Diajukan Kepada :
Pembimbing : dr. Nurtakdir Kurnia Setiawan, SpS, Msc
Disusun Oleh :
Aisdayanti Fatinadina 1610221111
PRESENTASI KASUS
Disusun oleh:
Aisdayanti Fatinadina 1610221111
Presentasi kasus ini telah dipresentasikan dan disahkan sebagai salah satu syarat
mengikuti ujian kepaniteraan klinik di Departemen Ilmu bagian Saraf Rumah Sakit Umum
Daerah Ambarawa
2
KATA PENGANTAR
Puji Syukur saya panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Esa karena atas berkat dan
rahmat-Nya penulis akhirnya dapat menyelesaikan penyusunan presentasi kasus Co-Assistant
FK UPN Veteran Jakarta stase Saraf RSUD Ambarawa tahun ajaran 2017/2018 yang
berjudul Polisitemia Vera Faktor Risiko Meningoensefalitis.
Tujuan dari penulisan presentasi kasus ini adalah sebagai salahsatu syarat untuk
mengikuti ujian kepaniteraan klinik di departemen ilmu bagian Saraf dan juga untuk
memperdalam pengetahuan tentang cephalgia kronik dd Meningoensefalitis bagi dokter-dokter
muda yang sedang menjalankan kepaniteraan klinik di RSUD Ambarawa. Penulis berharap
presentasi kasus ini dapat bermanfaat untuk kepentingan pelayanan kesehatan, pendidikan,
penelitian dan dapat digunakan sebaik-baiknya oleh berbagai pihak yang berkepentingan.
Dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ungkapan terima kasih kepada dr.
Nurtakdir Kurnia Setiawan, SpS, Msc selaku pembimbing yang telah banyak memberi
masukan serta bimbingan demi kesempurnaan makalah kasus ini dan rekan dokter muda atas
semua dukungan dan bantuannya dalam penyelesaian presentasi kasus ini.
Penulis sadar sepenuhnya bahwa dalam penyusunan presentasi kasus ini masih terdapat
banyak kekurangan. Oleh karena itu, segala masukan yang bersifat membangun sangat penulis
harapkan guna perbaikan untuk penulisan berikutnya.
Penulis,
Aisdayanti Fatinadina
3
BAB I
LAPORAN KASUS
Keluhan Tambahan :
Muntah, badan terasa lemas, demam
4
Saat tiba di rumah sakit, pasien mengeluhkan rasa pusing berputar, muntah, demam
yang tidak tinggi, nafsu makan yang menurun serta badan terasa lemas. Pusing berputar terasa
seperti di tusuk-tusuk dibagian depan kepala. Pasien merasa sangat lemas dan pusing berputar
sehingga tidak kuat untuk berdiri. Pasien menyangkal adanya kelemahan anggota gerak,
kejang, telinga berdenging, pandangan kabur dan penurunan pendengaran. Pasien juga
menyangkal adanya batuk, pilek, sakit tenggorokan dan sesak nafas. Buang air kecil dan buang
air besar tidak terdapat keluhan.
Setelah 4 hari masuk rumah sakit, pasien masih merasa pusing namun tidak berputar.
Pusing dirasakan seperti berdenyut dibagian depan kepala. Pusing dirasakan hingga pasien
merasa tidak kuat untuk berdiri namun masih bisa duduk. Pasien juga mengeluhkan pandangan
terasa kabur dan tidak jelas melihat orang. Pasien menyangkal adanya demam, kejang, mual,
muntah, telinga berdenging dan kelemahan anggota gerak. Buang air kecil dan buang air besar
diakui pasien masih dalam batas normal.
Anamnesis Sistem :
Sistem serebrospinal : pusing berputar (+), pingsan (-) riwayat vertigo (+)
Sistem kardiovaskular : riwayat hipertensi (-), riwayat penyakit jantung (-)
Sistem respirasi : sesak nafas (-), batuk (-)
Sistem gastroinstestinal : mual (-), muntah (+), BAB (+) normal tidak ada keluhan
Sistem musculoskeletal : kelemahan anggota gerak (-)
Sistem integument : ruam (-)
Sistem urogenitasl : BAK (+) normal, tidak ada keluhan
6
I.4 Diskusi I
Didapatkan keluhan pusing berputar sejak 7 hari sebelum masuk rumah sakit.
Pusing berputar disertai dengan muntah dan badan terasa lemas. Pusing berputar atau biasa
disebut vertigo, ialah adanya sensasi gerakan atau rasa gerak dari tubuh seperti rotasi
(memutar) tanpa sensasi peputaran yang sebenarnya, dapat sekelilingnya terasa berputar
atau badan yang berputar. Vertigo juga dirasakan sebagai suatu perpindahan linear ataupun
miring, tetapi gejala seperti ini lebih jarang dirasakan. Kondisi ini merupakan gejala kunci
yang menandakan adanya gangguan sistem vestibuler dan kadang merupakan gejala
kelainan labirin. Namun, tidak jarang vertigo merupakan gejala dari gangguan sistemik lain
(misalnya, obat, hipotensi, penyakit endokrin, polisitemia vera, dan sebagainya).
PATOFISIOLOGI VERTIGO
Rasa pusing atau vertigo disebabkan oleh gangguan alat keseimbangan tubuh yang
mengakibatkan ketidakcocokan antara posisi tubuh yang sebenarnya dengan apa yang
dipersepsi oleh susunan saraf pusat. Ada beberapa teori yang berusaha menerangkan
kejadian tersebut :
Teori ini berdasarkan asumsi bahwa rangsang yang berlebihan menyebabkan hiperemi
kanalis semisirkularis sehingga fungsinya terganggu, akibatnya akan timbul vertigo,
nistagmus, mual dan muntah.
Menurut teori ini terjadi ketidakcocokan masukan sensorik yang berasal dari berbagai
reseptor sensorik perifer yaitu mata/visus, vestibulum dan proprioceptif, atau
ketidakseimbangan/asimetri masukan sensorik yang berasal dari sisi kiri dan kanan.
Ketidakcocokan tersebut menimbulkan kebingungan sensorik di sentral sehingga timbul
respons yang dapat berupa nnistagmus (usaha koreksi bola mata), ataksia atau sulit berjalan
(gangguan vestibuler, serebelum) atau rasa melayang, berputar (berasal dari sensasi
kortikal). Berbeda dengan teori rangsang berlebihan, teori ini lebih menekankan gangguan
proses pengolahan sentral sebagai penyebab.
4. Teori otonomik.
Teori ini menekankan perubahan reaksi susunan saraf otonom sebagai usaha adaptasi
gerakan/perubahan posisi, gejala klinis timbul jika sistim simpatis terlalu dominan,
sebaliknya hilang jika sistim parasimpatis mulai berperan.
5. Teori neurohumoral
Di antaranya teori histamin (Takeda), teori dopamin (Kohl) dan teori serotonin (Lucat) yang
masing-masing menekankan peranan neurotransmiter tertentu dalam pengaruhi sistim saraf
otonom yang menyebabkan timbulnya gejala vertigo.
6. Teori Sinap
8
1. Memastikan keluhan
Pasien dapat menyampaikan keluhan kepala dengan sebutan pusing. Untuk memudahkan dan
menghindarkan salah persepsi dari gangguan kepala lainnya adalah dengan menanyakan pasien
mengenai apa yang dirasakan pasien saat terjadinya serangan. Pastikan bahwa keluhan yang
dirasakan pasien benar-benar pusing berputar. Bukan nyeri kepala atau bingung.
Vertigo dapat timbul bila ada gangguan pada salah satu atau lebih dari ketiga sistem tersebut
pada tingkat resepsi, integrasi, maupun persepsi. Vertigo dibagi menjadi dua, vertigo vestibular
bila kelainan pada vestibular, dan vertigo non vestibular apabila terjadi pada visual dan
proprioseptif. Vertigo juga dibagi menjadi vertigo yang terjadi dengan letak lesi di perifer
(labirin dan n. Vestibularis) dan vertigo yang terjadi dengan letak lesi di sentral (batang otak
hingga korteks).
VERTIGO PERIFER VERTIGO SENTRAL
Letak lesi Labirin dan N. Vestibularis Batang otak hingga korteks
Sifat vertigo Rasa berputar (true vertigo) Melayang, hilang keseimbangan
Serangan Episodik Kontinyu
Mual/muntah +
Gangguan pendengaran + /
9
dan/atau tinitus
Gerakan pencetus Gerakan kepala Gerakan obyek visual
Gejala gangguan SSP + (diplopia, parestesi, gejala fokal
serebral)
Gejala Otonom ++
Nistagmus Horizontal Vertikal
3. Mencari penyebab
Vertigo timbul jika terdapat gangguan alat keseimbangan tubuh yang mengakibatkan
ketidakcocokan antara posisi tubuh (informasi aferen) dengan apa yang dipersepsi oleh susunan
saraf pusat. Informasi yang berguna untuk keseimbangan tubuh akan ditangkap oleh reseptor
vestibuler, visual, dan proprioseptik. Reseptor vestibuler memberikan kontribusi paling besar,
yaitu lebih dari 50% disusul kemudian reseptor visual dan yang paling kecil kontribusinya
adalah proprioseptik
PENYEBAB
Vertigo Perifer Vertigo Sentral
BPPV Vascular
Labirinitis Demyelinating
Vestibular neuritis Ne
Menieres Disease
Labyrinthie Ischemia
Trauma
Toxin
MENINGOENSEFALITIS
Definisi
Meningoensefalitis adalah peradangan otak dan meningen, nama lainnya yaitu
cerebromeningitis, encephalomeningitis, meningocerebritis. Meningitis adalah radang umum
pada araknoid dan piameter yang disebabkan oleh bakteri, virus, riketsia, atau protozoa yang
dapat terjadi secara akut dan kronis. Sedangkan ensefalitis adalah radang jaringan otak yang
dapat disebabkan oleh bakteri, cacing, protozoa, jamur, ricketsia, atau virus. Meningitis dan
ensefalitis dapat dibedakan pada banyak kasus atas dasar klinik namun keduanya sering
bersamaan sehingga disebut meningoensefalitis.
Etiologi Meningoensefalitis
Agen penyebab umum meningoensefalitis sebagai berikut:
11
1. Virus
Togaviridae
Alfavirus
Virus Ensefalitis Equine Eastern
Virus Ensefalitis Equine Western
Virus Ensefalitis Equine Venezuela
Flaviviridae
Virus Ensefalitis St. Louis
Virus Powassan
Bunyaviridae
Virus Ensefalitis California
Virus LaCrosse
Virus Jamestown Canyon
Paramyxoviridae
Paramiksovirus
Virus Parotitis
Virus Parainfluenza
Morbilivirus
Virus Campak
Orthomyxoviridae
12
Influenza A
Influenza B
Arenaviridae
Virus khoriomeningitis limfostik
Picornaviridae
Enterovirus
Poliovirus
Koksakivirus A
Koksakivirus B
Ekhovirus
Reoviridae
Orbivirus
Virus demam tengu Colorado
Rhabdoviridae
Virus Rabies
Retroviridae
Lentivirus
Virus imunodefisiensi manusia tipe 1 dan tipe 2
Onkornavirus
Virus limfotropik T manusia tipe 1
Virus limfotropik T manusia tipe 2
Herpesviridae
Herpes virus
Virus Herpes simpleks tipe 1
Virus Herpes simpleks tipe 2
Virus Varisela zoster
Virus Epstein Barr
Sitomegalovirus
Sitomegalovirus manusia
Adenoviridae
Adenovirus
13
2. Bakteri
Haemophilus influenza
Neisseria menigitidis
Streptococcus pneumonia
Streptococcus grup B
Listeria monocytogenes
Escherichia coli
Staphylococcus aureus
Mycobacterium tuberkulosa
3. Parasit
Protozoa
Plasmodium falciparum,
Toxoplasma gondii,
Naegleria fowleri (Primary amebic
meningoencephalitis),
Granulomatous amebic encephalitis
Helminthes
Taenia solium,
Angiostrongylus cantonensis
Rickettsia
Rickettsia ( Rocky Mountain)
4. Fungi
Criptococcus neoformans
Coccidiodes immitis
Histoplasma capsulatum
Candida species
Aspergillus
Paracoccidiodes
Patofisiologi Meningoensefalitis
Meningoensefalitis yang disebabkan oleh bakteri masuk melalui peredaran darah,
penyebaran langsung, komplikasi luka tembus, dan kelainan kardiopulmonal. Dalam proses
perjalanan penyakit meningitis yang disebabkan oleh bakteri, invasi organisme harus mencapai
ruangan subarachnoid. Proses ini berlangsung secara hematogen dari saluran pernafasan atas
dimana di dalam lokasi tersebut sering terjadi kolonisasi bakteri. Penyebaran melalui peredaran
darah dalam bentuk sepsis atau berasal dari radang fokal di bagian lain di dekat otak. Penyebaran
langsung dapat melalui tromboflebilitis, osteomielitis, infeksi telinga bagian tengah, dan sinus
paranasales. Mula-mula terjadi peradangan supuratif pada selaput/jaringan otak. Proses
peradangan ini membentuk eksudat, trombosis septik pada pembuluh-pembuluh darah, dan
agregasi leukosit yang sudah mati. Di daerah yang mengalami peradangan timbul edema,
perlunakan, dan kongesti jaringan otak disertai perdarahan kecil. Bagian tengah kemudian
melunak dan membentuk dinding yang kuat membentuk kapsul yang kosentris. Di sekeliling
abses terjadi infiltrasi leukosit polimorfonuklear, sel-sel plasma dan limfosit. Seluruh proses ini
memakan waktu kurang dari 2 minggu. Abses dapat membesar, kemudian pecah dan masuk ke
dalam ventrikulus atau ruang subaraknoid yang dapat mengakibatkan meningitis.
Meningoensefalitis yang disebabkan oleh virus terjadi melalui virus-virus yang melalui
parotitis, morbili, varisela, dll. masuk ke dalam tubuh manusia melalui saluran pernapasan.
Virus polio dan enterovirus melalui mulut, virus herpes simpleks melalui mulut atau mukosa
kelamin. Virus-virus yang lain masuk ke tubuh melalui inokulasi seperti gigitan binatang (rabies)
atau nyamuk. Bayi dalam kandungan mendapat infeksi melalui plasenta oleh virus rubela atau
cytomegalovirus. Di dalam tubuh manusia virus memperbanyak diri secara lokal, kemudian
terjadi viremia yang menyerang susunan saraf pusat melalui kapilaris di pleksus koroideus.
Cara lain ialah melalui saraf perifer atau secara retrograde axoplasmic spread misalnya oleh
virus-virus herpes simpleks, rabies dan herpes zoster. Di dalam susunan saraf pusat virus
menyebar secara langsung atau melalui ruang ekstraseluler. Infeksi virus dalam otak dapat
menyebabkan meningitis aseptik dan ensefalitis (kecuali rabies). Pada ensefalitis terdapat
kerusakan neuron dan glia dimana terjadi peradangan otak, edema otak, peradangan pada
pembuluh darah kecil, trombosis, dan mikroglia.
Amuba meningoensefalitis diduga melalui berbagai jalan masuk, oleh karena parasit
penyebabnya adalah parasit yang dapat hidup bebas di alam. Kemungkinan besar infeksi terjadi
melalui saluran pernapasan pada waktu penderita berenang di air yang bertemperatur hangat.
Infeksi yang disebabkan oleh protozoa jenis toksoplasma dapat timbul dari penularan ibu-fetus.
Mungkin juga manusia mendapat toksoplasma karena makan daging yang tidak matang. Dalam
tubuh manusia, parasit ini dapat bertahan dalam bentuk kista, terutama otot dan jaringan susunan
saraf pusat. Pada fetus yang mendapat toksoplasma melalui penularan ibu-fetus dapat timbul
berbagai manifestasi serebral akibat gangguan pertumbuhan otak, ginjal dan bagian tubuh
lainnya. Maka manifestasi dari toksoplasma kongenital dapat berupa: fetus meninggal dalam
15
kandungan, neonatus menunjukkan kelainan kongenital yang nyata misalnya mikrosefalus, dll
Gejala Klinis
Kebanyakan pasien meningoensefalitis menunjukkan gejala-gejala meningitis dan
ensefalitis (demam, sakit kepala, kekakuan leher, vomiting) diikuti oleh perubahan kesadaran,
konvulsi, dan kadang-kadang tanda neurologik fokal, tanda- tanda peningkatan tekanan
intrakranial atau gejala-gejala psikiatrik. Kualitas kesadaran klien merupakan parameter yang
paling mendasar dan parameter yang paling penting yang membutuhkan pengkajian. Tingkat
kesadaran klien dan respons terhadap lingkungan adalah indikator paling sensitif untuk disfungsi
sistem persarafan. Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien biasanya berkisar pada tingkat
letargi, stupor, dan semikomatosa. Apabila klien sudah mengalami koma maka penilaian GCS
(The Glasgow Coma Scale) sangat penting untuk menilai tingkat kesadaran klien dan bahan
evaluasi untuk memantau pemberian asuhan keperawatan. Dalam klinik dikenal tingkat-
tingkat kesadaran : compos mentis, incompos mentis (apatis, delirium, somnolen, sopor,
coma). Pada riwayat pasien meliputi demam, muntah, sakit kepala, letargi, lekas marah, dan kaku
kuduk.
16
mulai menurun sampai koma, dapat terjadi kejang fokal atau umum, hemiparesis, gangguan
koordinasi, gangguan bicara, gangguan mental.
DIAGNOSIS PENUNJANG
Bertujuan untuk mengetahui mikroorganisme penyebab infeksi diperlukan untuk terapi kausatif.
Pemeriksaan laboratorium darah rutin, serologi, PCR
Pada pemeriksaan darah, MB disertai dengan peningkatan leukosit dan penanda inflamasi, dan
kadang disertai hipokalsemia, hiponatremia, serta gangguan fungsi ginjal dengan asidosis
metabolik. Pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR) bersifat sensitif
terhadap Streptococcus pneumoniae dan Neisseria meningitides.
17
Jelaskan prosedur pemeriksaan, bila perlu diminta persetujuan pasen/keluarga terutama pada LP
dengan resiko tinggi
Teknik Lumbal Punksi: 1. Pasien diletakkan pada pinggir tempat tidur, dalam posisi
lateral decubitus dengan leher, punggung, pinggul dan tumit lemas. Boleh diberikan bantal tipis
dibawah kepala atau lutut. 2. Tempat melakukan pungsi adalah pada kolumna vetebralis setinggi
L 3-4, yaitu setinggi crista iliaca. Bila tidak berhasil dapat dicoba lagi intervertebrale ke atas atau
ke bawah. Pada bayi dan anak setinggi intervertebrale L4-5 3. Bersihkan dengan yodium dan
alkohol daerah yang akan dipungsi 4. Dapat diberikan anasthesi lokal lidocain HCL 5. Gunakan
sarung tangan steril dan lakukan punksi, masukkan jarum tegak lurus dengan ujung jarum yang
mirip menghadap ke atas. Bila telah dirasakan menembus jaringan meningen penusukan
dihentikan, kemudian jarum diputar dengan bagian pinggir yang miring menghadap ke kepala. 6.
Dilakukan pemeriksaan tekanan dengan manometer dan test Queckenstedt bila diperlukan.
Kemudian ambil sampel untuk pemeriksaan jumlah danjenis sel, kadar gula, protein, kultur
baktri dan sebagainya.
Komplikasi Lumbal Punksi 1. Sakit kepala Biasanya dirasakan segera sesudah lumbal
punksi, ini timbul karena pengurangan cairan serebrospinal 2. Backache, biasanya di lokasi
bekas punksi disebabkan spasme otot 3. Infeksi 4. Herniasi 5. Untrakranial subdural hematom 6.
Hematom dengan penekanan pada radiks 7. Tumor epidermoid intraspinal
Maybe raised,
Viral Normal / Increased mainly 0.5-2 Usually normal
mononuclear cells
10-200, higher if
Brain abcess Increased abcess ruptured 0.5-5 Normal
into ventricle
18
Polisitemia Vera
Definisi polisitemia vera
Adalah suatu keganasan derajat rendah sel-sel induk hematopoitik dengan karakteristik
peningkatan jumlah eritrosit absolut dan volume darah total, biasanya disertai lekositosis,
trombositosis dan splenomegali.
Polisitemia Vera dapat mengenai semua umur, sering pada pasien berumur 40-60 tahun,
dengan perbandingan antara pria dan wanita 2:1, di Amerika Serikat angka kejadiannya ialah 2,3
per 100.000 penduduk dalam setahun, sedangkan di Indonesia belum ada laporan tentang angka
kejadiannya. Penyakit ini dapat terjadi pada semua ras / bangsa.
19
darah sehingga dapat menyebabkan trombosis dan penurunan laju transport oksigen. Kedua hal
tersebut akan mengakibatkan terganggunya oksigenasi jaringan. Berbagai gejala dapat timbul
karena terganggunya oksigenasi organ yaitu berupa :
1. Hiperviskositas
Peningkatan jumlah total eritrosit akan meningkatkan viskositas darah yang kemudian akan
menyebabkan : Penurunan kecepatan aliran darah (shear rate), lebih jauh lagi akan
menimbulkan eritrostasis sebagai akibat penggumpalan eritrosit. Penurunan laju transport
oksigen Kedua hal tersebut akan mengakibatkan terganggunya oksigenasi jaringan. Berbagai
gejala dapat timbul karena terganggunya oksigenasi organ sasaran (iskemia/infark) seperti di
otak, mata, telinga, jantung, paru, dan ekstremitas.
4. Basofilia
Lima puluh persen kasus Polisitemia Vera datang dengan gatal (pruritus) di seluruh tubuh
terutama setelah mandi air panas, dan 10% kasus polisitemia vera datang dengan urtikaria suatu
keadaan yang disebabkan oleh meningkatnya kadar histamin dalam darah sebagai akibat
meningkatnya basofilia. Terjadinya gastritis dan perdarahan lambung terjadi karena peningkatan
kadar histamin.
5. Splenomegali
Splenomegali tercatat pada sekitar 75% pasien Polisitemia vera. Splenomegali ini terjadi sebagai
20
akibat sekunder hiperaktivitas hemopoesis ekstramedular
6. Hepatomegali
Hepatomegali dijumpai pada kira-kira 40% Polisitemia Vera. Sebagaimana halnya splenomegali,
hepatomegali juga merupakan akibat sekunder hiperaktivitas hemopoesis ekstramedular.
7. Gout.
Sebagai konsekuensi logis hiperaktivitas hemopoesis dan splenomegali adalah sekuentrasi sel
darah makin cepat dan banyak dengan demikian produksi asam urat darah akan meningkat. Di
sisi lain laju fitrasi gromerular menurun karena penurunan shear rate. Artritis Gout dijumpai pada
5-10% kasus polisitemia .
10. Keluhan lain yang tidak khas seperti : cepat lelah, sakit kepala, cepat lupa, vertigo, tinitus,
perasaan panas. Manifestasi perdarahan (10-20 %), dapat berupa epistaksis, ekimosis, perdarahan
gastrointestinal menyerupai ulkus peptikum. Perdarahan terjadi karena peningkatan viskositas
darah akan menyebabkan ruptur spontan pembuluh darah arteri. Pasien Polisitemia Vera yang
tidak diterapi beresiko terjadinya perdarahan waktu operasi atau trauma.
21
diketahui melalui tes laboratorium. Gejala awal biasanya sakit kepala (48 %), telinga berdenging
(43 %), mudah lelah (47 %), gangguan daya ingat, susah bernafas (26 %), hipertensi (72 %),
gangguan penglihatan (31 %), rasa panas pada tangan / kaki (29 %), pruritus (43 %), perdarahan
hidung, lambung (24 %), sakit tulang (26 %).
2. Gejala akhir (later symptom) dan komplikasi.
Sebagai penyakit progresif, pasien Polisitemia Vera mengalami perdarahan / trombosis,
peningkatan asam urat (10 %) berkembang menjadi gout dan peningkatan resiko ulkus peptikum.
3. Fase Splenomegali (Spent phase )
Sekitar 30 % gejala akhir berkembang menjadi fase splenomegali. Pada fase ini terjadi kegagalan
Sum-sum tulang dan pasien menjadi anemia berat, kebutuhan tranfusi meningkat, hati dan limpa
membesar.
Menurut WHO tahun 2008, kriteria polisitemia vera adalah sebagai berikut:
22
Gejala mayor:
- Hb >18.5 pada laki-laki, 16.5 g/dL pada perempuan
- Ditemukan mutasi Jak2V617F atau mutasi lain yang sama secara fungsional.
Gejala Minor:
- Hiperselularitas sumsum tulang, eritroid, granulosit dan megakariosit
- Serum EPO (Eritropoetin) dibawah nilai normal
- Pembentukan koloni eritroid endogen
Dikatakan positif jika terdapat kedua gejala mayor dan atau salah satu gejala mayor ditambah
salah satu atau lebih diantara tiga gejala minor.
Trombosis merupakan komplikasi paling sering (34-39%). Pada trombosis, mutasi Jak2
menyebabkan aktivasi dan interaksi leukosit dan trombosit yang menyebabkan inflamasi
sehingga menyebabkan disfungsi endotel pembuluh darah. Sedangkan Eritrositosis menyebabkan
hiperviskositas darah yang memicu trombosis.
Stratifikasi faktor risiko dari penyakit ini bertujuan untuk memperkirakan akan terjadinya
komplikasi thrombosis. Penilaian risiko terdiri dari dua kategori yaitu risiko rendah tanpa
trombositosis ( usia <60 tahun tanpa riwayat thrombosis, risiko rendah dengan trombosit yang
tinggi (>1.000 x 109/L). Risiko tinggi yaitu usia >60 tahun dengan riwayat thrombosis. Risiko
tinggi dengan PV yang refrakter atau intoleran terhadap hydroxyurea.
Diagnosis banding
Mutasi Jak2 tidak hanya terjadi pada penyakit polisitemia vera, namun juga terjadi pada
23
keganasan mieloproliferatif lain seperti Esensial Trombositemia (ET)6 dan Mielofibrosis (MF).
Sehingga ketiga penyakit ini mempunyai keterkaitan yang unik. Mutasi Jak2 positif pada
penderita polisitemia vera sekitar 95%-100% sementara pada keganasan lain ET dan MF 50-
60%. Meskipun erirositosis bisa membedakan PV dari ET dan MF, namun tidak semua pasien
dengan gejala eritrositosis dengan mutasi Jak2 akan berkembang menjadi PV.
I. 5 Diagnosis Sementara
a. Klinis : pusing berputar
b. Topis : meningens, parenkim otak
c. Etiologi : Infeksi bakteri, infeksi virus
24
ditengah,
o. Thoraks : Cor :
1) Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
2) Palpasi : kuat angkat, ictus cordis teraba 2 cm medial di ICS
5 linea midclavikula sinistra,
3) Perkusi :
Kanan jantung : ICS IV linea sternalis dextra
Pinggang jantung : ICS III linea parasternalis sinistra
Kiri jantung : ICS V, 2cm medial linea midclavicula
sinistra
4) Auskultasi : BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-)
Pulmo :
Depan Dextra Sinistra
I: Simetris, retraksi dinding dada I: Simetris, retraksi dinding dada
(+) (+)
Pal :vocal fremitus kanan = kiri Pal :vocal fremitus kanan = kiri
Per: sonor Per: Sonor
Aus: suara dasar vesikuler, suara Aus: suara dasar vesikuler, suara
tambahan : wheezing (-), ronki (-) tambahan : wheezing (-),ronki(-)
Belakang I: Simetris, retraksi dinding dada I: Simetris, retraksi dinding dada
(-) (-)
Pal :Stem fremitus kanan = kiri Pal :Stem fremitus kanan = kiri
Per: Sonor Per: Sonor
Aus: suara dasar vesikuler, suara Aus: suara dasar vesikuler, suara
tambahan : wheezing (-), ronchi(-) tambahan : wheezing (-),
ronchi(-)
l. Abdomen : datar, supel, timpani, BU (+) normal, hepar & lien tidak teraba
m. Kelamin : tidak dilakukan pemeriksaan
n. Ekstremitas : Akral hangat (+/+), CRT < 2 detik, edema (+/+)
25
I.6.2 Status Psikiatrikus
a. Cara berpikir : Wajar, sesuai umur
b. Tingkah laku : Wajar, pasien sadar
c. Ingatan : Baik, amnesia (-)
d. Kecerdasan : Baik, sesuai tingkat pendidikan
26
N. III Okulomotorius
Ptosis (-) (-)
Gerakan mata ke medial Baik Baik
Gerakan mata ke atas Baik Baik
Gerakan mata ke bawah Baik Baik
Nistagmus (-) (-)
Eksoftalmus (-) (-)
Enoftalmus (-) (-)
Pupil - Besar 3mm 3m
Bulat, isokor, sentral Bulat, isokor, sentral
- Bentuk
Refleks terhadap sinar langsung/tidak
(+) (+)
langsung
(-) (-)
Melihat ganda
N.IV Trokhlearis
Pergerakan mata Baik Baik
(ke bawah-lateral)
Srabismus konvergen (-)
(-)
Menggigit Normal Normal
Membuka mulut Normal
Normal
N.V Trigeminus
Sensibilitas muka Normal Normal
Reflek kornea (+) (+)
Trismus (-) (-)
N.VI Abducen
Gerakan mata ke lateral Normal Normal
Strabismus konvergen (-) (-)
N.VII Fasialis
Sulcus nasolabialis Baik Baik
Kedipan mata Baik Baik
Sudut Mulut Baik Baik
Mengerutkan dahi (+) (+)
Menutup mata (+) (+)
Meringis (+) (+)
27
Mengembungkan pipi (+) (+)
Daya Kecap 2/3 anterior Tidak dilakukan Tidak dilakukan
N.VIII Vestibulokoklearis
Detik arloji (+) (+)
Suara berisik (+) (+)
Weber Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Rinne Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Swabach Tidak dilakukan Tidak dilakukan
N.IX Glossofaringeus
Daya kecap 1/3 belakang (+) (+)
Refleks Muntah (+) (+)
Arcus pharynx Simetris Simetris
Tersedak (-) (-)
Sengau (-) (-)
N.X Vagus
Arcus pharynx Simetris uvula di tengah
Menelan Normal, tidak tersedak
Berbicara Baik
N.XI Accecorius
Mengangkat bahu Baik Baik
Memalingkan kepala Baik Baik
Tropi otot bahu Eutrofi Eutrofi
Sikap Bahu Simetris Simetris
N.XII Hypoglossus
Sikap lidah Deviasi (-) Deviasi (-)
Artikulasi Baik Baik
Menjulurkan lidah Lateralisasi (-) Lateralisasi (-)
Tremor lidah (-) (-)
Fasikulasi (-) (-)
Trofi otot lidah Eutrofi Eutrofi
28
f. Badan dan anggota gerak
1) Sensibilitas kanan kiri
Taktil + +
Nyeri + +
Thermi Tidak dilakukan
Diskriminasi + +
Lokalisasi + +
2) Pemeriksaan Motorik
Pemeriksaan Ekstremitas superior (D/S) Ekstremitas inferior (D/S)
Gerakan Bebas/bebas Bebas/bebas
Kekuatan 5/5 5/5
Tonus N/N N/N
Trofi Eutrofi Eutrofi
Refleks fisiologis +/+ +/+
Refleks patologis -/- -/-
3) Rangsang Meningeal
a) Kaku Kuduk : (+)
b) Brudzinski I : (-)
c) Brudzinski II : (-/-)
d) Laseque Sign : (-/-)
e) Kernig Sign : (+/+)
29
MCV 95,40 80 100
MCH 30,70 26 34
MCHC 32,20 32 36
Trombosit 302 150 400
23 Februari 2017
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Lekosit 17,9 (H) 3,6 11,0
Eritrosit 6,34 (H) 3,8 5,4
Hemoglobin 17,1 (H) 11,7 15,5
Hematokrit 51,2 (H) 35 47
MCV 95,40 80 100
MCH 30,70 26 34
MCHC 32,20 32 36
Trombosit 404 (H) 150 400
25 Februari 2017
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Lekosit 19.0 (H) 3,8 10,6
Eritrosit 5.68 (H) 4,5 5,8
Hemoglobin 16.4 (H) 13,2 17,3
Hematokrit 49,7 (H) 40 52
MCV 87.5 80 100
MCH 28.9 26 34
MCHC 33 32 36
Trombosit 418 (H) 150 440
30
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Glukosa puasa 68 74-106
Glukosa 2 jam PP 109 <120
SGOT 23 0-35
SGPT 41 (H) 0-35
HDL DIRECT 20,66 (L) 34-82
LDL KOLESTEROL 151,5 (H) <150
KOLESTEROL 195 <225
Asam urat 5,08 2-7
Lain-lain Bakteri 1+
31
I.7.4 Hasil Pemeriksaan Radiologi
CT Scan: (dari rekam medis perawatan pasien sebelumnya)
Kesan:
Lacunar infark di genu capsula interna sinistra
Tidak ada perdarahan
Hasil:
Cor: apeks bergeser ke laterokaudal
Pulmo: corakan meningkat,
Tampak bercak parakardial kanan
Kedua sinus lancip
32
Kesan:
Kardiomegali
Infiltrate paru kanan
I.8 Resume
Dari pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran compos mentis, GCS 15 (E4M6V5),
Tekanan darah : 130/90mmHg, Nadi : 80x/menit, RR : 20x/menit, Suhu : 36,4 oC, Pupil : Isokor,
3mm/3mm, RC +/+, RK +/+. Pada pemeriksaan saraf cranial tidak ditemukan adanya kelainan.
Kekuatan motorik ekstremitas atas (5/5), ekstremitas bawah (5/5), atrofi (-), tonus otot normal.
Refleks fisiologis (+) dan refleks patologis (-) pada semua ekstremitas. Kaku kuduk (+), kernig
sign (+).
I.9 Diskusi II
Pada kasus ini pasien perempuan usia 38 tahun di diagnosa dengan meningoensefalitis
disertai dengan polisitemia vera dan infeksi saluran kemih berdasarkan hasil anamnesis yang
telah dilakukan baik secara alloanamnesis maupun secara autoanamnesa.
Berdasarkan anamnesis pasien masih merasakan pusing berputar, pasien mengeluh demam
yang tidak tinggi, lemas, dan nafsu makan berkurang. Keluhan tersebut merupakan gejala
prodromal penyakit infeksi akut. Gejala prodromal ini bersifat sistemik dan tidak spesifik,
sehingga dari gejala tersebut belum bisa dipastikan letak atau fokus infeksi yang terjadi pada
pasien. Dan dilakukan pemeriksaan fisik di dapatkan hasil pemeriksaan Kaku kuduk (+) Kernig
sign (+) sehingga sudah mulai memungkinkan pasien mengalami peradangan pada otak, pada
selaput otak atau perdarahan sub arachnoid.
Pada kasus ini, pusing berputar disertai muntah dan demam kemungkinan adalah infeksi
pada otak dan selaputnya. Hal tersebut dapat dilihat dari gejala pasien berupa pusing berputar,
demam dan muntah.
Selanjutnya dilakukan pemeriksaan fisik mulai dari vital sign sampai dengan Head to Toe.
33
Pada tanda-tanda vital tidak ditemukan adanya kelainan. Pada pemeriksaan fisik, ditemukan
adanya kaku kuduk (+) dan kernig sign (+). Hal tersebut menunjukkan terdapat rangsang
meningens. Dimana bila terdapat rangsang meningens, berarti terdapat iritasi pada selaput
meningens.
Pada pemeriksaan penunjang, pada hasil darah rutin ditemukan adanya leukosit yang
meningkat. Leukosit yang meningkat atau leukositosis menunjukkan adanya tanda-tanda infeksi
yang meningkat. Baik infeksi umum yang terjadi pada tubuh maupun infeksi atau peradangan
pada sumsum tulang yang memproduksi leukosit. Didapatkan pula hemoglobin serta hematokirt
yang meningkat.
Peningkatan hemoglobin serta hematokrit yang meningkat kemungkinan disebabkan
karena terjadi kelainan pada proses hematopoetik sehingga menyebabkan proliferasi berlebih
pada sel-sel hematopoetik dan juga menstimulasi proses inflamasi pembuluh darah. Proliferasi
berlebih pada sel-sel hematopoetik akan menimbulkan abnormalitas pada penilaian klinis pasien
seperti abnormalitas hitung darah lengkap dan inflamasi akan memicu timbulnya gejala klinis
pada pasien. Peningkatan hemoglobin maupun hematokrit tersebut merupakan salah satu tanda
dari polisitemia vera. Dimana polisitemia vera merupakan kelainan sel-sel induk hematopoetik
yang menyebabkan viskositas darah meningkat. Viskositas darah yang meningkat akan
menyebabkan penurunan aliran darah dan pembentukkan thrombosis. Thrombosis dapat terjadi
dimanapun termasuk trombosis vena serebral. Thrombosis vena serebral merupakan suatu klinis
yang langka. Septic trombosis sinus sagital dapat berkembang dalam kaitannya dengan infeksi
telinga atau sinus paranasal atau meningitis bakteri. Faktor etiologi untuk aseptik trombosis sinus
sagital adalah cedera kepala, tumor, pil kontrasepsi, kehamilan dan koagulopati. Thrombosis
mempengaruhi sinus sagital (71%) lebih sering daripada sinus dural lain karena posisinya yang
tinggi, tekanan rendah dan aliran lambat. Gejala dan tanda-tanda trombosis sinus sagitalis terkait
dengan lokasi sumbatan yang terkena. Apabila terjadi oklusi minimal di bagian anterior dari
sinus sagital, gejala yang akan muncul adalah sakit kepala dan paresthesia (S Parija et al, 2008).
Pada pemeriksaan diff count, didapatkan neutrofil yang meningkat. Neutrofil yang
meningkat merupakan reaksi tubuh dalam melawan infeksi yang bersifat akut. Infeksi oleh
bakteri, jamur, ataupun virus dapat meningkatkan jumlah neutrofil. Pada hasil tersebut
didapatkan pula limfosit yang meningkat. Limfosit yang meningkat merupakan respons terhadap
infeksi. Limfositosis juga dapat terjadi pada penyakit limfoma, leukemia limfositik akut,
34
hipertiroid, maupun penyakit graves.
Dalam pemeriksaan urin rutin, ditemukan adanya protein urin yang meningkat/proteinuria.
Hal ini dapat disebabkan karena kemungkinan adanya kerusakan pada ginjal. Beberapa penyakit
penyebab proteinuria adalah hipertensi, leukemia, sindrom nefrotik, dan lain-lain. Didapatkan
pula adanya lekosit, eritrosit serta bakteri dalam hasil tes urin rutin. Hal tersebut
mengindikasikan adanya infeksi pada saluran kemih.
Pada hasil rontgen thoraks didapatkan adanya kardiomegali dengan infiltrate paru kanan.
Infiltrate paru kanan menjelaskan bahwa terdapat gambaran adanya infeksi pada paru kanan
pasien. Infeksi yang terjadi di paru ini kemungkinan merupakan salah satu faktor risiko dari
timbulnya meningoensefalitis pada pasien.
Pada hasil CT scan yang dilakukan pada perawatan pasien 20 hari yang lalu didapatkan
bahwa terdapat lacunar infark di genu capsula interna sinistra. Dimana lacunar infark adalah
jenis stroke yang dihasilkan dari kematian jaringan dari salah satu arteri penetrasi yang
mensuplai darah ke bagian-bagian dalam otak.
PLANNING
Lumbal pungsi
1. Terapi :
- Non Medika Mentosa :
IVFD RL 20 Tpm
Flebotomi
- Medikamentosa :
Inj. Ceftriakson 2 x IIIgr
Inj. Ranitidine 2x1
Inj. Sohobion 1x1
35
Inj. Teranol 2x30
Inj dexametason 4x1
Inj. Ondansentron 3x1
PO L Core 2x1
PO Sucralfat 3x1
PO ALA 600 1x1/2
2. Edukasi :
a) Mengendalikan faktor resiko.
b) Makan obat dan kontrol ke dokter secara teratur.
c) Edukasi keluarga.
3. Monitoring :
a) Keadaan umum
b) GCS
c) Tanda vital
d) Defisit neurologis
e) Pemeriksaan penunjang
F. PROGNOSIS
Death : Dubia ad malam
Disease : Dubia ad malam
Dissability : Dubia ad malam
Discomfort : Dubia ad malam
Dissatisfaction : Dubia ad malam
Distutition : Dubia ad malam
36
Injeksi ceftriakson
Ceftriaxone adalah golongan antibiotik cephalosporin yang dapat digunakan untuk mengobati
beberapa kondisi akibat infeksi bakteri, seperti pneumonia, sepsis, meningitis, infeksi
kulit, gonore atau kencing nanah, dan infeksi pada pasien dengan sel darah putih yang rendah.
Selain itu, ceftriaxone juga bisa diberikan kepada pasien yang akan menjalani operasi-operasi
tertentu untuk mencegah terjadinya infeksi.
Injeksi ranitidine
termasuk dalam golongan antihistamin, lebih tepatnya disebut H2-antagonis. Ranitidin
digunakan untuk mengurangi produksi asam lambung sehingga dapat mengurangi rasa nyeri
uluhati akibat ulkus atau tukak lambung, dan masalah asam lambung tinggi lainnya.
Injeksi teranol
merupakan analgetik non narkotik dan anti inflamasi non steroid dengan memperlihatkan efek
anti inflamasi dan aktivitas antipiretik yang lemah. Ketorolac tromethamine menghambat sintesa
prostaglandin dan kemungkinan memiliki aktivitas analgetik peripherally semenjak tidak
diketahui efek terhadap reseptor opiate. Diindikasikan sebagai analgetik jangka pendek untuk
nyeri akut sedang sampai berat setelah proses pembedahan.
Injeksi dexametason
Dexamethasone merupakan kelompok obat kortikosteroid. Obat ini bekerja dengan cara
mencegah pelepasan zat-zat di dalam tubuh yang menyebabkan peradangan. Dexamethasone
digunakan dalam menangani berbagai kondisi, misalnya penyakit autoimun seperti sarcoidosis
dan lupus, penyakit inflamasi usus seperti ulcerative colitis dan penyakit Crohn, beberapa
penyakit kanker, dan alergi.
Injeksi ondansentron
Obat yang digunakan untuk mencegah dan mengobati mual dan muntah yang disebabkan oleh
efek samping kemoterapi, radioterapi atau operasi. Mual dan muntah disebabkan oleh senyawa
alami tubuh yang bernama serotonin. Jumlah serotonin dalam tubuh akan meningkat ketika kita
37
menjalani kemoterapi, radioterapi, dan operasi. Seretonin akan bereaksi terhadap reseptor
5HT3 yang berada di usus kecil dan otak, dan membuat kita merasa mual. Ondansetron akan
menghambat serotonin bereaksi pada receptor 5HT3 sehingga membuat kita tidak mual dan
berhenti muntah
PO L-Core
Memulihkan energi sesudah sakit dan pasca pembedahan. Pasien dengan nyeri otot seperti
fibromialgia, sindrom kelelahan kronik; penyakit jantung seperti iskemik akut dan kronik, gagal
jantung kongestif, penyakit arteri koroner, angina; stroke.
PO Sucralfat
Sukralfat bekerja dengan membentuk lapisan pelindung pada dinding duodenum sehingga dapat
melindungi tukak dari asam lambung. Dengan membentuk pelindung tersebut, obat ini akan
mencegah kerusakan tidak bertambah parah, meredakan rasa sakit, dan membantu penyembuhan
tukak. Selain tukak duodenum, sukralfat juga terkadang diberikan oleh dokter untuk
menangani gangguan pencernaan lain, seperti tukak lambung, gastritis kronis, serta penyakit
asam lambung.
PO ALA
Alpha-lipoic acid (ALA) atau lipoic acid (LA) adalah salah satu zat yang melindungi tubuh dari
molekul-molekul abnormal penghasil radikal bebas. Tanpa bantuan molekul yang juga dikenal
dengan sebutan antioksidan ini, radikal bebas akan membentuk reaksi kimia yang dapat
menyebabkan munculnya penyakit-penyakit, seperti stroke. Alpha-lipoic acid adalah antioksidan
alami yang dapat ditemukan pada kentang, bayam, brokoli, hati, ginjal, dan ragi.
FOLLOW UP
Tanggal S O A P
Ku/kes: sedang,
Pusing berputar, Vastigo tab 3x1
compos mentis
muntah tiap kali Inj. Ondansetron 2x1
19/02/2017 GCS: E4 V5 M6 Vertigo mixtype
makan. Riwayat amp
TD: 130/90
vertigo (+). Inj. Mecobalamin 1x1
N: 80
38
RR: 18
S: 36,2
Ku/kes: sedang,
compos mentis
Pusing berputar Vastigo tab 3x1
GCS: E4 V5 M6
(+), mual (-), Vertigo mixtype Inj. Ondansetron 2x1
20/02/2017 TD: 120/80
muntah (-), h+1 amp
N: 82
riwayat vertigo (+) Inj. Mecobalamin 1x1
RR: 18
S: 36,1
Inj. Ceftriakson 2x2gr
Ku/kes: sedang, Inj. Ranitidine 2x1
compos mentis Inj. Sohobion 1x1
Pusing (+) namun
GCS: E4 V5 M6 Asthenia, Inj. Ondansetron 3x1
tidak berputar,
21/02/2017 TD: 130/90 cephalgia kronik amp
muntah (-), sesak
N: 68 dd ME h+2 Inj. Teranol 2x30
(-), kejang (-)
RR: 20 Inj. Dexametason 4x1
S: 36,4 PO L-core 3x1
PO sucralfat 3x1
Inj. Ceftriakson 2x2gr
Ku/kes: sedang, Inj. Ranitidine 2x1
compos mentis Inj. Sohobion 1x1
Pusing (+) namun
GCS: E4 V5 M6 Asthenia, Inj. Ondansetron 3x1
tidak berputar,
22/02/2017 TD: 130/80 cephalgia kronik amp
muntah (-), sesak
N: 70 dd ME h+3 Inj. Teranol 2x30
(-), kejang (-)
RR: 20 Inj. Dexametason 4x1
S: 35,8 PO L-core 3x1
PO sucralfat 3x1
Pusing (+) namun Ku/kes: sedang, Inj. Ceftriakson 2x2gr
tidak berputar, compos mentis Inj. Ranitidine 2x1
Asthenia,
muntah (-), sesak GCS: E4 V5 M6 Inj. Sohobion 1x1
23/02/2017 cephalgia kronik
(-), kejang (-), TD: 150/90 Inj. Ondansetron 3x1
dd ME h+4
pandangan terasa N: 82 amp
kabur RR: 22 Inj. Teranol 2x30
39
S: 35,8 Inj. Dexametason 4x1
PO L-core 3x1
PO sucralfat 3x1
Inj. Ceftriakson 2x2gr
Ku/kes: sedang, Inj. Ranitidine 2x1
Pusing (+) namun
compos mentis Inj. Sohobion 1x1
tidak berputar,
GCS: E4 V5 M6 Asthenia, Inj. Ondansetron 3x1
muntah (-), sesak
24/02/2017 TD: 130/90 cephalgia kronik amp
(-), kejang (-),
N: 82 dd ME h+5 Inj. Teranol 2x30
pandangan terasa
RR: 16 Inj. Dexametason 4x1
kabur
S: 36,1 PO L-core 3x1
PO sucralfat 3x1
Inj. Ceftriakson 2x2gr
Inj. Ranitidine 2x1
Ku/kes: sedang,
Pusing (+) namun Inj. Sohobion 1x1
compos mentis
tidak berputar, Inj. Ondansetron 3x1
GCS: E4 V5 M6 Asthenia,
muntah (-), sesak amp
25/02/2017 TD: 130/90 cephalgia kronik
(-), kejang (-), Inj. Teranol 2x30
N: 84 dd ME h+6
pandangan terasa Inj. Dexametason 4x1
RR: 16
kabur PO L-core 2x1
S: 35,9
PO sucralfat 3x1
PO ALA 600 1x1/2
Inj. Ceftriakson 2x2gr
Inj. Ranitidine 2x1
Ku/kes: sedang,
Pusing (+) namun Inj. Sohobion 1x1
compos mentis
tidak berputar, Inj. Ondansetron 3x1
GCS: E4 V5 M6 Asthenia,
muntah (-), sesak amp
26/02/2017 TD: 110/80 cephalgia kronik
(-), kejang (-), Inj. Teranol 2x30
N: 80 dd ME h+7
pandangan terasa Inj. Dexametason 4x1
RR: 20
kabur PO L-core 2x1
S: 36
PO sucralfat 3x1
PO ALA 600 1x1/2
27/02/2017 Pusing (+) namun Ku/kes: sedang, Asthenia, Inj. Ceftriakson 2x2gr
40
tidak berputar, compos mentis cephalgia kronik Inj. Ranitidine 2x1
muntah (-), sesak GCS: E4 V5 M6 dd ME h+8 Inj. Sohobion 1x1
(-), kejang (-), TD: 120/80 Inj. Ondansetron 3x1
pandangan terasa N: 80 amp
kabur RR: 18 Inj. Teranol 2x30
S: 36 Inj. Dexametason 4x1
PO L-core 2x1
PO sucralfat 3x1
PO ALA 600 1x1/2
Inj. Ceftriakson 2x2gr
Inj. Ranitidine 2x1
Ku/kes: sedang,
Pusing (+) namun Inj. Sohobion 1x1
compos mentis
tidak berputar, Inj. Ondansetron 3x1
GCS: E4 V5 M6 Asthenia,
muntah (-), sesak amp
28/02/2017 TD: 130/90 cephalgia kronik
(-), kejang (-), Inj. Teranol 2x30
N: 78 dd ME h+9
pandangan terasa Inj. Dexametason 3x1
RR: 22
kabur PO L-core 2x1
S: 35,6
PO sucralfat 3x1
PO ALA 600 1x1/2
Inj. Ceftriakson 2x2gr
Inj. Ranitidine 2x1
Ku/kes: sedang,
Pusing (+) namun Inj. Sohobion 1x1
compos mentis
tidak berputar, Inj. Ondansetron 3x1
GCS: E4 V5 M6 Asthenia,
muntah (-), sesak amp
01/03/2017 TD: 130/80 cephalgia kronik
(-), kejang (-), Inj. Teranol 2x30
N: 82 dd ME h+10
pandangan terasa Inj. Dexametason 3x1
RR: 20
kabur PO L-core 2x1
S: 35,9
PO sucralfat 3x1
PO ALA 600 1x1/2
41
DAFTAR PUSTAKA
1. S Parija et al, 2008, Polycythemia vera presenting with bilateral papilledema: A rare
case report, Indian J Ophthalmol, 56 (4): hlm. 327329.
2. Akbar M, 2013, Diagnosis Vertigo, Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin
Makassar
3. Meningoensefalitis. Medan. Universitas Sumatra Utara. 2009
4. Balitbangkes Departemen Kesehatan RI 2008, Riset kesehatan dasar 2007, laporan
nasional 2007, Jakarta
5. Johnson, KS, Sexton DJ 2016, Lumbar puncture: technique, indications,
contraindications, and complications in adults, Wolter Kluwer Up To Date.
6. Harsono 2005, Kapita selekta neurologi, Gadjah Mada University Press,Yogyakarta.
7. Luxon, L. M. 2004. Evaluation and Management of The Dizzy Patient. Journal
Neurology and Neurophysiology. 75 (4) p 45-52.
8. Swartz, R, Longwell, P. 2005. Treatment of Vertigo in Journal of American Family
Physician March 15,2005:71:6.
9. Vertigo: aspek neurologi. Bogor: Cermin Dunia Kedokteran. 2004
10. Longo, D.L., kasper, D.L., Jameson, J.L., Fauci, A.S., Hauser, S.L. & Loscalzo, J. 2011.
Harrisons Principle of Internal Medicine. 18th Edition. New York: McGraw-Hill.
42