Anda di halaman 1dari 20

BAB 1

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Definisi Askariasis


Askariasis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Ascaris
lumbricoides(cacinggelang)yanghidupdiusushalusmanusiadanpenularannya
melaluitanah(Kazura,2000).

1.2 EpidemiologiAskariasis
Askariasisadalahsalahsatuinfeksiparasityangpalingumumterjadipada
manusia. Di seluruh dunia, infeksi A. lumbricoides menyebabkan sekitar 60.000
kematianpertahun,terutamapadaanakanak.Sebesar10%daripenduduknegara
berkembangterinfeksicacingan,sebagianbesardisebabkanolehinfeksicacingini.
Anakanakterinfeksilebihseringdaripadaorangdewasa,kelompokusiayangpaling
umumadalah38tahun(WHO,2014).Penyebaraninfeksi A.Lumbricoides dapat
terjadidiseluruhdunia(kosmopolit)danlebihbanyakditemukandidaerahtropis
dengansanitasijelekdanpadaanakanak.PrevalensidiIndonesiatinggi,terutamadi
pedesaan(6090%)danangkainfeksitertinggiditemukanpadaanakanak(Muslim,
2009).
Meskipun askariasis jarang menyebabkan kematian, tetapi dapat
menimbulkan adanya morbiditas yang dapat berhubungan dengan infeksi berat,
mungkin kekurangan zat besi dan protein (Indonesian public health portal, 2013).

1.3 Morfologi A. Lumbricoides


Morfologi cacing Ascaris Lumbricoides adalah sebagai berikut (Priyanto,
Tjahaya, & Darwanto, 2006):
a. Cacing jantan berukuran 10-31 cm, ekor melingkar, memiliki 2 spikula
b. Cacing betina berukuran 22-35 cm, ekor lurus, pada sepertiga anterior
memiliki cincin kopulasi
c. Mulut cacing terdiri dari 3 buah bibir
Morfologi telur cacing Ascaris Lumbricoides adalah sebagai berikut
(Priyanto, Tjahaya, & Darwanto, 2006):

1
a. Telur yang dibuahi berukuran sekitar 60 x 45 mikron, berbentuk oval,
berdinding tebal dengan 3 lapisan dan berisi embrio
b. Telur yang tidak dibuahi berukuran 90 x 40 mikron, berbentuk bulat
lonjing atau tidak teratur, dindingnya terdiri atas 2 lapisan, dan
dalamnya bergranula.
c. Telur decorticated, telur yang tanpa lapisan albuminoid yang lepas
karena proses mekanik.

1.4 Siklus hidup cacing A. Lumbricoides


Telur cacing A. Lumbricoides keluar bersama tinja dalam keadaan belum
membelah. Pematangan telur agar menjadi infektif membutuhkan membutuhkan
tanah yang lembab dan teduh selama 20-24 hari dengan suhu optimum 30 C. Telur
infektif berembrio, bersama makanan akan tertelan, sampai ke lambung, telur
menetas, dan larva keluar. Cairan lambung akan mengaktifkan larva, sehingga
larva akan bergerak ke usus halus, kemudian menembus mukosa usus untuk
masuk ke dalam kapiler darah.
Larva terbawa oleh aliran darah ke hati, jantung kanan, akhirnya ke paru-
paru. Larva membutuhkan waktu 1-7 hari setelah infeksi. Larva akan keluar dari
kapiler darah masuk ke dalam alveolus, terus ke bronkiolus, bronkus, trakea dan
sampai ke laring, kemudian tertelan masuk kembali ke esofagus, ke lambung dan
kembali ke usus halus untuk kemudian menjadi dewasa.
Waktu yang diperlukan larva untuk bermigrasi, mulai larva menembus
mukosa usus, ke paru, dan berakhir di lumen usus adalah 10-15 hari. Waktu yang
diperlukan mulai berada didalam usus yang kedua kalinya sampai menjadi cacing
dewasa yang mampu menghasilkan telur sekitar 6-10 minggu. Seekor cacing
betina menghasilkan telur 200.000 butir per hari, dapat berlangsung hidupnya
sekitar 6-12 bulan (Natadisastra & Agoes, 2009).

1.5 Transmisi
Infeksi cacing A. Lumbricoides ditularkan melalui tanah (soil transmitted
helminthes), tergantung pada penyebaran telur ke dalam keadaan lingkungan yang

2
cocok untuk pematangannya. Defekasi di tempat sembarangan dan praktik-praktik
yang tidak higienis merupakan faktor penting yang menyebabkan endemisitas
askariasis (Kazura, 2000).
Infeksi ini cenderung lebih serius jika gizi buruk. Mereka sering menjadi
terinfeksi setelah meletakkan tangan untuk mulut mereka setelah bermain di tanah
yang terkontaminasi (fecal oral) (WHO, 2014). Penggunaan pupuk dari feses
manusia merupakan cara penularan yang lain, bahan makanan (terutama segala
sesuatu yang biasa dimakan mentah) menjadi terinfeksi oleh pupuk dari feses
manusia atau melalui lalat (Kazura, 2000).

1.6 Faktor Risiko


Faktor risiko terjadinya askariasis adalah sebagai berikut:
a. Kurangnya sanitasi pribadi (perilaku hidup bersih)
Rendahnya tingkat sanitasi pribadi seperti kebiasaan cuci tangan sebelum
makan dan setelah buang air besar, kebersihan kuku, dan perilaku jajan
sembarangan tempat yang kebersihannya tidak dapat dikontrol, serta ketersediaan
air bersih yang minim (Winita, Mulyati, Astuty, 2012).
b. Pekerjaan
Adanya lahan pertanian terutama dengan suhu 23-25oC yang optimum
untuk pertumbuhan larva Askariasis Lumbricoides (Sebastian & Santi, 2000). Ibu
yang memiliki pekerjaan sebagai petani memiliki hubungan bermakna dengan
kejadian kecacingan pada anak. Ibu yang kurang memperhatikan kebersihan diri
dalam kehidupan sehari-hari ditambah dengan pekerjaan selalu berkontak dengan
tanah, sehingga anak yang berada dalam asuhannya berpeluang cukup besar untuk
terinfeksi penyakit cacingan (Ginting, 2003).
c. Iklim, cuaca, dan musim
Askriasis banyak terjadi di daerah dengan iklim tropis. Kelembaban dan
cuaca yang panas sangat menunjang kehidupan cacing (Supritiastuti, 2006). Telur-
telur terbukti tetap infektif pda tanah selama berbulan-bulan dan dapat bertahan
hidup dicuaca yang lebih dingin (5-10oC) selama 2 tahun (Kazura, 2000).
d. Sosioekonomi
Hasil dari studi epidemiologi menunjukkan bahwa askariasis banyak
terjadi di daerah pedesaan, daerah pinggiran kota, dan daerah perkotaan yang
padat penduduknya. Urbanisasi yang terjadi telah menambah jumlah kepadatan

3
penduduk perkotaan. Hal ini akan menyebabkan berkurangnya keseimbangan
lingkungan dan penduduk yang berdampak pada sanitasi lingkungan di wilayah
itu yang berhubungan erat dengan askariasis. Semakin parah tingkat kemiskinan
masyarakat maka akan semakin berpeluang untuk mengalami infeksi cacing. Hal
ini dikaitkan dengan kemampuan dalam menjaga personal higiene dan sanitasi
lingkungan tempat tinggal (Supritiastuti, 2006).
e. Pendidikan
Kejadian infeksi lebih kecil ditemukan pada anak sekolah yang orang
tuanya memiliki tingkat pendidikan yang lebih baik. Hal ini dikaitkan dengan
tingkat pengetahuan orang tua yang memiliki latar belakang pendidikan yang baik
tentang personal higiene dan sanitasi lingkungan yang baik (Ginting, 2003).

1.7 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis dari askariasis adalah sebagai berikut (Kazura, 2000):
a. Gangguan akibat larva
Gangguan di paru berupa batuk, demam, sputum berbercak darah, dan
eosinofilia. Hal ini dikenal dengan sindrom Loeffler yang dapat dihubungkan
dengan infiltrat paru sementara.
b. Gangguan akibat cacing dewasa
Adanya cacing dewasa pada usus halus disertai dengan keluhan yang tidak
jelas seperti nyeri perut, perut kembung, anoreksia, diare, dan konstipasi
c. Infeksi yang berat
Infeksi cacing A. Lumbricoides akan menyebabkan malabsorpsi yang akan
memperberat malnutrisi dan penurunan status kognitif. Selain itu, cacing dewasa
dapat bergumpal yang akan menyebabkan obstruksi saluran cerna. Obstruksi usus
biasanya diawali dengan nyeri perut kolik mendadak dan muntah yang dapat
berbercak empedu, gejala ini dapat memburuk dengan cepat dan menyertai
perjalanan yang serupa dengan obstruksi usus akut etiologi lain apapun.

1.8 Diagnosis
Diagnosis askariasis berdasarkan gejala klinis saja sering kali susah untuk
menegakkan diagnosis, karena tidak ada gejala klinis yang spesifik sehingga
diperlukan pemeriksaan laboratorium. Diagnosis askariasis ditegakkan
berdasarkan menemukan telur cacing dalam tinja (melalui sediaan langsung),

4
larva dalam sputum, cacing dewasa yang keluar dari mulut, anus, atau dari hidung
(Natadisastra & Agoes, 2009).

1.9 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang askariasis adalah sebagi berikut (Natadisastra &
Agoes, 2009):
a. Pemeriksaan apusan tinja (direct wet smear) untuk menemukan telur
cacing.
b. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan eosinofilia dan peningkatan
jumlah IgE
c. Rontgen paru memperlihatkan bercak-bercak putih yang bersifat
sementara.

1.10 Penatalaksanaan
Berdasarkan siklus hidup cacing dan sifat telur ini, maka penatalaksanaan
yang dapat dilakukan adalah:
a. Penyuluhan kesehatan
Penyuluhan tentang sanitasi yang baik dan tepat guna, hygine keluarga dan
hygine pribadi seperti (Rasmaliah, 2007) :
Tidak menggunakan tinja sebagai pupuk tanaman
Sebelum melakukan persiapan makan dan hendak makan serta sesudah
buang air besar, tangan dicuci terlebih dahulu dengan menggunakan sabun.
Bagi yang mengkonsumsi sayuran segar (mentah) sebagai lalapan,
hendaklah dicuci bersih dan disiram lagi dengan air hangat.
Sebaiknya makan makanan yang dimasak.
Biasakan menggunakan WC
Mengadakan pengobatan masal setiap 6 bulan sekali di daerah endemik
ataupun didaerah yang rawan terhadap penyakit askariasis.
b. Pengobatan penderita
Semua penderita yang positif menderita askariasis sebaiknya diobati tanpa
melihat beban cacing karena jumlah cacing yang kecil sekalipun dapat
menyebabkan migrasi ektopik dengan akibat yang akan menambah keluhan
penderita (Syamsu, 2006).
Kemoterapi parasit yang digunakan adalah antihelmintik. Antihelmintik
merupakan obat cacing yang digunakan untuk memberantas atau mengurangi
cacing dalam lumen usus atau jaringan tubuh. Kebanyakan obat cacing efektif

5
terhadap satu macam cacing, sehingga diagnosis askariasis harus ditegakkan
dengan pemeriksaan yang benar agar pengobatannya menjadi efektif (Tjay &
Rahardja, 2008).
Beberapa agen kemoterapeutik yang efektif untuk melawan askariasis
adalah (Ganiswara,):
Garam piperazin
Obat ini memberikan efek paralisis pada cacing dan cacing mudah
dikeluarkan oleh peristaltik usus. Dosis dewasa adalah 3,5 g sekali sehari dan
dosis pada anak 75mg/kgBB (maksimum 3,5g) sekali sehari. Diberikan dua hari
berturut-turut.
Mebendazol
Obat ini adalah obat cacing yang berspektrum luas dengan toleransi hospes
yang baik. Diberikan satu tablet (100 mg) dua kali sehari selama tiga hari tanpa
melihat umur.

Pirantel pamoat
Dosis tunggal 10 mg/kgBB adalah efektif untuk menyembuhkn kasus lebih
dari 90%. Obat spektrum luas ini berguna di daerah endemik dimana infeksi
multiple nematoda merupakan hal yang biasa.
Levamisol hidroklorida
Obat ini adalah obat yang dapat melumpuhkan cacing dengan cepat. Obat
ini diberikan dalam dosis 50-150 mg pada orang dewasa dan 3 mg/kgBB pada
anak.

6
BAB 2
STATUS PASIEN

2.1 Identitas pasien


Nama : M. Fauzan
Umur : 4,5 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Jl. Kuta Coh Dusun Kuta Coh, Kel. Punti
Tempat Asal : Kecamatan Syamtalira Bayu
Pekerjaan : -
Status Perkawinan : Belum Kawin
Suku : Aceh
Agama : Islam
Tanggal Masuk : 14 November 2014
Tanggal Pemeriksaan : 14 November 2014

2.2 Anamnesa
Keluhan Utama : Berat badan tidak naik.
Keluhan Tambahan : -
Riwayat Penyakit sekarang : Pasien datang dibawa orangtuanya dengan
keluhan berat badan pasien tidak naik
meskipun banyak makan. Berat badan tidak
naik diperkirakan sejak 1 tahun yang lalu.
Ibu mengakui bahwa pertambahan berat
badan anaknya ini berbeda dengan abangnya
yang memiliki badan lebih besar pada saat
seusia dengan pasien. Pasien makan dengan
teratur dan dalam porsi banyak, yaitu nasi
dengan porsi 2 genggaman tangan ibunya.
Ibu mengakui bahwa pasien mengkonsumsi
ASI hingga usia 4 bulan dan tidak pernah
minum susu sejak usia 2 tahun. Pasien
mengeluhkan demam yang hilang timbul,

7
namun 4 hari yang lalu demamnya tinggi.
Demam turun dengan pemberian obat. Ibu
mengatakan bahwa pasien pernah batuk
kering disertai dengan sesak yang ringan
seminggu yang lalu. Batuk muncul
sepanjang hari. Batuk dan sesak tersebut
hilang dengan sendirinya. Ibu pasien
menyangkal bahwa adanya anggota keluarga
dan tetangga yang batuk, serta minum obat
selama 6 bulan. Pasien terkadang
mengeluhkan sakit perut yang ringan dan
perut terasa kembung. Ibu pasien
menyangkal bahwa anak pernah muntah
cacing, cacing keluar bersamaan dengan
kotoran anak, dan gatal di anus pada malam
hari. Ibu mengakui bahwa anak pernah
mencret pada usia 2 tahun, lalu dibawa
ibunya ke dukun rajah dan anak sembuh.
Anak memiliki kebiasaan suka bermain
tanah, tidak menggunakan alas kaki alas
kaki saat bermain disawah, serta tidak
mencuci tangan setelah bermain dan
sebelum makan. Kuku anak dipotong oleh
ibu kira-kira 1-2 bulan sekali.
Riwayat Penggunaan Obat : Amoxicilin dan Paracetamol
Riwayat Penyakit Keluarga : Ibu pasien menyangkal adanya keluhan yang
sama terhadap anggota keluarga yang
lainnya.
Riwayat Penyakit Terdahulu : Diare pada saat usia 2 tahun
Lingkungan dan kebiasaan : Pasien memiliki ibu seorang petani sehingga
pasien sering bermain ke sawah tanpa alas
kaki dan tempat bermain pasien adalah

8
gubuk dimana disekitarnya terdapat
genangan air dan lumpur, pasien sering tidak
cuci tangan saat makan setelah bermain,
pasien suka bermain tanah, pasien sering
dititipkan kepada nenek dan tetangga saat
ibu bekerja ke sawah.

2.3 Status present


Keadaan umum : Baik
BB : 15 kg
Kesadaran : Kompos Mentis
Tekanan Darah : -
Nadi : 74 kali/menit
Laju Pernapasan : 27 kali/menit
Suhu : 370C

2.4 Pemeriksaan fisik


Thorax
Inspeksi : Normal, tidak ada kelainan bentuk dada, simetris kiri dan kanan
Palpasi : Normal
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Normal

Abdomen
Inspeksi : Normal
Palpasi : Tidak ada kelainan pada 9 regio abdomen
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Peristaltik dalam batas normal, terdengar tiap 30 detik
2.5 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan apusan tinja
Usulan pemeriksaan:
Pemeriksaan Foto Thorax.
Pemeriksaan laboratorium darah untuk melihat kadar eosinofil dan IgE.

2.6 Diagnosa Banding


1. Askariasis
2. Infeksi cacing tambang
3. Kekurangan energi protein

3.7 Diagnosa Kerja

9
Askariasis

3.8 Penatalaksanaan
Medikamentosa:
Pirantel Pamoat 150 mg (dosis tunggal)

3.9 Prognosis
Baik

BAB 3
PEMBAHASAN
3.1 Faktor Risiko
3.1.1 Faktor risiko lingkungan (fisik)
Kondisi lingkungan pasien adalah sawah. Pasien sering bermain di sawah
tanpa menggunakan alas kaki. Tempat bermain pasien yang merupakan kubangan
penuh lumpur juga mendukung terjadinya askariasis.
3.1.2 Faktor risiko biologis
Faktor risiko biologis adalah infeksi cacing Ascaris Lumbricoides.
3.1.3 Faktor risiko sosial
Pasien memiliki banyak teman seumuran di lingkungan rumahnya. Teman
pasien juga bermain tidak menggunakan alas kaki sehingga meningkatkan risiko
pasien untuk bermain tanpa alas kaki juga.

10
3.1.4 Faktor risiko ekonomi
Ibu pasien mengaku bahwa tidak mampu membeli susu untuk anaknya
sehingga akan meningkatkan risiko gizi kurang pada anaknya yang dapat
memperberat penyakit. Ibu pasien menjelaskan bahwa ia dan anggota keluarganya
sering mengkonsumsi mie instan 1 minggu di akhir bulan
3.1.5 Faktor risiko pekerjaan orang tua
Ibu pasien adalah seorang petani yang bekerja mulai pagi jam 6.30-18.00
WIB sehingga ibu menitipkan anaknya pada nenek dan tetangga, sehingga
meningkatkan risiko pola asuh yang salah, ditambah lagi nenek pasien memiliki
penyakit kronik yaitu, diabetes melitus tipe 2 dan hipertensi dengan komplikasi
kardiomegali. Diabetes melitus dan hipertensi sudah dialami oleh nenek pasien
sekitar 5 tahun.
Pekerjaan ibu sebagai petani meningkatkan risiko terjadinya askariasis,
sehingga anak sering datang ke sawah tanpa alas kaki.
3.1.6 Faktor risiko pengetahuan orang tua
Ibu memiliki pendidikan terakhir sampai SMP. Pendidikan ibu
berpengaruh terhadap pengetahuan personal higiene pada anaknya yaitu tidak
mengharuskan anak menggunakan alas kaki dan mencuci tangan. Ibu terkesan
menutupi informasi mengenai perilaku personal higiene anak yang kurang baik.
Sebelum ibu membawa anak ke rumah sakit, anak dibawa ke dukun untuk dirajah.

3.2 Perencaaan Upaya Promotif


Perencanaan upaya promotif pada kasus ini adalah penyuluhan kesehatan.
Penyuluhan kesehatan yang dapat dilakukan berupa:
a. Pemberian informasi mengenai infeksi cacing.
b. Edukasi ibu pasien mengenai makanan bergizi yang memenuhi kriteria
gizi seimbang dan tidak mahal.
c. Edukasi mengenai kebersihan diri seperti mencuci tangan sebelum makan
dan setelah buang air besar serta langkah mencuci tangan yang benar,
menggunakan alas kaki saat bermain, dan memotong kuku minimal 40
hari sekali.

11
3.3 Perencanaan Upaya Preventif
a. Mengenal tanda-tanda infeksi cacing pada anak.
b. Mengkonsumsi obat cacing setiap 6 bulan sekali pada anak.
c. Membiasakan diri berperilaku bersih dan sehat seperti mencuci tangan
sebelum makan dan setelah buang air besar serta langkah mencuci tangan
yang benar, menggunakan alas kaki saat bermain, dan memotong kuku
minimal 40 hari sekali.
d. Mengkonsumsi makanan bergizi seimbang untuk meningkatkan imunitas
pasien

3.4 Perencanaan Upaya Kuratif


Pemberian obat sesuai dengan efektifitas dan dosis yang diperlukan.

3.5 Perencanaan Upaya Rehabilitatif


a. Pemberian gizi seimbang pada anak.
b. Menjauhi faktor risiko terjadinya infeksi cacing pada anak.

3.6 Perencanaan Upaya Psikososial


a. Anak tidak boleh dilarang bermain tetapi harus menggunakan alas kaki.
b. Teman bermain diajak untuk menggunakan alas kaki dan melakukan
kebiasaan mencuci tangan sebelum makan dan setelah buang air besar.

12
DAFTAR PUSTAKA

1. Natadisastra, D & Agoes, R 2009, Parasitologi kedokteran: ditinjau dari


organ tubuh yang diserang, EGC, Jakarta.
2. Prianto J, Tjahaya & Darwanto 2006, Atlas parasitologi kedokteran,
Gramedia pustaka utama, Jakarta.
3. Kazura, JW 2000, Askariasis, dalam Nelson ilmu kesehatan anak, eds. RE
Berhman, R Kliegman, AM Arvin, EGC, Jakarta.
4. Winita, R, Mulyati & Astuty H 2012, Upaya Pemberantasa Kecacingan di
Sekolah Dasar, Makara Kesehatan, vol. 16, no. 2.
5. Muslim, M 2009, Parasitologi untuk keperawatan, EGC, Jakarta.
6. World Health Organization 2014, Askariasis, diakses 18 November 2014,
http://www.who.int/water_sanitation_health/diseases/askariasis/en/
7. Ginting, SA 2003, Hubungan antara status sosial ekonomi dengan kejadian
kecacingan pada anak sekolah dasar di Desa Suka Kecamatan Tiga Panah
Kabupaten Karo Sumatera Utara, Skripsi, Universitas Sumatera Utara,
Medan
8. Supriastuty 2006, Infeksi soil-transmitted helmith: askariasis, trichiuriasis,
dan cacing tambang, Universa Medicine, vol. 25, no. 2
9. Sebastia, M & Santi, S 2000, Control of Intestinal Helmith in School
Children in Low-Napo, Equador: impact of a two year chemoterapy
program, Revista da Socredade Brisileira de Medicine Tropical.

13
10. Tjay, TH & Rahardja, K 2008, Obat-obat penting, Alex Media Komputindo,
Jakarta.
11. Ganiswara, SG, Farmakologi dan terapi, FK UI, Jakarta.
12. Rasmaliah 2007, Askariasis sebagai penyakit cacing yang perlu diingat
kembali, Jurnal USU.
13. Syamsu, Y 2006, Askariasis, respon IgE, dan upaya penanggulangannya,
Jurnal Unair.

LAMPIRAN

A. Rumah Pasien

14
15
B. Lingkungan

16
C. Pemeriksaan dengan pasien

17
18
LAPORAN KASUS

ASKARIASIS

Diajukan untuk memenuhi tugas Kesehatan Masyarakat Blok 20

Oleh

KELOMPOK II
SHABRINA
NIM: 110610043
YULIA NUR SORAYA
NIM: 110610002

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
LHOKSEUMAWE
2014

19
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.................................................................................................... i

BAB 1. TINJAUAN PUSTAKA.................................................................... 1


1.1 Definisi Askariasis................................................................ 1
1.2 Epidemiologi Askariasis.............................................................. 1
1.3 Morfologi A.Lumbricoides.......................................................... 1
1.4 Siklus hidup A.Lumbricoides....................................................... 2
1.5 Transmisi..................................................................................... 3
1.6 Faktor Risiko............................................................................... 3
1.7 Manifestasi Klinis........................................................................ 4
1.8 Diagnosis..................................................................................... 5
1.9 Pemeriksaan Penunjang .............................................................. 5
1.10Penatalaksanaan........................................................................... 5

BAB 2. STATUS PASIEN.............................................................................. 8


2.1 Identitas Pasien............................................................................ 8
2.2 Anamnesa..................................................................................... 8
2.3 Status Present............................................................................... 10
2.4 Pemeriksaan Fisik........................................................................ 10
2.5 Pemeriksaan Penunjang............................................................... 11
2.6 Diagnosa Banding....................................................................... 11
2.7 Diagnosa Kerja............................................................................ 11
2.8 Penatalaksanaan........................................................................... 11
2.9 Prognosis..................................................................................... 11

BAB 3. PEMBAHASAN................................................................................ 12
3.1 Faktor Risiko............................................................................... 12
3.2 Perencanaan Upaya Promotif...................................................... 13
3.3 Perencanaan Upaya Preventif...................................................... 13
3.4 Perencanaan Upaya Kuratif......................................................... 13
3.5 Perencanaan Upaya Rehabilitatif................................................ 13
3.6 Perencanaan Upaya Psikososial.................................................. 14

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 15
LAMPIRAN

20

Anda mungkin juga menyukai