Anda di halaman 1dari 23

REFERAT

PENATALAKSANAAN INFEKSI TOXOPLASMOSIS

Pembimbing: dr. Santi Sumihar, Sp.PD. FINASM

Disusun oleh :

Eriska Muharani (1113103000056)

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN DAN PROFESI DOKTER

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

KEPANITERAAN KLINIK PENYAKIT DALAM RS.FATMAWATI

PERIODE 22 MEI 6 AGUSTUS 2017

1
BAB I
PENDAHULUAN

Toksoplasmosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh Toxoplasma gondii. Parasit


ini merupakan golongan protozoa dan hidup dialam bebas serta bersifat parasit obligat.
Toxoplasma gondii pertama kali ditemukan pada limpa dan hati hewan pengerat ( rodensia )
Ctenodactyles gondii ( gundi ) di Sahara Afrika Utara ( Anonim, 2001; Sciammarella, 2001).
Toxoplasma termasuk dalam phylum Apicomplexa , kelas Sporozoa dan Subkelas Coccidia
(Dubey, 1999; anonim, 2001c).
Dari segi kesehatan manusia parasit ini juga sangat berakibat fatal khususnya bagi ibu
ibu hamil, anak- anak ataupun penderita imunocompromise. Diperkirakan bahwa 30 50 %
populasi manusia didunia ini telah terinfeksi oleh Toxoplasma dan secara klinik mengandung
kista walaupun tidak jelas dan lebih dari 1000 bayi yang lahir terinfeksi oleh Toxoplasma. Inang
perantara dapat terinfeksi oleh parasit ini dengan jalan menelan ookista yang infektif yang ada
dalam feses kucing ( inang definitif ), kista yang mengkontaminasi pada daging khususnya
daging babi dan kambing, ataupun melalui plasenta pada wanita hamil ( Dubey, 1999; Lopez,
2000 ).
Menurut March of Dimer, bahwa 40 % wanita hamil yang mengidap toxoplasmosis pada
permulaan awal kehamilan, janin yang dilahirkan akan terinfeksi, sedang apabila wanita
terinfeksi pada trimester pertama kehamilan maka 15 % janin akan terinfeksi dan menyebabkan
abortus ataupun kelahiran dini. Walaupun bayi yang terinfeksi dapat lahir dengan normal tetapi
80 90% bayi tersebut akan menderita gannguan penglihatan setelah beberapa bulan atau
beberapa tahun dan 10% akan mengalami gangguan pendengaran.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI
Toksoplasmosis adalah penyakit zoonosis, disebabkan oleh parasit Toksoplasma gondii.
Toksoplasma gondii pada tahun 1908 pertama kali ditemukan pada binatang mengerat, yaitu
Ctenodactylus gundi di suatu laboratorium di Tunisia pada seekor kelinci di suatu laboratorium
di brazil dan pada tahun 1970 daur hidup parasit menjadi jelas, ketika ditemukan daur seksualnya
pada kucing lalu pada tahun 1973 parasit ini ditemukan pada neonates dan ensefalitis.
(Herdiman, 2007, Gandahusada, 1998). Infeksi yang dapat masuk dalam beberapa tahap siklus
kehidupannya dan dapat membuat beberapa gejala dan komplikasi terkhusus pada host yang
mengalami immunocompremaise, sesuai organ target dari parasit itu sendiri.
Toxoplasmosis pada pejamu yang imunokompeten, dapat mengalami perjalanan
pernyakit diantara berikut :
1. Akan sembuh sendiri
2. Lama sakit yang singkat
3. Menjadi laten

EPIDEMIOLOGI
Di Indonesia prevalensi zat anti T.gondii yang positif pada manusia berkisar antara 2%
dan 63%. Sedangkan pada orang Eskimo prevalensinya 1% dan di El Salvidor, Amerika Tengah
90% (Herdiman, 2007). Menurut Hartono dalam Chandra tahun 2001 bahwa terjadinya
keguguran spontan yang ada di RS. Dr. Ciptomangunkusumo dan RS. Hasan Sadikin, setelah
sampel plasenta diisolasi pada hewan percobaan menunjukkan 81 dari 101 sampel (80,2%)
positif terhadap kista toxoplasma. Sedangkan dari keseluruhan sampel yaitu 178 memperlihatkan
52,25% positif dengan menggunakan metode Elisa.

3
ETIOLOGI
Penyebab dari infeksi tersebut adalah Toxoplasma gondii yang merupakan suatu parasit
(protozoa) obligat intraselular, termasuk ordo Coccidia yang dapat menimbulkan infeksi dan
mempunyai daur hidup pada beberapa hospes perantara dan definitif.
Parasit yang termasuk dalam phylum ini mempunyai tiga karakteristik utama yaitu
bersifat obligat intraseluler, siklus hidup yang komplek baik secara seksual ataupun aseksual
dan mempunyai host spesifik yang sangat tinggi., diantaranya dapat menginfeksi inang antara
dalam kisaran yang sangat luas ( tidak bersifat host spesifik ). Inang antara yang mudah
terinfeksi antara lain adalah hewan berdarah panas, manusia dan burung (Smith dan Rebuck,
2000; Sciammarella, 2001).
Kebanyakan kasus toksoplasmosis pada manusia didapat karena mengkonsumsi jaringan
yang mengandung kista yang ada pada daging yang proses pemasakannya kurang sempurna atau
daging mentah. Selain itu kontak langsung dengan tanah atau air yang terkontaminasi oleh feses
kucing yang mengandung ookista yang secara tidak langsung kontak dengan makanan atau
minuman. Penularan bentuk lain adalah melalui plasenta ibu hamil yang menderita
toksoplasmosis ( Dubey, 1999; Anonim, 2001a).
Infeksi pada manusia didapat melalui :
1. Ookista yang didapat dari tinja hospes definitif (Kucing).
2. Memakan daging yang belum matang sempurna, berasal dari binatang yang telah
terinfeksi, mengandung kista infektif
3. Penularan ibu hamil terhadap ananknya via transplasental.
4. Adanya perpindahan dari cairan tubuh hospes infektif melalui transfusi darah.

MORFOLOGI dan DAUR HIDUP


T.gondii adalah suatu spesies dari Coccidia yang mirip dengan Isospora. Genus
Toxoplasma hanya terdiri dari satu spesies yaitu Toxopasma gondii, parasit ini mempunyai sifat
yang tidak umum dibandingkan dengan genus lain. (GAMBAR).
Toxoplasma mempunyai 3 bentuk di alam yaitu :
1. Ookista yang merupakan bentuk resisten di alam
2. Trofozoid, bentuk vegetatif dan proliferatif
3. Kista, bentuk resisten dalam hospes perantara

4
Ada 2 aspek dalam siklus kehidupan T. Gondii yaitu :
a. Bentuk Proliferatif (aseksual) mulai pada fase schizogoni, terjadi pada pejamu
perantara/non-feline contohnya : Burung, mamalia, manusia, namun sebenarnya juga
dapat terjadi pada siklus feline, fase ookista ini dapat tertelan oleh mamalia lain atau
burung (hospes perantara), maka pada berbagai jaringan hospes perantara ini dibentuk
kelompok kelompok trofozoit yang membelah secara aktif dan disebut takizoit (bentuk
yang membelah cepat). Kecepatan takizoit Toxoplasma gondii membelah berkurang
secara berangsur dan terbentuklah kista yang mengandung bradizoit (bentuk yang
membelah perlahan), masa ini dalah masa infeksi klinis menahun yang biasanya
merupakan infeksilaten. Pada manusia takizoit ditemukan pada infeksi akut dan dapat
memasuki tiap sel yang berinti. Bentuk takizoit menyerupai bulan sabit dengan satu
ujung yang runcing dan ujung yang lain agak membulat. Panjangnya 4-8mikron dan
mempunyai satu inti yang letaknya kira-kiradi tengah.
b. Bentuk Reproduktif (seksual), terjadi pada siklus feline, hospes definitif. Contohnya
Kucing. Dalam sel epitel usus kecil kucing berlangsung daur aseksual (skizogoni) dan
daur seksual (gametogoni, sporogoni) yang menghasilkan ookista yang dikeluarkan
bersama tinja. Ookista menghasilkan 2 sporokista yang masing masing mengandung 4
sporozoit. Bila kucing sebagai hospes definitif makan hospes perantara yang terinfeksi,
maka terbentuk lagi berbagai stadium seksual di dalam sel epitel usus kecilnya. Bila
hospes perantara mengandung kista jaringan Toxoplasma, maka masa prapaten (sampai
dikeluarkan ookista) adalah 3-5 hari, sedangkan bila kucing makan tikus
yangmengandung takizoit, masa prapaten biasanya 5-10 hari. Tetapi bila ookista
langsung tertelan oleh kucing, maka msa prapaten adalah 20-24 hari. Kucing lebih mudah
terinfeksi oleh kista jaringan daripada ookista. (Murat, 2009 ; Anonim, 2009).

5
PATOGENESIS
Pada siklus yang terjadi parasit tersebut akan menjalani bentuk berupa takizoid dimana
fase ini berkembang biak dalam sel secara endodiogeni. Bila sel penuh dengan takizoit, maka sel
menjadi pecah dan takizoit memasuki sel-sel di sekitarnya atau difagositosis oleh sel makrofag.
Kista jaringan dibentuk di dalam sel hospes bila takizoit yang membelah telah membentuk
dinding. Kista jaringan ini dapat ditemukan di dalam hospes seumur hidup terutama di otak, otot
jantung, dan otot lurik. Di otak kista berbentuk lonjong atau bulat, sedangkan di otot kista
mengikuti bentuk sel otot (Murat, 2009 ; Anonim, 2009 ; Gandahusada, 1998).
Bradizoit yang ada dalam jaringan ataupun tropozoit yang lepas dari ookista akan
melakukan penetrasi ke sel epitel usus dan melakukan multiplikasi. Toxoplasma akan menyebar
secara lokal pada limfoglandula mesenterika usus dan melalui pembuluh limfe dan darah akan
menyebar ke seluruh organ. Sebelum organ lain menjadi rusak, nekrosis akan terjadi lebih
dahulu pada usus dan limfoglandula mesenterika, baru kemudian terjadi focal necrosis terjadi
pada organ lain.
Gambaran klinis akan tampak segera setelah beberapa waktu jaringan mengalami
kerusakkan khususnya organ mata, jantung, dan kelenjar adrenal. Dengan adanya faktor

6
kelembaban dan temperatur yang sesuai ookista akan mampu bertahan beberapa bulan sampai
lebih dari satu tahun. Lalat, cacing, kecoak dan serangga lain mungkin dianggap sebagai agen
mekanis dalam penyebaran parasit ini. Faktor lain yang berpengaruh adalah umur, menurut
penelitian yang dilakukan oleh Martin dalam Lawrence tahun 1995, bahwa usia berpengaruh
secara serologi pada orang yang mengkonsumsi daging babi yang proses pemasakannya tidak
sempurna dan pada orang yang selalu menangani daging mentah.
Tingkat mortalitas dan morbiditas dari parasit ini cukup tinggi pada pasien yang
imunocompromise ( AIDS, kanker, transplantasi ) dan pada anak anak yang tertular melalui
ibunya ( Dubey, 1999 ; Smith dan Rebuck, 2000 ). Kondisi yang muncul pada penderita
imunocompromise tersebut biasanya berupa peradangan selaput otak ataupun adanya abses yang
sifatnya multiganda.

CARA INFEKSI
1. pada toksoplasma kongenital transmisi Toxoplasma kepada janin terjadi in utero melalui
plasenta, bila ibunya mendapat infeksi primer waktu ia hamil.
2. Pada toksoplasmosis akuisitas infeksi dapat terjadi, bila makan daging mentah atau
kurang matang (misalnya sate), kalau daging tersebut mengandung kista jaringan atau
takizoit Toxoplasma. Pada orang yang tidak makan daging pun dapat terjadi infeksi bila
ookista yang dikeluarkan dengan tinja kucing tertelan.
3. Infeksi juga dapat terjadi di laboratorium pada orang yang bekerja dengan binatang
percobaan yang diinfeksi dengan T.gondii, melalui jarum suntik dan alat laboratorium
lain yang terkontaminasi dengan T.gondii. wanita hamil tidak dianjurkan untuk bekerja
dengan T.gondii yang hidup. Infeksi dengan T.gondii juga pernah terjadi waktu
mengerjakan autopsi.
4. Infeksi dpat terjadi dengan transplantasi organ dari donor yang menderita toksoplasmosis
laten.
5. Transfusi darah lengkap juga dapat menyebabkan infeksi.

MANIFESTASI KLINIS
Setelah invasi yang biasanya terjadi di usus, maka parasit memasuki sel atau
difagositosis. Sebagaian parasit mati setelah difagositosis, sebagaian lain berkembang biak dalam

7
sel, menyebabkan sel hospes pecah dan menyerang sel-sel lain. Dengan adanya parasit di dalam
makrofag dan limfosit, maka penyebaran secara hematogen dan limfogen ke seluruh badan
mudah terjadi. Parasetemia berlangsung selama beberapa minggu. T.gondii dapat menyerang
semua organ dan jaringan tubuh hospes, kecuali sel darah merah (tidak berinti). (Herdiman,
2007)
Kista jaringan dibentuk bila sudah ada kekebalan dan dapat ditemukan di berbagai alat
dan jaringan, mungkin untuk seumur hidup. Kerusakan yang terjadi pada jaringan tubuh,
tergantung pada : 1). Umur, pada bayi kerusakan lebih berat daripada orang dewasa ; 2).
Virulensi strain Toksoplasma ; 3). Jumlah parasit ; 4). Organ yang diserang. (Herdiman, 2007)
Lesi pada susunan saraf pusat dan mata biasanya lebih berat dan permanen, oleh karena
jaringan ini tidak mempunyai kemampuan berregnerasi. Kelainan pada susunan saraf pusat
berupa nekrosis yang disertai dengan kalsifikasi. Penyumbatan akuaduktus sylvii oleh karena
ependimitis mengakibatkan hidrosefalus pada bayi. (Herdiman, 2007)
Pada infeksi akut di retina ditemukan reaksi peradangan fokal dengan edema dan
infiltrasi leukosit yang dapat menyebabkan kerusakan total dan pada proses penyembuhan
menjadi sikatriks dengan atrofi retina dan koroid, disertai pigmentasi. Di otot jantung dan otot
bergaris dapat ditemukan T.gondii tanpa menimbulkan peradangan. Di alat tubuh lainnya, seperti
limpa dan hati, parasit ini lebih jarang ditemukan. (Herdiman, 2007)
Diperkirakan bahwa lebih dari 3000 orang yang menderita toksoplasmosis kongenital di
Amerika Serikat tiap tahun tidak menunjukkan gejala. Gejala akan muncul dan sifatnya adalah
individual. Gejala serius muncul pada bayi yang dilahirkan abortus dan lahir dini ( 1 : 10 bayi
yang terinfeksi ) dengan ditemukan gejala infeksi mata, pembesaran hati dan limpa, kuning pada
mata dan kulit dan pneumonia ,ensepalopati dan diikuti kematian. Sedangkan pada bayi yang
lahir normal, gejala akan tampak setelah beberapa minggu, bulan atau tahun setelah lahir. Gejala
ini juga banyak dijumpai setelah usia pubertas misalnya adanya gangguan pada mata sampai
terjadi kebutaan, kegagalan pada sistem syaraf, gangguan pendengaran ( bisu- tuli), deman,
kuning akibat gangguan hati,erupsi kulit, gangguan pernafasan ( Anonim, 2001b ). Pada bentuk
laten biasanya berupa kerusakan psikomotor, konvulsi dan pembesaran kepala (hidrosepalus ).
Pada 69% kasus berkaitan dengan korioretinitis dengan peningkatan volume otak ( Chandra,
2001 ). Pada penderita imunocompromise, yaitu penderita AIDS, kanker ataupun transplantasi
organ gejala akan cepat terlihat yaitu adanya gangguan sistem syaraf, encepalitis, pembesaran

8
limfoglandula, gangguan mata, pendengaran, gangguan pernafasan dan gangguan jantung dan
angka kematian pada penderita diatas cukup tinggi ( Anonim, 2001b; Smith dan rebuck, 2000;
Theobald 2001 ).
Untuk kemudahan dalam penanganan klinis, toksoplasmosis dapat dibagi ke dalam 4
kategori, yaitu : 1). Infeksi pada pasien imunokompeten (didapat/acquired, baru dan kronik) ; 2)
Infeksi pada imunodefisiensi (didapat dan reaktivitas) ; 3) Infeksi mata (ocular) ; 4) Infeksi
Kongenital. (Herdiman, 2007)

1. Infeksi Akut Pada Pasien Imunokompeten


Pada orang dewasa, hanya 10-20% kasus toksoplasmosis yang menunjukan gejala.
Sisanya asimptomatik dan tidak sampai menimbulkan gejala konstitusional. Tersering adalah
limfadenopati leher, tetapi mungkin juga didapatkan pembesaran getah bening mulut atau
pembesaran satu gugus leher. Kelenjar-kelenjar biasanya terpisah atau tersebar, ukurannya jarang
lebih besar dari 3 cm, tidak nyeri, kekenyalan bervariasi, dan tidak bernanah. (Herdiman, 2007)
Gejala dan tanda-tanda yang mungkin dijumpai adalah demam, malaise, keringat malam,
nyeri otot, sakit tenggorok, eritema makulopapular, hepatomegali dan splenomegali. Gambaran
klinis umum seperti yang disebabkan infeksi virus mungkin juga dijumpai. (Herdiman, 2007)
Korioretinitis dapat terjadi pada infeksi akut yang baru, biasanya unilateral. Berbeda
dengan korioretinitis bilateral pada toksoplasmosis kongenital. Perjalanan penyakit pada pasien
imunokompeten seperti yang diterangkan terdahulu membatasi diri (self limiting). Gejala-gejala
tersebut dapat menghilang dalam beberapa minggu atau bulan dan jarang di atas 12 bulan.
(Herdiman, 2007)
Limfadenopati dapat bertambah atau menyusut atau menetap dalam waktu lebih dari satu
tahun. Karena manifestasi klinis toksoplasmosis tidak khas, diagnosis banding limfadenopati
yang perlu diperhatikan adalah tuberculosis, limfoma, mononucleosis infeksiosa, infeksi virus
sitomegalo, penyakit gigitan kucing (cat bite fever, tularemia), penyakit cakaran kucing (cat
stratch fever), sarkoidosis. (Herdiman, 2007)

2. Infeksi Akut Toksoplasmosis pada Pasien Imunodefisiensi


Pasien imunodefisiensi mempunyai risiko tinggi untuk mengidap toksoplasmosis yang
berat dan sering fatal akibat infeksi baru maupun reakifitas. Penyakitnya dapat berkembang

9
dalam berbagai bentuk penyakit susunan saraf pusat seperti ensefalitis, meningoensefalitis, atau
pneumonitis (Herdiman, 2007).
Pada pasien HIV, manifestasi klinis terjadi bila limfosit CD4 <100/ ml. manifestasu
klinis yang tersering pada pasien HIV/AIDS adalah ensefalitis. Ensefalitis terjadi pada sekitar
80% kasus. Pada pasien ET, gejala-gejala yang serig terjadi adalah gangguan mental (75%),
deficit neurologic (70%), sakit kepala (50%), demam (45%), tubuh terasa lemah serta gangguan
nervus kranialis. Gejala lain yang juga sering terdapat yaitu gejala Parkinson, focal dystonia,
rubral tremor, hemikorea-hemibalismus dan gangguan paa batang otak(Herdiman, 2007).
Pneumonitis, akibat toksoplasma gondii juga makin meningkat akibat kurangnya
penggunaan obat antiretroviral serta profilaksis pengobatan toksoplasmosis pada penderita
HIV/AIDS. Pneumonitis ini biasanya terjadi pada pasien dengan gejala AIDS yang sudah lanjut
dengan gejala demam yang berkepanjangan dengan batuk dan sesak nafas. Gejala klinis tersebut
terkadang susah dibedakan dengan pneumonia akibat penumonitis carinii dengan angka kematian
sekitar 35% meski sudah diterapi dengan baik (Herdiman, 2007).
Korioretinitis, adalah gejala lain yang dapat timbul. Gejalanya seperti penurunan tajam
penglihatan , rasa nyeri pada mata, melihat benda beterbangan, setra fotofobia. Pada pemeriksaan
funduskopi terdapat daerah nekrosis yang multifokal atau bilateral. Keterlibatan n.optikus terjadi
pada 10% kasus (Herdiman, 2007).
Pemeriksaan fisik lain biasanya menunjukkan hepatosplenomegaly dan timbul rash pada
kulit. Pada pemeriksaan funduskopi menunjukkan multipel yellowish white, bercak menyerupai
wol dengan batas yang tidak jelas didaerah kutub posterior. Pada ensefalitis toksoplasma
pemeriksaan fisik yang yang mendukung adalah gangguan status mental, kejang, kelemahan
otot, gangguan nervus cranialis, tanda-tanda gangguan cerebelum, meningismus, serta movement
disorder (Herdiman, 2007).

Toksoplasmosis Mata Pada Orang Dewasa


Infeksi toksoplasmosis menyebabkan korioretinitis. Bagian terbesar kasus korioretinitis
ini merupakan akibat infeksi kongenital. Pasien-pasien ini biasanya tidak menunjukkan gejala-
gejala sampai usia lanjut. Korioretinitis pada infeksi baru bersifat khas unilateral, sedang
korioretinitis yang terdiagnosa waktu lahir khasnya bilateral. Gejala-gejala korioretinitis akut
adalah : penglihatan kabur, skotoma, nyeri, fotofobia dan epifora. Gangguan atau kehilangan

10
sentral terjadi bila terkena makula. Dengan menbaiknya peradangan, visus pun membaik, namun
sering tidak sempurna. Panuveitis dapat menyertai korioretinitis. Papilitis dapat ditemukan
apabila ada kelainan susunan saraf pusat yang jelas. Diagnosis banding adalah tuberkulosis,
sifilis, lepra atau histoplasmosis (Herdiman, 2007).

3. Infeksi Kongenital
Toksoplasmosis yang didapat dalam kehamilan dapat bersifat asimptomatik atau dapat
memberikan gejala setelah lahir. Risiko toksoplasmosis kongenital bergantung pada saat
didapatnya infeksi akut ibu. Transmisi T.gondii meningkat seiring dengan usia kehamilan (15-
25% dalam trimester 1, 30-54% dalam trimester II, 60-65% dalam trimester III). Sebaliknya,
derajat keparahan penyakit kongenital meningkat jika infeksi terjadi pada awal kehamilan.
Tanda-tanda infeksi saat persalinan ditemukan pada 21-28% dari mereka yang terinfeksi pada
trimester II, dan kurang dari 11% pada trimester III. Ringkasnya 10% mengalami infeksi berat
(Herdiman, 2007).
Manifestasi klinis toksoplasmosis kongenital termasuk strabismus, korioretinitis,
ensefalitis, mikrosefalus, hidrosefalus, retardasi psikomotor, kejang, anemia, ikterus, hipotermia,
trombositopenia, diare dan pneumonitis. Trias karakteristik yang terdiri dari hidrosefalus,
kalsifikasi serebral, dan korioretinitis berakibat retardasi mental, epilepsi dan gangguan
penglihatan. Hal ini merupakan bentuk ekstrim dan paling berat dari penyakit ini (Herdiman,
2007).
Korioretinitis pada pasien imunokompeten hampir selalu akibat sekunder dari infeksi
kongenital. Diperkirakan 2/3 individu dengan infeksi kongenital asimptomatik mengalami
korioretinitis dalam hidupnya (biasanya dalam 4 dekade). Lebih dari 30% mengalami relaps
setelah terapi (Herdiman, 2007).

DIAGNOSIS
Untuk melakukan diagnosa terhadap penyakit toksoplasmosis dapat dilakukan beberapa
cara yaitu bisa menggunakan cara serologi ataupun pemeriksaan histopatologi. Dengan hanya
melihat gejala klinik maka diagnosa kurang bisa ditegakkan karena gejala yang tampak tidak
spesifik ( Dubey, 1999 ). Pemeriksaan langsung bisa dilakukan dengan cara melakukan
pemeriksaan darah untuk melihat apakah parasit sudah menyebar melalui darah dengan melihat

11
perubahan yang terjadi pada gambaran darahnya, serta bisa menggunakan CT scan, MRI untuk
menemukan lesi akibat parasit tersebut pada beberapa organ. Pemeriksaan juga bisa dilakukan
dengan biopsi dan dari sampel biopsi tersebut bisa dilakukan pengujian dengan menggunakan
PCR ( Theobald, 2001; Fuentes, 2001 ). Metode diagnosa lain yang sering digunakan adalah
dengan menggunakan Indirect haemaglutination (IHA), Immunoflourescence (IFAT) ataupun
dengan Enzym Immunoassay (Elisa) ( Figueiredo et al, 2001 ).
Diagnosis toksoplasmosis akut dapat dipastikan bila menemukan takizoit dalam biopsi
otak atau sumsum tulang, cairan serebrospinal dan ventrikel.

A B

Gambar 2 : (A)Takizoit Toxoplasma gondii dengan pewarnaan giemsa, terlihat bentuk crescent
dengan inti di tengah. (B)kista toksoplasma gondii dari jaringan otak yang diwarnai dengan
hematoxilin dan eosin. Dengan pembesaran 100x.

Tes serologi dapat menunjang diagnosis toksoplasmosis. Tes yang dapat dipakai adalah
tes warna Sabin Fiedlman (Sabin-Feldman dye test) dan tes hemaglutinasi tidak langsung (IHA),
untuk deteksi IgG, tes zat anti flouresen tidak langsung (IFA) dan tes ELISA untuk deteksi IgG
dan IgM. Tes sabin-fieldman didasarkan pada rupturnya T,gondii yang hidup dengan antibodi
spesifik dan komplemen di dalam serum yang diperiksa. Pemeriksaan ini masih merupakan

12
rujukan pemeriksaan serologi. Hasil serologi menjadi positif dalam 2 minggu setelah infeksi dan
menurun setelah 1-2 tahun.

A B

Gambar 4 : A: Formalin-fixed Toxoplasma gondii tachyzoites, diwarnai dengan


immunofluorescence (IFA). Ini adalah reaksi positif dari takizoit + antibody terhadap
Toxoplasma + FITC-labelled antihuman IgG = fluorescence.
B: IFA negatif untuk antibodi T. gondii.

Serologi IgG banyak digunakan untuk infeksi lama. Awalnya Ig M muncul terlebih
dahulu sebelum IgG, kemudian menurun cepat dan merupakan petanda infeksi dini. Pada kasus
limfedenopati toksoplasmosis, 90% diantaranya memiliki IgM positif saat diperiksa dalam 4
bulan setelah onset limfedenopati, 22 % diantaranya tetap positif saat diperiksa lebih dari 12
tahun setelah onset. Pada beberapa kasus, IgM reaktif tidak dapat terdeteksi. Anti-IgE
imunosorbent agglutination assay diduga merupakan pemeriksaan yang lebih akurat untuk
mendetksi toksoplasmosis akut. Namun, pemeriksaan ini masih perlu penelitian lebih lanjut.

13
Pemeriksaan CT scan otak pada pasien dengan Ensefalitis Toksoplasmosis (ET)
mununjukan gambaran menyerupai cincin yang multiple pada 70-80% kasus. Pada pasien
dengan AIDS yang telah terdeteksi dengan IgG Toksoplasma gondii dan gambaran cincin yang
multiple pada CT Scan sekitar 80% merupakan TE. Lesi tersebut terutama berada pada ganglia
basal dan corticomedullary junction (Herdiman, 2007).
Penggunaan Polymerase Chain Reaction (PCR) dalam mendeteksi Toksoplasma gondii
telah digunakan dewasa ini. Dengan teknik ini dapat dibuat diagnosis dini yang cepat dan tepat
untuk toksoplasmosis congenital prenatal dan postnatal dan infeksi toksoplasmosis akut pada
wanita hamil dan penderita imunokompramais. Specimen tubuh yang digunakan adalah cairan
tubuh termasuk cairan serebrospinal, cairan amnion, dan darah. Jose E Vidal mendapatkan
bahwa PCR memiliki sensitivitas yang tinggi yaitu 100% dengan spesifitas 94,4%. Lamoril J et
al menunjukan bahwa PCR memiliki spesifitas yang rendah (16%) bila bahan yang diambil

14
berasal dari darah. PCR juga menjadi negatif apabila sebelum dilakukan PCR pasien telah
diberikan pengobatan (Herdiman, 2007).

PENATALAKSANAAN
Obat-obat yang dipakai sampai saat ini hanya membunuh bentuk takizoit T.gondii dan
tidak membasmi bentuk kistanya, sehingga obat-obat ini dapat memberantas infeksi akut, tetapi
tidak dapat menghilangkan infeksi menahun, yang dapat menjadi aktif kembali (Herdiman,
2007).
Pyrimetamin dan sulfonamide bekerja secara sinergistik, maka dipakai sebagai kombinasi
selama 3 minggu atau sebulan.
A. Pyrimetamin menekan hemopoiesis dan dapat menyebabkan trombositopenia dan
leukopenia. Untuk mencegah efek samping ini, dapat ditambahkan asam folinik atau ragi.
Pyrimetamin bersifat teratogenik, maka obat ini tidak dianjurkan untuk wanita hamil
(Herdiman, 2007). Pyrimetamin diberikan dengan dosis 50-75 mg sehari untuk dewasa
selama 3 hari dan kemudian dikurangi menjadi 25 mg sehari (0,5-1 mg/kgBB/hari) selama
beberapa minggu pada penyakit berat. Karena half-lifenya adalah 4-5 hari, Pyrimetamin
dapat diberikan 2 kali/hari atau 3-4 kali sekali. Asam folinik diberikan 2-4 mg sehari.
Sulfonamide dapat menyebabkan trombositopenia dan hematuria, diberikan dengan dosis
50-100 mg/KgBB/hari selama beberapa minggu atau bulan (Herdiman, 2007).
B. Spiramisin adalah antibiotik makrolid, yang tidak menembus plasenta, tetapi ditemukan
dengan konsentrasi tinggi di plasenta. Spiramisin diberikan dengan dosis 100mg/KgBB/hari
selama 30-45 hari. Obat ini dapat diberikan pada wanita hamil yang mendapat infeksi
primer, sebagai obat profilatik untuk mencegah transmisi T.gondii ke janin dalam
kandungannya (Herdiman, 2007).
Pilihan lainnya seperti Klindamisin efektif untuk pengobatan toksoplasmosis, tetapi dapat
menyebabkan kolitis pseudomembranosa atau kolitis ulserativa, maka tidak dianjurkan untuk
pengobatan rutin pada bayi dan wanita hamil. Kortikosteroid digunakan untuk mengurangi
peradangan pada mata, tetapi tidak dapat diberikan sebagai obat tunggal (Herdiman, 2007). Obat
makrolid yang efektif terhadap T.gondii adalah klaritromisin dan azitromisin yang diberikan
bersama Pyrimetamin pada penderita AIDS dengan ensefalitis toksoplasmik. Obat yang baru
adalah hidroksinaftokuinon (atovaquone) yang bila dikombinasi dengan sulfadiazine atau obat

15
lain yang aktif terhadap T.gondii, dapat membunuh kista kista jaringan pada mencit. Tetapi hasil
penelitian pada manusia masih ditunggu. Toksoplasmosis akuista yang asimtomatik tidak perlu
diberikan pengobatan. Penderita imunokompramais (AIDS, keganasan) yang terjangkit
toksoplasmosis akut harus diberikan pengobatan (Herdiman, 2007).

1. Infeksi Kehamilan dan Kongenital


Pada toksoplasmosis kehamilan, pengobatan dapat dianjurkan untuk ibu, janin atau bayi
baru lahir. Spiramisin merupakan antibiotik makrolid yang terkonsentrasi di plasenta, sehingga
mengurangi infeksi plasenta sebesar 60%. Obat ini secara terus-menerus melalui barier plasenta
dan digunakan untuk mengurangi transmisi vertikal. Spiramisin 3g/hari dalam dosis terbagi 3
selama 3 minggu diberikan pada wanita hamil yang mengalami infeksi akut sejak diagnosis
ditegakan hingga kelahiran, kecuali terbukti terjadi infeksi pada janin. Pada kasus demikian,
regimen terapi diubah ke sulfadiazine 4 g dan Pyrimetamin 25 mg, serta asam folat 15 mg/hari
hingga persalinan. Risiko mengidap penyakit serius pada kehamilan dini membawa risiko efek
teratogenik antifolat. Semua bayi baru lahir yang terinfeksi harus mendapat pengobatan anti
T.gondii (sulfadiazine 50mg/kg 2 kali/hari dan Pyrimetamin 1 mg/kgBB/hari, serta asam folat 5
mg/kgBB/hari selama sedikitnya 6 bulan). Belum ada pengobatan yang menurunkan angka
kejadian korioretinitis (Herdiman, 2007).
Untuk memastikan terjadinya infeksi janin, diperlukan pemeriksaan USG dan cairan
amnion untuk pemeriksaan PCR T.gondii dan kultur. Pengambilan darah janin dengan
kordosentesis telah sering digunakan untuk mendeteksi antibody janin dan kultur T.gondii
(Herdiman, 2007).
Pengakhiran kehamilan biasanya ditawarkan pada wanita serokonversi dalam 8 minggu
pertama kehamilan dan mereka yang mengalami infeksi dalam 22 minggu pertama jika infeksi
janin terbukti. Pendekatan yang lebih konservatif untuk menganjurkan aborsi adalah hanya jika
pada USG didapat hidrosefalus, meski hanya kasus dalam presentasi kecil mengalami gangguan
neurologic pada saat lahir (Herdiman, 2007).

2. Infeksi pada pasien Imunokompromais


Pasien AIDS harus diterapi untuk toksoplasmosisnya, karena pada pasien
imunokompramais infeksi dapat menjadi fatal bila tidak diobati. Regimen untuk pasien dengan

16
ensefalitis adalah Pyrimetamin (dosis awal 200 mg, lanjutan 50-75 mg/hari) dan sulfadiazine (4-
6 g/hati dosis terbagi 4) selama 4-6 minggu sampai tampak perbaikan radiologik. Leucovorin
dengan Pyrimetamin. Baik Pyrimetamin maupun sulfadiazine melewati sawar darah otak.
Komplikasi obat ini antara lain gangguan hematologic, kristaluria, hematuria dan batu ginjal
radiolusen dan nefrotoksisitas (Herdiman, 2007).
Pyrimetamin dan sulfadiazin hanya aktif untuk takizoit, sehingga pada pasien
imunokompramais terapi awal harus diberikan selama 4-6 minggu. Mereka juga harus mendapat
terapi supresif seumur hidup dengan Pyrimetamin (25-50 mg/hari) dan sulfadiazine (2-4 g/hari).
jika sulfadiazin tidak dapat ditoleransi, kombinasi Pyrimetamin (75 mg/hari) dan klindamisin
(450 mg 3x/hari) dapat digunakan (Herdiman, 2007).
Dapsone (diaminodiphenysulfone) merupakan alternatif efektif pengganti sulfadiazin
karena memiliki waktu paruh lebih lama dan berkurangnya toksisitas. Spiramisin diberikan untuk
mengurangi transmisi plasenta. Klindamisin diabsorbsi baik oleh saluran cerna dan kadar puncak
dalam serum tercapai 1-2 jam setelah pemberian. Kombinasi Pyrimetamin oral (25-75 mg/hari)
beserta klindamisin intravena (1200-4800 mg/hari) terbukti efektif untuk pasien AIDS dengan
ensefalitis toksoplasmosis. Efek samping klindamisin adalah mual, muntah, netropenia, ruam dan
colitis pseudomembranosa (Herdiman, 2007).
Penelitian menunjukan bahwa makrolid tunggal tidak efektif, namun kombinasi
Pyrimetamin dan klaritromisin tampaknya efektif. Atovaquone (750 mg 3-4 x/hari) merupakan
pilihan bagi mereka yang intoleransi obat lain. Glukokortikoid dapat digunakan untuk terapi
edema intraserebral. Antikonvulsan kadang diperlukan untuk mengatasi kejang, namun harus
diperhatikan interaksi potensial antara sulfadiazine dan fenitoin. Regimen kotrimoksazol atau
dapson berserta pirimetamin dengan leukovorin dapat mencegah perkembangan ensefalitis pada
pasien HIV dengan seropositif T.gondii setelah jumlah limfosit CD4 berkurang hingga mencapai
100/ul (Herdiman, 2007).
11 hal rekomendasi do and dont dalam infeksi toxoplasmosis dalam hal pencegahan,
screening dan penanganan pada wanita dan ibu hamil :
1. Screening universal rutin serologik pada ibu hamil yang dipertimbangkan berisiko
tinggi terhadap infeksi primer toxoplasmosis
2. Dugaan adanya infeksi pada ibu hamil harus d konfirmasi dengan pemeriksaan
serologik akurat sebelum melakukan intervensi

17
3. Jika diduga terjadi infeksi akut, tes berulang harus dilakukan dalam waktu 2-3
minggu dan pertimbangan pemberian spiramycin dan menunggu tes berulang
4. Amniocentesis sebaiknya dilakukan untuk identifikasi infeksi dalam cairan ketuban
dengan menggunakan PCR jika (a). Ada diagnosis infeksi primer pada ibu, (b). Tes
serologi pada ibu tidak dapat menyingkirkan atau konfirmasi infeksi akut (c).
Ditemukan USG yang abnormal (kalsifikasi inrakranial, mikrosefali, hidrosefalus,
asites, hepatosplenomegali atau hambatan pertumbuhan intrauteri).
5. Amniocentesis tidak dapat dijadikan alat diagnosis pada kehamilan kurang dari 18
minggu atau untuk menurunkan hasil negatif palsu. Tidak dilakukan kurang dari 4
minggu setelah diduga terjadi infeksi akut.
6. Ibu hamil dengan temuan USG infeksi TORCH dan temuan kelainan-kelainan
intrauterine lainnya
7. Jika infeksi toxoplasmosis telah dikonfimasi pada ibu, namun belum pada janin maka
harus diberikan spiramycin sebagai profilaksis janin agar tidak tertular transplacenta.
8. Kombinasi pyrimetamin, sulfadiazine dan asam folat sebaiknya diberikan pada ibu
yang telah didapatkan hasil positif pada pemeriksaan PCR cairan amnion.
9. Anti-toxoplasma tidak perlu diberikan pada ibu dengan infeksi T.gondii dalam
keadaan imunokompeten
10. Ibu hamil dengan keadaan imunokompromaise atau HIV positif harus discreening
untuk resiko raktivasi dan ensefalitis toksoplasmosis.
11. Wanita yang belum hamil dan didiagnosis infeksi toxoplasmosis akut harus
dikonseling agar menunggu 6 bulan untuk hamil. Edukasi lengkap untuk wanita masa
reproduksi.

PENCEGAHAN
Prinsip pencegahan yang dilakukan agar tidak terkena toksoplasmosis adalah dengan
memutus rantai penularan, sehingga ookista maupun kista tidak masuk ke dalam tubuh manusia.
Dari cara penularan toksoplasmosis ke manusia, dapat terlihat jelas bahwa jalan utama masuk T.
gondii ke dalam tubuh manusia adalah melalui mulut, atau dengan kata lain melalui makanan
yang tercemar oleh trofozoit, ookista atau kista. Kista akan masuk ke tubuh manusia, jika makan

18
daging yang tidak dimasak sempurna (setengah matang), sedangkan ookista akan masuk ke
tubuh manusia melalui makan sayuran, buah, air minum dan lalapan segar yang tercemar ookista
melalui lingkungan, trofozoit bisa masuk setelah tangan kontak dengan daging tercemar
kemudian makan tanpa cuci tangan, bisa juga melalui air susu yang tercemar atau air seni dari
kucing yang kena toksoplasmosis, tropozoit bisa masuk tubuh apabila kecelakaan di
laboratorium. Berangkat dari cara masuknya T. gondii ke tubuh manusia melalui makanan, maka
pencegahan toksoplasmosis dapat dilakukan dengan melalui pola makan, dan kebiasaan hidup
yang dapat menghindari masuknya kista, ookista dan trofozoit ke dalam tubuh. Dengan
memotong siklus hidup T. gondii agar tidak dapat masuk ke dalam tubuh manusia, maka manusia
akan dapat terhindar dari bahaya yang disebabkan oleh infeksi T. Gondii (Herdiman, 2007).
Pola makan dan kebiasaan hidup sehat yang dapat mencegah masuknya T. gondii ke
dalam tubuh manusia antara lain adalah sebagai berikut:
1. Menghindari makan daging setengah matang. Semua masakan atau makanan yang
mengandung daging, pastikan daging telah dimasak dengan baik (T. Gondii bentuk
trofozoit akan mati pada pemanasan 65C). Kemungkinan terbesar infeksi T. gondii pada
manusia berasal dari makan daging yang kurang masak, misalnya sate setengah matang
atau jenis masakan yang menggunakan daging tidak dimasak sempurna. Kebiasaan orang
membuat rendang dapat menghindari diri dari kemungkinan terinfeksi toksoplasmosis.
2. Mencuci semua sayuran, buah, dan lalapan dengan bersih. Usahakan pencucian
mengunakan air yang mengalir. Kemungkinan tercemarnya sayuran, buah, dan lalapan
oleh ookista sangat besar, karena makanan tersebut dari ladang yang tidak bisa terhindar
dari pencemaran lingkungan, termasuk adanya ookista.
3. Mencuci tangan sebelum makan, menggunakan air dan sabun.
4. Berkebun sebaiknya memakai sarung tangan. Apabila terpaksa tidak memakai sarung
tangan, sehabis berkebun harus mencuci tangan dengan air dan sabun.
5. Anak-anak sehabis bermain dengan pasir/tanah harus mencuci tangan dengan air dan
sabun.
6. Mencegah kontaminasi makanan terhadap lalat dan kecoa. Usahakan makanan selalu
ditutup.

19
PROGNOSIS
Toksoplasma akut untuk pasien imunokompeten mempunyai prognosis yang baik.
Toksoplasmosis pada bayi dan janin dapat berkembang menjadi retinokoroiditis. Toksoplasmosis
kronik asimptomatik dengan titer antibodi persisten, umumnya mempunyai prognosis yang baik
dan berhubungan erat dengan imunitas seseorang. Toksoplasmosis pada pasien imunodefisiensi
mempunyai prognosis yang buruk (Herdiman, 2007).

20
BAB III
KESIMPULAN

Toksoplasmosis adalah penyakit zoonosis, disebabkan oleh parasit Toksoplasma gondii.


Toksoplasma gondii pada tahun 1908 pertama kali ditemukan pada binatang mengerat, yaitu
Ctenodactylus gundi di suatu laboratorium di Tunisia pada seekor kelinci di suatu laboratorium
di brazil, Menurut Hartono dalam Chandra tahun 2001 bahwa terjadinya keguguran spontan
yang ada di RS. Dr. Ciptomangunkusumo dan RS. Hasan Sadikin, setelah sampel plasenta
diisolasi pada hewan percobaan menunjukkan 81 dari 101 sampel (80,2%) positif terhadap kista
toxoplasma. Infeksi pada manusia didapat melalui Ookista yang didapat dari tinja hospes
definitif (Kucing), daging mentah yang masih mengandung kista yang aktif, Penularan ibu hamil
terhadap ananknya via transplasental.
Setelah invasi yang biasanya terjadi di usus, maka parasit memasuki sel atau difagositosis.
Sebagaian parasit mati setelah difagositosis, sebagaian lain berkembang biak dalam sel,
menyebabkan sel hospes pecah dan menyerang sel-sel lain. Dengan adanya parasit di dalam
makrofag dan limfosit, maka penyebaran secara hematogen dan limfogen ke seluruh badan
mudah terjadi. Parasetemia berlangsung selama beberapa minggu. T.gondii dapat menyerang
semua organ dan jaringan tubuh hospes, kecuali sel darah merah (tidak berinti). Obat-obat yang
dipakai sampai saat ini hanya membunuh bentuk takizoit T.gondii dan tidak membasmi bentuk
kistanya, sehingga obat-obat ini dapat memberantas infeksi akut, tetapi tidak dapat
menghilangkan infeksi menahun, yang dapat menjadi aktif kembali (Herdiman, 2007).

21
DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2001c. Toxoplasma gondii ( Toxoplasmosis ). http://www.toxoplasma.gondii


(toxoplasmosis)
Chandra G, 2001. Toxoplasma gondii : Aspek Biologi, Epidemiologi,Diagnosis, dan
Penatalaksanaannya. Medika (5) Tahun XXVll
Dubey JP, Lindsay DS, Speer CA, 1998. Structures of Toxoplasma gondii Tachyzoites,
Bradyzoites, and Sporozoites and Biology and Development of Tissue Cysts. Clin.
Microbiol. Rev. p. 267-299
Ernawati.2009.Toxoplasmosis, Therapy dan Pencegahannya.Universitas Wijaya
Kusuma Surabaya.
Fuentes I, Rubio JM, Ramirez C and Alvar J, 2001. Genotypic Characterization of
Toxoplasma gondii Strains Associated with Human Toxoplasmosis in Spain : direct
Analysis from Clinical Samples. J. Clin. Microbiol. P. 1566-1570
Gandahusada, 1998. Srisasi. Parasitologi kedokteran. Edisi ke-3. FKUI..jakarta.
Gilbert RE, 2000. Undercooked Meats is Chief Cause of Parasite Infection in Pregnancy.
BMJ 2000, 312 : 142-147
Herdiman T Pohan, 2007. Toksoplasmosis Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 3 Edisi
IV. FKUI. Jakarta.
Rai SK, Matsumura T, Ono K, Abe A, Hirai K, Rai G, Sumi K, Kubota K, Uga S,
Shrestha HG, 1999 High Toxoplasma Seroprevalence associated with meat Eating
Habits of Locals in Nepal. Asia Pac J Public Health. 11(2) .
Paquet CP, Yudin MH.2013. Toxoplasmosis in pregnancy : Prevention, screening and
treatment. J Obstet Gynaecol Can ;35(1):78-9
Sciammarella J, 2001. toxoplasma gondii. http://www.emedicine.com
Smith JE and Rebuck N, 2000. Toxoplasma gondii Strain Variation and Phatogenecity.
In. Microbial Foodborne disease. Cary JW, JE linz and D. Bhatnagar (Eds). Technomic
Co. Inc. USA. P. 405-431

22
23

Anda mungkin juga menyukai