1.Nadji Palemmui Shima(2006: 4-7) yang berjudul Arsitektur Rumah Tradisional Bugis. Pada bagian awal buku
ini diuraikan mengenai tradisi membangun rumah oleh suku Bugis yang memandang rumahnya sebagai
manifestasi dari alam yang menjadi pusat siklus kehidupan manusia. Tempat manusia dilahirkan, dibesarkan,
menikah, dan meninggal. Oleh karena itu, rumah dipandang sakral dan diperlakukan dengan sangat hormat,
agar keberadaannya dapat memberikan kedamaian, kesehatan, keselamatan, kesejahteraan, dan kehormatan
bagi penghuninya. Pada bagian akhir buku ini dibahas ragam hias pada rumah Bugis yang berpola dari alam
tumbuh-tumbuhan dan hewan. Ukiran yang berpola tumbuh-tumbuhan mengambil bentuk bunga parenreng,
sejenis tumbuhan yang menjalar ke mana-mana dan tidak ada putus-putusnya. Ukiran ini bermakna rezeki
penghuni rumah yang tiada putus-putusnya. Ukiran yang berpola hewan umumnya mengambil bentuk tiga
macam hewan, yaitu pola ayam jantan, kepala kerbau, dan naga. Bagi orang Bugis, ayam jantan adalah simbol
keberanian dan bermakna kehidupan penghuni rumah senantiasa baik-baik dan tenteram. Ukiran ayam jantan
ditempatkan pada puncak bubungan atap rumah, pada ujung depan, dan belakang.
2. Pangeran Paita Yunus (2009: 2-7) dengan judul Kemahiran Lokal (Local Genius) dalam Ragam Hias Bugis
(Kajian Ragam Hias pada Rumah Tradisional Bugis dalam Unsur-Unsur Estetika Bentuk), sebuah tesis yang
membahas ragam hias yang terdapat pada rumah tradisional Bugis Sulawesi Selatan. Dalam penelitian itu
diuraikan secara detail makna simbolis ragam hias yang terdapat bagian atas, bagian tengah, dan bagian
bawah rumah tradisional Bugis. Motif hias yang diterapkan pada rumah bagian atas di antaranya: motif hias
ayam jantan (manu), motif kepala kerbau (ulu tedong), motif ular naga (naga), motif bunga parenreng, dan
motif bulan bintang. Ragam hias pada badan rumah, di antaranya motif pucuk rebung/jantung pisang (cobo-
cobo), dan motif geometris, sedangkan ragam hias yeng terdapat pada rumah bagian bawah, antara lain
bunga parenreng dan ular naga. Penelitian itu juga mengungkapkan bahwa suku Bugis Sulawesi Selatan
menyakini bahwa bentuk fisik dari rumah tradisionalnya, termasuk ragam hiasnya, mencerminkan nilai-nilai
budaya Bugis. Nilai-nilai kebudayaan Bugis dimaksud adalah Alempureng (kejujuran), Amaccang
(kecendikiaan), Asitinajang (kepatuhan), Agettengeng (Keteguhan), reso' (usaha), siri (rasa malu, harga diri),
Awaraningeng (keberanian), saling tolong menolong (sipatuwo sipatokkong), dan lain sebagainya. Hal ini dapat
dilihat pada penerapan tertentu pada bagian-bagian tertentu dari suatu rumah menunjukkan bahwa
Pangngadereng atau norma dan peraturan-peraturan adat untuk masyarakat, pelaksanaannya harus dimulai
dari kehidupan rumah tangga. Oleh karena itu, dibuatkan bentuk-bentuk tertentu dari bagian-bagian rumah
yang mengandung fungsi, makna dan simbol-simbol tertentu dari nilai-nilai utama kebudayaan Bugis yang
terdapat dalam aspek pangngadereng, agar tidak dilupakan.
3.Buku yang ditulis oleh Izarwisma Mardanas, Rifai Abu, dan Maria (1985: 7) berjudul Arsitektur Tradisional
Daerah Sulawesi Selatan, memuat analisis arsitektur tradisional dari empat etnis yang ada di Sulawesi
Selatan, yakni etnis Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja. Buku itu membahas jenis rumah tradisional yang
ada pada empat etnis di daerah Sulawesi Selatan. Di dalam salah satu bab mengurai tentang bentuk ragam
hias dan tata cara pembuatan rumah tradisional di daerah Sulawesi Selatan.
Dalam bab tiga yang secara khusus membahas ragam hias dikemukakan secara umum pola dasar dan
sumber ragam hias dari empat etnis yang mendiami daerah Sulawesi Selatan, yakni ragam hias yang
bersumber dari flora, fauna, alam sekitar, dan tulisan kaligrafi. Jenis ragam hias flora yang menonjol adalah
penerapan motif hias bunga parenreng yang biasanya ditempatkan pada papan jendela, induk tangga, atau
pada tutup bubungan. Motif hias yang tampil dalam bentuk fauna, terdapat tiga macam ragam hias yang
umumnya ditemukan pada rumah orang Bugis. Ketiga ragam hias fauna itu adalah motif ayam jantan, motif
kepala kerbau, dan motif naga. Dalam bentuk lain dikenal pula beberapa ragam hias, baik yang berbentuk
benda-benda yang ada di alam maupun hal yang terkait dengan agama dan kepercayaan. Bentuk yang
bersumber dari alam dikenal dengan sebutan motif uleng lolo yang berarti bulan sabit. Motif ini biasanya
dikombinasikan dengan bentuk bintang lima. Pada bagian akhir bab ini, di samping mengulas motif hias bulan
sabit dan bintang, diulas pula motif-motif kaligrafi yang diterapkan pada bangunan arsitektur Bugis.
BAB 111
PEMBAHASAN
A. Ornamen/Ragam Hias
Ragam hias bangunan arsitektur Bugis umumnya bersumber dari alam sekitar, biasanya berupa flora, fauna dan
tulisan huruf Arab atau kaligrafi.Ragam hias flora biasanya berupa bunga parengreng yang berarti bunga yang menarik.
Bunga ini hidupnya menjalar berupa sulur-sulur yang tidak ada putus-putusnya. Biasanya ditempatkan pada papan jendela,
induk tangga dan tutup bubungan. Makna bunga parengreng ini diibaratkan sebagai rezeki yang tidak terputus seperti
menjalarnya bunga parengreng.
Gambar1.1:ornamen bunga parenreng
Ragam hias flora yang berupa sulur-sulur bunga yang menjalar biasanya menggunakan teknik pahat tiga dimensi
yang membentuk lobang terawang. Bentuk demikian selain makin menampakkan keindahan karena adanya efek
pencahayaan yang dibiaskan juga dapat menyalurkan angin dengan baik.
Ragam hias fauna berupa ayam jantan, Ayam jantan dalam bahasa Bugis disebut manuk yang berarti baik-baik.
Selain itu juga sebagai simbol keberanian. Biasanya ditempatkan di puncak bubungan rumah bagian depan atau belakang.
B.Arsitektur Neo-Vernakuler
Arsitektur neo-vernakular, tidak hanya menerapkan elemen-elemen fisik yang diterapkan dalam bentuk modern
tapi juga elemen non fisik seperti budaya, pola pikir, kepercayaan, tata letak, religi dan lain-lain.
Bangunan adalah sebuah kebudayaan seni yang terdiri dalam pengulangan dari jumlah tipe-tipe yang terbatas dan
dalam penyesuaiannya terhadap iklim lokal, material dan adat istiadat. (Leon Krier).
Neo berasal dari bahasa yunani dan digunakan sebagai fonim yang berarti baru. Jadi neo-vernacular berarti bahasa
setempat yang di ucapkan dengan cara baru, arsitektur neo-vernacular adalah suatu penerapan elemen arsitektur yang telah
ada, baik fisik (bentuk, konstruksi) maupun non fisik (konsep, filosopi, tata ruang) dengan tujuan melestarikan unsur-unsur
lokal yang telah terbentuk secara empiris oleh sebuah tradisi yang kemudian sedikit atau banyaknya mangalami
pembaruan menuju suatu karya yang lebih modern atau maju tanpa mengesampingkan nilai-nilai tradisi setempat.
Arsitektur Neo-Vernakular merupakan suatu paham dari aliran Arsitektur Post-Modern yang lahir sebagai respon
dan kritik atas modernisme yang mengutamakan nilai rasionalisme dan fungsionalisme yang dipengaruhi perkembangan
teknologi industri. Arsitektur Neo-Vernacular merupakan arsitektur yang konsepnya pada prinsipnya mempertimbangkan
kaidah-kaidah normative, kosmologis, peran serta budaya lokal dalam kehidupan masyarakat serta keselarasan antara
bangunan, alam, dan lingkungan.
pada intinya arsitektur Neo-Vernacular merupakan perpaduan antara bangunan modern dengan bangunan bata pada
abad 19
Batu-bata dalam kutipan diatas ditujukan pada pengertian elemen-elemen arsitektur lokal, baik budaya masyarakat
maupun bahan-bahan material lokal.
Aliran Arsitektur Neo-Vernacular sangat mudah dikenal dan memiliki kelengkapan berikut ini : hampir selalu
beratap bubungan, detrail terpotong, banyak keindahan dan bata-bata. Bata itu manusiawi, jadi slogannya begitu
manusiawi.
Arsitektur neo-vernakular, banyak ditemukan bentuk-bentuk yang sangat modern namun dalam penerapannya masih
menggunakan konsep lama daerah setempat yang dikemas dalam bentuk yang modern. Arsitektur neo-vernakular ini
menunjukkan suatu bentuk yang modern tapi masih memiliki image daerah setempat walaupun material yang digunakan
adalah bahan modern seperti kaca dan logam. Dalam arsitektur neo-vernakular, ide bentuk-bentuk diambil dari vernakular
aslinya yang dikembangkan dalam bentuk modern.
Hai...., pada kesempatan kali ini, akan dibahas mengenai kebudayaan atau kesenian di Sulawesi Selatan,
khususnya suku Bugis dan Makassar, yang mendapat pengaruh dari masuknya Islam di daerah tersebut.
Islam pertama kali masuk ke Sulawesi Selatan diperkirakan pada abad ke-17 diawali dengan kedatangan tiga
mubalig dari Minangkabau, yaitu Datuk ri Bandang, Datuk ri Tiro, dan Datuk ri Patimang. Tiga mubalig ini
berhasil mengislamkan elite-elite kerajaan Gowa-Tallo dan menjadikan Islam sebagai agama resmi kerajaan
pada tahun 1607.
Menurut pakar sejarah Islam Sulsel Prof Ahmad M. Sewang, keberhasilan penyebaran Islam terjadi setelah
memasuki awal Abad XVII dengan kehadiran tiga orang mubalig yang bergelar datuk dari Minangkabau.
Lontara Wajo menyebutkan bahwa ketiga datuk itu datang pada permulaan Abad XVII dari Koto Tangah.
Mereka dikenal dengan nama Datuk Tellue (Bugis) atau Datuk Tallua (Makassar), yaitu: Abdul Makmur, Khatib
Tunggal, yang lebih populer dengan nama Datuk ri Bandang; Sulaiman, Khatib Sulung, yang lebih populer
dengan nama Datuk Patimang; serta Abdul Jawad, Khatib Bungsu, yang lebih dikenal dengan nama Datuk ri
Tiro. Ketiga ulama tersebut diutus secara khusus oleh Sultan Aceh dan Sultan Johor untuk mengembangkan
dan menyiarkan agama Islam di Sulawesi Selatan.
Namun, inisiatif untuk mendatangkan mubalig khusus ke Makassar sudah ada sejak Anak Kodah Bonang. Ia
adalah seorang ulama dari Minangkabau sekaligus pedagang yang berada di Gowa pada pertengahan Abad
XVI (1525).
Dia memaparkan, berdasarkan teori Islamisasi di Makassar yang digagas penulis Belanda J Noor Duyn,
periode perkembangan Islam di daerah ini dibagi atas tiga, masing-masing kedatangan Islam, penerimaan
Islam, dan yang ketiga adalah penyebaran Islam.
"Namun teori yang kita gunakan dan diketahui secara umum adalah teori penerimaan Islam di Sulsel pada
abad ke-17. Sementara teori tentang masuknya Islam di Sulsel sudah ada pada abad ke-16," jelas Pembantu
Rektor I Universitas Negeri Islam (UIN) Alauddin Makassar ini.
Dia menjelaskan, setiba di Makassar, ketiga ulama ini tidak langsung melaksanakan misinya, tetapi lebih dulu
menyusun strategi dakwah. Mereka memperoleh keterangan dari orang-orang Melayu yang banyak tinggal di
Gowa, bahwa raja yang paling dimuliakan dan dihormati adalah Datuk Luwu, sedangkan yang paling kuat dan
berpengaruh ialah Raja Tallo dan Raja Gowa.
Setelah mendapat penjelasan, mereka berangkat ke Luwu untuk menemui Datuk Luwu, La Patiware Daeng
Parabu. Datuk Luwu adalah raja yang paling dihormati, karena kerajaannya dianggap kerajaan tertua dan
tempat asal nenek moyang raja-raja Sulawesi Selatan.
Ketiganya mengislamkan Datuk Luwu yang kemudian diberi nama Islam, Sultan Muhammad Mahyuddin pada
bulan Februari tahun 1605, lalu Raja Tallo Imalingkaan Daeng Mayonri Karaeng Katangka (Sultan Abdullah
Awalul Islam) yang hampir bersamaan dengan raja Gowa Sultan Alauddin pada 22 September 1605. "Jadi
sebenarnya dari Luwu dulu yang masuk Islam, namun yang lebih dikenal adalah Kerajaan Tallo dan Gowa,
karena memang besar dan diumumkan kepada masyarakatnya," ungkap Ahmad Sewang.
Selain itu, kata dia, Sultan Alauddin pula yang menggelar salat Jumat besar-besaran pada tahun 1607 dan
mengumumkan secara formal bahwa agama kerajaan adalah adalah Islam dan menjadikan kerajaan Gowa
sebagai pusat penyebaran Islam. Sejak agama Islam menjadi agama resmi di Gowa-Tallo, kedudukan Sultan
Alauddin makin kuat. Sultan Alauddin dipandang sebagai pemimpin Islam di Sulawesi Selatan. Beliau diakui
sebagai Amirul Mukminin (kepala agama Islam).
Dalam buku Menyingkap Tabir Sejarah dan Budaya di Sulawesi Selatan oleh HA Massiara Dg Rapi,
disebutkan penyebaran Islam dilakukan baik melalui pendekatan struktural maupun kultural. Adapun
pendekatan kultural dilakukan dengan cara kerajaan mengutus para mubalig ke seluruh pelosok-pelosok
daerah. Sementara, pendekatan struktural dilakukan Kerajaan Gowa-Tallo dengan menyebarkan Islam kepada
rakyat Gowa-Tallo dan juga segera menyebarkannya ke kerajaan-kerajaan lainnya.
Cara pendekatan yang dilakukan oleh Sultan Alauddin dan pembesar Kerajaan Gowa adalah mengingatkan
perjanjian persaudaraan lama antara Gowa dan negeri atau kerajaan yang takluk atau bersahabat yang
berbunyi antara lain: barang siapa di antara kita (Gowa dan sekutunya atau daerah taklukannya) melihat suatu
jalan kebajikan, maka salah satu dari mereka yang melihat itu harus menyampaikan kepada pihak lainnya.
Karena itu, dengan dalih bahwa Gowa sudah melihat jalan kebajikan, yaitu agama Islam, Kerajaan Gowa
meminta kepada kerajaan-kerajaan taklukannya agar turut memeluk agama Islam.
Sementara, menurut salah seorang keturunan Datuk ri Bandang, Ince Muhammad Anas Hasan, kondisi
kehidupan sosial, budaya, dan cara perniagaan pedagang Islam lambat laun terdengar oleh Raja Gowa IX
Daeng Matanre Karaeng Mapirisika Kallonna pada abad ke-15.
Raja kemudian membandingkan kultur yang dipakai dan sosial budaya yang dibawa oleh orang- orang yang
beragama Islam, yang memang sudah mempunyai ketentuan-ketentuan yang bermaktub dalam satu kitab
yang mereka (pedagang Islam) patuhi. "Mulai saat itu, raja tertarik kepada tata tertib kemasyarakatan yang di
bawah untuk dapat diterapkan dan dikerjakan," jelas Ince yang juga Ketua Yayasan Dato (Datuk) ri Bandang
Sulsel.
Dengan berkembangnya Islam di wilayah Sulawesi Selatan, tentu hal tersebut memberikan pengaruh yang
cukup besar di berbagai bidang dalam kehidupan. Politik, ekonomi, sosial, dan juga sosial budaya. Pada
kesempatan kali ini, akan dibahas mengenai pengaruh Islam dalam bidang kebudayaan atau kesenian.
Jika berkunjung ke Makassar pada saat-saat perayaan Maulid, di kiri-kanan jalan kita akan menemukan
penjual-penjual hiasan telur yang telah menjadi tradisi perayaan maulid di sana. Jadi, di saat perayaan maulid,
orang-orang akan datang ke masjid terdekat untuk merayakannya dengan membawa telur yang disimpan
dalam sebuah tempat dengan tangkai di bawahnya. Tempat telur tersebut biasanya dihiasi menggunakan
kertas warna-warni atau di cat agar tampak menarik. Selain itu, ada juga tradisi khatam quran, di mana
diadakan upacara bagi anak-anak yang sudah khatam mengaji. Upacara tersebut sangat meriah dan hampir
mirip dengan acara resepsi pernikahan,loh... . Lalu, bagi orang-orang Bugis-Makassar, perempuan pun harus
di sunnat, dan ada juga acara perayaannya.
Nah, itu adalah sekilas kebudayaan Islam yang terdapat di wilayah Sulawesi Selatan. Untuk lebih lengkapnya,
yuk, simak penjelasan di bawah ini....
pembacaan barzanji
Agama Islam masuk ke Sulawesi Selaan dengan cara yang sangat santun dan menghormati kebudayaan serta
tradisi masyarakat Bugis Makassar. Buktinya dapat dilihat dalam tradisi-tradisi keislaman yang berkembang di
Sulawesi Selatan hingga kini.
Tradisi mabbarazanji salah satunya, yaitu tradisi pembacaan Barazanji, sebuah kitab yang berisi sejarah Nabi
Muhammad SAW. Kitab tersebut dibacakan setiap hajatan dan acara doa-doa selamatan. Bahkan, ketima
membeli kendaraan baru, dan lain sebagainya. Tradisi Mabbarazanji ini merupakan bukti terjadinya asimilasi
damai antara budaya Bugis Makassar.
Sebelum kedatangan Islam di Sulawesi selatan, setiap diadakan acara atau ritual adat, seringkali diisi dengan
pembacaan naskah I La Galigo dan Meongpalo Karellae. Para penyebar agama Islam tidak berusaha
mematikan kreatifitas tradisional orang Bugis Makassar, namun mengislamkannya dengan jalan mengganti
bacaan-bacaan tersebut dengan sejarah kehidupan Rasulullah SAW.
Islam mistik juga bergembang di wilayah Sulawesi Selatan. Konon, ketiga penyair Islam, Datuk Ditiro, Datuk
Patimang, dan Datuk Ri Bandang memang sengaja dikirim ke Sulawesi Selatan untuk menyiarkan Islam
karena ketiganya adalah penganut Islam yang kuat di bidang sufistik (tasawuf). Hal ini dimaksudkan untuk
mensinergikan pengetahuan mistik masyarakat Bugis Makassar yang mereka pelajari dari naskah I La Galigo
dan lontara-lontara peninggalan nenek moyang mereka.
Oh iya, pembacaan barazanji juga diadakan pada setiap perayaan siklus kehidupan, seperti perayaan alahere
(kelahiran anak), aqeqah (aqiqah), appasunna (khitan), appatamma (menamatkan pendidikan atau bacaan
alquran), appabunting (perkawinan), menre bola (naik rumah), baik ri makkah (akan berangkat haji),
ammateang (kematian), dan lain sebagainya.
Pemacaan barazanji juga suka dijadikan ladang untuk mencari rezeki bagi anak-anak bahkan orang dewasa
yang mondok di pesantren atau yang memang mempelajari cara pembacaan barazanji dengan indah.
Dalam masyarakat Bugis Makassar perayaan-perayaan hari-hari besar Islam masih sangat kental dengan
nuansa dan warna sinkretisme. Contohnya adalah perayaan maulid Nabi Muhammad SAW yang memiliki
rentetan acara sebagai berikut :
- Appakaramula
- Ammone baku
- Ammode baku
- Angngantara kanre maudu
- Pannarimang kanre maudu
- Arate (assikkir)
- Pammacang salawa
- Pattoanang
- Pabbageang kanre maudu
Perayaan hari-hari besar Islam juga menghadirkan pembacaan zikir Barazanji. Selain maulid nabi, barazanji
juga dibacakan acara-acara Islam yang diadakan dengan perayaan khusus, seperti Isra Miraj, sepuluh
Muharram, bahkan pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Masyarakat biasanya menyelenggarakan
pembacaan barazanji dengan mengundang pabaca doank (pembaca doa, biasanya imam kampung atau
anrong guru) ke rumahnya untuk membacakan segala jenis rupa makanan dengan diiringi bau asap
kemenyan.
3. Tradisi Berziarah
Tradisi berziarah biasanya dilaksanakan usai pelaksanaan acara penting dalam hidup seseorang. Seperti usai
melaksanakan acara perkawinan maka kedua mempelai mengunjungi kuburan (berziarah) ke makam keluarga
dan nenek moyangnya.
Namun, tradisi ini umumnya dilaksanakan masyarakat usai melaksanakan sholat Idul Fitri. Sehabis dari masjid
aau lapangan, langsung menuju ke pemakaman umum untuk menziarahi kuburan keluarga. Di sana, mereka
menabur bunga seraya memanjatkan doa keselamatan bagi keluarga yang telah mendahului serta
keselamatan dan berkah bagi yang masih hidup.
Tradisi ini berkenaan dengan permulaan mengaji bagi anak-anak di kampung yang mengaji kampung.
Biasanya dipersyaratkan sebelum memulai mengaji di tuan guru atau pada guru mengaji untuk membawa
pisang beberapa sisir ke rumah sang guru.
Berbeda dengan guru TK/TPA yang umum dikenal sekarang ini, sang guru mengaji kampung ini biasanya tidak
digaji tapi cukup dibalas dengan keharusan bagi murid-muridnya untuk mengangkatkan air untuk kebutuhan
sehari-hari sampai tempat air (baranneng) sang guru penuh. Dalam melakukan tugas ini, murid-murid sang
guru saling bergantian satu sama lain untuk memenuhi barenneng tersebut.
Setelah anak-anak mengaji tersebut khatam juz amma atau alquran 30 juz, mereka disyaratkan untuk
Nipatamma, yaitu tradisi mengakhiri suatu kumpulan bacaan dengan hantaran makanan berupa pisang
beberapa sisir, makanan sokko (beras ketan) yang di dalamnya terdapat ayam, telur, dan lain sebagainya
yang dibaca dalam satu kappara (wadah makanan yang disajikan).
Tradisi ini dilaksanakan saat perayaan hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Tradisi ini dikenal secara umum
dengan istilah lebaran atau Maleppe. Tradisi ini dilaksanakan seusai melaksanakan sholat ied. Masyarakat
berbondong-bondong saling mengunjungi satu sama lain sesama kerabat handai taulan. Kegiatan saling
mengunjungi ini disebut assiara (silaturahmi).
Biasanya, di rumah-rumah penduduk disajikan makanan khas lebaran, seperti burasa, mandura atau ketupat,
serta sajian makanan ayam dan ikan bandeng. Pada masyarakat yang masih memegang kepercayaan lamaya,
sajian makanan lebaran tersebut harus dibaca terlebih dahulu oleh puang anre guru atau daeng imam
(pemuka agama atau imam)
6. Tradisi Perayaan 10 Muharram (Asyura)
Tradisi ini ditandai dengan ramainya masyarakat Bugis Makassar di daerah-daerah pedalaman membuat
bubur yang disebut jepe syura. Bubur tersebut dihiasi dengan berbagai macam potongan-potongan panjang
telur dadar warna-warni, tumpi-tumpi kecil, udang, dan lain-lain.
7. Upacara Khitanan
upacara Makkatte'
Sunatan atau khitanan merupakan salah satu upacara yang senantiasa dilaksanakan sebagai pelengkap
dalam daur hidup masyarakat Bugis Makassar. Kegiatan ini dilaksanakan pada saat anak laki-laki berusia
sekitar 13 tahun dan pada anak perempuan berusia 5 7 tahun. Bagi laki-laki, sunatan disebut dengan
massunna sedangkan bagi perempuan disebut dengan Makkatte. Sedangkan kegiatannya sendiri
disebut dengan appasunna. Acara sunatan ini sering juga disebut dengan mappaselleng (pengislaman).
Pada anak perempuan disertai dengan upacara ripabbajui (mappasang baju bodo), sebanyak lima atau
tujuh lembar. Upacara ripabbajui ini merupakan upacara pertama kalinya seorang anak mengenakan
baju bodo. Bagi mayarakat bugis yang memegang adat, anak perempuan yang belum pernah ripabbajui
tidak diperbolehkan menggunakan baju bodo.
Upacara Appasunna (Khitanan Adat) di pangkep dikenal dua versi. Perbedaannya hanya waktu dan
urutan kegiatan sebab satu dilaksanakan pada siang hari dan satunya dilaksanakan pada malam hari,
sehingga boleh dikata tidak ada perbedaan sama sekali. Versi pertama dengan urutan kegiatan Menre
Baruga, Mammata-mata, Allekke Jene, Appassili, Nipasintinggi Bulaeng dan Nipasalingi, Appamatta
dan Khitanan (Nisunna).
Pada versi ini acara mammata-mata ditempatkan pada urutan kedua karena sesudah acara menre
baruga sekaligus dilangsungkan acara mammata-mata. Pada acara acara menre baruga, anak yang akan
di sunat bersama orang tua dan keluarganya telah duduk di lamming (pelaminan) dalam baruga, dan
pada acara ini pula ditampilkan acara kesenian meski pelaksanaannya dilakukan pada siang hari.
Sedangkan versi kedua acara mammata-mata ditempatkan pada urutan keenam dan dilaksanakan
pada malam hari dengan dirangkaikan malam ramah
Adapun prosesi sunatan antara lain, anak laki-laki yang akan disunat berpakaian pagadu, tidak memakai
baju, hanya sarung putih dan songkok putih berada di atas bembengan dengan di antar oleh kedua
orang tuanya dan seorang pinati. Sebelum memasuki baruga terlebih dahulu anak yang akan di sunat
beserta ke-dua orangtuanya, keluarga, kerabat serta rombongan menre baruga. Yaitu mengelilingi
terlebih dahulu baruga sebanyak tiga kali, setelah itu baru bisa memasuki baruga melalui sapana(tangga)
yang diatasnya terdapat hamparan taluttu(kain putih) pertanda penghormatan.
Kemudian si anak dijemput dengan hamburan benno, bente(bertih) menuju lamming, di bawah lellu
yang sisi tiangnya dipegang oleh empat anak berpakaian pagadu. Si anak harus selalu memegang
patteko (alat tenun) mulai dari rumah kediaman menuju ke baruga. Acara dapat dilanjutkan dengan
mangngaru di iringi tunrung pakanjara. Selesai itu di akhiri dengan akkaddo, jamuan kue-kue
tradisional.
Selama acara menre baruga berlangsung diiringi dengan gendang adat (gandrang) yang kemudian
dilanjutkan dengan acara allekka Jene atau mallekke wae, yaitu upacara pengambilan air pada sebuah
sumur tertentu (sumur bertuah) untuk dimandikan pada anak yang di sunat. Kegiatan selanjutnya
adalah appassili atau mappassili, yaitu upacara pensucian diri lahir dan batin. Dimaksudkan agar segala
korban dan hal-hal yang di anggap tidak baik dapat dihilangkan. Selesai di passili, si anak hanya
mengenakan sarung.
Sumber :
http://www.rappang.com/2009/12/tradisi-dan-kepercayaan-masyarakat.html
http://daerah.sindonews.com/read/881803/29/jelajah-tiga-datuk-di-sulawesi-selatan-14049942
Geografis
Sulawesi Selatan, begitulah nama Provinsi yang berada di kawasan Indonesia Timur ini disebut banyak orang.
Provinsi dengan ibukotanya Makassar ini, memiliki luas wilayah 45.000 km2 yang berbatasan langsung
dengan Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat di utara, Teluk Bone, dan Sulawesi Tenggara di timur, Selat
Makassar di barat, dan Laut Flores di selatan.
Sosial Kemasyarakatan
Suku Bangsa
Masyarakat Sulawesi Selatan terdiri dari berbagai suku yang mendiami pulau ini. diantaranya
sukuBugis, Makassar, Toraja, dan Mandar. Masing-masing suku memiliki kebudayaan dan adat istiadat
tersendiri.
Bahasa
Provinsi Sulawesi Selatan memiliki kekayaan budaya yang beraneka ragam, salah satunya adalah bahasa.
Bahasa yang umum digunakan oleh masyarakat Sulawesi Selatan, diantaranya sebagai berikut :
Bahasa Makassar merupakan salah satu rumpun bahasa yang dipertuturkan oleh etnik suku Makasssar, yang
mendiami beberapa daerah di Sulawesi Selatan seperti Kota Makassar, Kab. Gowa dan Kab. Takalar. Bahasa ini
mempunyai abjadnya sendiri, yang disebut Lontara, namun sekarang banyak juga ditulis dengan menggunakan huruf
Latin.
Bahasa Bugis adalah salah satu dari rumpun bahasa Austronesia yang digunakan oleh etnik Bugis di Sulawesi
Selatan, yang tersebar di Kab Maros, Kab Pangkep, Kab Barru, Kota Parepare, Kab Pinrang, sebahagian kab Enrekang,
sebahagian kab Majene, Kab Luwu, Kab Sidenreng Rappang, Kab Soppeng, Kab Wajo, Kab Bone, Kab Sinjai, Kab
Bulukumba, dan Kab Bantaeng. Namun yang membedakan bahasa bugis disetiap daerah terletak pada dialek dan
pengucapan kata-katanya.
Bahasa Toraja adalah salah satu rumpun bahasa yang dipertuturkan di daerah Kabupaten Tana Toraja dan
sekitarnya.
Bahasa Mandar adalah bahasa suku Mandar, yang tinggal di provinsi Sulawesi Barat, tepatnya di Kabupaten
Mamuju, Polewali Mandar, Majene dan Mamuju Utara. Di samping di wilayah-wilayah inti suku ini, mereka juga tersebar
di pesisir Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur.
Bahasa Pettae adalah salah satu bahasa yang dipertuturkan di daerah Tana Luwu, mulai dari Siwa,Kabupaten
Wajo, Enrekang Duri, sampai ke Kolaka Utara,Sulawesi Tenggara.
Bahasa Duri adalah salah satu rumpun bahasa Austronesia di Sulawesi Selatan yang masuk dalam kelompok
dialek Massenrempulu. Di antara kelompok Bahasa Massenremplu, Bahasa Duri memilki kedekatan dengan bahasa Toraja
dan bahasa Tae' Luwu. Penuturnya tersebar di wilayah utara Gunung Bambapuang, Kabupaten Enrekang sampai wilayah
perbatasan Tana Toraja.
Bahasa Konjo terbagi menjadi dua yaitu Bahasa Konjo pesisir dan Bahasa Konjo Pegunungan, Konjo Pesisir
tinggal di kawasan pesisir Bulukumba dan Sekitarnya, di sudut tenggara bagian selatan pulau Sulawesi sedangkan Konjo
pegunungan tinggal di kawasan tenggara gunung Bawakaraeng.
Agama
Penduduk Sulawesi Selatan sebagian besar beragama Islam (86,63 persen), sedangkan selebihnya beragama
Kristen (8,93 persen), dan beragama lainnya (1,61 persen).
Konsep Ade dalam bahasa indonesia adalah adat istiadat merupakan serangkaian norma atau peraturan dalam
masyarakat yang terkait satu sama lain. Misalnya tingkah laku yang baik ditengah masyarakat, keturunan masyarakat, dan
penetapan hukum berdasarkan syariat islam.
Konsep Siri' yaitu mengacu pada perasaan malu dan harga diri.
Konsep Pesse' atau Pacce mengacu pada suatu kesadaran dan perasaan empati terhadap penderitaan yang
dirasakan oleh setiap anggota masyarakat.
Pariwisata
Provinsi Sulawesi Selatan memiliki potensi pariwisata yang dianggap mampu untuk memberikan kontribusi
besar bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD). Beberapa potensi pariwisata diantaranya :
Objek Wisata Alam diantaranya seperti Pulau Kayangan, Pantai Bira, Pantai Lumpus Goa Mampu, Pulau Lae
Lae, Pantai Takalar, dan Taman Nasional serta Pemandian Bantimurung, merupakan daerah yang memiliki potensi cukup
besar untuk menarik minat pengunjung luar dan dalam negeri.
Objek Wisata Cagar Budaya dan Peninggalan Sejarah yang dapat dikunjungi adalah Benteng Sombu Opu,
Benteng Port Rotterdam, Makam Raja-Raja Tallo, Makam Pahlawan Sultan Hassanudin, Keraton Raja Gowa, Makam
Raja-Raja Bugis Watang Lamuru, Tana Toraja, dan banyak lagi keindahan budaya yang bisa ditemui di daerah ini.
Objek Wisata Adat dan Istiadat, yang bisa dinikmati para pelancong adalah Tana Toraja. Merupakan daerah
wisata yang sangat unik. dengan tujuan wisata seperti makam para suku Toraja karena para jenazah disimpan di goa-goa
batu yang tinggi. Wisata menarik lainnya adalah penguburan mayat Rambu Solo. Sebelum penyimpanan jenazah,
dilakukan upacara adat yang sangat meriah yang berlangsung selama 2 6 hari dengan melakukan beberapa tradisi seperti
tarian dan adu kerbau. dan masih banyak lagi yang lainnya.
Objek Wisata Hiburan dan Belanja yang dapat dikunjungi seperti Trans Studio Theme Park, Pusat
perbelanjaan (Mall) dan Tradisional.
Makanan Tradisional
Sulawesi Selatan memiliki beberapa macam makan Tradisional yang enak dan menggugah selerah.
diantaranya.
1. Pisang Epe
2. Pisang ijo
3. Bassang
4. Coto Makassar
5. Kapurung
6. Nasu Palekko
7. Roti Maros
8. Tenteng
9. Baje Bandong
10. Bipang
11. Benno
12. Baroncong
13. Sop Saudara
14. Barongko
15. Bandang-Bandang
16. Sup Konro
17. Pallubasa
18. Pallu Butung
Wilayah Admistrasi
(berbagai sumber)
Dalam penelitian ini ditemukan wujud akulturasi fisik (budaya material), secara visual bagian-bagian arsitektumya
terdapat indikasi yang menunjukkan bahwa perwujudannya mengadaptasi unsur-unsur budaya lokal terpadu dengan
unsur-unsur budaya Islam. Hal ini kemudian diikuti berbagai hasil-hasil karya cipta peninggalan kebudayaan Islam di
Makassar, seperti seni rancang bangun rumah adat, makam kuno, dan ragam hias pada bangunan-bangunan
lainnya. Selanjutnya dalam penelitian ini, juga ditemukan wujud akulturasi dalam bentuk gagasan yang tercermin
dalam berbagai tradisi, adat-istiadat, sistem pemerintahan, ilmu pengetahuan, dan filsafat. Dalam adat-istiadat dan
tradisi dapat dilihat misalnya melalui pelaksanaan upacara-upacara ritual yang memadukan tradisi setempat dengan
kebudayaan Islam. Diantaranya dapat dilihat dalam bentuk upacara kematian, hakikah, sunatan, mauludan, ziarah ke
makam dan musik religius tradisional (Sinrilik) dan sebagainya.
Tinjauan terhadap masuknya agama dan kebudayaan Islam serta bentuk-bentuk perwujudan akulturasi kebudayaan
lokal dengan kebudayaan Islam di Sulawesi Selatan dapat diuraikan sebagai berikut.
a. Kepercayaan animisme
Kepercayaan ini beranggapan bahwa tiap-tiap benda, baik batu maupun pohon-pohon tertentu mempunyai roh. Roh-
roh ini dianggap senantiasa mengganggu keturunan manusia disekelilingnya dan bila tidak mengadakan sesajian
atau persembahan, maka akan ada akibatnya. Persembahan yang dilakukan ini dinamakan attauriolong. Masyarakat
pada waktu itu percaya bahwa tiap-tiap tempat yang dianggap keramat bersemayam roh, terutama pada pohon-
pohon besar, batu-batu besar yang ada di kali dan sebagainya. Apabila seseorang merasa dirinya mendapat
gangguan dari roh-roh ini, seperti mendapat malapetaka atau sakit, maka ia berkewajiban mengadakan
persembahan atau persajian. Tujuan persembahan ini dimaksudkan agar roh-roh tadi tidak mengganggu lagi
anggota masyarakat.
Menurut pandangan antropologi, kaum animisme mempersonifikasikan tenaga-tenaga alam gaib yang diluar kontrol
manusia, menjadi dewa-dewa. Segala sesuatu yang diluar dari kekuasaan manusia, diserahkan kepada dewa.
Mereka menjadi sasaran kultus, ritus, sesajen, dan permohonan. Untuk keperluan tertentu dipuja dewa tertentu pula,
yang dinyatakan melebihi dewa-dewa lain. Demikian halnya dalam masyarakat Gowa pra-Islam juga mempercayai
banyak dewa, paham yang menganut kepercayaan banyak Tuhan atau dewa dalam antropologi dinamakan
poloteisme (belief in a plurality of gods), salah satu diantaranya adalah Tokammaya Kanana yang dianggap sebagai
dewa tertinggi. Dialah yang menciptakan alam dan segala isinya, Dewa Ampatana yaitu dewa pengawas dan
pemelihara ciptaan, Dewa Patanna Lino yaitu dewa khusus yang menjaga manusia.
b. Kepercayaan dinamisme
Kepercayaan ini beranggapan bahwa tiap-tiap benda baik tumbuh-tumbuhan, maupun binatang mempunyai
kekuatan gaib. Untuk mendapatkan kekuatan tambahan dalam menghadapi roh-roh jahat, maka manusia
menambahkan kekuatan dengan jalan menggunakan kekuatan-kekuatan yang ada pada setiap benda tadi. Usaha ini
merupakan manifestasi timbulnya jimat-jimat, dan perkembangannya sampai sekarang masih dapat kita lihat
terutama biasa dipakai anak-anak yang diikatkan pada perut anak-anak sebagai unsur kekuatan untuk menolak roh-
roh jahat.
Masyarakat Sulawesi Selatan, jauh sebelum mengenal agama Islam, mereka sudah mengenal kepercayaan
terhadap dewa-dewa dan makhluk gaib sebagaimana dengan suku-suku bangsa lainnya. Mattulada dalam Suhadi
mengemukakan bahwa sebelum datangnya agama Islam, sistem kepercayaan masyarakat Sulawesi Selatan adalah
Sure Galigo yang mengandung kepercayaan pada dewa tunggal. Pemujaan terhadap roh nenek moyang juga
pernah berkembang. Hal ini ditandai dengan adanya pemeliharaan tempattempat keramat yang telah dikenal oleh
masyarakat Makassar sejak lama.
Kepercayaan terhadap makhluk-makhluk halus timbul dari kesadaran masyarakat animisme tentang jiwa atau soul
yang menempati seluruh alam. Makhluk-makhluk halus ada yang bersahabat dengan manusia dan juga ada yang
jahat. Makhluk halus yang jahat diistilahkan oleh Abu hamid sebagai pesona-pesona jahat, terdiri atas parakang,
poppo, dan tujua. Makhluk-makhluk halus tersebut sangat sangat ditakuti, karena bisa mendatangkan penyakit dan
kematian (Ahmad M Sewang, 2005:49).
d. Kepercayaan dewata seuwwaE
Dewata seuwwaE adalah pengatur alam semesta beserta segala isinya termasuk manusia. Dewata sewwaE adalah
pusat manusia, hewan dan mahluk lainnya meliputi mahluk halus, orang yang masih hidup maupun yang telah mati
semua itu tergantung padanya. Disamping itu juga mempercayai dewa-dewa leluhur lainnya yang senantiasa
mengancam seluruh aspek kehidupan manusia dengan cara mendatangkan penyakit, tetapi dapat pula
mendatangkan keselamatan dengan cara melimpahkan rezeki. Kepercayaan itu merupakan warisan turun-temurun
dari generasi ke generasi berikutnya dan sudah mendapat mitos dalam kehidupan mereka.
Pandangan nenek moyang bangsa Indonesia terhadap semesta alam, pada dasarnya hampir sama di daerah lain.
Fenomena tersebut antara lain dapat dilihat dalam mitos mereka mengenai pandangan kosmologi yang dapat dilihat
dalam kepercayaan mereka bahwa alam ini terdiri atas tiga lapisan banua, yaitu boting langik(dunia atas), kale lino
(dunia tengah), dan paratiki atau pertiwi (dunia bawah). Untuk menghindari malapetaka tertentu, seperti penyakit
menular, hama tanaman, kekeringan, dan sebagainya, mereka melakukan upacara pemujaan terhadap dewa.
Pemujaan dipimpin oleh seorang tokoh yang mereka namakan anrongguru (Makassar), anreguru (Bugis). Mereka
juga mempercayai dewa-dewa bawahan yang disebut puang lohate. Ia bertugas untuk menggerakkan peristiwa
alam. Dewa-dewa bawahan ini berada di semua tempat. Oleh karena itu, penyembahan dapat dilakukan di kampung
sendiri, walau masyarakat mempercayai bahwa pusat dewa terdapat di Gunung Bawakaraeng (Ahmad M Sewang,
2005:49).
Mereka juga percaya adanya kekuatan sakti pada benda-benda dan alam gaib. Kepercayaan serupa dapat dilihat
dari suku Dayak di Kalimantan, suku Asmat di Irian Jaya sampai ke orang Atoni di pulau Timor. (Agraha Suhandi,
1994:224). Demikian pula dengan masyarakat Bugis-Makassar, Mandar, dan Toraja di Sulawesi Selatan yang
menempati wilayah perbatasan antara Indonesia Bagian Timur dan Indonesia Bagian Barat.
Manusia prasejarah memandang hidup ini sebagai bagian dari totalitas dari alam (manusia sebagai salah satu
bagian dari alam mikrokosmos dari totalitas alam sebagai makrokosmos) yang senantiasa berusaha menjaga
keharmonisan hubungan antara makrokosmos dan mikrokosmos.
Tradisi keagamaan yang pada umumnya berkembang dalam masyarakat Makassar dapat dibagi dalam dua azas,
yakni 1) kepercayaan lama yang bersumber dari tradisi keagamaan nenek moyang, 2) kepercayaan yang bersumber
dari Islam. Kedua azas kepercayaan ini berbaur dalam praktek upacara-upacara.
Kepercayaan lama yang bersumber dari tradisi keagamaan nenek moyang terdiri atas tiga aspek, yaitu (1)
kepercayaan terhadap arwah nenek moyang, (2) kepercayaan terhadap dewa-dewa agama Patuntung, (3)
kepercayaan terhadap pesona-pesona jahat (Ahmad M Sewang, 2005:45).
Aspek kepercayaan terhadap arwah nenek moyang dinyatakan dengan pemujaan terhadap 1) tempat dan benda-
benda tertentu, 2) kuburan. Pemujaan terhadap tempat dan benda-benda, misalnya batu naparak (batu datar), pohon
kayu besar, gunung sungai dan posi butta. Pemujaan terhadap kuburan-kuburan yang dipahami memiliki sejarah
tertentu, yaitu kuburan orang yang berjasa membangun pemukiman dan memberi keselamatan, kuburan orang-
orang suci (ulama) dan wali. Kuburan tersebut dianggap keramat, sedangkan tempat dan benda-benda yang dipuja
itu dianggap sakral. Fungsi arwah nenek moyang dianggap selalu mengawasi, meliputi keturunannya dan memberi
keselamatan di dunia dan di hari kemudian. Oleh karena itu perlu diberi sesajian guna memelihara kesinambungan
hubungan harmonis (Abu Hamid, 1994:47).
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa bangsa Indonesia pada dasarnya menganut pandangan hidup
dan pandangan terhadap alam sekitarnya yang secara umum tampak dalam sistem kepercayaan mereka. Bangsa
Indonesia, juga percaya bahwa manusia mempunyai ikatan erat dengan alam (kosmos) serta mempunyai hubungan
timbal-balik satu sama lain. Dalam kepercayaan demikian, manusia dipandang sebagai dunia kecil (mikrokosmos)
dan merupakan bagian dari makrokosmos atau alam semesta yang berpengaruh di dalam semua segi dan aktivitas
kehidupan mereka. Sedangkan usaha-usaha untuk mempertahankan keseimbangan magis, tidak hanya antara
manusia dengan alam, tetapi juga keseimbangan antara magis dengan lingkungan keluarga, dan sebagainya.
Sumber lain menyebutkan bahwa masyarakat Bugis-Makassar pada masa lampau (sebelum Islam), telah mengenal
konsep tauhid (dasar monotheisme) dengan kata Dewata. Mereka telah mengenal monotheisme kuno, yakni konsep
Dewata SeuwwaE (Dewa atau Tuhan Yang Esa) yang berciri: tidak beranak, tidak berayah. Dewata = Tuhan, SewuE
= Esa. Pengertian tersebut sesuai dengan kandungan Surat Al-Ikhlas. Karena itu, dengan mudah mereka menerima
ajaran Islam ketika ditawarkan, sehingga dalam kehidupan kemasyarakatan terjadi akulturasi budaya, adat, dan
norma agama, sekalipun larangan ajaran Islam seperti minum arak, judi, sabung ayam, mencuri, beristeri banyak,
dan lain sebagainya, juga masih mewarnai kehidupan masyarakat.
Demikian gambaran umum tentang sistem kepercayaan yang terdapat pada setiap suku bangsa di Indonesia,
termasuk bagi masyarakat Bugis-Makassar di Sulawesi Selatan.
Berdasarkan gambaran di atas, maka dapat dikatakan bahwa latar belakang upacara-upacara dan pemujaan
manusia prasejarah merupakan perwujudan dari pandangan bahwa mereka adalah bagian dari alam raya
sekelilingnya. Mereka senantiasa tergantung kepada kekuatan alam, baik selagi hidup maupun sesudah mati, karena
sesudah mati mereka percaya masih ada lagi kehidupan lain yang juga masih dalam lingkungan alam raya tadi.
Berdasarkan pandangan bahwa kehidupan ini merupakan perpaduan antara langit dan bumi, maka falsafah mereka
adalah falsafah langit dan bumi. Dengan demikian dewa penguasa langit dan bumi inilah yang diserunya dalam
doa-doa bila mereka mengadakan upacara-upacara ritual.
Walaupun masyarakat Makassar sudah sejak lama memeluk agama Islam, namun dalam kehidupan sehari-hari,
sebagian dari mereka masih mempertahankan sisa-sisa keyakinan pra-Islam. Keyakinan lama itu masih nampak,
yakni dengan adanya pemeliharaan terhadap tempat-tempat yang dianggap keramat. Di samping kepercayaan
terhadap dewa-dewa, masyarakat Sulawesi Selatan, juga percaya terhadap makhluk-makhluk halus yang hidup di
tempattempat yang dikeramatkan. Karena itu, pemujaan terhadap roh nenek moyang, juga pernah berkembang. Hal
ini ditandai dengan adanya pemeliharaan tempattempat keramat yang dikenal dengan nama saukang.
Selain itu, mereka juga percaya adanya kekuatan-kekuatan sakti pada benda-benda tertentu. Salah satu peninggalan
prasejarah yang dimaksud ialah menhir, yakni berupa bangunan yang melambangkan arwah nenek moyang dan
menjadi benda pujaan pada masa lampau.
Dalam sejarah perkembangan Islam, Indonesia termasuk kawasan yang paling akhir mendapat pengaruh
kebudayaan Islam. Mungkin karena secara geografis Indonesia terletak paling jauh dari tempat kelahiran agama
Islam. Tercatat bahwa baru sekitar abad ke-13 Masehi, agama Islam meluas di Nusantara. Islamisasi pertama
adalah sekitar abad ke-13 M di Aceh dan Samudera Pasai, abad ke-15 di Semenanjung Melayu atau akhir abad ke-
15 di pesisir pantai Utara pulau Jawa (Damais, 1995:171).
Terlepas dari itu, para pengamat sejarah kebudayaan Islam melihat bahwa Islamisasi di Indonesia jauh berbeda
dengan pengembangan Islam ke negara lain. Misalnya Turki, Mesir, Persia, India yang umumnya terjadi melalui
ekspansi kekuatan politik dunia Islam. Sedangkan kehadiran Islam melalui jalur budaya di kalangan masyarakat
Indonesia, terjadi melalui proses asimilasi dan akulturasi budaya, dan langsung meresap ke dalam jiwa para
pemeluknya membaur dengan tradisi setempat. Karena itu pula, tidaklah mengherankan jika nafas Islam hanya
memberi warna pada tradisi Indonesia dan tidak mengubah tradisi yang ada - sehingga terciptalah budaya baru yang
bernuansa Islami. Islam mentransformasikan ke dalam nilai-nilai ajaran Islam. Hal ini juga tampak pada beberapa
bentuk kesenian di Indonesia. Ungkapan keindahan dan kebesaran Ilahi menyatu dengan upacara-upacara ritual,
dawah, dan penyampaian ajaran-ajaran moral.
Penyebaran Islam ke berbagai daerah di Nusantara tidaklah berlangsung secara bersamaan. Kedatangan Islam di
Sulawesi Selatan, agak terlambat dibanding dengan daerah lainnya di Indonesia, seperti Sumatra, Jawa, Kalimantan
dan Maluku. Hal ini disebabkan Kerajaan Gowa barulah dikenal sebagai kerajaan yang berpengaruh dan menjadi
kerajaan dagang pada akhir abad XVI atau awal abad XVII. Dalam kurun waktu tersebut para pedagang muslim dari
berbagai daerah Nusantara dan para pedagang asing dari Eropa mulai ramai mendatangi daerah ini. Menurut
Lontarak Pattorioloang (lontarak sejarah), nantilah pada masa pemerintahan Raja Gowa X (1546-1565),
Tonipallangga, barulah ditemukan sebuah perkampungan muslim di Makassar, penduduknya terdiri atas para
pedagang melayu yang berasal dari Campa, Patani, Johor dan Minangkabau (Ahmad M Sewang, 2005:1).
Berkembangnya Islam atau Islamisasi adalah penyebaran Islam di suatu wilayah atau dari tempat ke tempat yang
lain melalui dakwah hingga terbentuknya masyarakat Muslim. Dalam kenyataannya masuk dan berkembangnya
Islam seringkali sukar ditarik garis pemisah. Hal ini disebabkan setelah agama Islam dianut oleh seseorang atau
sekelompok orang, syiar Islam dengan sendirinya akan berlangsung diantara sesama dan sahabat terdekat atau di
dalam satu keluarga seperti yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW pada awal mulanya. Islam menggariskan
bahwa setiap muslim berkewajiban menyampaikan sesuatu yang diketahuinya tentang agamanya. Itulah sebabnya di
dalam syiar Islam tidak membedakan tugas antara pedagang, muballig, dan penguasa. Dengan demikian berdirinya
suatu kerajaan yang bercorak Islam biasanya didahului dengan terbentuknya suatu masyarakat Islam yang kuat,
termasuk di Makassar Sulawesi Selatan. Di Indonesia keberadaan negara atau kerajaan yang bercorak Islam
ditandai dengan masuknya Islam penguasa (raja) mereka yang ditandai dengan pemakaian nama atau gelar Sultan
atau yang senafas dengan itu, meskipun pada dasarnya tidak seluruh rakyatnya memeluk agama yang baru itu
(Azyumardi Azra, 1999:90-93).
Menurut teori yang dikembangkan oleh Noorduyn, proses islamisasi di Sulawesi Selatan tidak jauh berbeda dengan
daerah-daerah lainnya di indonesia, yaitu melalui tiga tahap yaitu: 1) kedatangan Islam, 2) penerimaan Islam, dan 3)
penyebaran lebih lanjut.
dapat yang senada dikemukakan oleh H.J. de Graaf. Namun, ia lebih menekankan pada pelaku Islamisasi di Asia
Tenggara yang analisisnya didasarkan pada literatur Melayu. Graaf berpendapat: Islam didakwakan di Asia
Tenggara melalui tiga metode: yakni oleh para pedagang muslim dalam proses perdagangan yang damai, oleh para
dai dan orang suci (wali) yang datang dari India atau Arab yang sengaja bertujuan mengislamkan orang-orang kafir
dan meningkatkan pengetahuan mereka yang telah beriman, dan terakhir dengan kekerasan dan memaklumkan
prang terhadap negara-negara penyembah berhala.
Teori-teori tentang proses islamisasi di atas dapat dipakai sebagai acuan untuk menganalisis islamisasi di kerajaan
Gowa. Kedatangan Islam di Makassar seperti yang dikemukakan oleh Noorduyn adalah ketika pertama kali para
pedagang Melayu muslim mendatangi daerah ini. Kata Melayu yang dimaksudkan dalam pengertian orang Makassar
masa itu, tidak hanya terbatas pada wilayah daerah Riau dan Semenanjung Malaka, seperti yang diartikan sekarang,
tetapi juga meliputi seluruh Pulau Sumatra, sehingga ketika Datuk ri bandang yang datang dari Koto Tangah
Minangkabau di Makassar sebagai mubalig Islam, dia disebut sebagai orang melayu.
Hubungan baik antara pedagang Melayu dengan penduduk setempat, menyebabkan mereka mendapatkan tempat
istimewa di hati raja. Tidak heran, jika Raja Gowa yaitu Tonijallo (1565-1590) memberikan fasilitas tempat ibadah,
sebua masjid, ditempat pemukiman mereka, di Mangallekana. Pemberian fasilitas masjid menandakan bahwa
perhatian kepada para pedagang muslim. Beberapa sumber lokal mengemukakan, peranan orang-orang Melayu
dalam bidang perdagangan dan penyebaran Islam cukup berarti dalam upayanya untuk membendung pengaruh
Katolik. Selanjutnya orang-orang Melayu dalam penyebaran agama Islam mengupayakan mendatangkan mubalig-
mubalig Islam, seperti kedatangan tiga mubalig dari Koto Tangah Minangkabau yaitu: (1) Abdul Makmur yang di
sebut pula Datuk ri Bandang, yaitu khatib tunggal (Katte Tunggala) yang mengislamkan raja Tallo dan raja Gowa.
Melalui perlindungan dari raja, Datuk ri Bandang menekankan pengajaran Syariat di kalangan rakyat, Menurut
sebuah cerita Makassar, dia datang dari palembang ke Makassar. Dia dapat dianggap sebagai ahli, terbukti dari
sebuah berita di Jawa, yang menyebutkan dia sebagai seorang murid dari Sunan Giri (J.Noorduyn, 1972:33). (2)
Khatib Sulaiman atau dikenal pula sebagai Datuk Patimang (khatib sulung), yaitu khatib yang yang menekankan
pada pengetahuan Tauhid yang diajarkan kepada penduduk yang erat berpegang pada kepercayaan Dewata
SeuwaE, yaitu suatu kepercayaan pra-Islam yang menganggap adanya Tuhan yang Esa. Datuk Patimang
menyebarkan Islam di daerah Luwu, sehingga beliau dipahami sebagai orang yang mengislamkan Datu Luwu, La
Paiware Daeng Parabbung, yang kemudian diberi gelar Arab, Sultan Muhammad, dan (3) Abdul Jawad (khatib
bungsu) yang dikenal dengan nama Datuk ri Tiro yaitu khatib yang menyebarkan Islam di bagian selatan Jazirah
Sulawesi Selatan dan menekankan pelajaran tasauf kepada rakyat, sesuai dengan keinginan penduduk yang lebih
menyukai hal ihwal yang bersifat kebatinan (Abu Hamid, 1994:74).
Penerimaan Islam diterima langsung oleh elite penguasa kerajaan, yaitu Raja Tallo dan Raja Gowa kemudian
disosialisasikan dan berkembang kepada masyarakat bawah. Pola ini biasa disebut top down.
Banyak versi cerita rakyat (mitos) tentang kedatangan Datuk ri Bandang di Makassar. Diantaranya, seperti yang
dikutip oleh Noorduyn, Datuk ri Bandang tiba di pelabuhan Tallo pada tahun 1605 dengan menumpang sebuah
perahu ajaib. Setelah tiba di pantai, datuk itu langsung melaksanakan sembahyang. Mendengar berita kedatangan
datuk, Raja Tallo, I Malingkang Daeng Manyomi Karaeng Katangka, segera datang menemuinya. Tetapi, ditengah
jalan, ia bertemu dengan seorang tua yang menanyakan tujuan perjalanannya. Orang tua tadi menuliskan sesuatu di
atas ibu jari Raja Tallo. Setelah ia menitipkan salam kepada Datuk ri Bandang. Ternyata kemudian yang ditulis di
atas kuku Raja Tallo tadi adalah Surah Al-Fatihah. Kemudian Datuk ri Bandang berkata kepada Raja Tallo behwa
orang tua tadi adalah Nabi Muhammad SAW. Pertemuan antara Raja Tallo dengan Nabi Muhammad itu dalam
bahasa Makassar disebut, Makkasarami Nabbi Muhammad ri buttaya ri Tallo, (Nabi Muhammad menjelma atau
menampakkan diri di Kerajaan Tallo). Sebagian orang Makassar memberi interpretasi kalimat itu sebagai asal mula
nama kota ;Makassar. Tetapi interpretasi tersebut tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Karena nama
Makassar, telah dikenal sejak abad XII, sebagaimana yang tertulis dalam buku Nagarakertagama, karangan
Prapanca (1364), pada syair ke-14 (Ahmad M Sewang, 2005:98).
Perkataan Makassar diperkuat oleh Prof. Mattulada yang menyebutkan bahwa Makassar barulah ditemukan untuk
pertama kalinya dalam kitab Negarakertagama tulisan Prapanca di zaman Patih Gajah Mada dari Majapahit (1254-
1292). Beberapa kalimat dari kitab tersebut telah disitir oleh Mattulada sebagai berikut:
Muwawah tanah i Bantayan pramuka Bantayan len Luwuk teng Udamakatrayadhi nikanang sanusaspupul
ikangsansanusa Makassar Butun Banggawi kuni oraliyao mwangi selaya sumba Soto Muar (Mattulada, 1982:8).
Menurut kalimat-kalimat tersebut di atas, seluruh Sulawesi menjadi daerah ke VI kerajaan Majapahit, yaitu Bantayan
(Bantaeng), Luwuk (luwu), Udamakatraya (Talaud), Makassar (Makassar), Butung, Banggawi (Banggai), Kunir
(P.Kunyit), Selaya (Selayar), Solot (Solor), dan seterusnya. Makassar, dengan demikian memang telah dikenal, akan
tetapi nama Gowa sama sekali tidak disebut-sebut. Sekiranya apakah Makassar sama juga dengan Gowa atau
Gowa sebagai negeri orang Makassar barulah dikenal setelah berlalunya masa pemerintahan Majapahit (Pananrangi
hamid, 1990:15).
Masyarakat Makassar sebagian besar beragama Islam (kira-kira 90 % dari jumlah penduduknya). Sedangkan 10 %
sisanya, memeluk agama lain. Karena itu, norma dan tata cara melakukan upacara diwarnai oleh agama Islam
tersebut. Bahkan pada masa jayanya kerajaan Gowa, Islam dijadikan sebagai agama kerajaan. Aliran-aliran yang
berdasarkan agama yang ada di kalangan masyarakat Makassar antara lain Tarekat Khalawatiah, Tarekat
Naqsyabandiyah, Tarekat Baalawiyah, Tarekat Qodiriyah, Tarekat Syattariyah, Mazhab Syafi`i, dan Mazhab Syiah.
Melihat asal-usul dan perkembangan tarekat di Sulawesi Selatan, maka pusatnya sampai sekarang adalah Luwu,
Maros (daerah raja Tallo) dan Sungguminasa Gowa (tempat tarekat Khalawatiah memegang dominasi) (Halide,
1993:258).
Pengaruh agama Islam dalam masyarakat Makassar telah jauh meresap ke dalam norma-norma dan sistem
kehidupan masyarakat. Hal ini terlihat pada saat diterimanya agama Islam sebagai agama kerajaan, yakni Lembaga
Adat yang disebut Pangngadakkang. Pranata sosial dalam Pangngadakkang (bahasa makassar) atau
pangngaderang (bahasa bugis) yang dimaksud adalah: (1) Adak (adat kebiasaan), (2) Rapang (persamaan hukum),
(3) Bicara (undang-undang), (4) Wari (pelapisan sosial). Sebagaimana halnya struktur pemerintahan kerajaan, maka
unsur-unsur pangadakkang pun yang telah ada sebelumnya tetap berlanjut setelah Islam diterima sebagai agama
negara. Islam hanya memperkaya dengan menambahkan satu unsur lagi yang disebut sarak (syariat). Sebagai
pranata Islam, sarak diakui sebagai salah satu unsur dalam struktur pemerintahan. Pejabat sarak pada tingkat pusat
adalah Daeng Ta Kaliya yang menduduki jabatan tertinggi dalam bidang keagamaan. Datuk ri Bandang dikenal
sebagai penyebar Islam pertama di daerah kerajaan Gowa-Tallo, sekaligus menjabat sebagai Daeng Ta Kaliya yang
pertama. Disamping itu, beliau juga menjadi penasihat sombaya di bidang keagamaan.
Seperti juga halnya dengan agama-agama lain, Islam adalah kekuatan spritual dan moral yang mempengaruhi,
memotivasi, dan mewarnai tingkah laku Individu. Islam secara perlahan tapi pasti berhasil membentuk kantong-
kantong masyarakat perdagangan di sejumlah kota besar. Komunitas Muslim itu lalu membentuk suatu sinkretisme
yang menekankan aspek kebudayaan Islam. Pada titik ini, persoalan yang segera ditemui adalah unsur pembentuk
tradisi tersebut. Muhaimin mengimplikasikan bahwa istilah tradisi secara umum dipahami sebagai pengetahuan,
doktrin, kebiasaan, praktek, dan lain-lain yang diwariskan secara turun-temurun, termasuk cara penyampaian
pengetahuan, doktrin dan praktek tersebut. Selanjutnya tradisi Islam merupakan segala hal yang datang dan atau
dihubungkan dengan jiwa Islam (A.G. Muhaimin, 2001:12).
Akhirnya suatu tradisi atau unsur tradisi bersifat Islami, ketika pelakunya bermaksud atau mengaku bahwa tingkah
lakunya sesuai dengan jiwa Islam.
Penutup
Peranan ulama dan para penyebar Islam di Sulawesi Selatan berfungsi sebagai pendukung legitimasi kekuasaan
raja. Legitimasi tersebut antara lain melalui isyarat-isyarat genealogis (silsilah) maupun kesinambungan keturunan
yang diperlukan agar transformasi Islam tidak akan menimbulkan chaos dan disharmoni. Dalam perkembangan
kemudian, lambat-laun terjadi pula arus transformasi dalam sosialisasi Islam, yang semula dilakukan oleh para
imigran asing, untuk selanjutnya dilakukan oleh ulama-ulama lokal/pribumi. Di Sulawesi Selatan, dikenal Datu ri
Bandang dan kawan-kawan dari Sumatera Barat yang mengislamkan Makassar, meskipun arus sosialisasi Islam
juga berasal dari Giri (A. Hasymi, 1993:495).
Berdasarkan keterangan di atas, penulis menggaris bawahi bahwa sekalipun dalam beberapa referensi disebutkan
bahwa agama Islam masuk ke Indonesia, termasuk di Sulawesi Selatan dibawa oleh para pedagang Muslim, namun
misi tersebut bukanlah tujuan utamanya. Misi perdagangan hanyalah salah satu media yang dimanfaatkan oleh para
penyiar agama Islam sebagai saluran islamisasi. Dalam arti bahwa proses islamisasi, dilakukan secara bertahap, dan
berkesinambungan melalui pendekatan persuasif lewat para penguasa masyarakat atau raja. Dengan pendekatan
ini, maka dengan mudah agama Islam diterima oleh kelompok masyarakat pemeluknya kemudian menyebar luas.
Demikianlah gambaran singkat tentang proses islamisasi di Sulawesi Selatan.
Sulawesi terutama bagian selatan, sejak abad ke-15 M sudah didatangi oleh pedagang-
pedagang muslim, mungkin dari Malaka, Jawa dan Sumatera. Pada awal abad ke-16 M, di
Sulawesi banyak sekali kerajaan yang masih beragama berhala. Akan tetapi, pada abad ke-16 di
daerah Gowa, sebuah kerajaan terkenal di daerah itu, telah terdapat masyarakat Muslim. Di
Gowa dan Tallo raja-rajanya masuk Islam secara resmi pada tanggal 22 September 1605 M.
Proses Islamisasi pada taraf pertama di kerajaan Gowa dilakukan dengan cara damai, oleh Dato
Ri Bandang dan Dato Sulaeman keduanya memberikan ajaran-ajaran Islam kepada masyarakat
dan raja. Setelah secara resmi memeluk agama Islam, Gowa melancarkan perang terhadap
Soppeng, Wajo, dan terakhir Bone. Kerajaan-kerajaan tersebut pun masuk Islam, Wajo, 10 Mei
1610 M dan Bone, 23 November 1611 M. Proses Islamisasi memang tidak berhenti sampai
berdirinya kerajaan-kerajaan Islam, tetapi harus berlangsung intensif dengan berbagai cara dan
saluran. (Yatim, 2008 : 200)
Kerajaan Gowa-Tallo, kerajaan kembar yang saling berbatasan, biasanya disebut kerajaan
Makasar. Kerajaan ini terletak di Semenanjung Barat Daya Pulau Sulawesi, yang merupakan
daerah transito sangat strategis. Sejak Gowa-Tallo tampil sebagai pusat perdagangan laut,
kerajaan ini menjalin hubungan baik dengan Ternate yang telah menerima Islam dari Gresik atau
Giri. Dibawah pemerintahan Babullah, Ternate mengadakan perjanjian persahabatan dengan
Gowa-Tallo. Ketika itulah raja Ternate berusaha mengajak penguasa Gowa-Tallo untuk
menganut agama Islam, tetapi gagal. Baru pada waktu Datu Ri Bandang datang ke kerajaan
Gowa-Tallo, agama Islam mulai masuk ke kerajaan ini. Alauddin (1591-1636) adalah sultan
pertama yang menganut Islam pada tahun 1605. (Yatim, 2008 : 223)
Karena posisinya yang strategis di antara wilayah barat dan timur Nusantara, Kerajaan
Gowa dan Tallo menjadi bandar utama untuk memasuki Indonesia Timur yang kaya rempah-
rempah. Kerajaan Makassar memiliki pelaut-pelaut yang tangguh terutama dari daerah Bugis.
Mereka inilah yang memperkuat barisan pertahanan laut Makassar.
Raja yang terkenal dari kerajaan ini ialah Sultan Hasanuddin (1653-1669). Hasanuddin
berhasil memperluas wilayah kekuasaan Makassar baik ke atas sampai ke Sumbawa dan
sebagian Flores di selatan. Karena merupakan bandar utama untuk memasuki Indonesia Timur,
Hasanuddin bercita-cita menjadikan Makassar sebagai pusat kegiatan perdagangan di Indonesia
bagian Timur. Tata kehidupan yang tumbuh di Makassar dipengaruhi oleh hukum Islam.
Penyebaran Islam setelah itu berlangsung sesuai dengan tradisi yang telah lama diterima
oleh para raja, keturunan To Manurung. Tradisi itu mengharuskan bagi seorang raja untuk
memberitahukan hal baik kepada yang lain. Karena itu, kerajaan kembar Gowa-Tallo
menyampaikan pesan Islam kepada kerajaan-kerajaan lain seperti Luwu, yang lebih tua, Wajo,
Soppeng dan Bone. Raja Luwu segera menerima pesan Isalam itu. Sementara itu, tiga kerajaan
lain Wajo, Soppeng dan Bone yang terikat dalam aliansi Tallumpoeco (tiga kerajaan) dalam
perebutan hegemoni dengan kerajaan Gowa-Tallo, Islam kemudian melalui peperangan. Wajo
menerima Islam pada tanggal 10 Mei 1610 dan Bone, saingan politik Gowa sejak abad ke-16,
tanggal 23 November 1611. Raja Bone yang pertama masuk Islam dikenal dengan gelar Sultan
Adam. Namun meski sudah Islam, peperangan-peperangan antara dua kerajaan yang bersaing itu
pada masa-masa selanjutnya masih sering terjadi bahkan, melibatkan Belanda untuk mengambil
keuntungan politik daripadanya. (Yatim, 2008 : 224)
Di Sulawesi, Raja Gowa-Tallo, I Mangarangi Daeng Maurobia, atas ajakan Datuk
Rianang masuk Islam pada tahun 1605 dengan gelar Sultan Alaudin. Di Tallo Raja I Malingkoan
Daeng Nyonri Kareng Katangka pada tahun yang sama masuk Islam dengan gelar Sultan
Abdullah awal Islam. Setelah itu, Islam tersebar ke Luwu, Waio (1610); Soppeng dan Bone
(1611). (Supriadi, 2008 : 197)
Berkenaan dengan proses pembentukan negara atau kerajaan Islam tersebut di atas,
menurut Taufik Abdullah yang dikutip dalam Dedi Supriyadi (2008; 198), setidak-tidaknya pola
pembentukan budaya yang tampak dari proses tersebut, adalah pola Sulawesi Selatan. Pola
Islamisasi melalui keraton atau pusat kekuasaan. Proses Islamisasi berlangsung dalam suatu
struktur negara yang telah memiliki basis legitimasi geneologis.
Konversi agama menunjukan kemampuan raja. Penguasa terhindar dari penghinaan
rakyatnya dalam masalah kenegaraan. Pola ini digunakan di Sulawesi Selatan, Maluku, dan
Banjarmasin. Islamisasi di daerah ini tidak memberi landasan bagi pembentukan negara. Islam
tidak mengubah desa menjadi suatu bentuk baru dari organisasi kekuasaan. Konversi agama
dijalankan, tetapi pusat kekuasaan telah ada lebih dahulu. (Supriadi, 2008:198)
Home Kelas XI IPS Sejarah Islam Sejarah Kls XI Perkembangan kesenian di Kerajaan yang bercorak Islam di Indonesia
PERKEMBANGAN KESENIAN DI KERAJAAN YANG BERCORAK ISLAM DI INDONESIA
Kelas XI IPS, Sejarah Islam, Sejarah Kls XI
Perkembangan kesenian di Kerajaan yang bercorak Islam di Indonesia -Perkembangan kesenian Islam mengalami proses
penyesuaian atau percampuran dengan kesenian setempat yang telah dimiliki oleh masyarakat Indonesia sebelum kedatangan
Islam. Kesenian yang berkembang yaitu seni bangunan, seni pahat, kaligrafi, seni musik, seni sastra, dan lain-lain. Seni bangunan
dapat kita lihat pada bentuk bangunan keraton dan bangunan masjid. Bangunan keraton atau istana adalah tempat tinggal raja atau
ratu beserta keluarganya. Selain itu, keraton juga difungsikan sebagai pusat kegiatan pemerintahan, sehingga keraton dianggap
sebagai lambang pusat kekuasaan raja. Bentuk fisik keraton adalah perpaduan antara kebudayaan Hindu-Buddha dengan
kebudayaan Islam. Ornamen-ornamen di dalam keraton di Jawa merupakan perpaduan ornamen khas Jawa yang bercorak Hindu-
Buddha dengan ornamen Islam. Gerbang masuk keraton dihiasi dengan gapura modelKerajaan Majapahit atau Mataram
Kuno. Bentuk dan ciri-ciri keraton bercorak Islam antara lain sebagai berikut.
a. pada umumnya keraton mengarah ke utara atau agak ke utara,
b. di sekeliling keraton terdapat parit dan tembok agar orang tidak bisa masuk sembarangan,
c. halaman keraton dibagi ke dalam tiga bagian dan halaman yang paling belakang disakralkan,
d. di depan keraton biasanya terdapat alun-alun.
Bentuk bangunan masjid-masjid kuno di Indonesia merupakan perpaduan antara unsur seni tradisional Indonesia dengan seni
Islam. Gaya arsitektur bangunan masjid kuno memiliki ciri khusus yang berbeda dengan negerinegeri Islam lainnya. Masjid-
masjid kuno yang ada di Indonesia menurut bentuknya terdapat dua jenis, yaitu masjid yang atapnya bersusun atau yang sering
disebut dengan istilah masjid bermustakadan masjid yang beratap kubah. Masjid berbentuk kubah nampaknya merupakan
pengaruh gaya arsitektur yang berkembang di daerah India dan Asia Tengah. Hal ini terlihat dari bangunanbangunan masjid yang
terdapat di daerah India dan Asia Tengah menggunakan atap kubah. Masjid yang atapnya bersusun (bermustaka) merupakan hasil
pengaruh gaya arsitektur dari daerah Cina Selatan. Seorang sejarawan, Prof Slamet Mulyonomenunjukkan bahwa gaya arsitektur
asli Cina terlihat dari bentuk atapnya yang bersusun. Hal ini kemudian terus dipertahankan oleh kaum muslim Cina yang
kemudian membangun masjid dengan tetap mempertahankan gaya arsitekturnya. Hal ini sangat jelas terlihat dari masjidmasjid
yang terdapat di Provinsi Yunan, Singkiang, Uighur yang semua atapnya bersusun.
Masjid yang memiliki bentuk atap bersusun kemudian menjadi bentuk masjid yang memiliki kekhasan tersendiri dalam
perkembangan sejarah Islam di Indonesia. Bangunan masjid beratap susun memiliki denah yang berbentuk bujur sangkar yang
biasanya ditambah dengan serambi di depan atau di samping. Fondasinya kuat dan agak tinggi dan di bagian depan atau samping
terdapat kolam. Nampaknya gaya arsitektur Masjid Agung Demak selalu dijadikan contoh bagi pembangunan masjid-masjid
yang beratap susun lainnya di Jawa. Hal ini terlihat dari gaya arsitektur masjid-masjid di Jawa yang umumnya sama dengan
arsitektur masjid Demak sebagai bangunan masjid tertua di Pulau Jawa. Hal ini terlihat jelas pada bangunan masjid yang
dibangun oleh Keraton Surakarta, Yogyakarta, dan Banten. Beberapa masjid kuno yang memiliki atap bertingkat, yaitu sebagai
berikut.
a. Masjid yang beratap dua tingkat , seperti Masjid Agung Cirebon yang dibangun pada abad ke-16, Masjid Katangka di Sulawesi
Selatan yang dibangun pada abad ke-17, Masjid Angke, Tambora, dan Marunda di Jakarta yang dibangun sekitar abad ke-18.
b. Masjid yang beratap tiga tingkat,, seperti Masjid Agung Demak di Jawa Tengah dan Masjid Baiturrahman di Aceh.
c. Masjid yang beratap lima tingkat, seperti Masjid Agung Banten.
Seni kaligrafi merupakan perkembangan dari seni ukir dan seni pahat. Di Keraton Kasepuhan, Kanoman, dan beberapa keraton
lain, terdapat suatu ukiran kayu komposisi huruf-huruf Arab, yang menggambarkan suatu tokoh atau binatang.
Seni musik merupakan salah satu bidang kesenian yang tidak luput dari pengaruh budaya Islam. Hal ini dapat kita lihat dari
munculnya kesenian musik seperti terbangan, qasidah, gambus, yang berkembang di daerah Jawa dan Sumatra. Jelas sekali
bahwa jenis-jenis musik yang disebutkan di atas tidak pernah dikenal sebelumnya pada masa pra-Islam. Jadi artinya jenis-jenis
musik tersebut lahir sebagai suatu proses yang diakibatkan oleh penyebaran Islam di Indonesia khususnya di pulau Jawa dan
Sumatra. Satu hal yang menarik bahwa terjadi pula semacam bentuk kesenian gabungan antara kesenian tradisional pribumi
dengan Islam. Hal ini dapat kita lihat dari seni tembang terutama dalam jenis Laras Madya yang meskipun menggunakan teks-
teks Jawa tetapi berisi shalawatan atau semacam puji-pujian kepada Nabi Muhammad saw. Bidang seni lainnya yang
berkembang pada masa Islam adalah seni tari. Beberapa contoh seni tari yang dipengaruhi oleh budaya Islam di antaranya adalah
Tari Srandul, Kuntulan, Emprak, serta Seudati. Di beberapa daerah terdapat seni tari yang diiringi dengan pembacaan shalawat
dan bacaaan lainnya dari Al-Qur an, seperti permainan debus dan Seudati (Aceh). Permainan debus berkembang di bekas pusat
kerajaan Islam seperti Banten, Minangkabau, Aceh, dan sebagainya.
Satu hal yang tidak bisa dilupakan adalah peranan kesenian pertunjukan wayang dalam proses penyebaran Islam di Indonesia,
khususnya Jawa. Riwayatriwayat menceritakan bagaimana salah seorang walisongo, yaitu Sunan Kalijaga menggunakan wayang
sebagai satu bentuk hiburan yang telah lama berkembang dan digemari masyarakat, kemudian dijadikan media (sarana) dalam
proses penyebaran Islam. Sunan Kalijaga memiliki kemahiran dalam memainkan pertunjukan wayang yang diiringi dengan
gamelan, yaitu suatu perangkat bunyi-bunyian yang terdiri dari kuningan dan kayu, gendang, suling, dan rebab.
Sebagai upah dari pertunjukan wayang yang diberikan oleh Sunan Kalijaga maka dia meminta kepada para penonton tersebut
untuk mengucapkan dua kalimah syahadat. Pengucapan dua kalimah syahadat sering dipahami sebagai sebuah pintu masuk bagi
siapa saja yang akan memeluk Islam. Dengan demikian, melalui media wayang ini, Sunan Kalijaga dengan mudah dapat menarik
orang untuk menjadi pemeluk agama Islam.
Di sisi lain masuknya pengaruh agama Islam merubah tradisi seni wayang itu sendiri terutama yang berkaitan dengan lakon atau
cerita yang ditampilkan Sistem kepercayaan Islam tidak mengenal Trimurti dan sistem dewa-dewa. Kemudian para wali
mengubah sistem hierarki kedewaan tersebut dengan mengalihkan cerita bahwa dewa-dewa tersebut ditempatkan sebagai
pelaksana perintah Tuhan dan bukan sebagai Tuhan. Pada akhirnya tersusunlah ceritacerita baru yang bernapaskan keislaman
seperti Dewa Ruci, Jimat Kalimasada, dan lain-lain. Selain itu juga disusun suatu silsilah baru tokoh-tokoh wayang yang sama
sekali berlainan dengan silsilah Hindu asli.[gs]
http://www.gurusejarah.com/2015/07/perkembangan-kesenian-di-kerajaan-yang.html