Anda di halaman 1dari 9

Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)

Dalam UUD NRI Tahun 1945 (Sebelum dan Sesudah Perubahan)1


Oleh:
Dr. Didik Sukriono, SH., M.Hum.2

Prolog
Undang Undang Dasar 1945 (sebelum perubahan) mengkonstruksi lembaga Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai wadah penjelmaan seluruh rakyat yang berdaulat,
tempat kemana Presiden harus tunduk dan mempertanggungjawabkan segala pelaksanaan
tugas-tugas konstitusionalnya. Konstruksi ini termuat dalam Pasal 1 Ayat (2), bahwa
Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat dan pada Penjelasan UUD 1945 (sebelum perubahan), bahwa Presiden bertunduk
dan bertanggungjawab kepada MPR.3 Ketentuan tersebut, menempatkan Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga negara dimana kedaulatan seluruh rakyat
Indonesia terjelma. Oleh karena itu, segala ketetapan yang dikeluarkan MPR mempunyai
kedudukan lebih tinggi dari produk hukum yang ditetapkan oleh lembaga-lembaga tinggi negara
yang lain, seperti Presiden, DPR ataupun Mahkamah Agung.
Kemudian setelah perubahan ketiga UUD 1945 kedudukan dan kewenangan MPR
Pasal 1 Ayat (2) mengalami perubahan redaksional, yaitu: Kedalutan berada di tangan rakyat
dan dilaksanakan menurut Undang Undang Dasar. Ketentuan tersebut, menempatkan MPR
bukan lagi pelaksana kedaulatan rakyat dan MPR mengembalikan mandatnya kepada rakyat
selaku mandant (mandator).4 Tetapi perubahan redaksional Pasal 1 Ayat (2) tersebut, tidak
mengubah kedudukan Ketetapan-Ketetapan MPR/S dalam urutan hirarki lebih tinggi daripada
undang-undang dan berada di bawah undang-undang dasar.
Selanjutnya setelah lahirnya UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, keberadaan Ketetapan MPR tidak ada (hilang) dalam hierarki urutan
perundang-undangan. Kemudian dalam UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang Undangan, kedudukan ketetapan MPR kembali berada pada urutan hierarki di
bawah UUD dan di atas undang-undang.

1
. Makalh disampaikan pada`acara Workshop Ketatanegaraan kerjasama Universitas Negeri Surabaya
dengan Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia (MPR RI), tangal 26-27 Agustus 2016 di Hotel Novotel, Jl Raya
Ngagel Surabaya.
2
Dosen Hukum dan Kewarganegaraan Universitas Negeri Malang, Anggota Asosiasi Pengajar Hukum Tata
Negara Negara (HTN) dan Hukum Administrasi Negara (HAN) Jawa Timur, Anggota Asosiasi Pengajar Hukum Acara
Mahkamah Konstitusi, Anggota Dewan Pembina MCW, Email: didik.sukrono.fis@um.ac.id
3
Undang Undang Dasar 1945 (Sebelum Perubahan) dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24
Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Sekretaris Jendral dan Kepaniteraan MKRI, 2011.
4
M. Laica Marzuki, 2006, Berjalan-Jalan di Ranah Hukum, Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia, Hlm. 26-27.
Dengan berlakunya UU No. 12 Tahun 2011 yang memberlakukan kembali Ketetapan
MPR, menarik untuk ditelaah dan dikaji kembali mengenai status, fungsi, kedudukan dan
kedudukan TAP MPR dalam sistem perundang-undangan di Indonesia. Sampai dengan hari
terdapat sebagian Ketetapan MPR/MPRS yang masih berlaku sebagai peraturan yang
mengikat umum (algemene verbindende voor schriften). Jika dilihat dari segi bentuknya, jelas
Ketetapan MPR bukan undang-undang. Apalagi sebelum reformasi dan setelah berlakunya UU
No. 12 tahun 2011, bahwa kedudukan Ketetapan-Ketetapan MPR/MPRS ditentukan berada
pada urutan hierarki yang lebih tinggi daripada uandang-undang. Padahal di dalam UUD 1945
setelah perubahan, kedudukan lembaga MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi, tetapi
sebagai lembaga tinggi yang sejajar dengan lembaga DPR, DPD, Presiden, Mahkamah Agung
dan Mahkamah Konstitusi.
Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 dan UU di atas, berimplikasi pada perubahan
struktur katatanegaraan yang semula terbagi dalam lembaga tertinggi negara dan lembaga
tinggi negara. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang semula berposisi sebagai lembaga
tertinggi negara menjadi sama posisinya dengan lembaga-lembaga negara yang lain.
Kesamaan posisi dari lembaga-lembaga negara yang ada menunjukkan adanya kewenangan
satu dengan yang lain pada tugasnya masing-masing yang tidak dapat saling menjatuhkan satu
terhadap yang lain.
Dalam posisi yang demikian nampaknya kewenangan MPR menjadi lebih sempit dan
kurang strategis serta sangat terbatas, karena apa yang menjadi kewenangannya ditegaskan
dalam beberapa pasal yang ada dalam Perubahan UUD 1945 hanyalah satu kewenangan rutin
yang dilakukan sekali dalam lima tahun sebagai kewenangan penetapan semata, sedangkan
kewenangan yang lain berupa kewenangan insidental yang muncul seandainya ada kejadian-
kejadian yang sifatnya penyimpangan.
Mencermati pernyataan tersebut, beberapa pertanyaan yang diangkat dalam tulisan ini
adalah: (1) Bagaimanakah organisasi dan kelembagaan negara disusun; (2) Bagaimanakah
kedudukan MPR dalam UUD NRI Tahun 1945 (Sebelum dan Sesudah Perubahan); (3)
Benarkah posisi MPR sebagai lembaga negara memiliki status sama dengan lembaga negara
yang lain. Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan dicoba untuk menelusuri jawabannya dengan
sudut pandang yuridis konstitusional dan argumentasi logis rasional.

Organisasi dan Kelembagaan Negara


Berbicara tentang organisasi dan kelembagaan negara, kata kuncinya adalah apa dan
siapa sesungguhnya yang memegang kekuasaan tertinggi atau yang biasa disebut sebagai
pemegang kedaulatan (sovereignty) dalam suatu negara. Untuk menjawab apa dan siapa
pemegang kekuasaan tertinggi, dalam filsafat hukum dan kenegaraan terdapat lima ajaran atau
teori, yaitu: kedaulatan Tuhan, kedaulatan Raja, kedaulatan hukum , kedaulatan rakyat dan
kedaulatan negara.
Tiga dari lima teori atau ajaran kedaulatan yang digunakan Indonesia dalam
menentukan kekuasaan, yaitu: kedaulatan Tuhan, kedaulatan hukum dan kedaulatan rakyat.
Kekuasaan negara dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada pokonya
merupakan derivate dari kesadaran kolektif bangsa Indonedia terhadap Kemahakuasaan Tuhan
Yang Maha Esa. Ajaran kedaulatan hukum diwujudkan dalam gagasan negara hukum
(rechtsstaat atau rule of law) dan prinsip supremasi hukum. Dan teori kedaulatan rakyat
diwujudkan melalui instrumen-instrumen hukum dan sistem kelembagan negara dan
pemerintahan sebagai institusi hukum yang tertib. Oleh karenanya produk-produk hukum yang
dihasilkan selain mencerminkan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, juga harus mencermkinkan
kedaulatan rakyat.5
Sedang dari sisi kelembagaan prinsip kedaulatan rakyat diorganisasikan melalui dua
pilihan, yaitu sistem pemisahan kekuasaan (separation of power) atau pembagian kekuasaan
(distribution of power). Pemisahan kekuasaan bersifat horisontal dalam arti kekuasaan dipisah-
pisahkan ke dalam fungsi-fungsi yang tercermin dalam lembaga-lembaga negara yang
sederajat dan saling mengimbangi (checks and balances). Sedang pembagian kekuasaan
bersifat vertikal dalam arti perwujudan kekuasaan itu dibagikan secara vertikal ke bawah
kepada lembaga-lembaga tinggi negara di bawah lembaga pemegang kedaulatan rakyat.
Artinya pembagian kekuasaan yang bersifat vertikal, prinsip kesederajatan dan perimbangan
kekuasaan tidak bersifat primer. Dan sebaliknya dalam pemisahan kekuasaan, prinsip
hubungan checks and balances antara lembaga-lembaga negara merupakan sesuatu yang
sangat pokok.6
Intinya prinsip-prinsip pemisahan atau pembagian kekuasan dimaksudkan untuk
membatasi kekuasaan negara dari kemungkinan menjadi sumber penindasan dan tindakan
sewenang-wenang pada penguasa. Pengaturan dan pembatasan kekuasaan itulah yang
menjadi ciri konstitusionalisme dan sekaligus tugas utama konstitusi sehingga kemungkinan
kesewenang-wenangan penguasa dapat dikendalikan dan diminimalkan.

5
. Jimly Asshiddiqie, 2005, Konstitusi dan Konstitusonalisme Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta, Hlm. 164-
165.
6
. Ibid, Jimly Asshiddiqie, Hlm. 165.
Kedudukan MPR dalam UUD NRI Tahun 1945 (Sebelum dan Sesudah perubahan)
Rumusan Pasal 1 ayat (2) naskah asli UUD 1945 mengatakan bahwa: Kedaulatan
adalah ditangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Pemusyawaratan Rakyat,
namun setelah reformasi dan dilakukan Perubahan terhadap UUD 1945 Pasal 1 ayat (2) ini
rumusannya berubah menjadi: Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
UndangUndang Dasar, ini berarti rumusan pasal tersebut telah mengubah kedudukan MPR
yang semula merupakan Lembaga Tertinggi Negara yang melaksanakan sepenuhnya
kedaulatan rakyat menjadi Lembaga Tinggi Negara atau lazim disebut sebagai Lembaga
Negara saja.
Konsep lembaga MPR sebelum Perubahan UUD 1945 yang menempatkan lembaga ini
sebagai Lembaga Tertinggi Negara, dengan kedudukannya sebagai satu-satunya lembaga
yang melaksanakan kedaulatan rakyat dengan kewenangannya tidak terbatas mengakibatkan
timbulnya berbagai macam kelemahan. Sistem supremasi MPR yang diatur dalam ketentuan
UUD 1945 telah menempatkan MPR dalam kekuasaan yang sentral membawahi lembaga
negara lainnya.
Sesuai dengan ketentuan UUD 1945, keberadaan MPR dalam kedudukannya sebagai
Lembaga Tertinggi Negara, dianggap sebagai pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat.
Konstruksi ini menunjukan bahwa MPR merupakan Majelis yang mewakili kedudukan rakyat
sehingga menjadikan lembaga tersebut sentral kekuasan yang mengatasi cabang-cabang
kekuasaan lainnya. Adanya satu lembaga yang berkedudukan paling tinggi membawa
konsekuensi bahwa seluruh kekuasaan lembaga-lembaga penyelenggara negara di bawahnya
harus bertanggung jawab kepada MPR. Akibatnya, konsep kontrol dan keseimbangan antara
elemen-elemen penyelenggara negara (checks and balances system) antar lembaga tinggi
negara tidak dapat dijalankan.7
Susunan keanggotaannya yang dianggap telah mencerminkan penjelmaan dari seluruh
rakyatpun juga ikut menimbulkan persoalan. Penyelenggaraan kedaulatan rakyat sebelum
perubahan UUD 1945 melalui sistem MPR dengan prinsip terwakili (penjelmaan seluruh
rakyat) telah menimbulkan kekuasaan bagi presiden yang demikian besar dalam segala hal
termasuk pembentukan MPR. Periode orde lama (1959-1965), seluruh anggota MPR(S) dipilih
dan diangkat langsung oleh Presiden. Tidak jauh berbeda pula pada masa orde baru (1966-
1998) dari 1000 orang jumlah anggota MPR, 600 orang dipilih dan ditentukan oleh Presiden.
Hal tersbut menunjukan bahwa pada masa-masa itu MPR seakan-akan hanya menjadi alat
untuk mempertahankan penguasa pemerintahan (presiden), yang mana pada masa itu

7
. Op. Cit., Laica Marzuki, Hlm. 26.
kewenangan untuk memilih dan mengangkat Presiden dan/ atau Wakil Presiden berada di
tangan MPR. Padahal MPR itu sendiri dipilih dan diangkat oleh Presiden sendiri, sehingga
siapa yang menguasai suara di MPR maka akan dapat mempertahankan kekuasaannya.
Sedang rumusan setelah perubahan ketiga UUD 1945 kedudukan dan kewenangan
MPR Pasal 1 Ayat (2) mengalami perubahan redaksional, yaitu: Kedalutan berada di tangan
rakyat dan dilaksanakan menurut Undang Undang Dasar. Ketentuan tersebut, menempatkan
MPR bukan lagi pelaksana kedaulatan rakyat dan MPR mengembalikan mandatnya kepada
rakyat selaku mandant (mandator).
Perubahan yang dilakukan terhadap UUD 1945, membawa implikasi terhadap sistem
ketatanegaraan di Indonesia. Salah satu perubahannya adalah menyangkut badan perwakilan
rakyat. Untuk menjamin terlaksana sistem checks and balances, maka pembagian kekusaan
dilakukan secara horizontal tidak secara vertikal. Sehingga kedudukan MPR setelah
Perubahan UUD 1945 diubah dari lembaga tertinggi negara menjadi lembaga negara yang
sejajar dengan alat kelengkapan negara lainnya. Dengan perubahan ini MPR tidak lagi
memiliki kedudukan yang eksklusif sebagai satu-satunya instansi pelaksana kedaulatan rakyat.
Kedudukan yang demikian telah mengurangi wewenang MPR atau setidaknya mengubah
substansi dari fungsi MPR. Dengan prinsip checks and balances, maka antar lembaga negara
bisa saling mengawasi dan mempunyai hubungan yang bersifat horisontal.8

Posisi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)


Untuk menjawab pertanyaan apakah sudah tepat mendudukkan MPR sebagai lembaga
negara sejajar dengan lembaga negara lain, dapat dilihat dari organisasi kelembagaan negara
dan kewenangan MPR dalam UUD 1945 Sesudah perubahan.
Jika dilihat organisasi kelembagaan negara dengan pembagian kekuasaan bersifat
vertikal (distribution of power) dalam arti perwujudan kekuasaan itu dibagikan secara vertikal
ke bawah kepada lembaga-lembaga tinggi negara di bawah lembaga pemegang kedaulatan
rakyat, maka posisi MPR yang sejajar dengan lembaga negara lain adalah tidak tepat. Artinya
organisasi kelembagaan dengan pembagian kekuasaan yang bersifat vertikal, prinsip
kesederajatan dan perimbangan kekuasaan tidak bersifat primer.
Tetapi jika mengacu pada organisasi kelembagaan dengan organisasi kelembagaan
dengan sistem pemisahan kekuasaan bersifat horisontal (separation of power) dalam arti
kekuasaan dipisah-pisahkan ke dalam fungsi-fungsi yang tercermin dalam lembaga-lembaga
negara yang sederajat dan saling mengimbangi (checks and balances), maka kedudukan MPR
8
. Bagir Manan, 2003, DPR, DPD dan MPR Dalam UUD Baru, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia,
Yogyakarta, Hlm. 94-96.
yang sejajar dengan lembaga-lembaga negara yang lain adalah sudah tepat. Artinya pemisahan
kekuasaan dengan prinsip hubungan checks and balances antara lembaga-lembaga negara
merupakan sesuatu yang sangat pokok.
Sedangkan dilihat dari kewenangan MPR dalam UUD 1945 Sesudah Perubahan, dapat
ditelusuri dari: (1) Beralihnya sistem demokrasi tidak langsung menjadi ssstem demokrasi
langsung; (2) Presiden dan Wakil Presiden tidak lagi dipilih oleh MPR, tetapi dipilih langsung
oleh rakyat dalam satu paket; (3) MPR terdiri dari anggota DPR dan DPD; (4) Jabatan Presiden
dan Wakil Presiden bersifat tetap waktu, sehingga tidak bisa diberhentikan kecuali melanggar
hukum; (5) MPR bukan lagi lembaga pemegang kedaulatan rakyat dan bukan lagi lembaga
tertinggi negara; dan (6) MPR tidak lagi membuat GBHN.
Atas perubahan UUD 1945 tersebut, maka kewenangan MPR tereduksi sedemikian
rupa, yaitu: (1) Mengubah dan menetapkan UUD; (2) Melantik Presiden dan Wakil Presiden;
dan (3) Memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD.
Atas kewenangan MPR mengubah dan menetapkan UUD, secara implisit sebenarnya MPR
masih memegang kekuasan tertinggi. Pandangan ini tentu berbeda dengan pandangan yang
selama ini memahami MPR yang menempatkan MPR sebagai pemegang kadaulatan yang
dikaitkan dengan kewenangan MPR memilih, mengangkat, dan memberhentikan Presiden dan
Wakil Presiden.9
Artinya dalam perspektif MPR dipahami masih merupakan lembaga tertinggi negara
atau pemegang kekuasaan tertinggi dalam kaitannya dengan kewenangan MPR mengubah dan
menetapkan UUD dengan melihat UUD sebagai sumber hukum tertinggi dalam
penyelenggaraan negara dan pemerintahan. UUD tidak semata-mata dipandang sebagai
hukum positif biasa, tetapi diletakan dan dipahami dalam hakikat dan kedudukannya sebagai
sebuah konstitusi yang dijelaskan dalam berbagai kajian teoritis dan pandangan ahli hukum tata
negara. Atas hakikat dan eksistensi UUD 1945 sebagai sebuah konstitusi, maka sesungguhnya
MPR Sesudah Perubahan UUD 1945 masih merupakan lembaga tertinggi negara. Oleh karena
itu pandangan yang menempatkan MPR Sesudah perubahan UUD 1945 sebagai lembaga
tinggi negara sama dengan lembaga negara lainnya seperti DPR dan lembaga Presiden, boleh
jadi sebuah keterlanjuran yang bersumber dari pemikiran MPR bukan lagi sebagai lembaga
pemegang kedaulatan rakyat sebagaimana adanya pada masa UUD 1945 sebelum perubahan.
Indikasi lainnya dari keberadaan MPR sebagai lembaga tertinggi, juga terlihat dari
kewenangan MPR (1) Melantik Presiden dan Wakil Presiden: (2) Memilih dan mengangkat

9
. Boy Yendra Tamin, 2015, Kewenangan MPR Setelah Diamandemen: Masalah dan Harapan, Makalah
disampaikan pada acara Semkinar Nasional Kerja Sama MPR RI Dengan Universitas Bung Hatta, Tanggal 17 Juni,
Di hotel Bumi Minang, Bandung.
Presiden dan Wakil Presiden untuk keadaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam UUD
1945. Oleh karena itu menempatkan MPR sejajar dengan lembaga-lembaga negara lainnya
adalah kurang tepat dan seharusnya kedudukan MPR tetap sebagai lembaga tertinggi negara
meskipun beberapa kewenangan dihilangkan atau ditiadakan.
Selain itu ketentuan bahwa MPR yang tidak lagi memeiliki tugas dan kewenangan
menetapkan GBHN dan kedaulatan rakyat tidak lagi berada di tangan MPR dan kedaulatan
dilaksanakan menurut cara yang ditentukan UUD. Konsekuensi logis dari pelaksanaan
kedaulatan rakyat yang dilaksanakan menurut UUD itu, Presiden tidak lagi bertanggungjawab
kepada MPR karena Presiden dipilih langsung oleh rakyat. Hal ini menjadi relevan dengan
tiadanya kewenangan MPR memilih dan mengangkat Presiden dan Wakil presiden. Akan tetapi
menempatkan Presiden dipilih langsung oleh rakyat tidak harus diartikan bahwa Presiden tidak
bertanggungjawab kepada MPR. Artinya sekalipun Presiden dan Wakil Presiden dipilih
langsung oleh rakyat tidak berarti Presiden tidak bertangggungjawab kepada MPR, karena
bagaimanapun juga harus ada mekanisme konnstitusional bagi pertanggungjawaban presiden
atas mandat yang diterimanya langsung dari rakyat. Dalam konteks ini pertanggungjawaban
pelaksanaan mandat yang dditerima presiden dari rakyat harus menjadi kewenangan MPR
meskipun tidak dalam konteks penjatuhan presiden dari jabatannya. Artinya
pertanggungjawaban presiden kepada rakyat tidak efektif apabila diserahkan pada mekanisme
lima tahunan (pemilu presiden). Menyerahkan pertanggungjawaban pelaksanaan mandat rakyat
kepada presiden kepada mekanisme lima tahunan lebih merupakan pertanggungjawaban
secara politik, sementara mandat langsung yang diterima presiden dari rakyat tidaklah semata-
mata mandat dalam arti politik, tetapi secara subtansial juga mandat dalam rangka mewujudkan
cita-cita kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai mana tertuang dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 dan karenanya pada presiden melekat pula tanggung jawab
konstitusional mewujudkan benegara yang luhur dan harus dibedakan dengan tujuan politik dan
kekuasaaan yang rentan terhadap perubahan.10

Epilog
Prinsip kedaulatan rakyat dapat diorganisasikan melalui dua pilihan, yaitu sistem
pemisahan kekuasaan (separation of power) atau pembagian kekuasaan (distribution of power).
Pemisahan kekuasaan bersifat horisontal dalam arti kekuasaan dipisah-pisahkan ke dalam
fungsi-fungsi yang tercermin dalam lembaga-lembaga negara yang sederajat dan saling
mengimbangi (checks and balances). Sedang pembagian kekuasaan bersifat vertikal dalam arti

10
. Ibid, Boy Tamin Yendra.
perwujudan kekuasaan itu dibagikan secara vertikal ke bawah kepada lembaga-lembaga tinggi
negara di bawah lembaga pemegang kedaulatan rakyat.
MPR sebelum Perubahan UUD 1945 ditempatkan sebagai Lembaga Tertinggi Negara,
dengan kedudukannya sebagai satu-satunya lembaga yang melaksanakan kedaulatan rakyat
dengan kewenangannya tidak terbatas. Sedang sesudahperubahan UUD 1945, kedudukan
MPR diubah dari lembaga tertinggi negara menjadi lembaga negara yang sejajar dengan alat
kelengkapan negara lainnya.
Posisi MPR sebagai lembaga tertinggi atau lembaga tinggi, dapat dianalisis dari
perspektif organisasi kelembagaan pemisahan atau pembagiaan kekuasan dan kewenagngan
MPR dalamUUD 1945 sesuddah perubahan.

Daftar Pustaka
Bagir Manan, 2003, DPR, DPD dan MPR Dalam UUD Baru, Fakultas Hukum Universitas Islam
Indonesia, Yogyakarta.
Boy Yendra Tamin, 2015, Kewenangan MPR Setelah Diamandemen: Masalah dan Harapan,
Makalah disampaikan pada acara Semkinar Nasional Kerja Sama MPR RI Dengan
Universitas Bung Hatta, Tanggal 17 Juni, Di hotel Bumi Minang, Bandung.
Jimly Asshiddiqie, 2005, Konstitusi dan Konstitusonalisme Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta.
M. Laica Marzuki, 2006, Berjalan-Jalan di Ranah Hukum, Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
Republik Indonesia, Undang Undang Dasar 1945 (Sebelum Perubahan) dan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Sekretaris
Jendral dan Kepaniteraan MKRI.

Anda mungkin juga menyukai