Anda di halaman 1dari 10

Birgit Adam, Tobias Liebregts, Gerald Holtmann. 2007.

Mechanism of Disease: Genetics of Fuctional


Gastrointestinal Disorders - Searching the Genes that Matter. Nat Clin Pract Gastroenterol Hepatol; 4
(2): 102-110

Tujuan :
Menilai hubungan faktor genetik dengan manifestasi gangguan gastrointestinal fungsional

metode :
Eksperimental

sample :
17 volunter normal tanpa gejala GI, 54 pasien FD yang datang ke poli nanfang hospital. Eksklusi :
pasien dengan gejala GER dominan, riwayat ulkus peptik dan bedah gastrointestinal

teknik pemeriksaan :
pengosongan lambung dinilai dengan marker solid radioopak pada 54 pasien FD, pasien dibagi
menjadi 2 kelompok yaitu pengosongan lambung lambat dan normal. 17 volunter normal berperan
sebagai kontrol normal. Kadar hormon (gastrin, somatostatin, neurotensin) plasma puasa dan
postprandial dan kadar di mukosa GI diukur dengan radioimunoassay. sel G dan D pada mukosa
antrum dilakukan imunostained dengan rabbit-anti gastrin polyclonal antibody dan rabbit anti-SS
polyclonal antibody, dan dinilai secara analisis komputerisasi.

hasil :
kadar gastrin plasma post prndial, kadar NT plasma(puasa dan PP) dan mukosa signifikan lebih tinggi
pada pasien FD dengan pengosongan lambung terlambat dibandingkan dengan pengosongan
lambung normal dan kontrol normal. Jumlah dan gray value sel G dan ratio sel G/sel D tidak
signifikan berbeda pada pasien kontrol normal dan pasien FD degan atau tanpa keterlambatan
pengosongan lambung

kesimpulan :
studi ini menunjukkan abnormalitas gastrin dan NT bisa mempengaruhi patofisiologi dismotilitas
gaster pada pasien FD, abnormalitas kadar gastrin plasma PP pada pasien FD dengan pengosongan
lambung terlambat tidak berhubungan dengan perubahan jumlah dan gray balue sel G dan rasio sel
G/sel D pada mukosa antrum lambung.
Gejala khas FD yaitu kembung atau nyeri pada perut atas, lama dalam mencerna makanan,
mual, muntah, cepat kenyang dan tidak disertai dengan kelainan organik.
Patogenesis FD bersifat multifaktorial. Diketahui bahwa dismotilitas gaster berperan dalam
patogenesis FD.
Hormon GI berperan penting pada motilitas lambung. Hormon GI seperti gastrin,
somatostatin dan neurotensin dapat menghambat motilitas lambung, peningkatan kadar
hormon GI ini dapat menyebabkan dismotilitas gaster. Dan dismotilitas gaster yang paling
umum terjadi pada pasien FD adalah pengosongan lambung yang terlambat.
6. Ziemsen T, Kern S.2007.Psychoneuroimmunology-cross -talk between the immune and nervous
systems.J Neurol;254(2):II/8-II/11

Introduction :
psikoneuroimunologi (PNI) adalah bidang ilmu pengetahuan melakukan studi investigasi terhadap
kaitan komunikasi bidireksional antara sistem saraf, sistem hormon dan sistem imun yang
berdampak pada kesehatan fisik dan mental, berfokus pada interaksi terukur antara proses
psikologis dan fisiologis. 2 jalur utama hubungan antara otak dan sistem imun yaitu anatomic
nervous system (ANS) melalui pengaruh langsung neural dan heuroendokrin humoral outflow
melalui kelenjar pituitary. otak mengatur sistem imun dengan "hardwiring" saraf simpatis dan
parasimpatis (sistem saraf otonom) pada organ limfoid. Hormon neuroendokrin seperti CRH atau
substansi P mengatur keseimbangan sitokin. Sistem imun mengatur aktivitas otak termasuk tidur
dan suhu tubuh. Sistem imun dan saraf bekerja secara resiprokal. Baik dari demam hingga stres,
pengaruh satu sistem terhadap sistem lainnya telah berkembang dalam suatu cara yang rumir untuk
menilai bahaya dan respon adaptif yang sesuai. Bukti yang ada dalam dekade terakhir menyatakan
bahwa interaksi otak terhadap sistem imun ini sangat dipengaruhi oleh faktor psikologis yang
mempengaruhi imunitas dan penyakit yang dimediasi sistem imun.
7. Davidson G, Kritas S, Butler R.2007.Stressed Mucosa.Nestle Nutr Workshop Ser Pediatr
Program;59 : 133-146

Introduction :
stres didefinisikan sebagai suatu gangguan akut terhadap homeostasis organisme. Mukosa GI terdiri
dari satu lapisan sel epiter yang berikatan satu sama lain dengan tight junctions, sehingga
membentuk barrier antara lingkungan eksternal dan internal. Segala mekanisma yang mengganggu
tight junction tsb, menyebabkan paparan tubuh terhadap benda asing baik itu berupa protein,
mikroorganisme, atau toksin. Stres bisa berupa fisiologis, psikologis, faktor terkait penyakit/drug-
induced. stres terkait gangguan GI yaitu FD< IBS, GERD, ulkuspeptikum, dan IBD. beberapa penyakit
dikatakan mengganggu fungsi barrier GI, seperti diare infektif, IBD, penyakit celiac sedangkan
penyakit lainnya seperti ekzema dapat berkaitan secara tidak langsung dengan gangguan barrier
terkait antigen. obat-obatan seperti agen kemoterapi, NSAID juga mengganggu barrier. malnutrisi
dan defisiensi nutrisi (zinc, as folat, vit A) juga dapat menjadi predisposisi terjadinya kerusakan
mukosa. Penilaian kesehatan mukosa GI terbukti menjadi suatu masalah karena menggunakan
pemeriksaan invasif, akan tetapi saat ini masih cukup berguna, memberikan data yang terbatas dan
tidak ada penilaian fungsional. tes non invasif seperti breath test memberikan penilaian fungsional
dan dapat digunakan bersamaan sebagai biomarker untuk meningkatkan kemampuan
mendefinisikan stres pada mukosa. Pilihan terapi yang ada seperti farmakoterapi, imunomodulasi
atau imunoterapi.

Kesimpulan :
stres memiliki peran yang jelas pada berbagai penyakit GI, tetapi luas kontribusinya terhadap
patogenesis berbagai penyakit masih belum jelas. Teknik diagnostik fungsional saat ini mulai tersedia
untuk memberikan pemahaman patofisiologi yang lebih baik terhadap usus yang mengalami stres
dan memberikan metode yang lebih sederhana dan dapat diterima untuk menilai intervensi.
8. Arborelius L, Owens MJ, Plotsky PM, Nemeroff CB.1999.The role of corticotropin-releasing factor
in depression and anxiety disorders.Journal of endocrinology;160:1-12

Introduction :
CRF merupakan suatu peptida yang mengandung 41 asam amino, terlihat berperan pada respon
endokrin, otonom dan behavioral terhadap stress. Stres, terutama pada early-life, berkaitan dengan
tingginya prevalensi gangguan cemas dan afektis pada dewasa. CRF mengalami hipersekresi dari
hipotalamus dan neuron ekstrahipotalamik pada depresi, menyebabkan hiperaktivitas HPA aksis dan
peningkatan konsentrasi CRF pada cairan serebrospinalis. peningkatan aktivitas neuronal CRF juga
dipercaya dapat memediasi gejala behavioral depresi seperti gangguan tidur, selera makan,
penurunan libido dan perubahan psikomotor. hiperaktivitas sistem neuronal CRF menjadi marker
depresi karena hiperaktivitas HPA aksis akan menjadi normal setelah mendapat pengobatan
antidepresan. penemuan biokimiawi dan behavioral juga dijumpai pada tikus dan monyet dewasa
yang diberi early-life stress. Akan tetapi, studi klinis tidak menunjukkan perubahan yang konsisten
pada konsentrasi CRF CSF pada pasien dengan gangguan cemas.penemuan preklinik menyatakan
peranan CRF pada patofisiologi gangguan cemas tertentu melalui dampak pada sistem noradrenergic
sentral. review ini mendukung hipotesis bahwa antagonis reseptor CRF dapat menunjukkan kelas
terbaru antidepresan dan atau anxiolitik.
9. Sergestrom SC. 2010. Resources, stress and immunity : an ecololgical perspective on human
psychoneuroimmunology.ann behav med;40:114-125

Introduction :

Ecological immunology provides a broad theoretical perspective on phenotypic plasticity in


immunity, that is, changes related to the value of immunity across different situations,
including stressful situations. Costs of a maximally efficient immune response may at times
outweigh benefits, and some aspects of immunity may be adaptively suppressed. This
review provides a basic overview of the tenets of ecological immunology and the energetic
costs of immunity and relates them to the literature on stress and immunity. Sickness
behavior preserves energy for use by the immune system, acute stress mobilizes first-line
immune defenders while suppressing more costly responses, and chronic stress may
suppress costly responses in order to conserve energy to counteract the resource loss
associated with stress. Unexpected relationships between stress buffers and immune
functions demonstrate phenotypic plasticity related to resource pursuit or preservation. In
conclusion, ecological models may aid in understanding the relationship between stress and
immunity.

Kesimpulan :

An ecological approach to the relationship between stress and immune function specifies
that immune function may be sacrificed to meet other goals, a process that does not
necessary imply threat but incorporates the idea of limited energetic resources. This
approach can account for immune responses to both acute and chronic stressors, as well as
seemingly paradoxical effects of stress buffers such as social network size and optimism on
immune function.
10. Futagami S, Shimpuku M, Yin Y, Shindo T, Kodaka Y, Nagoya H et al.2011.Pathophysiology of
functional dyspepsia.J Nippon Med Sch;78(5):280-285

Introduction :

FD dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan kriteria Roma III, yaitu sindroma nyeri epigastrik dan
sindroma distress post prandial. Abnormalitas yang dapat dijumpai pada pasien FD yaitu akomodasi
fundus terganggu, hipersensitivitas gaster dan distensi gaster, motilitas duodenojejunal abnormal,
disfungsi sensorik dan motorik duodenum, hipersensitivitas duodenum dan infeksi helicobacter
pylori. seringkali gejala NERD ditemukan overlap dengan FD.40-60% pasien dengan FD juga
mengalami gastritis H pylori, akan tetapi masih belum diketahui apakah H pylori yang menyebabkan
gejala tersebut.gangguan motilitas usus berperan erat dalam pengosongan lambung dan akomodasi
lambung dan telah dianggap merupakan patofisiologi dari FD.terlambatnya pengosongan lambung
dijumpai pada 25-50% pasien FD.

metode standar untuk mengukur pengosongan lambung adalah dengan metode radioaktif isotop.
selain itu C acetate breath test juga dapat dipakai dan tidak invasif. Sarnelli et al menyatakan bahwa
jenis kelamin wanita, postprandial fullness dan muntah merupakan prediktor independen kuat dari
lambatnya pengosongan lambung.

beberapa studi dan metaanalisis telah menguji dan meyakini hubungan antara infeksi H pylori dan
FD. hubungan kedua hal tersebut masih kontroversial. Mc Coll et al melaporkan bahwa eradikasi H
pylori efektif dalam mengatasi gejala pasien FD. Blum et al melaporkan pada pasien FD, eradikasi H
pylori tidak mengurangi gejala. Metanalisis terakhir menyatakan bahwa eradikasi H pylori dalam 12
bulan memiliki signifikansi statistik yang kecil dalam mengatasi gejala FD. alasan utama eradikasi H
pylori pada pasien FD bisa berhubungan dengan efek potensial lainnya daripada perbaikan
simptomatik.

pada populasi dengan outbreak gastroenteritis salmonella, prevalensi FD meningkat secara signifikan
hingga 1 tahun setelah kejadian akut tersebut. IBS dan gastroparesis dapat terjadi setelah infeksi
usus akut.

Kesimpulan :

patofisiologi FD meliputi banyak faktor seperti motilitas gaster, hipersensitivitas , faktor psikologis
dan genetik. Faktor-faktor ini berdampak secara aktif pada gejala FD. pemahaman dalam mekanisme
patogenesis yang mendasari dapat membawa kita ke target pengobatan FD yang lebih baik.
11.

Anda mungkin juga menyukai