Anda di halaman 1dari 3

PENGANTAR SEJARAH PEMIKIRAN ISLAM

1. Pendahuluan
Dalam tradisi pemikiran Islam term pembaharuan disebut juga dengan istilah tajdid
kemudian muncul berbagai istilah yang dipandang memiliki relevansi makna dengan
pembaruan, yaitu modernisme, reformisme, puritanisme, revivalisme, dan fundamentalisme,di
samping tajdid, ada istilah lain dalam kosakata Islam tentang kebangkitan dan pembaruan, yaitu
kata Islah. Kata tajdid biasa diterjemahkan sebagaipembaharuan, dan Islah sebagai
perubahan. Kedua kata tersebut secara bersama-sama mencerminkan suatu tradisi yang
berlanjut, yaitu suatu upaya menghidupkan kembali keimanan Islam beserta praktik-praktiknya
dalam komunitas kaum Muslim.
Pergulatan modernitas dan tradisi dalam dunia Islam melahirkan upaya-upaya
pembaharuan terhadap tradisi yang ada. Meskipun gerakan pembaruan Islam tidak dapat disebut
sebagai modernisme Islam karena konteksnya berbeda. Modernisme sebagai gerakan, berawal
dari dunia Barat yang bertujuan menggantikan ajaran agama Katholik dengan sains dan filsafat
modern. Gerakan ini berpuncak pada proses sekularisme dunia Barat.
Namun, ada pendapat lain yang lebih suka menggunakan istilah modern daripada
pembaruan. Penggunaan istilah pembaruan Islam tidak selalu sesuai dengan kenyataan sejarah.
Pembaruan dalam dunia Islam modern tidak selalu mengarah pada reformasi Islam dalam
kehidupan muslim. Sebaliknya, yang sering terjadi adalah westernisasi dan sekularisasi seperti
pada kasus Turki. Kenyataannya sekarang ini adalah modernisme dalam makna subjektifnya,
bukan modern dalam makna objektif.
Berkaitan dengan hal tersebut, pembaruan dalam Islam bukan dalam hal yang menyangkut
dasar atau fundamental ajaran Islam. Artinya, bahwa pembaruan Islam bukan dimaksudkan
untuk mengubah, memodifikasi, atau merevisi nilai-nilai serta prinsip-prisnsip Islam supaya
sesuai dengan selera zaman, melainkan lebih berkaitan dengan penafsiran atau interpretasi
terhadap ajaran-ajaran dasar agar sesuai dengan kebutuhan perkembangan serta semangat
zaman. Terkait dengan ini, dapat dipahami bahwa pembaruan merupakan aktualisasi ajaran
agama (Islam) dalam perkembangan social.
Dengan ungkapan lain bahwa pembaruan adalah rasionalisasi dan kontekstualisasi atau
dapat juga disebut sebagai proses substansi (pemaknaan secara hakiki etika dan moralitas) Islam
ke dalam proses kebudayaan dengan melakukan desimbolisasi (penanggalan lambang-lambang)
budaya asal (baca: Arab), dan pengalokasian nilai-nilai tersebut ke dalam budaya baru (local).
Sebagai proses subtansiasi, pembaruan Islam melibatkan pendekatan subtantivistik, bukan
formalistic terhadap Islam.
Demikian pula, dengan pandangan dunia modern yang hadir sebagai suatu hal yang pasti
di tengah masyarakat, domestifikasi alam tidak hanya sekadar untuk memenuhi keperluan
tempat tinggal menetap dan konsumsi, tetapi alam secara substansial pun didomestifikasi. Dari
sinilah muncul gagasan civilized dan uncivilized. Persoalan domestifikasi alam ini pun turut
menjadi suatu penanda progresivitas. Masyarakat prasejarah yang hidup penuh harmonis dengan
alam disebut uncivilized karena tidak melakukan demostifikasi penuh terhadap substansi alam.
Oleh karena itu, ciri atau karakter modern yang sebenarnya ialah: 1. munculnya kolonialisme
atas nama civilization; 2. revolusi Prancis; 3. revolusi industri; 4. kapitalisme; 5.komodifikasi; 6.
mediasi dalam relasi social (Negara); 7. mekanisasi kehidupan. Karakter-karakter tersebut pada
akhirnya turut memengaruhi bagaimana teologi dalam Islam diperbincangkan dan dimaknai.
Misalnya, gagasan konflik antara sains dan agama merupakan fenomena Barat (Kristen).
Dalam Islam sains dan agama tidak pernah dipertentangkan sebagai hal mainstream. Namun,
ketika teologi Islam memasuki diskursus ini, mau tidak mau muncul asumsi tersembunyi
(hidden assumption) bahwa sains dan agama, dalam hal ini Islam, bertentangan. Padahal, di
dalam Islam sendiri,yang lebih menganut konsep atau disiplin kalam tidak mempertentangkan
hal tersebut. Karena kalam dipadankan dengan theology, pola kajiannya dan model berfikirnya
akan menyerupai teologi yang dasarnya adalah mempertentangkan antara sains dan agama.
Meskipun secara histories, theology dan kalam memiliki perbedaan.
Harus diakui, ekspansi gagasan modern oleh bangsa Barat tidak hanya membawa sains dan
teknologi, tetapi juga tata nilai dan pola hidup mereka yang sering berbeda dengan tradisi yang
dianut masyarakat objek ekspansi. Baik dalam makna objektif maupun subjektifnya, modernitas
yang diimpor dari bangsa Barat membuat perubahan dalam masyarakat Muslim di segala
bidang.

Pada titik ini umat Islam dipaksa memikirkan kembali tradisi yang dipegangnya berkaitan
denga perubahan yang sedang terjadi. Respon ini kemudian melahirkan gerakan-gerakan
pembaruan. Akan tetapi, pembaruan Islam bukan sekadar reaksi Muslim atas perubahan
tersebut. Degradasi kehidupan keagamaan masyarakat Muslim juga menjadi factor penting
terjadinya gerakan pembaruan. Banyak tokoh umat yang menyerukan revitalisasi kehidupan
keagamaan dari tradisi-tradisi yang dianggap tidak Islami.
Gerkan pembaruan yang dilakukan di Indonesia yang merujuk pada modernisme, salah
satunya adalah yang dilakukan cendekiawan islam Nurcholish Madjid yang dilakukan pada
tahun 1967. ia merumuskan modernisasi sebagai rasionalisasi. Hal itu berarti suatu proses
perombakan pola pikir dan tata kerja baru yang tidak rasional dan menggantikan dengan proses
berpikir dan tata kerja baru yang lebih rasional.
Dengan demikian, yang disebut modern adalah jika kita bersifat rasional, ilmiah, dan
bersesuaian dengan hukum-hukum yang berlaku dalam alam. Hal tersebut disebabkan
modernisasi berarti penerapan ilmu-ilmu pengetahuan maka modernisasi suatu keharusan karena
modernisasi juga adalah kebenaran dan modernisasi sebagai usaha atau proses mencapai
kebenaran.

2. Ringkasan Sejarah Pemikiran Islam


Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern memasuki dunia Islam, terutama
sesudah pembukaan abad ke 19 yang dalam sejarah Islam dipandang sebagai permulaan periode
modern. Kontak dengan dunia Barat selanjutnya membawa ide-ide baru ke dunia Islam seperti
rasionalisme, nasionalisme,dan sebagainya. Semua ini menimbulkan persoalan-persoalan baru,
dan pemimpin-pemimpin Islam pun mulai memikirkan cara mengatasi persoalan- persoalan baru
itu.
Di dalam Islam timbul pikiran dan gerakan untuk menyesuaikan paham-paham
keagamaan Islam dengan perkembangan baru yang ditimbulkan kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi modern. Dengan harapan pemimpim-pemimpin Islam modern akan dapat
melepaskan umat Islam dan suasana kemunduran untuk selanjutnya dibawa kepada kemajuan.
Perkembangan sejarah pemikiran Islam modern dan mempunyai tujuan untuk membawa
umat Islam kepada kemajuan dapat dipahami dengan mengetahui sejarah perkembangan
pemikiran dalam Islam itu sendiri, bukan hanya untuk mengetahui waktu mulanya periode
modern itu, tetapi juga untuk melihat perkembangan maju mundurnya umat Islam yang terjadi
dalam sejarah.
Dalam garis besarnya sejarah pemikiran Islam menurut Harun Nasution dapat dibagi ke
dalam tiga periode besar: Klasik, Pertengahan dan Modern.
Periode Klasik (650-1250 M). merupakan zaman kemajuan dan dibagi kedalam dua fase.
Pertama, fase ekspansi, integrasi, dan puncak kemajuan (650-1000 M). di zaman inilah daerah
Islam meluas melalui Afrika Utara sampai ke Spanyol di Barat dan melalui Persia sampai ke
India di Timut. Daerah-daerah itu tunduk kepada kekuasaan Khalifah yang pada mulanya
berkedudukan di Madinah, kemudian di Damsyik dan terakhir di Bagdad. Di masa ini pulalah
berkembang dan memuncak ilmu pengetahuan, baik dalam bidang agama maupun dalam bidang
non-agama, dan kebudayaan Islam. Zaman inilah yang menghasilkan ulama-ulama besar seperti
Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam SyafiI dan Imam Ibn Hambal dalam bidang hukum,
Imam Asyari, Imam Al-Maturidi, pemuka-pemuka Mutazilah seperti Wasil Ibn Ata, Abu Al-
Huzail, Al-Nazzam, dan Al-Zubai dalam bidang teologi, Zunnun Al-Misri, Abu Yazid Al-
Bustami dan Al- Hallaj dalam mistisisme atau al- tasawwuf, Al- Kindi, Al- Farabi, Ibn Sina dan
Ibn Miskawih dalam filsafat, dan Ibn Al- Haysam, Ibn Hayyam, Al Khawarizmi, Al-Masudi
dan Al Razi dalam bidang ilmu pengetahuan.
Kedua, fase disintegrasi (1000-1250 M ). Di masa ini keutuhan umat Islam dalam bidang
politik mulai pecah, kekuasaan Khalifah menurun dan akhirnya Bagdad dapat dirampas dan
dihancurkan oleh Hulagu di tahun 1258 M. khalifah, sebagai lambang kesatuan politik, hilang.
Periode pertengahan (1250-1800 M). juga dibagi ke dalam dua fase. Pertama, fase
kemunduran (1250-1500 M). Di zaman ini desentralisasi dan disintegrasi bertambah meningkat.
Perbedaan antara Sunni dan Syiah dan demikian juga antara Arab dan Persia bertambah nyata
kelihatan. Dunia Islam terbagi dua, bagian Arab yang terdiri atas Arabia, Irak, Suria, Palestina,
Mesir, dan Afrika Utara dengan Mesir sebagai pusat; dan bagian Persia yang terdiri atas Balkan,
Asia Kecil, Persia dan Asia Tengah dengan Iran sebagai pusat. Kebudayaan Persia mengambil
bentuk internasional dan dengan demikian mendesak lapangan kebudayaan Arab. Pendapat
bahwa pintu ijtihad tertutup makin meluas di kalangan umat Islam. Demikian juga tarekat
dengan pengaruh negatifnya. Perhatian pada ilmu pengetahuan kurang sekali. Umat Islam di
Spanyol dipaksa masuk Kristen atau keluar dari daerah itu.
Kedua, fase Tiga Kerajaan Besar (1500-1800 M) yang dimulai dengan zaman kemajuan
(1500-1700 M) dan zaman kemunduran (1700-1800 M) tiga kerajaan besar yang dimaksud
adalah kerajaan Usmani (Ottoman Empire) di Turki, kerajaan Safawi di Persia dan kerajaan
Mughal di India. Di masa kemajuan, ketiga Kerajaan Besar ini mempunyai kejayaan masing-
masing terutama dalam bentuk literature dan arsitek. Mesjid-mesjid dan gedung gedung indah
yang didirikan di zaman ini masih dapat dilihat di Istambul, di Tibriz, Isfahan serta kota-kota
lain di Iran dan di Delhi. Kemajuan umat Islam di zaman ini lebih banyak merupakan kemajuan
di periode klasik, perhatian pada ilmu pengetahuan masih kurang sekali.
Di zaman kemunduran, kerajaan Usmani terpukul di Eropa, kerajaan Safawi dihancurkan
oleh serangan-serangan suku bangsa Afghan, sedang daerah kekuasaan kerajaan Mughal
diperkecil oleh pukulan-pukulan raja-raja India. Kekuatan militer dan kekuatan politik umat
Islam menurun. Umat Islam dalam keadaan mundur dan statis. Dalam pada itu, Eropa dengan
kekayaan-kekayaan yang diangkut dari Amerika dan Timur Jauh, bertambah kaya dan maju.
Penetrasi Barat yang kekuatannya meningkat, ke dunia Islam, yang kekuatannya menurun, kian
mendalam dan kian meluas. Akhirnya Napoleon di tahun 1798 M menduduki Mesir, sebagai
salah satu pusat Islam yang terpenting.
Periode Modern (1800 M - dan seterusnya) merupakan zaman kebangkitan umat Islam.
Jatuhnya Mesir ke tangan Barat mengilhami dan menginsafkan dunia Islam akan kelemahannya
dan menyadarkan umat Islam bahwa di Barat telah timbul peradaban baru yang lebih tinggi dan
merupakan ancaman bagi Islam. Raja-raja dan pemuka-pemuka Islam mulai memikirkan
bagaimana meningkatkan mutu dan kekuatan umat Islam kembali. Di Periode Modern inilah
timbul ide-ide pembaharuan dalam Islam.
Acapkali perkembangan dan perubahan sosial membawa akibat pergeseran nilai-nilai
kehidupan umat beragama yang paling fundamental. Orientasi kehidupan masyarakat yang
bersifat materialistis dalam makna pemberian tekanan kepada aspek-aspek material sehingga
menumbuhkan tendensi pendekatan sekularistis dalam kehidupan ini misalnya, ternyata
merupakan tantangan bagi Islam (sekurang-kurangnya bagi umat Islam) sebagai agama yang
mengajukan claim pengaturan hidup dan kehidupan manusia melalui pranata hukum dan
moralitas agama dengan kerangka-kerangkanya yang pasti. Maka tidak heran jika kemudian
muncul bermacam-macam responsi di kalangan kaum muslimin sebagai upaya mengatasi
tantangan aspirasi-aspirasi sekularistis itu.
Namun demikian, perkembangan dan perubahan itu sesungguhnya merupakan kenyataan
obyektif kebutuhan hidup manusia, karena ia adalah makhluk berbudaya. Dan pada saat yang
sama ternyata ilmu pengetahuan telah dapat pula mencoba menyelesaikan dan menjawab
tuntutan kebutuhan manusia serta mengajukan alternatif pengaturan hidup.
Jika benar demikian, maka tampaknya terjadi persaingan(rivalitas) antara agama dan
ilmu pengetahuan. Persoalannya sekarang ialah apakah memang terjadi perbedaan bahkan
pertentangan terus-menerus antara keduanya dalam memberi pemenuhan kebutuhan bagi
kehidupan manusia, karena sebagai diketahui bahwa ilmu pengetahuan dengan tiori-tiorinya
melahirkan bermacam-macam isme.
Setiap langkah pembaharuan dari pemikir-pemikir muslim yang ingin mencocok-
cocokkan Islam dengan gaya kehidupan modern melalui westernisasi, sekularisasi, bahkan
rasionalisasi sekalipun dalam makna bersitumpu pada akal semata hanya akan mendatangkan
malapetaka yang tidak kecil artinya bagi kaum muslimin, lebih dari itu sesungguhnya mereka
telah berpisah jauh dari ajaran Islam yang murni. Itulah sebabnya modernisme pasti gagal
dalam mendekati segala aspek kehidupan kaum muslimin. Berkali-kali sejarah membuktikannya
dan hanya melalui pengetahuan,pemahaman dan pengaplikasian islam secara baik dan benar
yang dapat dijadikan satu-satunya alternatif pandangan dan pedoman hidup bagi manusia.

Anda mungkin juga menyukai