Anda di halaman 1dari 18

POLA TATA RUANG PERMUKIMAN TRADISIONAL

GAMPONG LUBUK SUKON, KABUPATEN ACEH BESAR

Issana Meria Burhan, Antariksa, Christia Meidiana


Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik, Universitas Brawijaya
Jl. Mayjen Haryono 167 Malang 65145 Telp. (0341) 567886
Email : isana_burhan@hotmail.com

ABSTRAK
Sejak lama disadari bahwa sistem sosial dan budaya memiliki peran yang sangat penting
dalam membentuk pola tata ruang permukiman di Aceh. Tujuan dari penelitian adalah
mengidentifikasi karakteristik sosial budaya masyarakat Gampong Lubuk Sukon, dan
mengidentifikasi karakteristik pola tata ruang permukiman yang terbentuk, serta menganalisis pola
tata ruang permukiman tradisional Gampong Lubuk Sukon yang terbentuk akibat pengaruh sistem
sosial budaya masyarakatnya. Metode yang digunakan adalah deskriptif-evaluatif. Dari data yang
dikumpulkan dari observasi lapangan, kuisioner dan wawancara, menunjukkan bahwa konsep
keruangan makro yang terbentuk dari tatanan fisik lingkungan hunian memperlihatkan adanya
pembagian ruang permukiman berdasarkan guna lahan, yaitu tempat hunian di bagian tengah
Gampong (tumpok), fasilitas umum di bagian agak luar dari Gampong (ujong), dan lahan pertanian
di bagian luar area permukiman (blang). Pada struktur ruang yang terbentuk, meunasah menjadi
pusat orientasi Gampong. Pada skala yang lebih mikro, pola tata ruang permukiman masyarakat
Gampong Lubuk Sukon terbentuk berdasarkan sistem kekerabatan dari pihak perempuan. Dalam
hal ini, rumah orangtua menjadi bangunan inti (pusat) dari kelompok hunian suatu keluarga.
Selanjutnya, dalam tataran rumah dan pekarangan, seuramoe keue (serambi depan) menjadi
pusat dari bangunan rumoh Aceh. Struktur ruang pada rumoh Aceh menunjukkan dualisme antara
ajaran Islam yang cenderung patriarkal, dengan adat peunulang Aceh yang bersifat matriarkal.
Kata kunci: Pola tata ruang, permukiman tradisional Aceh, sosial budaya

ABSTRACT
It has been realize that socio-cultural system has an important role in configuring the
settlement spatial pattern. The aim of this study is to seek understanding of the socio-cultural
characteristic of the community in Gampong Lubuk Sukon, and to analyse the traditional spatial
pattern formed by the socio-cultural aspect. The method used in this study is descriptive-
evaluative. All data was collected through field observation, questionaire and in-depth interview.
The study showed that the spatial concept formed by physical characters of the settlement,
indicates a division of land us; housing area is located in the middle of settlement called tumpok,
public facility is located not far from the housing area called ujong, and farming area is located
outside of the housing area called blang. The spatial structure formed based on the community
activities and religious rituals concluded that meunasah is the center of settlement. In micro
context, the spatial pattern of traditional settlement in Gampong Lubuk Sukon is formed by female
kinship groups, in which the parents house become the centre. More specifically, in the context of
single unit building, it is identified that seuramoe keue is the centre of the house. The spatial
structure in Acehnese traditional house showed that there is a dualism between the partiarchal
Islamic teachings and the matriarchal peunulang custom in Aceh.
Key words: Spatial pattern, Acehnese traditional settlement, socio-cultural

172 arsitektur e-Journal, Volume 1 Nomor 3, November 2008


Pendahuluan
Konsep tata ruang dalam lingkungan permukiman, berkaitan erat dengan manusia
dengan seperangkat pikiran dan perilakunya, yang bertindak sebagai subjek yang
memanfaatkan ruang-ruang yang ada dalam hubungan kepentingan kehidupannya.
Dalam hal ini, gagasan pola aktivitas suatu masyarakat yang merupakan inti dari sebuah
kebudayaan, menjadi faktor utama dalam proses terjadinya bentuk rumah dan lingkungan
suatu hunian (Rapoport, 1969:46).
Masyarakat Aceh telah sejak lama mempunyai konsep-konsep dasar mengenai
pengaturan tata ruang rumah dan lingkungannya yang sarat akan nilai budaya lokal.
Namun, rangkaian kejadian yang terjadi di Aceh secara menyeluruh menyebabkan
berkurangnya keberadaan permukiman tradisional, sehingga warisan budaya bangsa
Aceh dikhawatirkan tidak dapat bertahan. Masyarakat Aceh sendiri pun mulai mengalami
pendangkalan pemahaman terhadap konsep-konsep lokal dalam permukiman tradisional
berbasis adat. Sementara itu, terutama setelah bencana tsunami, pembangunan
permukiman baru diharapkan dapat memenuhi tuntutan kebutuhan masyarakat yang tidak
hanya dinilai secara ekonomis, tetapi juga memperhatikan faktor kultur budaya setempat.
Instansi yang terkait dengan program pembangunan permukiman, perlu memahami
konsep bermukim pada masyarakat Aceh.
Salah satu permukiman tradisional yang masih bertahan adalah Gampong Lubuk
Sukon, Kecamatan Ingin Jaya, Kabupaten Aceh Besar. Gampong ini terletak di dataran
rendah, dekat dengan pegunungan, yang sebagian besar rumah penduduknya adalah
rumah panggung tradisional Aceh yang terbuat dari kayu. Rumah-rumah di Gampong
Lubuk Sukon, secara bijak dirancang dengan prinsip tahan gempa. Observasi Hurgronje
(1985) membuktikan bahwa hunian masyarakat (permukiman) Aceh telah disesuaikan
terhadap ancaman bencana gempa dan banjir. Orang Aceh, khususnya yang bermukim di
wilayah Banda Aceh (dahulu disebut dengan Kutaradja) dan Aceh Besar, sejak tahun
1600 telah sadar bahwa letak kota mereka secara geografis tidak terlalu baik (Lombard,
2006). Dengan alasan ini pula, beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat Internasional
seperti Muslim Aid, mencoba membangun kembali rumah untuk korban tsunami, dengan
bentuk mengadopsi rumoh Aceh di beberapa permukiman penduduk yang terkena
tsunami, seperti di Gampong Jawa, Kecamatan Kutaraja, Banda Aceh.
Pola yang terbentuk dari keseluruhan sistem permukiman masyarakat Gampong
Lubuk Sukon memiliki makna dan tujuan tertentu berdasarkan konsep-konsep lokal yang
telah terbukti dapat lebih diterima oleh masyarakat penggunanya. Kebijakan mengenai
aspek adat dan kehidupan Gampong yang tertuang dalam bab VII Qanun nomor 4 tahun
2003 yang menyatakan bahwa Gampong berhak untuk merancang dan menetapkan
reusam Gampong (tata krama peradatan di Aceh) untuk mengatur kehidupan warganya,
menjadi dasar untuk menghidupkan kembali adat yang semakin menghilang akibat
pergeseran nilai-nilai masyarakat.
Penjelasan mengenai konsep bermukim sangat penting dalam kaitannya dengan
proses pembentukan lingkungan permukiman. Melalui latar belakang dan pengalaman
sejarah, dan pemahaman mengenai pola tata ruang permukiman yang sesuai dengan
nilai-nilai tradisional masyarakat Aceh, diharapkan dapat mengakomodasi, menghormati
dan memelihara keberadaan Gampong, sekaligus sebagai wujud pelestarian tata ruang
tradisional sebagai identitas budaya bangsa.
Oleh karena itu, tujuan dari studi ini adalah untuk mengidentifikasi karakteristik
sosial budaya masyarakat Gampong Lubuk Sukon, Kabupaten Aceh Besar. Kemudian
mengidentifikasi pola tata ruang permukiman Gampong Lubuk Sukon, Kabupaten Aceh
Besar, dan menganalisis pola tata ruang permukiman tradisional Gampong Lubuk Sukon
yang terbentuk akibat pengaruh sistem sosial budaya masyarakatnya.

arsitektur e-Journal, Volume 1 Nomor 3, November 2008 173


Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam studi ini adalah metode deskriptif evaluatif, melalui
observasi, kuisioner, dan wawancara.
1. Wilayah studi
Wilayah studi adalah Gampong Lubuk Sukon, yang merupakan bagian dari Mukim
Lubuk, dengan luas 112 Ha, dan berbatasan dengan Gampong Dham Pulo di sebelah
Utara, Gampong Lubuk Gapuy di sebelah Timur, Mukim Lambarieh di sebelah Selatan,
dan Gampong Dham Ceukok di sebelah Barat (Gambar 1).

Gampong
Dham Pulo

Gampong
Dham Ceukok
Dusun
Darul Makmur

Dusun
Darusshalihin
Dusun Gampong
Darussalam Lubuk Gapuy

Dusun
Darul Ulum

Mukim Lambarieh,
Kec. Suka Makmur

Gambar 1 Peta Gampong Lubuk Sukon.

2. Metode pengambilan sampel


Pengambilan sampel dihitung dengan rumus Slovin, menggunakan teknik
pengambilan proporsional untuk mendapatkan sampel yang merata di seluruh wilayah
studi.
Dari 191 unit bangunan, diambil 66 sampel bangunan. Sampel masyarakat didapatkan
dari perhitungan yang sama, karena sampel masyarakat merupakan pemilik bangunan.
3. Metode analisis data
a) Tahap pertama: mengidentifikasi karakteristik sosial budaya masyarakat Gampong
Lubuk Sukon
1. Tinjauan sejarah dan perkembangan Gampong dan budaya bermukim masyarakat
Aceh, yang meliputi sejarah munculnya Gampong dan perkembangannya dari
masa kerajaan, kolonial, kemerdekaan dan reformasi.
2. Analisis sosial budaya (Koentjaraningrat, 1982)
- sistem kelembagaan;
- sistem kemasyarakatan/kekerabatan;
- kehidupan ekonomi; dan
- kehidupan budaya dan religi
Hasil interpretasi sejarah dan pengaruhnya terhadap karakteristik sosial budaya
masyarakat Gampong Lubuk Sukon, dijadikan dasar untuk mendukung kajian untuk
analisis karakteristik pola tata ruang permukiman tradisional.
b) Tahap kedua: Mengidentifikasi pola tata ruang permukiman Gampong Lubuk Sukon
dan menganalisis kesesuaiannya dengan konsep pola tata ruang tradisional Aceh.

174 arsitektur e-Journal, Volume 1 Nomor 3, November 2008


1. Analisis tata guna lahan dilakukan untuk melihat elemen apa saja yang
membentuk ruang permukiman, pengaruhnya terhadap pemanfaatan guna lahan,
dan peletakan elemen berdasarkan konsep yang dikenal dalam pola tata ruang
tradisional Aceh. Pada tahap ini dilakukan kajian terhadap perkembangan elemen-
elemen pembentuk kawasan pedesaan (Oswald & Baccini, 2000), dengan
menggunakan analisis before-after. Before mewakili masa awal terbentuknya
Gampong Lubuk Sukon (1920-1950), masa perkembangan infrastruktur
permukiman di Gampong Lubuk Sukon (1950-1989), dan after mewakili kondisi
eksisting saat ini (1989-2006). Selanjutnya, untuk melihat keterkaitan antar
elemen-elemen pembentuk kawasan pedesaan, dilakukan analisis dengan teknik
super impose. Kajian elemen pembentuk kawasan pedesaan meliputi:
- perairan;
- hutan;
- permukiman;
- pertanian;
- infrastruktur; dan
- tanah kosong
2. Analisis ruang budaya dilakukan untuk mengidentifikasi keberadaan hirarki ruang
dan sifat penggunaan ruang yang ada di Gampong Lubuk Sukon. Pendekatan
yang dilakukan adalah secara eksploratif, dengan melihat fungsi dan kepentingan
ruang permukiman dari hasil analisis kehidupan budaya dan religi dan kegiatan
masyarakat sehari-hari.
3. Analisis pola tata ruang tempat tinggal. Pada tahap ini, analisis dilakukan dengan
mengidentifikasi tiga variabel, yaitu di antaranya:
- fisik bangunan dan pekarangan;
- struktur tata ruang tempat tinggal; dan
- pola tata bangunan.

Hasil dan Pembahasan


1. Karakteristik sosial budaya
- Sistem pemerintahan
Adat di Gampong Lubuk Sukon berpedoman pada naskah Kanun Syara
Kesultanan Aceh yang ditulis oleh Teungku di Mulek pada tahun 1270 Hijriah. Pranata
politik di Gampong berfungsi untuk memenuhi keperluan mengatur dan mengelola
keseimbangan kekuasaan dalam kehidupan komunitas tersebut. Struktur politiknya
terdiri atas beberapa status dengan peran tertentu, yaitu Keuchik bertanggungjawab
terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan pemerintahan Gampong,
terhadap pelaksanaan dan keberhasilan pembangunan yang dilaksanakan di
Gampongnya. Dalam melaksanakan tugasnya, seorang Keuchik dapat meminta
bantuan pertimbangan dari Tuha peut dan Imeum Meunasah. Imeum Meunasah
merupakan pimpinan dalam keagamaan dan Tuha peut adalah dewan orang tua yang
berpengalaman dan paham mengenai adat dan agama. Untuk urusan yang berkaitan
dengan aktivitas pertanian, Keuchik menyerahkan wewenang sepenuhnya kepada
Keujruen Blang (kelompok petani).
Selain kelembagaan pemerintahan, terdapat kelembagaan sosial kemasyarakatan
yang diikuti oleh penduduk Gampong, yaitu kelompok pengajian, kelompok organisasi
wanita, dan kelompok organisasi pemuda. Kedekatan hubungan lembaga-lembaga di
Gampong Lubuk Sukon dengan masyarakat ataupun dengan lembaga lainnya dapat
dilihat pada Gambar 2.

arsitektur e-Journal, Volume 1 Nomor 3, November 2008 175


Gambar 2 Diagram Venn Kelembagaan di Gampong Lubuk Sukon.

- Sistem kemasyarakatan/kekerabatan
Penduduk Gampong Lubuk Sukon, seperti halnya masyarakat di wilayah Aceh
Besar, menarik garis keturunan berdasarkan prinsip bilateral, memperhitungkan
hubungan kekerabatan baik pada pihak laki-laki maupun pihak perempuan. Hubungan
keluarga dalam masyarakat Aceh terdiri dari Wali, Karong dan Kaom. Namun, dalam
sistem kekerabatan yang lebih mikro, wujud keluarga besar Aceh terdiri dari keluarga
inti senior dan keluarga inti dari anak-anak perempuannya, sesuai dengan adat
menetap nikah matrilokal (uxorilocal). Hal ini berarti sesudah menikah, suami menetap
di lingkungan kerabat perempuan. Keluarga besar ini hidup dalam rumah yang berada
dalam satu pekarangan dan satu kesatuan ekonomi yang diatur oleh kepala keluarga
inti senior.
Hukum adat yang berlaku sejak masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda
tersebut mempengaruhi orientasi tempat tinggal keluarga batih baru dalam
masyarakat Aceh, sehingga pasangan yang baru menikah biasanya bertempat tinggal
di rumah mempelai wanita.
Hasil kuisioner, didapatkan bahwa sebagian besar responden sudah bertempat
tinggal di Gampong Lubuk Sukon sejak lahir, yaitu sebanyak 77.27%. Dari 51
responden yang merupakan penduduk asli, didapatkan bahwa 68.63% bertempat
tinggal di rumah peunulang, yaitu rumah warisan mertua mereka, yang menunjukkan
bahwa sebagian besar penduduk laki-laki di Gampong Lubuk Sukon menikah dengan
wanita sesama warga. Hanya sebesar 31.37% responden yang mempunyai rumah
atas nama sendiri. Dari jumlah responden pendatang, 86.67% di antaranya tinggal di
rumah peunulang karena mengikuti istri. Jumlah pendatang yang tinggal di Gampong
Lubuk Sukon karena ikut istri, berkaitan dengan tradisi menetap menikah di rumah
pihak perempuan dalam adat Aceh.
- Kehidupan ekonomi
Pengelompokan sosial berdasarkan mata pencaharian di masa lalu tidak
memberikan pengaruh yang cukup signifikan kepada masyarakat Aceh dalam hal
memilih pekerjaan. Saat ini, mata pencaharian penduduk Gampong Lubuk Sukon
cukup beragam. Sebagian besar warga Lubuk Sukon bermata pencaharian sebagai
petani (37.61%) dan sebesar 8.84% bekerja sebagai buruh tani. Hal ini dikarenakan
oleh topografi wilayah yang berupa dataran rendah dan faktor tanah yang sangat
potensial untuk daerah persawahan. Meskipun begitu, pekerjaan sebagai petani mulai
ditinggalkan penduduk, karena stagnansi dalam bidang pertanian dan pendapatan
yang kurang mencukupi. Secara spesifik, berdasarkan hasil dari kuisioner, diketahui
bahwa sebagian besar responden bermata pencaharian sebagai petani (31.82%)
diikuti dengan profesi sebagai PNS sebanyak 27.27% dan wiraswasta sebanyak
16.67%.

176 arsitektur e-Journal, Volume 1 Nomor 3, November 2008


Pergeseran jenis pekerjaan responden dari petani ke mata pencaharian lainnya,
dipengaruhi oleh lokasi hunian. Kelompok hunian Darul Ulum dan Darusshalihin yang
lebih dekat dengan jalan lokal primer, yaitu pada sebelah Selatan Gampong, lebih
banyak yang bermata pencaharian sebagai PNS atau swasta/wiraswasta. Kelompok
hunian yang lebih dekat dengan persawahan dan kebun/ladang seperti kelompok
hunian Darussalam dan Darul Makmur masih didominasi pekerjaan sebagai petani
maupun buruh tani.
- Kehidupan budaya dan religi
Tata nilai dan kepercayaan yang berkembang pada masyarakat Gampong Lubuk
Sukon adalah adat Aceh Besar dan Islam. Keseluruhan masyarakatnya merupakan
pemeluk agama Islam, dan secara umum dikenal sebagai pemeluk agama Islam yang
taat, bahkan terkesan fanatik. Masyarakat masih memegang adat Aceh yang
tercantum dalam Hadih Maja hasil kesimpulan dari Musyawarah Besar Kerukunan
Rakyat Aceh pada tahun 1098 H, sebagai pedoman dalam pergaulan masyarakat.
Adat dan tradisi dilakukan melalui ritual-ritual yang berkaitan dengan daur hidup
(kelahiran dan pernikahan), kegiatan keagamaan (Maulid Nabi, Nuzulul Quran, dan
Isra Miraj), dan aktivitas pertanian yang berkaitan dengan mata pencaharian
penduduk (Kanduri Blang).
Ritual-ritual yang dilakukan masyarakat Gampong Lubuk Sukon melalui tahapan-
tahapan yang menggunakan ruang tertentu, sehingga mempengaruhi hirarki dan sifat
dari ruang tersebut.
2. Guna lahan
a. Elemen pembentuk kawasan pedesaan
- Perairan
Gampong Lubuk Sukon dilewati Sungai Krueng Aceh dengan lebar 30-50 meter,
yang membatasi Gampong Lubuk Sukon dengan jalan utama dan Gampong-
Gampong disekitarnya. Sungai ini berperan penting dalam pemilihan lokasi sebagai
tempat bermukim. Pada tahun 1920, para ulama dan sufi sebagai penduduk awal
Gampong, tidak membangun permukimannya dekat dengan sungai karena alasan
keamanan, namun memilih wilayah pedalaman yang masih berupa hutan. Penduduk
hanya membuka jalan setapak menuju sungai, karena ketergantungan terhadap air
sangat tinggi. Keberadaan sungai juga mempengaruhi mata pencaharian penduduk di
bidang pertanian. Sawah-sawah penduduk berada dekat dengan sungai.
Pada perkembangannya, Keuchik tidak mengizinkan pembangunan rumah untuk
berkembang di kawasan sekitar sungai, dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu (1) volume
air cukup tinggi yang menyebabkan terjadinya banjir tahunan. Pemerintah sempat
membangun tanggul di wilayah studi untuk menghindari banjir; (2) kawasan perairan
tetap dipertahankan sebagai sumber kehidupan yang harus dipelihara masyarakat.
Sekitar awal 1970-an hingga akhir 1980-an, cabang aliran sungai yang berada di
bagian Barat Gampong perlahan mengering karena penebangan hutan.
Pada tahun 1989, Sungai Krueng Aceh mulai mengering secara total, meskipun
masih terdapat sebagaian genangan air. Pada periode ini, sistem irigasi mulai
dikembangkan untuk kawasan pertanian di bagian Timur Gampong, mengikuti arah
perkembangan permukiman.
- Hutan
Lahan hutan dibuka untuk mendirikan beberapa bangunan, yang kemudian
berkembang menjadi sebuah perkampungan. Penduduk juga membuka dan
memanfaatkan lahan hutan untuk ladang, sawah, dan kebun. Lahan untuk ladang dan
kebun berada dekat kawasan permukiman, dan lahan untuk sawah berada di dekat
sungai. Pada awalnya, Gampong Lubuk Sukon mempunyai seorang peutua uteuen
yang mengatur pemanfaatan kawasan hutan, agar tetap terjaga kelestariannya.
Pemanfaatan lahan yang terus berkembang pada tahun 1950-an, menggantikan
posisi peutua uteuen menjadi peutua seuneubok (pemimpin kawasan ladang dan
kebun). Saat ini, hampir tidak terdapat hutan di Gampong Lubuk Sukon.

arsitektur e-Journal, Volume 1 Nomor 3, November 2008 177


- Permukiman
Tahap dibukanya Gampong Lubuk Sukon ditandai dengan dibangunnya beberapa
rumah dan sebuah meunasah. Penempatan bangunan hunian yaitu pada lahan di
sekitar meunasah. Para sufi dan ulama yang merupakan penduduk awal Gampong
Lubuk Sukon mengikuti tradisi leluhur di daerah asal mereka, yaitu membangun
rumah panggung (rumoh Aceh dan rumoh santeut) yang mengarah ke kiblat shalat.
Pada perkembangannya, rumah-rumah mulai dibangun di Dusun Darussalam,
yaitu pada lahan di sekitar meunasah. Ketika penduduk semakin bertambah,
penduduk mengambil lahan di bagian Timur Gampong, yaitu Dusun Darusshalihin dan
Dusun Darul Alam. Penataan bangunan hunian dilakukan berdasarkan hubungan
kekerabatan.
Pada awal tahun 1980an, mulai muncul rumah modern karena pengaruh
pergeseran nilai-nilai kepercayaan, tingkat pendidikan, variasi mata pencaharian, dan
perkembangan infrastruktur.
- Pertanian
Lahan pertanian yang pertama (1920-1950), yaitu lahan dekat sungai di bagian
Selatan Gampong. Pada periode ini, hampir semua penduduk bermatapencaharian
sebagai petani.
Perkembangan lahan pertanian selanjutnya, yaitu di bagian Timur Gampong, di
luar kawasan permukiman. Lahan untuk kebun dan ladang di Gampong Lubuk Sukon
terletak dekat dengan kawasan permukiman penduduk, sedangkan sawah berada
agak jauh dari permukiman. Hutan di sekitar permukiman dan lokasi persawahan
(blang) menjadi batas Gampong, untuk melindungi Gampong secara fisik dan
menghambat pihak luar yang akan masuk ke dalam.
Pada akhir tahun 1980-an, lahan pertanian tidak lagi berkembang dengan pesat
dan mulai terjadi pergeseran mata pencaharian penduduk dari petani ke jenis
pekerjaan lainnya.
- Infrastruktur
Pada tahun 1920-an, hanya terdapat jalan setapak sebagai akses dari sungai
Krueng Aceh menuju ke hutan, yang merupakan cikal bakal permukiman Gampong
Lubuk Sukon. Jalan ini menjadi jalan utama dan terus menyambung dengan
Gampong Dham Pulo serta ke wilayah lainnya di Mukim Lubuk. Sarana yang ada
pada periode 1920-1950 adalah meunasah dan bale.
Pada tahun 1972, pemerintah membangun jembatan yang lebih layak untuk
membuka akses dari jalan arteri primer (Jalan raya Banda Aceh-Medan) menuju
Mukim Lubuk. Jembatan ini terus diperbaiki hingga menjadi jembatan beton yang
kokoh di tahun 1989. Pada periode ini, jalan-jalan baru mulai terbentuk sesuai dengan
aksesibilitas yang dibutuhkan masyarakat. Jalan menjadi batas antar halaman-
halaman rumah penduduk. Infrastruktur jalan yang lebih baik berpengaruh pada
perkembangan Gampong, yaitu mulai muncul fasilitas umum seperti klinik kesehatan,
sekolah-sekolah, lapangan olahraga, makam, dan sarana perdagangan.
- Tanah kosong
Penduduk memanfaatkan lahan kosong yang ada di Gampong Lubuk Sukon
sebagai tempat hunian (permukiman). Namun, ada ketentuan dalam konsep tata
ruang tradisional yang memberlakukan hariem krueng, yaitu tanah bebas, dan tidak
boleh dimiliki siapapun. Hal ini berarti penduduk juga tidak boleh membangun rumah
pada kawasan ini.
b. Peletakan elemen
Transek Gampong yang meliputi kondisi topografi, guna lahan, dan status kepemilikan
tanah (Gambar 3 dan Gambar 4), dijelaskan sebagai berikut:
- Keadaan wilayah bagian Selatan berupa sungai, perkebunan, dan sawah. Sungai di
Gampong Lubuk Sukon berada di bagian seunebok. Di sepanjang sisi sungai terdapat
persawahan atau ladang, dan bale untuk tempat para petani berteduh. Sungai tidak
dijadikan sebagai tempat bermukim karena masyarakat Aceh menganggap sungai

178 arsitektur e-Journal, Volume 1 Nomor 3, November 2008


sebagai kawasan yang harus dijaga kelestariannya, dan menempatkan berbagai
tanaman penyangga di sepanjang sisi sungai (jalur boinah). Seunebok di Gampong
Lubuk Sukon merupakan wilayah rimba yang beralih fungsi. Perkebunan mendominasi
lahan di wilayah ini, dengan jenis vegetasi meliputi kelapa, pisang, dan jagung.
- Bagian Barat Gampong merupakan kawasan hutan yang masih dipertahankan oleh
penduduk. Hutan ini merupakan bagian dari kawasan konservasi yang disebut boinah
oleh masyarakat Gampong Lubuk Sukon, sehingga diperbolehkan untuk dikelola
secara ekonomi namun tidak untuk pengembangan permukiman. Setelah areal hutan,
terdapat pula seunebok.
- Di bagian tengah, terdapat permukiman penduduk. Rata-rata tiap penduduk memiliki
pekarangan dan menanaminya dengan jenis tumbuh-tumbuhan produktif yang
menghasilkan buah-buahan dan sayur-sayuran untuk kebutuhan dapur. Beberapa
fasilitas umum milik Gampong, seperti meunasah, sekolah TK dan kantor keuchik juga
terdapat di wilayah ini. Di Gampong Lubuk Sukon, tumpok menunjukkan bagian tengah
Gampong yang di dalamnya terdapat tempat hunian atau rumoh. Arah dan orientasi
bangunan rumah adalah menghadap kiblat atau arah timur-barat. Tumpok juga
memperlihatkan bahwa pola permukiman di Gampong Lubuk Sukon adalah memusat,
terlihat dari letak permukiman yang dibatasi oleh kawasan blang dan seunebok.
- Di bagian Utara Gampong Lubuk Sukon, merupakan wilayah perbatasan dengan
Gampong Dham Pulo. Disini lebih banyak terdapat fasilitas umum dengan skala
kecamatan, yaitu berupa lapangan dan bangunan untuk fasilitas olahraga, SMU 1 Ingin
Jaya, Balai Pelatihan Pendidikan milik pemerintah daerah, mesjid Mukim Lubuk,
makam. Topografi di wilayah ini adalah datar dan jalan yang ada sudah berupa aspal.
Makam umum juga terdapat di ujong bagian Utara Gampong, yaitu di perbatasan
antara kawasan perumahan dengan lahan pertanian (blang atau seunebok), berada
tepat di depan mesjid Mukim Lubuk.
- Di bagian Timur Gampong, terdapat areal persawahan yang disebut blang. Blang
sekaligus menjadi batas antara Gampong Lubuk Sukon dengan Gampong Lubuk
Gapuy.

Gambar 3. Transek lintasan Selatan-Utara.

Gambar 4. Transek lintasan Barat-Timur.

Super impose elemen-elemen pembentuk permukiman dan penelusuran transek,


diketahui bahwa alokasi peruntukan lahan berdasarkan fungsi sudah berlaku dalam

arsitektur e-Journal, Volume 1 Nomor 3, November 2008 179


masyarakat tradisional Gampong Lubuk Sukon. Tata guna lahan berkembang secara
alami karena dorongan faktor kebutuhan, terutama untuk sistem jalan yang mengikuti
perkembangan perumahan. Fasilitas pelayanan sosial dan kawasan permukiman terdapat
di sekitar meunasah, dan peruntukan lahan pertanian atau lahan usaha terdapat di luar
kawasan permukiman. Di dalam arahan peruntukan lahan tersebut, terdapat batasan-
batasan yang harus ditaati untuk mewujudkan keteraturan di dalam memanfaatkan
lingkungan dan memelihara keseimbangan ekosistem, yang disebut dengan konsep tata
ruang tradisional (Gambar 5).

Gambar 5 Peletakan elemen-elemen permukiman di Gampong Lubuk Sukon.

Pembagian ruang di Gampong Lubuk Sukon sesuai dengan tata peletakan elemen
ruang permukiman tradisional (Gambar 6), yaitu sebagai berikut:
a) Kawasan permukiman, terdiri dari rumah-rumah dan meunasah, berada di wilayah
tumpok yang memusat di tengah-tengah Gampong Lubuk Sukon. Perkembangan
kawasan permukiman, berupa rumah-rumah baru dan tambahan fasilitas umum,
berada di wilayah ujong, yaitu kawasan yang terletak di antara tumpok dan ujong.
Keberadaan kawasan ujong tidak terlepas dari bentuk asal dari Gampong Lubuk
Sukon yang merupakan sebuah pemukiman yang tertutup. Gampong dikelilingi pagar
tanaman dan semak belukar, untuk melindungsi kawasan tumpok. Pada area tumpok
dan ujong, tiap individu mengenal secara personal elemen-elemen lingkungan dan
komunitas yang ada di dalamnya. Dalam Al-Hadist yang juga tercantum dalam Hadih
Maja Kesultanan Aceh Darussalam, wilayah tumpok dan ujong merupakan satuan
lingkup lingkungan yang disebut haraat.
b) Lahan usaha, dalam hal ini peruntukan lahan pertanian, berada di luar wilayah
permukiman, yaitu blang.

180 arsitektur e-Journal, Volume 1 Nomor 3, November 2008


Dusun
Darul Makmur
Ujong

Dusun
Darusshalihin
Dusun
Darussalam
Tumpok

Dusun
Darul Ulum

Blang

Gambar 6. Pembagian ruang di Gampong Lubuk Sukon.


3. Ruang budaya
- Berdasarkan aktivitas harian
Hasil kuisioner, teridentifikasi bahwa kegiatan harian penduduk Gampong Lubuk
Sukon sebagai muslim masih dalam lingkup lingkungan atau masih dalam lokasi
Gampong. Secara mingguan, aktivitas yang dilakukan bisa mencakup home range
pada tingkatan Mukim dan Kecamatan, bahkan kota lain (Gambar 7).

Gambar 7. Pergerakan penduduk Gampong Lubuk Sukon dalam home range.


Area inti yang paling sering dipakai adalah meunasah sebagai pusat aktivitas,
tempat kerabat sebagai tempat bersosialisasi antar masyarakat, dan sawah/ladang,
sebagai tempat bekerja.
- Berdasarkan ritual
Tempat dan cakupan ruang dalam peristiwa ritual yang ada di Gampong Lubuk
Sukon pada dasarnya beragam, serta menunjukkan adanya penggunaan ruang yang
tetap maupun temporal. Gambaran bahwa masyarakat masih sangat memegang
teguh kepercayaan dan agama Islam, tampak pada keberadaan meunasah yang
menjadi tempat pelaksanaan ritual tetap, karena sudah menjadi pusat aktivitas
masyarakat. Melalui pelaksanaan ritual terkait daur hidup, seperti kelahiran, paling
banyak muncul adalah ruang temporal. Sebaliknya pada pelaksanaan ritual
keagamaan seperti Maulud Nabi Muhammad, ruang ritual bersifat permanen, karena
peristiwanya rutin dilaksanakan sekali setahun, berskala Gampong dan Mukim,
bertempat di meunasah.
Keseluruhan ritual yang dilakukan masyarakat, baik di dalam kegiatan sehari-hari
maupun pada ritual berdasarkan kepercayaan, selalu menggunakan ruang-ruang dalam
permukiman. Penggunaan ruang berdasarkan fungsinya, memperlihatkan struktur ruang
permukiman (Gambar 4.8).

arsitektur e-Journal, Volume 1 Nomor 3, November 2008 181


Keterangan
Pusat kegiatan
Sub pusat
Sub pusat

Gambar 8 Struktur dan Hirarki Ruang Permukiman Gampong Lubuk Sukon

Gambar 8 menunjukkan bahwa area inti yang paling sering dipakai adalah meunasah
dan kawasan permukiman (tumpok). Namun, fungsi meunasah mempunyai hirarki yang
lebih tinggi, karena aktivitas yang terjadi di dalamnya merupakan aktivitas inti, yaitu shalat
dan ritual-ritual kebudayaan yang berhubungan dengan kepercayaan masyarakat
Gampong Lubuk Sukon. Tumpok menjadi linkage dari pusat orientasi meunasah,
dipengaruhi oleh masyarakat Gampong Lubuk Sukon yang sangat erat kekerabatannya,
sehingga segala sesuatu yang berhubungan dengan kegiatan hablumminannaas selalu
melibatkan kerabat. Struktur dan hirarki ruang permukiman Gampong Lubuk Sukon,
dijelaskan sebagai berikut:
1. Meunasah, sebagai pusat aktivitas. Elemen tempat ibadah ini merupakan simbol
pemersatu penduduk Gampong, karena fungsinya dimanfaatkan oleh semua
penduduk dalam satu Gampong. Selain digunakan untuk kegiatan yang bersifat
ibadah seperti shalat, pengajian dan perayaan keagamaan, meunasah juga digunakan
sebagai tempat berkumpul masyarakat untuk bermusyawarah atau membicarakan
permasalahan Gampong. Tempat ibadah ini mempunyai hirarki yang disesuaikan
dengan kapasitas dan jangkauan pelayanan yang dapat ditampung, yaitu meunasah
pada tingkatan Gampong dan mesjid pada tingkatan mukim.
2. Tempat kerabat, sebagai tempat bersosialisasi antar masyarakat. Pada ruang kerabat
ini, penduduk secara personal mengenal tiap anggota komunitasnya. Kedekatan
masyarakat Gampong Lubuk Sukon didasarkan pada hubungan darah/saudara, yaitu
kekerabatan batih atau keluarga besar. Bentuk sosialiasi ini berkaitan dengan hal-hal
yang berkaitan dengan daur hidup, misalnya untuk sekedar bersilaturrahmi,
memenuhi undangan kelahiran dan perkawinan, menjenguk dan membantu yang
terkena musibah, dan lain sebagainya.
3. Sawah/ladang, sebagai tempat bekerja. Ruang ini menjadi bagian dari core area
Gampong Lubuk Sukon, berkaitan dengan jumlah penduduknya yang sebagian besar
bermata pencaharian sebagai petani. Selain itu, sawah/ladang juga menjadi tempat
masyarakat melakukan ritual Kanduri Blang sebagai rasa syukur kepada Allah SWT
atas hasil panen mereka.
Struktur ruang permukiman berdasarkan analisis ruang budaya di Gampong Lubuk
Sukon juga memperlihatkan tiga macam teritori, yaitu sebagai berikut:
Teritori primer, yaitu tempat-tempat yang sangat pribadi sifatnya yang hanya boleh
dimasuki oleh orang yang sudah sangat akrab hubungannya dan sudah mendapat izin
khusus. Pada struktur ruang permukiman di Gampong Lubuk Sukon, rumah adalah
bagian dari teritori primer atau disebut juga sebagai wilayah privat.
Teritori sekunder, yaitu tempat-tempat yang dimiliki bersama dan sejumlah orang-
orang yang sudah cukup mengenal. Halaman yang digunakan secara komunal
berdasarkan hubungan kekerabatan yang ada pada pekarangan rumah di Gampong

182 arsitektur e-Journal, Volume 1 Nomor 3, November 2008


Lubuk Sukon merupakan teritori sekunder, sehingga tidak ada izin khusus untuk
memasuki wilayah yang dianggap semi privat atau semi publik.
Teritori tersier, yaitu tempat-tempat yang terbuka untuk umum. Meunasah, mesjid,
makam, dan sawah merupakan tempat yang dikategorikan sebagai teritori publik.
Penggunaan ruang publik ini bersifat bebas karena bisa digunakan oleh siapa saja.
4. Pola tata ruang tempat tinggal
- Rumah dan pekarangan
Kepadatan bangunan yang ada di Gampong Lubuk Sukon didominasi oleh rumoh
Aceh, yaitu sebanyak 69 unit. Selain itu, terdapat 58 unit rumah santeut dan 64 unit
rumah modern. Rumah dengan tipologi bahan konstruksi rumah kayu paling banyak
terdapat pada kelompok hunian Darul Ulum dan dibangun pada tahun 1950-1980
(15.15%), sedangkan rumah dengan tipologi konstruksi rumah beton (rumah modern)
merata terdapat pada kelompok hunian Darul Ulum, Darussalam, dan Darusshalihin.
Rumah modern sebagian besar dibangun pada tahun 1981-1990 (13.64%). (Gambar
9)

Rumoh Aceh

Rumoh Santeut

Rumah modern

Gambar 9. Rumah dan pekarangan.

arsitektur e-Journal, Volume 1 Nomor 3, November 2008 183


Dari 66 sampel rumah, rumoh Aceh mempunyai elemen paling lengkap, yaitu
sebanyak 100% responden yang memiliki rumah Aceh masih mempunyai kolong,
sumur, dan tanaman. Sebanyak 100% rumoh santeut yang dimiliki responden juga
masih mempunyai elemen kolong dan tanaman, namun elemen lainnya seperti
kandang, sumur/bak, dan balee kayee sudah hilang atau berkurang jumlahnya.
Rumah beton merupakan bangunan yang tidak memperhatikan elemen pada
pekarangan yang biasanya terdapat pada ruang tradisional Aceh. Elemen kandang
dimiliki oleh 19.05% rumah dengan konstruksi beton, tidak dilatarbelakangi oleh
kesesuaian terhadap elemen tradisional namun karena pemilik rumah memelihara
ternak. (Gambar 10).

Gambar 10. Elemen dalam pekarangan rumah tradisional Aceh.

Lumbung merupakan elemen yang hilang pada pekarangan rumah di Gampong


Lubuk Sukon. Hal ini disebabkan karena sebagian besar rumah tidak lagi
menggantungkan hidupnya dalam bidang pertanian. Adapun elemen yang masih tetap
dipertahankan oleh penduduk Gampong Lubuk Sukon adalah tanaman pada halaman
rumah, yaitu sebanyak 100%.
- Struktur tata ruang tempat tinggal
Fungsi ruang tempat tinggal masyarakat Aceh menunjukkan bahwa secara
tradisional rumoh Aceh diperuntukkan untuk perempuan atau disebut juga sebagai rumoh
inong, yaitu sebagai berikut:
Seuramoe keue sebagai tempat menerima tamu laki-laki, tempat mengaji dan
belajar anak laki-laki, sekaligus tempat tidur anak laki-laki, serta kepentingan umum
lainnya.

184 arsitektur e-Journal, Volume 1 Nomor 3, November 2008


Seuramoe teungoh (serambi tengah) atau tungai bersifat tertutup sesuai dengan
fungsinya yaitu sebagai kamar tidur. Kamar sebelah barat ditempati oleh kepala
keluarga (ibu dan ayah), dan kamar sebelah timur (rumoh andjoeng) ditempati oleh
anak perempuan. Jika sebuah keluarga mempunyai lebih dari satu anak
perempuan, maka kepala keluarga membuat rumah terpisah atau terpaksa pindah
ke belakang bagian barat. Serambi tengah disebut juga dengan rumoh inong
(rumah perempuan) karena laki-laki yang bukan muhrim tidak diizinkan untuk
memasuki zona tungai ini.
Serambi belakang (seuramoe likot) merupakan ruang tambahan yang sering
disebut dengan ulee keude, dan berfungsi sebagai dapur.
Pembagian ruang (Gambar 11) yang memperlihatkan adanya pembedaan antara
zona laki-laki dan zona perempuan, dipengaruhi oleh aturan perkawinan dan adat
peunulang yang berlaku. Rumah merupakan milik perempuan dan laki-laki dianggap
sebagai tamu yang harus dihormati, sehingga tidak diperbolehkan untuk memasuki
serambi tengah dan dapur. Peraturan adat ini berkaitan dengan ajaran agama Islam yang
memisahkan ruang privat antar gender, sehingga rumoh Aceh di disain untuk melindungi
perempuan agar tidak terlihat auratnya oleh laki-laki yang bukan muhrimnya, serta dari
hal-hal yang tidak diinginkan, seperti kriminalitas dan lain sebagainya.

Rumoh Dapu
Inoeng
Rumoh

Seuramoe Likoet
Seuramoe Keue

Reunyeun
Tungai
Anjoeng
Rumoh

Legenda:
Zona laki-laki dan perempuan

Zona perempuan

Gambar 11. Pembagian ruang dalam rumoh Aceh


Fungsi dan peruntukan ruang-ruang pada rumoh Aceh membentuk struktur ruang
tempat tinggal, yaitu dari frekuensi dan tingkat kepentingan berdasarkan penggunaan
ruang dalam kegiatan keluarga sehari-hari dan saat terjadi ritual. Seuramoe keue
(serambi depan) merupakan ruang yang paling sering digunakan dalam aktivitas berskala
rumah tangga (mikro). Ruang ini merupakan core area (area inti/pusat) dari rumoh Aceh,
karena menjadi tempat berkumpul, baik antar anggota keluarga maupun dengan kerabat
yang lebih jauh, ketika terjadi ritual budaya, tanpa adanya pembedaan antara laki-laki dan
perempuan. Sebaliknya pada ruang lainnya yang menjadi pinggiran (periphery), yaitu
seuramoe teungoh (tungai) dan dapur, hanya diperbolehkan untuk perempuan. Struktur
ruang pada rumoh Aceh menunjukkan dualisme, yaitu bagian pusat untuk laki-laki serta
tempat untuk berbagai acara ritual, sementara bagian pinggiran untuk perempuan.
Dualisme terjadi karena sistem sosial budaya yang dianut masyarakat Gampong Lubuk
Sukon, yaitu dualisme antara ajaran Islam yang cenderung patriarkal, dengan adat
peunulang Aceh yang bersifat matriarkal. Meskipun pada dasarnya rumah merupakan

arsitektur e-Journal, Volume 1 Nomor 3, November 2008 185


milik perempuan dan dikuasai oleh perempuan, nilai-nilai patriarkal yang menghormati
kaum laki-laki, tetap dipegang teguh oleh masyarakat Gampong Lubuk Sukon. Struktur
dualisme ini disebut oleh Levi Strauss (1963:142) sebagai keseimbangan sosial. Struktur
ruang pada rumoh Aceh di Gampong Lubuk Sukon, dapat dilihat pada Gambar 12.

Rumoh Dapu
Inoeng
Rumoh

Seuramoe Likoet
Seuramoe Keue
Reunyeun
Tungai

Anjoeng
Rumoh

Keterangan :
Pusat Pinggiran Pinggiran/ruang tambahan

Gambar 12. Pembagian ruang dalam rumoh Aceh.

- Pola tata bangunan


Tata bangunan yang terdapat di Gampong Lubuk Sukon membentuk pola-pola yang
dapat dilihat berdasarkan letak, orientasi, dan konfigurasi susunannya. Struktur tata
bangunan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu antara lain:
Faktor hukum adat yang menuntut orangtua untuk menyediakan hareuta peunulang
bagi anak perempuan. Rumah peunulang ini pada umumnya dibangun dekat
dengan rumah inti keluarga (rumah orangtua), sehingga dalam satu halaman besar
milik keluarga terdiri dari beberapa rumah yang dapat ditelusuri berdasarkan sistem
kekerabatan.
Faktor tata nilai spiritualitas penduduk Gampong Lubuk Sukon yang memandang
arah Barat sebagai arah yang diutamakan. Pandangan ini berhubungan dengan
faktor kepercayaan bahwa kiblat shalat bagi umat Islam berada di sebelah Barat.
Selain itu, diketahui bahwa angin di daerah Aceh demikian kencangnya, sehingga
bila membangun atau mendirikan rumah berlawanan dengan arah angin akan
mengurangi ketahanan rumah;
Faktor perkembangan infrastruktur dan keterkaitan dengan sumber-sumber
ekonomi, seperti rumah yang menghadap ke jalan, atau rumah petani yang
menghadap ke arah sawah atau perkebunan.
Sistem kekerabatan memperlihatkan pola bangunan yang khas pada permukiman
tradisional Aceh. Keluarga inti menurut garis perempuan (peunulang), selalu
mempersiapkan rumah untuk ditinggali anak-anak perempuan mereka di kemudian hari.
Hasil analisis family tree memperlihatkan bahwa rumah-rumah dalam permukiman di
Gampong Lubuk Sukon mengelompok berdasarkan kekerabatan, dengan tipologi sebagai
berikut:
(a) Keluarga inti senior menyediakan rumah yang ditempatkan dalam satu pekarangan
kepada anak-anak perempuannya (hareuta peunulang), yaitu bersebelahan dengan

186 arsitektur e-Journal, Volume 1 Nomor 3, November 2008


rumah inti. Jika suatu keluarga mempunyai anak perempuan yang cukup banyak,
maka kebun dapat dijadikan lahan untuk membangun rumah baru. Rumah keluarga
inti senior biasanya diwariskan kepada anak perempuan terakhir. Harta peunulang
selanjutnya dibangun bersebelahan dengan rumah inti. Jika lahan tidak
memungkinkan, maka rumah baru dibangun di bagian belakang rumah (Gambar
13).

Keterangan :
Rumah keluarga inti senior

Rumah peunulang generasi I (anak perempuan)

Rumah peunulang II (cucu perempuan)

Gambar 13. Kelompok hunian berdasarkan kekerabatan tipologi I.

(b) Keluarga inti senior menyediakan harta peunulang, agak jauh dari rumah inti,
dengan mempertimbangkan lahan bagi kemungkinan penambahan rumah
peunulang yang harus disediakan anak-anaknya kelak. Pada tipologi ini, pemilihan
lahan tidak mengikuti aturan pola menetap masyarakat Aceh. Bangunan bisa
ditempatkan di belakang, depan, atau di samping rumah inti, tergantung dari lahan
yang tersedia dan kesepakatan antar keluarga (Gambar 14).

Keterangan :
Rumah keluarga inti senior

Rumah peunulang generasi I (anak perempuan)

Rumah peunulang II (cucu perempuan)

Gambar 14. Kelompok hunian berdasarkan kekerabatan tipologi II.

Arah orientasi bangunan, ditemukan bahwa semua rumoh Aceh di Gampong Lubuk
Sukon menghadap ke Barat (kiblat). Dari keseluruhan sampel bangunan, sebanyak
16.67% menghadap ke Utara, 3.03% menghadap ke Selatan, 6.06% menghadap ke
Timur, dan 65.15% menghadap ke Barat.

arsitektur e-Journal, Volume 1 Nomor 3, November 2008 187


Kesimpulan
Hasil analisis yang dilakukan untuk menjawab rumusan masalah pada studi ini,
diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
1. Karakteristik sosial budaya
Karakteristik sosial budaya masyarakat Gampong Lubuk Sukon ditinjau dari unsur-
unsur kebudayaan, berpengaruh pada bentukan pola tata ruang permukiman tradisional.
Pada kelembagaan pemerintahan terdapat struktur atau hierarki yang berlaku, dimulai
dari kepemimpinan imeum mukim pada tingkatan Mukim, keuchik pada tingkatan
Gampong, hingga Kasun pada tingkatan Dusun (Darul). Masing-masing kepemimpinan
dibagi berdasarkan hierarki ruang dari makro hingga ke mikro. Selain itu, terdapat struktur
kepemimpinan yang sesuai dengan pembagian pemanfaatan ruang. Keuchik sebagai
kepala permukiman, bertanggung jawab atas segala sesuatu yang berhubungan dengan
masyarakat Gampong, sedangkan untuk pemanfaatan kawasan pertanian ditangani oleh
keujruen blang. Aktivitas kelembagaan di Gampong Lubuk Sukon menciptakan fungsi
pada ruang-ruang yang digunakan, yang memperlihatkan sifat dan hierarkinya dalam
ruang permukiman. Pola tata ruang yang khas, terbentuk oleh sistem waris peunulang
dan adat menetap nikah matrilokal, juga dipengaruhi oleh sistem kekerabatan di
Gampong Lubuk Sukon.
2. Pola tata ruang permukiman tradisional Gampong Lubuk Sukon
Pola tata ruang permukiman di Gampong Lubuk Sukon sangat dipengaruhi oleh
sistem sosial dan budaya masyarakatnya yang beragama Islam. Struktur ruang yang
terbentuk memenuhi pola radial, dengan orientasi meunasah. Adapun elemen-elemen
lainnya yang membentuk struktur ruang di Gampong Lubuk Sukon adalah perumahan
dengan keluarga muslim sebagai penghuninya, fasilitas pelayanan seperti sarana
pendidikan, perkantoran, perdagangan, dan sebagainya, dan lahan usaha untuk agraris
atau pengelolaan alam lainnya. Sistem pengaturan ruang secara makro adalah
pembagian ruang berdasarkan fungsi guna lahan yang terbentuk secara alami. Kawasan
permukiman memusat di tengah-tengah dilengkapi dengan meunasah yang terletak di
wilayah tumpok. Fasilitas umum berada di sekitar kawasan permukiman, terletak di
wilayah ujong. Lahan usaha, yaitu lahan pertanian, berada di luar wilayah permukiman,
disebut dengan blang. Struktur ruang budaya di Gampong Lubuk Sukon menunjukkan
meunasah sebagai pusat aktivitas. Selanjutnya adalah tempat kerabat sebagai tempat
bersosialisasi antar masyarakat, dan sawah/ladang sebagai tempat bekerja.
Pada skala yang lebih mikro, pola tata ruang permukiman masyarakat Gampong
Lubuk Sukon terbentuk berdasarkan sistem kekerabatan, yaitu rumah orangtua menjadi
bangunan inti (pusat) dari kelompok hunian suatu keluarga. Wujud kekerabatan ini terdiri
dari keluarga inti senior yang tinggal berdekatan dengan keluarga inti dari anak-anak
perempuannya, sesuai dengan adat menetap nikah matrilokal dalam masyarakat Aceh.
Dalam tataran rumah dan pekarangan, seuramoe keue (serambi depan) merupakan pusat
dari bangunan rumoh Aceh. Ruang lainnya yang menjadi pinggiran (periphery), adalah
seuramoe teungoh (tungai) dan dapur, hanya diperbolehkan untuk perempuan. Struktur
ruang pada rumoh Aceh menunjukkan dualisme antara ajaran Islam yang cenderung
patriarkal, dengan adat peunulang Aceh yang bersifat matriarkal.

Saran
Rekomendasi yang dapat dipakai sebagai bahan masukan dari studi Pola Tata Ruang
Permukiman Tradisional, yaitu studi mengenai konsep arahan pelestarian untuk
mempertahankan pola tata ruang permukiman tradisional di Aceh, termasuk di dalamnya
arahan tata bangunan dan lingkungan, serta studi mengenai tindakan pelestarian bagi
bangunan tradisional yang ada di Gampong Lubuk Sukon

188 arsitektur e-Journal, Volume 1 Nomor 3, November 2008


Daftar Pustaka
Hurgronje, S. 1985. Aceh di Mata Kolonialis. Jilid I. Jakarta: Yayasan Soko Guru.
Lombard, D. 2006. Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia.
Koentjaraningrat. 1982. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: UI Press
Oswald, F. & Baccini, P. 2003. Netzstadt Einfhrung in das Stadtentwerfen. Berlin:
Birkhuser-Verlag fr architektur.
Rapoport, A. 1993. Development, Culture, Change and Supportive Design. USA:
University of Wisconsin-Milwaukee.
Syarief, S. M. 2005. Gampong dan Mukim di Aceh, Menuju Rekonstruksi Pasca
Tsunami. Bogor: Pustaka Latin.

Copyright 2008 by antariksa

arsitektur e-Journal, Volume 1 Nomor 3, November 2008 189

Anda mungkin juga menyukai