11 7 1 SM PDF
11 7 1 SM PDF
Sri Maslihah
Jurusan Psikologi, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung
s_maslihah@yahoo.com
Abstract: This study is based on the handling of the case of a girl who became the
victim of sexual harassement. The focus of this study was the identification of a sexual
harassement case through therapeutic play. This has a function to describe sexual abuse
incidence and to explore the feelings of the victims. This was a qualitative research
using a case study method. Techniques of data collection were obtained through play
therapy as a primary technique accompanied by interviews and observation. The results
of this study indicated that through play therapy, a description of location and
chronology of the harassment can be obtained. In addition, the subject of the case can
express her anger related to the case.
Keywords: sexual abuse on children, play therapy, case study
Abstrak: Penelitian ini diangkat dari penanganan kasus seorang anak perempuan yang
menjadi korban kekerasan seksual seksual yang dilakukan oleh seorang anak laki-
laki.Fokus penelitian ini adalah identifikasi kasus kekerasan seksual pada anak melalui
terapi bermain untuk mendapatkan gambaran tentang kejadian kekerasan seksual yang
terjadi dan menggali perasaan anak yang menjadi korban kekerasan seksual. Penelitian
ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan metode studi kasus (case
study). Teknik pengumpulan data dilakukan dengan terapi bermain sebagai teknik utama
disertai wawancara dan observasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa melalui
terapi bermain diperoleh informasi tentang lokasi dan kronologis kekerasan. Selain itu
subyek melalui terapi bermain subyek dapat mengekspresikan perasaan marah
sehubungan dengan kasus yang terjadi.
Kata kunci: kekerasan seksual anak, play therapy, studi kasus
A. Pendahuluan
Latar Belakang Permasalahan
Selama tahun 2011 Komisi Nasional Perlindungan Anak atau Komnas PA
menerima 1.789 laporan kasus kekerasan terhadap anak. Bentuk kekerasan ini
meliputi kekerasan fisik, seksual dan kekerasan psikis yang terjadi di
lingkungan domestik (keluarga) maupun sekolah. Diantara bentuk-bentuk
kekerasan terhadap anak tersebut, kekerasan seksual merupakan kekerasan
yang paling banyak dilaporkan (http://berita.liputan6.com)
Secara umum pengertian kekerasan seksual pada anak adalah
keterlibatan seorang anak dalam segala bentuk aktivitas seksual yang terjadi
21
22 Sri Maslihah
sebelum anak mencapai batasan umur tertentu yang ditetapkan oleh hukum
negara yang bersangkutan dimana orang dewasa atau anak lain yang usianya
lebih tua atau orang yang dianggap memiliki pengetahuan lebih dari anak
memanfaatkannya untuk kesenangan seksual atau aktivitas seksual. (CASAT
Programe, Child Development Institute; Boyscouts of America; Komnas PA).
Sementara Lyness (dalam Maslihah, 2006) kekerasan seksual terhadap anak
meliputi tindakan menyentuh atau mencium organ seksual anak, tindakan
seksual atau pemerkosaan terhadap anak, memperlihatkan media/benda porno,
menunjukkan alat kelamin pada anak dan sebagainya. Undang-Undang
Perlindungan Anak memberi batasan bahwa yang dimaksud dengan anak
adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas tahun), termasuk anak
yang masih dalam kandungan (UU Perlindungan Anak no 23 tahun 2002).
Dampak kekerasan seksual terhadap anak diantaranya adanya perasaan
bersalah dan menyalahkan diri sendiri, bayangan kejadian dimana anak
menerima kekerasan seksual, mimpi buruk, insomnia, takut hal yang
berhubungan dengan penyalahgunaan (termasuk benda, bau, tempat,
kunjungan dokter, dll), masalah harga diri, disfungsi seksual, sakit kronis,
kecanduan, keinginan bunuh diri cedera, bunuh diri, keluhan somatik, depresi
(Roosa, Reinholtz., Angelini, 1999). Selain itu muncul gangguan-gangguan
psikologis seperti pasca-trauma stress disorder, kecemasan, jiwa penyakit lain
(termasuk gangguan kepribadian dan gangguan identitas disosiatif,
kecenderungan untuk reviktimisasi di masa dewasa, bulimia nervosa, cedera
fisik kepada anak (Levitan, Rector, Sheldon, & Goering, 2003; Messman-Moore,
Terri Patricia, 2000; Dinwiddie, Heath, Dunne, Bucholz, Madden, Slutske,
Bierut, Statham et al, 2000)
Sementara Weber dan Smith (2011) mengungkapkan dampak jangka
panjang kekerasan seksual terhadap anak yaitu anak yang menjadi korban
kekerasan seksual pada masa kanak-kanak memiliki potensi untuk menjadi
pelaku kekerasan seksual di kemudian hari. Ketidakberdayaan korban saat
menghadapi tindakan kekerasan seksual di masa kanak-kanak, tanpa disadari
digeneralisasi dalam persepsi mereka bahwa tindakan atau perilaku seksual
bisa dilakukan kepada figur yang lemah atau tidak berdaya.
Pelaku kekerasan seksual terhadap anak umumnya orang-orang yang
sudah dikenal dan dipercaya anak. Dari kasus-kasus kekerasan seksual
terhadap anak yang dilaporkan pada Komnas Perlindungan Anak, pelaku
kekerasan terhadap anak bisa bisa ayah kandung, ibu kandung, ayah tiri, ibu
tiri, paman, tante, saudara kandung, kakek, nenek, tetangga, bapak guru, ibu
guru, anak, teman ataupun pacar. Sebagaimana diungkapkan Lalor dan
McElvana (2010) bahwa pelaku kekerasan seksual terhadap anak adalah
anggota keluarga, kerabat, tetangga, atau mereka dikenal dan dipercaya oleh
anak.
Play Therapy dalam Identifikasi Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak 23
Fokus Penelitian :
Fokus penelitian ini adalah melakukan identifikasi kasus kekerasan
seksual yang terjadi pada seorang anak perempuan melalui terapi bermain
untuk mendapatkan gambaran mengenai kejadian kekerasan seksual yang
terjadi dan menggali perasaan anak yang menjadi korban kekerasan seksual.
24 Sri Maslihah
Tinjauan Pustaka
Secara umum pengertian kekerasan seksual pada anak adalah
keterlibatan seorang anak dalam segala bentuk aktivitas seksual yang terjadi
sebelum anak mencapai batasan umur tertentu yang ditetapkan oleh hukum
negara yang bersangkutan dimana orang dewasa atau anak lain yang usianya
lebih tua atau orang yang dianggap memiliki pengetahuan lebih dari anak
memanfaatkannya untuk kesenangan seksual atau aktivitas seksual. (CASAT
programe, Child Development Institute; Boyscouts of America; Komnas PA). UU
Perlindungan Anak no 23 tahun 2002 memberi batasan bahwa yang dimaksud
anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas tahun), termasuk
anak yang masih dalam kandungan
Lyness (dalam Maslihah, 2006) kekerasan seksual terhadap anak meliputi
tindakan menyentuh atau mencium organ seksual anak, tindakan seksual atau
pemerkosaan terhadap anak, memperlihatkan media/benda porno,
menunjukkan alat kelamin pada anak dan sebagainya. Kekerasan seksual
(sexual abuse) merupakan jenis penganiayaan yang biasanya dibagi dua dalam
kategori berdasar identitas pelaku, yaitu:
a. Familial Abuse
Termasuk familial abuse adalah incest, yaitu kekerasan seksual dimana
antara korban dan pelaku masih dalam hubungan darah, menjadi bagian dalam
keluarga inti. Dalam hal ini termasuk seseorang yang menjadi pengganti orang
tua, misalnya ayah tiri, atau kekasih, pengasuh atau orang yang dipercaya
merawat anak (Bogorad,1998). Lebih lanjut Bogorad menyatakan seorang
peneliti menyatakan bahwa lebih dari 70% dari pelaku adalah anggota keluarga
dekat atau seseorang yang sangat dekat dengan keluarga. Peneliti lain
menyatakan bahwa sekitar 30% dari semua pelaku pelecehan seksual yang
berkaitan dengan korban mereka, 60% dari pelaku adalah kenalan keluarga,
seperti pengasuh, tetangga atau teman dan 10% dari pelaku dalam kasus-kasus
pelecehan seksual anak orang asing (Whealin, 2007).
Mayer (dalam Tower, 2002) menyebutkan kategori incest dalam keluarga
dan mengaitkan dengan kekerasan pada anak. Kategori pertama, sexual
molestation (penganiayaan). Hal ini meliputi interaksi noncoitus, petting,
fondling, exhibitionism, dan voyeurism, semua hal yang berkaitan untuk
menstimulasi pelaku secara seksual. Kategori kedua, sexual assault (perkosaan),
berupa oral atau hubungan dengan alat kelamin, masturbasi, fellatio (stimulasi
oral pada penis), dan cunnilingus (stimulasi oral pada klitoris). Kategori terakhir
yang paling fatal disebut forcible rape (perkosaan secara paksa), meliputi kontak
seksual. Rasa takut, kekerasan, dan ancaman menjadi sulit bagi korban. Mayer
mengatakan bahwa paling banyak ada dua kategori terakhir yang
menimbulkan trauma terberat bagi anak-anak, namun korban-korban
sebelumnya tidak mengatakan demikian.
Play Therapy dalam Identifikasi Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak 25
b. Extrafamilial Abuse
Kekerasan seksual yang digolongkan extrafamilial abuse ini dilakukan oleh
orang lain di luar keluarga korban, dan hanya 40% yang melaporkan peristiwa
kekerasan. Kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang dewasa dikenal
sebagai pedophile, yang menjadi korban utamanya adalah anak-anak.
Pedophilia diartikan menyukai anak-anak (deYong dalam Tower, 2002).
Menurut Hall (2007), sekitar 95% dari insiden pelecehan seksual terhadap
anak usia 12 dan lebih muda dilakukan oleh pelaku yang memenuhi kriteria
diagnostik untuk pedofilia, dan bahwa orang-orang tersebut menyusun 65%
dari pelaku penganiayaan anak. Penganiaya anak pedofil melakukan tindakan
seksual lebih dari sepuluh kali terhadap anak-anak dari penganiaya anak non-
pedofil.
Dampak kekerasan seksual terhadap anak diantaranya adanya perasaan
bersalah dan menyalahkan diri sendiri, bayangan kejadian dimana anak
menerima kekerasan seksual, mimpi buruk, insomnia, takut hal yang
berhubungan dengan penyalahgunaan (termasuk benda, bau, tempat,
kunjungan dokter, dll), masalah harga diri, disfungsi seksual, sakit kronis,
kecanduan, keinginan bunuh diri cedera, bunuh diri, keluhan somatik, depresi
(Roosa, Reinholtz., Angelini, 1999). Selain itu muncul gangguan-gangguan
psikologis seperti pasca-trauma stress disorder, kecemasan, jiwa penyakit lain
(termasuk gangguan kepribadian dan gangguan identitas disosiatif,
kecenderungan untuk reviktimisasi di masa dewasa, bulimia nervosa, cedera
fisik kepada anak, (Widom, 1999; Levitan, Rector, Sheldon, & Goering, 2003;
Messman-Moore, Terri Patricia, 2000; Dinwiddie , Heath , Dunne, Bucholz ,
Madden, Slutske, Bierut, Statham et al, 2000)
Sementara Finkelhor (1994) dan Julia (2004) menyebutkan bahwa sekitar
15% sampai 25% wanita dan 5% sampai 15% pria mengalami pelecehan
seksual ketika mereka masih anak-anak. Kebanyakan pelaku pelecehan seksual
kenal dengan korban-korban mereka. sekitar 30% adalah kerabat si anak, paling
sering saudara, ayah, ibu, paman atau sepupu, sekitar 60% adalah kenalan lain
seperti teman-teman dari keluarga, babysitter, atau tetangga; orang asing
adalah pelanggar dalam sekitar 10% kasus pelecehan seksual anak. Finkelhor,
Ormrod, Chaffin (2009) menambahkan bahwa dalam lebih dari sepertiga kasus,
pelaku juga di bawah umur.
Pada anak-anak yang mengalami ketegangan dan kemarahan yang tidak
bisa diekspresikan secara terbuka, maka bermain dapat berfungsi sebagai
sarana bagi anak untuk melepaskan ketegangan, perasaan tertekan dan
memunculkan dorongan-dorongan dalam diri anak (katarsis). Setidaknya
dengan proses katarsis melalui bermain ini anak dapat menjadi lebih relaks
(Dewi, 2007).
26 Sri Maslihah
Metode Penelitian
Play Therapy dalam Identifikasi Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak 27
Pembahasan
Berdasarkan wawancara dan terapi bermain kepada subyek, diperoleh
gambaran pelaku tampak memegang kendali permainan yang dilakukannya
kepada subyek, bahkan beberapa kejadian pelecehan seksual yang dialami
subyek terjadi tanpa adanya kekerasan fisik atau paksaan. Pelaku menyuruh
subyek melakukan sesuatu yang diperintahkannya dan umumnya diakhiri
dengan pesan untuk tidak menyampaikan apa yang terjadi kepada orang lain
terutama kepada orang tua mereka. Adapun jenis kekerasan seksual yang
terjadi pada subyek dimana pelaku melakukan perbuatan yang tergolong
pencabulan seperti mempermainkan alat kelamin subyek, meminta subyek
untuk menstimulasi alat kelamin pelaku dan sebaliknya.
Tampaknya kekerasan seksual yang dialami subyek yang masih tergolong
anak-anak dimaknai sebagai bermain. Bermain rumah-rumahan dengan
mempraktekkan kejadian-kejadian yang terjadi dalam kehidupan sehari
merupakan salah bentuk permainan yang umumnya meniru apa yang mereka
dapatkan dari lingkungan. Perilaku pelecehan dan kekerasan seksual yang
dialami subyek, terjadi sebagai inisiatif pelaku yang sangat dimungkinkan
diperoleh pelaku dari lingkungannya baik lingkungan rumah ataupun media
informasi terutama yang menampilkan pornografi maupun pornoaksi yang
saat ini sangat mudah diakses sekalipun oleh anak-anak. Sebagaimana
diungkapkan Neutze, Seto, Schaefer, Mundt dan Beier (2011) bahwa sebagai
bentuk eksploitasi seksual anak produk-produk pornografi anak melibatkan
eksploitasi seksual dan dalam banyak kasus, pelecehan seksual terhadap anak.
Pornografi seringkali mengenalkan pada anak sensasi seksual sebelum
waktunya. Padahal secara perkembangan, anak-anak belumlah siap
menghadapinya. Pengetahuan tentang sensasi seksual ini dapat
membingungkan dan memberi rangsangan berlebihan pada anak. Rangsangan
seksual pornografi dan akibat akhir yang diperoleh darinya adalah merusak
kondisi psikologis anak. Contohnya, jika rangsangan awal pada seorang anak
lelaki adalah foto-foto porno, dia akan terbiasa terangsang melalui foto-foto ini.
Pada fase anak, otak depan seorang anak belum berkembang dengan baik. Otak
depan adalah pusat untuk melakukan penilaian, perencanaan, dan menjadi
eksekutif yang akan memerintahkan tubuh untuk melakukan sesuatu. Otak
belakang merupakan pendukung dari otak depan. Otak bagian ini
menghasilkan dopamine, yaitu hormon yang menghasilkan perasaan nyaman,
rileks atau fly pada seseorang (Maslihah, 2010).
30 Sri Maslihah
masalah kejadian antara dirinya dan pelaku yang dilaporkan ibunya ke kantor
polisi.
Konflik antara ibu subyek dan keluarga besar khususnya orang tua pelaku
yang masih memiliki hubungan saudara karena ibu subyek melaporkan kasus
ini kepada kepolisian, menjadi rangkaian fenomena sulitnya memproses secara
hukum kasus kekerasan seksual dan menjadikan kasus kekerasan seksual
seperti fenomena gunung es. Sebagaimana diungkapkan Joni (2011) kasus-
kasus kekerasan seksual terhadap anak seringkali ditutupi keluarga dan tidak
dilaporkan ke publik atau diproses secara hukum dengan alasan untuk
melindungi nama baik baik keluarga.
Meskipun penelitian ini hanya menyoroti subyek sebagai korban
kekerasan atau pelecehan seksual, pada dasarnya pelaku yang masih duduk di
bangku sekolah dasar dapat digolongkan sebagai korban kekerasan seksual
(Saeroni, 2011). Tindak pencabulan atau kekerasan seksual yang dilakukan
anak dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor baik faktor keluarga
maupun faktor-faktor lain seperti dampak negatif dari arus globalisasi di
bidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
serta perubahan gaya hidup masyarakat membawa perubahan sosial serta
memberikan pengaruh terhadap nilai dan perilaku anak (Romanda, 2010).
Daftar Pustaka
Bogorad, Barabara E.(1998), Sexual Abuse:Surviving the Pain". The American
Academy of Experts in Traumatic Stress, Inc. (online) .Tersedia:http: //
www.aaets.org/article htm. (akses:5/4/2012)
Chalidah, Ellah Siti (2005). Terapi Permainan Bagi Anak yangMemerlukan Layanan
Pendidikan Khusus. Jakarta: Depdikbud
Christiana, Elizabeth (2008).Teknik Terapi Bermain pada Anak Usia
Sekolah.Jurnal Pendidikan Dasar. 9 (1): 81-84. Surabaya : Universitas Negeri
Surabaya
Dewi, Endah Kumala (2007). Aplikasi Play Therapy pada Kasus Kecemasan
pada Anak. Prosiding Konferensi Nasional Stress Management dalam Berbagai
Setting Kehidupan,. Bandung : Ikatan Psikologi Klinis Indonesia
Dinwiddie S, Heath AC, Dunne MP, Bucholz KK, Madden PA, Slutske WS,
Bierut LJ, Statham DB et al (2000). "Early sexual abuse and lifetime
psychopathology: a co-twin-control study". Psychological Medicine
(online). 30 (1): 4152 Tersedia: http://www.answers.com/topic/child-
abuse (akses 5/3/2012)
Finkelhor, David; Richard Ormrod, and Mark Chaffin (2009). "Juveniles Who
Commit Sex Offenses Against Minors". Washington, DC: Office of Juvenile
Justice and Delinquency Prevention. Office of Justice Programs, Department of
Justice. (Online). Tersedia: http ://www.answers.com/topic/child-abuse
(akses 25/2/2012)
Hall RC, Hall RC (2007). "A profile of pedophilia: definition, characteristics of
offenders, recidivism, treatment outcomes, and forensic issues". Mayo
Clinic
Proceedings. Mayo Clinic 82 (4): 45771. Tersedia: http:// id.wikipedia.org. (akses
4/4/2012)
Jajeli, Rois (2012). Didiskriminasi, Belasan Anak Korban Kekerasan Seksual Wadul ke
Dewan (Online). Tersedia : http://surabaya.detik.com (akses 10/3/2012)
Jongsma, Arthur E., Peterson, L.Mark., Mclnnis, William P (2000). The Child
Psychotherapy Treatment Planner. Toronto : John Willey & Sons, Inc.
Play Therapy dalam Identifikasi Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak 33