Anda di halaman 1dari 19

I.

PENDAHULUAN

A Judul
Analisis Aspirin dan Kafein dalam Tablet

B Tujuan
1. Menentukan kadar aspirin suatu tablet.
2. Menentukan kadar kafein suatu tablet.
II. TINJAUAN PUSTAKA

Menurut Kowalksi (2010) , penduduk asli amerika Indian, mengelupaskan


kulit batang pohon willow dan meminum air rebusannya untuk meredakan rasa sakit
dan nyeri jauh sebelum bangsa Eropa menginjakan kaki di dunia baru. Senyawa aktif
itu diisolasi dan diisentifikasi sebagai asam asetil salisilat, yang lebih dikenal sebagai
aspirin. Pada 1899, Bayer meluncurkan produk aspirin sintesis sebagai obat bebas
antiperadangan dan penghilang rasa sakit, dengan cepat menjadi obat yang paling
banyak digunakan sepanjang sejarah kedokteran. Pada 1899, para peneliti
menemukan bahwa aspirin memiliki aktivitas antipaltel, yang memelihra sel darah
yang disebut platelet membeku.
Menurut Shearn (1989), aspirin atau asam asetil salisilat adalah sejenis obat
turunan dari asam salisilat dengan asetil klorida atau anhidrin asam asetat. Aspirin
sering digunakan sebagai senyawa analgesik (penahan rasa sakit), antipiretik (obat
penurun panas), dan anti-inflamasi (peradangan). Aspirin juga memiliki efek
antikoagulan dan dapat digunakan untuk mencegah serangan jantung jika digunakan
dalam jangka waktu yang lama dengan dosis yang rendah. Namun, penggunaan
aspirin dimasa kehamilan memiliki efek merugikan yaitu dapat mengakibatkan
anemia dan pendarahan. Sifat-sifat yang dimiliki pada aspirin ialah sukar larut dalam
air, mudah larut dalam etanol dan eter, dan bersifat asam.
Reaksi anhidrida asetat mengubah gugus hidroksil fenolik dari asam salisilat
menjadi ester asetil, yaitu aspirin. Reaksi pembentukan aspirin tersebut dinamakan
esterifikasi. Reaksinya adalah sebagai berikut:

Gambar 1. Reaksi Esterifikasi (Hart, 1990).


Menurut Hart (1990), proses pembentukan ester salah satunya dengan cara
mereaksikan alkohol dengan anhidrida asam. Dalam hal ini asam salisilat berperan
sebagai alkohol karena mempunyai gugus OH, sedangkan anhidrida asam berperan
sebagai anhidrida asam. Ester yang terbentuk adalah asam asetil salisilat (aspirin).
Gugus (CH3CO-) berasl dari anhidrida asam asetat, sedangkan gugus R-nya berasal
dari asam salisilat (pada gambar di atas gugus R ada di dalam kotak). Hasil samping
reaksi ini adalah asam asetat.
Langkah selanjutnya adalah penambahan asam sulfat pekat yang berfungsi
sebagai zat penghidrasi. Telah disebutkan di atas bahwa hasil samping dari reaksi
asam slisilat dan anhidrida asam asetat adalah asam asetat. Anhidrid asam asetat akan
kembali bereaksi dengan asam salisilat membentuk aspirin dan tentu saja dengan
hasil samping asam asetat . jadi, dapat dikatakan reaksi akan berhenti setelah asam
salisilat habis karena adanya asam sulfat pekat ini (Hart, 1990).
Menurut Hart (1990), harus diperhatikan bahwa sebelum dipanaskan, reaksi
tidak benar-benar terjadi. Endapan putih (aspirin) baru berbentuk setelah dipanaskan.
Endapan tersebut dilarutkan dalam air dan disaring untuk memisahan aspirin dan
pengotoranya, dengan penyaringan ini aspirin yang dihasilkan belum benar-benar
murni. Pemurnianya, aspirin tak murni kemudian ditambahi larutan NaHCO3.
Aspirin akan larut, sedangkan hasil sampingnya tidak larut, sehingga ketika
disaring akan didapatkan filtrat aspirin murni berbentuk larutan jernih. Larutnya
aspirin ini juga diikuti oleh timbulnya gelembung gas CO2, membuktikan adanya
hasil reaksi aspirin dengan NaHCO3. Filtrat diaduk dan terbentuklah endapan putih
lalu didinginkan dengan air es membentuk Kristal. Kristal akan lebih murni setelah
dicuci dengan air es. Selanjutnya Kristal dikeringkan dengan cara ditaruh di gelas
arloji sehingga didapatkan Kristal kering (Hart, 1990).
Langkah terakhir adalah rekristalisasi. Kristal yang kering tadi dilarutkan dalam
benzene panas, lalu dipanaskan. Benzena digunakan sebagai pelarut karena benzena
merupakan pelarut yang baik untuk zat organik. Air tidak bisa digunkan untuk
rekristalisasi ini karena air adalah pelarut polar sedangkan asprin adalah senyawa
nonpolar. Setelah itu larutan disaring panas-panas dan filtratnya diambil untuk
dikeringkan di oven. Kristal ini merupakan Kristal yang benar-benar murni (Hart,
1990).
Menurut Nurdiana dan Samosir (2013), kafein merupakan zat psikoaktif yang
paling sering digunakan dalam masyarakat. Kopi, teh, soda, dan coklat merupakan
antara sumber kafein yang tersedia. Efek farmakologi yang utama adalah sebagai
antagonis reseptor adenosine yang dapat mempengaruhi fungsi sistem saraf pusat
serta dapat mengganggu kualitas tidur.
Menurut Beale dan Block (1987), kafein adalah senyawa alkaloid golongan
xantina yang sering digunakan sebagai obat perangsan psikoaktif dan diuretik ringan.
Kafein umumnya berbentuk kistal, berwarna putih, tidak berbau, dan memiliki rasa
yang pahit. Selain itu, kafein sangat mudah larut dalam kloroform, tetapi sukar larut
dalam air, etanol dan eter. Rumus bangun kafein adalah sebagi berikut:

Gambar 2. Struktur Kafein (Beale dan Block, 1987)


Menurut Anderson (1975), kafein dapat dijumpai pada banyak spesies
tumbuhan, di mana dalam hal ini kafein berperan sebagai pestisida alami. Kafeina
sendiri memiliki kemampuan melumpuhkan dan membunuh serangga-serangga yang
memakan tanaman tersebut. Kadar kafeina yang tinggi juga ditemukan pada tanah
yang terletak di sekitar semian biji kopi. Dalam hal ini, kafein berperan sebagai faktor
penghambat yang mampu menghambat proses perkecambahan semai biji kopi lain
diskitarnya, sehingga dpat meningkatkan tingkat keberlangsungan hidup kecambah
kopi itu sendiri.
Menurut Pendergrast (2011), kafein pada umumnya memiliki rumus kimia 3,7-
dihidro-1,3,7-trimetil-1H-purin-2,6-dionin atau 1,3,7-trimetil xanthine. Kafein
merupakan stimulant system saraf pusat. Penggunaan kafein dalam dosis standar
dapat meningkatkan kesadaran, menyebabkan insomnia, sakit kepala, serta mengigil.
Menurut Alkins dan Carey (1997), kafeina memiliki berat molekul 194,19
g/mol dengan rumus C8H10N8O2 dan pH 6,9 (larutan kafein 1% dalam air). Secara
ilmia efek langsung dari kafein terhadap kesehatan sebetulnya tidak ada, tetapi hanya
ada efek tak langsungnya seperti menstimulasi pernafasan dan jantung, serta
memberikan efek smping berupa gelisah (neuroses), tidak dapat tidur (insomnia), dn
denyut jantung tak berturan (tachycardia).
Titrasi adalah proses penentuan banyaknya suatu larutan dengan konsentrasi
yang diketahui dan diperlukan untuk bereaksi secara lengkap dengan sejumlah contoh
tertentu yang akan dianalisis. Prosedur analitis yang melibatkan titrasi dan larutan-
larutan yang konsentrasinya diketahui disebut analisis volumetric. Dalam analisis
larutan asam dan basa, titrasi melibatkan pengukuran yang seksama volume-volume
suatu asan dan suatu basa yang tepat saling menetralkan (Keenan dkk, 1989).
Menurut Syukri (1999), metode titrasi berdasarkan cara titrasinya dapat
dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
1. Titrasi langsung
Titrasi yang dilakukan dengan mereaksikan langsung zat uji dengan
larutan baku.
2. Titrasi tak langsung
Titrasi yang dilakukan denga cara larutan sampel direaksikan dulu dengan
pereaksi yang jumlah kepekatannya tertentu, kemudian hasl reaksi
dititrasi dengan larutan standar. Titrasi ini dikatakan titrasi tidak langsung
karena yang dititrasi bukanlah zat yang akan ditentukan.
Menurut (Mulyono, 2009) dalam proses titrasi asam dan basa, dapat dibagi
menjadi dua jenis yang berdasarkan zat penitrasinya, yaitu:
1. Titrasi asidimetri : titrasi yang menggunakan titran asam.
2. Titrasi alkalimetri : titrasi yang menggunakan titran basa.
Titrasi redoks merupakan analisis titrimetri yang didasarkan pada reaksi redoks.
Pada titrasi redoks, sampel yang dianalisis dititrasi dengan suatu indicator yang
bersifat reduktor atau oksidator, tergantung sifat dari analit sampel dan reaksi yang
diharapkan terjadi dalam analisis. Titik ekuivalen pada titrasi redoks tercapai saat
jumlah ekuivalen dari oksidator telh setara dengan jumlah ekuivalen dari reduktor.
Beberapa contoh dari titrasi redoks antara lain adalah titrasi permanganometri dan
titrasi iodometri (Karyadi, 1994).
Menurut Stahl (1985), titrasi iodometri adalah salah satu titrasi redoks yang
melibatkan iodium. Titrasi iodometri termasuk jenis titrasi tidak langsung yang dapat
digunakan untuk menetapkan enyawa-senyawa yang mempunyai potensial oksidsi
yang lebih besar daripada system iodium-iodida atau senyawa-senyawa yang bersifat
oksidator.
Titrasi yang digunakan dlam titrasi ini adalah amilum atau kanji. Amilum tidak
mudah larut dalam air serta tidak stabil dalam suspendi dengan air membentuk
kompleks yang sukar larut dalam air bia beraksi dengan iodium, sehngga tidk boleh
ditambahkan pada awal titrasi. Penambahan amilum ditambahkan pada saat larutan
berwarna kuning pucat dan dapat menimbulkan titik akhir titrasi yang tiba-tiba. Titik
akhir titrsi ditandai dengan terjadi hilangnya warna biru dari larutan, menjadi bening
(Stahl, 1985).
III. METODE

A Alat
1. Buret 9. Lumpang porselin dan mortal
2. Corong 10. Neraca digital
3. Erlenmeyer 250 ml 11. Pipet tetes
4. Gelas ukur 12. Pipet ukur
5. Kawat kasa 13. Pro pipet
6. Kertas saring 14. Sendok pengaduk
7. Kompor 15. Statif
8. Labu ukur 100 ml

B Bahan
1. Alkohol 95% 7. Larutan Iodium 0,1 N
2. Aquades 8. Larutan Na2S2O3 0,1 N
3. Indikator kanji / amilum 1% 9. Larutan NaOH 0,1 N
4. Indikator PP 10. Tablet aspirin (Aspirin)
5. Larutan H2SO4 10% 11. Tablet kafein (Panadol)
6. Larutan HCl 0,1 N

C Cara Kerja
1. Percobaan Analisis Aspirin
Tablet aspirin sebanyak satu butir ditimbang dan dicatat merk dan kadar
aspirinnya. Tablet aspirin digerus dalam lumpang porselin, kemudian
dimasukan ke erlenmeyer. Lumping porselin dicuci dengan alkohol 95%
sebanyak 25 ml dan bilasanya dimasukan ke dalam erlenmeyer. Setelah itu,
Erlenmeyer goyang selama 5 menit, dan dipanaskan dengan busen atau
kompor dengan api yang sedang sampai mendidih.
Sesudah mendidih, larutan tersebut didiamkan sampai tidak terlalu panas
kemudian dimasukan ke labu ukul 100 ml dan ditambahkan aquades sampai
tanda batas merah. Larutan yang telah diencerkan, diambil 20 ml dengan
pipet ukur, dan dimasukan ke dalam erlenmeyer. Larutan di dalam
erlenmeyer ditambahkan 5 ml aquades dan tiga tetes indikator PP. Setelah
itu, larutan dititrasi dengan larutan NaOH 0,1 N hingga berwarna merah
muda atau pink. Percobaan ini diulang sebanyak dua kali lalu kadar Aspirin
dihitung beserta volume NaOH 0,1 N dicatat. Menentukan kadar Aspirin
dengan mengunakan rumus :

100 0,01802
20
Kadar (%) = 100%

Menentukan mg/tablet dengan menggunakan rumus :


mg/tablet = 10020 18,02

2. Percobaan Analisis Kafeina


Merk tablet kafein dan kadar tablet kafeina dicatat, tablet kafeina
kemuadian ditimbang dengan menggunakan Neraca digital. Tablet tersebut
digerus di dalam lumpang porselin dan dimasukan ke dalam labu ukur. Lalu,
lumpang porselin dicuci atau dibilas dengan alkohol 95% sebanyak 25 ml
dan bilasannya dimasukan ke dalam labu ukur. Setelah itu, labu ukur
digoyang selama 5 menit.
Sesudah labu ukur digoyang, ditambahkan larutan H2SO4 10% sebanyak
5 ml, larutan Iodin 0,1 N sebanyak 20 ml, dan akuades hingga tanda batas
labu ukur. Kemudian larutan tersebut disaring dengan kertas saring, dan
hasil penyaringan dikocok lalu didiamkan selama 10 menit. Setelah itu,
larutan diambil sebanyak 20 ml, dimasukan ke dalam erlenmeyer, dan
ditambah larutan amilum sebanyak 3 tetes. Larutan tersebut kemudian
dititrasi dengan larutan Na2S2O3 0,1 N hingga bening. Percobaan titrasi ini
dilakukan sebanyak 2 kali, lalu volume Na2S2O3 0,1 N dicatat dan kadar
kafein dihitung.
Menentukan kadar Aspirin dengan mengunakan rumus :
(20 (10020) 2 2 3 ) 0,00483
Kadar (%) = 100%

Menentukan mg/tablet dengan menggunakan rumus :


Mg/tablet =(20 (10020) Vol Na2 S2 O3 ) 4,83
IV. HASIL DAN PWMBAHASAN

A Hasil
Tabel 1. Hasil Analisis Kadar Aspirin
Kadar Kaffein
Volume NaOH (ml) berat Tablet (gr)
% Mg/tablet
5,1 4,9 5.0 0,594 75,84 450,5

Tabel 1. Hasil Analisis Kadar Kafein


Kadar Kaffein
Volume Na2S2O3 (ml) berat Tablet (gr)
% Mg/tablet
0,9 1,1 1.0 0,732 9.90 72,45

B Pembahasan
Pada percobaan ini adalah menentukan besarnya kadar aspirin dan kafein
yang terkandung dalam sebutir tablet. Kegiatan pertama adalah menganalisis
kadar aspirin. Langkah pertama yang dilakukan adalah tablet aspirin ditimbang
dan dicatat merknya, kemudian tablet aspirin digerus dengan menggunakan
lumpang porselin hingga berbentuk serbuk, tujuannya agar nanti tablet bisa
cepat larut.
Proses kedua, serbuk aspirin dimasukan ke dalam erlenmeyer, sisa-sisa
serbuk pada lumpang porselin dicuci dan dibilas dengan alkohol 95% tujuannya
agar serbuk aspirin yang tertinggal pada lumpang porselin dapat larut. Alasan
menggunanakan pelarut alkohol karena aspirin merupakan senyawa non polar
yang tidak bisa larut dalam air (senyawa polar) tetapi dapat larut dalam alkohol
yang merupakan senyawa non polar. Serbuk hasil bilasan dari alhohol
dimasukan ke dalam erlenmeyer, kemudian erlenmeyer digoyang 5 menit
tanpa ditutup agar alkohol cepat menguap.
Larutnya serbuk aspirin pada alkohol sesuai dengan prinsip yang
digunakan dalam ekstraksi adalah Like Dissolve Like, yaitu senyawa polar akan
larut dalam senyawa polar sedangkan senyawa non polar akan larut dalam
senyawa non polar (Khopar, 1990).
Erlenmeyer yang telah dikocok kemudian di panaskan dengan api yang
sedang, sampai larutan mendidih. Menurut Yuwono (2005), pemanasan suatu
larutan bertujuan untuk mempercepat reaksi, sehingga senyawa yang akan
dilarutkan dapat larut dengan sempurna dalam pelarut. Maka pada percobaan
ini senyawa aspirin dapat lebih cepat larut dan alkohol dapat menguap sehingga
diperoleh kadar aspirin yang benar-benar sesuai .
Percobaaan ini juga terdapat penambahan aquades dalam larutan, hal ini
bertujuan untuk membuat larutan menjadi lebih encer sehingga jarak antar
molekulnya menjadi lebih longgar. Fungsi dari indikator phenolphtalein dalam
reaksi ini yaitu untuk mengetahui titik akhir titrasi. Indikator ini akan berwarna
merah pada suasana asam dan netral. Indikator ini akan berwarna bening
sebelum direaksikan, dan setelah dititrasi berwarna merah muda yang
menunjukan bahwa larutan bersifat basa.
Larutan aspirin dititrasi dengan larutan NaOH 0,1 N, maka dalam
percobaan ini menggunakan titrasi alkalimetri karena titran yang digunakan
bersifat basa, dan aspirin sebagai zat yang dititrasi bersifat asam. Selain itu
berdasarkan cara titrasinya, titrasi aspirin termasuk dalam titrasi langsung
karena langsung mereaksikan zat uji dengan larutan baku. Dalam reaksi
netralisasi ini, gugusan - gugusan karbonil mengalami reaksi dalam persamaan
reaksi kima sebagai berikut:
Gambar 3. Reaksi Aspirin dan NaOH (Hart, 1990)..
Kadar aspirin yang tertera dalam tablet adalah 500 mg dengan berat tablet
594 mg / 0,594 gram. Berdasarkan hasil percobaan volume titran rata-rata yang
digunakan adalah 5 ml dan kadar aspirin yang terhitung adalah 75,84% dengan
berat tablet sebesar 450,5 mg/tablet. Data tersebut menunjukan bahwa dalam
sebuah tablet aspirin dengan berat 0,594 gram mengandung aspirin 450,5 mg.
Terdapat perbedaan antara data yang diperoleh dengan data yang tertera.
Berdasarkan data dari percobaan, diperoleh kadar aspirin yang lebih rendah
49,5 mg dari data yang tertera pada kemasan yaitu 450,5 mg/tablet padahal
seharusnya 500 mg/tablet. Perbedaan data yang diperoleh disebabkan adanya
kemungkinan 49,5 mg tersebut merupakan senyawa lain yang terkandung
dalam tablet tersebut. Selain itu adanya kesalahan dan ketidaktelitian yang
dilakukan praktikan pada saat percobaan, contohnya masih tertinggalnya serbuk
aspirin dalam lumping porselin, kelebihan menitrasi larutan aspirin, dan lain-
lain.
Pada kegiatan kedua yaitu analisis kadar kafein dalam tablet. Langkah
awal yang dilakukan hampir sama dengan analisis aspirin, yaitu menimbang
berat tablet, mencatat merk tablet, dan kandungan kafein dalam tablet. Tablet
digerus dengan lumping porselin hingga menjadi serbuk bertujuan kafein laryt
dalam pelarut alkohol sehingga dapat memaksimalkan reaksi dan juga untuk
memperluas bidang permukaaann sehingga reaksi pada saat titrasi dapat
berlangsung lebih cepat.
Lumpang dibilas dengan menggunakan alkohol 95% agar serbuk kafein
yang tertinggal pada lumping porselin dapat larut. Alasan menggunakan
alkohol sama dengan analisis aspirin, dimana kafein sukar larut dalam air tetapi
dapat larut dalam pelarut alkohol. Serbuk hasil gerusan dan hasil bilasan dari
alkohol dimasukan ke dalam labu ukur kemudian digoyang-goyang selama 5
menit tanpa ditutup agar alkohol cepat menguap.
Larutan H2SO4 10% sebanyak 5 ml ditambahkan ke dalam labu ukur
secara perlahan-lahan melalui didnding labu ukur, untuk menghindari percikan
larutan. Larutan H2SO4 10% bersifat eksotermis, Sebagaimana penjelasan
(Khopar, 1990) bahwa eksotermis merupakan proses pelepasan panas dari suatu
sistem ke lingkungan, sehingga dalam percobaan ini tidak dilakukan proses
pemanasan seperti yang dilakukan pada percobaan analisis aspirin. Larutan
H2SO4 10% berfungsi sebagai katalis antara larutan iod dan larutan Na2S2O3.
Larutan iod 0,1 N juga ditambahkan ke dalam labu ukur sebanyak 20 ml.
penambahan larutan iod berfungsi memutuskan ikatan rangkap pada kafein
secara adisi. Dalam reaksi ini, iod akan memutuskan ikatan rangkap yang
terdapat pada kafein menjadi ikatan tunggal. Reaksinya sebagai berikut:

Gambar 4. Reaksi Kafein dan Iodida (Hart, 1990).

Setelah penambahan larutan H2SO4 dan larutan iod, larutan ditambahkan


aquades hingga batas pada labu ukur. Penambahan aquades bertujuan
mengencerkan dan menurunkan konsentrasi larutan, sehingga filtrat larutan
yang mengandung kafein murni dapat diperoleh lebih mudah. Larutan disaring
dengan kertas saring untuk memisahkan larutan dari endapan sehingga dapat
diperoleh filtrat yang mengandung senyawa kafein murni di dalamnya.
Kemudian larutan dikocok dan di diamkan selama 10 menit agar larutan
menjadi homogen.
Larutan diambil sebnyak 20 ml dan dimasukan ke dalam Erlenmeyer,
indikator amilum ditambahkan sebanyak 3 tetes. Amilum berperan sebagai
indikator yang dapat menunjukan titik akhir dari titrasi. larutan dititrasi dengan
larutan Na2S2O3 0,1 N. Titik akhir reaksi ditandai dengan hilangnya warna
hitam kehijauan sehingga larutan menjadi jernih/bening.
Reaksi yang terjadi pada saat titrasi adalah sebagai berikut:
2Na2S2O3 + I2 2NaI + Na2S4O6
Indikator amilum yang titambahkan pada larutan akan membentuk
kompleks iod yang berwarna hijau kehitaman yang akan bereaksi dengan
larutan Na2S2O3 0,1 N. Dalam hal ini larutan Na2S2O3 0,1 N memiliki pereaksi
yang lebih kuat dibandingkan dengan amilum, sehingga senyawa amilum
terdesak keluar dari reaksi oleh larutan Na2S2O3 0,1 N. Hal ini yang
menyebabkan warna larutan menjadi bening setelah dititrasi.
Pada percobaan analisis kafein ini, metode titrasi yang digunakan adalah
titrasi iodometri. Menurut Stahl (1985), titrasi iodometri merupakan analisis
titrimetri secara tidak langsung yang menggunakan oksidator untuk direaksikan
dengan iodida berlebih. Untuk mengetahui kadar kafein, larutan harus
ditambahkan dengan larutan iod.
Tablet kafein yang digunakan pada percobaan ini adalah Panadol dengan
berat 732 mg dan kadar kafein 50 mg.
Berdasarkan hasil percobaan, volume titran rata-rata yang digunakan
adalah 1 ml, sehingga kadar kafein dalam tablet Panadol yang terhitung adalah
9,90% dengan berat/tablet adalah 72,45 mg/tablet.
Hasil yang didapatkan menyimpang dari yang seharusnya. Hasil tersebut
menunjukan selisih yang sangat jauh dengan kadar kafein yang tertera pada
label. Hal ini terjadi karena adanya kesalahan yang dilakukan praktikan pada
saat percobaaan. Kesalahan diperkirakan terjadi karena alkohol yang
ditambahkan untuk membilas lumping porselin berlebihan sehingga tidak
menguap seluruhnya, pada saat titrasi lupa menambahkan amilum, selain itu
saat titrasi yang digunakan juga berlebihan.
V. KESIMPULAN

Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa:


1. Kadar aspirin dalam tablet Aspirin adalah 450,5 mg/tablet atau 75,84%.
2. Kadar kafein dalam Panadol adalah 72,45 mg/tablet atau 9,90%.
DAFTAR PUSTAKA

Anderson, W. 1975. Organic Chemistry. Pretice Hall Book Company, Ney York.
Atkins, R. C., dan Carey, F. A. 1997. Organic Chemestry edisi ke-2. McGraw-Hill,
Boston.
Beale, J. M., dan Block, J. H. 1987. Organic Medical and Pharmaceutical Chemestry.
McGraw-Hill, Boston.
Hart, H. 1990. Kimia Organik-Suatu Kuliah Singkat edisi ke-6. Erlangga, Jakarta.
Karyadi, B. 1994. Kimia 2. Balai Pustaka, Jakarta.
Keenan, C. W., Kleinfelter, D. C., dan Wood,J. H. 1989. Ilmu Kimia untuk
Universitas edisi ke -6. Erlangga, Jakarta.
Khopar, S. M. 1990. Konsep Dasar Kimia Analitik. UI Press, Jakarta.\
Kowalksi, R. E. 2010. Terapi Hipertensi. Penerbit Qanita, Bandung.
Mulyono, Drs. 2009. Membuat Reagen Kimia di Laboratorium. Bumi Aksara,
Jakarta.
Nurdina dan samosir, N. E. 2013. Pengaruh Kafein Terhadap Kualitas Tidur
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara. E-Jurnal FK-USU
1(1) :1-5.
Pendergarast, M. 2011. Caffeine. http://faculty.washinton.edu/chudeler/caff. 17 Maret
2015.
Shearn, M. 1989. Farmakologi Dasar dan Klinik. Gramedia Pustaka, Jakarta.
Stahl, E. 1985. Analisis Obat Suara Kromotografi dan Mikroskopis. ITB, Bandung.
Syukri, S. 1999.Kimia Dasar I. ITB, Bandung.
Yuwono, T. 2005. Biologi Molekular. Erlangga, Jakarta
LAMPIRAN

1. Kadar Aspirin pada tablet Aspirin


Berat tablet 0,594 mg
5,1+4,9
Volume titran = 2 = 5
100 0,01802
20
Kadar (%) =
100%
100 5 0,01802
20
= 100%
0,594 mg

= 75,84%
mg/tablet = 10020 18,02

= 10020 5 18,02 = 450,5 mg/ tablet

Gambar 1. Perubahan warna larutan aspirin sebelum dan sesudah titrasi.


2. Kadar Kafein pada Tablet Panadol
Berat tablet 0,732 mg
0,9+1,1
Volume titran = = 1
2
(20 (10020) Vol Na2 S2 O3 ) 0,00483
Kadar (%) = 100%
berat tablet
(20(5 1) 0,00483
= 100% = 9,90%
0,732 mg

Mg/tablet = (20 (10020) Vol Na2 S2 O3 ) 4,83


= (20 (5) 1 ml) 4,83 = 72,45 mg / tablet

Gambar 2. Perubahan warna larutan kafein sebelum dan sesudah titrasi.

Anda mungkin juga menyukai