Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Oleh :
Puput Praharani Dewi
30101206705
Pembimbing:
dr.Firza Olivia Susan, Sp.A, M.Si, Med.
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2017
BAB I
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PENDERITA
Nama Penderita : An. Y
Umur : 8 tahun 3 bulan 15 hari
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Karangayu, Kendal
Nama Ayah : Bp. A.T.W.
Umur : 30 tahun
Pendidikan : SMU
Agama : Islam
Pekerjaan : Karyawan Pabrik Gula
Alamat : Karangayu, Kendal
Nama Ibu : Ibu. S.T.
Umur : 28 tahun
Pendidikan : SMU
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Karangayu, Kendal
B. DATA DASAR
Alloanamnesis dengan Ibu penderita dilakukan pada tanggal 14 Agustus
2017 pukul 13.00 WIB di ruang Dahlia RSUD Kendal dan didukung dengan
catatan medis.
KELUHAN UTAMA
Kejang
RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
3 hari sebelum masuk rumah sakit anak demam, demam turun sesudah
diberi obat penurun panas lalu demam kembali, tidak menggigil. Kejang (-),
batuk (-) pilek (-) .Sejak 1 hari yang lalu pasien jika diberi makan atau minum
menjadi sulit menelan dan mual, muntah (-).BAB, BAK lancar jumlah cukup
tidak disertai nyeri, tidak ada darah. Pasien biasa mengkonsumsi obat anti
kejang sejak 7 tahun yang lalu, namun sejak 2 hari ini pasien tidak
mengkonsumsi obat tersebut karena sulit menelan.
1 jam sebelum masuk IGD pasien kejang 1 x selama 15 detik, lengan
terasa kaku, lidah menjulur dan tergigit, mata melotot ke atas dan kejang
terjadi seluruh tubuh disertai hilang kesadaran saat kejang. Sebelum dan
sesudah kejang pasien sadar. Setelah pasien dipindah ke bangsal Dahlia,
pasien mengalami kejang 6x dalam semalam. Lama kejang masing-masing
10-15 detik. Saat kejang lengan terasa kaku, lidah menjulur dan tergigit, mata
melotot ke atas dan kejang terjadi seluruh tubuh disertai hilang kesadaran saat
kejang. Sebelum dan sesudah kejang pasien sadar.
Riwayat kejang pertama kali terjadi saat usia 7 bulan, dan setelah itu
pasien mash sering mengalami kejang. Pasien pernah dirawat di RSDK
Semarang untuk melakukan serangkaian pemeriksaan berkaitan dengan kejang
dan gangguan perkembangan. riwayat jatuh dan mendapat benturan di kepala
disangkal. Riwayat tertusuk benda tajam dan kotor disangkal. Luka terjatuh
yang kotor disangkal.
Sampai saat ini pasien memiliki gangguan melihat dan mendengar, serta
belum bisa berdiri dan berjalan sehingga untuk keseharian pasien sangat
bergantung pada orangtua.
C. DATA KHUSUS
1. Riwayat kehamilan
Pasien merupakan anak pertama. Ibu memeriksakan kehamilan di bidan
secara teratur, sejak mengetahui kehamilan hingga usia kehamilan kurang
lebih 38 minggu. Pemeriksaan dilakukan 1x sebulan dan mendapat imunisasi
tetanus toksoid 1x. Tidak pernah menderita penyakit selama kehamilan.
Riwayat perdarahan saat hamil disangkal. Riwayat trauma saat hamil
disangkal. Riwayat minum obat tanpa resep dokter ataupun minum jamu
disangkal. Obat-obat yang diminum selama kehamilan adalah vitamin dan
tablet tambah darah.
2. Riwayat kelahiran
Lahir aterm (38 minggu), spontan, persalinan ditolong oleh bidan. Berat
badan lahir 2700 gram, panjang badan 49 cm, menangis dan kemerahan.
Kesan : neonatus aterm, CB, SMK, lahir secara spontan.
5. Campak 1x 9 bulan
D. PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan pada tanggal 14 Agustus 2017 jam 13.30WIB
Umur : 8 tahun 3 bulan 15 hari
Berat badan : 23 kg
Panjang badan : 112 cm
Lingkar kepala : 44 cm (kesan : microcephal)
Suhu badan : 36C (axilla)
Nadi : 112 kali/menit, irama regular, isi dan tegangan
cukup, teraba kuat
Frekuensi nafas : 28 kali/menit
SpO2 : 95%
KESAN UMUM
Keadaan Umum
Composmentis, tampak lemas, tidak sesak dan gizi kurus.
Status Present :
Rambut : hitam, tidak mudah dicabut
Kepala : microcephale
Kulit : tidak sianosis, Ptechie (-), Turgor baik
Mata : conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), mata cekung (-/-),
Visus ODS (1/,1/,), katarak (-/-)
Hidung : nafas cuping hidung (-), secret (+), epistaksis (-), mucosa
Hyperemis (-/-)
Telinga: discharge (-/-), ADS (SNHL << SNHL)
Mulut : gusi berdarah (-), lidah kotor (-), sianotik (-), bibir kering (-),
caries dentis (+)
Tenggorokan : faring hiperemis (+), tonsil hiperemis (+), T2-T2
Leher : simetris, pembesaran kelenjar getah bening (-), kaku kuduk (-)
Thorax
Paru-paru :
Inspeksi : Hemithorax dextra sama dengan sinistra
Auskultasi : SD Vesikuler (+/+), Wheezing (-/-),Ronkhi (-/-)
Palpasi : Strem femitus dextra dan sinistra simetris
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
Jantung :
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak kuat angkat, tidak melebar
Auskultasi : Bunyi Jantung I-II regular, bising (-)
Perkusi : Konfigurasi batas-batas jantung dbn
Abdomen :
Inspeksi : Bentuk datar, simetris
Auskultasi : Peristaltik (+), Normal
Perkusi : Timpani
Palpasi : Nyeri tekan (-), pembesaran organ (-)
Hepar : Tidak teraba
Lien : Tidak teraba
Genitalia : perempuan, tidak ada kelainan
Extremitas : Atas (ka/ki) Bawah (ka/ki)
Capilary refill : < 2 < 2
Akral dingin : -/- -/-
R. Fisiologis : +/+ +/+
R. Patologis : -/- -/-
Kekuatan otot : 3/3 3/3
Tonus : hipotoni/hipotoni hipotoni/hipotoni
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium tanggal 11 Agustus 2017 :
Darah rutin
E. ASSESMENT
Diagnosis Banding
1. Kejang Demam komplek
2. Kejang Demam Sederhana
Diagnosis kerja
1. Kejang demam Kompleks
2. Cerebral palsy tipe disginetik
3. Gizi kurus
Initial plans :
Kejang demam Kompleks
Ip Dx
pemeriksaan kaku kuduk, pemeriksaan tanda rangsang
meningeal ( tes kaku kuduk, Burdzinski I-II)
Pemeriksaan Laboratorium Darah rutin, elektolit
EEG
CT-Scan
MRI
Ip Tx :
Infus RL 20 tpm
Inj cefotaxim 3 x 70 mg
Inj Ranitidin 2 x 25 mg
Inj Fenobabital 3 x 20 mg
Infus Paractamol 3 x 200 mg (k/p)
Prognosis
Ad vitam : Dubia ad bonam
Ad Functionam : Dubia ad malam
Ad Sanationam : Dubia ad malam
FOLLOW UP PASIEN DI RUMAH SAKIT
tgl SOAP
14/8/ S Tidak mau minum
17
O KU : tampak lemas
Kesadaran : composmentis
HR : 112x/mnt
RR : 28x/mnt
Suhu : 35,2
Sp02 : 95%
Kepala : microcephal
Mata : ca (-/-) si (-/-)
Cor : BJ I-II reguler
Pulmo : sdv (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-)
Abdomen : nyeri tekan (-), BU (+) N
Kulit : ikterik (-), sianosis (-)
Ekstremitas sup, inf : AD (-/-),(-/-). OE (-/-),(-/-)
A KDK, Cerebral Palsy
P Inf RL 20 tpm
Inj Cefotaxim 3 x 750mg
Inj Ranitidin 2 x 25 mg
Pamol infus 200mg (k/p)
Kepala : microcephal
Mata : ca (-/-) si (-/-)
Cor : BJ I-II reguler
Pulmo : sdv (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-)
Abdomen : nyeri tekan (-), BU (+) N
Kulit : ikterik (-), sianosis (-)
Ekstremitas sup, inf : AD (-/-),(-/-). OE (-/-),(-/-)
A KDK , Cerebral Palsy
P Inf RL 20 tpm
Inj Cefotaxim 3 x 750mg
Inj Ranitidin 2 x 25 mg
Pamol infus 200mg (k/p)
Po. I Kalep 3 x 1 cth
P Inf RL 20 tpm
Inj Cefotaxim 3 x 750mg
Inj Ranitidin 2 x 25 mg
Pamol infus 200mg (k/p)
Po. I Kalep 3 x 1 cth
BLPL
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. Klasifikasi
Kejang demamdi klasifikasikan menjadi:
Kejang demam sederhana Kejang demam kompleks
Berlangsung singkat, <15 menit Kejang lama >15 menit
Kejang umum tonik dan atau klonik, Kejang fokal atau parsial satu sisi,
umumnya berhenti sendiri, tanpa atau kejang umum didahului
gerakan fokal kejang parsial
Tidak berulang dalam waktu 24 jam Berulang dalam waktu 24 jam
3. Insiden
Dari penelitian oleh berbagai pakar didapatkan bahwa sekitar 2,2 5
% anak pernah mengalami kejang demam sebelum mereka mencapai usia
5 tahun.
Insiden kejang demam sering dijumpai pada anak laki-laki daripada
perempuan dengan perbandingan berkisar antara 1,4 : 1 dan 1,2 : 1.
Berdasarkan penelitian Lumbantobing pada 297 anak dengan kejang
demam, sebanyak 165 adalah anak laki-laki dan 132 anak perempuan
dengan perbandingan 1,25 : 1.
5. Penatalaksanaan
a. Terapi pada fase akut
- Penderita dimiringkan agar jangan terjadi aspirasi ludah atau
lendir dari mulut
- Jalan nafas dijaga agar tetap terbuka, bila perlu beri oksigen
- Monitor tanda vital, keadaan umum dan kesadaran
- Bila penderita belum sadar dan berlangsung lama, perhatikan
kebutuhan dan keadaan cairan, kalori dan elektrolit
- Suhu yang tinggi harus diturunkan dengan kompres hangat
- Selimut dan pembungkus badan harus dibuka agar pendinginan
badan berlangsung dengan baik
- Berikan obat penurun demam
- Berikan obat antikonvulsan
b. Pengobatan profilaksis terhadap kambuhnya kejang demam
- Profilaksis intermiten, pada waktu demam
- Profilaksis terus menerus dengan obat antikonvulsan tiap hari
- Mengatasi segera bila terjadi serangan kejang
2.2 Epidemiologi
Prevalensi cerebral palsy secara global berkisar antara 1-1,5 per 1.000
kelahiran hidup dengan insiden meningkat pada kelahiran prematur. Di negara
maju, prevalensi cerebral palsy dilaporkan sebesar 2-2,5 kasus per 1.000
kelahiran hidup sedangkan di negara berkembang berkisar antara 1,5-5,6 kasus
per 1.000 kelahiran hidup.2
Beberapa instansi kesehatan di Indonesia sudah mulai bisa mendata kasus
cerebral palsy, antara lain yaitu YPAC (Yayasan Pendidikan Anak Cacat) cabang
Surakarta jumlah anak dengan kondisi cerebral palsy pada tahun 2001 berjumlah
313 anak, tahun 2002 berjumlah 242 anak, tahun 2003 berjumlah 265 anak, tahun
2004 berjumlah 239 anak, sedangkan tahun 2005 berjumlah 118 anak, tahun 2006
sampai dengan bulan Desember berjumlah 112 anak, sedangkan tahun 2007
sampai dengan bulan Desember yaitu berjumlah 198 anak. Pada klinik tumbuh
kembang Rumah Sakit dr. Kariadi Semarang sepanjang tahun 2005 mencatat
kunjungan pasien anak dengan diagnosis cerebral palsy sebanyak 2,16%.
2.4 Klasifikasi
a. Berdasarkan keterlibatan alat gerak atau ekstremitas, yaitu:
1. Monoplegia, hanya satu anggota tubuh yang terserang (jarang
terjadi).
2. Hemiplegia, yang terserang adalah tangan dan kaki tetapi hanya satu
sisi.
3. Triplegia, menyerang lengan pada kedua sisi tubuh dan salah satu
kaki.
4. Diplegia, keempat anggota gerak tubuh terserang tetapi lebih berat
pada bagian di bawah pinggang.
5. Quadriplegia, keempat anggota gerak tubuh terserang semuanya.
2.5 Patofisiologi
Presentasi klinik yang tampak dapat disebabkan oleh abnormalitas
struktural yang mendasar pada otak; cedera yang terjadi pada prenatal awal,
perinatal atau postnatal karena vascular insufficiency; toksin atau infeksi risiko
risiko patofisiologi dari kelahiran prematur. Buktibukti yang ada menunjukkan
bahwa faktorfaktor prenatal berperan dalam 70 80 % kasus cerebral palsy.
Dalam banyak kasus, penyebab yang pasti belum diketahui, tetapi hampir
sebagian besar kasus disebabkan oleh multifaktor. Selama periode prenatal,
pertumbuhan yang abnormal dapat terjadi kapan saja (dapat karena abnormalitas
yang bersifat genetik, toksik atau infeksi, atau vascular insufficiency).
Menurut Volpe, dalam perkembangan otak manusia terdapat beberapa
waktu penting, dan waktuwaktu puncak terjadinya, sebagai berikut:
1. Primary neurulation terjadi pada 3 4 minggu kehamilan.
2. Prosencephalic development terjadi pada 2 3 minggu kehamilan.
3. Neuronal proliferation penambahan maksimal jumlah neuron terjadi
pada bulan ke 3 4 kehamilan.
4. Organization pembentukan cabang, mengadakan sinaps, kematian sel,
eliminasi selektif, proliferasi, dan diferensiasi sel glia terjadi bulan ke 5
kehamilan sampai beberapa tahun setelah kelahiran.
5. Myelination penyempurnaan selsel neuron yang terjadi sejak
kelahiran sampai beberapa tahun setelah kelahiran.
Karena kompleksitas dan kerentanan otak selama masa perkembangannya,
menyebabkan otak sebagai subjek cedera dalam beberapa waktu. Cerebral
ischemia yang terjadi sebelum minggu ke20 kehamilan dapat menyebabkan
defisit migrasi neuronal, antara minggu ke24 sampai ke34 menyebabkan
periventricular leucomalacia (PVL) dan antara minggu ke34 sampai ke40
menyebabkan focal atau multifocal cerebral injury.
Cedera otak akibat vascular insufficiency tergantung pada berbagai faktor
saat terjadinya cedera, antara lain distribusi vaskular ke otak, efisiensi aliran darah
ke otak dan sistem peredaran darah, serta respon biokimia jaringan otak terhadap
penurunan oksigenasi.
Kelainan tergantung pada berat ringannya asfiksia yang terjadi pada otak.
Pada keadaan yang berat tampak ensefalomalasia kistik multipel atau iskemik
yang menyeluruh. Pada keadaan yang lebih ringan terjadi patchy necrosis di
daerah paraventrikular substansia alba dan dapat terjadi atrofi yang difus pada
substansia grisea korteks serebri. Kelainan dapat lokal atau menyeluruh
tergantung tempat yang terkena.
Stres fisik yang dialami oleh bayi yang mengalami kelahiran prematur
seperti imaturitas pada otak dan vaskularisasi serebral merupakan suatu bukti
yang menjelaskan mengapa prematuritas merupakan faktor risiko yang signifikan
terhadap kejadian cerebral palsy. Sebelum dilahirkan, distribusi sirkulasi darah
janin ke otak dapat menyebabkan tendensi terjadinya hipoperfusi sampai dengan
periventrikular white matter. Hipoperfusi dapat menyebabkan haemorrhage pada
matrik germinal yang berhubungan dengan kejadian diplegia spastik.
Pada saat di mana sirkulasi darah ke otak telah menyerupai sirkulasi otak
dewasa, hipoperfusi kebanyakan merusak area batas air korteks (zona akhir dari
arteri cerebral mayor), yang selanjutnya menyebabkan fenotip spastik
quadriplegia. Ganglia basal juga dapat terpengaruh dengan keadaan ini, yang
selanjutnya menyebabkan terjadinya ekstrapiramidal (seperti koreoatetoid atau
distonik). Kerusakan vaskular yang terjadi pada saat perawatan seringkali terjadi
dalam distribusi arteri serebral bagian tengah yang menyebabkan terjadinya
fenotip spastik hemiplegia.
Tidak ada halhal yang mengatur di mana kerusakan vaskular akan terjadi,
dan kerusakan ini dapat terjadi lebih dari satu tahap dalam perkembangan otak
janin. Autoregulasi peredaran darah serebral pada neonatal sangat sensitif
terhadap asfiksia perinatal yang dapat menyebabkan vasoparalysis dan cerebral
hyperemia. Terjadinya kerusakan yang meluas diduga berhubungan dengan
vaskular regional dan faktor metabolik, serta distribusi regional dari rangsangan
pembentukkan sinaps.
Pada waktu antara minggu ke-26 sampai dengan minggu ke-34 masa
kehamilan, area periventricular white matter yang dekat dengan lateral ventricles
sangat rentan terhadap cedera. Apabila area ini membawa fiber yang bertanggung
jawab terhadap kontrol motorik dan tonus otot pada kaki, cedera dapat
menyebabkan spastik diplegia (yaitu spastisitas utama dan kelemahan pada kaki,
dengan atau tanpa keterlibatan lengan dengan derajat agak ringan). Saat lesi yang
lebih besar menyebar sebelum area fiber berkurang dari korteks motorik, hal ini
dapat melibatkan centrum semiovale dan corona radiata, yang dapat
menyebabkan spastisitas pada ekstremitas atas dan ekstremitas bawah.
Suatu pengetahuan tentang urutan fase embrionik dan perkembangan otak
janin, dapat ditentukan kapan waktu terjadinya kerusakan otak. Suatu penemuan
tentang kelainan migrasi (disordered migration), seperti lissencephaly atau
heterotopia grey matter, mengindikasikan bahwa kerusakan yang terjadi sebelum
22 minggu masa gestasi akan mengganggu migrasi neuronal normal.
Periventricular leucomalacia (PVL) menunjukkan kerusakan pada white matter.
PVL pada umumnya simetris dan diduga disebabkan oleh iskemik white matter
pada anakanak prematur. Cedera asimetrik pada periventrikular white matter
dapat menyebabkan salah satu sisi tubuh lebih kuat daripada yang lainnya.
Keadaan ini menyebabkan gejala yang menyerupai spastik hemiplegia tetapi
karakteristiknya lebih menyerupai spastik diplegia. Matriks kapiler germinal
dalam daerah periventrikular, sebagian rentan terhadap cedera akibat hipoksik-
iskemik. Hal ini disebabkan karena lokasinya yang terletak pada zona batas
vaskular di antara zona akhir striate dan arteri thalamik.
Kerentanan otak janin terhadap PVL bervariasi tergantung pada usia
gestasi, mencapai puncak pada usia gestasi 22 minggu dengan satu langkah
penurunan pada awal kematian postnatal dan setelah PVL. PVL akan tampak
sebagai diplegia dan sekitar 70% bayi yang mengalami cerebral palsy dilahirkan
sebelum usia gestasi mencapai 32 minggu dan 30% bayi yang mengalami
cerebral palsy lahir tepat waktu (cukup bulan).
Volpe mengklasifikasikan sistem tingkatan untuk periventricular-
intraventricular hemorrhages, sebagai berikut :
a. Grade I adalah hemorrhage yang berdampak hanya perdarahan pada
subependymal (<10% dari area periventrikular terisi dengan darah).
b. Grade II adalah hemorrhage yang melibatkan 10 50% area
periventrikular.
c. Grade III adalah hemorrhage yang melibatkan >50% area
periventrikular
d. Beberapa ahli lain mengemukakan grade IV, yaitu ada tidaknya darah
parenchymal. Hal ini diduga tidak berhubungan dengan ekstensi
pendarahan ventrikular. Tetapi sebaliknya, hemorrhagic infarction dapat
berhubungan dengan periventricular-intraventricular hemorrhage.
Hiperbilirubin encephalopathy akut dapat menyebabkan bentuk cerebral
palsy diskinetik (atau ekstrapiramidal) yang dapat terjadi baik pada bayi lahir
cukup bulan yang ditandai dengan hiperbilirubinemia atau pada bayi prematur
tanpa ditandai hiperbilirubinemia. Kern ikterus mengacu pada encephalopathy
dari hiperbilirubinemia yang termasuk di dalamnya noda kelompok nuclear yang
spesifik dan nekrosis neuronal. Efekefek ini utamanya melibatkan ganglia
basalia, sebagian globus pallidus dan subthalamic nucleus; hippocampus;
substantia nigra; beberapa nervus cranial nuclei sebagian oculomotor,
vestibular, cochlear dan facial nerve nuclei; saraf batang otak seperti formasi
retikular pada pons; saraf olivary inferior, saraf cerebellar seperti pada dentate
dan horn cells anterior dari tulang belakang.
Halhal yang memberikan distribusi kerusakan dalam kernikterus,
kehilangan pendengaran dan kelainan gerakan (terutama koreoathetosis atau
distonia) adalah ciriciri utama hiperbilirubin encephalopathy. Dengan perbaikan
dalam manajemen awal hiperbilirubinemia, banyak kasus cerebral palsy
diskinetik (atau ekstrapiramidal) tidak berhubungan dengan riwayat
hiperbilirubinemia tetapi sebaliknya diduga berhubungan dengan hypoxic injury
pada ganglia basal. Dalam ketidakhadiran hiperbilirubinemia, prematuritas, atau
hipoksia, kemungkinan suatu kelainan metabolik atau neurodegeneratif sebagai
dasar fenotip perlu dipertimbangkan.
Cerebral palsy diskinetik berjumlah kurang lebih 10% dari semua bentuk
cerebral palsy, umumnya terjadi pada bayi cukup bulan. Kernikterus akibat
haemolitik pada bayi baru lahir terjadi akibat Rhesus isoimmunisation yang
menjelaskan peningkatan insiden pada dekade terakhir. Sosialisasi kebijakan
antenatal untuk memberikan antibodi anti-D pada ibu dengan Rhesus negatif
setelah kelahiran bayi dengan Rhesus positif telah menunjukkan eradikasi pada
seluruh bentuk cerebral palsy.
Status marmoratus adalah suatu akibat neuropatologi yang ditimbulkan
oleh neonatal hypoxic-ischemic encephalopathy dan diduga lebih banyak terjadi
pada bayi cukup bulan daripada bayi prematur. Lesi ini adalah keadaan khusus
munculnya gumpalan karena suatu abnormalitas pembentukan myelin. Lesi ini
merusak ganglia basal dan thalamus yang menyebabkan fenotip cerebral palsy
diskinetik.
Intervensi:
- Mengurangi spastisitas otot
- Mengontrol kejang karena kebanyakan resisten terhadap pengobatan
antiepilepsi yang konvensional
- Mencegah masalah ortopedi seperti subluksasi panggul, skoliosis,
deformitas equina, dan lain-lain.
- Meningkatkan kognitif, pembelajaran, dan memori untuk penerimaan
yang lebih baik12
Pengobatan kausal tidak ada, hanya simptomatik. Pada keadaan ini perlu
kerja sama yang baik dan merupakan suatu tim antara dokter anak, neurolog,
psikiater, dokter mata, dokter THT, ahli ortopedi, psikolog, fisioterapi,
occupational therapist, pekerja sosial, guru sekolah luar biasa, dan orang tua
penderita.
Fisioterapi
Tindakan ini harus segera dimulai secara intensif. Orang tua turut membantu
program latihan di rumah untuk mencegah kontraktur perlu diperhatikan posisi
penderita pada waktu istirahat atau tidur. Bagi penderita yang berat dianjurkan
untuk sementara tinggal di suatu pusat latihan. Fisioterapi ini dilakukan sepanjang
penderita hidup.
Pembedahan
Bila terdapat hipertonus otot atau hiperspastisitas, dianjurkan untuk
dilakukan pembedahan otot, tendon, atau tulang untuk reposisi kelainan tersebut.
Pembedahan stereotaktik dianjurkan pada penderita dengan pergerakan koreo-
atetosis yang berlebihan.
Pendidikan
Penderita cerebral palsy dididik sesuai dengan tingkat kecerdasannya di
sekolah luar biasa dan bila mungkin di sekolah biasa bersama-sama dengan anak
yang normal. Mereka sebaiknya diperlakukan sama seperti anak yang normal,
yaitu pulang ke rumah dengan kendaraan bersama-sama sehingga mereka tidak
merasa diasingkan, hidup dalam suasana normal. Orang tua janganlah melindungi
anak secara berlebihan dan untuk ini pekerja social dapat membantu di rumah
dengan nasehat seperlunya.
Farmakoterapi
Pada penderita dengan kejang diberikan obat antikonvulsan rumat yang
sesuai dengan karakteristik kejangnya, misalnya luminal, dilantin, dan sebagainya.
Pada keadaan tonus otot yang berlebihan, obat dari golongan benzodiazepine
dapat menolong, misalnya diazepam, klordiazepoksid (Librium), nitrazepam
(mogadon). Pada keadaan koreoatetosis diberikan artan. Imipramine (tofranil)
diberikan kepada penderita dengan depresi.7
2.9 Pencegahan
Beberapa penyebab CP dapat dicegah atau diterapi, sehingga kejadian CP
pun bisa dicegah. Adapun penyebab CP yang dapat dicegah atau diterapi antara
lain: 3
1. Pencegahan terhadap cedera kepala dengan cara menggunakan alat
pengaman pada saat duduk di kendaraan dan helm pelindung kepala saat
bersepeda, dan eliminasi kekerasan fisik pada anak. Sebagai tambahan,
pengamatan optimal selama mandi dan bermain.
2. Penanganan ikterus neonatorum yang cepat dan tepat pada bayi baru
lahir dengan fototerapi, atau jika tidak mencukupi dapat dilakukan
transfusi tukar. Inkompatibilitas faktor rhesus mudah diidentifikasi dengan
pemeriksaan darah rutin ibu dan bapak. Inkompatibilitas tersebut tidak
selalu menimbulkan masalah pada kehamilan pertama, karena secara
umum tubuh ibu hamil tersebut belum memproduksi antibodi yang tidak
diinginkan hingga saat persalinan. Pada sebagian besar kasus-kasus, serum
khusus yang diberikan setelah kelahiran dapat mencegah produksi antibodi
tersebut. Pada kasus yang jarang, misalnya jika pada ibu hamil antibodi
tersebut berkembang selama kehamilan pertama atau produksi antibodi
tidak dicegah, maka perlu pengamatan secara cermat perkembangan bayi
dan jika perlu dilakukan transfusi ke bayi selama dalam kandungan atau
melakukan transfusi tukar setelah lahir.
3. Rubella, atau campak jerman, dapat dicegah dengan memberikan
imunisasi sebelum
hamil.
2.10 Prognosis
Prognosis penderita dengan gejala motorik yang ringan adalah baik; makin
banyak gejala penyertanya (retardasi mental, bangkitan kejang, gangguan
penglihatan dan pendengaran) dan makin berat gejala motoriknya, makin buruk
prognosisnya.
3. MALNUTRISI
Malnutrisi adalah suatu keadaan defisiensi, kelebihan atau
ketidakseimbangan protein energi dan nutrien lain yang dapat
menyebabkan gangguan fungsi pada tubuh1 . Secara umum malnutrisi
terbagi atas dua bagian yaitu undernutrisi dan overnutrisi. Undernutrisi
atau keadaan defisiensi terdiri dari marasmus, kwashiorkor, serta
marasmic kwashiorkor. Sedangkan overnutrisi atau kelebiahn nutrisi
lebih dikenal dengan obesitas.
I. Epidemiologi
Prevalensi balita yang mengalami gizi buruk di Indonesia masih
tinggi. Berdasarkan laporan propinsi selama tahun 2005 terdapat 76.178
balita mengalami gizi buruk dan data Susenas tahun 2005 memperlihatkan
prevalensi balita gizi buruk sebesar 8.8%. Pada tahun 2005 telah terjadi
peningkatan jumlah kasus gizi buruk di beberapa propinsi dan yang
tertinggi terjadi di dua propinsi yaitu Nusa Tenggara Timur dan Nusa
Tenggara Barat. Pada tanggal 31 Mei 2005, Pemerintah Propinsi Nusa
Tenggara Timur telah menetapkan masalah gizi buruk yang terjadi di NTT
sebagai KLB2.
II. Etiologi
a. Marasmus4
Secara garis besar sebab-sebab marasmus ialah sebagai berikut:
- Pemasukan kalori yang tidak cukup. Marasmus terjadi akibat
masukan kalori yang sedikit, pemberian makanan yang tidak sesuai
dengan yang dianjurkan akibat dari ketidaktahuan orang tua si
anak.
- Kebiasaan makan yang tidak tepat.
- Kelainan metabolik. Misalnya: renal asidosis, idiopathic
hypercalcemia, galactosemia, lactose intolerance.
- Malformasi kongenital. Misalnya: penyakit jantung bawaan,
penyakit Hirschprung, deformitas palatum, palatoschizis,
micrognathia, stenosis pilorus, hiatus hernia, hidrosefalus, cystic
fibrosis pankreas.
b. Kwashiorkor5
Penyebab terjadinya kwashiorkor adalah inadekuatnya intake protein
yang berlangsung kronis. Faktor yang dapat menyebabkan
kwashiorkor antara lain.
1. Pola makan
Protein (dan asam amino) adalah zat yang sangat dibutuhkan anak
untuk tumbuh dan berkembang. Meskipun intake makanan
mengandung kalori yang cukup, tidak semua makanan mengandung
protein/ asam amino yang memadai. Bayi yang masih menyusui
umumnya mendapatkan protein dari ASI yang diberikan ibunya,
namun bagi yang tidak memperoleh ASI protein dari sumber-sumber
lain (susu, telur, keju, tahu dan lain-lain) sangatlah dibutuhkan.
Kurangnya pengetahuan ibu mengenai keseimbangan nutrisi anak
berperan penting terhadap terjadi kwashiorkhor, terutama pada masa
peralihan ASI ke makanan pengganti ASI.
2. Faktor sosial
Hidup di negara dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi,
keadaan sosial dan politik tidak stabil ataupun adanya pantangan
untuk menggunakan makanan tertentu dan sudah berlangsung turun-
turun dapat menjadi hal yang menyebabkan terjadinya kwashiorkor.
3. Faktor ekonomi
Kemiskinan keluarga/ penghasilan yang rendah yang tidak dapat
memenuhi kebutuhan berakibat pada keseimbangan nutrisi anak
tidak terpenuhi, saat dimana ibunya pun tidak dapat mencukupi
kebutuhan proteinnya.
4. Faktor infeksi dan penyakit lain
Telah lama diketahui bahwa adanya interaksi sinergis antara MEP
dan infeksi. Infeksi derajat apapun dapat memperburuk keadaan gizi.
Dan sebaliknya MEP, walaupun dalam derajat ringan akan
menurunkan imunitas tubuh terhadap infeksi.
c. Marasmic kwashiorkor6
Penyebab marasmic kwashiorkor dapat dibagi menjadi dua
penyebab yaitu malnutrisi primer dan malnutrisi sekunder.
Malnutrisi primer adalah keadaan kurang gizi yang disebabkan oleh
asupan protein maupun energi yang tidak adekuat. Malnutrisi
sekunder adalah malnutrisi yang terjadi karena kebutuhan yang
meningkat, menurunnya absorbsi dan/atau peningkatan kehilangan
protein maupun energi dari tubuh.
d. Obesitas7
Penyebab obesitas belum diketahui secara pasti. Obesitas
adalah suatu penyakit multifaktorial yang diduga bahwa sebagian besar
obesitas disebabkan oleh karena interaksi antara faktor genetik dan
faktor lingkungan, antara lain aktifitas, gaya hidup, sosial ekonomi dan
nutrisional yaitu perilaku makan dan pemberian makanan padat terlalu
dini pada bayi.
1. Faktor Genetik
Parental fatness merupakan faktor genetik yang berperanan
besar. Bila kedua orang tua obesitas, 80% anaknya menjadi
obesitas; bila salah satu orang tua obesitas, kejadian obesitas
menjadi 40% dan bila kedua orang tua tidak obesitas, prevalensi
menjadi 14%. Mekanisme kerentanan genetik terhadap obesitas
melalui efek pada resting metabolic rate, thermogenesis non
exercise, kecepatan oksidasi lipid dan kontrol nafsu makan yang
jelek. Dengan demikian kerentanan terhadap obesitas ditentukan
secara genetik sedang lingkungan menentukan ekspresi fenotipe.
2. Faktor lingkungan
- Aktivitas fisik
Penelitian di negara maju mendapatkan hubungan antara
aktifitas fisik yang rendah dengan kejadian obesitas. Individu
dengan aktivitas fisik yang rendah mempunyai risiko
peningkatan berat badan sebesar = 5 kg. Penelitian terhadap
anak Amerika dengan tingkat sosial ekonomi yang sama
menunjukkan bahwa mereka yang nonton TV = 5 jam perhari
mempunyai risiko obesitas sebesar 5,3 kali lebih besar
dibanding mereka yang nonton TV = 2 jam setiap harinya.
- Faktor nutrisional
Peranan faktor nutrisi dimulai sejak dalam kandungan
dimana jumlah lemak tubuh dan pertumbuhan bayi dipengaruhi
berat badan ibu. Kenaikan berat badan dan lemak anak
dipengaruhi oleh : waktu pertama kali mendapat makanan padat,
asupan tinggi kalori dari karbohidrat dan lemak serta kebiasaan
mengkonsumsi makanan yang mengandung energi tinggi.
Makanan berlemak juga mempunyai rasa yang lezat sehingga
akan meningkatkan selera makan yang akhirnya terjadi
konsumsi yang berlebihan.
Bila cadangan lemak tubuh rendah dan asupan karbohidrat
berlebihan, maka kelebihan energi dari karbohidrat sekitar 60-
80% disimpan dalam bentuk lemak tubuh. Lemak mempunyai
kapasitas penyimpanan yang tidak terbatas. Kelebihan asupan
lemak tidak diiringi peningkatan oksidasi lemak sehingga
sekitar 96% lemak akan disimpan dalam jaringan lemak.
- Faktor sosial ekonomi
Perubahan pengetahuan, sikap, perilaku dan gaya hidup,
pola makan, serta peningkatan pendapatan mempengaruhi
pemilihan jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi. Suatu
data menunjukkan bahwa beberapa tahun terakhir terlihat
adanya perubahan gaya hidup yang menjurus pada penurunan
aktifitas fisik, seperti: ke sekolah dengan naik kendaraan dan
kurangnya aktifitas bermain dengan teman serta lingkungan
rumah yang tidak memungkinkan anak-anak bermain diluar
rumah, sehingga anak lebih senang bermain komputer / games,
nonton TV atau video dibanding melakukan aktifitas fisik.
Selain itu juga ketersediaan dan harga dari junk food yang
mudah terjangkau akan berisiko menimbulkan obesitas.
III. Patofisiologi
Kekurangan energi protein (KEP) adalah manifestasi dari
kurangnya asupan protein dan energi, dalam makanan sehari-hari yang
tidak memenuhi angka kecukupan gizi (AKG), dan biasanya juga diserta
adanya kekurangan dari beberapa nutrisi lainnya. Disebut malnutrisi
primer bila kejadian KEP akibat kekurangan asupan nutrisi, yang pada
umumnya didasari oleh masalah sosial ekonomi, pendidikan serta
rendahnya pengetahuan dibidang gizi. Malnutrisi sekunder bila kondisi
masalah nutrisi seperti diatas disebabkan karena adanya penyakit utama,
seperti kelainan bawaan, infeksi kronis ataupun kelainan pencernaan dan
metabolik, yang mengakibatkan kebutuhan nutrisi meningkat, penyerapan
nutrisi yang turun dan/meningkatnya kehilangan nutrisi.Makanan yang
tidak adekuat, akan menyebabkan mobilisasi berbagai cadangan makanan
untuk menghasilkan kalori demi penyelamatan hidup, dimulai dengan
pembakaran cadangan karbohidrat kemudian cadangan lemak serta protein
dengan melalui proses katabolik. Kalau terjadi stres katabolik (infeksi)
maka kebutuhan akan protein akan meningkat, sehingga dapat
menyebabkan defisiensi protein yang relatif, kalau kondisi ini terjadi pada
saat status gizi masih diatas -3 SD (-2SD--3SD), maka terjadilah
kwashiorkor (malnutrisi akut/decompensated malnutrition). Pada
kondisi ini penting peranan radikal bebas dan anti oksidan. Bila stres
katabolik ini terjadi pada saat status gizi dibawah -3 SD, maka akan
terjadilah marasmik-kwashiorkor. Kalau kondisi kekurangan ini terus
dapat teradaptasi sampai dibawah -3 SD maka akan terjadilah marasmik
(malnutrisikronik/compensated malnutrition). Dengan demikian pada
malnutrisi dapat terjadi : gangguan pertumbuhan, atrofi otot, penurunan
kadar albumin serum, penurunan hemoglobin, penurunan sistem kekebalan
tubuh, penurunan berbagai sintesa enzim6
Sedangkan Obesitas terjadi karena adanya kelebihan energi yang
disimpan dalam bentuk jaringan lemak. Gangguan keseimbangan energi
ini dapat disebabkan oleh faktor eksogen (obesitas primer) sebagai akibat
nutrisional (90%) dan faktor endogen (obesitas sekunder) akibat adanya
kelainan hormonal, sindrom atau defek genetik (meliputi 10%).
IV. Manifestasi Klinik
V. Diagnosis
1. Kekurangan Energi Protein:
Diagnosis ditegakkan dengan berdasarkan tanda dan gejala klinis
serta pengukuran antropometri. Anak didiagnosis gizi buruk apabila:
- BB/TB < -3 SD atau , 70 % dari median (marasmus)
- Edema pada kedua punggung kaki sampai seluruh tubuh
(kwashiorkor: BB/TB > - 3 SD atau marasmic kwashiorkor:
BB/TB < -3SD).
Jika BB/TB tidak dapat diukur, gunakan tanda klinis berupa anak
tampak sangat kurus (visible severe wasting) dan tidak mempunyai
jaringan lemak bawah kulit terutama pada kedua bahu, lengan, pantat,
paha, tulang iga terlihat jelas, dengan atau tanpa adanya edema.
Anak anak dengan BB/U <60% belum tentu gizi buruk, karena
mungkin anak tersebut pendek, sehingga tidak terlihat sangat kurus.
Anak seperti itu tidak membutuhkan perawatan di rumah sakit,
kecuali jiak ditemukan penyakit lain yang berat.
VI. Penatalaksanaan