Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu
dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang
menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah
dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada
tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah Dia bersih (tidak
bertanah). mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan
Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.
Rumus itu berlaku juga dalam amalan yang dilakukan dengan niat yang baik,
karena mencari reda Allah (+) namun dilakukan dengan cara yang salah, bertentangan
dengan syariat (-), maka tak akan menjadi ibadah (+) melainkan dosa (-). Misalnya,
memberikan bantuan untuk panti asuhan, pembangunan masjid, madrasah dan fasilitas
sosial lainnya dari uang korupsi. Maka meskipun diniatkan karena Allah namun karena
uang sumbangan diperoleh dari cara yang salah maka nilai amalannya bernilai dosa (-).
Dalam kaitan ini dosa korupsi tidak bisa dicuci dengan sedekah sebab yang
disedekah/disumbangkan bukan haknya melainkan hak rakyat. Hal itu dapat diibaratkan
dengan mandi, tujuan utamanya adalah untuk membersihkan badan dari
kotoran/keringat. Namun tujuan dari mandi tadi tak akan terwujud jika dia mandi
menggunakan air kotor.
Di samping itu dalam perbuatan zina yang terkadang mengakibatkan kehamilan
digunakan rumus:
* Bukan ibadah: caranya salah (-) x niatnya salah (-) = + (dosa/dimurkai Allah).
Karena berzina merupakan hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan di
luar ikatan perkawinan (cara yang salah) dan niatnya juga tentu bukan untuk hamil,
namun biasanya mudah hamil (+). Dalam tes kehamilan secara medis, peristiwa
kehamilan lebih dikenal dengan istilah positif, tidak hamil dikenal dengan negatif.
Karena itu dalam melakukan kebaikan hendaklah senantiasa memperhatikan
dua aspek yakni tata caranya harus benar dan diniatkan untuk Allah. Tidak bisa hanya
memperhatikan aspek tata cara dengan mengabaikan aspek niat. Begitu pula
sebaliknya.
C. Nilai Balasan atas Zakat, Infak dan Sedekah
Salah satu ajaran terpenting dalam Islam adalah mengeluarkan sebagian harta
di jalan Allah. Bahkan kepedulian untuk berbagi harta kepada sesama manusia itu
menjadi salah satu indikator orang bertakwa (muttaqin) seperti yang diisyaratkan dalam
QS al-Baqarah: 2-3
Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa,
(yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan
menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka.
Anjuran berbagi baik melalui infak, sedekah maupun zakat bukan sekedar
kewajiban melainkan mengandung nilai investasi baik di akherat maupun di dunia. Nilai
investasi akherat tentu berupa pahala yang mengantarkan ke surga yang memberikan
kebahagiaan tak ternilai. Di samping itu juga Allah yang Mahakaya akan berkenan
memberikan panjar dalam kehidupan dunia dari sebagian balasan kebaikan dalam
berbagi itu. Hal ini dapat ditelaah dari QS al-Baqarah: 261
Perumpamaan orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah sama
dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai tumbuh
100 biji. Allah melipat gandakan (balasan) bagi siapa yang Dia kehendaki, dan Allah
Maha Luas (karuniaNya) lagi Maha Mengetahui.
Menafkahkan sebagian harta di jalan Allah biasanya akan terasa berat
dibandingkan dengan menafkahkan sebagian harta di jalan setan. Karena itu Allah
menyediakan ganjaran pahala yang besar sebesar 700 kali lipat bahkan hingga jumlah
yang tak terhingga. Jika kandungan ayat ini dicermati, maka dapat diketahui bahwa nilai
pahala atau balasan yang akan diterima si pemberi berbanding lurus dengan nilai
keikhlasannya saat berbagi atau memberi kepada orang lain. Dengan kata lain
berbanding terbalik dengan besar harapan memperoleh imbalan/balasan dari
pemberiannya itu
Kandungan ayat ini dapat dijelaskan dengan pendekatan matematika melalui
pembagian. Dalam sistem pembagian terdapat tiga komponen, yakni:
Penyebut melambangkan pemberian (dengan simbol P)
Pembagi melambangkan harapan si pemberi (dengan simbol h)
Hasil melambangkan jumlah balasan yang bisa diterima dari si pemberi (H).
Rumusnya adalah Pemberian = Hasil
harapan
Misalnya: Seseorang memberikan sedekah atau infak sebesar Rp. 1 juta kepada orang
miskin dengan harapan yang berbeda-beda. Orang tersebut akan memperoleh balasan
yang berbeda-beda pula yang dapat diilustrasikan sesuai dengan rumus di atas:
1 jt/500.000 = 2
1jt/400.000 = 2,5
1jt/300.000 = 3,3
1jt/200.000 = 5
1jt/100.000 = 10
1jt/50.000 = 20
1jt/25.000 = 40
1jt/20.000 = 50
1jt/10.000 = 100
1jt/5.000 = 200
1jt/2.500 = 400
1jt/1.000 = 1.000
1jt/0 =
Dari contoh di atas dapat diketahui bahwa semakin besar harapan si pemberi
akan mendapat balasan dari selain Allah maka akan semakin kecil nilai balasan yang
akan diperoleh secara riil. Sebaliknya, semakin kecil harapan si pemberi akan
mendapat balasan dari selain Allah, maka akan semakin besar nilai balasan yang akan
diperoleh secara riil. Besar kecilnya harapan kepada selain Allah itu dalam ajaran Islam
disebut IKHLAS. Jelasnya, semakin ikhlas dalam memberi maka akan semakin kecil
pengharapannya kepada selain Allah. Bahkan dalam tataran tertentu jika yang
bersangkutan mengosongkan harapannya kepada selain Allah, maka Allah akan
berkenan memberikan balasan yang tak terhingga jumlahnya secara riil. Itulah IKHLAS
yang sebenarnya.
Karena itu pula ikhlas tidak didasarkan kepada ucapan si pemberi, misalnya: "saya beri
dengan ikhlas" sebab yang tahu pemberian itu ikhlas atau tidak, hanyalah Allah dan si
pemberi. Yang menjadi tolok ukur keikhlasan dalam berbagi kepada sesama adalah
niat, dan niat itu ada dalam hati sehingga tiidak bisa direkayasa dengan ucapan seolah-
olah ikhlas.
Bukankah dalam realitas banyak orang yang memberi karena mengharapkan
sesuatu kepada manusia, baik berupa pujian, imbalan materi, kedudukan, status sosial
dan sebagainya. Namun terkadang merasa kecewa lantaran harapannya tak terwujud.
Membagi-bagi uang atau sembako kepada calon pemilih, memberi sumbangan kepada
panitia pembangunan masjid, majelis talim dengan harapan agar mereka berkenan
memilihnya dan jika menang dalam pemilihan maka akan memperoleh gaji plus
tunjangan besar sehingga bisa memperoleh uang atau harta yang banyak. Namun
ternyata harapannya melesat sehingga mengalami kerugian.
Sebaliknya, pemberian secara ikhlas meski nilai nomimalnya kecil namun bisa
mendatangkan keberkahan hidup. Yang terpenting sebenarnya bukan besarnya nilai
materi yang dimiliki namun nilai keberkahannya. Bisa jadi, harta yang dimiliki besar
jumlahnya namun belum tentu memberikan kebahagiaan lantaran tidak berkah.
Hartanya melimpah namun hidupnya tidak bahagia karena anaknya ketagihan miras
atau narkoba.
Itu bukan berarti umat Islam dilarang kaya namun alangkah berbahagianya jika
kekayaannya dapat memberikan kebahagiaan kepada orang lain melalui infak, sedekah
dan zakat yang diberikannya kepada orang yang membutuhkannya. Kebahagiaan
orang yang dibantunya secara psikologis akan memantul juga ke dalam hati si pemberi.
Rasa bahagia seperti itu sebenarnya sangat besar nilai bahkan tak ternilai dengan
materi. Namun terkadang manusia mencari kebahagiaan semu dan meninggalkan
kebahagiaan yang hakiki.
Memang banyak orang bahagia bukan karena pada manfaat dari apa yang dimilikinya
namun pada berapa jumlah yang dimilikinya. Sehingga bisa jadi hidupnya tampak
seperti orang miskin, padahal uangnya banyak. Dia tidak memanfaatkan uangnya untuk
kemaslahatan dirinya karena baginya, bahagia saat melihat tumpukan uangnya, atau
jumlah deposita.
Sedangkan orang dermawan bahagianya lantaran bisa membahagiakan orang lain
yang sedang kesusahan, karena itu dia tak akan mengharapkan balasan apa-apa
(pengharapannya nol) dari orang yang dibantunya, namun yang menjadi
pengharapannya adalah reda Allah. Jika keredlaan Allah bisa diraih maka hal itu bisa
memberikan manfaat besar dunia dan akherat. Wallahu a'lam bis shawab.