Anda di halaman 1dari 27

PRESENTASI KASUS

ILEUS OBSTRUKTIF E.C ASBO

Disusun oleh :
Mochamad Rifqie Nugraha Kamal G4A015108

Pembimbing :
dr. Taufan Hidayat, Sp. B

SMF ILMU BEDAH


RSUD PROF DR MARGONO SOEKARDJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2017
LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS
ILEUS OBSTRUKTIF E.C ASBO

Disusun Oleh :

Mochamad Rifqie Nugraha Kamal


G4A015108

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik di bagian


Ilmu Bedah RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo

Telah disetujui dan dipresentasikan


Pada tanggal :

Dokter Pembimbing :

dr. Taufan Hidayat, Sp.B


NIP. 19740121.201409.1.001

2
I. LAPORAN KASUS

A. Identitas
Nama : Ny. K
No.CM : 01723769
Usia : 38 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat :
Agama : Islam
Suku Bangsa : Jawa

B. Anamnesis
1. Keluhan Utama
Perut terasa nyeri
2. Keluhan Tambahan
Perut, Sulit BAB, Sulit kentut, Mual dan Muntah jika makan
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSMS tanggal 17 Agustus 2017 dengan keluhan nyeri
perut. Nyeri perut sudah terasa sejak 10 hari SMRS. Nyeri perut dirasakan
seperti melilit dan terjadi terus menerus. Nyeri terasa semakin memberat.
Sebelumnya pasien tidak pernah merasa nyeri ditempat lain. Pasien juga
mengeluhkan perut terasa kembung dan membesar. Selain itu, pasien juga
mengeluhkan nafsu makan yang menurun. Jika pasien makan atau minum,
pasien mudah mual dan muntah. Pasien juga tidak bisa buang air kecil
maupun kentut.
3 minggu SMRS, pasien mengeluhkan sering buang air besar. Frekuensi
buang air besar > 5x perhari. BAB berupa cairan disertai dengan ampas dan
lendir, kadang disertai darah. Keadaan sering BAB ini berlangsung selama
2 minggu, setelah itu pasien mencoba berobat jalan dan meminum obat,
tetapi pasien menjadi tidak bisa BAB dan flatus. Semenjak itu perut mulai
membesar dan nyeri.

3
Pasien sebelumnya dirawat di rumah sakit 5 minggu SMRS karena kurang
darah disertai perdarahan dari jalan lahir selama 4 hari, dan diberikan
tranfusi darah 2 kantung. 9 Hari SMRS pasien masuk rumah sakit kembali
selama 3 hari dan ditranfusi 2 kantung. Setelah itu pasien mulai
mengeluhkan perut nyeri dan membesar. 4 hari SMRS pasien juga masuk
rumah sakit, lalu dirujuk ke RSMS.

4. Riwayat Penyakit Dahulu


a. Penyakit Jantung : disangkal
b. Penyakit Diabetes Melitus : disangkal
c. Penyakit Ginjal : disangkal
d. Penyakit Hipertensi : disangkal
e. Riwayat Trauma sebelumnya : disangkal
f. Riwayat Menstuasi : pasien sudah tidak menstruasi
selama 7 bulan
g. Riw. Operasi Kista ovari dan apendisitis bulan Februari 2016

5. Riwayat Penyakit Keluarga


a. Penyakit Jantung : disangkal
b. Penyakit Diabetes Melitus : disangkal
c. Penyakit Ginjal : disangkal
d. Penyakit Hipertensi : disangkal

6. Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien merupakan seorang ibu rumah tangga. Pasien tinggal
bersama suami dan 2 orang anak. Dalam 10 hari terakhir pasien sedikit dan
jarang dalam kebiasaan makan.

C. Pemeriksaan Fisik Tanggal (17 Agustus 2017)


Keadaan Umum : Tampak Sakit
Kesadaran : CM/GCS E4M6V5
Vital Sign : TD: 140/90 mmHg, N: 100 x/menit,

4
RR : 22 x/menit S: 36.5 0C

Status Generalis
1. Pemeriksaan kepala
Kepala : mesocephal, simetris, jejas (-)
Mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, rc direct
+/+, rc indirect +/+, PBI 3mm/3mm
Telinga : discharge (-), serumen (-)
2. Pemeriksaan Leher : trakea ditengah, KGB tidak teraba membesar,
kelenjar tiroid tidak teraba membesar
3. Pemeriksaan Toraks
Paru
Inspeksi :Dada simetris, ketertinggalan gerak (-), retraksi intercostal
(-)
Palpasi :Vokal fremitus paru kanan = paru kiri, ketertinggalan gerak
(-)
Perkusi :Sonor pada seluruh lapang paru
Auskultasi :Suara dasar vesikuler +/+, Ronkhi basah halus di basal -/-
, Ronkhi basah kasar di parahiler -/-, Wheezing -/-
Jantung
Inspeksi :tampak pulsasi ictus cordis di SIC VI 2 jari medial LMCS
Palpasi : ictus cordis teraba SIC VI 2 jari medial LMCS
ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung kanan atas SIC II LPSD
batas jantung kiri atas SIC II LPSS
batas jantung kanan bawah SIC IV LPSD
batas jantung kiri bawah SIC VI 2 jari medial LMCS
Auskultasi : S1>S2, regular, murmur (-), gallop (-)
4. Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : Cembung, Jejas (-), bekas OP +,
Auskultasi : Metalic sound (+)
Perkusi : Hipertimpani (+) di seluruh regio perut

5
Palpasi : NT (-), teraba massa di inguinal sinistra, 2x2cm, molibe
5. Pemeriksaan ekstremitas
Superior : edema (-/-), sianosis (-/-), akral hangat (+/+)
Inferior : edema (-/-), sianosis (-/-), akral hangat (+/+)

Pemeriksaan lokalis abdomen :


a. Inspeksi : Cembung
b. Auskultasi : Metalic sound (+)
c. Perkusi : Hipertimpani (+)
d. Palpasi : Nyeri tekan (-), ditemukan massa 2x2 cm, di regio inguinal
sinistra, tidak nyeri tekan, mobile
e. Rectal Tuscae : Tonus sfingter ani tidak kuat, ampula recti tidak kolaps,
mucosa licin, massa (+) pukul 12, bulat, multiple, permukaan halus,
konsistensi keras, batas tegas, NT +, feses (-) darah (-) lendir (+)

D. DIAGNOSA BANDING
a) Ileus Obstruktif
b) Ileus Paralitik
c) Hemoroid grade 1
d) Ca ovarium

E. DIAGNOSIS
Ileus Obstruktif e.c Adhesive Small Bowel Obsruction

F. Pemeriksaan Tambahan :
1. Pemeriksaan Laboratorium
Hasil pemeriksaan laboratorium pada tanggal 17 Agustus 2017 :
Pemeriksaan Hasil Nilai normal
Darah lengkap
Hemoglobin 12.7 g/dl 12.8-16.8
Leukosit 21070 U/L 4500-13500
Hematokrit 39 40-52
Eritrosit 5.1 x 106 /uL 4.4-5.9 x 106/uL

6
Trombosit 657000 uL 156000-408000
PT 12 H
APTT 31.5
Ureum 29.1
Creatinin 1.13 H 1.13 H
GDS 73 <200
Na 147 H
K 5.1
CL 100

2. Foto BNO 2 posisi

G. TERAPI
1. Tatalaksana di IGD :
a. IVFD RL 20tpm
b. Inj Ceftriaxon 1gr/12jam
c. Inj ketorolak 30mg/12jam
d. Inj Ranitidin 50mg/12jam
e. Inj ondansentron 1amp/12jam jika mual
f. Pro colostomi
Pasien menolak tindakan colostomi, dan pulang atas permintaan pasien

7
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Kanker rongga mulut merupakan kanker yang berasal ari epitel yang
melapisi mukosa rongga mulut dan organ organ rongga mulut serta kelenjar
lidah yang berada di diding ronga mulut.
Apendisitis merupakan peradangan apendiks vermiformis dan merupakan
penyebab abdomen akut yang paling sering (Wibisono, 2014).
Batasan appendicitis akut adalah appendicitis dengan onset akut yang
memerlukan intervensi bedah, ditandai dengan nyeri di abdomen kuadran
bawah dengan nyeri tekan local dan nyeri alih, spasme otot yang ada di atasnya,
dan hiperestesia kulit. Sedangkan appendicitis kronis adalah appendicitis yang
ditandai dengan penebalan fibrotic dinding organ tersebut akibat peradangan
akut sebelumnya (Craig, 2013).
Appendisitis kronis baru dapat ditegakkan bila ditemukan adanya riwayat
nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang kronis appendiks secara
makroskopis dan mikroskopis. Appendisitis kronis dapat mengalami
peradangan akut lagi yang disebut eksaserbasi akut. Appendisitis merupakan
penyebab tersering operasi kegawatdaruratan dan salah satu penyebab tersering
nyeri abdomen akut (Craig, 2013).
Periapendikular infiltrate atau appendicitis phelmonosa adalah inflamasi
pada appendiks atau mikroperforasi yang ditutupi atau dibungkus oleh
omentum dan atau lekuk usus halus atau peritoneum sehingga terbentuk suatu
massa (De jong & sjamsuhidayat, 2010).

B. Anatomi dan Fisiologi Appendicitis


Kanker rongga mulut merupakan kanker yang berasal ari epitel yang
melapisi mukosa rongga mulut dan organ organ rongga mulut serta kelenjar
lidah yang berada di diding ronga mulut. Ruang lingkup yang membentuk
rongga mulut berupa:
a. anterior : tepi vermiion, baik bibir atas maupun bawah

8
b. Superior: Palaatum durum dan palatum mole, termasuk gingiva
maksilaris
c. Inferior: dasar mulut dan lidah, termasuk gingiva mandibularis
d. Lateral: Mukosa bucca/ pipi
e. Posteriot: arcus pharingeus anterior dekstra et sinistra, papila
circumvalata, uvula, arcus glossopalatini dekstra et sinistra
dari ruang lingkup tersebut, yang organ organ yang termasuk kedalam tumor
rongga mulut berupa
a. Bibir atas dan bawah
b. Lidah dua-pertiga baian anterior
c. mukosa bucca/pipi
d. dasar mulut
e. gingiva maksila dan mandibula
f. trigonum etromolare
g. palatum durum dan mole

yang tidak termasuk kedalam rongga mulut berupa:


a. sarkoma jaringan lunak pada pipi atau bibir,
b. sarkoma saraf perifer
ringgan mulut intak
c. tumor ganas odontogenik dari mandibula atau maksila
d. karsinoma kulit pipi atau bibir
Fungsi utama dari rongga mulut adalah memulai proses pencernaan
makanan. Rongga mulut akan menerima makanan, mengunyah dan
mencampurkannya dengan saliva. Setelah itu, makanan akan mulai ditelan.
reseptor rasa pada lidah dapat membedakan rasaa dari tiap makanan. Rongga
mulut juga berperan penting dalam proses berbicara, serta digunakan untuk
bernafas, minum, mengekpresikan wajah, serta interaksi sosial seperti
mencium.
C. Epidemiologi
Kanker rongga mulut banyak terjadi di negara berkembang. Unsidensi paling
tinggi terdapat di Melanesia dengan 31,5 per 100.000 laki-laki dan 20.2 per

9
100.000 wanita, sedangkan insidensi di Indonesia sendiri tidak diketahui secara
pati karena belum adanya kanker registri. Tingginya insidensi tersebut terjadi
karena banyanyjanya konsimsi tembakau atau alkohol. kanker rongga mulut
merupakan kenker paing banyak no.5 di duniam sedangkan di Asia selatan dan
tenggara merupakan tempat kanker aling banyka k di dunia dengan 6.8000 asus
baru,
Kanker muutt paling banyak terjadi pada laki-laki dibandngka perempuan.
Meskipun begitu, insiden kanker rongga mulut pada laki-laki cenderung
menurn dan wanita menetap pada 2 dekade terakhir. Umur media penderita
rongga kanker mulut sekitra 60 tahun, dengn dominasi kanker dari lidah,
Faktor risiko yang paling banyak dimiliki berupa penggunaan tembakau. Baik
tembakau pipa, cerutu, atau roko tanpa filter. Minuman alkohol juga dapat
meningkatkan risiko, terutama jika dikombinasi dengan meroko. Infeksi virus
EBV dab HPV juga berhubungan dengan karninoma faring dan berperandalam
karnsinoma rongga mulut
D. Potensial Keganasan pada mukosan mulut
Pre-kanker, lesi prekursor, pre-maligna, neoplasma intraepitel, dan potensial
maligna merupakan beberapa iteratur internasional yang secara luas
menjelaskan suatu kondisi klinis yang berpotensi menjadi kanker. Potensi
tersebut dapat menjadi indikator isiko terjadinya eganasan pada mukosa oral.
Kondisi klinis pre kanker dibagi menjadi 2, yautu lesi prakanker dan kondisi
pra kanker
a. Lesi prakanker: merupakan perubahan bentuk jaringan menjadi kanker mulut
dari jaringan yang normal. Lesi tersebut bisa berupaleukoplakia, eritroplakia,
dan lesi palatum pada perokok.
Leukoplaki merupakan plak putih yang tidak bisa dijeaskan secara klinis
atau patologis berupa tanda penyakit lain. eritroplakia merupakan plak
kemerahan, yang sanat berpotensi beruah menjadi kegananasan di dalam mulut.
Sedangkan lesi palatum pada perokok pasig bisasanya berupa lesi merah, putih
atau campuran yang terdapat pada palatum. Biasanya terdapat pada populasi
spesifik yang merokok.

10
b. Kondisi prakanker, merupakan kondisi umum yang berhubungan dengan
meningkatnya risiko kanker secara signifikan. Kondisi tersebut berupa fibrosis
submukosa, actinic keratosis, liken planus dan discoid lupus erithematosus
Fibrosus submukosa oral merupakan kelainan kronik yang ditandai dengan
adanya fibrosis pada baas mukosa dari traktus pencernaan atas, seperti rongga
mulut, oropharing, dan satu pertiga atas esofagus. Keratosis aktinik merupakan
kondisi epitel skuamos vermilion bibir yang hiperplastik atau atrofik dan
menunjukan kelainain pematangan dari keratisasi, atipia sitologi dan
meingkatnya aktivitas mitotik. Liken planus merupakan kelainain inflamasi
kronis akibat patologi imunitas, sel limfosit T terakumulasi di epitelium muosa
mulut dan menyebabkan hiperkeratosis dan eritema dengan atau tanpa ulserasi.
Sedangkan diskoid lupus eritematosis merupakan penyakit autoimun kronik
yang penyebabnya masih belum diketahui. Perubahan keganasannya terjadi
pada bibir, bukan di dalam mulut (Warnakulasuriya, 2007)
Warnakulasuriya, S., Johnson, N.W., dan Waal, V.D. 2007. Nomenclature and
classifiction of potensial malignan disorder of oral mukosa. Jurnnal of Oral
Pathology & Medicine Vol 36: 575-580

E. Patogenesis
F. Klasifikasi Histologi
Pada hasil histopatologi, karsinoma rongga mulut dapat ditemukan gambaran
suamosa sell carsinoma, adenocarsinoma, adenoid sistik carsinoma, melanoma
maligna dan limphona, karsinoma sel skuamosa (KSS) merupakan jenis tumor
terbanyak yang menyebabkan kasinoma rongga mulut, hampir 95%. Pada
hasilpemeriksaan makroskopis dan mikroskopis, daata ditemukan beberapa
tanda berupa:
Pemeriksaan makroskopisL pemeriksaan tanpa mikroskop
a. infiltrat: kanker tumbuh ampai lapisan dalam dari rongga mulut
b. eksophilik: kanker tumbuh keatas melewati permukaan rongga mulut
c. Cerukosis: kanker membentuk gambaran seperti kembang kol
d. ulserasiL kangker berbentuk seperti cekungan yang terbuka
d. flat: kanker muncul berupa arena abnorna pada batas rongga mulut

11
Mikrosopis gambaran yang bisa dilihat melalui mikorskopis
a. tipe diffresnsiasi: sel kanker berdifferensiasi baik (terlihat seperti sel normal),
differensiasi moderatatau buruk (tidak seperti sel yang normal)
b. keratinisasi: keratin merupakan protein yang ditemukan pada rambut, kulit
dan membran mukus untuk membuat jaringan tebal.
Sisa 5% dari kanker rongga mulut berupa tumor-tumor yang sulit ditemukan.
Beberapa tiper sel tersebut berupa:
a. kanker kelenajr saliva
melanoma, biasanya terjadi ddi atap mulut
sarkoma tulang dan soft tissue
limfoma dan plasmacitoma euamouskstramedulla
kanker metastasis
IARC Sceening group. Sell s
Kagan, A. R., Shibata, S.I., McNicoll, M.P., et al. Uncommon tumours of the oral cavity and adjacent
structures. Raghavan, E., Brecher, M. L., Johnson, D. H., et al. (Eds.). (2006). Textbook of
Uncommon Cancer. (3rd Edition). Chichester, England: John Wiley & Sons. 6.2: pp.88-101.

Read more: http://www.cancer.ca/en/cancer-information/cancer-type/oral/oral-cancer/malignant-


tumours/?region=on#ixzz4qkhdK7d6
IARC Screening Group. Squamous cell carcinoma. (2011). IARC Screening Group. International
Agency for Research on Cancer. Retrieved from: http://screening.iarc.fr/index.php.

Read more: http://www.cancer.ca/en/cancer-information/cancer-type/oral/oral-cancer/malignant-


tumours/?region=on#ixzz4qkhiYcg1

G. Diagnosis
1. Anamnesis
Appendisitis infiltrat didahului oleh keluhan appendisitis akut yang
kemudian disertai adanya massa periapendikular. Apendisitis umumnya
dimulai dari periumbilikal dan nyeri difus yang ringan dan umumnya
berlangsung 4-6 jam dan pada akhirnya terkolalisir pada kuadran kanan
bawah. Nyeri pada kuadran kanan bawah lebih berat dan diperburuk dengan
pergerakan atau batuk. Meskipun nyeri kanan bawah khas pada apendisitis,

12
tetapi variasi anatomis apendiks yang berbeda dapat mengakibatkan nyeri
pada lokasi yang atipik dan minimal. Pada apendisitis, juga dapat ditemukan
gejala gastrointestinal seperti mual, muntah, dan anoreksia. Gejala
gastrointestinal yang muncul sebelum onset nyeri mengindikasikan etiologi
lain, misalnya gastroenteritis. Diare dapat terjadi pada apendisitis perforasi,
terutama pada anak-anak (Wibisono, 2014).
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh
radang mendadak apendiks yang memberikan tanda setempat, disertai
maupun tidak disertai rangsang peritoneum lokal. Umunya nafsu makan
menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke kanan bawah ke
titik McBurney. Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya
sehingga merupakan somatik setempat. Kadang tidak ada nyeri epigastrium
tetapi terdapat konstipasi sehingga penderita merasa memerlukan obat
pencahar. Tindakan itu dianggap berbahaya karena bisa mempermudah
terjadinya perforasi. Bila terdapat perangsangan peritoneum biasanya
pasien mengeluh sakit perut bila berjalan atau batuk (De jong &
sjamsuhidayat, 2010).
Bila letak apendiks retrosekal di luar rongga perut, karena letaknya
terlindung sekum maka tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas
dan tidak ada rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih ke arah perut sisi
kanan atau nyeri timbul pada saat berjalan, karena kontraksi otot psoas
mayor yang menegang dari dorsal (Wibisono, 2014).
Apendiks yang terletak di rongga pelvis, bila meradang, dapat
menimbulkan gejala dan tanda rangsangan sigmoid atau rektum sehingga
peristaltik meningkat, pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan
berulang-ulang. Jika apendiks tadi menempel ke kandung kemih, dapat
terjadi peningkatan frekuensi kencing, karena rangsangan dindingnya (De
jong & sjamsuhidayat, 2010).
Pada beberapa keadaan, apendisitis agak sulit didiagnosis sehingga
tidak ditangani pada waktunya dan terjadi komplikasi. Gejala apendisitis
akut pada anak tidak spesifik. Gejala awalnya sering hanya rewel dan tidak
mau makan. Anak sering tidak bisa melukiskan rasa nyerinya dalam

13
beberapa jam kemudian akan timbul muntah-muntah dan anak akan menjadi
lemah dan letargik. Karena gejala yang tidak khas tadi, sering apendisitis
diketahui setelah perforasi. Pada bayi, 80-90 % apendisitis baru diketahui
setelah terjadi perforasi (De jong & sjamsuhidayat, 2010)..
Pada orang berusia lanjut gejalanya juga sering samar-samar saja, tidak
jarang terlambat diagnosis. Akibatnya lebih dari separo penderita baru dapat
didiagnosis setelah perforasi (Wibisono, 2014).
Pada kehamilan, keluhan utama apendisitis adalah nyeri perut, mual,
dan muntah. Yang perlu diperhatikan ialah, pada kehamilan trimester
pertama sering juga terjadi mual dan muntah. Pada kehamilan lanjut sekum
dengan apendiks terdorong ke kraniolateral sehingga keluhan tidak
dirasakan di perut kanan bawah tetapi lebih ke regio lumbal kanan
(Wibisono, 2014).

2. Pemeriksaan Fisik
Tanda vital umumnya normal atau sedikit meningkat. Peningkatan yang
signifikan dapat menunjukkan terjadinya komplikasi atau merupakan
diagnosis lain. Temuan fisik ditentukan oleh terdapatnya iritasi peritoneum
dan rupturnya suatu organ. Suhu umumnya normal atau sedikit meningkat
(37,2-38oC), suhu yang lebih dari 38,3oC dapat menunjukkan suatu
perforasi. Pasien dengan apendisitis umumnya bergerak lebih lambat dan
lebih memilih berbaring dalam posisi supinasi karena iritasi peritoneum.
Pada palpasi abdomen, terdapat nyeri tekan pada titik McBurney. Ketika
tangan pemeriksa dilepaskan secara cepat, pasien juga dapat merasakan
nyeri lepas (Wibisono, 2014).

14
Gambar 4. Letak Nyeri pada Appendisitis

Pada inspeksi perut tidak ditemukan gambaran spesifik. Kembung


sering terlihat pada penderita dengan komplikasi perforasi. Appendisitis
infiltrat atau adanya abses apendikuler terlihat dengan adanya penonjolan di
perut kanan bawah. Pada palpasi didapatkan nyeri yang terbatas pada regio
iliaka kanan, bisa disertai nyeri lepas. Defans muskuler menunjukkan
adanya rangsangan peritoneum parietal. Nyeri tekan perut kanan bawah ini
merupakan kunci diagnosis. Pada penekanan perut kiri bawah akan
dirasakan nyeri di perut kanan bawah yang disebut tanda Rovsing (De jong
& sjamsuhidayat, 2010).

Gambar 5. Dengan palpasi Mc Burney Sign akan didapatkan nyeri


tekan, nyeri lepas, atau defans muscular jika sudah terjadi peritonitis.

15
Pada apendisitis retrosekal atau retroileal diperlukan palpasi dalam
untuk menentukan adanya rasa nyeri. Jika sudah terbentuk abses yaitu bila
ada omentum atau usus lain yang dengan cepat membendung daerah
apendiks maka selain ada nyeri pada fossa iliaka kanan selama 3-4 hari
(waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan abses) juga pada palpasi akan
teraba massa yang fixed dengan nyeri tekan dan tepi atas massa dapat
diraba. Jika apendiks intrapelvinal maka massa dapat diraba pada RT
(Rectal Touche) sebagai massa yang hangat (De jong & sjamsuhidayat,
2010).
Peristalsis usus sering normal, peristalsis dapat hilang karena ileus
paralitik pada peritonitis generalisata akibat apendisitis perforata.
Pemeriksaan colok dubur menyebabkan nyeri bila daerah infeksi bisa
dicapai dengan jari telunjuk, misalnya pada apendisitis pelvika. Pada
apendisitis pelvika tanda perut sering meragukan, maka kunci diagnosis
adalah nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok dubur. Colok dubur pada
anak tidak dianjurkan. Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator merupakan
pemeriksaan yang lebih ditujukan untuk mengetahui letak apendiks. Uji
psoas dilakukan dengan rangsangan m. psoas lewat hiperekstensi atau fleksi
aktif. Bila apendiks yang meradang menempel di m.psoas, tindakan tersebut
akan menimbulkan nyeri. Uji obturator digunakan untuk melihat apakah
apendiks yang meradang kontak dengan m.obturator internus yang
merupakan dinding panggul kecil. Dengan gerakan fleksi dan endorotasi
sendi panggul pada posisi terlentang, pada apendisitis pelvika akan
menimbulkan nyeri (Wibisono, 2014).
Dasar anatomi dari tes psoas. Apendiks yang mengalami peradangan
kontak dengan otot psoas yang meregang saat dilakukan manuver
(pemeriksaan). Tes Obturator positif jika terdapat nyeri pada rotasi kedalam
secara pasif saat paha pasien difleksikan. Pemeriksa menggerakkan tungkai
bawah kelateral, pada saat itu ada tahanan pada sisi samping dari lutut (tanda
bintang), menghasilkan rotasi femur kedalam. Dasar Anatomi dari tes

16
obturator adalah peradangan apendiks dipelvis yang kontak dengan otot
obturator internus yang meregang saat dilakukan maneuver (Sile, 2015).
Pada apendisitis perforasi, dapat ditemukan tanda-tanda peritonitis,
seperti nyeri tekan dan defans muskular. Perforasi jarang terjadi 24 jam
setelah munculnya onset, tetapi insidensinya meningkat hingga 80% setelah
48 jam. Pada apendisitis perforasi, dapat ditemukan massa yang biasanya
tidak terdeteksi sebelum 3 hari. Massa yang muncul sebelum itu dapat
menunjukkan suatu keganasan atau Crohns disease (Silen, 2015).

Gambar 6. Rovsings sign Gambar 7. Obturator sign

Gambar 8. Psoas Sign Gambar 9. Rectal touche

3. Pemeriksaan Penunjang

17
a. Laboratorium
Leukositosis ringan umumnya ditemui pada pasien dengan
apendisitis akut tanpa komplikasi. Pada apendisitis akut tanpa
komplikasi, leukosit jarang >18.000 sel/mm3. Leukosit yang tinggi
melebihi nilai tersebut dapat menunjukkan apendisitis yang telah
mengalami perforasi. Tidak adanya leukositosis tidak menyingkirkan
apendisitis. Hitung jenis leukosit terdapat pergeseran kekiri. Pada
pemeriksaan urin, sedimen dapat normal atau terdapat leukosit dan
eritrosit lebih dari normal bila apendiks yang meradang menempel pada
ureter atau vesika. Peningkatan c-reactive protein (CRP) juga
merupakan indikator kuat apendisitis, terutama apendisitis yang
mengalami komplikasi. Hitung sel darah putih dapat menurun pada
sepsis, tetapi umumnya disertai dengan neutrofil yang tinggi. Pada
pasien usia lanjut, anemia dan darah pada tinja dapat menunjukkan suatu
keganasan (wibisono, 2014).
Selain itu, dapat dilakukan urinalisis untuk menyingkirkan
kemungkinan infeksi saluran kemih. Pada urin, dapat ditemukan
leukosit dan eritrosit tanpa bakteri apabila apendiks berada dekat dengan
ureter kanan atau buli (wibisono, 2014).

b. Radiologi
Pemeriksaan radiologi yang dapat digunakan sebagai modalitas
untuk menunjang diagnosis apendisitis adalah ultrasonografi (USG) dan
CT-Scan. USG merupakan pemeriksaan yang cukup praktis, bebas
radiasi sinar-x, relatif murah, dan cepat dilakukan untuk mendukung
diagnosis apendisitis. Pada pemeriksaan USG dapat ditemukan
pelebaran diameter 7-9mm apendiks yang tidak dapat terkompresi,
penebalan dinding apendiks, serta ditemukannya cairan periapendiks.
Pemeriksaan USG memiliki keterbatasan karena sangat bergantung
pada keahlian operator pemeriksa dan tidak bisa digunakan untuk
mengeksklusi apendisitis. Pemeriksaan CT-Scan dilakukan apabila hasil
dari pemeriksaan USG masih meragukan atau negatif. Pemeriksaan ini

18
dapat menjadi dasar untuk mengeksklusi diagnosis apendisits.
Pemeriksaan CT-Scan yang dilakukan menggunakan kontras oral atau
rectal, tidak intravena. Pada CT-Scan dapat ditemukan perbesaran dari
apendiks, penebalan dinding, dan tanda-tanda inflamasi lainnya.
Pemeriksaan ini lebih sensitif dan lebih spesifik dibanding USG (Silen,
2015).
Foto polos abdomen dikerjakan apabila hasil anamnesa atau
pemeriksaan fisik meragukan. Tanda-tanda peritonitis kuadran kanan
bawah. Gambaran perselubungan mungkin terlihat ileal atau caecal
ileus (gambaran garis permukaan air-udara disekum atau ileum).
Patognomonik bila terlihat gambar fekalit 13.
Pemeriksaan radiologi lainnya seperti foto abdomen dan MRI tidak
banyak digunakan. Foto abdomen kurang spesifik dan kurang sensitif.
Sedangkan, MRI tidak banyak digunakan karena biaya yang mahal dan
belum banyak tersedia (Silen, 2015).

c. Sistem Skoring
Penegakan diagnosis apendisitis berdasarkan data klinis didasarkan
pada beberapa gejala dan tanda yang ditemukan. Gejala dan tanda ini
dijadikan suatu sistem skoring yang memiliki nilai prediksi yang cukup
baik terutama untuk menyingkirkan kemungkinan apendisitis dan
menentukan perlunya pemeriksaan lanjutan. Sistem skoring yang
tersedia yaitu Alvarado Score dan Appendicitis Inflammatory Response
Score. Perhitungan skor dan interpretasi hasil skoring tersedia pada
gambar. Namun, sistem skoring ini tidak banyak digunakan dan diterima
secara luas (Liang et al, 2015).

19
Gambar 10. ALVARADO SCORE (Liang, 2015)

H. Diagnosis Banding
Diagnosis banding yang dapat dipikirkan pada pasien dengan kecurigaan
apendisitis adalah adanya kemungkinan kelainan pada organ-organ lain yang
juga dapat menimbulkan nyeri perut kanan bawah seperti organ genitalia, organ
urinaria, organ pencernaan, dan sistem bilier. Diagnosis banding yang
dipikirkan juga dapat didasarkan pada karakteristik pasien, misalnya, pada
pasien wanita usia reproduksi dapat dipikirkan kemungkinan terjadinya
kehamilan ektopik terganggu atau PID. Riwayat menstruasi abnormal,
perdarahan vagina, pemeriksaan kehamilan, aspirasi kuldosentesis dan
pemeriksaan laboratorium dapat membantu membedakan penyakit ini.
Sedangkan, pada pasien usia lanjut, divertikulitis atau adanya perforasi akibat
kegananasan usus dapat dipikirkan sebagai diagnosis banding yang lebih sering.
Pemeriksaan CT-Scan dianjurkan pada pasien usia lanjut. Selain itu, pada anak
sulit membedakan apendisitis dengan adenitis akut pada mesentrik.
Pemeriksaan laboratorium menunjukkan limfositosis dan penyakit ini dapat
sembuh hanya dengan diobservasi (Liang et al, 2015).

I. Tatalaksana
Pasien apendisitis biasanya datang ke IGD dengan keluhan nyeri perut,
maka penatalaksanaan awal yang dilakukan dapat diberikan analgesik.
Pemberian analgesik sempat diperdebatkan karena dikhawatirkan mengurangi

20
keakuratan pemeriksaan fisik, namun kekhawatiran ini sudah disangkal dengan
penelitian-penelitian yang tidak menemukan perbedaan keakuratan
pemeriksaan fisik. Pada pasien apendisitis yang datang dengan gejala klinis
dehidrasi atau sepsis maka dapat dilakukan resusitasi cairan intravena terlebih
dahulu (Liang et al, 2015).
Untuk pasien yang dicurigai Appendicitis : Puasakan dan Berikan analgetik
dan antiemetik jika diperlukan untuk mengurangi gejala. Penelitian
menunjukkan bahwa pemberian analgetik tidak akan menyamarkan gejala saat
pemeriksaan fisik. Pertimbangkan DD/ KET terutama pada wanita usia
reproduksi. Berikan antibiotika IV pada pasien dengan gejala sepsis dan yang
membutuhkan Laparotomy Perawatan appendicitis tanpa operasi. Penelitian
menunjukkan pemberian antibiotika intravena dapat berguna untuk
Appendicitis acuta bagi mereka yang sulit mendapat intervensi operasi
(misalnya untuk pekerja di laut lepas), atau bagi mereka yang memilki resiko
tinggi untuk dilakukan operasi Rujuk ke dokter spesialis bedah. Pemberian
antibiotika preoperative efektif untuk menurunkan terjadinya infeksi post
opersi. Diberikan antibiotika broadspectrum dan juga untuk gram negative dan
anaerob. Antibiotika preoperative diberikan dengan order dari ahli bedah.
Antibiotik profilaksis harus diberikan sebelum operasi dimulai. Biasanya
digunakan antibiotik kombinasi, seperti Cefotaxime dan Clindamycin, atau
Cefepime dan Metronidazole. Kombinasi ini dipilih karena frekuensi bakteri
yang terlibat, termasuk Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa,
Enterococcus, Streptococcus viridans, Klebsiella, dan Bacteroides (Craig,
2013).
Tatalaksana definitif dari apendisitis adalah apendiktomi. Tatalaksana non-
bedah dapat dilakukan terlebih dahulu apabila tidak tersedianya fasilitas atau
tenaga untuk pembedahan atau kondisi pasien yang masih berisiko tinggi jika
dilakukan prosedur pembedahan. Pada pasien apendisitis tanpa komplikasi,
tatalaksana pembedahan memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan
dengan tatalaksana dengan antibiotik saja (Craig, 2013).
Tatalaksana antibiotik saja memiliki angka kegagalan terapi serta angka
rekurensi yang lebih tinggi tinggi. Kondisi ini yang menjadi dasar tatalaksana

21
bedah masih menjadi pilihan utama untuk apendisitis. Tatalaksana pembedahan
dapat dilakukan sampai 24 jam sejak pasien mengalami gejala. Tidak ditemukan
perbedaan bermakna antara hasil pembedahan yang dilakukan kurang dari 12
jam dengan pembedahan yang dilakukan 12-24 jam. Jadi, tatalaksana
pembedahan ini dapat dilakukan dengan persiapan yang cukup sesuai dengan
ketersediaan fasilitas dan tenaga bedah (Liang et al, 2015).
Pada pasien apendisitis dengan komplikasi, tatalaksana pembedahan dapat
dilakukan bersamaan dengan dilakukannya resusitasi pada pasien dengan
komplikasi perforasi yang sudah menyebabkan keadaan sepsis. Pada pasien
apendisitis dengan komplikasi perforasi dengan peritonitis lokal, tatalaksana
non-bedah seperti pemberian antibiotik dan drainase sebelum pembedahan
dapat menurunkan morbiditas. Namun, pada pasien anak lebih baik dilakukan
tatalaksana pembedahan berhubungan dengan lebih seringnya terjadi
komplikasi lebih lanjut (Liang et al, 2015).
Teknik tatalaksana pembedahan yang diberikan dapat secara operasi
terbuka maupun laparoskopi. Operasi terbuka dilakukan dengan teknik insisi
McBurney atau Rocky-Davis pada pasien apendisitis tanpa komplikasi
perforasi. Pada pasien apendisitis dengan perforasi dapat dilakukan insisi garis
tengah perut bagian bawah. Laparoskopi dilakukan dengan membuat insisi yang
lebih kecil. Hal ini membuat laparoskopi memiliki keunggulan risiko infeksi
lebih kecil, nyeri lebih sedikit, lama perawatan lebih singkat, dan bisa cepat
kembali beraktivitas. Namun, laparoskopi memiliki kekurangan yaitu risiko
terjadinya abses intraabdomen lebih tinggi, waktu operasi lebih panjang dan
biaya kamar operasi lebih mahal (Craig, 2013).
Teknik operasi Appendectomy :
1. Open Appendectomy
a. Dilakukan tindakan aseptik dan antiseptik.
b. Dibuat sayatan kulit: Horizontal Oblique
c. Dibuat sayatan otot, ada dua cara:
1) Pararectal/ Paramedian Sayatan pada vaginae tendinae M. rectus
abdominis lalu otot disisihkan ke medial Fascia diklem sampai
saat penutupan vagina M. rectus abdominis karena fascia ada 2

22
supaya jangan tertinggal pada waktu penjahitan karena bila
terjahit hanya satu lapis bisa terjadi hernia cicatricalis. 2 lapis
M.rectus abd. sayatan
2) Mc Burney/ Wechselschnitt/ muscle splitting Sayatan berubah-
ubah sesuai serabut otot. Lokasi insisi yang sering digunakan
pada Appendectomy B.
2. Laparoscopic Appendectomy
Pertama kali dilakukan pada tahun 1983. Laparoscopic dapat dipakai
sarana diagnosis dan terapeutik untuk pasien dengan nyeri akut
abdomen dan suspek Appendicitis acuta. Laparoscopic kemungkinan
sangat berguna untuk pemeriksaan wanita dengan keluhan abdomen
bagian bawah. Membedakan penyakit akut ginekologi dari Appendicitis
acuta sangat mudah dengan menggunakan laparoskop (Craig, 2013).

J. Komplikasi
1. Appendicular infiltrat: Infiltrat / massa yang terbentuk akibat mikro atau
makro perforasi dari Appendix yang meradang yang kemudian ditutupi oleh
omentum, usus halus atau usus besar.
2. Appendicular abscess: Abses yang terbentuk akibat mikro atau makro
perforasi dari Appendix yang meradang yang kemudian ditutupi oleh
omentum, usus halus, atau usus besar.
3. Perforasi
4. Peritonitis
Komplikasi yang sering muncul pada pasien dengan apendisitis adalah
terjadinya perforasi dan peritonitis. Peritonitis terjadi karena adanya radang
peritoneum akibat dari iritan maupun infeksi bakteri dari apendiks yang
perforasi. Proses peradangan ini dapat terjadi secara lokal maupun umum.
Adanya peritonitis ditandai dengan nyeri tekan pada perut, adanya defans
muskular, serta bising usus dapat menurun (De jong & sjamsuhidayat,
2010).
5. Syok septik
6. Mesenterial pyemia dengan Abscess Hepar

23
7. Gangguan peristaltik
8. Ileus

K. Prognosis
Mortalitas adalah 0.1% jika appendicitis akut tidak pecah dan 15% jika
pecah pada orangtua. Kematian biasanya berasal dari sepsis emboli paru atau
aspirasi; prognosis membaik dengan diagnosis dini sebelum rupture dan
antibiotic yang lebih baik.
Morbiditas meningkat dengan rupture dan usia tua. Komplikasi dini adalah
sepsis. Infeksi luka membutuhkan pembukaan kembali insisi kulit yang
merupakan predisposisi terjadinya robekan. Abses intraabdomen dapat terjadi
dari kontaminasi peritonealis setelah gangren dan perforasi. Fistula fekalis
timbul dari nekrosis suatu bagian dari seccum oleh abses atau kontriksi dari
jahitan kantong. Obstruksi usus dapat terjadi dengan abses lokulasi dan
pembentukan adhesi. Komplikasi lanjut meliputi pembentukan adhesi dengan
obstruksi mekanis dan hernia.(Schwartz et al, 2015).
Dengan diagnosis yang akurat serta pembedahan, tingkat mortalitas dan
morbiditas penyakit ini sangat kecil. Keterlambatan diagnosis akan
meningkatkan morbiditas dan mortalitas bila terjadi komplikasi. Serangan
berulang dapat terjadi bila apendiks tidak diangkat. Terminologi apendisitis
kronis sebenarnya tidak ada. (De Jong, 2010).
III. KESIMPULAN

1. Apendisitis merupakan peradangan apendiks vermiformis dan merupakan


penyebab abdomen akut yang paling sering.
2. Secara mikroskopik, inflamasi akut pada apendisitis terbagi menjadi
apendisitis akut kataral, supuratif/flegmonosa dan gangrenosa.
3. Obstruksi lumen merupakan penyebab utama apendisitis. Fekalit merupakan
penyebab tersering dari obstruksi apendiks. Penyebab lainnya adalah hipertrofi
jaringan limfoid, sisa barium dari pemeriksaan roentgen, diet rendah serat,
E.Hystolitica dan cacing usus termasuk ascaris.

24
4. Penegakan diagnosis apendisitis berdasarkan data klinis didasarkan pada beberapa
gejala dan tanda yang ditemukan kemudian dibuat sistem skoring. Sistem skoring yang
umumnya digunakan yaitu Alvarado Score dan Appendicitis Inflammatory Response
Score.
5. Tatalaksana definitif dari apendisitis adalah apendiktomi. Tatalaksana non-
bedah dapat dilakukan terlebih dahulu apabila tidak tersedianya fasilitas atau
tenaga untuk pembedahan atau kondisi pasien yang masih berisiko tinggi jika
dilakukan prosedur pembedahan.

DAFTAR PUSTAKA

Carr, N.J. 2000. Pathology of acute appendicitis. Ann Diagn Pathol 4:46-58.

Craig, Sandy.2013. Appendicitis. http://emedicine.medscape.com/article/773895-


overview#a0156. Diakses pada tanggal 14 Juli 2017.

De jong & Sjamsuhidajat. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC

Liang MK, Andersson RE, Jaffe BM, Berger DH. The appendix. In: Brunicardi FC,
Andersen DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, Matthews JB, editors.
Schwartzs principles of surgery. 10th ed. NY: McGraw-Hill; 2015. p. 1243-
5.

25
Schwartz SI, Shires GT, Spencer FC, Daly JM, Fischer JE, Galloway AC. 2015.
Principles of Surgery. 10th ed. United States of America : McGraw-Hill
companies.

Silen S. Acute appendicitis and peritonitis. In. Longo DL, Kasper DL, Jameson JL,
Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J, editors. Harrisons principles of internal
medicine. 19th ed. USA: McGraw-Hill Companies; 2015. p. 2516-7.

Wibisono E, Jeo WS. Apendisitis. Dalam: Tanto C, Liwang F, Hanifati S, Pradipta


EA, editor. Kapita selekta kedokteran: essentials of medicine. Edisi IV.
Jakarta: Media Aesculapius; 2014. hlm. 213-4.

26
27

Anda mungkin juga menyukai