Anda di halaman 1dari 8

Integrasi Matematika dan Islam

Integrasi Matematika dan Islam


Dr. La Jamaa, MHI
A. Pendahuluan
Islam adalah agama yang diturunkan kepada umat manusia dalam segala ruang,
waktu dan kondisi. Karena itu ajaran Islam memiliki nilai kebenaran yang universal
sehingga bisa cocok untuk semua manusia yang mau menerima kebenaran. Dalam
kaitan ini Rasulullah saw telah mengajarkan bahwa ad-dinu huwa al-aqlu la dina la
aqla lahu (agama Islam sejalan dengan akal sehat, maka dianggap tak beragama bagi
orang yang tak berakal).
Makna hadis di atas bisa dikaitkan dengan kondisi manusia yang secara usia
telah masuk kategori dewasa karena telah berusia 17 tahun ke atas misalnya namun
jiwanya tidak sehat (gila) maka yang bersangkutan dianggap tidak cakap hukum
sehingga tidak dibebani kewajiban agama. Namun demikian makna hadis itu bisa
dikaitkan dengan manusia yang tidak menggunakan akal sehatnya untuk menerima
kebenaran. Dengan demikian ajaran Islam sangat menghargai pemanfaatan akal atau
rasio yang mengantarkannya kepada kebenaran yang hakiki dan sumber kebenaran itu
sendiri yaitu Allah. Bahkan dalam banyak ayat al-Quran diisyaratkan dalam bentuk
pertanyaan: afala taqilun (apakah kamu tidak menggunakan akalmu), afala
tatafakkarun (apakah kamu tidak berpikir)?
Berdasarkan asumsi di atas, matematika sebagai salah satu disiplin ilmu
pengetahuan bisa digunakan sebagai pendekatan dalam menjelaskan beberapa doktrin
dalam ajaran Islam. Penggunaan pendekatan matematika di sini bukan berarti bahwa
lemahnya doktrin ajaran Islam tersebut melainkan hanya untuk menambah keyakinan
umat Islam bahwa semua ilmu pengetahuan itu bernilai kebaikan dan bisa
mengantarkan kepada kebaikan yang hakiki serta meningkatkan keimanan dan
kedekatan kepada Allah. Bukankah dalam al-Quran sendiri, banyak ditemukan ayat
yang menggunakan angka-angka dalam menyampaikan informasi kebenaran kepada
manusia?
Karena itu tulisan ini akan mengulas sekilas hubungan matematika dengan
Islam, atau analisis beberapa doktrin ajaran Islam dengan pendekatan matematika.
B. Syarat dan Nilai Amal Ibadah
Ibadah berasal dari akar kata yang berari doa, mengabdi,
tunduk atau patuh kepada Allah. Secara istilah, ibadah adalah segala aktivitas yang
dilakukan dengan tujuan/motivasi (niat) untuk memperoleh redha Allah (pahala). Atau
segala kepatuhan yang dilakukan untuk mencapai rida Allah atau dengan
mengharapkan pahala-Nya di akherat.
Dengan demikian ibadah tidak hanya terbatas kepada aktivitas yang telah
ditentukan oleh syariat sebagai kewajiban atau anjuran (sunnat) akan tetapi ibadah
memiliki cakupan yang sangat luas. Kebanyakan umat Islam membatasi ibadah hanya
pada ibadah salat, puasa, zakat, haji serta beberapa ibadah lainnya. Sedangkan
aktivitas seperti menuntut ilmu, bekerja mencari nafkah bukan dikategorikan sebagai
ibadah, melainkan hanya aktivitas keduniaan semata. Padahal menurut Islam semua
aktivitas manusia bisa diarahkan kepada ibadah dan memang seharusnya semua
tindakan manusia harus bernilai kebaikan.
Ibadah dapat dibagi berdasarkan:
1. Tata cara pelaksanaannya, ibadah terbagi dua macam:
a. Ibadah Mahdah (ibadah khusus), yaitu ibadah yang tata cara pelaksanaannya telah
diatur secara jelas dan rinci (khusus) oleh syara, seperti shalat, puasa, zakat, haji,
nikah, dsb.
Ibadah mahdah disebut juga ibadah ritual karena harus dilakukan sesuai dengan ritual
(tata upacara) yang telah ditentukan dan orientasi utamanya untuk menjalin hubungan
dengan Allah. Dalam ibadah ini tidak boleh diubah tata caranya berbeda dengan yang
dicontohkan oleh Rasulullah saw. Dalam bidang ibadah mahdah dikenal bidah, yakni
amalan ibadah mahdah yang ditambah atau dikurangi dari apa yang dicontohkan oleh
Nabi saw atau sahabatnya, apalagi amal ibadah yang diada-adakan.
b. Ibadah ghairu mahdah (ibadah umum/universal), yaitu ibadah yang tata cara pe-
laksanaannya tidak diatur secara jelas dan rinci oleh syara, seperti menuntut ilmu,
bekerja mencari nafkah, menutup aurat, dsb.
Disebut ibadah umum/universal karena eksistensinya sebagai ibadah bersifat universal
(umum) tetapi tata cara pelaksanaannya diserahkan kepada adat istiadat (hasil kreasi,
inovasi) manusia.
Dalam ibadah ini syariat hanya menegaskan bahwa menuntut ilmu, bekerja mencari
nafkah, menutup aurat wajib hukumnya (ibadah) namun tata caranya tidak ditentukan
oleh syariat tetapi diserahkan kepada kreativitas dan inovasi manusia. Yang terpenting
ilmu yang dituntut itu bermanfaat bagi manusia dan kemanusiaan, bukan ilmu sihir atau
ilmu yang membahayakan manusia.
Misalnya:
Menutup aurat (kewajiban memakai jilbab) termasuk ibadah ghairu mahdah karena
yang dijelaskan al-Quran dan hadis hanya ketentuan wajib menutup aurat tetapi
ketentuan mengenai mode, kualitas kain dan sebagainya diserahkan kepada hasil
kreasi manusia. Dalam hal ini yang terpenting jilbab tersebut memenuhi syarat pakaian
yang menutup aurat yakni tidak ketat, tidak transparan serta tidak memperlihatkan
lekuk-lekuk tubuhnya (tidak merangsang).
Dalam bekerja mencari harta syariat hanya mengatur agar harta diperoleh dengan
cara-cara yang benar serta dimanfaatkan untuk kebaikan. Namun tidak diberikan
rincian mengenai jenis usaha yang akan digeluti dan teknik pelaksanaannya. Hal itu
mengandung hikmah agar umat manusia termasuk umat Islam memiliki kebebasan
dalam mencari jenis usaha dan bagaimana mewujudkannya. Yang terpenting dan harus
diperhatikan adalah usaha yang digeluti itu bukan jenis usaha yang diharamkan Allah
dan Rasul-Nya dalam al-Qur'an dan hadis, seperti riba, melakukan jual beli barang
haram, atau mengandung penipuan dan sejenisnya.
Menuntut ilmu juga adalah ibadah umum karena diperintahkan oleh Allah dan Rasul-
Nya dalam al-Quran dan hadis namun tata caranya tidak ditentukan secara khusus
oleh syara. Hal itu mengandung makna bahwa semua ilmu adalah berasal dari Allah
dan karena itu mengandung kebaikan untuk manusia dan kemanusiaan serta alam
semesta. Ilmu yang dilarang dipelajari hanya ilmu sihir atau black magic, yang memang
tidak bermanfaat dan bahkan dapat mendatangkan bahaya bagi manusia.
2. Berdasarkan manfaatnya, ibadah terbagi dua macam:
a. Ibadah Syakhsiyah (ibadah individual), yaitu ibadah yang berupa hubungan individu
dengan Tuhannya serta manfaat (pahala)nya hanya diperoleh/dinikmati individu yang
bersangkutan, seperti shalat, puasa, dsb. Jadi, manfaatnya hanya bersifat pribadi.
Ibadah syakhsiyah hanya memberikan pahala dan manfaat bagi pelakunya.
b. Ibadah ijtimaiyah (ibadah sosial), yaitu ibadah yang berupa hubungan antar sesama
manusia serta dapat dirasakan manfaatnya oleh orang lain, seperti zakat, sedekah,
infaq, berkurban, menuntut ilmu, bekerja mencari nafkah, dsb.
Disebut ibadah sosial karena dalam pelaksanaan ibadah-ibadah tersebut selain
menjalin komunikasi dan hubungan dengan Allah juga dapat terjalin hubungan
harmonis dengan sesama manusia (penerima zakat, sedekah, infaq, hewan kurban,
murid yang menerima ilmu, orang lain dapat memenuhi nafkahnya) dsb.
Memberi zakat, sedekah, infaq disebut ibadah sosial sebab diperintahkan Allah dan
Rasul-Nya dan manfaatnya dapat dirasakan oleh orang yang menerima zakat, sedekah
dan infaq tersebut. Demikian juga menuntut ilmu adalah ibadah sosial dan manfaatnya
dapat dirasakan oleh banyak orang jika ilmunya diajarkan kepada orang lain. Karena
itulah meski orang berilmu telah tiada namun pahalanya akan terus mengalir
berbanding lurus dengan jumlah orang yang mengamalkan ilmu yang diajarkannya.
Meskipun demikian perlu diketahui kriteria suatu amalan bisa dikategorikan
sebagai ibadah (bernilai kebaikan dan berpahala) atau justru menjadi dosa. Banyak
orang mengira suatu perbuatan bisa bernilai ibadah (kebaikan dan berpahala) jika
diniatkan untuk kebaikan, tanpa memperhatikan cara atau prosesnya. Sehingga dalam
realitas menimbulkan berbagai penyimpangan tanpa merasa bersalah bahkan merasa
telah melakukan kebaikan (ibadah) dengan bangga. Seolah-olah segala bentuk
perbuatan manusia akan langsung dinilai ibadah hanya berdasarkan pada niat baiknya.
Hal itu merupakan kesalahpahaman terhadap hadis niat, bahwa innamal a'malu bin
niyyat.
Padahal suatu perbuatan baru bisa dikategorikan sebagai ibadah jika memenuhi
minimal dua syarat secara kumulatif, yakni cara harus benar dan niatnya juga harus
benar menurut syara. Hal itu bisa digunakan pendekatan perkalian dalam matematika,
yang bisa diilustrasikan dengan rumus berikut ini.
Ibadah: caranya benar (+) x niatnya benar (+) = + (pahala/diredai Allah).
Misalnya: shalat dilakukan sesuai syarat dan rukunnya serta niatnya karena Allah.
Tata cara dan niat yang benar disimbolkan dengan tanda positif (+). Menurut
logika matematika perkalian positif (+) dengan positif (+) selamanya akan menghasilkan
positif (+) pula. Tidak pernah terjadi (mustahil) perkalian positif (+) dengan positif (+)
akan menghasilkan negatif (-).
Amalan tersebut harus dilakukan secara benar sesuai syariat dan diniatkan
karena Allah. Dalam shalat, harus dilakukan dengan tata cara yang benar seperti yang
dicontohkan oleh Rasulullah saw, baik syarat maupun rukun serta menghindari hal-hal
yang membatalkannya. Proses pelaksanaan shalat yang benar itu baru akan dinilai
sebagai ibadah di sisi Allah jika shalat yang didirikan itu diniatkan karena Allah.
Sebaliknya, menurut ajaran Islam suatu amalan tak akan dinilai ibadah di sisi
Allah jika niatnya salah (-), bukan karena Allah meskipun tata cara pelaksanaan amalan
tersebut telah benar (+), sesuai dengan ketentuan syariat Islam. Hal itu bisa dibuktikan
dengan amalan yang diniatkan karena pamer (riya) yang dalam Islam justru
dikategorikan sebagai salah satu perbuatan dosa (-). Jadi, jika salah satu atau kedua
syarat amalan tersebut bernilai negatif (-) maka amalan itu akan bernilai dosa (-).
Ilustrasinya seperti di bawah ini.
* Bukan ibadah: caranya benar (+) x niatnya salah (-) = - (dosa/dimurkai Allah).
Misalnya: shalat, zakat, sedekah dilakukan sesuai syarat dan rukunnya tetapi niatnya
karena riya. Begitu juga menikah dilakukan dengan memenuhi syarat dan rukunnya
tetapi niatnya untuk menyakiti istri/suami.
* Bukan ibadah: caranya salah (-) x niatnya benar (+) = - (dosa/dimurkai Allah).
Misalnya: mencuri dengan niat untuk menolong orang miskin dengan uang curian itu.
Memberi jawaban ujian kepada teman dengan niat menolong sesama teman.
Tata cara atau niat yang salah disimbolkan dengan tanda negatif (-). Menurut
logika matematika perkalian negatif (-) dengan positif (+) atau sebaliknya selamanya
akan menghasilkan nilai negatif (-) pula. Tidak pernah terjadi (mustahil) perkalian
negatif (-) dengan positif (+) akan menghasilkan positif (-).
Berdasarkan rumus di atas shalat, nikah, yang dilakukan bisa saja tata caranya
benar sesuai syariat namun karena niatnya tidak benar (karena ingin dipuji, riya) maka
nilai shalat dan nikah tersebut bukan ibadah melainkan dosa (-). Demikian pula
pemberian bantuan kepada fakir miskin atau orang-orang yang membutuhkannya, bisa
jadi dari harta yang halal namun jika bantuan itu diberikan dengan niat agar dianggap
dermawan apalagi agar dipilih dalam Pemilu/Pemilukada, maka bantuan itu tidak akan
bernilai ibadah (+) melainkan dosa (-). Sehingga sedekah/zakat yang disebut-sebut
untuk riya tak akan bernilai pahala, seperti diungkapkan dalam QS al-Baqarah: 264











Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu
dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang
menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah
dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada
tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah Dia bersih (tidak
bertanah). mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan
Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.
Rumus itu berlaku juga dalam amalan yang dilakukan dengan niat yang baik,
karena mencari reda Allah (+) namun dilakukan dengan cara yang salah, bertentangan
dengan syariat (-), maka tak akan menjadi ibadah (+) melainkan dosa (-). Misalnya,
memberikan bantuan untuk panti asuhan, pembangunan masjid, madrasah dan fasilitas
sosial lainnya dari uang korupsi. Maka meskipun diniatkan karena Allah namun karena
uang sumbangan diperoleh dari cara yang salah maka nilai amalannya bernilai dosa (-).
Dalam kaitan ini dosa korupsi tidak bisa dicuci dengan sedekah sebab yang
disedekah/disumbangkan bukan haknya melainkan hak rakyat. Hal itu dapat diibaratkan
dengan mandi, tujuan utamanya adalah untuk membersihkan badan dari
kotoran/keringat. Namun tujuan dari mandi tadi tak akan terwujud jika dia mandi
menggunakan air kotor.
Di samping itu dalam perbuatan zina yang terkadang mengakibatkan kehamilan
digunakan rumus:
* Bukan ibadah: caranya salah (-) x niatnya salah (-) = + (dosa/dimurkai Allah).
Karena berzina merupakan hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan di
luar ikatan perkawinan (cara yang salah) dan niatnya juga tentu bukan untuk hamil,
namun biasanya mudah hamil (+). Dalam tes kehamilan secara medis, peristiwa
kehamilan lebih dikenal dengan istilah positif, tidak hamil dikenal dengan negatif.
Karena itu dalam melakukan kebaikan hendaklah senantiasa memperhatikan
dua aspek yakni tata caranya harus benar dan diniatkan untuk Allah. Tidak bisa hanya
memperhatikan aspek tata cara dengan mengabaikan aspek niat. Begitu pula
sebaliknya.
C. Nilai Balasan atas Zakat, Infak dan Sedekah
Salah satu ajaran terpenting dalam Islam adalah mengeluarkan sebagian harta
di jalan Allah. Bahkan kepedulian untuk berbagi harta kepada sesama manusia itu
menjadi salah satu indikator orang bertakwa (muttaqin) seperti yang diisyaratkan dalam
QS al-Baqarah: 2-3

Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa,
(yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan
menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka.
Anjuran berbagi baik melalui infak, sedekah maupun zakat bukan sekedar
kewajiban melainkan mengandung nilai investasi baik di akherat maupun di dunia. Nilai
investasi akherat tentu berupa pahala yang mengantarkan ke surga yang memberikan
kebahagiaan tak ternilai. Di samping itu juga Allah yang Mahakaya akan berkenan
memberikan panjar dalam kehidupan dunia dari sebagian balasan kebaikan dalam
berbagi itu. Hal ini dapat ditelaah dari QS al-Baqarah: 261






Perumpamaan orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah sama
dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai tumbuh
100 biji. Allah melipat gandakan (balasan) bagi siapa yang Dia kehendaki, dan Allah
Maha Luas (karuniaNya) lagi Maha Mengetahui.
Menafkahkan sebagian harta di jalan Allah biasanya akan terasa berat
dibandingkan dengan menafkahkan sebagian harta di jalan setan. Karena itu Allah
menyediakan ganjaran pahala yang besar sebesar 700 kali lipat bahkan hingga jumlah
yang tak terhingga. Jika kandungan ayat ini dicermati, maka dapat diketahui bahwa nilai
pahala atau balasan yang akan diterima si pemberi berbanding lurus dengan nilai
keikhlasannya saat berbagi atau memberi kepada orang lain. Dengan kata lain
berbanding terbalik dengan besar harapan memperoleh imbalan/balasan dari
pemberiannya itu
Kandungan ayat ini dapat dijelaskan dengan pendekatan matematika melalui
pembagian. Dalam sistem pembagian terdapat tiga komponen, yakni:
Penyebut melambangkan pemberian (dengan simbol P)
Pembagi melambangkan harapan si pemberi (dengan simbol h)
Hasil melambangkan jumlah balasan yang bisa diterima dari si pemberi (H).
Rumusnya adalah Pemberian = Hasil
harapan

Misalnya: Seseorang memberikan sedekah atau infak sebesar Rp. 1 juta kepada orang
miskin dengan harapan yang berbeda-beda. Orang tersebut akan memperoleh balasan
yang berbeda-beda pula yang dapat diilustrasikan sesuai dengan rumus di atas:
1 jt/500.000 = 2
1jt/400.000 = 2,5
1jt/300.000 = 3,3
1jt/200.000 = 5
1jt/100.000 = 10
1jt/50.000 = 20
1jt/25.000 = 40
1jt/20.000 = 50
1jt/10.000 = 100
1jt/5.000 = 200
1jt/2.500 = 400
1jt/1.000 = 1.000
1jt/0 =
Dari contoh di atas dapat diketahui bahwa semakin besar harapan si pemberi
akan mendapat balasan dari selain Allah maka akan semakin kecil nilai balasan yang
akan diperoleh secara riil. Sebaliknya, semakin kecil harapan si pemberi akan
mendapat balasan dari selain Allah, maka akan semakin besar nilai balasan yang akan
diperoleh secara riil. Besar kecilnya harapan kepada selain Allah itu dalam ajaran Islam
disebut IKHLAS. Jelasnya, semakin ikhlas dalam memberi maka akan semakin kecil
pengharapannya kepada selain Allah. Bahkan dalam tataran tertentu jika yang
bersangkutan mengosongkan harapannya kepada selain Allah, maka Allah akan
berkenan memberikan balasan yang tak terhingga jumlahnya secara riil. Itulah IKHLAS
yang sebenarnya.
Karena itu pula ikhlas tidak didasarkan kepada ucapan si pemberi, misalnya: "saya beri
dengan ikhlas" sebab yang tahu pemberian itu ikhlas atau tidak, hanyalah Allah dan si
pemberi. Yang menjadi tolok ukur keikhlasan dalam berbagi kepada sesama adalah
niat, dan niat itu ada dalam hati sehingga tiidak bisa direkayasa dengan ucapan seolah-
olah ikhlas.
Bukankah dalam realitas banyak orang yang memberi karena mengharapkan
sesuatu kepada manusia, baik berupa pujian, imbalan materi, kedudukan, status sosial
dan sebagainya. Namun terkadang merasa kecewa lantaran harapannya tak terwujud.
Membagi-bagi uang atau sembako kepada calon pemilih, memberi sumbangan kepada
panitia pembangunan masjid, majelis talim dengan harapan agar mereka berkenan
memilihnya dan jika menang dalam pemilihan maka akan memperoleh gaji plus
tunjangan besar sehingga bisa memperoleh uang atau harta yang banyak. Namun
ternyata harapannya melesat sehingga mengalami kerugian.
Sebaliknya, pemberian secara ikhlas meski nilai nomimalnya kecil namun bisa
mendatangkan keberkahan hidup. Yang terpenting sebenarnya bukan besarnya nilai
materi yang dimiliki namun nilai keberkahannya. Bisa jadi, harta yang dimiliki besar
jumlahnya namun belum tentu memberikan kebahagiaan lantaran tidak berkah.
Hartanya melimpah namun hidupnya tidak bahagia karena anaknya ketagihan miras
atau narkoba.
Itu bukan berarti umat Islam dilarang kaya namun alangkah berbahagianya jika
kekayaannya dapat memberikan kebahagiaan kepada orang lain melalui infak, sedekah
dan zakat yang diberikannya kepada orang yang membutuhkannya. Kebahagiaan
orang yang dibantunya secara psikologis akan memantul juga ke dalam hati si pemberi.
Rasa bahagia seperti itu sebenarnya sangat besar nilai bahkan tak ternilai dengan
materi. Namun terkadang manusia mencari kebahagiaan semu dan meninggalkan
kebahagiaan yang hakiki.
Memang banyak orang bahagia bukan karena pada manfaat dari apa yang dimilikinya
namun pada berapa jumlah yang dimilikinya. Sehingga bisa jadi hidupnya tampak
seperti orang miskin, padahal uangnya banyak. Dia tidak memanfaatkan uangnya untuk
kemaslahatan dirinya karena baginya, bahagia saat melihat tumpukan uangnya, atau
jumlah deposita.
Sedangkan orang dermawan bahagianya lantaran bisa membahagiakan orang lain
yang sedang kesusahan, karena itu dia tak akan mengharapkan balasan apa-apa
(pengharapannya nol) dari orang yang dibantunya, namun yang menjadi
pengharapannya adalah reda Allah. Jika keredlaan Allah bisa diraih maka hal itu bisa
memberikan manfaat besar dunia dan akherat. Wallahu a'lam bis shawab.

Anda mungkin juga menyukai