PENDAHULUAN
Tonsilitis adalah peradangan pada tonsila palatina yang disebabkan oleh kuman
streptococcus beta hemolyticus, streptococcus viridons dan streptococcus pygenes,
namun dapat juga disebabkan bakteri jenis lain atau oleh virus.1,2 Pengobatan tonsillitis
kronis adalah dengan terapi bedah. Bila terapi medikamentosa tidak berhasil dianjurkan
terapi radikal dengan tonsilektomi. Indikasi tonsilektomi relative adalah :2-4 Terjadi 3
episode atau lebih infeksi tonsil pertahun dengan terapi antibiotik adekuat, halitosis
(nafas bau) akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan pemberian terapi medis,
tonsilitis kronis atau berulang yang tidak membaik dengan pemberian antibiotik. Indikasi
mutlak (absolut) tonsilektomi adalah pembengkakan tonsil menyebabkan obstruksi
saluran napas, disfagia berat, gangguan tidur dan komplikasi kardiopulmonal, abses
peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan medis dan drainase, tonsilitis yang
menimbulkan kejang demam, tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan
tempat yang dicurigai limfoma (keganasan), hipertropi tonsil atau adenoid dengan
sindrom apnoe waktu tidur dan infeksi berulang.3,4
Anestesi berasal bahasa Yunani an-"tidak, tanpa" dan aesthtos "persepsi,
kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa
sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan
rasa sakit pada tubuh. Anestesi umum bekerja di Susunan Saraf Pusat, sedangkan
anestetik lokal bekerja langsung pada Serabut Saraf di Perifer.2 Anestesi umum (General
Anesthesia) disebut pula dengan nama Narkose Umum (NU).5,6 Anastesi Umum
adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan bersifat
reversible. Anestesi umum yang sempurna menghasilkan ketidak sadaran, analgesia,
relaxasi otot tanpa menimbulkan resiko yang tidak diinginkan dari pasien. Dengan
anestesi umum, akan diperoleh triad (trias) anestesia, yaitu : Hipnosis (tidur), Analgesia
(bebas dari nyeri), Relaksasi otot.6-7
1
Hipnosis didapat dari sedatif, anestesi inhalasi (halotan, enfluran, isofluran,
sevofluran). Analgesia didapat dari N2O, analgetika narkotik, NSAID tertentu.
Sedangkan relaksasi otot didapatkan dari obat pelemas otot (muscle relaxant). Relaksasi
otot diperlukan untuk mengurangi tegangnya tonus otot sehingga akan mempermudah
tindakan pembedahan. Tujuan Anastesi Umum adalah Anestesi umum menjamin hidup
pasien, yang memungkinkan operator melakukan tindakan bedah dengan leluasa dan
menghilakan rasa nyeri.7
2
BAB II
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Tanggal : 05 Februari 2017
Nama : Ririn Dwi Andriani
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 10 tahun
BB/TB : 28 kg/ 133 cm
Ruang : THT
Diagnosis : Tonsilitis Kronis
Tindakan : Tonsilektomi
3
- Pasien mengaku belum pernah operasi sebelumnya dan memiliki kebiasaan
minum es dan meminum minuman yang didinginkan/dimasukkan kedalam
kulkas.
- Riwayat penyakit penyerta :
Pasien mengaku tidak mempunyai riwayat asma, DM, dan hipertensi.
- Riwayat alergi :
Pasien mengaku tidak ada alergi terhadap makanan apapun dan obat-obatan
tertentu.
PEMERIKSAAN FISIK :
Status Generalis
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan Darah : 100 / 70 mmHg
Nadi : 80 x / menit
Suhu : 36,3 C
Respirasi : 18 x / menit.
Kepala : Normocehapl
Mata : Pupil Isokor Ka=Ki, conjunctiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),
Malapati : Grade I
Telinga : Sekret (+/+)
Hidung : konka hiperemis (-/+)
Tenggorokan : Tonsil T3-T3, permukaan tidak rata, hiperemis
Leher : Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening JVP 5-2 cmH2O
Thorak : Paru : Vesikuler, Ronkhi (-/-), Whezing (-/-)
Jantung : BJ I/II Reguler, Murmur (-), Gallop (-)
Abdomen : Datar, Soepel, Bising usus (+), Nyeri tekan (-)
Ekstremitas : Akral hangat, Udema (-)
4
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium :
Hasil (31 Januari 2017)
Darah Lengkap Nilai Rujukan Normal
Hb : 12,0 gr/dl 11 16,5 gr/dl
Hematokrit : 32.0 % 35 - 50 %
Jumlah Leukosit : 6,1 x 109/l 3,5 - 10 x 103/l
Jumlah Eritrosit : 4,37 x 1012/l 3,8 - 5,8 x 103/l
Jumlah Trombosit : 362 x 109/l 150 - 400 x 103/l
CT BT
CT : 3 5 8 menit
BT :1 1 3 menit
Kimia darah
GDS : 123 mg/dl 70 140 mg/dl
Ureum : 10.0 mg/dl 10 50 mg/dl
Kreatinin : 0,5 0,6 1,20
SGOT : 20 l 0 37
SGPT : 12 l 0 42
EKG : Kesan Normal
Ro Foto Thoraks : Cor dan Paru Normal
5
JENIS / TINDAKAN ANESTHESI :
Anestesi Umum : Intubasi
Premedikasi :
Ranitidinin 50mg,
Ondacentron 4mg,
Asam Traneksamat 500mg
Induksi : Fentanil 28 mcg, Propofol 56 mg
Relaksasi : Rocuronium 14 mg
Pemeliharaan : O2 : N2O 3 liter/ menit : 3 liter/ menit
Isoflurane 1-1,5 vol %
Respirasi : Ventilator Tidal Volume 650 cc
RR : 20 x/i
6
Jenis/tindakan anestesi : General Anestesi
a. General Anestesi
o Premedikasi :Ranitidin 50 mg
o Ondancetron 4 mg
o Asam Traneksamat 500 mg
Medikasi :
o Fentanil 28 mcg, Propofol 56 mg
Relaksasi: Rocuronium 14 mg
Cairan/Transfusi : RL 500 cc
7
Terapi cairan
Maintenance = 2 cc/KgBB/jam
= 2 cc x 28 Kg/jam
= 56 cc/jam
Pengganti puasa = puasa x maintenance
= 6 jam x 56 cc/jam
= 336 cc
Stress operasi = 6 cc/KgBB/jam
= 6 cc x 28 Kg/jam
= 168 cc/jam
Jadwal pemberian cairan (lama operasi 1 jam)
Jam I = PP + SO + M
= 336 + 168 + 56
= 392 cc
Jam II = PP + SO + M
= 84 + 168 + 56
= 308 cc
e) Monitoring Peri Operatif
Keadaan selama operasi : posisi supine (terlentang), intubasi oral (tube no.6)
penyulit intubasi (-), lama anestesi 1 jam
8
9
RUANG PEMULIHAN
1. Masuk Jam : 10.15 WIB
2. Keadaan Umum : Kesadaran: CM, GCS: 15
3. Tanda vital : TD : 100/70 mmHg
Nadi : 73 x/menit
RR : 20 x/menit
4. Pernafasan : Baik
5. Scoring Alderate:
Aktifitas :2
Pernafasan :2
Warna Kulit :2
Sirkulasi :2
Kesadaran :2
Jumlah : 10
Penyulit : (-)
Pindah/Pulang jam : Ke Bangsal THT-Mata
10
Instruksi Post Operasi:
Monitoring tanda-tanda vital, keadaan umum, dan perdarahan /15 menit
Minum makan bertahap setelah sadar penuh
Tidur miring tanpa bantal
Terapi dan instruksi selanjutnya sesuai dengan operator (dr.Ismelia
Fadlan,Sp.THT)
11
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
4.1 Tonsilitis
4.1.1 Definisi
Tonsilitis adalah peradangan pada tonsila palatina yang disebabkan oleh kuman
streptococcus beta hemolyticus, streptococcus viridons dan streptococcus pygenes,
namun dapat juga disebabkan bakteri jenis lain atau oleh virus.1
4.1.3 Diagnosis
Diagnosis berdasarkan gejala klinik dan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. Dengan bantuan spatel, lidah ditekan untuk melihat keadaan tonsil, yaitu
warnanya, besarnya, muara kripte apakah melebar dan ada detritus, nyeri tekan, arkus
anterior hiperemis atau tidak. 1,2,3
12
Gambar.3.2 Ukuran Tonsil
3.1.4 Penatalaksanaan1-4
a. Penatalaksanaan tonsilitis kronik
Terapi lokal untuk hygiene mulut dengan obat kumur / hisap.
Terapi radikal dengan tonsilektomi bila terapi medikamentosa atau terapi
konservatif tidak berhasil.
13
b. Bila terapi medikamentosa tidak berhasil dianjurkan terapi radikal dengan
tonsilektomi. Indikasi tonsilektomi
Relatif
Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil pertahun dengan terapi
antibiotik adekuat.
Halitosis (nafas bau) akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan
pemberian terapi medis.
Tonsilitis kronis atau berulang pada linier Streptokokkus yang tidak
membaik dengan pemberian antibiotik
Mutlak (Absolut)
Pembengkakan tonsil menyebabkan obstruksi saluran napas, disfagia
berat, gangguan tidur dan komplikasi kardiopulmonal.
Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan medis dan
drainase.
Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam
Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan tempat yang
dicurigai limfoma (keganasan)
Hipertropi tonsil atau adenoid dengan sindrom apnoe waktu tidur.
Infeksi
o Infeksi telinga tengah berulang
o Rinitis dan sinusitis yang kronis
o Peritonsiler abses
14
4.2.2 Jenis Anestetik Umum
Anestesi umum dibagi menurut bentuk fisiknya terdiri dari 2 cara, yaitu ; 6
1. Anestetik Inhalasi
Dalam dunia modern, anastetik inhalasi yang umum digunakan untuk praktek
klinik ialah N2O, halotan, enfluran, isofluran, desfluran, dan sevofluran.7 Agen ini dapat
diberikan dan diserap secara terkontrol dan cepat, karena diserap serta dikeluarkan
melalui paru-paru (alveoli).6
b. Halotan
Pada nafas spontan rumatan anestesia sekitar 1-2 vol % dan pada nafas kendali
sekitar 0,5 1 vol % yang tentunya disesuaikan dengan respon klinis pasien. Halotan
menyebbakan vasodilatasi serebral, meninggikan aliran darah otak yang sulit
dikendalikan dengan teknik anestesia hiperventilasi, sehingga tidak disukai untuk bedah
otak.7 Kebalikan dari N2O, halotan analgesinya lemah, anestesinya kuat, sehingga
kombinasi keduanya ideal sepanjang tidak ada kontraindikasi.7
c. Enfluran
Induksi dan pulih anestesi lebih cepat dibandingkan halotan. Efek depresi nafas
lebih kuat, depresi terhadap sirkulasi lebih kuat, dan lebih iritatif dibandingkan halotan,
tetapi jarang menimbulkan aritmia. Efek relaksasi terhadap otot lurik lebih baik
dibandingkan halotan. 7
15
d. Isofluran
Dapat menurunkan laju metabolisme otak terhadap oksigen, tetapi meninggikan
aliran darah otak dan tekanan intrakranial, namun hal ini dapat dikurangi dengan teknik
7
anestesia hiperventilasi, sehingga banyak digunakan untuk bedah otak. Efek terhadap
depresi jantung dan curah jantung minimal, sehingga digemari untuk anesthesia teknik
hipotensi dan banyak digunakan pada pasien dengan gangguan koroner.
e. Sevofluran
Merupakan halogenasi eter. Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat
dibandingkan dengan isofluran. Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan
nafas, sehingga digemari untuk induksi anestesia inhalasi di samping halotan. Efek
terhadap kardiovaskular cukup stabil, jarang menyebbakan aritmia. Efek terhadap sistem
saraf pusat sama seperti isofluran dan belum ada laporan toksik terhadap hepar. Setelah
pemberian dihentikan sevofluran cepat dikeluarkan oleh badan. Belum ada laporan yang
membahayakan terhadap tubuh manusia. 7
16
Untuk anestesia intravena total biasanya menggunakan propofol.7 Anestesi
intravena ideal membutuhkan kriteria yang sulit dicapai oleh hanya satu macam obat
yaitu larut dalam air dan tidak iritasi terhadap jaringan, mula kerja cepat, lama kerja
pendek, cepat menghasilkan efek hypnosis, mempunyai efek analgesia, disertai oleh
amnesia pascaanestesia, dampak yang tidak baik mudah dihilangkan oleh obat
antagonisnya, cepat dieliminasi dari tubuh, tidak atau sedikit mendepresi fungsi respirasi
dan kardiovaskuler, pengaruh farmakokinetik tidak tergantung pada disfungsi organ,
tanpa efek samping (mual muntah), menghasilkan pemulihan yang cepat. Untuk
mencapai tujuan di atas, kita dapat menggunakan kombinasi beberapa obat atau cara
anestesi lain. Kombinasi beberapa obat mungkin akan saling berpotensi atau efek salah
satu obat dapat menutupi pengaruh obat yang lain.6
a. Barbiturate
Contoh di sini ialah pentothal atau sodium thiopenthon ialah obat anestesi
intravena yang bekerja cepat (short acting).6 Bekerja menghilangkan kesadaran dengan
blockade sistem sirkulasi (perangsangan) di formasio retikularis. Barbiturate
menghambat pusat pernafasan di medula oblongata. Tidal volume menurun dan
kecepatan nafas meninggi dihambat oleh barbiturate tetapi tonus vascular meninggi dan
kebutuhan oksigen badan berkurang, curah jantung sedikit menurun. Barbiturate tidak
menimbulkan sensitisasi jantung terhadap katekolamin. 6
b. Propofol
Propofol dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu bersifat
7
isotonik dengan kepekatan 1% (1 ml=10 mg). Onset cepat, lama kerja pendek. Efek
kerja dicapai dalam 15-45 detik. Efek puncak 1 menit, lama aksi 5-10 menit. Akumulasi
minimal, cepat dimetabolisme, pemulihan cepat.10
Suntikan intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga beberapa detik
7
sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2 mg/kg intravena. Efek hipnotik 1,8 kali
pentothal. Depresi jalan nafas lebih besar dibandingkan pentothal. Efek anti emetik
positif. Mekanisme kerja diduga menghasilkan efek sedatif hipnotik melalui interaksi
dengan GABA (gamma-amino butyric acid), neurotransmitter inhibitori utama pada
SSP.10
17
Propofol menyebabkan penurunan resistensi vaskuler sistemik dan juga tekanan
darah. Relaksasi otot polos disebabkan oleh inhibisi simpatik. Efek negative inotropik
disebabkan inhibisi uptake kalsium intraseluler. Tergantung dosis, propofol
dapat menyebabkan depresi nafas dan apnoe sementara pada beberapa pasien setelah
induksi IV. Pemberian opioid preoperatif dapat meningkatkan depresi nafas. Dapat
menurunkan volume tidal dan frekuensi nafas serta dilatasi bronkus. Efek pada SSP dapat
menurunkan metabolisme O2 di otak, aliran darah serebral, dan tekanan intrakranial.10
Dosis bolus untuk induksi 2-2,5 mg/kg, dosis rumatan untuk anestesi intravena
total 4-12 mg/kg/jam dan dosis sedasi untuk perawatan intensif 0,2 mg/kg. Pengenceran
propofol hanya boleh dengan dekstrose 5%. Pada manula dosis harus dikurangi, pada
anak < 3 tahun dan pada wanita hamil tidak dianjurkan. 7
c. Ketamin
Ketamine adalah derivat fensiklidin yang menghasilkan anestesi disosiatif yang
menyerupai keadaan kataleptik dimana mata pasien tetap terbuka dengan nistagmus
lambat. Pada saat yang sama pasien tidak dapat berkomunikasi, terjadi amnesia dan
analgesia yang sangat baik. Ketamin meningkatkan tekanan darah sistolik 23% dari
baseline, denyut jantung meningkat, kadang-kadang timbul aritmia, serta menimbulkan
hipersekresi.
Mula kerja 30 detik pada IV, 2-4 menit pada IM. Lama kerja pada IV 10-20
menit, tetapi memerlukan waktu 60-90 menit untuk berorientasi penuh. Waktu paruh 7-
11 menit. Kadar plasma tertinggi pada IV 1 menit, pada IM 5 menit.6 Dosis bolus untuk
induksi intravena ialah 1-2 mg/kg dan untuk intramuscular 3-10 mg. Efek analgesik
dicapai dengan dosis sub anestetik 0,2-0,5 mg/kg IV. Ketamin dikemas dalam cairan
bening kepekatan 1% (1 ml= 10mg), 5% (1 ml = 50 mg) dan 10% (1 ml = 100 mg). 7
d. Opioid
Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil) untuk induksi diberikan dosis tinggi.
Opioid tidak mengganggu kardiovaskular, sehingga banyak digunakan untuk induksi
pasien dengan kelainan jantung. Untuk anestesia opioid digunakan fentanil dosis induksi
20-50 mg/kg dilanjutkan dengan dosis rumatan 0,3-1 mg/kg/menit. 7
18
e. Benzodiazepin
Benzodiazepin yang digunakan sebagai anestetik ialah diazepam, lorazepam, dan
midazolam. Benzodiazepine juga digunakan untuk medikasi pra-anestetik (sebagai
neurolepanalgesia) dan untuk mengatasi konvulsi yang disebabkan oleh anestetik lokal
dalam anestetik regional.5 Digunakan untuk induksi anesthesia, kelompok obat ini
menyebabkan tidur, mengurangi cemas, dan menimbulkan amnesia anterograd (setelah
pemberian midazolam IM, IV), tetapi tidak berefek analgesic. Efek pada SSP ini dapat
diatasi dengan antagonisnya, flumazenil.6
1.) Midazolam
Obat induksi jangka pendek atau premedikasi, pemeliharaan anestesi,
bekerja cepat dan karena transformasi metaboliknya cepat dan lama kerjanya
singkat, bekerja kuat menimbulkan sedasi dan induksi tidur. Kemasan suntik 1
mg/ml, 5 mg/ml. Mula kerja 30 detik-1 menit IV, 15 menit IM. Efek puncak pada
IV 3-5 menit, IM 15-30 menit. Lama kerja 15-80 menit IV/IM. Konsentrasi
plasma maksimum dicapai dalam 30 menit.
Midazolam menyebabkan tekanan darah menurun, lebih rendah dari
diazepam, penurunan sistolik maksimal 15%, yang disebabkan oleh vasodilatasi
perifer. Efek depresi pernafasan minimal. Juga menurunkan metabolisme O2 di
otak dan aliran darah ke otak. Dosis pre medikasi 0,03-0,04 mg/kg IV, sedasi 0,5-
5 mg/kg IV, induksi 0,1-0,4 mg/kgbb IV.10
2.) Diazepam
Adalah obat yang berkhasiat ansiolitik, sedatif, relaksasi otot, antikonvulsi
dan amnesia.. Waktu paruh 20-50 jam, tergantung fungsi liver.
Dibandingkan dengan barbiturate, efek anestesi diazepam kurang memuaskan
karena mula kerjanya lambat dan masa pemulihannya lama.10
Diazepam digunakan untuk berbagai macam intervensi (menimbulkan
sedasi basal sebelum dilakukan pengobatan utama), meringankan kecemasan,
anxietas atau stress akut, dan prosedur seperti berkurangnya ingatan, juga untuk
induksi anestesia terutama pada penderita dengan penyakit kardiovaskular.
19
Diazepam juga digunakan untuk medikasi preanestetik dan untuk mengatasi
konvulsi. Menyebabkan tidur dan penurunan kesadaran yang disertai nistagmus
dan bicara lambat, tetapi tidak berefek analgesik.6 Dosis premedikasi 10-
20 mg IM, induksi 0,3-0,6 mg/kgBB IV. Anak-anak 0,1-0,2 mg/kgBB 1 jam
sebelum induksi. Dewasa dan remaja 2-20 mg/kg IM/IV tergantung indikasi dan
beratnya gejala. Kemasan suntik 5 mg/ml. Injeksi dilakukan secara lambat 0,5-1
ml/menit, karena pemberian terlalu cepat dapat menimbulkan apnoe. 10
1. Opioid
Opioid ialah semua zat baik sintetik atau natural yang dapat berikatan dengann
reseptor morfin. Mekanisme kerja opioid yakni, reseptor opioid sebenarnya tersebar luas
di seluruh jaringan sistem saraf pusat, tetapi lebih terkonsentrasi di otak tengah yaitu di
sistem limbic, thalamus, hipotalamus, korpus striatum, sistem aktivasi reticular dan di
korda spinalis yaitu di substansia gelatinosa dan dijumpai pula di pleksus saraf usus.
Klasifikasi Opioid
Dalam klinik opioid digolongkan menjadi lemah (kodein) dan kuat (morfin),
tetapi penggolongan ini kurang popular. Penggolongan lain menjadi natural (morfin,
kodein, papaverin, dan tebain), semisintetik (heroin, dihidromorfin/morfinon, derivate
tebain) dan sintetik (petidin, fentanil, alfentanil, sufentanil dan remifentanil).
20
a. Morfin
Meskipun morfin dapat dibuat secara sintetik, tetapi secara komersial lebih
mudah dan lebih menguntungkan dibuat dari bahan getah papaver somniferum.
Morfin paling mudah larut dalam air dibandingkan golongan opioid lain dan kerja
analgesinya cukup panjang (long acting).
b. Petidin
Petidin (meperidin, demerol) adalah zat sintetik yang formulanya sangat
berbeda dengan morfin, tetapi mempunyai efek klinik dan efek samping yang
mendekati sama. Perbedaannya dengan morfin sebagai berikut:
1. Petidin lebih larut dalam lemak dibandingkan dengan morfin yang lebih larut
dalam air.
2. Metabolism oleh hepar lebih cepat dan menghasilkan normeperidin, asam
meperidinat dan asam normeperidinat. Normeperidin ialah metabolit yang
masih aktif memiliki sifat konvulsi dua kali lipat petidin, tetapi efek
analgesinya sudah berkurang 50%. Kurang dari 10% petidin bentuk asli
ditemukan dalam urin.
3. Petidin bersifat seperti atropine menyebabkan kekeringan mulut, kekaburan
pandangan dan takikardia.
4. Seperti morfin ia menyebabkan konstipasi, tetapi efek terhadap sfingter Oddi
lebih ringan.
5. Petidin cukup efektif untuk menghilangkan gemetaran pasca bedah yang tak
ada hubungannya dengan hipotermi dengan dosis 20-25 mg iv pada dewasa.
Morfin tidak.
6. Lama kerja petidin lebih pendek dibandingkan morfin. Dosis petidin
intramuscular 1-2 mg/kgBB (morfin 10 x lebih kuat) dapat diulang tiap 3-4
jam. Dosis intravena 0,2-0,5 mg/kgBB. Petidin subkutan tidak dianjurkan
karena iritasi. Rumus bangun menyerupai lidokain, sehingga dapat digunakan
untuk analgesia spinal pada pembedahan dengan dosis 1-2 mg/kg BB.
21
c. Fentanil
Fentanil ialah zat sintetik seperti petidin dengan kekuatan 100xmorfin.
Lebih larut dalam lemak dibandingkan petidin dan menembus sawar jaringan
dengan mudah. Setelah suntikan intravena ambilan dan distribusinya secara
kualitatif hamper sama dengan morfin, tetapi fraksi terbesar dirusak paru ketika
pertama melewatinya. Dimetabolisiir oleh hati dengan N-dealkilasi dan
hidroksilasi dan sisa metabolismenya dikeluarkan lewat urin. Efek depresi
napasnya lebih lama disbanding efek analgesinya.
Dosis 1-3 ug/kgBB analgesinya kira-kira hanya berlangsung 30 menit,
karena itu hanya dipergunakan untuk anestesi pembedahan dan tidak untuk pasca
bedah. Dosis besar 50-15- ug/kgBB digunakan untuk induksi anesthesia dan
pemeliharaan anesthesia dengan kombinasi bensodiasepin dan anestetik kekakuan
otot punggung yang sebenarnya dapat dicegah dengan pelumpuh otot.
d. Sufentanil
Sifat sufentanil kira-kira sama dengan fentanil. Efek pulihnya lebih cepat
dari fentanil. Kekuatan analgesinya kira-kira 5-10 kali fentanil. Dosisnya 0,1-0,3
mg/kgBB.
e. Alfentanil
Kekuatan analgesinya 1/5-1/3 fentanil. Insiden mual-muntahnya sangat
besar. Mula kerjanya cepat. Dosis analegesinya 10-20 ug/kgBB.
f. Tramadol
Tramadol (tramal) adalah analgetik sentral dengan afinitas rendah pada
reseptor mu dan kelamahan analgesinya 10-20% disbanding morfin. Tramadol
dapat diberikan dengan dosis maksimal 400 mg per hari.
22
anesthesia beresiko depresi napas dan depresi jantung, blockade saraf terbatas
penggunaannya. Anesthesia tidak perlu dalam, hanya sekedar supaya tidak sadar,
analgesinya dapat diberikan opioid dosis tinggi dan otot lurik dapat relaksasi akibat
pemberian pelumpuh otot.
Setiap serabut saraf motorik mensarafi beberapa serabut otot lurik dan sambungan
ujung saraf dengan otot lurik disebut sambungan saraf-otot. Pelumpuh otot disebut juga
sebagai obat blockade neuro-muskular. Akibat rangsang terjadi depolarisasi pada
terminal saraf. Influks ion kalsium memicu keluarnya asetil-kolin sebagai transmitter
saraf. Asetilkolin saraf akan menyeberang dan melekat pada reseptor nikotinik-kolinergik
di otot. Kalau jumlahnya cukup banyak, maka akan terjadi depolarisasi dan lorong ion
tebuka, ion natrium, dan kalsium masuk dan ion kalium keluar, terjadilah kontraksi otot.
Asetilkolin cepat dihidrolisa oleh asetilkolin-esterase (kolin-esterase khusus atau murni)
menjadi asetil dan kolin, sehingga lorong tertutup kembali terjadilah repolarisasi. 7
23
5. Peningkatan kadar kalium plasma.
6. Aritmia jantung
Berupa bradikardi atau ventricular premature beat.
7. Salviasi
Akibat efek muskarinik.
8. Alergi, anafilaksis
Akibat efek muskarinik.
24
Tanda-tanda kekurangan pelumpuh otot7
1. Cegukan (hiccup).
2. Dinding perut kaku.
3. Ada tahanan pada inflasi paru.
25
- ASA I : Pasien dalam keadaan normal dan sehat.
- ASA II : Pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang baik karena
penyakit bedah maupun penyakit lain. Contohnya : pasien batu ureter dengan
hipertensi sedang terkontrol, atau pasien appendisitis akut dengan lekositosis dan
febris.
- ASA III : Pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik berat yang diakibatkan
karena berbagai penyebab. Contohnya: pasien appendisitis perforasi dengan
septisemia, atau pasien ileus obstrukstif dengan iskemia miokardium.
- ASA IV : Pasien dengan kelainan sistemik berat yang secara langsung
mengancam kehidupannya. Contohnya : Pasien dengan syok atau dekompensasi
kordis.
- ASA V : Pasien tak diharapkan hidup setelah 24 jam walaupun dioperasi atau
tidak. Contohnya : pasien tua dengan perdarahan basis kranii dan syok hemoragik
karena rupture hepatik.
- Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan mencantumkan
tanda darurat ( E = EMERGENCY ), misalnya ASA IE atau IIE.
II. Premedikasi7
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anesthesia dengan
tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan, dan bangun dari anesthesia diantaranya:
1. Meredakan kecemasan dan ketakutan.
26
2. Memperlancar induksi anesthesia.
3. Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus.
4. Meminimalkan jumlah obat anestetik.
5. Mengurangi mual-muntah pasca bedah.
6. Menciptakan amnesia.
7. Mengurangi isi cairan lambung.
8. Mengurangi reflex yang membahayakan.
Kecemasan merupakan reaksi alami, jika seseorang dihadapkan pada situasi yang
tidak pasti. Membina hubungan baik dengan pasien dapan membangun kepercayaan dan
menentramkan hati pasien. Obat pereda kecemasan bisa digunakan diazepam peroral 10-
15 mg beberapa jam sebelum induksi anesthesia. Jika disertai nyeri karena penyakitnya
dapat diberikan opioid misalnya petidin 50 mg intramuscular. Cairan lambung 25 ml
dengan pH 2,5 dapat menyebabkan pneumonitis asam. Untuk meminimalkan kejadian
diatas dapat diberikan antagonis reseptor H2 histamin misalnya oral simetidin 600 mg
atau oral ranitidine (zantac) 150 mg 1-2 jam sebelum jadwal operasi.
Untuk mengurangi mual-muntah pasca bedah sering ditambahkan premedikasi
suntikan intramuscular untuk dewasa droperidol 2,5-5 mg atau ondansetron 2-4 mg
(zofran,narfoz).
27
kecepatan 30-60 detik. Selama induksi anesthesia, pernapasan pasien, nadi, dan
tekanan darah harus diawasi dan selalu diberikan oksigen. Induksi cara ini dikerjakan
pada pasien yang kooperatif. Induksi intravena dapat dikerjakan secara full dose
maupun sleeping dose. Induksi intravena sleeping dose yaitu pemberian obat induksi
dengan dosis tertentu sampai pasien tertidur. Sleeping dose ini dari segi takarannya di
bawah dari full dose ataupun maximal dose. Induksi sleeping dose dilakukan terhadap
pasien yang kondisi fisiknya lemah (geriatri, pasien pre-syok).
2) Induksi Inhalasi
Induksi inhalasi hanya dikerjakan dengan halotan (fluotan) atau sevofluran. Cara
induksi ini dikerjakan pada bayi atau anak yang belum terpasang jalur vena atau
dewasa yang takut disuntik. Induksi halotan memerlukan gas pendorong O2 atau
campuran N2O dan O2. Induksi dimulai dengan aliran O2 > 4 liter/menit atau
campuran N20 : O2 = 3 : 1 aliran > 4 liter/menit, dimulai dengan halotan 0,5 vol %
sampai konsentrasi yang dibutuhkan. Kalau pasien batuk konsentrasi halotan
diturunkan untuk kemudian kalau sudah tenang dinaikkan lagi sampai konsentrasi
yang diperlukan.
Induksi dengan sevofluran lebih disenangi karena pasien jarang batuk. Walaupun
langsung diberikan dengan konsentrasi tinggi sampai 8 vol %. Seperti dengan halotan
konsentrasi dipertahankan sesuai kebutuhan. Induksi dengan enfluran (etran),
isofluran (foran, aeran) atau desfluran jarang dilakukan, karena pasien sering batuk
dan waktu induksi menjadi lama.
Obat yang digunakan untuk induksi inhalasi adalah obat-obat yang memiliki sifat-
sifat : tidak berbau menyengat / merangsang, baunya enak, cepat membuat pasien
tertidur.
3) Induksi Intramuskular
Induksi intramuskular biasanya menggunakan injeksi ketamin (ketalar) yang
dapat diberikan secara intramuscular dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5
menit pasien tidur.
28
4) Induksi per rectal
Cara ini hanya untuk anak atau bayi yang menggunakan tiopental atau
midazolam.
Tanda-tanda induksi berhasil adalah hilangnya refleks bulu mata. Jika bulu mata
disentuh, tidak ada gerakan pada kelopak mata. Induksi, pemeliharaan dan pulih dari
anestesia umum pada eter lambat. Sehingga stadium anestesia yang disusun oleh Guedel
pasien napas spontan dapat terlihat jelas. 3
Stadium I : Analgesia
Mulai induksi sampai mulai tidak sadar.
Stadium II : Eksitasi, delirium
Mulai tidak sadar sampai mulai napas teratur otomatis. Pada stadium ini pasien
batuk, mual-muntah, henti napas dan lain-lainnya.
Stadium III : Anestesia bedah
Mulai napas otomatis sampai mulai napas berhenti.
Plana 1. Mulai napas otomatis sampai gerak bola mata berhenti.
Plana 2. Mulai gerak bola mata berhenti sampai napas torakal lemah.
Plana 3. Mulai napas torakal lemah sampai napas torakal berhenti.
Plana 4. Mulai napas torakal berhenti sampai napas diafragma berhenti.
Stadium IV : Intoksikasi
Mulai paralisis diafragma sampai henti jantung atau meninggal.
29
Refleks bulu mata
Refleks bulu mata sudah disinggung tadi di bagian stadium anestesi. Apabila saat
dicek refleks bulu mata (-) maka pasien tersebut sudah pada stadium 1.
Prosedur :
Siapkan peralatan dan kelengkapan obat anestetik
Pasang infuse (untuk memasukan obat anestesi)
Premedikasi + / - (apabila pasien tidak tenang bisa diberikan obat penenang) efek
sedasi/anti-anxiety :benzodiazepine; analgesia: opioid, non opioid, dll
Induksi
Pemeliharaan
30
Indikasi
Operasi lama
Sulit mempertahankan airway (operasi di bagian leher dan kepala)
Prosedur :
Sama dengan diatas, hanya ada tambahan obat (pelumpuh otot/suksinil dgn durasi
singkat)
Intubasi setelah induksi dan suksinil
Pemeliharaan
31
tidak menimbulkan nyeri dan relaksasi otot lurik yang cukup. Rumatan intravena
misalnya dengan menggunakan opioid dosis tinggi, fentanil 10-50 ug/kgBB.
Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur dengan analgesia cukup, sehingga
tinggal memberikan relaksasi pelumpuh otot. Rumatan intravena dapat juga
menggunakan opioid dosis biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan infuse propofol 4-12
mg/kgBB/jam. Bedah lama dengan anesthesia total intravena menggunakan opioid,
pelumpuh otot dan ventilator. Untuk mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan
udara+O2 atau N20+O2.
Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan O2 3:1 ditambah
halotan 0,5-2 vol% atau enfluran 2-4 vol% atau isofluran 2-4 vol% atau sovofluran 2-4
vol% bergantung apakah pasien bernapas spontan, dibantu (assisted) atau dikendalikan
(controlled).
32
4.2.9 Pengakhiran Anestesia
Pengakhiran pemberian anesthesia dilakukan sesaat sebelum operasi berakhir
(pada penggunaan remifentanil, anestesi baru diakhiri setelah kulit dijahit).
FiO2 100% dipasang selama beberapa menit sebelum rencana ekstubasi.
Penyedotan secret yang terkumpul di dalam mulut dan faring.
Ekstubasi, bila pernapasan spontan mencukupi dan reflex perlindungan telah
kembali (antagonisasi dari relaksasi otot).
Pasien yang stabil secara hemodinamik dan respiratorik diletakkan di dalam
ruangan pasca-bedah.
4.2.10 Kontra Indikasi Anestesi Umum
Tergantung efek farmakologi pada organ yang mengalami kelainan (harus
hindarkan pemakaian obat atau dosis dikurangi/diturunkan).
Hepar : obat hepatotoksik/obat yang toksis terhadap hepar.
Jantung : obat-obat yang mendepresi miokard/menurunkan aliran darah
koroner.
Ginjal : obat yang diekskresi di ginjal.
Paru : obat yang merangsang sekresi paru/bronkus
Endokrin : hindari obat yang meningkatkan kadar gula darah/ hindarkan
pemakaian obat yang merangsang susunan saraf simpatis
pada diabetes penyakit basedow, karena bisa menyebabkan peninggian
gula darah.11
33
a. Komplikasi Kardiovaskular
Hipotensi : tekanan systole kurang dari 70mmHg atau turun 25% dari
sebelumnya.
Hipertensi : umumnya tekanan darah dapat meningkat pada periode induksi dan
pemulihan anestesia. Komplikasi ini dapat membahayakan khususnya pada
penyakit jantung, karena jantung akan bekerja keras dengan kebutuhan O2
miokard yang meningkat, bila tak tercukupi dapat timbul iskemia atau infark
miokard. Namun bila hipertensi karena tidak adekuat dapat dihilangkan dengan
menambah dosis anestetika.
Aritmia Jantung : anestesi ringan yang disertai maniplasi operasi dapat
merangsang saraf simpatiks, dapat menyebabkan aritmia. Bradikardia yang
terjadi dapat diobati dengan atropine
Payah Jantung : mungkin terjadi bila pasien mendapat cairan IV berlebihan.
b. Komplikasi Respirasi
Obstruksi jalan nafas
Batuk
Cekukan (hiccup)
Intubasi endobronkial
Apnoe
Atelektasis
Pneumotoraks
Muntah dan regurgitas
c. Komplikasi Mata
Laserasi kornea, menekan bola mata terlalu kuat
d. Komplikasi Neurologi
Konvulsi, terlambat sadar, cedera saraf tepi (perifer)
e. Perubahan Cairan Tubuh
Hipovolemia, Hipervolemia
f. Komplikasi Lain-Lain
Menggigil, gelisah setelah anestesi, mimpi buruk, sadar selama operasi, kenaikan suhu
tubuh.
34
BAB IV
PEMBAHASAN
Pembahasan :
Pasien ini tergolong kepada ASA I, sebab pasien tidak memiliki keluhan selain
keluhan saat ini. Pasien sehat organik
4.2 Premedikasi
Premedikasi adalah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi dilakukan,
dengan tujuan melancarkan induksi, rumatan, dan ketika pasien bangun dari anestesi.
Tujuan Premedikasi sangat beragaman, diantaranya :
- Mengurangi kecemasan dan ketakutan
- Memperlancar induksi dan anesthesia
- Mengurangi sekresi ludah dan broncus
- Meminimalkan jumlah obat anesthetic
- Mengurangi mual dan muntah pada pasca bedah
- Menciptakan amnesia
- Mengurangi isi cairan lambung
- Mengurangi reflek yang membahayakan
35
Pembahasan :
Pada pasien ini diberikan Ranitidine 50 mg, tujuannya adalah untuk mencegah
pneumonitis asam, sebab cairan lambung bersifat asam dengan PH 2,5 dapat
menyebabkan keadaan tersebut. Maka dipilihlah antagonis reseptor H2 histamin.
Pada pasien ini juga diberikan ondacentron 4 mg untuk mengurangi mual dan
muntah pasca pembedahan.
Induksi Intravena :
Induksi intravena hendaknya dikerjakan dengan hari-hati, perlahan-lahan, lembut
dan terkendali. Obat induksi bolus disuntikan dengan dalam kecepatan antara 30-60
detik.selama induksi anestesia, pernapasan pasien, nadi, dan tekanan darah harus
diawasi dan selalu diberi oksigen.
Fentanil ialah zat sintetik seperti petidin dengan kekuatan 100xmorfin. Lebih larut
dalam lemak dibandingkan petidin dan menembus sawar jaringan dengan mudah.
Setelah suntikan intravena ambilan dan distribusinya secara kualitatif hamper sama
36
dengan morfin, tetapi fraksi terbesar dirusak paru ketika pertama melewatinya.
Dimetabolisiir oleh hati dengan N-dealkilasi dan hidroksilasi dan sisa
metabolismenya dikeluarkan lewat urin. Efek depresi napasnya lebih lama disbanding
efek analgesinya.
Dosis 1-3 ug/kgBB analgesinya kira-kira hanya berlangsung 30 menit, karena itu
hanya dipergunakan untuk anestesi pembedahan dan tidak untuk pasca bedah. Dosis
besar 50-15- ug/kgBB digunakan untuk induksi anesthesia dan pemeliharaan
anesthesia dengan kombinasi bensodiasepin dan anestetik kekakuan otot punggung
yang sebenarnya dapat dicegah dengan pelumpuh otot.
Propofol dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu bersifat
isotonik dengan kepekatan 1% (1 ml=10 mg). 7 Onset cepat, lama kerja pendek. Efek
kerja dicapai dalam 15-45 detik. Efek puncak 1 menit, lama aksi 5-10 menit.
Akumulasi minimal, cepat dimetabolisme, pemulihan cepat.10
Suntikan intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga beberapa detik
7
sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2 mg/kg intravena. Efek hipnotik 1,8 kali
pentothal. Depresi jalan nafas lebih besar dibandingkan pentothal. Efek anti emetik
positif. Mekanisme kerja diduga menghasilkan efek sedatif hipnotik melalui interaksi
dengan GABA (gamma-amino butyric acid), neurotransmitter inhibitori utama pada
SSP.10
Propofol menyebabkan penurunan resistensi vaskuler sistemik dan juga tekanan
darah. Relaksasi otot polos disebabkan oleh inhibisi simpatik. Efek negative inotropik
disebabkan inhibisi uptake kalsium intraseluler. Tergantung dosis, propofol dapat
menyebabkan depresi nafas dan apnoe sementara pada beberapa pasien setelah
induksi IV. Pemberian opioid preoperatif dapat meningkatkan depresi nafas. Dapat
menurunkan volume tidal dan frekuensi nafas serta dilatasi bronkus. Efek pada SSP
dapat menurunkan metabolisme O2 di otak, aliran darah serebral, dan tekanan
intrakranial.10
Dosis bolus untuk induksi 2-2,5 mg/kg, dosis rumatan untuk anestesi intravena
total 4-12 mg/kg/jam dan dosis sedasi untuk perawatan intensif 0,2 mg/kg.
Pengenceran propofol hanya boleh dengan dekstrose 5%. Pada manula dosis harus
dikurangi, pada anak < 3 tahun dan pada wanita hamil tidak dianjurkan. 7
37
4.4 RUMATAN ANESTESI
Rumatan anestesi dapat dikerjakan secara intravena, inhalasi dan campuran keduanya.
Rumatan anestesia bertujuan menciptakan keadaan hypnotis, anelgesia cukup dan
relaksasi otot lurik yang baik.
Pembahasan :
Pada pasien ini rumatan anestesi dipilh secara inhalasi, yaitu menggunakan N2O : O2
dengan 1 :1 dan ditambah isoflurance 1 1,5 vol%.
38
Selama Extubasi :
- Spasme laring
- Aspirasi Gangguan fonasii
- Edema glottis-subglotis
- Infeksi laring, faring, trakea.
Kriteria Malampati :
Gradasi Pilar Faring Uvula Palatum Mole
1 + + +
2 - + +
3 - - +
4 - - -
Pembahasan :
Pada pasien ini dilakukan intubasi karena intubasi dapat menjaga potensi jalan
nafas oleh sebab apapun. Kelainan anatomi, bedah khusus, bedah posisi khusus,
pembersihan secret jalan nafas, dan lain-lain. Mempermudah ventilasi positif dan
oksigenasi, mencegah terhadap aspirasi dan regurgitasi.
4.6 EKSTUBASI
- Ekstubasi ditunda sampai pasien benar-benar sadar, jika :
o Intubasi kembali akan menemukan kesulitan
o Adanya resiko Aspirasi
- Ekstubasi umumnya dikerjakan pada keadaan anestesi sudah ringan, dengan
catatan tidak akan terjadi spasme laring.
- Sebelum tindakan hendaknya rongga mulut, laring, faring dibersihkan dari
sekret dan cairan.
39
Pembahasan :
Pada pasien ini ekstubasi dilakukan ketika efek anestesi sudah ringan dan pasien
sudah mulai bernafas spontan. Tidak ditemukan kesulitan saat ekstubasi.
I =P+M+O
= 168 + 56 + 168
= 392 cc
II = P + M + O
= 84 + 56 + 168
= 308 cc/kgBB
III = P + M + O
= 84 + 56 + 168
= 308 cc/kgBB
40
BAB IV
KESIMPULAN
41
DAFTAR PUSTAKA
1. Soepardi AE, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti DR. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidumg Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi keenam. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI; 2008.
2. Jhon Jacob Ballenger, Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher, Jakarta,
Edisi 13, Jilid I, Cetakan I, 1994
3. Adam GL, Boeis Jr. LC, Higler PA, Boeis Fundamentals of Otolaryngology, Edisi 6,
WB Saunders, Philadelphia, 1989
4. Mansjoer Arif, dkk, Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1, Penerbit Media Aesculapius
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2001.
5. Dobson, M.B.,ed. Dharma A., Penuntun Praktis Anestesi. EGC, Jakarta , 1994
6. Ganiswara, Silistia G. Farmakologi dan Terapi (Basic Therapy Pharmacology). Alih
Bahasa: Bagian Farmakologi FKUI. Jakarta, 1995
7. Latief SA, dkk. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi Kedua. Bagian Anestesiologi
dan Terapi Intensif FKUI. Jakarta, 2010
8. Morgan GE, Mikhail MS. Clinical Anesthesiology. 4th ed. Appleton &
Lange.Stamford, 1996
9. Sabiston, DC. Buku Ajar Bedah Bagian 1. EGC, Jakarta, 1995
10. Soerasdi E., Satriyanto M.D., Susanto E. Buku Saku Obat-Obat Anesthesia Sehari
hari. Bandung, 2010
11. Werth, M. Pokok-Pokok Anestesi. EGC, Jakarta, 2010
42