Anda di halaman 1dari 8

JUDUL

HUKUM DAN MASYARAKAT DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI


INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Fenomena korupsi merupakan salah satu fokus di dalam masalah hukum
pidana di Indonesia. Dalam kehidupan masyarakat lebih akarab menyebutnya
sebagai tindak pidana korupsi. Sebelum masuk lebih jauh dalam pembahasan
mengenai korupsi, perlu diperoleh pemahaman mengenai apa itu korupsi. Sejak
zaman para filsum Yunani kuno, istilah korupsi sudah dipergunakan. Istilah
korupsi berasal dari perkataan latin corruption atau corruptus yang berarti
kerusakan atau kebobrokan. Tindak ada definisi baku dari pidana korupsi. Hal
ini dapat dilihat dari kata korupsi yang berasal dari bahasa latin yang diartikan
sebagai kerusakan, kebobrokan atau ketidak jujuran. Pengertian kerusakan atau
kebobrokan begitu luas, karena kerusakan atau kebobrokan itu bisa
dimaksudkan dalam banyak bidang.
Di Indonesia orang berbicara mengenai korupsi, pasti yang dipikirkannya
adalah perbuatan jahat, yang menyangkut keuangan negara dan suap, sekaligus
perbuatan tersebut melanggar peraturan hukumAkan tetapi dapat disimpulkan
kalau korupsi selalu terkait dengan uang. Hal ini disebabkan oleh kebutuhan
manusia akan uang yang kemudian mendorong manusia itu untuk melakukan
kejahatan.

RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian pada latar belakang yang telah diuraikan, adapun
yang menjadi permasalahan di dalam tulisan ini adalah
1. Bagaimana hubungan hukum dan masyarakat dalam pemberantasan korupsi
di Indonesia?

TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan dari penulisan karya tulis ilmiah ini adalah
1. Untuk mengetahui hubungan hukum dan masyarakat dalam pemberantasan
korupsi di Indonesia

METODE PENULISAN
Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah
BAB II
PEMBAHASAN
KAJIAN PUSTAKA
Korupsi merupakan masalah hukum yang sudah ada sejak zaman dulu. Dalam
perkembangannya, praktik korupsi telah lebih sistematis, semakin kompleks
bentuknya dan semakin teroganisir, serta melanggar keuangan, perekonomian
negara dan hak ekonomi masyarakat untuk dapat hidup layak.
Era reformasi khususnya dalam tahun 2015 ini menempatkan korupsi sebagai
masalah besar yang dihadapi bangsa Indonesia. Korupsi telah menghambat
pembangunan, ekonomi, sosial, budaya dan politik bangsa. Kenyataannya
korupsi itu pun menjadi semakin meluas dan korupsi itu selalu berkembang dari
zaman ke zaman mengakibatkan fenomena tersebut menjadi sulit untuk
diberantas. Karena itu korupsi dikatakan sebagian orang sebagai extra ordinary
crime. Untuk extra ordinary crime seperti korupsi, perlu instrument yang
juga extra ordinary.[5]
Seiiring perkembangan dalam masyarakat yang menjadi lebih maju dan lebih
modern, terjadi pergeseran dari masyarakat yang tadinya sederhana dan
homogen menjadi masyarakat yang modern dan heterogen. Hal ini berbanding
lurus dengan permasalahan hukumnya yang semakin maju dan semakin modern.
Hal ini menggambarkan bahwa korupsi tersebut selalu berkembang dari zaman
ke zaman.
Untuk menanggapi hal tersebut ada sebuah paradoks dari Hobel:[6] the more
civilezed man becomes, the greater is mans need for law, and the more law he
creates. Dengan demikian Penulis melihat bahwa paradoks ini sejalan dengan
kenyataan di dalam masyarakat. Karena semakin heterogen dan modern suatu
masyarakat, maka isu hukumnya pun semakin kompleks, sehingga diperlukan
banyak pengaturan hukum untuk mengatur hal itu semua.
Hal ini menjadi lebih dapat difahami dengan mengutip pendapat dari Eugine
Ehrlich:[7] The center of gravity of legal development lies in not in legislation, nor
in juristic science, nor in judicial decicion, but in society itself. Bahwa pusat dari
perkembangan hukum itu terletak pada masyarakat itu sendiri.
Masyarakat Indonesia dewasa ini struktur masyarakatnya heterogen. Pada
masyarakat heterogen lebih kompleks jika dibandingkan dengan masyarkat yang
masih homogen, maka diperlukan kontrol sosial yang bentuknya formal. Formal
controls arise when informal controls alone are insufficient to maintain conformity
to certain norms.[8]
Hal ini tercermin dalam perundang-undangan yang mengatur mengenai korupsi
di Indonesia sejak dahulu. Faktanya pemberantasan tindak pidana korupsi di
Indonesia telah dilakukan sejak dahulu, terutama sejak berlakunya Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
yang merupakan pengganti Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 24
Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana
Korupsi. Setelah kedua peraturan Undang-Undang di atas, kemudian
terbentuklah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, dan Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentnag Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi. Indonesia juga telah meratifikasi suatu konfensi internasional,
yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations
Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti
Korupsi, 2003) menjadi Undang-Undang.
Sekarang tindak pidana korupsi diatur di dalam UndangUndang tersendiri yaitu
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UndangUndang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dapat dilihat bahwa sudah
banyak peraturan perundang-undangan yang dibentuk untuk memberantas
korupsi dan semakin kedepan pengaturan perundang-undangan mengenai
korupsi pun semakin kompleks dan semakin detil pengaturannya.
Banyaknya peraturan-peraturan yang mengatur mengenai pemberantasa tindak
pidana korupsi dari semanjak tahun 1960, menunjukkan bahwa mayoritas
rakyat Indonesia sesungguhnya mendukung pemberantasa tindak pidana
korupsi. Penulis melihat hal ini sejalan dengan Concensus Prospective. Artinya
peraturan-peraturan tersebut dibentuk berdasarkan kesepakan semua pihak
baik masyarakat, eksekutif, dan legislatif. Legislative, judicial, and excecutive
function are separate and distinct in modern law.[9]
Dengan demikian Penulis berpendapat bahwa pemikiran ini sejalan dengan
pandangan hukum responsive yang dinyatakan oleh Philippe Nonet dan Philip
Selznick:[10] In This perspective good law should offer something more than
procedural justice, It should be competent as well as fair; it should help define the
public interest and be committed to the achievement of substantive justice.
Berdasarkan sudut pandang hukum responsif, hukum yang baik itu harus dapat
merespon kebutuhan dari masyarakat itu sendiri, tidak hanya sekumpulan
peraturan belaka. Dengan merespon kebutuhan masyarakat maka hukum itu
dapat melindungi kepetingan masyarakat tersebut.
Berdasarkan pada uraian di atas, maka Penulis melihat dibentuknya Undang-
Undang yang mengatur mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi sejak
dulu merupakan perwujudan Formal social controls. Formal social controls are
incorporated in the institutions in society and are characterized by the explicit
establishment of procedures and the delegation of specific bodies to force them
(law, decrees, regulation, and codes).[11]
Dibentuknya pengaturan-pengaturan mengenai tindak pidana korupsi dari dulu
sampai sekarang tentulah ada fungsinya. Penulis mengutip perndapat dari
Donald Black bahwa hukum juga dapat dilihat sebagai social control. Social
control means social rules and processes which try to encourage good or useful
conduct or discourage bad conduct.[12]
Penulis meilihat bahwa maksud dari pembentukan hukum itu bertujuan untuk
mengantur hal-hal yang baik dan menggantikan hal-hal yang dianggap tidak
baik. Maka dengan mengatur hal-hal yang dianggap baik dalam sebuah
peraturan perundang-undangan, maka dengan begitu pemerintah berupaya
untuk menegakkan hal-hal yang dianggap baik dan mencegah terjadinya hal-hal
yang dianggap buruk di dalam masyarakat.
Hal ini sejalan dengan pemikiran yang dikemukakan oleh Roscoe
Pound:[13]Hukum sebagai saranan pembaharuan masyarakat (law as a tool of
social enginerring). Dalam teroti law as a tool of social engingeering hukum
bertujuan untuk melindungi kepentingan masyarakat (social interest), yang salah
satunya adalah kepentingan akan ketertiban.[14]
Sebagai contoh, dalam UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi dikenal istilah Gratifikasi sebagai salah satu bagian dari
tindak pidana korupsi.[15] Gratifikasi pada dasarnya merupakan tindakan
menerima hadiah/pemberian yang diterima oleh pegawai negeri sipil,
penyelenggara negara, dan pejabat negara, dimana terdapat kewajiban untuk
melaporkan gratifikasi tersebut kepada Komisi Pemberantasa Tindak Pidana
Korupsi untuk diklarifikasi.[16]
Dalam peraturan perundang-undangan sebelum UndangUndang Nomor 20
Tahun 2001 tidak dikenal mengenai gratifikasi sebagai salah satu tindak pidana
korupsi. Tetapi dengan lahirnya UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 maka
pengaturan mengenai korupsi semakin luas dan semakin baik. Penulis melihat
bahwa hukum itu semakin kedepan akan semakin mencerminkan apa yang
dianggap baik dan apa yang diinginkan oleh masyarakat itu sendiri. Law has
more and more come to provide for the common good and the satisfaction of social
wants.[17]
Berbanding terbalik dengan betapa bagusnya konsep pembernatasan korupsi
yang diatur di dalam Undang-Undang, faktanya walaupun banyak peraturan
perundang-undangan di bentuk untuk memberantas koruspi di Indonesia, tetapi
korupsi itu sendiri masih sulit di hapuskan. Walaupun sudah banyak upaya yang
dilakukan untuk memberantas korupsi, sampai dengan sekarang korupsi masih
tetap berkembang di Indonesia. Bagaimana cara penanggulangannya demikian
pula perkembangannya.[18]
Untuk meresepon isu tersebut Penulis melihat bahwa setiap peraturan
perundang-undangan dalam kaitannya dengan menjalankan fungsi kontrol sosial
seperti diuraikan di atas, tidak semudah hanya dengan membentuk peraturan
perundang-undangan kontrol sosial itu pun berjalan. Tetapi ada beberapa proses
dalam mewujudkan atau tercapainya kontrol sosial melalui sebuah Undang-
Undang. Clinard dan Meier mengemukakan:[19] There are two basic processes of
social control: the internalization of group norms and control through external
pressures.
Sekarang yang menjadi masalah walaupun tindak pidana korupsi sudah diatur di
dalam UndangUndang tersendiri yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 jo. UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, tetapi angka korupsi di Indonesia masih tinggi. Dengan melihat
fakta tersebut, muncul keraguan dalam diri Penulis bahwa Pasal-Pasal di dalam
Undang-Undang tersebut tidak terinternalisasi di dalam masyarakat.
Agar suatu peraturan perundang-undangan dapat diterima dengan baik oleh
masyarakat melalu proses internalisasi, maka hal ini memerluka waktu yang
relatif lama (tidak sebentar/seketika) dan tentunya diperlukan penyuluhan yang
dilakukan secara terus-menerus (continuous) oleh pemerintah agar masyarakat
dapat menginternalisasi nilai-nilai di dalam peraturan perundang-undangan
tersebut. Social control is the consequence of socialization, the process of learning
the rules of behavior for a given social group.[20]
Terkait dengan proses internalisasi tersebut perlu diperhatikan, bahwa
peraturan perundang-undangan harus sesuai dengan pemikiran sociological
jurisprudence, yaitu hukum yang baik hendaknya sesuai dengan hukum yang
hidup dalam masyarakat (living law).[21] Artinya dalam proses internalisai
harus memperhatikan bahwa hukum yang dibentuk itu tidak bertentangan
dengan nilai yang hidup di dalam masyarakat itu. Tetapi perlu diperhatikan
bahwa untuk memahami suatu gejala pada masyarakat ini tentu tidak dapat
terpisah dari lingkungan tempat mereka berada.[22] Penulis melihat bahwa
masyarakat dan lingkungan di sekitarnya adalah saling terkait satu sama lain, hal
ini lah yang mempengaruhi terciptanya suatu tertib hukum.
Melalui pergaulan hidup tersebut masyarakat mendapat pengalaman-
pengalaman, pengalaman-pengalaman tersebut menghasilkan nilai-nilai yang
positif dan negatif, sehingga manusia memiliki konsepsi nilai-nilai mengenai hal
yang positif dan negatif.[23] Sebagai contoh Di dalam suatu masyarakat terdapat
yang disebut dengan nilai sosial. Nilai sosial adalah nilai yang dianut oleh
suatu masyarakat, mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap
buruk oleh masyarakat.[24]
Sistem nilai-nilai tersebut sangat berpengaruh terhadap pola-pola berpikir
manusia, yang merupakan suatu pedoman mental baginya. Pola-pola berpikir
manusia mempengaruhi sikapnya yang merupakan kecenderungan-
kecenderungan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu terhadap
manusia, benda, maupun keadaan-keadaan.[25]
Hukum sebagaimana fenomena sosial yang lain tidak dapat terlepas dari kajian
empirik terhadap aspek-aspek ketertiban hukum yang beragam dan saling
mempengaruhi satu sama lain, misalnya pengakuan terhadap otoritas, rasa
keadilan, pembuatan dan pelaksanan aturan, kesadaran hukum, perkembangan
hukum, kompetensi hukum, peran hukum, dan patologi hukum.[26] Hukum
merupakan keseluruhan peraturan-peraturan atau kaedah-kaedah dalam suatu
kehidupan bersama yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu
sanksi.[27]
Jika di lingkungan tempat masyarakat itu berada masih banyak orang yang
melakukan korupsi karena korupsi karena berbagai alasan pembenaran, maka
jelas di dalam masyarakat tersebut akan sulit kita menghapuskan pelanggaran
korupsi. Sebagai contoh di Indonesia Anggota DPR yang korupsi dengan alasan
karena mereka memerlukan modal yang besar untuk bisa duduk di DPR, maka
mereka perlu mengembalikan modal tersebut.
Contoh lainnya dimana masyarakat beranggapan kalau kita mendudukin suatu
jabatan di pemerintahan, seperi misalnya Menteri, maka kita pastilah orang yang
kaya. Padahal gaji seorang Menteri di Indonesia ini sudah ditentukan berapa
jumlahnya, tetapi karena banyak yang beranggapan mereka itu bergelimang
harga sehingga jika meraka tidak memiliki harta yang banyak justru memalukan.
Hal-hal inilah beberapa contoh kongkrit yang Penulis dapat temukan, berkaitan
dengan masih tingginya angka korupsi di Indonesia.
Merespon faktar yang diurikan sebelumnya, jika dilihat memalui sudut pandang
sosilogi hukum maka tidak hanya melihat hukum sebgai sistem konseptual,
tetapi melihat pula kenyataan dalam kemasyarakat yang di dalam hukum
memainkan peran.[28] Penulis melihat bahwa hambatan dalam tercapainya
internalisasi UndangUndang tersendiri yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 jo. UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi adalah terletak pada budaya hukum (legal culture). Budaya
hukum dapat diartika sebagai bagaimana masyarakat memandang dan
mematuhi hukum itu.
Melihat pada contoh-contoh di atas maka Penulis menarik pemahaman bahwa
budaya hukum terkait korupsi di Indonesia masih belum baik, sehingga banyak
mengakibatkan masih tingginya angka korupsi di Indonesia. Without legal
culture, the legal system is inert a dead fish lying in a basket not living fish
swimming in the sea.[29] Untuk memahami fenomena masih banyakanya pejabat
dan elit politik yang melakukan korupsi, Penulis melihat hal ini berkaitan dengan
norma-norma moral. Norma-norma moral tidak dipasang sendiri oleh kesadaran
individu, melainkan disadari sebagai kewajiban sejauh betul secara objektif,
lepas dari keakuanku sendiri.[30]
Kesadaran anggota masyarakat untuk mematuhi hukum yang berlaku masih
belum terintenalisas, dapat disimpulkan belum terwujudnya proses internalisasi
di dalam masyarakat tersebut. Maka dalam kondisi ini diperlukan external
pressures untuk menegakkan UndangUndang tersendiri yaitu Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 jo. UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Maksudnya disini external
pressuresmelalui aparat-apart penegak hukum yang bertugas untuk mengawasi
dan menjatuhkan sanksi kepada para koruptor. Tujuan dari penjatuhan sanksi
tersebut disamping untuk menghukum para koruptor dan punishment is
supposed to have a deterren effect, both on the law breaker and on potential
deviants.[31] Penjatuhan sanksi ini juga dipengaruhi oleh tiga variabel
penting:[32] (1) the severity of the punishment for an offense, (2) the certainty
that it would be applied, and (3) the speed with which it would be applied.
Penulis mengutip pendapat dari William J. Chamblis:[33] make a distinction
between crimes that are instrumental act and those that are expressive.
Pembedaan ini dimaksudkan dalam hal menjatuhkan sanksi (criminal sanction).
Berdasarkan pendapat dia atas maka korupsi merupakan bentuk
kejahatan instrumental act. Instrumental act are illegal activities directed toward
some material end.[34]
Terhadap tindakan yang tergolong instrumental act berat ringannya sanksi yang
diberikan mempengaruhi dalam menekan angka pelanggaran yang terjadi.
Sanksi dalam Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UndangUndang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengatur sanksi
berupa hukuman mati, Penulis melihat sanksi yang diterapkan pada tindak
pidana korupsi sudah berat. Jika sanksi pada tindak pidana korupsi sudah cukup
berat dan penegakannya pun berjalan dengan baik, maka pastilah tingkat
korupsi di Indonesia dapat ditekan.
Sebagai contoh putusan Mahkamah Agung yang menghukum terpidana korupsi
Angelina Sondakh yang merupakan Anggota DPR RI. Angelina Sondakh yang
divonis 12 Tahun penjara dan uang pengganti sejumlah Rp 39.980.000.000.
Menurut saya dengan sanksi pidana penjara dan uang pengganti yang setimpal
tersebut membuat efek jera pada pelaku dan juga orang lain yang hendak
melalukan tindak pidana korupsi. Hal ini mematahkan joke yang berada pada
masyarakat, katanya koruptor lebih takut miskin daripada dipenjara. Dengan
diberikannya hukuman badan dan hukuman pembayaran uang pengganti, jelas
membuat koruptor dipenjara dan juga jadi miskin.
Penulis melihat kalau external pressure itu harus lebih dioptimalkan. Dalam
rangka mengoptimalkan external pressure dalam penegakan hukum di bidang
tindak pidana korupsi, maka diperlukan aparat penegak hukum yang memang
memiliki keahlian di bidangnya. Membicarakan masalah hukum pidana (criminal
law; het strafrecht) adalah merupakan suatu pembicaraan yang berangkai dari
Polisi, Jaksa, Hakim, sampai ke Lembaga Pemasyaraktan.[35]
Berangkat dari pendapat dari Marc Galanter mengenai modern
law:[36]Professionals run the laws; lawyers replace mere general agents as the
legal system grows more complex. Maksudnya disini maka dalam menjalankan
suatu peraturan perundang-undangan diperlukan aparat yang memang dapat
bekerja secara professional. Sejalan dengan pendapat Marc Galenter tersebut,
maka dalam mengoptimalkan external pressure semua aparat penegak hukum
(polisi, jaksa, Hakim, KPK, dan PPATK) harus bekerja dengan optimal agar
penegakan hukum di bidang korupsi di Indonesia dapat tegak. Karena keempat
instasi tersebut adalah merupakan instansi yang memiliki peranan dalam hal
penyelidikan dan penyikan jika terjadi tindak pidana korupsi.
Marc Galenter juga berpendapat, modern law consist of rules tha are uniform and
unvarying in the application, the same rules and regulations are applicable to
everyone.[37] Penulis menarik kesimpulan bahwa Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 jo. UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi berlaku kepada setiap orang yang melakukan tindak
pidana korupsi tanpa terkecuali. Hal ini sejalan dengan asas hukum equality
before the law, yang maksudnya semua orang berkedudukan sama di hadapan
hukum.
Perlu diperhatikan bahwa pengadilan juga memegang peranan penting dalam
hal tegaknya suatu peraturan. Dapat pula dikemukakan masalah efek sosial dari
suatu putusan pengadilan.[38] Sebagai kaitannya disini sejauh manakan
keputusan pengadilan mengurangi dan memberikan efek jerak kepada para
koruptor-koruptor di Indonesia.
An order will be called law if it is externally guaranteed by the probability that
coercion (phsycal or psychological), to bring about conformity or avenge violation,
will be applied by a staff of people holding themselves especially ready for that
purpose.[39] Dengan melihat kutipan tersebut, maka dapat dilihat peranan para
aparat penegak hukum dalam mewujudkan hukum itu. Karenan dengan penegak
hukum yang baik maka hukum pun akan dapat ditegakkan dengan baik.
Masalah selanjutnya jika tindak pidana korupsi dilakukan oleh orang-orang yang
berkuasa. Jika orang-orang yang berkuasa yang melakukan tindak pidana
korupsi sering kali hukum sulit untuk menjangkau mereka. Terutama jika sudah
sarat dengan kepentingan politik. Bahka Marc Galanter berpendapat:[40] law is
also political. Hal ini sejalan dengan kenyataan bahwa, partai mana yang sedang
memimpin maka para anggota partainya seolah-olah kebal terhadap hukum.
Karena hukum sulit untuk menjangkau orang-orang tersebut, karena terlalu
banyak benturan kepentingan (conflict of interest).
Sangat disayangkan pula di Indonesia dewasa ini masih ada saja aparat penegak
hukum yang terlibat melakukan tindak pidana korupsi. Misalnya pada kasus
mantan Kabareskrim Kepolisian Republik Indonesia yang terseret kasus korupsi.
Contoh lainnya seperti kasus korupsi simulator sim pada Kepolisian Republik
Indonesia yang turut menyeter petinggi Polisi. Juga kasus korupsi yang
dilakukan oleh oknum polisi di Irian Jaya yang berdasarakan data temuan PPATK
memiliki angka transaksi yang jumlahnya sangat mengejutkan. Tidak luput kasus
yang paling baru adalah dimana calon Kapolri yang ditunjuk oleh Presiden
Republik Indonesia yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.
Pelanggaran-pelanggaran yang sering terjadi tersebut tidak hanya dipengaruhi
oleh faktor masyarakat saja, tetapi ada faktor-faktor lain yang juga turut
mempengeruhi efektifitas berlakukanya peraturan tersebut. Apabila sering
terjadi pelanggaran-pelanggaran terhadap suatu perundang-undangan, maka hal
itu belum tentu berarti peraturan tersebut secara sosiologis tidak berlaku di
dalam masyarakat, mungkin para pelaksana peraturan tadi kurang tegas dan
kurang bertanggung jawab.[41]

Anda mungkin juga menyukai