Anda di halaman 1dari 30

PENERAPAN EKOLOGI INDUSTRI

POTENSI INDUSTRI KARET ALAM


DALAM MENCIPTAKAN PROSES TERPADU
BERKONSEP EKOLOGI INDUSTRI

Oleh

DEDY ANWAR
137022001

MAGISTER TEKNIK KIMIA


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
APRIL 2014
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan atas berkah dan rahmat yang telah
dilimpahkan kepada kita semua, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas Mata
kuliah Ekologi Industri ini dengan waktu yang telah ditetapkan.
Pada tugas ini kami mengucapkan terima kasih kepada bapak Dr.Ir.Taslim, M.Si
yang mana dalam mata kuliah ini bertindak sebagai dosen pembimbing mata kuliah.
Penulis menyadari bahwa penulisan tugas ini masih jauh dari sempurna untuk itu
adanya kritik serta saran yang membangun sangat diperlukan untuk penyempurnaan
tugas ini. Akhirnya kami berharap semoga tugas ini ada manfaatnya bagi penulis dan
para pembaca.

Medan, April 2014

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Tujuan dan Manfaat 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3
2.1 Pengenalan Tanaman karet 3
2.2 Sejarah Tanaman Karet 4
2.3 Taksonomi dan Morfologi Tanaman Karet 4
2.4 Pola Penyebaran Tanaman karet 5
2.5 Pemanfaatan Tanaman Karet 8
2.6 Peluang Industri Karet Menjadi Industri Terpadu 10
BAB III METODE PENGOLAHAN 12
3.1 Kayu 12
3.2 Daun 13
3.3 Biji dan Bungkil 13
3.4 Lateks 15
BAB IV PROSES DAN NERACA MASSA 16
4.1 Pengolahan Biji Karet menjadi Biodiesel 16
4.2 Pengolahan Crumb Rubber 19
BAB V KESIMPULAN 25
5.1 Kesimpulan 25
DAFTAR PUSTAKA 26

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia adalah negara produsen karet alam terbesar ke dua di dunia setelah
Thailand, padahal luas areal kebun karet Indonesia terluas di dunia (+ 3,4 juta hektar
pada tahun 2010). Karet merupakan komoditas perkebunan yang sangat penting
peranannya di Indonesia. Selain sebagai sumber lapangan kerja bagi sekitar 1,4 juta
kepala keluarga (KK), komoditas ini juga memberikan kontribusi yang signifikan
sebagai salah satu sumber devisa non-migas, pemasok bahan baku karet dan berperan
penting dalam mendorong pertumbuhan sentra-sentra ekonomi baru di wilayah-wilayah
pengembangan karet.

(http://regionalinvestment.com)

Gambar 1.1 Peta Sebaran Karet Di Indonesia

Tanaman karet banyak tersebar di seluruh wilayah Indonesia, terutama di pulau


Sumatera, dan juga di pulau lain yang diusahakan baik oleh perkebunan negara, swasta
maupun rakyat. Sejumlah areal di Indonesia memiliki keadaan yang cocok
dimanfaatkan untuk perkebunan karet yang kebanyakan terdapat di Sumatera dan
beberapa ada di Jawa. Perkebunan karet di pulau Sumatera meliputi Sumatera Utara,
Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan. Dalam skala yang lebih kecil
perkebunan karet didapatkan pula di Jawa, Kalimantan dan Indonesia bagian Timur.

1
Melihat perkembangan serta prospek usaha karet yang cukup menjanjikan
diperlukan juga proses yang berbasis dengan ekologi agar tercipta proses terpadu dari
tanaman karet sampai kepada produk hasilnya. Maka dari itu makalah ini membahas
mengenai potensi dari Industri karet alam untuk dijadikan unit industri yang terpadu
dengan dasar konsep ekologi industri agar tercipta proses yang zero emission dan zero
waste.

1.2 Tujuan dan Manfaat

Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk mendapatkan rancangan


proses dari industri karet alam yang berkonsep ekologi industri dengan manfaat
memberi informasi bahwa industri karet alam sangat berpotensi untuk dijadikan proses
terpadu yang diharapkan dapat diterapkan pada real industri.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengenalan Tanaman Karet


Tanaman karet (Havea brasiliensis) berasal dari negara Brazil. Tanaman karet
merupakan pohon yang tumbuh tinggi dan berbatang cukup besar. Tinggi pohon
dewasa mencapai 15 25 m. Batang tanaman biasanya tumbuh lurus dan memiliki
percabangan yang tinggi di atas. Di beberapa kebun karet ada kecondongan arah
tumbuh tanamannya agak miring ke arah utara. Batang tanaman ini mengandung getah
yang dikenal dengan nama lateks (Nazarrudin dan Paimin, 2006).
Tanaman ini merupakan sumber utama bahan karet alam dunia. Jauh sebelum
tanaman karet ini dibudidayakan, penduduk asli diberbagai tempat seperti: Amerika
Serikat, Asia dan Afrika Selatan menggunakan pohon lain yang juga menghasilkan
getah. Getah yang mirip lateks juga dapat diperoleh dari tanaman Castillaelastica
(family moraceae). Sekarang tanaman tersebut kurang dimanfaatkan lagi getahnya
karena tanaman karet telah dikenal secara luas dan banyak dibudidayakan. Sebagai
penghasil lateks tanaman karet dapat dikatakan satu-satunya tanaman yang dikebunkan
secara besar-besaran (Nazarrudin dan Paimin, 2006).

Gambar 2.1 Bentuk pohon, daun, buah, biji dan kulit batang dari Hevea brasiliensis

3
2.2 Sejarah Tanaman Karet

Tahun 1864 untuk pertama kalinya tanaman karet diperkenalkan di Indonesia


yang pada waktu itu masih jajahan belanda. Mula-mula karet ditanam di kebun raya
bogor sebagai tanaman koleksi. Dari tanaman koleksi, karet selanjutnya dikembangkan
ke beberapa daerah sebagai tanaman perkebunan komersil. Daerah yang pertama kali
digunakan sebagai tempat uji coba penanaman karet adalah Pamanukan dan Ciasem,
Jawa Barat. Jenis yang pertama kali diujicobakan di kedua daerah tersebut adalah
species Ficus elastica atau karet rembung. Jenis karet Havea brasiliensis baru ditanam
di Sumatera bagian timur pada tahun 1902 dan di Jawa pada tahun 1906. (Tim Penebar
Swadaya, 2008).
Akibat peningkatan permintaan akan karet di pasar internasional, maka
pemerintahan Nedherland Indies menawarkan peluang penanaman modal bagi investor
luar. Perusahaan BelandaAmerika, Holland Amerikaance Plantage Matschappij
(HAPM) pada tahun 1910-1911 ikut menanamkan modal dalam membuka perkebunan
karet di Sumatera. Perluasan perkebunan karet di Sumatera berlangsung mulus berkat
tersedianya transportasi yang memadai. Para investor asing dalam mengelola
perkebunan mengerahkan biaya, teknik budidaya yang ilmiah dan modern, serta teknik
pemasaran yang modern. (Tim Penebar Swadaya, 2008).
Perkebunan karet rakyat di Indonesia juga berkembang seiring dengan naiknya
permintaan karet dunia dan kenaikkan harga. Hal-hal lain yang ikut menunjang
dibukanya perkebunan karet antara lain karena pemeliharaan tanaman karet relatif
mudah. Pada masa itu, penduduk umumnya membudidayakan karet sambil menanam
padi. Jika tanah yang diolah kurang subur, mereka pindah mencari lahan baru. Namun,
mereka tetap memantau pertumbuhan karet yang telah ditanam secara berkala hingga
dapat dipanen. (Setiawan dan Handoko, 2005).

2.3 Taksonomi dan Morfologi Tanaman Karet


Dalam genus Havea, hanya species Havea brasiliensis Muell Arg. Yang dapat
menghasilkan lateks unggul, dimana sebanyak 90 % karet alam dihasilkan oleh spesies
tersebut. Tanaman karet merupakan pohon yang tumbuh tinggi dan berbatang cukup
besar. Tinggi pohon dewasa mencapai 15-25 meter. Batang tanaman biasanya tumbuh
lurus dan memiliki percabangan yang tinggi. Dibeberapa kebun karet ada beberapa
kecondongan arah tumbuh tanamanya agak miring kearah utara.

4
Struktur botani tanaman karet ialah tersusun sebagai berikut (APP,2008) :
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Ordo : Euphorbiales
Famili : Euphorbiaceae
Genus : Hevea
Spesies : Havea brasiliensis
Batang tanaman ini mengandung getah yang dikenal dengan nama lateks. Daun
karet terdiri dari tangkai daun utama dan tangkai anak daun. Panjang tangkai daun
utama 3-20 cm. Panjang tangkai anak daun sekitar 3-10 cm dan pada ujungnya terdapat
kelenjar. Biasanya ada tiga anak daun yang terdapat pada sehelai daun karet. Anak
daun berbentuk eliptis, memanjang dengan ujung meruncing, tepinya rata dan gundul.
Biji karet terdapat dalam setiap ruang buah. Jadi jumlah biji biasanya ada tiga kadang
enam sesuai dengan jumlah ruang. Ukuran biji besar dengan kulit keras. Warnaya
coklat kehitaman dengan bercak-bercak berpola yang khas. Sesuai dengan sifat
dikotilnya, akar tanaman karet merupakan akar tunggang. Akar ini mampu menopang
batang tanaman yang tumbuh tinggi dan besar (Nazarrudin dan Paimin, 2006).
Karet merupakan tanaman berbuah polong (diselaputi kulit yang keras) yang
sewaktu masih muda buahnya berpaut erat dengan rantingnya. Buah karet dilapisi oleh
kulit tipis berwarna hijau dan didalamnya terdapat kulit yang keras dan berkotak. Tiap
kotak berisi sebuah biji yang dilapisi tempurung, setelah tua warna kulit buah berubah
menjadi keabu-abuan dan kemudian mengering. Pada waktunya pecah dan jatuh,
bijinya tercampak lepas dari kotaknya. Tiap buah tersusun atas dua sampai empat kotak
biji. Pada umumnya berisi tiga kotak biji dimana setiap kotak terdapat satu biji.
Tanaman karet mulai menghasilkan buah pada umur lima tahun dan akan semakin
banyak setiap pertambahan umur tanaman (Nazarrudin dan Paimin, 2006).

2.4 Pola Penyebaran Tanaman Karet di Indonesia


Tanaman karet banyak tersebar di seluruh wilayah Indonesia, terutama di pulau
Sumatera, dan juga di pulau lain yang diusahakan baik oleh perkebunan negara, swasta
maupun rakyat. Sejumlah areal di Indonesia memiliki keadaan yang cocok
dimanfaatkan untuk perkebunan karet yang kebanyakan terdapat di Sumatera dan

5
beberapa ada di Jawa. Perkebunan karet di pulau Sumatera meliputi Sumatera Utara,
Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan. Dalam skala yang lebih kecil
perkebunan karet didapatkan pula di Jawa, Kalimantan dan Indonesia bagian Timur.
Terdapat 3 jenis perkebunan karet yang ada di Indonesia, yaitu Perkebunan
Rakyat (PR), Perkebunan Besar Negara (PBN) da Perkebunan Besar Swasta (PBS).
Dari ketiga jenis perkebunan tersebut, PR mendominasi dari luas lahan yang mencapai
2,84 juta hektar atau sekitar 85% dari lahan perkebunan karet. Dengan sedemikian
luasnya perkebunan karet yang dikelola rakyat, keterkaitan penyerapan tenaga kerja
dan sebagai sumber pendapatan rakyat diharapkan dapat ditingkatkan dengan
pengelolaan yang terpadu. Perkebunan besar diharapkan dapat menjalin program
kemitraan dengan petani agar nilai tambah dari pengelolaan perkebunan rakyat dapat
optimal diantaranya dengan kemitraan di bidang pemasaran, pembinaan produksi
hingga pembiayaan yang berkesinambungan (Parhusip, 2008).
Tabel 2.1 Luas Perkebunan Karet Indonesia (ribu Ha)

Salah satu langkah yang dapat mendorong peningkatan produksi perkebunan


karet adalah peremajaan lahan karet yang sebagian besar telah memasuki tahapan tidak
produktif (tanaman berusia di atas 20 tahun) di samping tetap melakukan perluasan
lahan. Strategi peremajaan lahan karet dinilai cukup baik dengan luas lahan karet saat
ini mencapai 3,4 juta hektar sehingga apabila lahan tersebut dioptimalkan melalui
peremajaan diharapkan tingkat produksi akan meningkat sekitar 20-30 % (Parhusip,
2008).

Menurut Susila (1998, dalam Kartodihardjo dan Supriono, 2000) saat ini pusat
perkebunan karet terletak di propinsi Sumatera Utara (456.983 ha), propinsi Riau
(369.911 ha), propinsi Kalimantan Barat (379.038 ha) dan propinsi Sumatera Selatan
(648.754 ha)

6
Tabel 2.2 Luas Lahan dan Produktivitas Karet (Data Tahun 2006)
No Provinsi Luas (Ha) Produktivitas (Ton)
1 Bali 95 180
2 Bangka Belitung 28.845 19.151
3 Banten 23.507 11.005
4 Bengkulu 71.334 49.980
5 Irian Barat 34 25
6 Jambi 636.907 292.653
7 Jawa Barat 52.336 57.572
8 Jawa Tengah 30.315 29.419
9 Jawa Timur 25.180 23.965
10 Kalimantan Barat 379.038 256.751
11 Kalimantan Selatan 129.946 104.216
12 Kalimantan Tengah 255.657 189.372
13 Kalimantan Timur 58.105 24.465
14 Kepulauan Riau 30.929 21.296
15 Lampung 81.466 68.366
16 NAD 117.711 83.368
17 Papua 4.619 1.573
18 Riau 369.911 350.808
19 Sulawesi Barat 1.209 1.263
20 Sulawesi Selatan 19.475 7.979
21 Sulawesi Tengah 3.160 3.567
22 Sumatera Barat 124.256 90.468
23 Sumatera Selatan 648.754 517.799
24 Sumatera Utara 456.983 427.872

(http://regionalinvestment.com)
Menurut data statistik perkebunan Indonesia yang diterbitkan oleh Ditjen
perkebunan tahun 2007, hanya ada 9 provinsi dari 33 provinsi di Indonesia yang tidak
ditemui tanaman karet yaitu DKI-Jakarta, NTB, NTT, SULUT, Gorontalo, SULTRA,
Maluku dan Maluku Utara.

7
2.5 Pemanfaatan Tanaman Karet

Hasil utama dari pohon karet adalah lateks yang dapat dijual/diperdagangkan
oleh masyarakat berupa latek segar, slab/koagulasi ataupun sit asap/sit angin.
Selajutnya produk tersebut sebagai bahan baku pabrik Crumb Rubber/Karet Remah
yang menghasilkan bahan baku untuk berbagai industri hilir. Karet digunakan untuk
mobilitas manusia dan barang yang memerlukan komponen yang terbuat dari karet
seperti aneka ban kendaraan, conveyor belt, penggerak mesin, sepatu karet, sabuk,
penggerak mesin, pipa karet dan sebagai isolator kabel. Bahan baku karet juga banyak
digunakan untuk membuat perlengkapan seperti sekat atau tahanan alat-alat
penghubung dan penahan getaran misalnya shock absorbers. Karet juga bisa digunakan
untuk tahanan dudukan mesin, dipakai sebagai lapisan karet pada pintu, kaca, dan pada
alat-alat lain sehingga terpasang kuat dan tahan getar serta tidak tembus air.

Gambar 2.2 Lateks dari Pohon Karet


Untuk mengantisipasi kekurangan karet alam yang akan terjadi, diperlukan
suatu inovasi baru dari hasil industri karet dengan mengembangkan nilai tambah yang
bisa di peroleh dari produk karet itu sendiri. Nilai tambah produk karet dapat diperoleh
melalui pengembangan industri hilir dan pemanfaatan kayu karet sebagai bahan baku
industri kayu. Menunjuk dari pohon industri berbasis karet. Terlihat bahwa cukup
banyak ragam produk yang dapat dihasilkan dari karet, namun sampai saat ini potensi
kayu karet tua belum dapat dimanfaatkan secara optimal. Pemanfaatan kayu karet
merupakan peluang baru untuk meningkatkan margin keuntungan dalam industri karet.
Kayu karet yang dapat berasal dari kegiatan rehabilitasi kebun ataupun
peremajaan kebun karet tua/tidak menghasilkan lateks lagi. Umumnya kayu karet yang
diperjual belikan adalah dari peremajaan kebun karet yang tua yang dikaitkan dengan
penanaman karet baru lagi. Kayu karet dapat dipergunakan sebagai bahan bangunan
rumah, kayu api, arang, ataupun kayu gergajian untuk alat rumah tangga (furniture).

8
Kayu karet sebenarnya juga banyak diminati oleh konsumen baik dari dalam negeri
maupun luar negeri, karena warnanya yang cerah dan coraknya seperti kayu ramin. Di
samping itu, kayu karet juga merupakan salah satu kayu tropis yang memenuhi
persyaratan ekolabeling karena komoditi ini dibudidayakan (renewable) dengan
kegunaan yang cukup luas, yaitu sebagai bahan baku perabotan rumah tangga, particle
board, parquet, MDF (Medium Density Fibreboard) dan lain sebagainya.
(www.depperin.go.id)
Pemanfaatan kayu karet dari kegiatan peremajaan kebun karet tua dapat
dilaksanakan bersamaan atau terkait dengan program penanaman tanaman hutan seperti
sengon atau akasia sebagai bahan pulp/pembuat kertas. Areal tanam menggunakan
lahan kebun yang diremajakan dan atau lahanlahan milik petani serta lahanlahan kritis
sekitar pemukiman.
Maka adapun Pohon Industri Karet yang ada saat ini adalah seperti pada gambar
berikut ini :

Gambar 2.3 Pohon Industri Karet Alam saat ini

Hasil samping lain dari perkebunan karet yang selama ini kurang dimanfaatkan
dan nyaris terbuang adalah biji karet. Dilihat dari komposisi kimianya ternyata
kandungan protein biji karet 27 % dari setiap 100 gram bahan. Selain kandungan
proteinnya cukup tinggi, pola asam amino biji karet juga sangat baik. Semua asam

9
amino essensial yang dibutuhkan tubuh terkandung didalammya. Agar biji karet dapat
dimanfaatkan maka harus diolah terlebih dahulu menjadi konsentrat.

Sebagai salah satu komoditi industri, produksi karet sangat tergantung pada teknologi
dan manajemen yang diterapkan dalam sistem dan proses produksinya. Produk industri
karet perlu disesuaikan dengan kebutuhan pasar yang senantiasa berubah. Status
industri karet Indonesia akan berubah dari pemasok bahan mentah menjadi pemasok
barang jadi atau setengah jadi yang bernilai tambah lebih tinggi dengan melakukan
pengeolahan lebih lanjut dari hasil karet. Kesemuanya ini memerlukan dukungan
teknologi industri yang lengkap, yang mana diperoleh melalui kegiatan penelitian dan
pengembangan teknologi yang dibutuhkan. Indonesia dalam hal ini telah memiliki
lembaga penelitian karet yang menyediakan ilmu pengetahuan, teknologi dan inovasi di
bidang perkaretan (www.depperin.go.id)

2.6 Peluang Industri Karet menjadi Industri Terpadu

Berdasarakan pohon industri karet pada Gambar 2.3 sistem dari industri karet
yang ada saat ini masih dalam sistem tertutup yang artinya tidak ada penggunaan dari
hasil tanaman karet yang dapat digunakan sebagai sumber energi untuk pengolahan
karet tersebut.
Hasil samping lain dari perkebunan karet yang selama ini kurang dimanfaatkan
dan nyaris terbuang adalah biji karet. Dilihat dari komposisi kimianya ternyata
kandungan protein biji karet 27 % dari setiap 100 gram bahan. Selain kandungan
proteinnya cukup tinggi, pola asam amino biji karet juga sangat baik. Semua asam
amino essensial yang dibutuhkan tubuh terkandung didalammya. Agar biji karet dapat
dimanfaatkan maka harus diolah terlebih dahulu menjadi konsentrat.
Sebagai salah satu komoditi industri, produksi karet sangat tergantung pada
teknologi dan manajemen yang diterapkan dalam sistem dan proses produksinya.
Produk industri karet perlu disesuaikan dengan kebutuhan pasar yang senantiasa
berubah. Status industri karet Indonesia akan berubah dari pemasok bahan mentah
menjadi pemasok barang jadi atau setengah jadi yang bernilai tambah lebih tinggi
dengan melakukan pengeolahan lebih lanjut dari hasil karet. Kesemuanya ini
memerlukan dukungan teknologi industri yang lengkap, yang mana diperoleh melalui
kegiatan penelitian dan pengembangan teknologi yang dibutuhkan. Indonesia dalam hal

10
ini telah memiliki lembaga penelitian karet yang menyediakan ilmu pengetahuan,
teknologi dan inovasi di bidang perkaretan (www.depperin.go.id)
Pemilihan tanaman karet (biji karet) sebagai bahan baku biodiesel juga
dikarenakan ketersediaan bahan bakunya yang melimpah di Indonesia. Indonesia
merupakan salah satu negara yang mempunyai areal perkebunan karet yang luas,
dimana selain dari perkebunan karet inilah selain menghasilkan getah (lateks), juga
menghasilkan biji karet yang merupakan hasil samping yang belum termanfaaatkan
secara optimal. Selama ini biji karet tidak dimanfaatkan dan hanya dibuang. Padahal
satu pohon karet bisa menghasilkan seribu biji atau sekitar 3,5 Kg. Dari jumlah itu,
yang digunakan untuk pembenihan hanya 10 persen saja, selebihnya tidak
dimanfaatkan. Di Indonesia sendiri, perkebunan karet tersebar dimana-mana. Bisa
dibayangkan kalau luasnya berhektar-hektar, berapa bahan baku biji karet yang
tersedia. Harganya, tentu saja murah karena biji karet selama ini hanya dianggap
sebagai limbah. Rendemen minyak biji karet (kering) yaitu 40-50% (Biodiesel.
Encyclopedia. Columbia University Press. 2004) dan mempunyai prospek sangat bagus
karena tidak akan mengurangi komsumsi pangan.

11
BAB III
METODE PENGOLAHAN

Beberapa hasil dari tanaman karet yang dapat diolah antara lain yaitu daun dan
ranting pohon biji karet, kayu pohon karet, biji karet, serta komoditas utamanya yaitu
biji karet. Untuk merancang sistem industri menjadi tertutup maka perlu diketahui
masing-masing pengolahan dari hasil tanaman karet.

3.1 Kayu

Kayu karet yang berwarna cerah keputihan mempunyai prospek untuk


pengganti kayu dari hutan alam. Produk kayu yang berwarna khas putih kekuningan
seperti kayu ramin ini banyak dikonsumsi negara-negara seperti Singapura, Jepang,
China, Taiwan, dan Amerika Latin dalam bentuk furniture, papan partikel, parquet
flooring, moulding, laminating, dan pulp.

Gambar 3.1 Kayu Karet

Perkembangan teknologi pengolahan kayu saat ini menjadikan pemanfaatan


kayu karet sebagai bahan baku industri tidak lagi hanya terbatas untuk kayu
pertukangan, tetapi kayu-kayu yang berukuran lebih kecilpun dapat diproses di pabrik
Medium Density Fiber (MDF) menjadi bubur kayu untuk kemudian menghasilkan
produk akhir dalam bentuk particle board, fibre board, pulp, dan kertas. Seluruh bagian
kayu termasuk cabang dan ranting sudah dapat dimanfaatkan.Sebagian besar kebun
karet dimiliki oleh masyarakat.

12
3.2 Daun
Daun karet berwarna hijau. Apabila akan rontok berubah warna menjadi kuning
atau merah. Biasanya tanaman karet mempunyai jadwal kerontokan daun pada setiap
musim kemarau. Di musim rontok ini kebun karet menjadi indah karena daun daun
karet berubah warna dan jatuh berguguran dalam kuantitas yang banyak. Adapun
dedaunan dari pohon karet ini dapat diolah menjadi kompos yang secara langsung dapat
digunakan untuk menyuburkan lahan tanaman karet (Nazarrudin dan Paimin, 2006).

Gambar 3.2 Musim rontok tanaman karet

3.3 Biji Karet dan Bungkil


Pemanfaatan biji karet yang ada pada saat ini sudah cukup memiliki banyak
ragam, namun pengolahannya masih jauh dari skala yang diharapkan. Bungkil dan Biji
karet dapat dimanfaatkan sebagai makanan ternak, dan khusus untuk biji karet dapat
dijadikan bahan konsumsi manusia dengan terlebih dahulu menghilangkan kandungan
Sianidanya.

Komposisi Nutrisi biji Karet


Protein % 27,0

Lemak % 32,3
Karbohidrat % 15,9
Air % 9,1
(Balai Informasi Penelitian Ciawi, 1985 dalam warta, 2013)

13
Sebagai Pangan
Sebagai makanan biji karet mempunyai kandungan protein yang cukup tinggi
serta asam amino esensial yang dibutuhkan tubuh. Namun demikian biji karet tidak
dapat dikonsumsi mentah tanpa diolah terlebih dahulu, karena akan sangat berbahaya
sebab biji karet mengandung Asam Sianida (HCN). Zat ini dapat dihilangkan dengan
perendaman 24 jam atau pengukusan pada suhu 100oC selama 6 jam , penjemuran
selama 12 jam atau kombinasi pengukusan + penjemuran selama 12 jam (Warta, 2013).

Gambar 3.3 Biji Karet


Bobot biji karet sekitar 3-5 gram, tergantung dari varietas, umur biji dan kadar
air. Biji karet berbentuk bulat telur dan rata pada salah satu sisinya. Biji karet terdiri
atas 45 50 % kulit biji yang keras berwarna coklat dan 50-55 % daging biji berwarna
putih (Nadarajah,1969).
Sebagai Sumber Energi
Pemanfaatan lain dari biji karet adalah sebagai bahan baku pembuatan metyl
ester, atau biodiesel, sehingga ini akan menjadi sumber energi terbarukan untuk industri
karet tersebut. Minyak biji karet adalah minyak yang diekstrak dari biji pohon
karet.Kandungan minyak biji karet atau inti biji karet yaitu sebesar 45 50 % , dengan
komposisi 18,9% asam lemak jenuh yang terdiri atas asam palmitat dan stearat serta
asam lemak tidak jenuh sebesar 80,9 % yang terdiri atas asam oleat, linoleat dan
linolenat. Minyak biji karet merupakan salah satu jenis minyak mengering (drying oil),
yaitu minyak yang mempunyai sifat mengering jika terkena oksidasi dan akan berubah
menjadi lapisan tebal, bersifat kental dan membentuk sejenis (Ketaren, 1986).

14
Tabel 3.1 Komposisi Asam-asam Lemak didalam Minyak Biji Karet
Jenis Asam Lemak Persentase
Asam Palmitat 10,2
Asam Stearat 8,7
Asam Oleat 24,6
Asam Linoleat 39,6
Asam Linolenat 16,3
(Aigbodion dan Pillai, 2000)
Mengingat kandungan asam lemak bebas (FAA) di dalam minyak biji karet
yang tinggi, yaitu sekitar 12,19 % maka proses pembuatan biodiesel dari minyak biji
karet lebih efektif dan efisien dilakukan dengan proses estran, yaitu proses dua tahap
esterifikasi dan transesterifikasi dengan menggunakan katalis yang sesuai. (Geo, V. E,
et. al., 2008)

3.4 Lateks
Setiap bagian pohon karet jika dilukai akan mengluarkan getah yang disebut
lateks. Banyak tanaman jika dilukai atau disadap mengeluarkan cairan putih, tetapi
hanya beberapa jenis pohon saja yang menghasilkan karet. Diantaranya Havea
bracileansis. Lateks karet alam yang berasal dari lateks Hevea Brasiliensis ini adalah
cairan seperti susu yang diperoleh dari proses penorehan batang pohon karet. Cairan ini
terdiri dari 30-40% partikel hidrokarbon yang terkandung di dalam serum juga
mengandung protein, karbohidrat dan komposisi-komposisi organik serta bukan
organik (Nazzaruddin dan Paimin, 2006).

Gambar 3.4 Bokar dari Getah karet

15
Lateks yang berasal dari perkebunan rakyat biasanya dalam bentuk gumpalan
yang telah dikoagulasi biasanya disebut Bokar/Slap. Bokar ini nantinya akan diolah
menjadi Crumb Rubber. Crumb Rubber ini lah yang nantinya akan menjadi bahan dasar
peralatan dengan material karet alam yang sering kita gunakan sehari-hari.

Gambar 3.5 Pengolahan Crumb Rubber

16
BAB IV
PROSES DAN NERACA MASSA

Beberapa metode yang dijelaskan pada bab sebelumnya seperti proses


pengolahan terhadap daun dan ranting untuk pengomposan adalah proses pengomposan
secara umum dengan membusukkan dedaunan. Untuk Proses pengolahan Kayu
menjadi papan juga dilakukan secara mekanik yang sering dijumpai secara umum. Dan
untuk pengolahan bungkil dan biji karet sebagai paka ternak dengan cara penghancuran
dan fermentasi yang dicampur dengan ransum. Pengolahan biji karet sebagai bahan
pangan terlebih dahulu diolah, karena akan sangat berbahaya sebab biji karet
mengandung Asam Sianida (HCN). Zat ini dapat dihilangkan dengan perendaman 24
jam atau pengukusan pada suhu 100 oC selama 6 jam , penjemuran selama 12 jam atau
kombinasi pengukusan + penjemuran selama 12 jam. Sebelum biji karet diolah menjadi
tempe maupun keripik. Sedangkan Untuk pengolahan Biji karet menjadi biodiesel dan
lateks menjadi crumb rubber akan dijelaskan sebagai berikut :

4.1 Pengolahan Biji Karet menjadi Biodiesel

Flowchart pembuatan biodiesel dari biji karet ditampilkan pada bagan biru pada
gambar dibawah ini :

Gambar 4.1 Diagram Alir Pembuatan Biodisesl dari biji karet

17
Proses pembuatan biodiesel pada gambar 4.1 dimulai dari pengolahan biji karet tersebut
yang diarahkan pada pengepresan :
a. Pengepresan
Pengepresan disini adalah untuk mendapatkan minyak dari biji karet sehingga dari
tahap ini akan didapat RSO (Rubber Seed Oil). RSO selanjutnya masuk ke tahap
degumming.
b. Degumming
Proses degumming dilakukan untuk mengikat lender atau getah atau kotoran
minyak mentah. Proses ini dilakukan dengan cara memanaskan minyak pada suhu
80oC, kemudian ditambah asam fosfat 20% sebanyak 0,3% (v/b) dan diaduk
merata selama 15 menit. Selanjutnya minyak dipisahkan dari getah (gum) dengan
menggunakan corong pisah. Setelah itu minyak dicuci dengan air panas. Pencucian
dan pemisahan minyak dengan air dilakukan berulang kali sehingga air cucian
terlihat jernih (pH 6,5 7). Minyak hasil tahap ini dianalisis untuk mengetahui
densitas, viskositas, bilangan asam, kadar lemak bebas, FFA dan Bilangan
penyabunan.
c. Esterifikasi
Proses ini bertujuan untuk memurnikan FFA sampai dibawah 2,5%. pada tahap ini
minyak dipanaskan didalam labu leher empat, menggunakan hot plate yang
dilengkapi magnetic stirrer. Kedalam minyak kemudian ditambahkan campuran
methanol 225% FFA dan asam sulfat 5% FFA. Proses ini dilakukan sekitar suhu
55-65oC dengan kecepatan pengadukan 300-500rpm. minyak hasil seterifikasi
dipisahkan dengan corong pemisah, sehingga pada lapisan atas terbentuk sisa
methanol dan gum. sedangkan pada lapisan bawah terbentuk campuran trigliserida
dan fatty acid metyl ester (FAME). campuran trigliserida dan FAME merupakan
bahan untuk proses Transesterifikasi.
d. Transesterifikasi
Pada tahap ini campuran dipanaskan didalam labu leher empat menggunakan hot
plate sambil diaduk. kedalam Labu kemudian ditambahkan larutan metoksida
(campuran methanol 15% v/b minyak dan NaOH 1% b/b minyak). Proses ini
berlangsung 1 jam pada suhu 55-65oC dan kecepatan pengaduk 300-500rpm. Dari
proses ini dihasilkan Biodiesel dan gliserol, kemudian keduanya dipisahkan
menggunakan corong pemisah, sehingga pada lapisan atas terbentuk biodiesel dan
gliserol lapisan bawah. Biodiesel ini kemudian dimurnikan dengan proses

18
pencucian menggunakan metode water whasing. prosesnya yaitu air hangat
ditambahkan kedalam biodiesel lalu dilakukan pengadukan dan pemisahan.
Pencucian dilakukan secara berulang kali sehingga air cucian terlihat jernih.
Selanjutnya dilakukan pengeringan untuk membuang sisa methanol dan air (warta,
2012)

Apabila dilakukan pengolahan secara besar-besaran maka akan didapat


gambaran sebagai berikut : Rendemen RSO dari pengepresan berkisar 22,28-30,00%
dan setelah degumming kana dihasilkan RSO murni 83,44% dan setelah Esterifikasi
dan Transesterifikasi dengan Rendemen 74,5-74,6%
Secara nasional 2,74 ton biji karet akan menghasilkan 685ribu ton (asumsi
rendenmen 25%) dan setelah proses degumming didapat RSO murni 571,66ribu ton.
Dan setelah melalui esterifikasi dan transesterifikasi dihasilkan Biodiesel sebanyak
424,46ribu ton.

4.2 Pengolahan Crumb Rubber

Flowchart pengolahan crumb rubber dari bahan baku bokar adalah sebagai
berikut :

Gambar 4.2 Proses pengoahan Crumb Rubber

19
Garis besar pengolahan crumb rubber dari getah bokar pada gambar 4.2 akan dijelaskan
sebagai berikut :

a. Sortasi
Sortasi dimaksudkan untuk menyeleksi dan mengelompokkan bahan olah
berdasarkan jenis bahan olah, kebersihan (kandungan kontaminan), ketebalan dan
jenis koagulan serta asal bahan olah sesuai standar.
Biasanya sortasi dilakukan saat penerimaan bahan olah, dengan cara memotong
bahan olah menjadi 2 atau 4 bagian menggunakan pisau pemotong berputar. Cara ini
ditempuh mengingat ketebalan dan kebersihan bahan olah karet rakyat masih
beragam. Bahan yang tidak memenuhi ketentuan SNI 06 -2047 2002, dipisahkan
dan tidak diproses sebagai bahan baku SIR. Dalam keadaan tertentu, mutu teknis
bahan olah seperti Po, PRI, kadar kotoran dan kadar abu dianalisis.
Bahan olah hasil sortasi kemudian ditempatkan berkelompok sesuai golongan
yang telah ditetapkan dan diberi label. Komposisi campuran bahan olah perlu diatur
dan dijaga agar produk SIR memenuhi spesifikasi dan konsisten.
b. Pencacahan dan Pencampuran
Sebelum dicacah, bahan olah yang ukurannya masih tebal (slab, ojol) dibelah
dengan slab cutter. Bahan olah yang relatif kotor, sebelum dicacah, dilewatkan
melalui alat pembersih berupa drum berputar yang dilengkapi penyemprot air
(Rotary Screen Washer) untuk membersihkan kotoran permukaan yang menempel
pada bahan olah.

Gambar 4.3 Prebreaker / Cutter Mill


Bahan olah dipecah dengan prebreaker hingga ukurannya menjadi 3 5 cm. Bila
dianggap perlu, bahan olah yang keluar dari prebreaker dilewatkan melalui drum
berputar yang mempunyai ukuran saringan lebih kecil. Kemudian bahan olah
ditampung dalam bak makroblending. Dalam bak makroblending, terjadi proses
pencucian dan pencampuran bahan olah.

20
Bahan olah dipecah dengan prebreaker hingga ukurannya menjadi 35 cm. Bila
dianggap perlu, bahan olah yang keluar dari prebreaker dilewatkan melalui drum
berputar yang mempunyai ukuran saringan lebih kecil. Kemudian bahan olah
ditampung dalam bak makroblending. Dalam bak makroblending, terjadi proses
pencucian dan pencampuran bahan olah. Cacahan dipecah lagi menjadi ukuran lebih
kecil (14 cm) menggunakan salah satu mesin atau lebih, turbo-mill, prebreaker II,
hammermill I, ekstruder II, granulator 18 inchi. Cacahan yang diperoleh dicampur
lagi dalam bak makroblending II. Cacahan dipecah lagi menggunakan macera-tor
hammermill atau Hammermill II hingga ukuran karet menjadi 0,52 cm. Kemudian
cacahan yang dihasilkan dicampur dalam bak makroblending III. Dalam setiap
langkah, diupayakan pemisahan kontaminan.
c. Pembuatan Blangket (crep)
Cacahan dijadikan lembaran karet (krep, blanket) dengan menggunakan
macerator 12 kali giling dan dilanjutkan dengan kreper 23 kali giling untuk setiap
kreper dan biasanya terdapat 34 kreper pada setiap jalur. Hingga membentuk
lembaran, cacahan bahan olah digiling 612 kali dengan kreper. Sebelum diumpan
ke kreper, dilakukan pelipatan lembaran blanket untuk penyera-gaman. Selama
penggilingan, dialirkan air pencuci. Lembaran blanket yang dihasilkan mempunyai
ketebalan 510 mm.

Gambar 4.4 Pembuatan Blanket


d. Pengeringan Awal
Pada pengolahan SIR 20, terutama yang menggunakan bahan olah dari
perkebunan rakyat, pabrik umumnya melakukan pe-ngeringan awal. Krep hasil
gilingan ditimbang kemudian digulung (dilipat) atau digantung di kamar gantung
tanpa dinding agar sirkulasi udara leluasa dan dibiarkan selama 312 hari, bila bahan
olah berupa bahan olah tunggal seperti lump yang dicampur dengan sebagian kecil

21
slab. Bila bahan bokar berupa campuran berbagai jenis bahan olah karet,
pengeringan awal sekitar 23 minggu tergantung pada nilai Po/PRI yang diinginkan.
Selama pengeringan awal, terjadi penguapan air secara alami sehingga beban
pengeringan dalam alat pengering mekanis dapat dikurangi.

Gambar 4.5 Pengeringan Awal

e. Peremahan
Lembaran krep langsung diremah tanpa melalui tahap pengeringan awal,
dengan menggunakan shreder atau creperham-mermill, granulator atau ekstruder.
Pe-remahan secara basah biasanya dilakukan pada produksi SIR 20 dengan bahan
olah bermutu baik. Lembaran krep yang telah mengalami pre-drying, dibasahi,
digiling untuk penyeragaman mutu lalu diremahkan dengan menggunakan alat yang
sama seperti peremahan sistem kering.
f. Pengeringan
Hasil remahan dipindahkan ke dalam kotak pengering trolly secara merata dan
tidak terlampau padat. Selanjutnya trolly dimasukkan ke dalam ruang pengering
(dryer) yang bersuhu 115 C 120C selama 2 3.5 jam untuk remahan yang telah
mengalami pre-drying dan 3 4 jam untuk remahan dengan sistem langsung.

Gambar 4.6 Pengeringan dengan menggunakan trolly

22
Remahan karet setelah keluar dari dryer didinginkan. Kipas pendingin harus selalu
dijalankan selama dryer beroperasi agar karet pada akhir pengeringan tidak
mengalami pemanasan berlebih. Pendinginan biasanya dilakukan unuk
menghasilkan suhu karet maksimum 40 oC. Kipas pendingin bisa dipasang pada
ujung pengering, atau di luar pengering dengan terlebih dulu mengeluarkan bandela
dari kotak dryer.
g. Pengemasan
Remahan karet yang telah dingin ditimbang seberat 33,3 atau 35 kg, diamati dan
dihilangkan jika terdapat white spot/virgin rubber dan kontaminan lainnya,
kemudian dikempa menjadi bandela dengan mesin kempa hidrolik. Lamanya
pengempaan (dwelling time) diatur, paling lama 60 detik untuk setiap bandela.
Selanjutnya bandela dilewatkan pada alat metal detector untuk mengetahui
adanya kontaminan logam. Bandela yang bebas kontaminan dan virgin rubber/white
spot diberi pita mutu yang sesuai dan dikemas dengan plastik kemas. Pengemasan
SIR dapat dilakukan dengan palet kayu atau shrink wrapped atau kotak alumunium
dengan rangka baja.
Pallet yang telah diberi label disimpan berdasarkan jenis mutu. Setiap tumpukan
palet maksimum tiga empat tingkat. Kemasan SIR dengan cara shrink wrapped
tidak dapat ditumpuk, kecuali menggunakan rak besi dan setinggi-tingginya tiga
tingkat. Kemasan dari palet kayu mulai banyak ditinggalkan, karena para konsumen
terutama dari luar negeri merasa keberatan dengan penaganan bekas-bekas kayunya,
sehingga dianggap sebagai limbah. Sebagai gantinya kini banyak digunakan peti
kemas yang terbuat dari logam ringan dengan rangka besi.

Gambar 4.7 Pengemasan dengan kotak besi


(Pengolahan Crumb : Investment opportunity on crumb rubber industry budget year
2007)

23
Pengolahan crumb rubber dari bahan baku bokar pada umumnya hanya
menghasil kan 40-50% rubber crumb kualitas ekspor. Persentase ini juga ditentukan
oleh kadar air dari pada bokar yang dipasok. Sedangkan sisanya adalah pengotor yang
melekat pada bokar. pada umumnya bokar yang dipasok dari masyarakat memiliki
banyak bahan pengotor, karena diolah secara konvensional (Virgania Company, 2014).
Perhitungan Neraca massa dapat dilihat pada diagram balok berikut :

Gambar 4.8 Distribusi Massa Crumb Rubber dan Pengotornya

Dari perhitungan diatas didapat air buangan hasil pencucian dengan campuran pengotor
yang disebut limbah hasil pencucian yang jumlahnya sekitar 60% dari bahan baku yaitu
30,44 ton dimana 30 ton adalah air pencuci sedangkan sisanya adalah pengotor yang
merupakan campuran Kayu, Pasir, Plastik serta Zat Pengeras Getah.

Adapun penanganan limbah dari pengolahan crumb rubber ini adalah dengan
cara sistem lumpur aktif yang mana nantinya dapat digunakan sebagai kompos.
Berdasarkan study literatur padatan mengambang dari limbah ini dapat digunakan
sebagai adsorben (Salmariza, 2012)

24
BAB V
KESIMPULAN

Pohon Karet Limited Energi

Kayu Daun Getah Karet Buah Karet

Bahan Furniture Pabrik Lateks Bungkil Biji Biji Karet


bangunan Pengolahan CR

Pabrik Pakan Ternak Makanan


Pengolahan Alat
Limbah Cair Crumb Rubber Kesehatan

sarung tangan,
Kompos Adsorben ban, karpet, dll kondom, dll Kotoran Ternak Biodiesel

Gambar 5.1 Pohon Industri Karet dengan konsep Ekologi Industri

Kesimpulan : Industri Karet dapat dijadikan contoh industri terpadu yang berkonsep ekologi industri dimana penggunaan

25
DAFTAR PUSTAKA

Aigbodion, A.I dan C.K.S. Pillai. Preparation, Analysis and Aplication of Rubber Seed
Oil and Its Derivatives as Surface Coating Material. 2000. Progress in Organic
Coatings 38 : 187-192

Deptan. 2009. Basis Data Statistik Pertanian. http://regionalinvestment.com. Tanggal


Akses: 22 April 2014

Depperin. 2009. Gambaran Sekilas Industri Karet. www.depperin.go.id. Tanggal


Akses : 22 April 2014.

Development of national natural rubber production Investment opportunity on crumb


rubber industry budget year, , source: Ditgen o Estate (2007)

Direktorat jendral Perkebunan , 2012. Data Luas Perkebunan Karet Indonesia.


www.dirjenperkebunan.go.id Tanggal Akses. 22 April 2014

Edwin Geo V, Chithirailingam P, Nagarajan G. Studies on dual fuel operation of


rubber seed oil and its bio-diesel with hydrogen as the inducted fuel. Int J
Hydrogen Energy Volume 33, Issue 21 November 2008. Pages 6357-6367

Ketaren, S. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. UI-Press, Jakarta. 1986.

Nadarajah, M. The Collection and Utilization of Rubber Seed in Ceylon. RRIC


Bulletin, 4 : 23. 1969.

Nazaruddin dan F.B. Paimin. Karet. Penebar Swadaya. Jakarta. 1998.

Parhusip, Adhy Basar. Potret Karet Alam Indonesia. Economic Review No. 213.
September 2008.

Pusat Penelitian Karet Indonesia, 2013, Majalah Hevea, Edisi 4,


http://kayukuina.blogspot.com Tanggal Akses 25 April 2014

Setiawan, H. D dan Andoko, A. Petunjuk Lengkap Budi Daya Karet. Agromedia


Pustaka. Jakarta. 2005

Salmariza, Pemanfaatab Limbah Lumpur Proses Activated Sludge Industri Karet


Sebagai Adsorben, Jurnal Riset Industri Vol. VI No.2 Tahun 2012 p.175-182

26
Tim Penebar Swadaya. Panduan Lengkap Karet. Penebar Swadaya. Jakarta. 2008.

Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, 2012 Vol 18, No 2 p.17 Badan
Penelelitian dan Pengembangan Pertanian

Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, 2012 Vol 18, No 3 p.13 Badan
Penelelitian dan Pengembangan Pertanian

27

Anda mungkin juga menyukai