Anda di halaman 1dari 18

Ver.

13 Mei 09
BAB VIII : KLAIM MUATAN KAPAL .

1. PENGERTIAN.
Suatu pengangkutan barang melalui laut biasanya didasarkan atas suatu
perikatan hukum yang berupa perjanjian, baik berupa Bills of Lading (B/L)
maupun Charter Party (C/P). dalam perikatan tersebut satu pihak
biasanya pemilik barang yang memerlukan jasa angkutan laut.
Sedangkan pihak lainnya adalah Penjual atau Penyedia jasa angkutan
laut (Pengangkut/Pemilik kapal). Dalam pelaksanaannya kadang-kadang
timbul wanprestasi (salah satu pihak ingkar janji), dan salah satu jenis
wanprestasi adalah kurang atau rusaknya barang muatan kapal yang
diperjanjikan.

Sebagaimana layaknya suatu perikatan hukum, wanprestasi yang


dilakukan oleh salah satu pihak memberikan hak kepada pihak lain untuk
menuntut penggantian atas kerugian yang timbul. Dalam hubungannya
dengan tulisan ini, upaya menuntut penggantian tersebut disebut sebagai
klaim (adaptasi langsung dari kata Claim dalam bahasa Inggris). Dalam
prakteknya upaya mendapatkan ganti kekurangan atau kerusakan,
walaupun jelas terjadi selama pelayaran, tidak dengan mudah dapat
dipertanggungjawabkan kepada Pengangkut/Pemilik kapal. Dalam
memperjelas hal itulah tulisan ini dibuat.

2. PRINSIP DASAR.

Dalam hukum klaim terdapat suatu semboyan (maxim) yang berbunyi


restitutio in integrum, yang secara harafiah dapat diterjemahkan:
bahwa seseorang yang menderita kerugian berhak meminta/menuntut
kepada pihak yang mengakibatkan kerugian agar mengembalikannya
pada keadaan sebelum kerugian itu terjadi. Jelaslah bahwa dasarnya
klaim adalah suatu upaya dari pihak yang menderita kerugian untuk
mendapat penggantian atas kerugian yang dideritanya. Oleh sebab itu
sering disebut klaim adalah obat penyembuh (remedy), bukan obat kuat.
Suatu klaim hanya akan menghasilkan penggantian (recovery) maksimal
sebesar kerugian yang dideritanya. Tidak boleh ia mendapat keuntungan
dari klaim.

Dalam klaim pihak yang mengajukan klaim disebut claimants atau, kalau
perkaranya diselesaikan di pengadilan disebut plaintiff. Sedangkan pihak
yang diklaim disebut sebagai defendants. Apabila claimants bisa
membuktikan bahwa kerugian tersebut berdasarkan hukum yang berlaku
menjadi tanggung jawab defendants dan defendants gagal membuktikan
sebaliknya, maka ia harus membayar ganti rugi. Oleh sebab itu suatu

77
unsur yang sangat penting dalam klaim adalah bukti (evidences) dan
pembuktian (proof).

Siapa yang dapat bertindak selaku claimants? Siapa saja yang menderita
atau ikut menderita kerugian. Umumnya ia pemilik barang (cargo owners),
yang bisa jadi berkedudukan pula sebagai pengirim barang (shipper),
penerima barang (receivers), atau orang yang namanya ditunjuk dalam
Bills of Lading (consignees). Namun seorang penanggung asuransi
(underwriters) yang sudah membayar uang asuransi kepada tertanggung
juga bisa menjadi claimants atas dasar subrogasi. Siapa yang dapat
diklaim? Siapa saja yang berdasarkan perjanjian dan hukum yang berlaku
bertanggungjawab atas kerugian tersebut. Umumnya adalah pengangkut
(carriers) dalam angkutan dengan B/L atau pemilik kapal (shipowners)
dalam angkutan dengan C/P. namun bisa juga underwriters atau P&I Club
yang menanggung asuransi kapal tersebut.

3. PERTIMBANGAN AWAL

Perlukah klaim diajukan? Sepintas pertanyaan diatas terdengar naif.


Namun sebenarnya memang ada hal/faktor yang harus dipertimbangkan
sebelum mengajukan klaim. Yang pertama tentunya besarnya nilai
kerugian. Kalau nilainya relatif kecil sebaiknya tidak perlu diajukan klaim,
karena tidak sepadan dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk
menyelesaikan klaim tersebut. Pos biaya yang cukup besar meliputi legal
expenses (biaya pengadilan, lawyer, solicitors, consultants), fee (upah
untuk claims recovery agent) dan disbursement (pengeluaran untuk
korespondensi, administrasi, komunikasi, dll). Perlu diingat bahwa nilai
kerugian tidak selalu identik dengan nilai yang bisa diklaim (claimable
amount). Seringkali karena adanya limit of liability, claimable amount lebih
kecil dari kerugian riilnya.

Faktor kedua yang harus dipertimbangkan adalah ada/tidaknya pihak


yang secara hukum dapat dipertanggungjawabkan atas terjadinya
kerugian tersebut. Seringkali faktor ini mudah dikenali namun sering pula
tidak mudah. Biasanya penyelidikan diawali dengan mencari jenis dan
penyebab kerugian. Dari hal tersebut penyelidikan bisa dikembangkan
dengan memperbandingkan dengan ketentuan pertanggungjawaban yang
ada dalam peraturan hukum yang berlaku untuk perjanjian tersebut. Kalau
dalam penyelidikan tersebut jelas tidak ada pihak yang dapat
dipertanggungjawabkan, jangan memboroskan dana percuma dengan
mengajukan klaim. Ketidakberadaan dimaksud bisa berarti secara hukum
maupun secara phisik. Secara hukum maksudnya berdasarkan ketentuan
yang berlaku memang tidak ada pihak yang diwajibkan
bertanggungjawab. Kerugian akibat force majeur misalnya jelas tidak
dapat dibebankan kepada pengangkut/pemilik kapal. Sehingga apabila
kerugian tersebut tidak diasuransikan maka tidak ada seorangpun yang

78
bisa dipertanggungjawabkan. Banyak indikasi ada/tidaknya pihak yang
bisa dipertanggungjawabkan ini terlihat dari penyebab
kekurangan/kerusakan (cause of loss/damage). Tidak ada secara phisik
maksudnya pihak yang harus bertanggung jawab pada saat klaim akan
diajukan tidak lagi eksis (perusahaan ditutup, kapalnya dibesi tuakan, dll).

Hal terakhir yang perlu dijadikan pertimbangan adalah kemampuan pihak


yang bertanggung jawab untuk membayar. Untuk apa menang di
pengadilan kalau akhirnya lawan tidak lagi memiliki kekayaan yang bisa
disita. Guna menjamin terbayarnya klaim itulah pentingnya meminta agar
pihak lawan dipaksa menyerahkan jaminan (securities). Tanpa kekayaan
dan/atau jaminan, just forget it!.

4. PILIHAN CARA PENYELESAIAN KLAIM


Terdapat 3 (tiga) cara yang biasa ditempuh untuk penyelesaian klaim,
yakni: melalui musyawarah, arbitrasi/mediasi dan pengadilan.
Penyelesaian cara musyawarah (Amicable Settlement) adalah cara yang
paling pertama biasa ditempuh karena biayanya murah. Prosedurnya
adalah dengan mengirimkan Nota Klaim (Claim Notes) kepada
defendants. Setelah mereka menjawab, dilanjutkan dengan
korespondensi dan/atau negosiasi yang pada hakekatnya berisi upaya
saling memberikan bukti: claimants membuktikan bahwa defendants
adalah pihak yang harus bertanggung jawab dan layak mendapatkan
penggantian, sedangkan defendants membuktikan bahwa dirinya tidak
bertanggungjawab. Jadi walaupun musyawarah, mutlak diperlukan
kelihaian dalam memainkan bukti-bukti agar klaim berhasil. Ingat, pada
prinsipnya tidak seorangpun akan dengan sukarela membayar klaim.
Kalau toh, sesudah musyawarah, bersedia membayar klaim,
kemungkinannya dilandasi 2 hal, yaitu: pertimbangan bisnis (demi
hubungan atau reputasi dagangnya baik) atau pertimbangan hukum
(kalau maju ke pengadilan, berdasarkan bukti-bukti yang ada, ia akan
kalah).

Cara berikutnya, yaitu melalui Badan Arbitrase atau Badan Mediasi,


biasa ditempuh apabila memang cara itu telah disepakati dalam perjanjian
sebagai cara mengatasi sengketa antara kedua belah pihak. Kesepakatan
dimaksud dicantumkan dalam pasal khusus yang disebut Arbitration
Clause. Cara ini populer dalam pengangkutan dengan Charter Party
dengan beberapa jurisdiksi/tempat arbitrase yang umumnya dipilih :
London, Singapura, Hongkong, atau New York. Wasit bisa disepakati
dipilih oleh masing-masing pihak plus 1 wasit/arbiter yang ditentukan
Badan. Namun bisa juga dengan cara pembentukan/penunjukkan lain.
Arbitrase atau Mediasi disenangi oleh para praktisi karena kecepatan
memutuskan, rendahnya biaya dan keputusan yang kompromistis.

79
Cara yang biasanya merupakan pilihan terakhir adalah Proses
Pengadilan ( Court Proceeding ). Menjadi pilihan terakhir karena
walaupun mempunyai kadar keadilan dan kepastian yang tinggi,
prosesnya rumit dan mahal. Upah lawyers/solicitors sangat mahal, belum
biaya mendatangkan saksi, membuat akta-akta resmi (affidafits),
menyusun bukti-bukti (exhibits), dan sebagainya. Menurut sistem hukum
Anglo Saxon, prosedurnya melalui 2 tahapan: writs ( pendaftaran atau
semacam somasi) dan legal sue (gugatan). Claimants (di dalam proses
pengadilan disebut plaintiffs) sesuai hukum Inggris dapat memilih
mengajukan gugatan in rem (ditujukan kepada kapalnya) atau in
personam (kepada orang/perusahaan). Pilihan ini yang tidak ada dalam
sistem hukum Indonesia, karena di sini gugatan hanya bisa ditujukan
kepada orang/perusahaannya.

Yang lebih sering dilakukan oleh Claims Adjuster atau Claim Settling
Agents (orang atau perusahaan yang tugasnya menangani penyelesaian
klaim) adalah mengkombinasikan atara upaya musyawarah dan
pengadilan. Caranya: sementara korespondensi/negosiasi musyawarah
berjalan, claimants mendaftarkan klaimnya di suatu pengadilan tertentu
(biasanya di pelabuhan yang biasa disinggahi kapal yang diklaim) dan
meminta Pengadilan tersebut menerbitkan writ. Penerbitan/pendaftaran
tersebut mempunyai 2 maksud: pertama mencegah agar klaim tidak
kadaluwarsa (time barred) karena lewat 1 tahun dan kedua agar apabila
kapal yang bersangkutan singgah di pelabuhan tersebut bisa ditahan
(atas perintah pengadilan). Penahanan kapal ( Arrest of Ship ) ini dapat
dilakukan di pelabuhan mana saja asalkan tunduk pada sistim hukum
Anglo Saxon ( misalnya negara-negara Persemakmuran ). Bukan hanya
kapal itu sendiri, bahkan kapal lain dari pemilik yang sama ( Sister Ships )
dapat ditahan. Biasanya kemudian kapal tersebut dibebaskan apabila
pemilik menyerahkan uang jaminan (security) untuk klaim yang
dibebankan kepadanya. Setelah itu, negosiasi dilanjutkan sampai tercapai
kompromi penyelesaian. Kalau gagal kompromi, baru diteruskan ke
pengadilan dengan mengajukan legal sue.

5. ENAM POKOK DALAM KLAIM MUATAN KAPAL


Cara penyelesaian apapun yang dipilih, pada dasarnya ada 6 hal pokok
yang harus diperhatikan oleh seorang claim adjuster. Kelima hal pokok
tersebut apabila diuraikan secara rinci dapat menjadi satu atau dua
volume buku. Namun, sesuai kebutuhan sebagai sekedar pengenalan,
penulis mencoba menyingkatnya sebagai berikut :

5.1. DASAR HUKUM (Legal Basis)

Dasar hukum atau legal basis adalah sesuatu dasar yang


memberikan hak kepada claimants untuk mengajukan klaim. Dalam
hukum sering disebut alas hak dan itu berupa perikatan hukum,

80
yang bentuknya bermacam-macam. Namun dalam klaim muatan
kapal lazimnya perikatan hukum tersebut berupa perjanjian.
Sebagaimana telah dipelajari dalam kuliah Hukum Pengangkutan
Barang Melalui Laut, bentuk perjanjian pengangkutan dapat berupa
Bills of Lading (B/L) atau Charter Party (C/P).

Dengan mendapatkan dasar hukum secara teoritis segera dapat


ditentukan kepada siapa klaim akan ditujukan, karena dalam
perjanjian tersebut jelas siapa pemakai jasa (yang menjadi
claimants) dan siapa penjual jasa (yang akan menjadi defendants).
Defendants-nya dalam B/L pasti Pengangkut (carriers) dan dalam
C/P pasti Pemilik kapal (shipowners). Namun dalam praktek
masalahnya tidak sesederhana itu, terutama dalam pengangkutan
dengan B/L sebagai dokumen perjanjiannya.

Mengapa? Karena B/L sebenarnya bukan suatu Surat Perjanjian


sebagimana lazimnya surat perjanjian yang ditandatangani oleh
kedua belah pihak. B/L hanya ditandatangani sepihak oleh Penjual
jasa yang diwakili oleh Nahkoda (masters) atau bahkan kuasanya
(Agen Pelayran, misalnya). Blanko B/L yang dipakai seringkali
bukan blanko yang diterbitkan oleh Pengangkut sendiri, tetapi
mungkin blanko agen pelayaran, yang bahkan tidak mencantumkan
alamatnya. Keadaan dipersulit oleh kenyataan bahwa biasanya
claimants bukanlah pihak asli dalam B/L. Pihak aslinya adalah
pengirim barang (shipper), sedangkan claimants biasanya
penerima barang (receivers) atau consignees, atau bahkan hanya
orang yang membeli B/L tersebut (Ingat : B/L adalah surat
Berharga yang dapat diperdagangkan).

Keruwetan lain adalah bahwa sering dalam suatu pelaksanaan


angkutan diterbitkan C/P sekaligus juga B/L. Lalu mana yang akan
dipilih sebagai dasar hukum ? Keadaan lain yang mungkin timbul
adalah perikatan lahir bukan dari perjanjian, tetapi Perbuatan
Melawan Hukum ( PMH ) atau Tort. Contoh PMH yang paling lajim
adalah perikatan yang lahir dari peristiwa tubrukan kapal di laut.
Atau contoh yang lebih sederhana, klaim seorang Tertanggung
kepada Penanggung Asuransi yang didasarkan Polis Asuransi.
Banyak variannya dan oleh sebab itu, kalau tidak terpaksa jangan
pilih profesi sebagai claim adjuster.

5.2. BUKTI dan PEMBUKTIAN (Evidences/Proof)

Hampir setiap klaim, apapun cara penyelesaian yang dipilih,


keberhasilannya sangat tergantung pada bukti-bukti yang berhasil
dikumpulkan dan kelihaianya dalam melakukan pembuktian,

81
(catatan: bukti adalah barangnya, sedangkan pembuktian adalah
tindakannya). Bukti-bukti apa yang harus dikumpulkan dan
pembuktian apa yang harus dilakukan sangat tergantung dari
kasusnya. Namun secara umum setidaknya ada 5 hal yang harus
dibuktikan, yaitu:

a. Dasar Hukum

Seperti telah dibahas di atas, disini claimants diminta


membuktikan alas hak yang dipunyainya untuk mengajukan
klaim serta membuktikan bahwa pihak yang diklaimnya
(defendants) adalah orang/perusahaan yang menurut bukti-
bukti yang ada adalah pihak yang harus bertanggungjawab.
Bukti dokumen yang pokok di sini adalah B/L, C/P, Booking
Note, Booking Wire, Mates Receipt, dll).

b. Saat terjadinya kekurangan/kerusakan

Pembuktian tentang saat terjadinya kekurangan/kerusakan


sangat penting karena berkaitan langsung dengan
periode/rentang tanggung jawab pengangkut. Apabila
claimants bisa membuktikan bahwa kekurangan/kerusakan
terjadinya saat barang dalam penguasaan pengangkut, maka
secara prima facie kekurangan/kerusakan yang terjadi
merupakan tanggung jawab pengangkut. Untuk itu claimants
harus menunjukkan bahwa barang tersebut dimuat dalam
keadaan utuh dan baik, yang dibuktikan dengan Clean B/L,
Survey Report, dll. Selanjutnya ia harus menunjukan muatan
kapal tersebut dibongkar dalam keadaan kurang/rusak, yang
dibuktikan dengan dokumen-dokumen pembongkaran, antara
lain: tanda bukti kekurangan/kerusakan (EB/CCB).
Damaged/Shortlanded Cargo List, Statement of Facts, Survey
Report dari Surveyor, Outtum Report, dll.

c. Penyebab kekurangan/kerusakan

Penyebab tersebut sangat penting karena bisa menunjukkan


saat terjadinya, siapa yang bertanggungjawab, dll. Apabila
dapat dibuktikan bahwa muatan kapal yang berupa beras
diterima dalam keadaan busuk dan melalui analisa
laboratorium diketahui mengandung garam dalam kadar yang
tinggi, maka mudah disimpulkan kerusakan terjadi selama
pelayaran, berarti dalam penguasaan pengangkut.
Selanjutnya, tinggal difokuskan karena ombak besar atau
terdapat kebocoran pada lambung/pipa-pipa kapal. Dokumen
yang diperlukan adalah semua dokumen pembongkaran

82
diatas ditambah analisa laboratorium, Extract Log-Book, Sea
Nota of Protest, dan lainnya.

d. Jenis/bentuk kekurangan/kerusakan

Jenis/bentuk kekurangan/kerusakan (Nature of Loss/Damage)


ada bermacam-macam dan dalam mengajukan klaim harus
dirinci satu persatu. Mengapa? Karena karakteristik masing-
masing menentukan sejauh mana pengangkut
bertanggungjawab. Jenis kekurangan, misalnya, bisa berupa
kekurangan berat/susut (Shortweight) atau kekurangan koli
(Shortlanded). Masing-masing karakteristik
pertanggungjawabannya berbeda. Shortweight lebih banyak
disebabkan sifat alami, sedangkan shortlanded karena
manusianya. Oleh sebab itu untuk Shortweight ada toleransi,
sedangkan untuk Shortlanded tidak. Apabila yang diklaim
adalah kerusakan, disamping dokumen-dokumen tersebut di
atas diperlukan juga dokumen-dokumen penjualan (termasuk
BA lelang) atau pemusnahan (apabila dimusnahkan).

e. Jumlah dan Nilai

Jumlah dan nilai kekurangan/kerusakan adalah dasar untuk


menghitung nilai klaim. Oleh sebab itu harus dibuktikan secara
rinci jumlah koli dan beratnya serta nilai dari masing-masing.
Perlu diketahui, secara Rule of Thumb (prinsip dasar) dalam
Hukum Angkutan Laut, claimants berhak mengklaim senilai
Arrived Sound Market Value (harga barang dalam keadaan
baik dipasaran tempat tujuan kapal). Namun dalam
prakteknya, sering tidak mudah membuktikan harga ini,
khususnya untuk komoditi tertentu di Indonesia, karena
adanya subsidi atau intervensi Pemerintah. Oleh sebab itu
klaim sering didasarkan harga pembelian C&F atau CIF.
Kelima hal tersebut diatas merupakan beban claimants untuk
membuktikan. Bagi defendants tentunya lain lagi, misalnya
Seaworthiness, Exception Clause, dan sebagainya.

5.3. KADALUWARSA (Time Barred)

Dalam setiap sistem hukum atau konvensi selalu dicantumkan


batas waktu dimana claimants bisa mengajukan gugatan melalui
Pengadilan atas kerugian yang dideritanya. Untuk pengangkutan
barang melalu laut dengan B/L, batas waktunya adalah 1 tahun
sejak selesainya pembongkaran (KUHD-RI dan The Hague Rules
1924). Artinya sebelum batas waktu itu claimants harus sudah
mengajukan gugatan di Pengadilan. Kalau tidak, klaim tersebut

83
dianggap kadaluwarsa (time barred).

Untuk angkutan dengan charter party, sepanjang tidak diatur


secara khusus, kadaluwarsanya suatu klaim menurut hukum
Inggris adalah 6 tahun. Sedangkan apabila klaim diajukan dengan
dasar perbuatan melawan hukum (tort), batas waktunya juga sama,
yaitu 6 tahun.
Dengan melihat batas waktu diatas, khususnya angkutan dengan
B/L yang waktunya pendek, claimants perlu berhati-hati dalam
negosiasi secara musyawarah. Apabila sudah dekat waktu time
bars, cepat-cepat daftarkan gugatannya di Pengadilan dan
terbitkan Writ. Tetapi jangan diteruskan ke persidangan dahulu,
melainkan usahakan terus menekan melalui negosiasi. Kalau
gagal, baru diteruskan dengan Legal Sue, toh sudah tidak lagi
terancam kadaluwarsa.

Kadaluwarsa harus dibedakan dengan batas waktu pengajuan


Pemberitahuan tentang adanya Klaim ( Notice of Claim atau sering
disebut First Notice of Claim ), yakni pemberitahuan tertulis dari
Penerima barang kepada Pengangkut bahwa dalam
pembongkaran telah dijumpai kekurangan dan/atau kerusakan.
Batas waktunya ( baik menurut KUHD-RI maupun Konvensi-
Konvensi Internasional ) 1 X 24 jam untuk yang Nampak dari luar
dan 2 X 24 jam untuk yang tidak Nampak.

5.4. YURISDIKSI (Jurisdictions)

Yurisdiksi (jurisdictions) adalah kewenangan suatu Pengadilan


untuk mengadili perkara-perkara/sengketa-sengketa tertentu, baik
berdasarkan wilayah, jenis sengketa, kewarganegaraan maupun
pilihan hukum. Tentang wilayah, misalnya, secara umum berupa
wilayah geografis dan terkait kedaulatan suatu negara. Namun
hukum memungkinkan kedua-belah pihak dalam suatu perjanjian
memilihYjurisdiksi tertentu. Dengan demikian, dimana sengketa
akan diselesaikan telah ditentukan dalam perjanjian. Contohnya
adalah apa yang dikenal sebagai Jurisdiction Clause dalam B/L,
dimana di situ ditetapkan pilihan Pengadilan yang akan mengadili
sengketa yang mungkin timbul. Misalnya berbunyi :

All disputes arising under this Bills of Lading are be referred to the
exclusive jurisdiction of the English High Court of justice and are to be
subject to English law.

Dalam B/L lainnya kadang-kadang berbunyi lebih umum, misalnya


menunjuk domisili salah satu pihak. Walaupun demikian, kadang-
kadang mungkin mengajukan klaimnya di jurisdiksi Pengadilan lain.
Kemungkinan ini tergantung dari hukum negara setempat.

84
Dalam format standar C/P dari NYPE (New York Produce
Exchange), misalnya, sudah tercetak dengan jelas jurisdiksinya.
Kadang-kadang yang dipilih bukan menyelesaikan melalui
Pengadilan tertentu, melainkan Badan Arbitrasi tertentu. Inilah yang
disebut Arbitration Clause. Yang membuat situasi jadi runyam
adalah dalam hal B/L incorporated C/P, karena ada 2 jurisdiksi
pilihan (di B/L dan di C/P).

Kalau dalam sengketa yang lahir dari perjanjian pilihan jurisdiksinya


jelas, dalam sengketa yang lahir dari perbuatan melawan hukum
(tort) tidak ada pilihan jurisdiksi (karena tidak pernah diawali
dengan perjanjian). Dengan demikian juridiksinya lebih tergantung
pada hukum yang terkait (yang mungkin lebih dari satu sistem
hukum). Contoh konkritnya adalah sengketa yang timbul dari
tabrakan kapal, dimana ada 4 kemungkinan jurisdiksi: domisili
pemilik kapal lawan (opposing shipowners), kesepakatan bersama,
jurisdiksi Negara yang membawahi wilayah laut dimana tabrakan
terjadi, dan jurisdiksi Negara dimana kapal lawan ditangkap
(karena melarikan diri).

Sebelum memilih jurisdiksi seorang claimants harus memeriksa


dengan teliti hukum yang berlaku disitu. Apakah negara tersebut
memberlakukan konvensi-konvensi maritim tentang pembatasan
tanggung jawab (maritime conventions on limitation) seperti The
Brussel Limitation Convention 1957 dan The London Limitation
Convention 1976. Keduanya membatasi tanggungjawab pemilik
kapal, pencharter, manajer atau operator kapal sehubungan
dengan klaim yang timbul. Pembatasan didasarkan pada tonase
kapal dengan breaking clause (hal-hal yang membatalkan
pembatasan) berupa actual fault of privity (Konvensi 1957) dan
dalam Konvensi 1976 dipertajam menjadi personal act or omission
on the part of the liable, which was committed with the intention of
causing such loss or recklessly with knowledge that such loss
would probably result. Disamping itu dipertimbangkan juga biaya
perkara (upah pengacara, pengadilan, dll) yang antara jurisdiksi
satu dengan yang lain berbeda. Terakhir harap diselidiki berapa
lama biasanya suatu perkara diselesaikan oleh pengadilan di
jurisdiksi tersebut. Jangan kaget apabila ada Pengadilan yang baru
bisa menyelesaikan perkara setelah 25 tahun !!.

5.5. JAMINAN (Security)


Jaminan atau Security sangat penting guna memaksa pihak lawan
menegosiasikan penyelesaian dan menjamin terbayarnya klaim
apabila kemudian tercapai kesepakatan penyelesaian. Kadang-
kadang apabila berhadapan dengan perusahaan pelayaran yang
bonafide dan mempunyai hubungan yang berkesinambungan

85
dengan claimants jaminan tersebut tidak terlalu mendesak. Namun
bila berhubungan dengan trampers, apalagi one shipowners
(perusahaan yang hanya mempunyai satu kapal saja) dan tidak
menjadi anggota suatu P&I Club manapun, maka jaminan menjadi
mutlak. Bahkan apabila mereka anggota P&I Club sekalipun
jaminan kadang-kadang tetap perlu karena sesuai aturan umum
P&I Club hanya akan mengganti pembayaran apabila pemilik kapal
yang menjadi anggotanya tersebut telah melaksanakan kewajiban
membayar klaim kepada claimants (paid to be paid). Dalam hal ini
third party rights against insurers act yang ada dalam Hukum
Inggris tidak berlaku. Artinya kalau shipowners tidak mampu
membayar, claimants tidak bisa mengklaim langsung P&I Club.

Permasalahan yang paling pelik dalam hal ini adalah bagaimana


memaksa shipowners/carriers menyerahkan jaminan. Sukarela?
No way, man! Untunglah dalam sistem hukum Inggris tersedian
Lembaga Arrest Of Ship (penangkapan kapal), dimana seorang
yang mempunyai klaim kepada pemilik kapal dapat menahan kapal
yang bersangkutan atau kapal lain dari pemilik perusahaan yang
sama (Sister Ship). Prosedurnya sangat mudah dan cepat. Cukup
daftarkan klaim kita di pengadilan yang berada di suatu pelabuhan
yang sering disinggahi kapal tersebut atau sister ship-nya, tunjuk
pengacara, dan tunggu sampai kapal singgah, tangkap (atas
perintah pengadilan) serta minta jaminan sebagai syarat pelepasan
kapal).

Dalam hal penangkapan kapal tidak mungkin dilakukan claimats


harus berusaha mencari upaya lain. Misalnya saja dalam kasus
total loss (kapalnya musnah), yang paling mungkin adalah menyita
hull proceeds dari penanggung asuransi badan kapal (hull) yang
bersangkutan. Apabila polis dibuka di London, maka claimants
dapat menentukan agar hull proceeds jangan dibayarkan dahulu
kepada shipowners. Upaya ini tetap dapat dilakukan walaupun
peristiwa dan klaim-nya terjadi di luar jurisdiksi Inggris. Upaya inilah
yang terkenal dengan mareva injunction. Agar upaya ini berhasil,
claimants harus bisa menyakinkan Pengadilan bahwa apabila
dibayarkan kepada pihak lain, maka tidak lagi akan bisa dijadikan
jaminan klaim.

Dari bentuknya jaminan bisa bermacam-macam. Ada yang hanya


berbentuk Surat Kesediaan (Letter of Undertaking), Bank Garansi,
sampai Jaminan Tunai (Cash Deposit) yang dipegang oleh
Panitera pengadilan. Apapun bentuknya yang penting adalah
menjamin terbayarnya klaim, nanti apabila sudah disepakati atau
diputus Pengadilan.

86
5.6. MENILAI POSISI LAWAN (Assesing Defences)
Ibaratnya dua Kubu yang berhadapan di medan perang, masing-
masing akan berusaha mengintip kekuatan dan kelemahan
lawan. Ini pula yang harus dilakukan claimants, apa saja kekuatan
dan kelemahan lawan. Kalau tentara kekuatan/kelemahannya
dilihat dari persenjataannya, maka untuk defendants dapat dilihat
dari bukti-bukti dan ketentuan hukum yang berlaku. Kerena
sebagian besar angkutan barang saat ini tunduk pada The Hague
Rules 1924 atau The Hague Visby Rules yang merupakan
penyempurnaannya, maka di bawah ini akan kita lihat pertahanan-
pertahanan yang dipunyai defendants berdasarkan Rules tersebut
diatas.

Pertahanan pertama pihak kapal adalah tentang seaworthiness


(kelayakan laut) yang diatur pada Artikel 3.1. Di situ ditentukan
bahwa: The Carrier shal be bound before and at the beginning of
the voyage to make the ship seaworthy. Disini tergambar bahwa
pengangkut tidak mutlak harus menjamin seaworthiness suatu
kapal. Baginya cukuplah kalau bisa membuktikan bahwa telah
dilakukan upaya yang layak (due deligence) untuk
mempersiapkan kapal agar layak laut, sebelum dan pada awal
pelayaran. Selanjutnya sejalan dengan kewajiban di atas dalam
Artikel 4.1. Ditegaskan bahwa pengangkutan maupun kapal tidak
bertanggungjawab terhadap segala kekurangan atau kerusakan,
kecuali ia mengabaikan kewajibannya untuk melakukan due
diligence tersebut.

Namun pertahanan yang terkuat adalah Artikel 4.2., dimana disitu


terdapat 17 (tujuh belas) kelompok hal/peristiwa yang dapat
membebaskan pengangkut/kapal dari tanggungjawab atas
kekurangan/kerusakan. Masing-masing kelompok (a sampai q)
kebanyakan berisi kejadian atau hal/peristiwa yang sejenis. Bahkan
pada huruf q bisa dikatakan pasal sapu jagat. Ketentuan ini pula
yang menunjukan keberpihakan The Hague Rules 1924 kepada
pengangkut/kapal. Berikut ini akan dibahas beberapa dari 17
kelompok tersebut.

Yang pertama (huruf a) adalah suatu kekurangan/kerusakan yang


timbul dari any act neglect, or defalut of the master, mariner, pilot
or the servants of the carrier in the navigation or in the
management of the ship. Huruf besar/tebal diatas untuk
menunjukan pembatasan bahwa kelalaian tersebut harus berkaitan
dengan navigasi atau manajemen kapal. Diluar itu alasan ini tidak
bisa dipakai sebagai sanggahan. Contoh populer adalah kasus
dimana suatu kesalahan dilakukan seorang perwira kapal yang

87
berakibat kandasnya kapal didekat jalur pelayaran yang ditandai
dengan layak dan cukup ramai lalu lintasnya. Peristiwa ini jelas
masuk kategori yang membebaskan. Claimants yang menghadapi
kasus seperti ini dapat menggugurkan pertahanan tersebut apabila
sebagaimana diatur dalam Artikel IV.1 bisa membuktikan bahwa
kapal tidak layak laut. Contohnya: kapal tidak dilengkapi peta jalur
laut di wilayah tersebut; atau perwira kapal tersebut tidak
mempunyai kualifikasi atau sertifikasi untuk mengemudikan kapal
di wilayah tersebut.

Kelompok kedua (huruf b) adalah api, kecuali timbul karena the


actual or privity of the carrier. Kembali lagi, alasan want of due
diligence to make the ship seaworthy dapat dipakai untuk
mengugurkan alasan tersebut. Contohnya api yang timbul karena
korsleting kabel listrik yang ada dalam sistem jaringan listrik kapal,
bisa saja merupakan petunjuk bahwa kapalnya tidak layak laut.
Namun, api yang timbul karena buruh stevedore (bongkar/muat)
yang sembarangan membuang puntung rokok di palka kapal,
padahal sudah jelas tertulis larangan merokok dan perwira kapal
sudah sering mengingatkan larangan itu, merupakan hal yang
membebaskan pengangkut dari tanggung jawab.

Perils, dangers, and accidents of the sea (huruf c) mungkin


adalah alasan yang paling sering dipakai oleh pengangkut, namun
juga sekaligus paling rawan dipatahkan. Walaupun berbeda dari
kasus ke kasus, suatu perils of the sea secara umum harus
memenuhi unsur tak terduga dan luar biasa untuk tempat dan
waktu yang bersangkutan.

Huruf d sampai f berupa Act of God, Act of War and Act of Public
Enemies. Huruf g adalah penangkapan dan penahanan kapal,
sedangkan huruf h tentang restriksi Dinas Karantina. Huruf I adalah
kesalahan pengirim atau pemilik barang, termasuk
agen/perwakilannya yang juga dapat membebaskan pengangkut.
Huruf j dan k mengatur tentang kekurangan dan kerusakan yang
timbul dari pemogokan, kerusuhan dan semacamnya, sedangkan
huruf l melindungi pengangkut/kapal dari klaim akibat upayanya
menyelamatkan orang atau harta di laut.

Huruf m sampai p mengatur tentang pembungkus yang tidak layak,


cacat tersembunyi dan kekurangan/kerusakan karena sifat alami
dari barang muatan. Seakan belum cukup, pertahanan diatas
masih ditambah pasal sapu-jagad (huruf q) yang mencakup segala
penyebab lain yang timbul tanpa actual fault or privity atau fault
or neglect.

88
6. KLAIM DALAM HUKUM INGGRIS .

Tidak dipungkiri, Cases Law yang hidup di Inggris (dan Negara-negara lain yang
menganut system hukum Anglo Saxon) Memiliki pengaruh yang sangat besar
terhadap Hukum Angkutan Laut, karena didukung sistim peradilan yang mapan
dan berpengaruh. Oleh sebab itu, walaupun tidak semua Negara di dunia
menganut sistim hukum Anglo Saxon, namun hukum Inggris memberi warna
yang dominan. Banyak pelaku bisnis yang domisilinya di luar Inggris memilih
yurisdiksi dan hukum Inggris sebagai pilihannya, termasuk pelaku bisnis
Indonesia. Oleh sebab itu, penulis memandang perlu untuk membuat tulisan ini
sebagai pengantar untuk pemahaman yang lebih jauh melalui kuliah atau
kursus tentang Shipping.
Dalam aktivitas Shipping, potensi sengketa sangat besar. Oleh sebab itu, pelaku
bisnis dan para konsultan hukumnya harus siap untuk menanganinya sebagai
bagian dari aktivitas bisnis sehari-harinya. Menanganidisini tidak selalu harus
diartikan berperkara di Pengadilan, melainkan juga penyesaian melalui secara
musyawarah (Amicable Settlement) atau Arbitrase. Pertimbangannya,
menghindari biaya dan waktu, serta menjaga hubungan baik dengan mitra
bisnisnya. Litigasi (penyelesaian melalui Pengadilan) baru diambil apabila cara
lain (Musyawarah dan Arbitrase/Mediasi) telah gagal mengatasi sengketa.
Peran hukum dalam konteks ini adalah untuk memberi pedoman tentang hak
dan kewajiban dasar (Basic Obligations) bagi para Pihak dalam melakukan
negosiasi/ musyawarah atau proses di Badan Arbitrase. Namun, manakala harus
menempuh penyelesaian melalui Pengadilan, maka hukum menjadi alat utama
untuk menyerang maupun bertahan.

6.1. Arbitrase .
Badan Arbitrase banyak menjadi pilihan karena prosesnya yang sederhana,
cepat dan murah. Biasanya kasus Shipping, apabila diselesaikan melalui
Arbitrase akan ditangani oleh Arbitrator yang berpengalaman (baik dari segi
hukum maupun praktek bisnis) dalam dunia Shipping. Oleh sebab itu,
keputusan-keputusannya cenderung membumi, kompromistis dan masuk akal
bagi para pelaku bisnis.
Ketentuan tentang penyelesaian melalui Arbitrase banyak tertera dalam Bills of
Lading, Charter party, Perjanjian Jual-Beli Kapal, Pembuatan Kapal maupun
Perjanjian Penyelamatan Kapal (Salvage Contracts). Adanya ketentuan tersebut
dalam Perjanjian akan membuat Hakim memerintahkan agar para Pihak tidak
membawa sengketa ke Pengadilan, sebelum kasusnya disampaikan kepada
Arbitrator. Bahkan Arbitrator dapat meminta Hakim untuk membekukan (Stay
atau Suspension) proses di Pengadilan atas kasus tersebut. Namun, apabila
sebelumnya Kapal milik salah satu Pihak telah ditahan atas perintah Pengadilan,
maka pembekuan kasus tersebut tidak membebaskan kapal yang bersangkutan.

89
Apabila kasus dibekukan Hakim di Pengadilan, biasanya Amar keputusan
menyebutkan agar Sidang Arbitrase segera dimulai.
Di banyak negara keputusan Badan Arbitrase bersifat final. Namun di Inggris
Pengadilan selalu memiliki kewenangan untuk meninjau keputusan Arbitrase.
Inilah yang sering dimanfaatkan oleh Pihak yang harus membayar ganti-rugi
untuk menunda kewajibannya.
Untuk itu, The Arbitration Act 1979 membatasi hak banding ke Pengadilan
hanya untuk kasus yang dengan nyata Arbitrator telah melakukan kesalahan
dalam memutuskan.

6.2. Yurisdiksi Pengadilan .


Di Inggris dan Wales hampir semua kasus Shipping ditangani oleh Pengadilan
Tinggi (High Court of Justice) di divisi khusus yang disebut Queens Bench
Division (QBD). QBD sendiri terbagi dalam dua bagian, yakni: Commercial
Court dan Admiralty Court. Yang terakhir itulah yang menangani kasus-kasus
Shipping.
Yang juga sangat khas dalam system hukum Anglo Saxon, khususnya untuk
kasus Shipping adalah pilihan bagi Penggugat (Plaintiff) untuk mengajukan
gugatannya kepada Orang/Perusahaan (In Personal) atau kepada barang yang
menjadi obyek atau bagian dari perikatan ,Kapal Laut misalnya (In Rem).
Timbulnya 2 pilihan ini erat kaitannya dengan yurisdiksi dari Pengadilan yang
(pada umumnya) dibatasi oleh Wilayah Kedaulatan suatu Negara. Padahal, by-
nature di dunia Shipping hamper dikatakan selalu lintas batas. Jadi, sulit bagi
seorang penggugat untuk memaksa Tergugat yang berdomisili di Negara lain
untuk bisa hadir di Pengadilan Inggris. Bahkan, banyak ketentuan dalam
Konvensi Internasional yang membatasi kewenangan suatu pengadilan dalam
menangani kasus yang terjadi di Negara lain. Salah satu contoh adalah The
International Convention on Certain Rules Concerning Civil Jurisdiction in
Matters of Collision 1952. Dengan pembatasan itu misalnya, Admiralty Court
hanya dapat mengadili kasus tubrukan kapal yang diajukan In Personam apabila
tergugat berdomisili di Inggris dan Wales, atau bila peristiwa yang melahirkan
klaim terjadi di perairan Inggris atau Wales, atau apabila gugatan lain dari
peristiwa yang sama pernah disidangkan di Pengadilan Inggris atau Wales.
Pembatasan inilah yang sedikit banyak diatasi dengan gugatan In- Rem.
Berbeda dengan In Personam, kewenangan Pengadilan atas gugatan In-Rem
jauh lebih luas. Untuk contoh kasus yang sama, yakni tubrukan kapal,
Pengadilan Inggris dapat mengadilinya, tidak perduli dimana tubrukan terjadi,
kebangsaan kapal atau domisili pemiliknya. Ada memang beberapa
pembatasan, seperti misalnya pada The Civil Jurisdiction and Judgment Act
1982. Namun, bagaimanapun juga gugatan In Rem tetap sangat bermanfaat
untuk mengatasi masalah pembatasan jurisdiksi. Teoritisi di Inggris mengatakan
bahwa cara In Rem sebenarnya adalah semata-mata alat untuk memaksa
Pemilik dari kapal yang digugat untuk menundukkan diri secara sukarela ke

90
Admiralty Court. Setelah itu toh penggugat In Rem bisa juga menggugat In
Personam (karena pemilik kapal sudah menundukkan diri).

6.3. Arrest of Ship .


Segera setelah penggugat (Plaintiff) mendapatkan Writ (semacam tanda
pendaftaran gugatan atau mirip somasi) dari Pengadilan atas gugatan In Rem
yang dia ajukan, maka dia bisa meminta perintah (Warrant) dari Pengadilan
untuk melakukan penahanan terhadap kapal yang dia gugat ( Arrest of Ship ).
Inilah lembaga yang sangat khas dalam Hukum Shipping Inggris atau Anglo
Saxon pada umumnya. Hal yang sama tentunya tidak bisa dilakukan dalam
gugatan In Personam kasus-kasus perdata biasa (tubrukan mobil misalnya). Di
kasus lain penahanan atau penyitaan baru dapat dilakukan setelah ada
persidangan dan keputusan.
Tujuan utama dari penahanan kapal adalah untuk mendapatkan jaminan
pembayaran klaim sebelum perkaranya sendiri disidangkan dan diputus. Kapal
yang ditahan atas perintah Pengadilan tentu saja tidak bisa beroperasi. Disinilah
pemilik kapal biasanya tidak punya pilihan selain menyerahkan jaminan ke
Pengadilan yang menahan kapalnya. Kalau tidak, ia akan menderita kerugian
lebih besar. Bentuk jaminan bisa bermacam-macam, dari uang tunai, Bank
Garansi sampai sekedar Surat Pernyataan (Letter of Undertaking) yang
diterbitkan P & I Clubs.
Pengadilan mempunyai kewenangan menahan kapal bahkan untuk kasus yang
terjadi di tempat lain, disidangkan di Pengadilan lain, atau untuk kasus yang
ditangani Badan Arbitrase sekalipun! Penulis , dalam pengalamannya sebagai
Claim Adjusters pernah meminta Pengadilan di Hongkong untuk menahan
kapal berbendera Liberia, dengan domisili pemilik di Uni Sovyet (waktu belum
bubar) dan untuk kasus klaim yang terjadi saat pengangkutan barang dari Brasil
ke Indonesia. Bayangkan, berapa yurisdiksi yang terlibat didalamnya! Bahkan
lebih lagi, kalau kapal yang bersangkutan tidak tertangkap kapal lain dari
pemilik yang sama (Sister Ships) pun bisa ditahan sebagai gantinya.
Sebagai catatan, walaupun seorang penggugat telah mendapatkan Writ dari
Pengadilan tertentu dan atas dasar itu dia mendapatkan Warrant untuk
penahanan kapal, serta kemudian kapal ditahan, Pemilik memberikan jaminan
dan kapal dilepas, bukan berarti bahwa tergugat dan penggugat harus
menyelesaikan sengketanya melalui Court Proceeding. Seringkali hal itu hanya
sebagai cara untuk mendapatkan jaminan. Setelah itu tergugat dapat meminta
penundaan persidangan (stay) dan melanjutkan negosiasi/musyawarah. Kalau
berhasil, maka kesepakatannya akan dikukuhkan dengan keputusan Pengadilan.
Jadi semacam Akte van Dading dalam system Hukum Indonesia. Kalau
musyawarah gagal, maka baru Court Proceeding dilanjutkan. Pengalaman
penulis, dengan dipegangnya jaminan, musyawarah akan lebih banyak berhasil
(asalkan jangan Claimant memaksakan untuk mendapat ganti-rugi 100%).

91
6.4. The Mareva Injunction .
Selain Arrest of Ship, ada lagi lembaga lain yang sekilas mirip, namun sangat
berbeda, yakni Mareva Injunctions (MI). Injunction dalam hukum Inggris
adalah mirip keputusan sela di peradilan Indonesia. Biasanya diminta oleh
penggugat dan keputusannya berisi larangan bagi tergugat untuk melakukan
sesuatu. MI , seperti dari namanya, dilahirkan oleh Pengadilan Inggris dalam
keputusannya atas kasus sengketa antara Mareva Compania Naviera S.A. v
International Bulkcarriers S.A. [1975] 2 Lloyds Rep.509. Dalam kasus tersebut
seorang Pemilik Kapal ( sebagai penggugat) yang berpiutang kepada seorang
Pencharter (Tergugat/ kebangsaannya non-Inggris) berhasil mendapatkan
Injunction yang melarang tergugat memindahkan asetnya berupa uang
pembayaran freight yang tersimpan di suatu Bank di London keluar Inggris.
Dengan demikian tujuan utama dari MI adalah untuk mencegah seorang
Tergugat memindahkan asset-assetnya dari Inggris (agar tidak disita) sebelum
keputusan pengadilan.
Sampai sekarang MI hanya dapat diterapkan apabila kasusnya dibawah
yurisdiksi peradilan Inggris. Namun, hukum masih mengembangkannya dan
kemungkinan akan lebih luas lagi sesuai kebutuhan. MI hanya diterapkan dalam
gugatan In Personam, karena perintah pengadilan untuk tidak memindahkan
asset-assetnya harus ditujukan kepada seseorang/perusahaan.
Dampak dari MI kadang-kadang sangat drastis bagi pihak ketiga (yang tidak
terkait dengan kasus tetapi dengan asset, Bank pemegang jaminan misalnya).
Oleh sebab itu pengadilan sangat berhati-hati dan penggugat harus mampu
meyakinkan pengadilan tentang pentingnya penerapan MI dalam kasus yang
bersangkutan. Kadang-kadang bahkan pengadilan meminta penggugat untuk
membuat jaminan untuk membayar ganti-rugi kepada pihak ketiga yang mungkin
dirugikan karena MI.

Kesulitan utama untuk pengajuan MI adalah susahnya penggugat mendapatkan


data kekayaan tergugat. Disini peran pengadilan dengan kewenangannya untuk
memaksa tergugat memberikan daftar kekayaannya sangat besar. Tergugat
yang tidak membuat full and frank disclosure, dapat dianggap contempt of the
court dan dimasukkan penjara. Terakhir perlu dicatat bahwa MI tidak melekat
pada asset tetapi pada pemiliknya. Artinya, ia tidak melahirkan hak privilege atas
asset, seperti misalnya Hipotik.

6.5. Souvereign Jurisdiction .


Istilah ini pada prinsipnya terkait dengan dapat tidaknya suatu kapal milik
Pemerintah Negara berdaulat (yang dioperasikan untuk komersil) ditahan dalam
kasus gugatan In Rem. Masalah ini menjadi issue menarik dengan banyaknya
negara yang pada awal abad 20 lalu yang menjadi pelaku bisnis Shipping,
bahkan memonopoli jasa angkutan laut. Kebetulan Negara-negara dimaksud
adalah Negara-negara Eropa Barat (yang saat itu sudah lebih maju).

92
Pada awalnya, Pengadilan Inggris berpihak pada pengakuan kedaulatan negara
dan oleh sebab itu keputusannya kapal milik Negara tidak bias ditahan ( The
Parlement Belge (1880) 5 P.D.197 serta dalam The Porto Alexandre [1920]
P.30). Namun belakangan yurisprudensi mulai bergeser kearah paham yang
meyakini apabila kapal dioperasikan secara komersil, maka kedaulatan tidaklah
mutlak ( Compania Naviera Vascongada v SS.Cristina [1938] A.C.485).
Akhirnya, paham kekebalan kedaulatan sepenuhnya runtuh pada tahun 1977,
manakala dalam kasus The Philippine Admiral [1977] A.C.373, Komite Yudisial
pada Privy Council dengan tegas menyatakan bahwa SI hanya diterapkan pada
kapal pemerintah yang menjalankan misi non-komersil. Latar belakangnya jelas,
adalah tidak adil bahwa sesame pelaku bisnis ada yang diistimewakan.
Disamping itu, semakin banyaknya kapal milik Pemerintah yang beroperasi
komersil pada paruh kedua abad 20 (umumnya dari Negara sosialis/komunis)
menambah banyak saja kasus yang menyangkut SI. Akhirnya, pada tahun 1978
Pemerintah Inggris resmi meratifikasi The International Convention for the
Unification of Certain Rules Concerning the Immunity of State-Owned
Ships 1926 termasuk perubahan/tambahannya pada Protocol 1934. Konvensi
tersebut sejak semula memang menafikan SI manakala kapal dioperasikan
komersil.

6.6. Forum Shopping .


Kadang kala konstruksi hukum atau peristiwa yang menimbulkan sengketa
sedemikian rupa sehingga memungkinkan pihak yang berperkara memilih
tempat atau pengadilan yang berbeda, sesuai dengan kepentingannya sendiri.
Dalam hal ini paling banyak adalah kasus tubrukan kapal (Collision of Ships).
Salah satu yang jadi favorit dalam kasus Shipping adalah Admiralty Court.
Mengapa? Karena kombinasi dari beberapa faktor: Yurisdiksi luas, hakim
berpengalaman, proses yang cepat dan (relatif) murah serta reputasi
keputusannya yang sangat berpengaruh. Namun justru karena itu, kadang-
kadang terjadi sengketa yurisdiksi manakala pihak-pihak yang terkait ataupun
peristiwanya sendiri tidak ada kaitannya dengan yurisdiksi Kerajaan Inggris.
Artinya, pihak yang memilih mengajukan kasusnya ke Admiralty Court benar-
benar hanya ingin mendapatkan keuntungan bagi dirinya. Inilah yang dalam
dunia hukum disebut Forum Shopping.
Pada awalnya, Peradilan Inggris lebih bersikap chauvinistic, dengan memberi
keleluasaan bagi para penggugat untuk mengajukan kasusnya di Inggris,
walaupun itu akan merugikan tergugat (lihat: The Atlantic Star [1973] 1
Q.B.364,382). Namun, belakangan keputusan tersebut dianulir oleh House of
Lords yang lebih setuju dengan doktrin Forum Non-Conveniens yang dianut
terlebih dahulu oleh Hukum Scotlandia. Dalam doktrin ini pihak tergugat yang
ingin agar kasusnya diadili di pengadilan di luar Inggris (karena lebih convenient)
dapat mengajukan penangguhan (Stay). Pengadilan Inggris akan mengabulkan
apabila ia bisa menunjukkan bahwa ada pengadilan lain yang lebih berwenang
dan dapat mengadili dengan baik sebaik Pengadilan Inggris. Juga penangguhan
ini harus tidak merugikan pihak lainnya (yang ingin kasusnya diadili di Inggris).

93
6.7. Jurisdiction & Choice of Law Clauses .
Melihat masalah Forum Shopping diatas, maka banyak pihak yang dalam
perjanjiannya mencantumkan pasal yang dengan tegas mengatur yurisdiksi
pengadilan mana yang mereka sepakati sebagai tempat penyelesaian sengketa.
Pasal inilah yang dimaksud dengan Jurisdiction Clauses. Biasanya Bills of
Lading , Charter Party, Agreement for Ship Sale, Towage and Salvage memiliki
pasal-pasal dimaksud. Dengan demikian, praktis Forum Shopping hanya muncul
dalam sengketa yang terjadi diluar perjanjian, seperti tubrukan kapal misalnya.
Artinya, kebanyakan hal itu timbul dalam sengketa yang timbul dari Tort
(Perbuatan Melawan Hukum). Sesuai prinsip dasar dalam hukum perdata,
dimana para pihak mempunyai keleluasaan untuk menyepakati sesuatu,
biasanya pengadilan Inggris menghormati pilihan yurisdiksi para pihak.
Kemungkinan pengecualian hanya apabila pilihan itu bertentangan dengan
hukum yang berlaku atau karena pertimbangan kepraktisan semata.
Sama pertimbangannya dengan pilihan yurisdiksi, para pihak yang ber-kontrak
biasanya menyepakati pasal-pasal yang menetapkan pada sistim hukum apa
atau Negara mana mereka akan tunduk, manakala timbul sengketa. Sama juga
dengan yurisdiksi, apabila pilihan hukum itu masuk akal, sah serta tidak
bertentangan dengan kepentingan umum, biasanya pengadilan mengakuinya.
Praktek di Indonesia, karena standar Marine Policy yang dipakai adalah standar
Inggris (Institute Cargo Clauses misalnya), maka Perjanjian Asuransi Laut di
Indonesia selalu memilih hukum Inggris sebagai pilihan hukumnya. Jadi mungkin
saja ada sengketa asuransi laut yang diadili di peradilan Indonesia dengan
memakai hukum Inggris. Manakala tidak terdapat pasal diatas, biasanya
pengadilan akan menetapkannya setelah meneliti dan menafsirkan maksud para
pihak dalam perjanjian, kemudian menetapkan sistim hukum yang paling terkait
dengan perjanjian itu.

94

Anda mungkin juga menyukai