Anda di halaman 1dari 3

Menyoal Amdal Jalan Tol

Semarang
(Kompas.com) PROYEK jalan tol Semarang-Solo, seksi I ruas Semarang-Ungaran dalam
pembangunan ulang. Pembangunan ulang itu terutama di Stasiun 5+200 sampai STA 5+700
sepanjang 800 meter di ruas Gedawang Susukan di Kecamatan Banyumanik, Kota Semarang,
Jawa Tengah.
Konsultan Teknik PT Jasa Marga (Persero), Alan Rahlan, Senin (28/3/2011) ketika
menyaksikan langsung kondisi medan jalan tol di Gedawang mengakui, jalan tol di ruas ini
berada di daerah rawan longsor. Tapi bukan berarti tidak dapat ditangani secara rekayasa teknik.
Penurunan level badan jalan termasuk upaya mengurangi beban tanah di lokasi tol tersebut.
Atas pembangunan kembali tol ruas Gedawang Susukan, Direktur Utama PT Trans
Marga Jateng (TMJ), Agus Suharjanto menilai proses perbaikan memakan waktu lama. Dia juga
tidak berani menjamin ruas tol tersebut, tidak ambles lagi.
Pada 26 Februari, jalan tol Seksi I Semarang Ungaran sepanjang 14,5 kilometer
sesungguhnya sudah selesai pembangunan konstruksinya. Jalan itu malahan digunakan jalur
peserta sepeda santai, sebagai wujud seremoni tidak resmi penanda tol segera berfungsi.
Tapi awal Maret 2011, jalan tol di ruas Gedawang itu retak memanjang di lima titik.
Keretakan badan jalan tol itu akibat penurunan level tanah di bagian timur, menyusul longsornya
tebing curam yang mengarah ke Kali Pengkol.
PT TMJ kemudian membongkar badan jalan, kemudian mengeruk badan jalan tol
sedalam tujuh meter. Jalan tol di ruas Gedawang memang dibangun di atas timbunan tanah
variasi setinggi 20- 30 meter. Tanah timbunan, di sis i timur terdapat jurang dalam lebih 30
meter. Dengan adanya pengurangan tanah tujuh meter, tinggi jalan tol menjadi kini antara 13-23
meter.
Kenapa proyek jalan tol itu, sebagian rutenya melewati daerah rawan longsor atau tanah
patahan? Apakah Amdal jalan tol ada yang salah, kemungkinan inilah yang sebenarnya menjadi
pangkal masalahnya.
Ketua Komidi D Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jawa Tengah, Rukma
Setiabudi berpendapat, daerah rawan longsor mestinya tidak digunakan sebagai rute jalan tol.
Jika tol itu berfungsi, mestinya harus menjamin keselamatan, kenyamanan dan keamanan
pengguna jalan tol. "Kalau ternyata proyek tol itu berlangsung, kemudian timbul masalah
jalannya retak, apakah mungkin kesalahan di Amdalnya?" tanya Rukma.

Bukan Kompetensinya
Amdal jalan tol Semarang Solo, yang diprakarsai Dinas Bina Marga Jawa Tengah dan
disusun oleh konsultan PT Virama Karya Jakarta, sudah mendapatkan Keputusan Kelayakan
Lingkungan Hidup dari Gubernur Jawa Tengah nomor 665.1/15/2005 pada tanggal 5 Oktober
2005.
Nugroho Widi Asmadi, peneliti di Lembaga Penelitian Universitas Wahid Hasyim
Semarang mengungkapkan, proyek jalan tol itu tidak akan melewati daerah longsor apabila
kajian atas penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) digarap dengan benar.
"Kebenaran penyusunan Amdal sudah digugat masyarakat sejak 2006, menyusul adanya
perubahan rute rencana jalan tol Semarang Solo mestinya tidak melewati Klentengsari dan
Pedalangan di Banyumanik," ujar Nugroho.
Ia mengatakan, pengesahan penyusunan Amdal jalan tol Semarang Solo itu bertentangan
dengan perda Kota Semarang Nomor 12 Tahun 2004 Tentang Rencana Detail Tata Ruang Kota
Semarang dan Perda Nomor 5 tahun 2004 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Semarang.
Sesuai perda ini, rute jalan tol semula Tembalang Lapangan Undip Tembalang Jatimulyo
Kramas - Gedawang. Diduga ada kepentingan tertentu, rute tol itu kemudian berubah menjadi
Kramas Klentengsari Tirtoagung Gedawang yang kini dibangun jalan tol.
Nugroho yang pernah menangani proyek Amdal di beberapa negara Afrika, Asia dan
Amerika Latin mencatat pula, pelanggaran penting yang juga dilakukan tim penyusun Amdal
adalah mengabaikan surat Kementerian Lingkungan Hidup RI.
Surat Pemerintah Pusat melalui Kementerian Lingkungan Hidup RI nomor B-
6049/Dep.V-4/LH/07/2007 tanggal 31 Juli 2007 pokok isinya tidak mengesahkan Right of Way
(ROW) dan Detail Engineering Design (DED) pembangunan jalan tol Semarang Solo sebelum
pelanggaran rute diatasi.
Surat ini ditujukan Kepala Badan Pengelola Jalan Tol (BPJT) Kementerian PU, Gubernur
Jateng, Wali Kota Semarang, Kepala Dinas Bina Marga Jateng dan Kepala Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah Kota Semarang. Kenyataannya, nasib suratnya ini pun diabaikan pula.
Sisi lain, Amdal juga tidak mengindahkan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 27 Tahun
1999 tentang Amdal yang sudah jelas mengatur keterlibatan masyarakat proses acuan
penyusunan Amdal. "Keterlibatan masyarakat disini artinya luas, tidak hanya masyarakat umum
yang terkena atau dilewati proyek jalan tol, tapi juga masyarakat ahli berbagai bidang ilmu untuk
mencermati soal Amdal," ujar Nugroho.

Mengabaikan Saran Penilai Amdal


Peneliti transportasi di Fakultas Teknik Unika Soegijapranata Semarang yang juga
anggota Tim Penilai Amdal Jalan Tol, Djoko Setijowarno menduga, pihak perusahaan penyusun
Amdal itu juga dapat paket pekerjaan penyusunan desain rekayasa detil (Detail Engineering).
Padahal, penyusunan Amdal bukan kompetensinya, diperkiraan pekerjaan itu diserahkan pihak
ketiga.
Proses Amdal yang janggal itu, lanjut Djoko, membuat banyak kalangan akademi di
Semarang menilai Amdal jalan tol itu asli tapi palsu (aspal). "Artinya, ada beberapa ahli
tercantum namanya tapi tak terlibat langsung penyusunan Amdal," katanya.
Pengamat Geologi Fakultas Teknik Universitas Diponegoro Semarang, Dwiyanto J.
Saputro mengatakan, jalan tol itu mestinya menghindari daerah patahan. Ini salah satu saran
penting yang ternyata diabaikan tim penyusun Amdal.
Jika saat ini jalan tol di Gedawang terbukti lewat daerah patahan, itu akibat tiadanya ahli
geologi, geomekanika dan hidrologi (ahli air) yang terlibat di proses penyusunan Amdal jalan tol
dari awal.

Diperoleh informasi, sebelum Amdal jalan tol itu disahkan Gubernur Jateng (kala itu
Mardiyanto) pada Oktober 2005, telah melalui sidang-sidang kajian dan analisa Tim Penilai
Amdal. Tim-tim itu bersidang sepanjang 2004/2005, terdiri tim teknis dan anggota komisi
dengan pihak tim penyusun dan konsultan Amdal jalan tol di Kantor Badan Lingkungan Hidup
Provinsi Jateng. Pakar-pakar lokal di Semarang, baru terlibat setelah proses penyusunan Amdal
mendekati akhir.
Dengan mengabaikan sejumlah saran Tim Penilai Amdal jalan tol, tanda-tanda amblesnya
tanah di ruas tol Gedawang sudah muncul sejak 2009 ketika pembangunan proyek jalan tol sudah
mencapai jarak enam kilometer dari pintu tol Banyumanik di Kramas, Kota Semarang.
Penurunan level tanah di Gedawang makin kerap terjadi, mengingat daerah timbunan
tanah setinggi 30 meter ini diapit dua sungai besar yakni Sungai Kaligarang disisi barat dan Kali
Pengkol di sebelah timur.
Anggota Tim Teknis Komisi Penilai Amdal Provinsi Jateng, Dwi P. Sasongko
menyatakan, amblesan dan retakan tanah karena pergerakan tanah pada ruas Gedawang
Penggaron di Stasiun 5+500 dan STA 5+700. Kerentanan tanah disini kerap terjadi akibat pula
perubahan tata guna lahan.
Daerah patahan paling ideal, sebagai daerah resapan air. Gedawang hingga hutan wisata
Penggaron selama ini, sebelum dibangun jalan tol, merupakan daerah resapan dan kawasan hutan
lindung, tempat sumber air bagi Kota Semarang.
"Potensi terjadinya amblesan dan retakan tanah di rute tol baru itu, sama sekali tidak
diprediksi dan dievaluasi dampaknya. Dokumen Amdal yang sudah dibuat, juga tidak terekam di
rekomendasi pengelolalaannya pada dokumen Rencana Pemantauan Lingkungan," kata Dwi
Sasongko, peneliti di Pusat Penelitian Lingkungan Hidup, Undip Semarang.

Anda mungkin juga menyukai