yang dikenal sebagai sirosis biliaris. Tipe ini bertanggung jawab atas 15% dari
seluruh kasus sirosis. Penyebab sirosis biliaris yang paling umum adalah obstruksi
biliaris posthepatik. Stasis empedu menyebabkan penumpukan empedu di dalam massa
hati dengan akibat kerusakan sel-sel hati. Terbentuk lembar-lembar fibrosa di tepi
lobulus, namun jarang memotong lobulus seperti pada sirosis Laennec. Hati membesar,
keras, bergranula halus, dan berwarna kehijauan. Ikterus selalu menjadi bagian awal
dan primer dari sindrom, demikian pula pruritus, malabsorpsi dan steatorea.

Sirosis biliaris primer menampilkan pola yang agak mirip dengan sirosis biliaris
sekunder yang baru saja dijelaskan di atas, namun lebih jarang ditemukan.
Penyebabnya yang berkaitan dengan lesi-lesi duktulus empedu intrahepatik, tidak
diketahui. Sumbat empedu sering ditemukan dalam kapiler-kapiler dan duktulus
empedu, dan sel-sel hati seringkali mengandung pigmen hijau. Saluran empedu
ekstrahepatik tidak ikut terlibat. Komplikasi hipertensi portal jarang terjadi. (Sylvia,
1995)

2.6 Diagnosa
a. Gejala Klinis

Manifestasi klinis dari Sirosis hati disebabkan oleh satu atau lebih hal-hal yang
tersebut di bawah ini :
1. Kegagalan Prekim hati
2. Hipertensi portal
3. Asites
4. Ensefalophati hepatitis

(Maryati,Sri. 2003)

Stadium awal sirosis sering tanpa gejala sehingga kadang ditemukan pada waktu
pasien melakukan pemeriksaan kesehatan rutin atau karena kelainan penyakit lain.
Gejala awal sirosis (kompensata) meliputi perasaan mudah lelah dan lemas, nafsu
makan berkurang, perasaan perut kembung, mual, berat badan menurun, pada laki-laki
dapat timbul impotensi, testis mengecil, dan buah dada membesar, hilangnya dorongan
seksualitas. Bila sudah lanjut (sirosis dekompensata), gejala-gejala lebih menonjol
terutama bila timbul komplikasi kegagalan hati dan hipertensi porta, meliputi hilangnya
rambut badan, gangguan tidur, dan demam tak begitu tinggi. Mungkin disertai adanya
gangguan pembekuan darah, pendarahan gusi, epistaksis, gangguan siklus haid, ikterus
dengan air kemih berwarna seperti teh pekat, muntah darah dan/atau melena, serta
perubahan mental, meliputi mudah lupa, sukar konsentrasi, bingung, agitasi, sampai
koma.(Nurdjanah, Siti. 2007)

Keluhan dari sirosis hati dapat berupa :


Merasa kemampuan jasmani menurun
Nausea, nafsu makan menurun dan diikuti dengan penurunan berat badan
Mata berwarna kuning dan buang air kecil berwarna gelap
Pembesaran perut dan kaki bengkak
Perdarahan saluran cerna bagian atas
Pada keadaan lanjut dapat dijumpai pasien tidak sadarkan diri (Hepatic
Enchephalopathy)
Perasaan gatal yang hebat

b. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan Fisik Seperti telah disebutkan diatas bahwa pada hati terjadi
gangguan arsitektur hati yang mengakibatkan kegagalan sirkulasi dan kegagalan
perenkim hati yang masing- masing memperlihatkan gejala klinis berupa :
1. Kegagalan sirosis hati
a. Edema
b. Ikterus
c. Koma
d. spider nevi
e. alopesia pectoralis
f. ginekomastia
g. kerusakan hati
h. asites
i. rambut pubis rontok
j. eritema palmaris
k. atropi testis
l. kelainan darah (anemia,hematom/mudah terjadi perdarahan)

2. Hipertensi portal
a. varises oesophagus
b. splenomegali
c. perubahan sum-sum tulang
d. caput meduse
e. asites
f. collateral vein hemorrhoid
g. kelainan sel darah tepi (anemia, leukopeni dan trombositopeni)
(Maryati, Sri. 2003)

Temuan klinis sirosis meliputi, spider angioma, spiderangiomata (atau spider


telangiektasi), suatu lesi vaskular yang dikelilingi beberapa vena-vena kecil. Tanda ini
sering ditemukan di bahu, muka dan lengan atas. Mekanisme terjadinya tidak diketahui,
ada anggapan dikaitkan dengan peningkatan rasio estradiol/testoteron bebas. Tanda ini
juga bisa ditemukan Selama hamil, malnutrisi berat, bahkan ditemukan pula dan orang
sehat, walaupun ukuran lesi kecil.

Eritema palmaris, warna merah saga pada tenar dan hipothenar telapak tangan. Hal
ini juga dikaitkan dengan perubahan metabolisme hormone estrogen. Tanda ini juga
tidak spesifik pada sirosis. Ditemukan pula pada kehamilan, artrisis rheumatoid,
hipertiroidisme, dan keganasan hematologi.

Perubahan kuku-kuku Muchrache berupa pita putih horizontal dipisahkan dengan


warna normal kuku. Mekanismenya juga belum diketahui, diperkirakan akibat
hipoalbuminemia yang lain seperti sindrom nefrotik. Osteoartropati hipertrofi suatu
periostitis proliferatif kronik, menimbulkan nyeri.

Kontraktur Dupuytren akibat fibrosis fasia palmaris menimbulkan kontraktur fleksi


jari-jari berkaitan dengan alkoholisme tetapi tidak secara spesifik berkaitan dengan
sirosis. Tanda ini juga bisa ditemukan pada pasien diabetes mellitus, distrofi refleks
simpatetik, dan perokok yang juga mengkonsumsi alkohol.

Ginekomastia secara histrologis berupa proliferasi benigna jaringan glandula


mammae laki-laki, kemungkinan akibat peningkatan androstenedion. Selain itu,
ditemukan juga hilangnya rambut dada dan aksila pada laki-laki, sehingga laki-laki
mengalami perubahan kearah feminisme. Kebalikannya pada perempuan menstruasi
cepat berhenti sehingga dikira fase menopause.

Atrofi testis hipogonadisme menyebabkan impotensi dan infertile tanda ini


menonjol pada alkoholik sirosis dan hemokromatosis. Hepatomegali ukuran hati yang
sirotik bisa membesar, normal atau mengecil. Bilamana hati teraba, haisirotik teraba
keras dan nodular. Splenomegali sering ditemukan terutama pada sirosis yang
penyebabnya nonalkoholik. Pembesaran ini akibat kongesti pulpa merah lien karena
hipertensi porta.

Asites, penimbunan cairan dalam rongga peritoneum akibat hipertensi porta dan
hipoalbuminemia. Caput medusa juga sebagai akibat hipertensi porta. Fetor hepatikum,
bau napas yang khas pada pasien sirosis disebabkan peningkatan konsentrasi di metail
sulfid akibat pintasan porto sistemik yang berat.
Ikterus-pada kulit dan membrane mukosa akibat bilirubinemia. Bila konsentrasi
bilirubin kurang dari 2-3 mg/dl tak terlihat. Warna urin terlihat gelap seperti air teh.
Asterixis bilateral tetapi tidak sinkron berupa gerakan mengepak-ngepak dari tangan,
sorsofleksi tangan.

Tanda-tanda lain yang menyertai diantaranya :

- Demam yang tak tinggi akibat nekrosis hepar


- Batu pada vesika felea akibat hemolisis
- Pembesaran kelenjar parotis terutama pada sirosis alkoholik, hal ini akibat sekunder
infiltrasi lemak, fibrosis dan edema.
Diabetes mellitus dialami 15 sampai 30% pasien sirosis. Hal ini akibat resistensi
insulin dan tidak adekuatnya sekresi insulin oleh sel beta pankreas. (Nurdjanah, Siti.
2007)

c. Pemeriksaan Penunjang

Gambaran Laboratoris

Adanya sirosis dicurigai bila ada kelainan pemeriksaan laboratorium pada waktu
seseorang memeriksakan kesehatan rutin, atau waktu skrining untuk evaluasi keluhan
spesifik. Tes fungsi hati meliputi aminotrans ferase, alkali fosfatase, gamma glutamil
transpeptidase, bilirubin, albumain, dan waktu protrombin.

Aspartat aminotransferase (AST) atau serum glutamil oksalo asetat (SGOT) dan
alanin aminotransferase (ALT) atau serum glutamil priuvat transaminase (SGPT)
meningkat tapi tak begitu tinggi. AST lebih meningkat dari pada ALT, namun bila
trasaminase normal tidak menyampingkan adanya sirosis.

Alkali fosatase, meningkat kurang dari 2 sampai 3 kali batas normal atas.
Konsentrasi yang tinggi bisa ditemukan pada pasien kolangitis sclerosis primer dan
sirosis biler primer.

Gamma-glutamil transpeptidase (GGT), konsentrasinya seperti halnya alkali


fosfatase pada penyakit hati. Konsentrasinya tinggi pada penyakit hati alkoholik kronik,
karena alkohol selain menginduksi GGT mikrosomal hepatik, juga bisa menyebabkan
bocornya GGT dari hepatosit.
Bilirubin, konsentrasinya bisa normal pada sirosis hati kompensata, tapi bisa
meningkat pada sirosis yang lanjut. Albumin, sintesisnya terjadi dijaringan hati,
konsentrasinya menurun sesuai dengan perburukan sirosis.

Globulin, konsentrasinya meningkat pada sirosis. Akibat sekunder dari pintasan ,


antigen, bakteri dan sistem porta ke jaringan limfoid, selanjutnya menginduksi produksi
immunoglobulin. Waktu protombin mencerminkan derajat /tingkatan disfungsi sintesis
hati, sehingga pada sirosis memanjang. Natrium serum menurun terutama pada sirosis
dengan asites, dikaitkan ketidakmampuan ekskresi air bebas.

Kelainan hematology anemia, penyebabnya bisa bermacam-macam anemia


normokrom, normositer, hipokrom mikrositer atau hipokrom makrositer. Anemia
dengan trombositopenia, dan netropenia akibat splenomegali kongestif berkaitan
dengan hipertensi porta sehingga terjadi hipersplenisme. (Nurdjanah, Siti. 2007)

Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan radiologi barium meal dapat melihat varises untuk konfirmasi adanya
hipertensi porta. Ultrasonografi (USG) sudah secara rutin digunakan karena
pemeriksaannya non invasif dan mudah digunakan, namun sensitifitasnya kurang.
Pemeriksaan hati yang bisa mulai dengan USG meliputi sudut hati, permukaan hati,
ukuran, homogenitas, dan adanya massa. Pada sirosis lanjut, hati mengecil dan nodular,
permukaan irregular dan ada peningkatan ekogenitas parenkim hati. Selain itu USG
juga bisa melihat asites, splenomegli, trombosis vena porta dan pelebaran vena porta,
serta skrining adanya karisnoma hati pada pasien sirosis.

Pada stadium kompensasi sempurna kadang-kadang sangat sulit menegakkan


diagonisis sirosis hati. Pada proses lanjutan dari kompensasi sempurna mungkin bisa
ditegakkan diagnosis dengan bantuan pemeriksaan klinis yang cermat, laboratorium
biokimia / serologi, dan pemeriksaan penunjang lainnya. Pada saat ini penegakan
diagnosis sirosis hati terdiri atas pemeriksaan fisik, laboratorium, dan USG. Pada kasus
tertentu diperlukan pemeriksaan biopsy hati atau pertioneoskopi karena sulit
membedakan hepatitis kronik aktif yang berat dengan sirosis hati dini. Pada stadium
dekompensata diagnosis kadang kala tidak sulit kerena gejala dan tanda-tanda klinis
sudah tampak dengan adanya komplikasi. (Nurdjanah, Siti. 2007)

2.7 Komplikasi
Morbiditas dan mortalitas sirosis tinggi akibat komplikasinya. Kualitas hidup
pasien sirosis diperbaiki dengan pencegahan dan penanganan komplikasinya.
Komplikasinya yang sering dijumpai antara lain peritonitis bacterial spontan, yaitu
infeksi cairan asites oleh satu jenis bakteri tanpa ada bukti infeksi sekunder intra
abdominal. Biasanya pasien ini tanpa gejala, namun dapat timbul demam dan nyeri
abdomen.

Asites merupakan penimbunan cairan encer intraperitoneal yang mengandung


sedikit protein. Factor utama patogenesis asites adalah peningkatan tekanan hidrostatik
pada kapiler usus (hipertensi porta) dan penurunan tekanan osmotic koloid akibat
hipoalbuminemia. Factor lain yang berperan adalah retensi natrium dan air dan
peningkatan sintesis dan aliran limfe hati.

Saluran kolateral penting yang timbul akibat sirosis dan hipertensi portal yaitu pada
esophagus bagian bawah. Pirau darah melalui saluran ini ke vena cava menyebabkan
dilatasi vena-vena tersebut (varises esophagus). Varises ini terjadi pada sekitar 70%
penderita sirosis lanjut. Perdarahan dari varises ini sering menyebabkan kematian.
Sirkulasi kolateral juga melibatkan vena superficial dinding abdomen, dan timbulnya
sirkulasi ini mengakibatkan dilatasi vena-vena sekitar umbilicus (caput medusa).
Dilatasi anastomosis antara cabang-cabang vena mesenterika inferior dan vena-vena
rectum sering mengakibatkan terjadinya haemoroid interna. Perdarahan dari haemoroid
yang pecah biasanya tidak hebat, karena tekanan tidak setinggi tekanan pada esophagus
oleh karena jarak yang lebih jauh dari vena porta. Splenomegali pada sirosis dapat
dijelaskan berdasarkan kongesti pasif kronik akibat bendungan, dan tekanan darah yang
meningkat pada vena lienalis. (Sylvia, 1995)

Pada sindrom hepatorenal, terjadi gangguan fungsi ginjal akut berupa oliguri,
peningkatan ureum, kreatinin tanpa adanya kelainna organic ginjal. Kerusakan hati
lanjut menyebabkan penurunan perfusi ginjal yang berakibat pada penurunan filtrasi
glomerulus.

Salah satu mainfestasi hipertensi porta adalah varises esophagus. Dua puluh sampai
40% pasien sirosis dengan varises esophagus pecah yang menimbulkan perdarahan.
Angka kematiannya sangat tinggi, sebanyak dua pertigannya akan meninggal dalam
waktu satu tahun walaupun dilakukan tindakan untuk menanggulangi varises ini dengan
beberapa cara.
Ensefalopati hepatik, merupakan kelainan neuropsikiatrik akibat disfungsi hati.
Mula-mula ada ganguan tidur, (insomnia dan hipersomnia), selanjutnya dapat timbul
gangguan kesadaran yang berlanjut sampai koma. Pada sindrom hepatopulmonal
terdapat hidrotoraks dan hipertensi portopulmonal. (Nurdjanah, Siti. 2007)

Ensefalopati hepatik dapat dijelaskan sebagai suatu bentuk intoksikasi otak yang
disebabkan oleh isi usus yang tidak dimetabolisme oleh hati. Keadaan ini dapat terjadi
bila terdapat kerusakan sel hati akibat nekrosis, atau adanya pirau (patologis atau akibat
pembedahan) yang memungkinkan darah porta mencapai sirkulasi sistemik dalam
jumlah besar tanpa melewati hati. Metabolic yang bertanggung jawab atas timbulnya
ensefalopati tidak diketahui dengan pasti. Mekanisme dasar tampaknya adalah karena
intoksikasi otak oleh hasil pemecahan metabolism protein oleh bakteri dalam usus.
Hasil-hasil metabolisme ini dapat memintas hati karena adanya penyakit pada sel hati
atau karena adanya pirau. Ammonia yang dalam keadaan normal diubah menjadi urea
oleh hati, merupakan salah satu zat yang diketahui bersifat toksik dan dianggap dapat
mengganggu metabolisme otak. (Sylvia, 1995)

2.8 Penatalaksanaan

Etiologi sirosis mempengaruhi penanganan sirosis. Terapi ditunjukan mengurangi


progresi penyakit, menghindarkan bahan-bahan yang biasa menambah kerusakan hati,
pencegah dan penanganan komplikasi. Bilamana tidak ada koma hepatic diberikan diet
yang mengandung protein 1g / kg BB dan kalori sebanyak 2000 3000 kkal/hari.

Pengobatan sirosis hati pada prinsipnya berupa :


1. Simtomatis
2. Supportif, yaitu :
a. Istirahat yang cukup
b. Pengaturan makanan yang cukup dan seimbang;
misalnya : cukup kalori, protein 1gr/kgBB/hari dan vitamin
c. Pengobatan berdasarkan etiologi
Misalnya pada sirosis hati akibat infeksi virus C dapat dicoba dengan interferon.
Sekarang telah dikembangkan perubahan strategi terapi bagian pasien dengan hepatitis
C kronik yang belum pernah mendapatkan pengobatan IFN seperti a) kombinasi IFN
dengan ribavirin, b) terapi induksi IFN, c) terapi dosis IFN tiap hari :
Terapi kombinasi IFN dan Ribavirin terdiri dari IFN 3 juta unit 3 x seminggu dan
RIB 1000-2000 mg perhari tergantung berat badan (1000mg untuk berat badan
kurang dari 75kg) yang diberikan untuk jangka waktu 24-48 minggu.
Terapi induksi Interferon yaitu interferon diberikan dengan dosis yang lebih tinggi
dari 3 juta unit setiap hari untuk 2-4 minggu yang dilanjutkan dengan 3 juta unit 3 x
seminggu selama 48 minggu dengan atau tanpa kombinasi dengan RIB.
Terapi dosis interferon setiap hari. Dasar pemberian IFN dengan dosis 3 juta atau 5
juta unit tiap hari sampai HCV-RNA negatif di serum dan jaringan hati.

3. Pengobatan yang spesifik dari sirosis hati akan diberikan jika telah terjadi
komplikasi seperti :
1. Astises
2. Spontaneous bacterial peritonitis
3. Hepatorenal syndrome
4. Ensefalophaty hepatic

(Maryani, Sri. 2003)

Tatalaksana pasien sirosis yang masih kompensata ditujukan untuk mengurangi


progresi kerusakan hati. Terapi pasien ditunjukan untuk menghilangkan etiologi,
diantaranya alkohol dan bahan-bahan lain yang toksik dan dapat mencerdai hati
dihentikan penggunaannya. Pemberian asetaminofen, kolkisin, dan obat herbal biasa
menghambat kolagenik.

Pada hepatitis autoimun bisa diberikan steroid atau imunosupresif. Pada


hemokromatosis flebotomi setiap minggu sampai konsentrasi besi menjadi normal dan
diulang sesuai kebutuhan.

Pada penyakit hati nonalkoholik menurunkan berat badan akan mencegah


terjadinya sirosis. Pada hepatitis B, interferon alfa dan lamivudin (analog nukleosida)
merupakan terapi utama. Lamivudin sebagai terapi ini pertama diberikan 100 mg secara
oral setiap hari selama satu tahun. Namun pemberian lamivudin stelah 9-12 bulan
menimbulkan mutasi YMDD sehingga terjadi resistensi obat. Interferon alfa diberikan
secara suntikan subkutan 3 MIU, tiga kali seminggu selama 4-6 bulan, namun ternyata
juga banyak yang kambuh.
Pada hepatitis C kronik ; kombinasi interferon dengan ribavirin merupakan terapi
standar. Interferon diberikan secara suntikan subkutan dengan dosis 5 MIU tiga kali
smeinggu dan kombinasi ribavirin 800 1000 mg/hari selama 6 bulan.

Pada pengobatan fibrosis hati, pengobatan antifibrotik pada saat ini lebih mengarah
kepada peradangan dan tidak terhadap fibrosis. Di masa datang, menempatkan sel
stelata sebagai target pengobatan dan mediator fibrogenik akan merupakan terapi
utama. Pengobatan untuk mengurangi aktivasi sel stelata. Kolkisin memiliki efek anti
peradangan dan mencegah pembentukan kolagen, namun belum terbukti dalam
penelitian sebagai anti fibrosis dan sirosis. Metotreksat dan vitamin A juga dicobakan
sebagai anti fibrosis. Selian itu obat-obatan herbal juga sedang dalam penelitian.
(Nurdjanah, Siti. 2007)

Pengobatan Sirosis Dekompensata

Tirah baring dan diawali diet rendah gram, konsumsi garam sebanyak 5,2 grm atau
90 mmol/hari. Diet rendah garam di kombinasi dengan obat-obatan duretik. Awalnya
dengan pemberian spironolakton denggan dosis 100 200 mg sekali sehari. Respons
diuretic bisa di monitor dengan penurunan berat badan 0,5 kg/hari, tanpa adanya edema
kaki atau atau 1 kg /hari dengan adanya edema kaki. Bilamana pemberian
spironolakton tidak adekuat bisa dikombinasi dengan furosemid bisa ditambah
dosisnya bila tidak ada respons, maksimal dosisnya 160 mg/hari. Parasintesis dilakukan
bila asites sangat besar. Pengeluaran asites bisa hingga 4-6 iter danj dilindungi dengan
pemberian albumin. (Nurdjanah, Siti. 2007)

- Diuretik
Pemberian diuretic hanya bagi penderita yang telah menjalani diet rendah garam
dan pembatasan cairan namun penurunan berat badannya kurang dari 1 kg setelah 4
hari. Mengingat salah satu komplikasi akibat pemberian diuretic adalah hipokalemia
dan hal ini dapat mencetuskan encepalophaty hepatic, maka pilihan utama diuretic
adalah spironolacton, dan dimulai dengan dosis rendah, serta dapat dinaikkan dosisnya
bertahap tiap 3-4 hari, apabila dengan dosis maksimal diuresinya belum tercapai maka
dapat kita kombinasikan dengan furosemid.

Terapi lain :
Sebagian kecil penderita asites tidak berhasil dengan pengobatan konservatif. Pada
keadaan demikian pilihan kita adalah parasintesis. Mengenai parasintesis cairan asites
dapat dilakukan 5-10 liter/hari, dengan catatan harus dilakukan infuse albumin
sebanyak 68 gr/l cairan asites yang dikeluarkan. Ternyata parasintesa dapat
menurunkan masa opname pasien. Prosedur ini tidak dianjurkan pada Childs C,
Protrombin < 40%, serum bilirubin > dari 10 mg/dl, trombosit < 40.000/mm3, creatinin
> 3 mg/dl dan natrium urin < 10 mmol/24 jam. (Maryani,Sri. 2003)

Spontaneus Bacterial Peritonitis (SBP)

Infeksi cairan dapat terjadi secara spontan, atau setelah tindakan parasintese. Tipe
yang spontan terjadi 80% pada penderita sirosis hati dengan asites, sekitar 20% kasus.
Keadaan ini lebih sering terjadi pada sirosis hati stadium kompesata yang berat. Pada
kebanyakan kasus penyakit ini timbul selama masa rawatan. Infeksi umumnya terjadi
secara Blood Borne dan 90% Monomicroba. Pada sirosis hati terjadi permiabilitas usus
menurun dan mikroba ini beraasal dari usus. Adanya kecurigaan akan SBP bila
dijumpai keadaan sebagai berikut :
- Spontaneous bacterial peritonitis
- Sucpect grade B dan C cirrhosis with ascites
- Clinical feature my be absent and WBC normal
- Ascites protein usually <1 g/dl
- Usually monomicrobial and Gram-Negative
- Start antibiotic if ascites > 250 mm polymorphs
- 50% die
- 69 % recurrent in 1 year
Pengobatan SBP dengan memberikan Cephalosporins Generasi III (Cefotaxime),
secara parental selama lima hari, atau Qinolon secara oral. Mengingat akan rekurennya
tinggi maka untuk Profilaxis dapat diberikan Norfloxacin (400mg/hari) selama 2-3
minggu. (Maryani. Sri. 2003)

Hepatorenal Sindrome
Adapun criteria diagnostik dapat kita lihat sebagai berikut :
A. Major
- Chronic liver disease with ascietes
- Low glomerular fitration rate
- Serum creatin > 1,5 mg/dl
- Creatine clearance (24 hour) < 4,0 ml/minute
- Absence of shock, severe infection,fluid losses and Nephrotoxic drugs
- Proteinuria < 500 mg/day
- No improvement following plasma volume expansion
B. Minor
- Urine volume < 1 liter / day
- Urine Sodium < 10 mmol/litre
- Urine osmolarity > plasma osmolarity
- Serum Sodium concentration < 13 mmol / liter
Sindroma ini dicegah dengan menghindari pemberian Diuretik yang berlebihan,
pengenalan secara dini setiap penyakit seperti gangguan elekterolit, perdarahan dan
infeksi. Penanganan secara konservatif dapat dilakukan berupa : Ritriksi cairan,garam,
potassium dan protein. Serta menghentikan obat-obatan yang Nefrotoxic. Manitol tidak
bermanfaat bahkan dapat menyebabkan Asifosis intra seluler. Diuretik dengan dosis
yang tinggi juga tidak bermanfaat, dapat mencetuskan perdarahan dan shock. TIPS
hasil jelek pada Childs C, dan dapat dipertimbangkan pada pasien yang akan dilakukan
transplantasi. Pilihan terbaik adalah transplantasi hati yang diikuti dengan perbaikan
dan fungsi ginjal. (Maryani, Sri. 2003)

Ensefalopati Hepatik

Suatu syndrome Neuropsikiatri yang didapatkan pada penderita penyakit hati


menahun, mulai dari gangguan ritme tidur, perubahan kepribadian, gelisah sampai ke
pre koma dan koma. Pada umumnya enselopati Hepatik pada sirosis hati disebabkan
adanya factor pencetus, antara lain : infeksi, perdarahan gastro intestinal, obat-obat
yang Hepatotoxic. Prinsip penggunaan ada 3 sasaran :
1. mengenali dan mengobati factor pencetus
2. intervensi untuk menurunkan produksi dan absorpsi amoniak serta toxin-toxin yang
berasal dari usus dengan jalan :
- Diet rendah protein
- Pemberian antibiotik (neomisin)
- Pemberian lactulose/ lactikol
3. Obat-obat yang memodifikasi Balance Neutronsmiter
- Secara langsung (Bromocriptin,Flumazemil)
- Tak langsung (Pemberian AARS)

(Maryani, Sri. 2003)

Laktulosa membantu pasien untuk mengeluarkan amonia. Neomisin bisa


digunakan untuk mengurangi bakteri usus penghasil amonia , diet protein dikurangi
sampai 0,5 gr/kg berat badan perhari, terutama diberikan yang kaya asam amino rantai
cabang. (Nurdjanah, Siti. 2007)

Varises Esofagus

Kasus ini merupakan kasus emergensi sehingga penentuan etiologi sering dinomor
duakan, namun yang paling penting adalah penanganannya lebih dulu. Prrinsip
penanganan yang utama adalah tindakan Resusitasi sampai keadaan pasien stabil,
dalam keadaan ini maka dilakukan :
- Pasien diistirahatkan dan dipuasakan
- Pemasangan IVFD berupa garam fisiologis dan kalau perlu transfusi
- Pemasangan Naso Gastric Tube, hal ini mempunyai banyak sekali kegunaannya
yaitu : untuk mengetahui perdarahan, cooling dengan es, pemberian obat-obatan,
evaluasi darah
- Pemberian obat-obatan berupa antasida,ARH2,Antifibrinolitik,Vitamin K,
Vasopressin, Octriotide dan Somatostatin
- Disamping itu diperlukan tindakan-tindakan lain dalam rangka menghentikan
perdarahan misalnya Pemasangan Ballon Tamponade dan Tindakan Skleroterapi /
Ligasi aatau Oesophageal Transection. (Maryani, Sri. 2003)
Sebelum berdarah dan sesudah berdarah bisa diberikan obat penyekat beta
(propranolol). Waktu perdarahan akut, bisa diberikan prparat somatostatin atau
okreotid, diteruskan dengan tindakan skleroterapi atau ligasi endoskopi.

Peritonitis bacterial spontan, diberikan antibiotika seperti seftaksim intravena,


amoksilin, atau aminoglikosida. Sindrom hepatorenal, mengatasi perubahan sikulasi
darah di hati, mengatur kesimbangan garam dan air. Transplatasi hati, terapi definitive
pada pasien irosis deompensata. Namun sebelum dilakukan transplantasi ada beberapa
criteria yang harus dipenuhi resipien dahulu.

2.9 Prognosis

Prognosis sangat bervariasi dipengaruhi sejumlah faktor, meliputi etiologi,


beratnya kerusakan hati, komplikasi dan penyakit lain yang menyertai.

Klasifikasi Chilld Pugh (tabel 2) juga untuk menilai prognosis pasien sirosis yang
akan menjalani operasi, variabelnya meliputi konsentrasi bilirubin, albumin, ada
tidaknya asites dan ensefalopati juga status ntrisi. Klasifikasi ini terdiri dair Child A, B
dan C. klasifikasi child-Pugh berkaitan dengan kelangsungan hidup. Angka
kelangsungan hidup selama satu tahun untuk pasien dengan Child A, B dan C berturut-
turut 100, 80 dan 45%.

Penilaian prognosis yang terbaru adalah Model for End Stage Liver Disease
(MELD ) digunakan untuk pasien sirosis yang akan dilakukan transplantasi hati.
(Nurdjanah, Siti. 2007)

Tabel 2 Klasifikasi Fungsi Hati Chills Pasien sirosis Hati dalam Terminologi cadangan

Derajat kerusakan Minimal Sedang Berat

Bil. Serum (mu.mol/dl) < 35 5-50 > 50

Alb serum (gr/dl) > 35 30-35 < 30

Asites nihil mudah dikontrol Sukar

PSE/ ensefalopati nihil minimal Berat / koma

Nutrisi sempurna baik Kurang / kurus


BAB III

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. C
Umur : 65 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Kaliwedi Kidul
Agama : Islam
Status : Menikah
Suku : Jawa
Masuk RS : 26-02-2016

II. ANAMNESIS
Keluhan Utama : Perut makin membesar sejak 3 minggu SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke RSUD Arjawinangun dengan keluhan perut makin membesar
sejak 3 minggu SMRS. Pasien mengaku bahwa perut mulai membesar sejak 3 bulan
yang lalu tetapi dalam 3 minggu terakhir semakin cepat membesarnya. Keluhan juga
disertai dengan bengkak pada kedua tungkai bawah sejak 1 minggu SMRS, mual dan
nyeri perut. BAB berwarna hitam sejak 1 minggu SMRS. BAK normal.
Riwayat Penyakit Dahulu
Hepatitis pada saat pasien berumur 30
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga pasien dengan keluhan keluhan seperti yang pasien
rasakan
Riwayat Alergi
Tidak ada riwayat alergi obat

III. PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan Umum
Keadaan umum : CM
Keadaan sakit : sakit berat
Kesadaran/GCS : compos mentis / E4V5M6.
Tekanan Darah : 130/80 mmHg.
Nadi : 84 kali per menit, reguler
Pernafasan : 20 kali per menit
Suhu : 36,5 oC.
Status Lokalis
Kepala :
- Normochepal, rambut hitam
Mata :
- Eksopthalmus (-), Endopthalmus (-/-)
- Konjungtiva anemis (-/-), Hiperemis (-/-)
- Skleras ikterik (-/-)
Telinga :
- Normotia
- Lubang telinga : normal, secret (-/-).
- Nyeri tekan (-/-).
- Peradangan pada telinga (-)
- Pendengaran : normal.
Hidung :
- Simetris, deviasi septum (-/-).
- Napas cuping hidung (-/-).
- Perdarahan (-/-), secret (-/-).
- Penciuman normal.
Mulut :
- Simetris.
- Bibir : sianosis (-), stomatitis angularis (-), pursed lips breathing (-).
- Gusi : hiperemia (-), perdarahan (-).
- Lidah: glositis (-), atropi papil lidah (-), lidah berselaput (-), kemerahan di
pinggir (-), tremor (-), lidah kotor (-).
- Gigi : caries (-)
- Mukosa : normal.
Leher :
- Pembesaran KGB (-).
- Trakea : di tengah, tidak deviasi
Thorax
Pulmo :
Inspeksi : statis & dinamis, bentuk dada simetris kanan dan kiri
Palpasi : fremitus taktil dan fremitus vokal kanan sama dengan kiri, nyeri
tekan (-), edema (-), krepitasi (-).
Perkusi : sonor seluruh lapang paru
Auskultasi : bronkial (+), vesikular (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Cor :
Inspeksi : Iktus cordis tidak tampak
Palpasi : Iktus cordis teraba ICS V linea midklavikula sinistra
Perkusi : batas kanan jantung : ICS IV linea parasternal dextra.
batas kiri jantung : ICS IV linea midklavikula sinistra.
Auskultasi : S1S2 tunggal, regular, murmur (-), gallop (-).
Abdomen
Inspeksi : tampak membesar
Auskultasi : Bising usus (+) normal, metallic sound (-), bising aorta (-).
Palpasi : Nyeri tekan (+), Hepar teraba 5 jari dibawah arcus costae, Balotement
(-)
Perkusi : Timpani (+) pada seluruh lapang abdomen, Shifting dullness (+),
nyeri ketok CVA (-)
Extremitas :
Ekstremitas atas :
Akral hangat : +/+, Deformitas : -/-, Edema: -/-, Sianosis : -/-
Ekstremitas bawah :
Akral hangat : +/+, Deformitas : -/-, Edema: +/+
Genitourinaria :
Tidak dievaluasi

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan Darah Rutin
Tanggal : 25-02-2016

RBC WBC HGB HCT PLT


mm3 [10^3/ L] g/dL [%] [10^3/ L]

3,37 10,1 10,0 30,7 354.000

Pemeriksaan Dex Eritrosit

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal

MCV 91,1 79 99 fl
MCH 29,7 27 31 pg

MCHC 32,6 33 37 g/dl

RDW 17,1 33 47 fl

MPV 7,6 7,9 11,1 fl

PDW 14,3 9,0 13,0 fl

Hitung Jenis ( DIFF)

Eosinofil 0 03%

Basofil 0 01%

Neutrofil 72,8 25 70 %

Limfosit 16,7 20 40 %

Monosit 8,5 09%

Stab 0 35 47 %

Kimia Klinik

GDS 69 70 - 140 mg/dl

Pemeriksaan Kimia Hasil Satuan Nilai Normal


Klinik
(Tanggal 27-02-2016)
SGOT 460 u/L 8-37
SGPT 134 u/L 8-40
Albumin 2.50 g/dL 3.5-5.5

Pemeriksaan Kimia Hasil Satuan Nilai Normal


Klinik
(Tanggal 01-03-2016)
Protein Total 7.22 g/dL 6.0-8.0
Albumin 2.55 g/dL 3.5-5.5
Globulin 4.67 g/dL 2.0-3.4
EKG : Tanggal 25-02-2016

Radiologi (14/12/2015)
Kesan:
- cardiomegali ringan (LVH)
- pulmo tak tampak kelainan
- sistema tulang intact
USG Upper / Lower Abdomen (Radiologi)
Tanggal 27-02-2016
Hepar : ukuran membesar dan echostruktur kasar. Sudut lancip. Sistema bilier dan
vasa hepatica tak membesar. Tampak lesi hyperechoic di lobus dextra ukuran 9.32 cm,
batas tegas.
Vesica Felle : anechoic, dinding licin, sludge +
Pancreas : ukuran dan echostruktur normal
Lien : ukuran 123.3 mm dan echostruktur normal. Hilus lienalis tak prominent
Renal : ukuran dan echostruktur normal. Batas cortex dan medulla tegas, tak tampak
pelebaran SPC, tak tampak massa maupun batu.
Vesica urinaria : terisi cairan cukup, dinding licin, tak tampak massa maupun batu.
Tampak lesi anechoic intraabdominal extraluminer.
Kesan :
1. Gambaran sirosis hepatis dengan solid massa hepar susp. Hepatoma, disertai
tanda-tanda hipertensi portal (asites dan splenomegali)
2. Sludge vesica fellea
3. Tak tampak kelainan pada pancreas, renal bilateral dan vesica urinaria.

Follow Up
TANGGAL SUBJEKTIVE OBJEKTIVE ASESMENT PLANING
25/02/16 Perut membesar P : 84x/menit CHF, CAD Cek
(+), edema kaki R : 22x/menit Asites
(+), pusing (-), S : 36,3oC Hepatomegali Stop infus
sesak (-), mual (-), TD : 130/60 mmHg Sirosis hepatis Spiranolacton
muntah (-), BAB Mata : Ca(-/-), Si(-/-) 1x100mg
hitam (+) BAK Leher : T.A.K
normal Pulmo : VBS kanan = Furosemid 1x1tab
kiri, RH (-/-), WH (-/-)
ISDN 2x1tab
COR : BJ 1-2 reg, GL(-),
Mur (-) Aspilet 1x1tab
Abdo : BU(+), NT (+)
pada seluruh lapang
abdomen. Pembesaran
hepar 5 jari dibawah
arcus costae, asites (+)
Ekstre : Akral hangat,
edema (+)
26/02/16 Perut membesar P : 88 Susp. Cek albumin,
(+), edema kaki R: 20 Hepatoma SGPT, SGOT
(+), pusing (-), S: 36,3
sesak (-), mual (-), TD: 140/80 USG Abdomen
muntah (-), BAB Mata : Ca(-/-), Si(-/-) Spiranolacton
hitam (+) BAK Leher : T.A.K 1x100mg
normal Pulmo : VBS kanan =
kiri, RH (-/-), WH (-/-)
COR : BJ1-2 reg, GL(-), Furosemid 1x1tab
Mur(-)
Abdo : BU (+), NT (+) ISDN 2x1tab
pada seluruh lapang Aspilet 1x1tab
abdomen, asites (+),
hepatomegali (+)
Ekstre : akral hangat,
edema (+)
29/02/16 Perut membesar P : 76 Sirosis Hepatis Spiranolacton
(+), edema kaki R: 20 CHF, CAD 1x200mg
(+), pusing (-), S: 36,3 Asites
sesak (-), mual (-), TD: 120/50 Hepatomegali Furosemid 1x1tab
muntah (-), BAB Mata : Ca(-/-), Si(-/-) ISDN 2x1tab
hitam (+) BAK Leher : T.A.K
normal Pulmo : VBS kanan = Aspilet 1x1tab
kiri, RH (-/-), WH (-/-)
COR : BJ1-2 reg, GL(-),
Mur(-)
Abdo : BU (+), NT (+)
pada seluruh lapang
abdomen, asites (+),
hepatomegali (+)
Ekstre : akral hangat,
edema (+)

01/03/2016 Perut membesar P : 84 Sirosis hepatis Spiranolacton


(+), edema kaki R: 22 CHF, CAD 1x200mg
(+), pusing (-), S: 36,6 Asites
sesak (-), mual (-), TD: 120/50 Hepatomegali Furosemid 1x1tab
muntah (-), BAB Mata : Ca(-/-), Si(+/+) ISDN 2x1tab
hitam (-) BAK Leher : T.A.K
seperti air teh (+) Pulmo : VBS kanan = Aspilet 1x1tab
kiri, RH (-/-), WH (-/-)
COR : BJ1-2 reg, GL(-),
Mur(-)
Abdo : BU (+), NT (+)
pada seluruh lapang
abdomen, asites (+),
hepatomegali (+)
Ekstre : akral hangat,
edema (+)

02/03/2016 Perut membesar P : 85 Sirosis Hepatis Spiranolacton


(+), edema kaki R: 21 CHF, CAD 1x200mg
(+), pusing (-), S: 36,1 Asites
sesak (-), mual (-), TD: 120/50 Hepatomegali Furosemid 1x1tab
muntah (-), BAB Mata : Ca(-/-), Si(+/+)
hitam (-) Leher : T.A.K ISDN 2x1tab
Pulmo : VBS kanan = Aspilet 1x1tab
kiri, RH (-/-), WH (-/-)
COR : BJ1-2 reg, GL(-),
Mur(-)
Abdo : BU (+), NT (+)
epigastrium dan
hipokondrium kanan dan
kiri, asites (+),
hepatomegali (+)
Ekstre : akral hangat,
edema (+)

03/03/2016 Perut membesar P : 80 Sirosis Hepatis Aminofluid:Dextro


(+), edema kaki R: 22 CHF, CAD s 5% = 2:1
(+), pusing (-), S: 36,5 Asites
sesak (-), mual (-), TD: 110/60 Hepatomegali Spiranolacton
muntah (-), BAB Mata : Ca(-/-), Si(+/+) 1x200mg
hitam (-) Leher : T.A.K Furosemid 2x2tab
Pulmo : VBS kanan =
kiri, RH (-/-), WH (-/-) ISDN 2x1tab
COR : BJ1-2 reg, GL(-),
Aspilet 1x1tab
Mur(-)
Abdo : BU (+), NT (+)
epigastrium, asites (+),
hepatomegali (+), LP:
86cm
Ekstre : akral hangat,
edema (+)
04/03/2016 Perut membesar P : 80 Sirosis Hepatis Spiranolacton
(+), edema kaki R: 22 CHF, CAD 1x200mg
(+), pusing (-), S: 37,0 Asites
sesak (-), mual (-), TD: 110/60 Hepatomegali Furosemid 2x2tab
muntah (-), BAB Mata : Ca(-/-), Si(-/-) ISDN 2x1tab
hitam (-), gatal Leher : T.A.K
seluruh tubuh. Pulmo : VBS kanan = Aspilet 1x1tab
kiri, RH (-/-), WH (-/-)
Cetirizine 2x1 tab
COR : BJ1-2 reg, GL(-),
Mur(-) Ketorolac 2x1 amp
Abdo : BU (+), NT (+)
epigastrium, asites (+),
hepatomegali (+), LP:
85cm
Ekstre : akral hangat,
edema (+)

RESUME
Laki-laki 65 tahun datang ke RSUD Arjawinangun dengan keluhan perut
makin membesar sejak 3 minggu SMRS. Perut mulai membesar sejak 3 bulan yang
lalu tetapi dalam 3 minggu terakhir semakin cepat membesarnya. Edema tungkai (+),
mual (+) dan nyeri perut (+), nyeri tekan epigastrium (+), asites (+),
hepatosplenomegali (+), riwayat hepatitis (+), BAB berwarna hitam (+). Penurunan
nilai Hb (10.0), Ht (30.7) dan Eritrosit (3.37). kenaikan nilai SGOT (460), SGPT
(134), Albumin (2.50). Dari hasil rontgen terlihat adanya pembesaran ventrikel kiri,
dan dari hasil USG Abdomen tampak gambaran sirosis hepatis.

V. DAFTAR MASALAH
- CHF
- CAD
- Asites
- Hepatomegali
- Sirosis Hepatis

VI. PENGKAJIAN
1. CHF
Atas dasar : edema tungkai, pemeriksaan Rontgen pembesaran jantung
Assesment : Congestive Heart Failure
Planning :
Diagnosis : echocardiografi
Treatment :
Non farmakologis
- Observasi TTV
Farmakologis
- ISDN

2. CAD
Atas dasar : pemeriksaan EKG menunjukkan
Assesment : CAD
Diagnosis :

Planning :
Non farmakologis
- Observasi TTV
Farmakologis
- Aspilet
3. Asites
Atas dasar : perut cembung, shifting dulness +
Assesment : Asites
Planning :
Treatment
Farmakologis
Furosemid
Spironolactone

4. Hepatomegali
Atas dasar : PF abdomen teraba hepar 5 jari dibawah arcus costae, USG abdomen
Assesment : Hepatomegali
Planning :
Treatment

5. Sirosis Hepatis
Atas dasar : USG abdomen
Assesment : Sirosis Hepatis
Planning :
Treatment
Non farmakologis :

DAFTAR PUSTAKA

1. Cheney CP, Goldberg EM and Chopra S. Cirrhosis and portal hypertension: an


overview. In: Friedman LS and Keeffe EB, eds. Handbook of Liver Disease.
nd
2 ed. China, Pa: Churchill Livingstone; 2004:125-138

2. Friedman SL: Hepatic Fibrosis, In: Schiff ER, Sorrell MF, Maddrey WC, eds. Schiffs
Diseases of the Liver. 9th ed. Philadelphia, Pa: Lippincott-Raven; 2003:409-28

3. Garcia-Tsao D and . Wongcharatrawee S. (VA Hepatitis C resource center Program).


Treatment of patients With Cirrhosis and Portal Hypertension Literature Review and
Summary of Recommended Interventions. Version 1 (October 2003). Available from
URL: www.va.gov/hepatitisc
4. Wolf DC. Cirrhosis.eMedicine Specialities. 11 September 2009. Available from URL:
http://www.emedicine.com/med/topic3183.htm

5. Lee D. Cirrhosis of the Live. MedicineNet.com, 11 September 2009. Available from


URL: http://www.medicinenet.com/cirrhosis/article.htm

6. Hernomo K. Pengelolaan perdarahan massif varises esophagus pada sirosis hati.


Thesis. Airlangga University Press, Surabaya,1983.

7. Lorraine MW. Sirosis Hati. Dalam: Sylvia AP, Lorraine MW. Sirosis. Edisi keenam,
Volume I. EGC, Jakarta: 2005;1:493-501.

8. Guadalupe Garsia-Tsao et al. Prevention and Management of Gastroesophagal Varices


and Variceal Hemorrhage in Cirrhosis. American Journal of Gastroenterology. United
States of America. 2007.

9. Pere Gines et al. Management of Cirrhosis and Ascites. The New England Journal of
Medicine. Massachusetts Medical Society. 2004;350:1646-54.

10. Nurdjanah, Siti. Sirosis Hati dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid I Edisi IV. Jakarta: FK UI. 2006;443-446

Anda mungkin juga menyukai