Anda di halaman 1dari 20

2.

Metabolisme Karbohidrat

2.1 Glukoneogenesis (Biokimia)

Pada dasarnya glukoneogenesis adalah sintesis glukosa dari senyawa


bukan karbohidrat, misalnya asam laktat dan beberapa asam amino. Proses
glukoneogenesis berlangsung terutama dalam hati. Asam laktat yang terjadi pada
proses glikolisis dapat dibawa oleh darah ke hati. Di sini asam laktat diubah
menjadi glukosa kembali melalui serangkaian reaksi dalam suatu proses yaitu
glukoneogenesis (pembentukan gula baru).
Glukoneogenesis yang dilakukan oleh hati atau ginjal, menyediakan suplai
glukosa yang tetap. Kebanyakan karbon yang digunakan untuk sintesis glukosa
akhirnya berasal dari katabolisme asam amino. Laktat yang dihasilkan dalam sel
darah merah dan otot dalam keadaan anaerobik juga dapat berperan sebagai
substrat untuk glukoneogenesis. Glukoneogenesis mempunyai banyak enzim yang
sama dengan glikolisis, tetapi demi alasan termodinamika dan pengaturan,
glukoneogenesis bukan kebalikan dari proses glikolisis karena ada tiga tahap
reaksi dalam glikolisis yang tidak reversibel, artinya diperlukan enzim lain untuk
reaksi kebalikannya.
glukokinase
1. Glukosa + ATP Glukosa-6-fosfat + ADP

fosfofruktokinase
2. Fruktosa-6-fosfat + ATP fruktosa-1,6-difosfat + ADP

piruvatkinase
3. Fosfenol piruvat + ADP asam piruvat + ATP

Enzim glikolitik yang terdiri dari glukokinase, fosfofruktokinase, dan piruvat


kinase mengkatalisis reaksi yang ireversibel sehingga tidak dapat digunakan untuk
sintesis glukosa. Dengan adanya tiga tahap reaksi yang tidak reversibel tersebut,
maka proses glukoneogenesis berlangsung melalui tahap reaksi lain. Reaksi tahap
pertama glukoneogenesis merupakan suatu reaksi kompleks yang melibatkan
beberapa enzim dan organel sel (mitokondrion), yang diperlukan untuk mengubah
piruvat menjadi malat sebelum terbentuk fosfoenolpiruvat.
Tiga reaksi pengganti yang pertama mengubah piruvat menjadi fosfoenolpiruvat
(PEP), jadi membalik reaksi yang dikatalisis oleh piruvat kinase. Perubahan ini
dilakukan dalam 4 langkah. Pertama, piruvat mitokondria mengalami
dekarboksilasi membentuk oksaloasetat. Reaksi ini memerlukan ATP (adenosin
trifosfat) dan dikatalisis oleh piruvat karboksilase. Seperti banyak enzim lainnya
yang melakukan reaksi fiksasi CO2, pada reaksi ini memerlukan biotin untuk
aktivitasnya. Oksaloasetat direduksi menjadi malat oleh malat dehidrogenase
mitokondria. Pada reaksi ini, glukoneogenesis secara singkat mengalami overlap
(tumpang tindih) dengan siklus asam sitrat. Malat meninggalkan mitokondria dan
dalam sitoplasma dioksidasi membentuk kembali oksaloasetat. Kemudian
oksaloasetat sitoplasma mengalami dekarboksilasi membentuk PEP pada reaksi
yang tidak memerlukan GTP (guanosin trifosfat) yang dikatalisis oleh PEP
karboksikinase.
Reaksi pengganti kedua dan ketiga dikatalisis oleh fosfatase. Fruktosa-1,6-
bisfosfatase mengubah fruktosa-1,6-bisfosfat menjadi fruktosa-6-fosfat, jadi
membalik reaksi yang dikatalisis oleh fosfofruktokinase. Glukosa-6-fosfatase
yang ditemukan pada permulaan metabolisme glikogen, mengkatalisis reaksi
terakhir glukoneogenesis dan mengubah glukosa-6-fosfat menjadi glukosa bebas.
Dengan penggantian reaksi-reaksi pada glikolisis yang secara termodinamika
ireversibel, glukoneogenesis secara termodinamika seluruhnya menguntungkan
dan diubah dari lintasan yang menghasilkan energi menjadi lintasan yang
memerlukan energi. Dua fosfat berenergi tinggi digunakan untuk mengubah
piruvat menjadi PEP. ATP tambahan digunakan untuk melakukan fosforilasi 3-
fosfogliserat menjadi 1,3-bisfosfogliserat. Diperlukan satu NADH pada perubahan
1,3-bisfosfogliserat menjadi gliseraldehida-3-fosfat. Karena 2 molekul piruvat
digunakan pada sintesis satu glukosa, maka setiap molekul glukosa yang disintesis
dalam glukoneogenesis, sel memerlukan 6 ATP dan 2 NADH. Glikolisis dan
glukoneogenesis tidak dapat bekerja pada saat yang sama. Oleh karena itu, ATP
dan NADH yang diperlukan pada glukoneogenesis harus berasal dari oksidasi
bahan bakar lain, terutama asam lemak.
Walaupun lemak menyediakan sebagian besar energi untuk glukoneogenesis,
tetapi lemak hanya menyumbangkan sedikit fraksi atom karbon yang digunakan
sebagai substrat. Ini sebagai akibat struktur siklus asam sitrat. Asam lemak yang
paling banyak pada manusia yaitu asam lemak dengan jumlah atom karbon genap
didegradasi oleh enzim -oksidasi menjadi asetil-KoA. Asetil KoA
menyumbangkan fragmen 2-karbon ke siklus asam sitrat, tetapi pada permulaan
siklus 2 karbon hilang sebagai CO2. Jadi, metabolisme asetil KoA tidak
mengakibatkan peningkatan jumlah oksaloasetat yang tersedia untuk
glukoneogenesis. Bila oksaloasetat dihilangkan dari siklus dan tidak diganti,
kapasitas pembentukan ATP dari sel akan segera membahayakan. Siklus asam
sitrat tidak terganggu selama glukoneogenesis karena oksaloasetat dibentuk dari
piruvat melalui reaksi piruvat karboksilase.
Kebanyakan atom karbon yang digunakan pada sintesis glukosa disediakan oleh
katabolisme asam amino. Beberapa asam amino yang umum ditemukan
mengalami degradasi menjadi piruvat. Oleh karena itu masuk ke proses
glukoneogenesis melalui reaksi piruvat karboksilase. Asam amino lainnya diubah
menjadi zat antara 4 atau 5 karbon dari siklus asam sitrat sehingga dapat
membantu meningkatkan kandungan oksaloasetat dan malat mitokondria. Dari 20
asam amino yang sering ditemukan dalam protein, hanya leusin dan lisin yang
seluruhnya didegradasi menjadi asetil-KoA yang menyebabkan tidak dapat
menyediakan substrat untuk glukoneogenesis.

Pengaturan Glukoneogenesis
Hati dapat membuat glukosa melalui glukoneogenesis dan menggunakan
glukosa melalui glikolisis sehingga harus ada suatu sistem pengaturan yang
mencegah agar kedua lintasan ini bekerja serentak.Sistem pengaturan juga harus
menjamin bahwa aktivitas metabolik hati sesuai dengan status gizi tubuh yaitu
pembentukan glukosa selama puasa dan menggunakan glukosa saat glukosa
banyak. Aktivitas glukoneogenesis dan glikolisis diatur secara terkoordinasi
dengan cara perubahan jumlah relatif glukagon dan insulin dalam sirkulasi.
Bila kadar glukosa dan insulin darah turun, asam lemak dimobilisasi dari
cadangan jaringan adipose dan aktivitas -oksidasi dalam hati meningkat. Hal ini
mengakibatkan peningkatan konsentrasi asam lemak dan asetil-KoA dalam hati.
Karena asam amino secara serentak dimobilisasi dari otot, maka juga terjadi
peningkatan kadar asam amino terutama alanin. Asam amino hati diubah menjadi
piruvat dan substrat lain glukoneogenesis. Peningkatan kadar asam lemak, alanin,
dan asetil-KoA semuanya memegang peranan mengarahkan substrat masuk ke
glukoneogenesis dan mencegah penggunaannya oleh siklus asam sitrat. Asetil-
KoA secara alosterik mengaktifkan piruvat karboksilase dan menghambat piruvat
dehidrogenase. Oleh karena itu, menjamin bahwa piruvat akan diubah menjadi
oksaloasetat. Piruvat kinase dihambat oleh asam lemak dan alanin, jadi
menghambat pemecahan PEP yang baru terbentuk menjadi piruvat.
Pengaturan hormonal fosfofruktokinase dan fruktosa-1,6-bisfosfatase diperantarai
oleh senyawa yang baru ditemukan yaitu fruktosa 2,6-bisfosfat. Pembentukan dan
pemecahan senyawa pengatur ini dikatalisis oleh enzim-enzim yang diatur oleh
fosforilasi dan defosforilasi. Perubahan konsentrasi fruktosa-2,6-bisfosfat sejajar
dengan perubahan untuk glukosa dan insulin yaitu konsentrasinya meningkat bila
glukosa banyak dan berkurang bila glukosa langka. Fruktosa-2,6- bisfosfat secara
alosterik mengaktifkan fosfofruktokinase dan menghambat fruktosa 1,6-
bisfosfatase. Jadi, bila glukosa banyak maka glikolisis aktif dan glukoneogenesis
dihambat. Bila kadar glukosa turun, peningkaan glukagon mengakibatkan
penurunan konsentrasi fruktosa-2,6-bisfosfat dan penghambatan yang sederajat
pada glikolisis dan pengaktifan glukoneogenesis.

2.2 Metabolisme Fruktosa

Fruktosa ini bisa didapat dari disakarida sukrosa atau juga ditemukan
sebagai monosakarida dalam buah. Intinya fruktosa dalam sel difosforilasi oleh
heksokinase atau fruktokinase yang akhirnya menjadi fruktosa 1 fosfat. Lalu akan
dipecah menjadi DHAP (dihidkrosiasetonfosfat) dan Gliseraldehid oleh aldolase
B. DHAP dapat secara langsung masuk ke glikolisis dan glukoneogenesis di
dalam hati khususnya. Lalu gliseraldehid tersebut dapat dimetabolisme menjadi
sintesis TAG atau dapat menjadi gliseral 3 fosfat. Fruktosa ini akan banyak di
dalam liver dan menyebabkan sintesis dari asam lemak. Lalu meningkatkan
esterifikasi dari asam lemak dan meningkatkan sekresi VLDL. Aldolase reduktase
mereduksi glukosa untuk mereduksi sorbitol ke dalam jaringan retina, ginjal
sperma dan lain-lain. Di dalam hati, sperma pembentukan sorbitol berubah
menjadi fruktosa oleh enzim sorbitol dehidrogenase dan inilah sumber energi
sperma.
Sorbitol tidak seperti glukosa, dia tidak bisa melewati membran sel akibatnya
sorbitol terjebak didalam sel. Ketika sorbitol dehidgrogenasenya rendah sorbitol
akan menumpuk didalam sel. Ini menyebabkan efek osmotik meningkat, sorbitol
menarik air sehingga terjadi pembengkakan diantaranya katarak, neurophati
petipheral, vaskular problem yang nantinya mengakibatkan retinophati dan
nefrophati.

2.3 Metabolisme Galaktosa


Galaktosa berasal dari hidrolisis dalam usus disakarida laktosa,gula,susu.
Dalam hati,gal;aktosa mudah di konfersi menjadi glukosa.kesanggupan hati
menyelesaikan ini diguinakan sebagai tess faal hati dalam tes toleransi
galaktosa.jalan bagaimana galaktosa dikopnfersi menjadi glukosa dengan
mengalami berbagai sebagai berikut:
1) Galaktosa difosforilasi dengan bantuan galaktokinasi,,dfengan menggukan
ATP sebagi donor fosfat.produk,galaktosa 1-fosfat,bereaksi dengan urididn
difosfat glukosa (UDPG) membentuk urididi fosfat galaktosa dan glukosa
1-fosfat.
2) Transfarase galaktosa dipindahkan ke suatu posisi pada UDPG yang
menggantikan Glukosa.
3) Didalam reaksi nukleutida yang mengandug galaktosa yang di katalis oleh
epimerase.produknya adalah uridin difosfat
glukosa,UDPG.epimirase.mungkin memerlukan oksidasi dan reduksipada
karbon dengan NAD sebagai enzim.
4) Glukosa di bebaskan dari UDPG sebgai glukosa 1-fosfat,mungkin setelah
inkorporasi ke dalam glikogen yang disusul oleh fosforilase. Reaksi 3
dapat terbalik denagn bebas dengan cara ini glukosa dapat dikonversi
menjadi galaktosa,sehhingga galaktosa yang telahh terbentuk sebelumnya
tidak esensial lagi.
Faktor faktor yang mempengaruhi Metabolisme Karbohidrat
Pada tiap-tiap jalur metabolisme karbohidrat, telah dibicarakan faktor-
faktor yang mempe-ngaruhi kerja enzim. Secara keseluruhan akan ditinjau
dengan singkat, terutama pengaruh keadaan kelaparan, diabetes melitus dan
pada pemberian makanan yang tinggi karbohidrat.

Pada keadaan kelaparan.


Pada keadaan kelaparan, enzim-enzim utama dari glikolisis, HMP
shunt dan glikogenesis aktifitasnya menurun, sebaliknya aktifitas enzim-
enzim utama dari glukoneogenesis dan glikogenolisis meningkat.
Diharapkan mahasiswa meninjau kembali jalur-jalur karbohidrat terutama
enzim kunci, enzim-enzim yang dipengaruhi oleh keadaan nutrisi (dalam
hal ini kadar substrat). Perhatikan gambar-26 ! Tulislah kembali jalur demi
jalur kemudian rangkaikan semuanya.
Sebagai petunjuk perhatikan :
pengaruh glukosa 6-fosfat
pengaruh fruktosa 1,6-bisfosfat.
pengaruh macam-macam kofaktor ( ATP, AMP, cAMP)
enzim-enzim kunci pada tiap-tiap jalur
hubungan jalur satu dengan lainnya (senyawa tertentu dari satu jalur
mempengaruhi jalur yang lain).
Enzim-enzim utama glikolisis adalah :
Glukokinase, heksokinase, fosfofruktokinase (1,2) dan piruvat kinase.
Enzim-enzim utama HMP shunt adalah:
Glukosa 6-fosfat dehidrogenase dan 6 fosfoglukonat dehidrogenase.
Enzim utama glikogenesis adalah glikogen sintetase.
Enzim utama glikogenolisis adalah glikogen fosforilase.
Enzim-enzim utama glukoneogenesis adalah:
Piruvat karboksilase, fosfoenolpiruvat karboksikinase, fruktosa 1,6
bisfosfatase dan glukosa 6 fosfatase.
Pada keadaan Diabetes Melitus.
Aktifitas enzim-enzim tersebut di atas mirip dengan keadaan
kelaparan.
Pada pemberian makanan tinggi karbohidrat.
Pada keadaan ini terjadi yang sebaliknya, aktifitas enzim-enzim
glikolisis, HMP shunt dan glikogenesis meningkat, sedangkan aktifitas
enzim-enzim utama glukoneogenesis dan glikogenolisis menurun.
H.TOLERANSI GLUKOSA
Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) adalah istilah yang dipakai untuk
menyatakan adanya disglikemi yaitu kenaikan glukosa plasma 2 jam setelah
beban 75 gram glukosa pada pemeriksaan tes toleransi glukosa oral (TTGO) yaitu
antara 140 mg/dl sampai dengan 199 mg/dl. Keadaan ini disebut juga sebagai
prediabetes oleh karena risiko untuk mendapat diabetes melitus tipe 2 dan
penyakit kardiovaskuler sangat besar.Baik obesitas dan toleransi glukosa
terganggu merupakan faktor risiko utama dari penyakit kardiovaskuler sehingga
keduanya dimasukkan sebagai komponen dari sindroma metabolik. Sindroma
metabolik terdiri 5 komponen dimana dikatakan sindroma metabolik bila
ditemukan sekurang-kurangnya 3 komponen dari 5 komponen. Kriteria ini
didasarkan kriteria National Cholesterol Education Program (NCEP) Adult
Treatment Program III (ATP III) yang terdiri dari obese sentral dengan lingkar
pinggang lebih atau sama dengan 80 cm, kadar kolesterol-HDL < 40 mg/dl pada
laki-laki dan wanita > 50 cm, trigliserid >150 mg/dl, hipertensi lebih atau sama
dengan 130/85 mmHg dan Kadar glukosa plasma puasa lebih atau sama dengan
110 mg/dl.
TOLERANSI GLUKOSA TERGANGGU (TGT)
Istilah toleransi glukosa terganggu pertama kali diperkenalkan pada tahun 1979
oleh United Group Diabetes Program (UGDP) dan pada tahun 1980 WHO
memasukkan toleransi glukosa terganggu sebagai bagian dari klasifikasi diabetes
melitus (DM) dan gangguan toleransi glukosa.
Dari hasil uji klinis dari beberapa penelitian telah terbukti bahwa toleransi
glukosa terganggu merupakan faktor risiko untuk timbulnya diabetes melitus tipe
2. Tercatat 1,5 - 4,0 % pertahun toleransi glukosa terganggu menjadi diabetes
melitus. Dasar timbulnya toleransi glukosa terganggu adalah resistensi insulin.
Toleransi glukosa terganggu banyak menarik perhatian akhir-akhir ini karena
disamping mempunyai hubungan dengan diabetes melitus tipe 2 juga pada
toleransi glukosa terganggu kejadian penyakit kardiovaskuler (PKV) meningkat,
bahkan beberapa peneliti menemukan risiko penyakit kardiovaskuler lebih besar
pada subyek toleransi glukosa terganggu dibanding dengan diabetes melitus tipe
2.

Komplikasi penyakit kardiovaskuler merupakan penyebab utama morbiditas dan


mortalitas dari diabetes melitus tipe 2 dan prognosisnya lebih jelek dibanding
dengan non diabetes melitus. Diperkirakan 50-75% pasien meninggal akibat
penyakit kardiovaskuler. Penelitian UKPDS 1999 memperlihatkan bahwa dengan
pengobatan intensif hiperglikemi pada diabetes melitus memberi efek yang
bermakna pada penurunan morbiditas dan mortalitas penyakit kardiovaskuler,
tetapi menurunkan kadar glukosa darah saja tidak berefek banyak pada risiko
penyakit kardiovaskuler. Jadi proses aterosklerosis sudah terjadi jauh sebelum
onset diabetes melitus misalnya pada saat toleransi glukosa terganggu. Walaupun
kontrol glikemik merupakan salah satu bagian utama mencegah risiko penyakit
kardiovaskuler pada diabetes melitus tipe 2, tetapi beberapa faktor risiko lain
seperti hipertensi, dislipidemi, dan obesitas sentral yang erat kaitannya dengan
resistensi insulin juga memerlukan penanganan untuk mencegah diabetes melitus
tipe 2 maupun penyakit kardiovaskuler.

Prevalensi dan kejadian diabetes melitus dari tahun ketahun semakin meningkat,
dan ternyata didahului oleh berbagai faktor risiko penyakit kardiovaskuler lainnya
seperti kegemukan, hipertensi, dislipidemi yang pada dasarnya ditandai dengan
adanya resistensi insulin (RI). Akibatnya hal ini menjadi pertanyaan apakah
toleransi glukosa terganggu secara independent dapat merupakan faktor risiko
penyakit kardiovaskuler tanpa faktor risiko lainya. Penelitian epidemiologis
menunjukkan bahwa kejadian penyakit kardiovaskuler telah terjadi pada kenaikan
kadar glukosa plasma tetapi lebih rendah dari kadar glukosa plasma minimal yang
memenuhi kriteria diabetes melitus. Keadaan ini dijumpai pada toleransi glukosa
terganggu dan glukosa plasma puasa terganggu. Bila dibanding dengan diabetes
melitus tipe 2, maka prevalensi toleransi glukosa terganggu / glukosa plasma
puasa terganggu jauh lebih tinggi sehingga merupakan fenomena gunung es yang
mana toleransi glukosa terganggu dan atau glukosa plasma puasa terganggu tidak
nampak atau tidak terdiagnosis sedang diabetes melitus tipe 2 merupakan gunung
es nya.

Pada pasien diabetes melitus tipe 2 yang tidak mempunyai riwayat infark
miokard, mempunyai risiko untuk mendapat serangan infark miokard sama
dengan pasien non diabetes melitus yang sudah pernah mendapat infark miokard.
Tidak heran bila diabetes melitus tipe 2 tidak dimasukkan dalam kelompok risiko
tinggi akan tetapi dianggap kelompok yang sudah pernah menderita penyakit
kardiovaskuler.
PATOGENESIS TOLERANSI GLUKOSA TERGANGGU DAN OBESITAS
Adapun yang mendasari timbulnya toleransi glukosa terganggu dan obesitas
yaitu resistensi insulin. Resistensi insulin ditandai dengan penurunan asupan
glukosa di otot, lipolisis yang tidak terkendali di jaringan adiposit dan produksi
glukosa oleh hati yang meningkat.

Jaringan lemak atau adiposa terdiri dari sel-sel adiposit yang mengandung
trigliserid. Dalam keadaan normal otot menggunakan glukosa untuk membentuk
energi. Bila kadar asam lemak meningkat, maka Free Fatty Acid (FFA) banyak
masuk dalam otot.

Pada orang obes atau toleransi glukosa terganggu maka jaringan lemak banyak
mengandung sel adiposit yang mengandung selain lemak juga trigliserid. Dari
trigliserid dengan bantuan enzim lipoprotein lipase akan diubah menjadi asam
lemak bebas, asam lemak tidak jenuh dan gliserol. Asam lemak masuk dalam otot
dan hati menyebabkan siklus dari Rendle yang akhirnya menyebabkan
hiperinsulinemi yang pada tahap lanjut menyebabkan resistensi insulin.
Jaringan lemak yang sebelumnya hanya dianggap sebagai deposit trigliserid,
ternyata mempunyai fungsi endokrin sitokin dengan menghasilkan hormon TNF-
alpha, leptin interleukin 6, resistin dan adiponektin. TNF-alpha, interleukin,
resistin menyebabkan resistensi insulin sedang adiponektin dan leptin
menghambat resistensi insulin.

Berdasarkan atas kedua hal tersebut yaitu siklus dari Rendle yang menyebabkan
resistensi insulin serta adanya produksi sitokin yang meningkatkan resistensi
insulin maka dapat dikatakan bahwa resistensi insulin dapat dianggap sebagai
denominator umum dari sindroma metabolik, walaupun WHO menetapkan bahwa
tidak semua komponen metabolik dilatarbelakangi oleh resistensi insulin.

Dengan kelebihan asupan kalori atau menurunnya pengeluaran energi,


menyebabkan keseimbangan energi menjadi positif, akumulasi lemak pada
adiposit intraabdominal meningkatkan pengeluaran FFA, TNF-alpha, leptin, dan
produk dari metabolisme jaringan adiposa. Adiposit visceral menyebabkan proses
lipolisis dan inflamasi kronik yang subklinis berhubungan dengan risiko
kardiovaskuler dan merupakan bagian tidak terpisahkan dengan sindroma
metabolik. Penelitian epidemiologis mengindikasikan adanya peningkatan nilai
prediktif risiko kardiovaskuler dengan meningkatnya hs-CRP, walaupun hs-CRP
tidak dimasukkan dalam komponen sindroma metabolik. Sindroma metabolik
maupun hs-CRP keduanya merupakan prediktor yang independent untuk serangan
penayakit kardiovaskuler yang baru.

Ada 2 kunci yang dianggap sebagai faktor risiko kardiovaskuler pada obesitas:
pertama adalah faktor obesitas sentral sebagai faktor penyakit kardiovaskuler dan
kedua adalah jaringan lemak yang dianggap sebagai organ endokrin karena
mengeluarkan atau mensekresi sejumlah molekul yang mengatur atau
memodulasi vaskuler, metabolik, inflamasi dari sistim kardiovaskuler. Oleh
karena itu deposisi lemak didaerah abdomen adalah merupakan target intervensi
klinik pada individu yang obes.

Resistensi insulin dianggap berperan dalam patofisiologi sindroma metabolik.


Namun demikian obesitas dan sindroma metabolik/resistensi insulin tidak
selamanya bersama-sama karena subyek yang obes tidak selalu harus mempunyai
resistensi insulin, sebaliknya resistensi insulin dapat ditemukan pada orang kurus.
OBESITAS DAN FAKTOR RISIKO KARDIOVASKULER
Ada dua faktor risiko kardiovaskuler yang berkaitan erat dengan obesitas yaitu
hipertensi dan dislipidemi. Hipertensi lebih banyak ditemukan dengan IMT > 30
kg/m2 sedang dislipidemi seperti hipertrigliseridemi, kolesterol-HDL yang rendah
dan kolesterolLDL yang tinggi biasanya menyertai pasien obes. Malahan
ditemukan fraksi small dense LDL cholesterol pada pasien obes meningkat.
Dari data prospektif jangka panjang menunjukkan bahwa obesitas merupakan
faktor risiko kardiovaskuler yang independent. Makin berat derajat obesitas makin
meningkat pula risiko kardiovaskuler dan sebaliknya dengan menurunkan berat
badan maka akan diikuti dengan perbaikan pada kadar kolesterol dan tekanan
darah. Hal ini dtemukan juga di negara-negara kawasan Asia seperti Jepang
menunjukkan kenaikan mortalitas dari penaykit kardiovaskuler pada mereka
dengan indeks massa tubuh > 30 kg/m2. Beberapa faktor risiko lain seperti
diabetes, hipertensi dan hiperlipidemi juga meningkat pada subyek dengan indeks
massa tubuh 25-29,9 kg/m2.

TOLERANSI GLUKOSA TERGANGGU DAN PENYAKIT


KARDIOVASKULER

Ada perbedaan antara toleransi glukosa terganggu dan glukosa plasma puasa
terganggu yaitu keduanya tidak equivalen secara metabolik. Berbagai penelitian
menunjukkan toleransi glukosa terganggu lebih terkait dengan resistensi insulin
sedang glukosa plasma puasa terganggu lebih terkait dengan defisit sekresi
insulin.

Hal ini menjadi pertanyaan yaitu mana yang lebih baik dalam memprediksi
diabetes melitus dimasa mendatang. Pasien dengan glukosa plasma puasa
terganggu dan atau toleransi glukosa terganggu relatif berisiko tinggi untuk
mendapat diabetes melitus tipe 2. toleransi glukosa terganggu dan glukosa plasma
puasa terganggu biasanya terkait dengan sindroma metabolik yang terdiri berbagai
komponen seperti obesitas, dislipidemi (trigliserid yang meningkat dan atau
kolesterol-HDL yang rendah) dan hipertensi yang merupakan faktor risiko
penyakit kardiovaskuler. Toleransi glukosa terganggu atau glukosa plasma puasa
terganggu dapat dianggap sebagai faktor risiko penyakit kardiovaskuler.

Shaw dkk (1999) menyimpulkan dalam penelitiannya adalah bahwa toleransi


glukosa terganggu lebih sensitif untuk memprediksi seseorang akan menjadi
diabetes melitus atau penyakit kardiovaskuler dibanding dengan glukosa plasma
puasa terganggu. Selanjutnya terbukti pula bahwa apabila seseorang toleransi
glukosa terganggu juga menderita glukosa plasma puasa terganggu, maka risiko
untuk menjadi diabetes melitus lebih besar. Hal ini ditunjang berbagai penelitian
baik di Eropa maupun di Jepang semuanya menyimpulkan bahwa toleransi
glukosa terganggu lebih berisiko untuk mendapat diabetes melitus / penyakit
kardiovaskuler dibanding glukosa plasma puasa terganggu. Demikian pula risiko
toleransi glukosa terganggu lebih besar dibanding dengan faktor risiko penykait
kardiovaskuler lainnya. Dapat disimpulkan bahwa toleransi glukosa terganggu
dapat merupakan faktor risiko penyakit kardiovaskuler dan strok dan glukosa
plasma puasa terganggu tidak dapat dianggap menggantikan konsep toleransi
glukosa terganggu sebagai marker risiko kearah pemburukan menjadi diabetes
atau penyakit kardiovaskuler.

Dasar timbulnya toleransi glukosa terganggu adalah resistensi insulin di jaringan


perifer. Oleh karena itu subyek dengan toleransi glukosa terganggu selain kadar
glukosa plasma meningkat sering disertai dengan beberapa faktor risiko
kardiovaskuler lainnya seperti hipertensi, dislipidemi, obesitas, atau status
prokoagulasi. Hal ini menyebabkan subyek dengan toleransi glukosa terganggu
lebih rentan untuk menderita penyakit kardiovaskuler.

Tiga penelitian besar yang memantau subyek toleransi glukosa terganggu dalam
jangka lama adalah Honololu Heart Program,The Funagata Diabetes Heart
Study dan The Hisayama Heart Study. Penelitian The Honololu Heart
Program meneliti penduduk Hawai keturunan Jepang yang berumur 45-68 tahun
yang tidak menderita penyakit jantung koroner atau strok terhadap 7549 penduduk
dan diteliti selama 23 tahun. Subyek diperiksa kadar glukosa plasma satu jam
setelah 50 gram glukosa. Dari hasil pemeriksaan tersebut, subyek dibagi dalam 4
kelompok yaitu kelompok normal rendah bila plasma glukosa < 151 mg/dl,
normal tinggi, bila glukosa plasma 151-224 mg/dl, hiperglikemi asimptomatik >
225 mg/dl (subyek sebelumnya tidak diketahui menderita diabetes melitus tipe 2
dan tidak mengkomsumsi obat anti hiperglikemi). Kelompok empat adalah
kelompok dengan kadar glukosa plasma > 225 mg/dl, yang diketahui diabetes
melitus tipe 2 dengan atau tanpa mengkomsumsi obat-obat anti hiperglikemi.
Diteliti jumlah kematian total, kejadian penyakit kardiovaskuler dan kematian
akibat penyakit kardiovaskuler setiap tahun. Hasil akhir dari penelitian
menunjukkan dengan jelas bahwa makin tinggi kadar glukosa plasma makin
tinggi kejadian serangan penyakit jantung koroner serta kematian penyakit jantung
koroner maupun keajadian kematian total.

Selanjutnya penelitian dari Jepang yaitu Hisayama Study yang meneliti 2427
penduduk kota Hisayama yang berumur 40-79 tahun yang tidak menderita infark
miokard dan bebas dari strok. Semua subyek yang diteliti diperiksa tes toleransi
glukosa oral berdasarkan kriteria WHO 1985. Hasilnya subyek dikelompokkan
atas toleransi glukosa normal, toleransi glukosa terganggu dan diabetes melitus
tipe 2. Semua subyek yang berpartisipasi dipantau angka kematian setiap
tahunnya selama 5 tahun penelitian. Hasil penelitian menunjukkan angka
kematian kardiovaskuler meningkat sesuai dengan perubahan toleransi glukosa.
Pada kelompok penderita diabetes melitus tipe 2 maupun toleransi glukosa
terganggu lebih banyak yang meninggal akibat infark miokard dan strok
dibanding dengan kelompok toleransi glukosa normal. Disimpulkan oleh peneliti
bahwa toleransi glukosa terganggu maupun diabetes melitus tipe 2 mempunyai
risiko lebih besar dan berbeda secara bermakna banding dengan subyek yang
mempunyai toleransi glukosa normal.

Penelitian Diabetes Epidemiologi Collaborative Analysis of Diagnostic Criteria


in Europe(DECODE) adalah penelitian epidemiologis bertujuan melihat
hubungan antara kadar glukosa plasma 2 jam setelah beban pada tes toleransi
glukosa oral dengan angka kematian serta kejadian kardiovaskuler. Kesimpulan
hasil penelitian menunjukkan adanya korelasi yang kuat antara kadar glukosa
plasma baik toleransi glukosa terganggu maupun diabetes melitus tipe 2 dengan
meningkatnya angka kematian termasuk angka kematian kardiovaskuler sedang
subyek yang glukosa plasma puasa terganggu tidak berkorelasi.

Penellitian di Jepang yang dikenal dengan Funagata Diabetes Study memantau


subyek toleransi glukosa terganggu dan glukosa plasma puasa terganggu selama 7
tahun. Hasilnya menunjukkan bahwa angka kematian akibat penyakit jantung
koroner dan strok jauh lebih tinggi pada toleransi glukosa terganggu dan diabetes
melitus tipe 2 dibanding dengan glukosa plasma puasa terganggu. Angka kematian
pada glukosa plasma puasa terganggu malahan tidak berbeda dengan angka
kematian pada subyek yang mempunyai toleransi glukosa normal (gambar 1)

Dari hasil uji klinis dan epidemiologis tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa
toleransi glukosa terganggu dan diabetes melitus tipe 2 mempunyai risiko yang
lebih besar untuk mendapat penyakit kardiovaskuler dibanding dengan subyek
dengan toleransi glukosa normal atau glukosa plasma puasa terganggu. Hasil uji
klinis secara meta analisis menunjukkan bahwa makin banyak komponen faktor
risiko yang dimiliki subyek makin besar kemungkinannya menderita diabetes
melitus tipe 2. Dari hasil penelitian tersebut mereka yang mempunyai 5 faktor
risiko kardiovaskuler yang merupakan komponen sindroma metabolik, risiko
untuk menderita diabetes melitus tipe 2 adalah 50%. Sedang mereka yang hanya
memliki 1 faktor risiko untuk mendapat diabetes melitus tipe 2 adalah 10%.
Risiko akan lebih rendah bila mereka mempunyai toleransi glukosa normal. Salah
satu penelitian melaporkan bahwa tinggi rendahnya kadar glukosa plasma puasa
dan 2 jam setelah beban glukosa serta indeks massa tubuh dan usia muda
merupakan prediktor yang kuat untuk menjadi diabetes melitus tipe 2 dikemudian
hari.

Dasar dari meningkatnya risiko diabetes melitus tipe 2 pada mereka yang
mempunyai faktor risiko kardiovaskuler adalah resistensi insulin atau obesitas
sentral. Peningkatan risiko penyakit kardiovaskuler berkaitan erat dengan
dislipidemi yang berhubungan dengan resistensi insulin atau hiperinsulinemi
(kadar kolesterolHDL yang rendah, hipertrigliseridemi). Sehingga resistensi
insulin akan meningkatkan risiko penyakit kardiovaskuler pada pasien diabetes
melitus tipe 2 maupun non diabetes melitus. Dengan memperbaiki profil lipid
yang berkaitan dengan resistensi insulin akan menurunkan angka kejadian
penyakit kardiovaskuler dan strok.

Dari 38 penelitian prospektif secara meta-analisis, skala besar dan diikuti selama
4-23 tahun menunjukkan bahwa kadar glukosa plasma adalah sebagai marker
risiko untuk penyakit kardiovaskuler pada orang-orang sehat tanpa diabetes
melitus. Dari penelitian ini jelas mereka yang mepunyai kadar glukosa plasma
setelah beban antara 150-194 mg/dl mempunyai risiko penyakit kardiovaskuler
27% lebih besar dibanding dengan kelompok yang mempunyai kadar glukosa
darah antara 69-107 mg/dl.

Telah dilaporkan bahwa diabetes melitus tipe 2 mempunyai kecenderungan 2-4


kali untuk mendapat penyakit kardiovaskuler serta prognosis yang lebih jelek
dibanding dengan non diabetes melitus. Hal ini disebabkan oleh karena pada
diabetes melitus tipe 2 kadar trigliserid cenderung meningkat dan menurunnya
kolesterol-HDL serta meningkatnya tekanan darah akan menyebabkan keadaan
menjadi lebih aterogenik.

Pada saat ini toleransi glukosa terganggu maupun glukosa plasma puasa
terganggu khususnya yang isolated berhubungan dengan faktor risiko
kardiovaskuler dan dimasukkan dalam kelompok sindroma metabolik bersama-
sama dengan hipertensi, kegemukan (obes), dislipidemi dan diabetes melitus tipe
2. Beberapa data menunjukkan bahwa toleransi glukosa terganggu sendiri
mempunyai hubungan lebih besar dengan hipertensi , dislipidemi daripada
glukosa plasma puasa terganggu.

Penelitian Isomaa dkk (2001) menyimpulkan pentingnya identifikasi dari


komponen sindroma metabolik oleh karena dengan makin banyaknya komponen
maka akan lebih meningkatkan risiko morbiditas dan mortalitas penyakit
kardiovaskuler. Sindroma metabolik (sesuai kriteria WHO) terlihat subyek dengan
glukosa toleransi normal meliputi 10%, 50% dengan toleransi glukosa terganggu /
glukosa plasma puasa terganggu, dan 80% subyek dengan diabetes melitus tipe 2 .

Toleransi glukosa terganggu dapat dianggap sebagai faktor risiko penyakit


kardiovaskuler karena toleransi glukosa terganggu menyebabkan kenaikan
glukosa darah dan insufisiensi insulin yang mengakibatkan meningkatnya stres
oksidatif selanjutnya terjadi disfungsi endotel dan proses inflamasi. Selain itu
toleransi glukosa terganggu sering bersama-sama dislipidemi, hipertensi dan
obesitas; penebalan tunika intima dibanding dengan subyek yang normal.

Diantara komponen sindroma metabolik maka toleransi glukosa terganggu


mempunyai risiko 4 kali lebih besar (merupakan risiko terbesar) untuk mendapat
diabetes melitus tipe 2 dibanding dengan subyek yang tidak mempunyai faktor
risiko kardiovaskuler.

OBESITAS DAN TOLERANSI GLUKOSA TERGANGGU

Obesitas meningkatkan risiko diabetes melitus tipe 2 lebih besar dari faktor
risiko lainnya. Penelitian epidemiologis di Amerika Serikat yang melibatkan lebih
100.000 penduduk menunjukkan bahwa orang dengan indeks massa tubuh >35
kg/m2 mempunyai risiko 30-40 kali mendapat diabetes melitus tipe 2 dibanding
dengan individu dengan indeks massa tubuh < 22kg/m2. Prevalensi berat badan
berlebih pada diabetes melitus tipe 2 adalah lebih dari 90%. Demikian pula
obesitas merupakan faktor risiko diabetes melitus tipe 2 yang tidak tergantung
pada umur, ras dan aktifitas fisik.

Walaupun dari pemeriksaan dan data epidemiologis ada keragu-raguan adanya


hubungan kausal antara obesitas dan diabetes melitus tipe 2, akan tetapi jelas ada
suatu keterikatan antara obesitas dan diabetes melitus tipe 2 dan tampaknya
dengan mencegah obesitas akan mencegah pula timbulnya kasus-kasus baru
diabetes melitus tipe 2.

Sebagaimana dengan obesitas, sindroma metabolik dihubungkan dengan risiko


timbulnya diabetes melitus tipe 2 dan penyakit kardiovaskuler. Resistensi insulin
dianggap berperan dalam patofisiologi sindroma metabolik. Namun demikian
obesitas dan sindroma metabolik / resistensi insulin tidak selamanya bersama-
sama karena subyek yang obes tidak selalu harus mempunyai resistensi insulin,
sebaliknya resistensi insulin dapat ditemukan pada orang kurus.
Obesitas merupakan faktor pencetus resitensi insulin. Ditemukan sekitar 20%
toleransi glukosa terganggu pada anak-anak dan adolesens yang berat badannya
berlebihan. Hal yang sama juga menunjukkan bahwa obesitas meningkatkan
prevalensi hipertensi.

Adanya obesitas menyebabkan resistensi insulin dan hiperinsulinemi yang akan


menyebabkan diabetes melitus tipe 2, akan tetapi pada orang Asia kemungkinan
disebabkan oleh karena insufisiensi insulin akibat penuruna sekresi insulin oleh
sel-sel beta pankreas .

Beberapa penelitian prospektif membuktikan ada hubungan erat antara obesitas


dan meningkatnya prevalensi angka diabetes melitus tipe 2. Faktor risiko yang
paling utama meningkatnya risiko diabetes melitus tipe 2 adalah meningkatnya
berat badan. Suatu penelitian secara prospektif yang melibatkan 50.000 pria
selama 5 tahun penelitian, disimpulkan bahwa kenaikan indeks massa tubuh > 24
kg/m2 risiko diabetes melitus tipe 2 mulai meningkat, sedang bila indeks massa
tubuh > 35 kg/m2 frekuensi diabetes melitus tipe 2, 40 kali lebih banyak
dibanding dengan mereka yang mempunyai indeks massa tubuh < 23 kg/m2 .
Pengertian Fungsi Glikoprotein
Oleh : Novi 08/03/2016 Uncategorized 1 Comment

Glikoprotein adalah molekul yang berisi sebagian protein dan setidaknya satu
porsi karbohidrat. Glikoprotein yang umum dalam biologi dan melakukan
berbagai fungsi.

Beberapa contoh fungsi masing-masing adalah sebagai komponen struktural sel,


enzim, atau hormon. Karbohidrat adalah kelas molekul dalam kimia organik dan
biologi. Kelas berisi banyak molekul, tetapi mereka semua hanya mengandung
karbon, hidrogen, dan atom oksigen. Protein, di sisi lain, terdiri dari blok
bangunan yang berbeda yang disebut asam amino. Asam amino mengandung
nitrogen, yang membedakan mereka dari karbohidrat.

Pengaturan Metabolisme karbohidrat

Metabolisme karbohidrat menunjukkan berbagai biokimia proses yang


bertanggung jawab untuk pembentukan , pemecahan dan interkonversi
dari karbohidrat dalam hidup organisme .

Karbohidrat paling penting adalah glukosa , gula sederhana ( monosakarida ) yang


dimetabolisme oleh hampir semua organisme yang dikenal. Glukosa dan
karbohidrat lain adalah bagian dari berbagai jalur metabolik di seluruh
spesies: tanaman mensintesis karbohidrat dari gas-gas atmosfer
oleh fotosintesis menyimpan energi yang diserap internal, sering dalam
bentuk pati atau lipid . Komponen tanaman yang dimakan oleh hewan dan jamur ,
dan digunakan sebagai bahan bakar untuk respirasi selular . Oksidasi satu gram
karbohidrat menghasilkan sekitar 4 kkal energi dan dari lipid sekitar 9
kkal. Energi yang diperoleh dari metabolisme (oksidasi misalnya glukosa)
biasanya disimpan sementara dalam sel dalam bentuk ATP . Organisme yang
mampu respirasi aerobik memetabolisme glukosa dan oksigen untuk melepaskan
energi dengan karbon dioksida dan air sebagai produk sampingan.

Karbohidrat adalah bahan bakar jangka pendek superior untuk organisme karena
mereka mudah untuk metabolisme dari lemak atau bagian-bagian asam amino
dari protein yang digunakan untuk bahan bakar. Pada hewan, karbohidrat paling
penting adalah glukosa; begitu banyak sehingga, bahwa tingkat glukosa
digunakan sebagai kontrol utama untuk metabolisme hormon pusat, insulin . Pati,
dan selulosa dalam beberapa organisme (misalnya, rayap , ruminansia , dan
beberapa bakteri ), kedua polimer glukosa menjadi, yang dibongkar selama
pencernaan dan diserap sebagai glukosa. Beberapa karbohidrat sederhana
memiliki sendiri oksidasi enzimatik jalur, seperti yang dilakukan hanya beberapa
dari karbohidrat yang lebih kompleks. Laktosa disakarida, misalnya, memerlukan
enzim laktase akan dipecah menjadi komponen monosakarida; banyak hewan
kekurangan enzim ini di masa dewasa.

Karbohidrat biasanya disimpan sebagai polimer panjang molekul glukosa


dengan ikatan glikosidik untuk dukungan struktural (misalnya kitin ,selulosa )
atau untuk penyimpanan energi (misalnya glikogen , pati ). Namun, afinitas yang
kuat karbohidrat yang paling untuk membuat penyimpanan air dalam jumlah besar
karbohidrat tidak efisien karena berat molekul besar dari kompleks karbohidrat
terlarut air. Pada sebagian besar organisme, kelebihan karbohidrat secara teratur
catabolised untuk membentuk asetil-KoA , yang merupakan bahan baku
untuk sintesis asam lemak jalur, asam lemak , trigliserida , dan lipid yang biasanya
digunakan untuk penyimpanan jangka panjang energi.Karakter hidrofobik lipid
membuat mereka bentuk yang lebih kompak dari penyimpanan energi dari
karbohidrat hidrofilik. Namun, hewan, termasuk manusia, kurangnya mesin
enzimatik yang diperlukan dan sehingga tidak mensintesis glukosa dari lemak. [1]

Semua karbohidrat berbagi rumus umum sekitar C n H 2n O n; glukosa adalah


C 6 H 12 O 6. Monosakarida dapat kimiawi terikat bersama untuk
membentuk disakarida seperti sukrosa dan lebih
lama polisakarida seperti pati dan selulosa .

Anda mungkin juga menyukai