Metabolisme Karbohidrat
fosfofruktokinase
2. Fruktosa-6-fosfat + ATP fruktosa-1,6-difosfat + ADP
piruvatkinase
3. Fosfenol piruvat + ADP asam piruvat + ATP
Pengaturan Glukoneogenesis
Hati dapat membuat glukosa melalui glukoneogenesis dan menggunakan
glukosa melalui glikolisis sehingga harus ada suatu sistem pengaturan yang
mencegah agar kedua lintasan ini bekerja serentak.Sistem pengaturan juga harus
menjamin bahwa aktivitas metabolik hati sesuai dengan status gizi tubuh yaitu
pembentukan glukosa selama puasa dan menggunakan glukosa saat glukosa
banyak. Aktivitas glukoneogenesis dan glikolisis diatur secara terkoordinasi
dengan cara perubahan jumlah relatif glukagon dan insulin dalam sirkulasi.
Bila kadar glukosa dan insulin darah turun, asam lemak dimobilisasi dari
cadangan jaringan adipose dan aktivitas -oksidasi dalam hati meningkat. Hal ini
mengakibatkan peningkatan konsentrasi asam lemak dan asetil-KoA dalam hati.
Karena asam amino secara serentak dimobilisasi dari otot, maka juga terjadi
peningkatan kadar asam amino terutama alanin. Asam amino hati diubah menjadi
piruvat dan substrat lain glukoneogenesis. Peningkatan kadar asam lemak, alanin,
dan asetil-KoA semuanya memegang peranan mengarahkan substrat masuk ke
glukoneogenesis dan mencegah penggunaannya oleh siklus asam sitrat. Asetil-
KoA secara alosterik mengaktifkan piruvat karboksilase dan menghambat piruvat
dehidrogenase. Oleh karena itu, menjamin bahwa piruvat akan diubah menjadi
oksaloasetat. Piruvat kinase dihambat oleh asam lemak dan alanin, jadi
menghambat pemecahan PEP yang baru terbentuk menjadi piruvat.
Pengaturan hormonal fosfofruktokinase dan fruktosa-1,6-bisfosfatase diperantarai
oleh senyawa yang baru ditemukan yaitu fruktosa 2,6-bisfosfat. Pembentukan dan
pemecahan senyawa pengatur ini dikatalisis oleh enzim-enzim yang diatur oleh
fosforilasi dan defosforilasi. Perubahan konsentrasi fruktosa-2,6-bisfosfat sejajar
dengan perubahan untuk glukosa dan insulin yaitu konsentrasinya meningkat bila
glukosa banyak dan berkurang bila glukosa langka. Fruktosa-2,6- bisfosfat secara
alosterik mengaktifkan fosfofruktokinase dan menghambat fruktosa 1,6-
bisfosfatase. Jadi, bila glukosa banyak maka glikolisis aktif dan glukoneogenesis
dihambat. Bila kadar glukosa turun, peningkaan glukagon mengakibatkan
penurunan konsentrasi fruktosa-2,6-bisfosfat dan penghambatan yang sederajat
pada glikolisis dan pengaktifan glukoneogenesis.
Fruktosa ini bisa didapat dari disakarida sukrosa atau juga ditemukan
sebagai monosakarida dalam buah. Intinya fruktosa dalam sel difosforilasi oleh
heksokinase atau fruktokinase yang akhirnya menjadi fruktosa 1 fosfat. Lalu akan
dipecah menjadi DHAP (dihidkrosiasetonfosfat) dan Gliseraldehid oleh aldolase
B. DHAP dapat secara langsung masuk ke glikolisis dan glukoneogenesis di
dalam hati khususnya. Lalu gliseraldehid tersebut dapat dimetabolisme menjadi
sintesis TAG atau dapat menjadi gliseral 3 fosfat. Fruktosa ini akan banyak di
dalam liver dan menyebabkan sintesis dari asam lemak. Lalu meningkatkan
esterifikasi dari asam lemak dan meningkatkan sekresi VLDL. Aldolase reduktase
mereduksi glukosa untuk mereduksi sorbitol ke dalam jaringan retina, ginjal
sperma dan lain-lain. Di dalam hati, sperma pembentukan sorbitol berubah
menjadi fruktosa oleh enzim sorbitol dehidrogenase dan inilah sumber energi
sperma.
Sorbitol tidak seperti glukosa, dia tidak bisa melewati membran sel akibatnya
sorbitol terjebak didalam sel. Ketika sorbitol dehidgrogenasenya rendah sorbitol
akan menumpuk didalam sel. Ini menyebabkan efek osmotik meningkat, sorbitol
menarik air sehingga terjadi pembengkakan diantaranya katarak, neurophati
petipheral, vaskular problem yang nantinya mengakibatkan retinophati dan
nefrophati.
Prevalensi dan kejadian diabetes melitus dari tahun ketahun semakin meningkat,
dan ternyata didahului oleh berbagai faktor risiko penyakit kardiovaskuler lainnya
seperti kegemukan, hipertensi, dislipidemi yang pada dasarnya ditandai dengan
adanya resistensi insulin (RI). Akibatnya hal ini menjadi pertanyaan apakah
toleransi glukosa terganggu secara independent dapat merupakan faktor risiko
penyakit kardiovaskuler tanpa faktor risiko lainya. Penelitian epidemiologis
menunjukkan bahwa kejadian penyakit kardiovaskuler telah terjadi pada kenaikan
kadar glukosa plasma tetapi lebih rendah dari kadar glukosa plasma minimal yang
memenuhi kriteria diabetes melitus. Keadaan ini dijumpai pada toleransi glukosa
terganggu dan glukosa plasma puasa terganggu. Bila dibanding dengan diabetes
melitus tipe 2, maka prevalensi toleransi glukosa terganggu / glukosa plasma
puasa terganggu jauh lebih tinggi sehingga merupakan fenomena gunung es yang
mana toleransi glukosa terganggu dan atau glukosa plasma puasa terganggu tidak
nampak atau tidak terdiagnosis sedang diabetes melitus tipe 2 merupakan gunung
es nya.
Pada pasien diabetes melitus tipe 2 yang tidak mempunyai riwayat infark
miokard, mempunyai risiko untuk mendapat serangan infark miokard sama
dengan pasien non diabetes melitus yang sudah pernah mendapat infark miokard.
Tidak heran bila diabetes melitus tipe 2 tidak dimasukkan dalam kelompok risiko
tinggi akan tetapi dianggap kelompok yang sudah pernah menderita penyakit
kardiovaskuler.
PATOGENESIS TOLERANSI GLUKOSA TERGANGGU DAN OBESITAS
Adapun yang mendasari timbulnya toleransi glukosa terganggu dan obesitas
yaitu resistensi insulin. Resistensi insulin ditandai dengan penurunan asupan
glukosa di otot, lipolisis yang tidak terkendali di jaringan adiposit dan produksi
glukosa oleh hati yang meningkat.
Jaringan lemak atau adiposa terdiri dari sel-sel adiposit yang mengandung
trigliserid. Dalam keadaan normal otot menggunakan glukosa untuk membentuk
energi. Bila kadar asam lemak meningkat, maka Free Fatty Acid (FFA) banyak
masuk dalam otot.
Pada orang obes atau toleransi glukosa terganggu maka jaringan lemak banyak
mengandung sel adiposit yang mengandung selain lemak juga trigliserid. Dari
trigliserid dengan bantuan enzim lipoprotein lipase akan diubah menjadi asam
lemak bebas, asam lemak tidak jenuh dan gliserol. Asam lemak masuk dalam otot
dan hati menyebabkan siklus dari Rendle yang akhirnya menyebabkan
hiperinsulinemi yang pada tahap lanjut menyebabkan resistensi insulin.
Jaringan lemak yang sebelumnya hanya dianggap sebagai deposit trigliserid,
ternyata mempunyai fungsi endokrin sitokin dengan menghasilkan hormon TNF-
alpha, leptin interleukin 6, resistin dan adiponektin. TNF-alpha, interleukin,
resistin menyebabkan resistensi insulin sedang adiponektin dan leptin
menghambat resistensi insulin.
Berdasarkan atas kedua hal tersebut yaitu siklus dari Rendle yang menyebabkan
resistensi insulin serta adanya produksi sitokin yang meningkatkan resistensi
insulin maka dapat dikatakan bahwa resistensi insulin dapat dianggap sebagai
denominator umum dari sindroma metabolik, walaupun WHO menetapkan bahwa
tidak semua komponen metabolik dilatarbelakangi oleh resistensi insulin.
Ada 2 kunci yang dianggap sebagai faktor risiko kardiovaskuler pada obesitas:
pertama adalah faktor obesitas sentral sebagai faktor penyakit kardiovaskuler dan
kedua adalah jaringan lemak yang dianggap sebagai organ endokrin karena
mengeluarkan atau mensekresi sejumlah molekul yang mengatur atau
memodulasi vaskuler, metabolik, inflamasi dari sistim kardiovaskuler. Oleh
karena itu deposisi lemak didaerah abdomen adalah merupakan target intervensi
klinik pada individu yang obes.
Ada perbedaan antara toleransi glukosa terganggu dan glukosa plasma puasa
terganggu yaitu keduanya tidak equivalen secara metabolik. Berbagai penelitian
menunjukkan toleransi glukosa terganggu lebih terkait dengan resistensi insulin
sedang glukosa plasma puasa terganggu lebih terkait dengan defisit sekresi
insulin.
Hal ini menjadi pertanyaan yaitu mana yang lebih baik dalam memprediksi
diabetes melitus dimasa mendatang. Pasien dengan glukosa plasma puasa
terganggu dan atau toleransi glukosa terganggu relatif berisiko tinggi untuk
mendapat diabetes melitus tipe 2. toleransi glukosa terganggu dan glukosa plasma
puasa terganggu biasanya terkait dengan sindroma metabolik yang terdiri berbagai
komponen seperti obesitas, dislipidemi (trigliserid yang meningkat dan atau
kolesterol-HDL yang rendah) dan hipertensi yang merupakan faktor risiko
penyakit kardiovaskuler. Toleransi glukosa terganggu atau glukosa plasma puasa
terganggu dapat dianggap sebagai faktor risiko penyakit kardiovaskuler.
Tiga penelitian besar yang memantau subyek toleransi glukosa terganggu dalam
jangka lama adalah Honololu Heart Program,The Funagata Diabetes Heart
Study dan The Hisayama Heart Study. Penelitian The Honololu Heart
Program meneliti penduduk Hawai keturunan Jepang yang berumur 45-68 tahun
yang tidak menderita penyakit jantung koroner atau strok terhadap 7549 penduduk
dan diteliti selama 23 tahun. Subyek diperiksa kadar glukosa plasma satu jam
setelah 50 gram glukosa. Dari hasil pemeriksaan tersebut, subyek dibagi dalam 4
kelompok yaitu kelompok normal rendah bila plasma glukosa < 151 mg/dl,
normal tinggi, bila glukosa plasma 151-224 mg/dl, hiperglikemi asimptomatik >
225 mg/dl (subyek sebelumnya tidak diketahui menderita diabetes melitus tipe 2
dan tidak mengkomsumsi obat anti hiperglikemi). Kelompok empat adalah
kelompok dengan kadar glukosa plasma > 225 mg/dl, yang diketahui diabetes
melitus tipe 2 dengan atau tanpa mengkomsumsi obat-obat anti hiperglikemi.
Diteliti jumlah kematian total, kejadian penyakit kardiovaskuler dan kematian
akibat penyakit kardiovaskuler setiap tahun. Hasil akhir dari penelitian
menunjukkan dengan jelas bahwa makin tinggi kadar glukosa plasma makin
tinggi kejadian serangan penyakit jantung koroner serta kematian penyakit jantung
koroner maupun keajadian kematian total.
Selanjutnya penelitian dari Jepang yaitu Hisayama Study yang meneliti 2427
penduduk kota Hisayama yang berumur 40-79 tahun yang tidak menderita infark
miokard dan bebas dari strok. Semua subyek yang diteliti diperiksa tes toleransi
glukosa oral berdasarkan kriteria WHO 1985. Hasilnya subyek dikelompokkan
atas toleransi glukosa normal, toleransi glukosa terganggu dan diabetes melitus
tipe 2. Semua subyek yang berpartisipasi dipantau angka kematian setiap
tahunnya selama 5 tahun penelitian. Hasil penelitian menunjukkan angka
kematian kardiovaskuler meningkat sesuai dengan perubahan toleransi glukosa.
Pada kelompok penderita diabetes melitus tipe 2 maupun toleransi glukosa
terganggu lebih banyak yang meninggal akibat infark miokard dan strok
dibanding dengan kelompok toleransi glukosa normal. Disimpulkan oleh peneliti
bahwa toleransi glukosa terganggu maupun diabetes melitus tipe 2 mempunyai
risiko lebih besar dan berbeda secara bermakna banding dengan subyek yang
mempunyai toleransi glukosa normal.
Dari hasil uji klinis dan epidemiologis tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa
toleransi glukosa terganggu dan diabetes melitus tipe 2 mempunyai risiko yang
lebih besar untuk mendapat penyakit kardiovaskuler dibanding dengan subyek
dengan toleransi glukosa normal atau glukosa plasma puasa terganggu. Hasil uji
klinis secara meta analisis menunjukkan bahwa makin banyak komponen faktor
risiko yang dimiliki subyek makin besar kemungkinannya menderita diabetes
melitus tipe 2. Dari hasil penelitian tersebut mereka yang mempunyai 5 faktor
risiko kardiovaskuler yang merupakan komponen sindroma metabolik, risiko
untuk menderita diabetes melitus tipe 2 adalah 50%. Sedang mereka yang hanya
memliki 1 faktor risiko untuk mendapat diabetes melitus tipe 2 adalah 10%.
Risiko akan lebih rendah bila mereka mempunyai toleransi glukosa normal. Salah
satu penelitian melaporkan bahwa tinggi rendahnya kadar glukosa plasma puasa
dan 2 jam setelah beban glukosa serta indeks massa tubuh dan usia muda
merupakan prediktor yang kuat untuk menjadi diabetes melitus tipe 2 dikemudian
hari.
Dasar dari meningkatnya risiko diabetes melitus tipe 2 pada mereka yang
mempunyai faktor risiko kardiovaskuler adalah resistensi insulin atau obesitas
sentral. Peningkatan risiko penyakit kardiovaskuler berkaitan erat dengan
dislipidemi yang berhubungan dengan resistensi insulin atau hiperinsulinemi
(kadar kolesterolHDL yang rendah, hipertrigliseridemi). Sehingga resistensi
insulin akan meningkatkan risiko penyakit kardiovaskuler pada pasien diabetes
melitus tipe 2 maupun non diabetes melitus. Dengan memperbaiki profil lipid
yang berkaitan dengan resistensi insulin akan menurunkan angka kejadian
penyakit kardiovaskuler dan strok.
Dari 38 penelitian prospektif secara meta-analisis, skala besar dan diikuti selama
4-23 tahun menunjukkan bahwa kadar glukosa plasma adalah sebagai marker
risiko untuk penyakit kardiovaskuler pada orang-orang sehat tanpa diabetes
melitus. Dari penelitian ini jelas mereka yang mepunyai kadar glukosa plasma
setelah beban antara 150-194 mg/dl mempunyai risiko penyakit kardiovaskuler
27% lebih besar dibanding dengan kelompok yang mempunyai kadar glukosa
darah antara 69-107 mg/dl.
Pada saat ini toleransi glukosa terganggu maupun glukosa plasma puasa
terganggu khususnya yang isolated berhubungan dengan faktor risiko
kardiovaskuler dan dimasukkan dalam kelompok sindroma metabolik bersama-
sama dengan hipertensi, kegemukan (obes), dislipidemi dan diabetes melitus tipe
2. Beberapa data menunjukkan bahwa toleransi glukosa terganggu sendiri
mempunyai hubungan lebih besar dengan hipertensi , dislipidemi daripada
glukosa plasma puasa terganggu.
Obesitas meningkatkan risiko diabetes melitus tipe 2 lebih besar dari faktor
risiko lainnya. Penelitian epidemiologis di Amerika Serikat yang melibatkan lebih
100.000 penduduk menunjukkan bahwa orang dengan indeks massa tubuh >35
kg/m2 mempunyai risiko 30-40 kali mendapat diabetes melitus tipe 2 dibanding
dengan individu dengan indeks massa tubuh < 22kg/m2. Prevalensi berat badan
berlebih pada diabetes melitus tipe 2 adalah lebih dari 90%. Demikian pula
obesitas merupakan faktor risiko diabetes melitus tipe 2 yang tidak tergantung
pada umur, ras dan aktifitas fisik.
Glikoprotein adalah molekul yang berisi sebagian protein dan setidaknya satu
porsi karbohidrat. Glikoprotein yang umum dalam biologi dan melakukan
berbagai fungsi.
Karbohidrat adalah bahan bakar jangka pendek superior untuk organisme karena
mereka mudah untuk metabolisme dari lemak atau bagian-bagian asam amino
dari protein yang digunakan untuk bahan bakar. Pada hewan, karbohidrat paling
penting adalah glukosa; begitu banyak sehingga, bahwa tingkat glukosa
digunakan sebagai kontrol utama untuk metabolisme hormon pusat, insulin . Pati,
dan selulosa dalam beberapa organisme (misalnya, rayap , ruminansia , dan
beberapa bakteri ), kedua polimer glukosa menjadi, yang dibongkar selama
pencernaan dan diserap sebagai glukosa. Beberapa karbohidrat sederhana
memiliki sendiri oksidasi enzimatik jalur, seperti yang dilakukan hanya beberapa
dari karbohidrat yang lebih kompleks. Laktosa disakarida, misalnya, memerlukan
enzim laktase akan dipecah menjadi komponen monosakarida; banyak hewan
kekurangan enzim ini di masa dewasa.