CA Serviks

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

Karsinoma Leher Rahim (Karsinoma Serviks) atau biasa disebut kanker

serviks adalah tumor ganas yang tumbuh di dalam leher rahim atau serviks

(bagian terendah dari rahim yang menempel pada puncak vagina. 90 % dari

kanker serviks berasal dari sel skuamosa yang melapisi serviks dan 10% sisanya

berasal sel kelenjar penghasil lendir pada saluran servikal yang menuju ke dalam

rahim. Kanker serviks biasanya menyerang wanita berusia 35 55 tahun. Penyakit

ini berawal dari infeksi virus yang merangsang perubahan perilaku sel epitel

serviks.

Risiko terinfeksi virus HPV dan beberapa kondisi lain seperti perilaku

seksual, kontrasepsi, atau merokok merupakan faktor resiko terjadinya kanker

serviks. Mekanisme timbulnya kanker serviks ini merupakan suatu proses yang

kompleks dan sangat variasi hingga sulit untuk dipahami.

Insiden dan mortalitas kanker serviks di dunia menempati urutan kedua

setelah kanker payudara. Sementara itu, di negara berkembang masih menempati

urutan pertama sebagai penyebab kematian akibat kanker pada usia reproduktif.

Hampir 80% kasus berada di negara berkembang. Di Indonesia, kanker leher

rahim bahkan menduduki peringkat pertama. Sesungguhnya penyakit ini dapat

dicegah bila program skrining sitologi dan pelayanan kesehatan diperbaiki.

Diperkirakan setiap tahun dijumpai sekitar 500.000 penderita baru diseluruh dunia

dan umumnya terjadi di negara berkembang.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Menurut National Cancer Institute, kanker serviks adalah kanker yang

terbentuk di jaringan dari leher rahim (organ menghubungkan rahim dan

vagina). Biasanya kanker yang tumbuh lambat yang mungkin tidak memiliki

gejala tetapi dapat ditemukan dengan tes Pap teratur (suatu prosedur di mana

sel-sel yang dikerik dari leher rahim dan dilihat di bawah mikroskop). Kanker

serviks hampir selalu disebabkan oleh human papillomavirus (HPV)

B. Prevalensi dan Insidensi

Kanker serviks merupakan kanker terbanyak ketiga pada wanita di seluruh

dunia (Globocan, 2008). Pada tahun 2002, terdiagnosa lebih dari 493.200

kasus dan diperkirakan 273.500 wanita meninggal setiap tahunnya karena

penyakit ini. Pap smear telah mampu menurunkan insidensi dan mortalitas kanker

serviks, namun hanya sepertiga wanita yang mendapatkan screening (Perroy dan Kotz,

2010)
Diagram 1. Insidensi dan mortalitas kanker serviks di dunia (Globocam, 2008)

Tabel 1. Insidensi dan mortalitas kanker serviks di dunia (Globocan,

2008)
Insidensi kanker serviks meningkat sejak usia 25-34 tahun dan

menunjukkan puncaknya pada usia 45-54 tahun di Indonesia (Aziz, 2001).

Faktor risiko epidemiologis terbesar untuk kanker serviks yaitu

infeksi HPV, yang merupakan awal dari perkembangan neoplasi leher rahim.

HPV DNA ditemukan pada 99,7% dari seluruh karsinoma leher rahim. Tipe

HPV 16 ialah yang paling sering ditemukan pada jenis karsinoma sel

skuamosa dan tipe HPV 18 paling sering ditemukan pada adenokarsinoma.

Faktor risiko lain yang berkaitan ialah keadaan imunosupresi, infeksi HIV

atau memiliki riwayat terkena penyakit menular seksual, merokok, paritas

tinggi dan penggunaan kontrasepsi oral (American Cancer Society, 2011).

Estimasi terakhir yang dilakukan oleh American Cancer Society

untuk kanker serviks di Amerika Serikat pada tahun 2010 ialah, sekitar

12.200 kasus baru kanker serviks invasif terdiagnosa dan sekitar 4.210

wanita meninggal akibat kanker serviks (American Cancer Society, 2011).

Beberapa peneliti memperkirakan kanker serviks non invasif

(karsinoma insitu) terjadi kira-kira empat kali lipat dibanding kanker serviks

invasif. Kanker serviks cenderung terjadi pada usia paruh baya, sebagian besar

kasus ditemukan pada wanita dibawah 50 tahun. Kanker serviks jarang terjadi

pada wanita dengan usia kurang dari 20 tahun (American Cancer Society, 2011).

Kanker serviks di Amerika Serikat paling sering mengenai wanita ras

Hispanic, dengan rata-rata dua kali lipat dibanding wanita ras non-Hispanic,

sedangkan wanita ras Afrika-Amerika terserang kanker serviks 50% lebih sering
dibanding wanita ras kulit putih non-Hispanic (American Cancer Society,

2011).

Dalam sebuah artikel oleh Hexan Y.S et al menunjukan insidensi kanker

serviks diantara negara Asia Ocenia bervariasi dari yang paling rendah di

Australia dengan ASR (umur rata-rata yang distandarisasi) dari 4,9 per 100.000

wanita sampai yang paling tinggi 27 dan 27,4 di India dan Kamboja serta 28 di

Mongolia dan di Nepal menempati 32 per 100.000 wanita. Lebih jauh lagi,

ASR bervariasi antara berbagai negara terutama di negara besar seperti India

dan Cina. Sehingga, apabila kita melihat analisa dari tren waktu insidensi

penyakit, penelitian menggambarkan insidensi kanker serviks saat ini men

ingkat di negara Cina.

Diagram 2. Mortalitas dan Insidensi Kanker Serviks di Negara-negara


Asia
Oceania (Hextan, 2011)
C. PATOGENESIS

Petanda tumor atau kanker adalah pembelahan sel yang tidak dapat dikontrol

sehingga membentuk jaringan tumor. Mekanisme pembelahan sel yang terdiri dari

4 fase yaitu G1, S, G2 dan M harus dijaga dengan baik. Selama fase S, terjadi

replikasi DNA dan pada fase M terjadi pembelahan sel atau mitosis. Sedangkan

fase G (Gap) berada sebelum fase S (Sintesis) dan fase M (Mitosis). Dalam siklus

sel p53 dan pRb berperan penting, dimana p53 memiliki kemampuan untuk

mengadakan apoptosis dan pRb memiliki kontrol untuk proses proliferasi sel itu

sendiri (wiksjosastro, 2009).

Infeksi dimulai dari virus yang masuk kedalam sel melalui mikro abrasi

jaringan permukaan epitel, sehingga dimungkinkan virus masuk ke dalam sel

basal. Sel basal terutama sel stem terus membelah, bermigrasi mengisi sel bagian

atas, berdiferensiasi dan mensintesis keratin. Pada HPV yang menyebabkan

keganasan, protein yang berperan banyak adalah E6 dan E7.

Mekanisme utama protein E6 dan E7 dari HPV dalam proses perkembangan

kanker serviks adalah melalui interaksi dengan protein p53 dan retinoblastoma

(Rb). Protein E6 mengikat p 53 yang merupakan suatu gen supresor tumor

sehingga sel kehilangan kemampuan untuk mengadakan apoptosis. Sementara itu,

E7 berikatan dengan Rb yang juga merupakan suatu gen supresor tumor sehingga

sel kehilangan sistem kontrol untuk proses proliferasi sel itu sendiri. Protein E6

dan E7 pada HPV jenis yang resiko tinggi mempunyai daya ikat yang lebih besar

terhadap p53 dan protein Rb, jika dibandingkan dengan HPV yang tergolong

resiko rendah. Protein virus pada infeksi HPV mengambil alih perkembangan

siklus sel dan mengikuti deferensiasi sel (Setiawan, 2002).


Karsinoma serviks umumnya terbatas pada daerah panggul saja. Tergantung

dari kondisi immunologik tubuh penderita KIS akan berkembang menjadi mikro

invasif dengan menembus membrana basalis dengan kedalaman invasi <1mm dan

sel tumor masih belum terlihat dalam pembuluh limfa atau darah. Jika sel tumor

sudah terdapat >1mm dari membrana basalis, atau <1mm tetapi sudah tampak

dalam pembuluh limfa atau darah, maka prosesnya sudah invasif. Tumor mungkin

sudah menginfiltrasi stroma serviks, akan tetapi secara klinis belum tampak

sebagai karsinoma. Tumor yang demikian disebut sebagai ganas praklinik (tingkat

IB-occult). Sesudah tumor menjadi invasif, penyebaran secara limfogen melalui

kelenjar limfa regional dan secara perkontinuitatum (menjalar) menuju fornices

vagina, korpus uterus, rektum, dan kandung kemih, yang pada tingkat akhir

(terminal stage) dapat menimbulkan fistula rektum atau kandung kemih.

Penyebaran limfogen ke parametrium akan menuju kelenjar limfa regional melalui

ligamentum latum, kelenjar-kelenjar iliak, obturator, hipogastrika, prasakral,

praaorta, dan seterusnya secara teoritis dapat lanjut melalui trunkus limfatikus di

kanan dan vena subklavia di kiri mencapai paru-paru, hati , ginjal, tulang dan otak

(American cancer society, 2012).


(Sumber : American Cancer Society. 2012. Cervical Cancer. At lanta. American

Cancer Society).
Neoplasma ganas
(Ca Cervix)

pertumbuhan sel kanker tidak terkendali


infiltrasi sel kanker ke ureter
infiltrasi sel kanker ke jaringan sekitar

Obstruksi totalMenekan serabut


Infeksisaraf Sifat jaringan
dan nekrosis sel kanker yang mudah berdarah
(eksofilik)

Retrograde
coitus
i Perdarahan spontan
Nyer
Hidronefrosis Perdarahan kontak
Keputihan dan bau khas kanker
anemia
CRF
Peningkatan kebutuhan metabolisme se

Penurunan CO
Perubahan terhadap pola seksual Perfusi jar. tdk adekuat
Gangguan konsep diri
b uh
a n tu
b u tuh
ke
<d ari
i
tris
Nu
Kurang perawatan diri
Intoleransi aktivitas
Kelemahan fisik

(Sumber : American Cancer Society. 2012. Cervical Cancer. At lanta.

American Cancer Society)

Perjalanan penyakit kanker serviks dari pertama kali terinfeksi memerlukan

waktu sekitar 10-15 tahun. Oleh sebab itu kanker serviks biasanya ditemukan pada
wanita yang sudah berusia sekitar 40 tahun.Ada empat stadium kanker serviks

yaitu Stadium satu kanker masih terbatas pada serviks (IA dan IB), pada stadium

dua kanker meluas di serviks tetapi tidak ke dinding pinggul (IIA menjalar ke

vagina/liang senggama, IIB menjalar ke vagina dan rahim), pada stadium III

kanker menjalar ke vagina, dinding pinggul dan nodus limpa (IIIA menjalar ke

vagina,IIIB menjalar ke dinding pinggul, menghambat saluran kencing,

mengganggu fungsi ginjal dan menjalar ke nodus limpa), pada stadium empat

kanker menjalar ke kandung kencing, rektum, atau organ lain (IVA: Menjalar ke

kandung kencing, rectum, nodus limpa, IVB: Menjalar ke panggul and nodus

limpa panggul, perut, hati, sistem pencernaan, atau paru-paru ).6


Gambar. Perjalanan penyakit dan staging

D. Etiologi dan Faktor Resiko

Faktor risiko epidemiologis terbesar untuk kanker serviks yaitu

infeksi HPV, yang merupakan awal dari perkembangan neoplasi leher rahim.

HPV DNA ditemukan pada 99,7% dari seluruh karsinoma leher rahim. Tipe

HPV 16 ialah yang paling sering ditemukan pada jenis karsinoma sel

skuamosa dan tipe HPV 18 paling sering ditemukan pada adenokarsinoma.

Faktor risiko lain yang berkaitan ialah keadaan imunosupresi, infeksi HIV

atau memiliki riwayat terkena penyakit menular seksual, merokok, paritas

tinggi dan penggunaan kontrasepsi oral (Alan and Nathan, 2007).

1. Perilaku seksual

Banyak faktor yang disebut-sebut mempengaruhi terjadinya kanker

serviks. Telaah pada berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa


golongan wanita yang mulai melakukan hubungan seksual pada usia kurang dari

20 tahun atau mempunyai pasangan seksual yang berganti-ganti lebih beresiko

untuk menderita kanker serviks. Tinjauan kepustakaan mengenai etiologi

kanker serviks menunjukkan bahwa faktor resiko lain yang penting adalah

hubungan seksual suami dengan wanita tuna susila (WTS) dan dari sumber itu

membawa penyebab kanker (karsinogen) kepada istrinya. Data epidemiologi

yang tersusun sampai akhir abad 20, menyikap kemungkinan adanya hubungan

antara kanker serviks dengan agen yang dapat menimbulkan infeksi.

Karsinogen ini bekerja di daerah transformasi, menghasilkan suatu gradasi

kelainan permulaan keganasan, dan paling berbahaya bila terpapar dalam

waktu 10 tahun setelah menarche. Keterlibatan peranan pria terlihat dari

adanya korelasi antara kejadian kanker serviks dengan kanker penis di wilayah

tertentu. Lebih jauh meningkatnya kejadian tumor pada wanita monogami yang

suaminya sering berhubungan seksual dengan banyak wanita lain menimbulkan

konsep Pria Beresiko Tinggi sebagai vektor dari agen yang dapat

menimbulkan infeksi (Sjamsuddin, 2001).

Banyak penyebab yang dapat menimbulkan kanker serviks, tetapi

penyakit ini sebaiknya digolongkan ke dalam penyakit akibat hubungan

seksual (PHS). Penyakit kelamin dan keganasan serviks keduanya saling

berkaitan secara bebas, dan diduga terdapat korelasi non-kausal antara beberapa

penyakit akibat hubungan seksual dengan kanker serviks (Sjamsuddin, 2001).

2. Kontrasepsi
Kondom dan diafragma dapat memberikan perlindungan. Kontrasepsi oral

yang dipakai dalam jangka panjang yaitu lebih dari 5 tahun dapat meningkatkan

resiko relatif 1,53 kali. WHO melaporkan resiko relatif pada pemakaian

kontrasepsi oral sebesar 1,9 kali dan meningkat sesuai dengan lamanya

pemakaian (Sjamsuddin, 2001).

3. Merokok

Tembakau mengandung bahan-bahan karsinogen baik yang dihisap

sebagai rokok/sigaret atau dikunyah. Asap rokok menghasilkan polycyclic

aromatic hydrocarbon heterocyclic nitrosamines. Pada wanita perokok

konsentrasi nikotin pada getah serviks 56 kali lebih tinggi dibandingkan d i

dalam serum. Efek langsung bahan-bahan tersebut pada serviks adalah

menurunkan status imun lokal sehingga dapat menjadi kokarsinogen infeksi

virus (Sjamsuddin, 2001).

4. Nutrisi

Banyak sayur dan buah mengandung bahan-bahan antioksidan dan

berkhasiat mencegah kanker misalnya alvokat, brokoli, kol, wortel, jeruk,

anggur, bawang, bayam, tomat. Dari beberapa penelitian ternyata defisiensi

asam folat (folic acid), vitamin C, vitamin E, beta karoten/retinol

dihubungkan dengan dengan peningkatan resiko kanker serviks. Vitamin E,

vitamin C dan beta karoten mempunyai khasiat antioksidan yang kuat.

Antioksidan dapat melindungi DNA/RNA terhadap pengaruh buruk radikal

bebas yang terbentuk akibat oksidasi karsinogen bahan kimia. Vitamin E

banyak terdapat dalam minyak nabati (kedelai, jagung, biji-bijian dan


kacang-kacangan). Vitamin C banyak terdapat dalam sayur-sayuran dan

buah-buahan (Sjamsuddin, 2001).

E. Kriteria Diagnosis

Gejala

Perubahan prekanker pada serviks biasanya tidak menimbulkan gejala dan

perubahan ini tidak terdeteksi kecuali jika wanita tersebut menjalani

pemeriksaan panggul dan Pap smear (Calvagna, 2007).

Gejala biasanya baru muncul ketika sel serviks yang abnormal

berubah menjadi keganasan dan menyusup ke jaringan di sekitarnya. Pada saat

ini akan timbul gejala berikut (Calvagna, 2007):

1. Perdarahan vagina yang abnormal, terutama diantara 2 menstruasi,

setelah melakukan hubungan seksual dan setelah menopause

2. Menstruasi abnormal (lebih lama dan lebih banyak)

3. Keputihan yang menetap, dengan cairan yang encer, berwarna pink,

coklat, mengandung darah atau hitam serta berbau busuk

Gejala dari kanker serviks stadium lanjut (Calvagna, 2007):

1. Nafsu makan berkurang, penurunan berat badan, kelelahan

2. Nyeri panggul, punggung atau tungkai

3. Dari vagina keluar air kemih atau tinja

4. Patah tulang (fraktur).


Perubahan awal yang terjadi pada sel leher rahim tidak selalu merupakan

suatu tanda-tanda kanker. Pemeriksaan Pap smear yang teratur sangat

diperlukan untuk mengetahui lebih dini adanya perubahan awal dari sel-sel

kanker. Perubahan sel-sel kanker selanjutnya dapat menyebabkan perdarahan

setelah aktivitas sexual atau diantara masa menstruasi (Calvagna, 2007).

Keputihan merupakan gejala yang sering ditemukan. Getah yang

keluar dari vagina ini makin lama akan berbau busuk akibat infeksi dan

nekrosis jaringan. Dalam hal demikian, pertumbuhan tumor menjadi

ulseratif. Perdarahan yang dialami segera sehabis senggama (disebut sebagai

perdarahan kontak) merupakan gejala karsinoma serviks (75-80%) (Calvagna,

2007).

Perdarahan yang timbul akibat terbukanya pembuluh darah makin lama

akan lebih sering terjadi, juga diluar senggama (perdarahan spontan).

Perdarahan spontan umumnya terjadi pada tingkat klinik yang lebih lanjut

(II atau III), terutama pada tumor yang bersifat eksofitik. Pada wanita usia

lanjut yang sudah menopause bilaman mengidap kanker serviks sering

terlambat datang meminta pertolongan. Perdarahan sponta saat defekasi

akibat tergesernya tumor eksofitik dari serviks oleh skibala, memaksa mereka

datang ke dokter. Adanya perdarahan spontan pervaginam saat berdefekasi,

perlu dicurigai kemungkinan adanya karsinoma serviks tingkat lanjut.

Adanya bau busuk yang khas memperkuat dugaan adanya karsinoma. Anemia

yang menyertai sebagai akibat perdarahan pervaginam yang berulang. Rasa

nyeri akibat infiltrasi sel tumor ke serabut saraf, memerlukan pembiusan umum

untuk dapat melakukan pemeriksaan dalam yang cermat, khususnya pada


lumen vagina yang sempit dan dinding yang sklerotik dan meradang

(Calvagna, 2007).

Gejala lain yang dapat timbul ialah gejala-gejala yang disebabkan oleh

metastasis jauh. Sebelum tingkat akhir (terminal stage), penderita

meninggal akibat perdarahan yang eksesif, kegagalan faal ginjal

(CRF=Chronic Renal Failure) akibat infiltrasi tumor ke ureter sebelum

memasuki kadung kemih, yang menyebabkan obstruksi total. Membuat

diagnosis karsinoma serviks uterus yang klinis sudah agak lanjut tidaklah

sulit. Yang menjadi masalah ialah bagaimana mendiagnosis dalam tingkat

yang sangat awal, misalnya dalam tingkat pra-invasif, lebih baik bila

mendiagnosisnya dalam tingkatan pra-maligna (displasia/diskariosis serviks)

(Calvagna, 2007).

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan berikut

(Calvagna, 2007):

1. Pap smear. Pap smear dapat mendeteksi sampai 90% kasus kanker

serviks secara akurat dan dengan biaya yang tidak terlalu mahal. Akibatnya

angka kematian akibat kanker servikspun menurun sampai lebih dari

50%. Setiap wanita yang telah aktif secara seksual atau usianya telah

mencapai 18 tahun, sebaiknya menjalani Pap smear secara teratur yaitu 1

kali/tahun. Jika selama 3 kali berturut-turut menunjukkan hasil yang

normal, Pap smear bisa dilakukan 1 kali/2-3tahun. Hasil pemeriksaan

Pap smear menunjukkan stadium dari kanker serviks:


a. Normal.

b. Displasia ringan (perubahan dini yang belum bersifat ganas).

c. Displasia berat (perubahan lanjut yang belum bersifat ganas).

d. Karsinoma in situ (kanker yang terbatas pada lapisan serviks paling

luar)

e. Kanker invasif (kanker telah menyebar ke lapisan serviks

yang lebih dalam atau ke organ tubuh lainnya).

Gambar 1. Pemeriksaan Pap


Gambar 2. Perbedaan gambaran sel serviks normal dan displasia

2. Biopsi. Biopsi dilakukan jika pada pemeriksaan panggul tampak suatu

pertumbuhan atau luka pada serviks, atau jika Pap smear menunjukkan suatu

abnormalitas atau kanker.

3. Kolposkopi. Kolposkopi adalah suatu prosedur pemeriksaan vagina dan

leher rahims oleh seorang dokter yang berpengalaman dalam bidang

tersebut. Dengan memeriksa permukaan leher rahims, dokter akan

menentukan penyebab abnormalitas dari sel-sel leher rahims seperti yang

dinyatakan dalam pemeriksaan Pap smear. Cara pemeriksaan kolposkopi

adalah sebagai berikut: dokter akan memasukkan suatu cairan kedalam

vagina dan memberi warna saluran leher rahims dengan suatu cairan

yang membuat permukaan leher rahims yang mengandung sel-sel yang

abnormal terwarnai.. Kemudian dokter akan melihat kedalam saluran leher

rahims melalui sebuah alat yang disebut kolposkop. Kolposkop adalah

suatu alat semacam mikroskop binocular yang mempergunakan sinar yang

kuat dengan pembesaran yang tinggi. Jika area yang abnormal sudah

terlokalisasi, dokter akan mengambil sampel pada jaringan tersebut

(melakukan biopsi) untuk kemudian dikirim ke lab guna pemeriksaan

yang mendetail dan akurat. Pengobatan akan sangat tergantung sekali pada

hasil pemeriksaan kolposkopi anda.


4. Tes Schiller. Serviks diolesi dengan lauran yodium, sel yang sehat

warnanya akan berubah menjadi coklat, sedangkan sel yang abnormal

warnanya menjadi putih atau kuning. Untuk membantu menentukan stadium

kanker, dilakukan beberapa pemeriksan berikut:

a. Sistoskopi

b. Roentgen dada

c. Urografi intravena

d. Sigmoidoskopi

e. Skening tulang dan hati

f. Barium enema

Hasil Pap smear dikatakan abnormal jika sel-sel yang berasal dari leher

rahim ketika diperiksa di bawah mikroskop akan memberikan penampakan

yang berbeda dengan sel normal. Kejadian ini biasanya terjadi 1 dari 10

pemeriksaan Pap smear. Beberapa faktor yang dapat memberikan indikasi

diketemukannya penampakan Pap smear yang abnormal adalah (Calvagna,

2007):

1. Unsatisfactory Pap smear. Pada kasus ini, berarti pegawai di

laboratorium tersebut tidak bisa melihat sel-sel leher rahim dengan

detail sehingga gagal untuk membuat suatu laporan yang komprehensive

kepada dokter.
2. Jika ada infeksi atau inflamasi. Kadang-kadang pada pemeriksaan Pap

smear memberikan penampakan terjadinya inflamasi. Ini berarti bahwa

sel-sel di dalam leher rahims mengalami suatu iritasi yang ringan

sifatnya. Memang kadang-kadang inflamasi dapat kita deteksi melalui

pemeriksaan Pap smear, biarpun tidak timbul keluhan karena tidak

terasanya gejala klinis yang ditimbulkannya. Sebabnya bermacam-macam.

Mungkin telah terjadi infeksi yang dikarenakan oleh bakteri, atau karena

jamur.

3. Atypia atau Minor Atypia. Yang dimaksud dengan keadaan ini adalah jika

pada pemeriksaan Pap smear terdeteksi perubahan-perubahan sel-sel leher

rahims, tetapi sangat minor dan penyebabnya tidak jelas. Pada kasus

ini, biasanya hasilnya dilaporkan sebagai 'atypia'. Biasanya terjadinya

perubahan penampakan sel-sel tersebut dikarenakan adanya peradangan,

tetapi tidak jarang pula karena infeksi virus. Karena untuk membuat suatu

diagnosa yang definitif tidak memungkinkan pada tahap ini, dokter anda

mungkin akan merekomendasikan anda untuk menjalani pemeriksaan lagi

dalam waktu enam bulan. Pada umumnya, sel-sel tersebut akan kembali

menjadi normal lagi.

4. Klasifikasi dan Stadium


Stadium Kanker serviks (Benedet et al., 2006)

FIGO Deskripsi TNM


Stadium 0 Karsinoma in situ Tis
Stadium I Karsinoma terbatas seluruhnya pada serviks
IA Karsinoma invasif yang didiagnosis secara mikroskopis T1
Daerah invasi dengan kedalaman 3 mm dan lebar 7
mm
IA1 Daerah invasi dengan kedalaman lebih dari 3 mm dan T1a

kurang dari 5 mm dengan lebar 7 mm


IA 2 Karsinoma invasif yang terlihat secara makroskopis atau
secara mikroskopis lebih luas dari stadium IA2
Lesi kanker kurang dari 4 cm
IB T1a1
Lesi kanker lebih dari 4 cm
IB1
Invasi tumor ke uterus tanpa invasi ke dinding pelvis
IB2
dan sepertiga bawah vagina
Stadium II
Tumor tanpa invasi parametrial
IIA T1a2
Tumor dengan invasi parametrial
IIB
Tumor menyebar ke dinding panggul, sepertiga bagian
Stad
bawah vagina serta menyebabkan hidronefrosis dan tidak
IIIA berfungsinya ginjal
tanpa penyebaran ke dinding pelvis T3a
Tumor menyebar ke dinding pelvis disertai
IIIB hidronefrosis atau tidak berfungsinya ginjal T3b
Kanker telah menyebar ke daerah tubuh yang lain
Stadium IV Kanker telah menyebar ke daerah sekitar serviks seperti
IVA kandung kemih atau rektum T44
4
Kanker telah menyebar ke bagian tubuh yang jauh

5. Tata Laksana

Pilihan pengobatan lokal dipengaruhi oleh beberapa hal, di antaranya

ukuran tumor, stadium, struktur histologis, keterlibatan kelenjar getah bening,

faktor risiko, komplikasi dari pembedahan atau radiasi, dan keinginan


pasien. Lesi intraepitel dikelola dengan teknik ablatif dangkal, kanker

microinvasif yang menyerang kurang dari 3 mm (stadium IA1) dikelola

dengan operasi konservatif (excisional conization or extrafascial

hysterectomy), kanker invasif awal (stadium IA2 dan IB1 dan sebagian kacil

stadium IIA) dikelola dengan operasi radikal atau radioterapi, dan stadium IB2

sampai IVA dikelola dengan radioterapi (Ozols et al., 2001).

Stadium pre invasif (Stadium 0)

Pasien dengan lesi skuamosa invasif dapat diobati dengan terapi

ablatif dangkal (cryosurgery atau terapi laser) atau dengan eksisi loop jika:

1. Seluruh zona transformasi telah divisualisasikan dengan kolposkopi

2. Hasil biopsi sesuai dengan hasil pap smear

3. Temuan kuretase endoserviks negatif

4. Tidak ada kecurigaan dari invasi pada pemeriksaan sitologi

maupun kolposkopi

Jika pasien tidak memenuhi kriteria, harus dilakukan konisasi (Ozols et

al.,2001).

Tahap karsinoma mikroinvasif (Stadium IA)

Pengobatan standar untuk stadium IA1 adalah histerektomi total atau

histerektomi vagina. Diseksi kelenjar getah getah bening pelvis tidak dianjurkan

karena resiko metastasisnya kurang dari 1% (Ozols et al., 2001). Indikasi

histerektomi adalah wanita yang sudah cukup anak tanpa adanya invasi
limfovaskular, sedangkan pada wanita yang masih ingin mempertahankan

kesuburan, terapi yang adekuat adalah konisasi dengan simple margin

(Perroy dan Kotz, 2010).

Untuk pasien dengan stadium IA2, resiko metastasi kelenjar

getah beningnya sebesar 5%. Oleh karena itu harus dilakukan limfadenektomi

pelvis bilateral (Ozols et al., 2001).

Walaupun terapi pembedahan merupakan standar untuk karsinoma in

situ dan karsinoma mikroinvasif, pasien dengan masalah medis berat atau kontra

indikasi lain dapat diobati dengan radioterapi (Ozols et al., 2001).

Stadium IB dan IIA

Karsinoma serviks di awal stadium IB dapat diobati secara efektif dengan

gabungan external beam irradiation dan brachiterapi atau dengan histerektomi

radikal dan limfadenektomi pelvis bilateral. Tujuan dari kedua perlakukan

tersebut adalah untuk menghancurkan sel-sel ganas di leher rahim, jaringan

paraservikal, dan kelenjar getah bening regional. Tingkat kelangsungan

hidup pada pasien yang diterapi dengan pembedahan maupun radiasi biasanya

berkisar antara 80% dan 90%. Hal ini menunjukkan bahwa kedua terapi sama-

sama efektif (Ozols et al., 2001).

Pembedahan cenderung lebih disukai wanita muda dengan tumor

kecil karena fungsi ovarium masih terjaga. Sedangkan wanita usia tua, wanita

pasca menopouse cenderung memilih radioterapi untuk menghindari

morbiditas dan prosedur pembedahan besar (Ozols et al., 2001).


Stadium IIB, III, dan IVA

Radioterapi merupakan pengobatan lokal utama untuk kebanyakan pasien

dengan karsinoma invasif lanjut. Keberhasilan pengobatan tergantung pada

keseimbangan antara external beam irradiation dan brachiterapi,

mengoptimalkan dosis untuk tumor dan jaringan normal serta durasi

keseluruhan pengobatan. External beam irradiation berguna untuk

memberikan dosis homogen untuk karsinoma serviks primer serta jaringan

yang berpotensi sebagai tempat penyebaran tumor (Ozols et al., 2001).

Stadium

IVB

Pasien yang sudah mencapai stadium IVB sebagian besar tidak dapat

disembuhkan. Perawatan pasien pada tahap ini harus menekan gejala

secara paliatif dengan obat nyeri serta radioterapi lokal. Sel tumor

mungkin bisa merespon kemoterapi, namun biasanya responnya singkat (Ozols

et al., 2001). Beberapa kemoterapi paliatif yang sering digunakan adalah

cisplatin, carboplatin, ifosfamide, placitaxel, irinotecan, vinorelbine, dan

gemcitabine (Perroy dan Kotz,2010)

Cisplatin membunuh sel pada semua siklus pertumbuhannya, menghambat

biosintesis DNA dan berikatan dengan DNA membentuk ikatan silang

(cross linking). Tempat ikatan utama adalah N7 pada guanin, namun juga

terbentuk ikatan kovalen dengan adenin dan sitosin. Efek samping utama

cisplatin adalah nefrotoksisitas. Hidrasi yang cukup dengan garam fisiologis


atau manitol penting untuk mengurangi nefrotroksisitas (Nafrialdi dan Gan,

2
2007). Dosis terapinya 50 mg/m intravena setiap hari selama 3 minggu (Perroy

dan Kotz, 2010).

Nedaplatin adalah derivat dari cisplatin dengan efektivitas yang

sama, dengan efek samping nefrotoksis dan gastrointestinal toksis lebih

rendah (Mabuchi dan Kimura, 2010).

Penatalaksanaan pada Pasien

Hamil

Pada pasien hamil dengan displasia, pada umumnya

penanganannya ditunda sampai pasien melahirkan. Penanganan pada

karsinoma invasif tergantung pada stadium tumor serta umur kehamilan. Jika

kanker terdiagnosa sebelum janin matur, maka penanganan kanker sesuai

stadiumnya harus segera dilakukan. Pada pasien dengan stadium IA dan IB,

penanganannya bisa ditunda, namun pada stadium yang lebih lanjut

terapinya tidak boleh ditunda, kecuali diagnosis tegak pada trimester III dan

pasien tersebut harus melahirkan secara caesar (Perroy dan Kotz, 2010).

Penanganan pada Pasien dengan HIV

Kanker serviks pada pasien dengan HIV lebih progresifitasnya lebih

tinggi dan prognosisnya lebih buruk dari pada pasien tanpa HIV. Penatalaksaan

pada pasien dengan HIV sama dengan pasien tanpa HIV, meskipun

responnya biasanya lebih buruk. Sebuah data dari Afrika menunjukkan


bahwa kanker serviks merupakan AIDS-defining neoplasm terbanyak pada

wanita (Perroy dan Kotz, 2010).

6. Prognosis

Faktor prognostik yang mempengaruhi ketahan hidup yaitu, stadium,

keadaan kelenjar limfe, ukuran tumor dan kedalaman invasi ke dalam

stroma serviks, invasi pembuluh darah limfe serta perluasan dan juga tipe dan

derajat gambaran histologinya. Sebagai contoh, setelah operasi radikal

pasien dengan stadium penyakit IB atau IIA memiliki ketahanan hidup 5

tahun sekitar 88-96 tanpa keterlibatan kelenjar limfe, dibanding dengan 64-

73% pada pasien dengan metastase ke kelenjar limfe (Alan dan Nathan, 2007).

Tabel dibawah ini merangkum angka ketahanan hidup berdasarkan

stadium penyakit, berdasarkan pada Laporan Tahunan FIGO Mengenai Hasil

Penanganan Kanker Ginekologi (Alan dan Nathan, 2007).

Ketahanan Hidup Pasein dengan kanker serviks berdasarkan Stadium


FIGO (Alan dan Nathan, 2007)

Stadium Jumlah pasien (%) Ketahanan Hidup (%)

1 tahun 2 tahun 5 tahun


IA1 869 99,8 99,5 98,7
IA2 227 98,2 97,7 95,9
IB 3489 98,1 94,0 86,5
IIA 881 94,1 85,6 68,8
IIB 2375 93,3 80,7 64,7
IIIA 160 82,8 58,8 40,4
IIIB 1949 81,5 62,2 43,4
IVA 245 56,1 35,6 19,5
IVB 189 45,8 23,9 15,0
7. Pencegahan

Vaksin telah dikembangkan untuk mencegah infeksi dengan beberapa jenis

HPV terkait dengan kanker serviks. Saat ini tersedia vaksin dimaksudkan untuk

menghasilkan kekebalan terhadap HPV tipe 16 dan 18, sehingga perempuan yang

terkena virus ini tidak mengalami infeksi.

1. Vaksin Gardasil, disebut vaksin quadrivalent karena melindungi terhadap

empat tipe HPV: 6, 11, 16, dan 18. Gardasil diberikan melalui serangkaian tiga

suntikan ke dalam jaringan otot selama periode 6 bulan. Food and Drug

Administration (FDA) telah menyetujui Gardasil untuk digunakan pada wanita

untuk pencegahan kanker leher rahim, dan beberapa kanker vulva dan vagina,

disebabkan oleh HPV tipe 16 dan 18 dan untuk digunakan dalam pria dan wanita

untuk pencegahan kutil kelamin disebabkan oleh HPV tipe 6 dan 11 . Vaksin ini

telah disetujui untuk penggunaan pada wanita dan pria usia 9 sampai 26.

2. Cervarix, disebut vaksin bivalen karena target dua jenis HPV: 16 dan 18.

Vaksin ini juga diberikan dalam tiga dosis selama periode 6 bulan. FDA telah

menyetujui Cervarix untuk digunakan pada perempuan usia 10 sampai 25 untuk

pencegahan kanker leher rahim disebabkan oleh HPV tipe 16 dan 18. Baik dari

vaksin HPV telah terbukti untuk menyediakan perlindungan yang lengkap terhadap

infeksi HPV persisten dengan jenis lain, meskipun beberapa hasil awal

menunjukkan bahwa kedua vaksin mungkin menyediakan perlindungan parsial

terhadap beberapa tambahan jenis HPV yang dapat menyebabkan kanker serviks.
Secara keseluruhan sekitar 30 persen dari kanker serviks tidak akan dicegah oleh

vaksin. Selain itu, dalam kasus Gardasil, 10 persen kutil kelamin tidak akan

dicegah oleh vaksin ini.

Karena vaksin tidak melindungi terhadap semua infeksi HPV yang

menyebabkan kanker serviks, penting bagi perempuan yang divaksinasi untuk

terus menjalani skrining kanker serviks seperti yang dianjurkan bagi perempuan

yang belum divaksinasi.

Vaksin juga sedang dikembangkan untuk mencegah infeksi dengan

beberapa jenis HPV lain yang juga menyebabkan kanker. Studi jangka panjang

sedang dilakukan untuk melihat bagaimana vaksin ini akan mengurangi risiko

kanker serviks (American Cancer Society, 2011).

Beberapa vaksin eksperimental juga sedang dipelajari untuk wanita dengan

infeksi HPV, untuk membantu sistem kekebalan tubuh mereka menghancurkan

virus dan menyembuhkan infeksi sebelum kanker berkembang. Masih ada vaksin

lainnya dimaksudkan untuk membantu perempuan yang telah memiliki kanker

serviks stadium lanjut yang telah terulang atau metastasis. Vaksin ini berusaha

menghasilkan reaksi kekebalan ke bagian-bagian dari virus (E6 dan E7 protein)

yang membuat sel kanker serviks tumbuh tidak normal. Diharapkan bahwa

kekebalan ini akan membunuh kanker sel atau menghentikan pertumbuhannya

(American Cancer Society, 2011).


BAB III

KESIMPULA

1. Kanker serviks merupakan penyebab kematian utama kanker pada

wanita di negara-negara sedang berkembang

2. Faktor risiko epidemiologis terbesar untuk kanker serviks yaitu infeksi HPV

3. Kanker serviks adalah jenis kanker yang telah diketahui protein

karsinogennya yaitu protein E6 dan E7

4. Faktor risiko yang berkaitan ialah keadaan imunosupresi, infeksi HIV

atau memiliki riwayat terkena penyakit menular seksual, merokok, paritas

tinggi dan penggunaan kontrasepsi oral

5. Kanker serviks ditandai dengan perdarahan vagina yang abnormal,

keputihan yang menetap, dengan cairan yang encer, berwarna pink, coklat,

mengandung darah atau hitam serta berbau busuk

6. Diagnosis ditegakkan dengan Pap smear, biopsi, kolposkopi, dan tes Schiller

7. Pilihan pengobatan lokal dipengaruhi oleh beberapa hal, di antaranya

ukuran tumor, stadium, struktur histologis, keterlibatan kelenjar getah


bening, faktor risiko, komplikasi dari pembedahan atau radiasi, dan

keinginan pasien

8. Faktor prognostik yang mempengaruhi ketahan hidup yaitu, stadium,

keadaan kelenjar limfe, ukuran tumor dan kedalaman invasi ke dalam stroma

serviks, invasi pembuluh darah limfe serta perluasan dan juga tipe dan

derajat gambaran histologinya.

9. Pencegahan primer yaitu mencegah infeksi HV melalui vaksinasi,

sedangkan pencegahan sekunder adalah melalui deteksi dini yang dapat

dilakukan dengan berbagai metode, di antaranya uji sitologi dan uji DNA

HPV
BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

American Cancer Society. 2011. Cervical Cancer.


http://www.cancer.org/cancer/cervicalcancer/detailedguide/cervical-cancer-
pdf1 (25 April 2011)
Alan. H and Nathan L. 2007. Premalignant and malignant disorders of uterine
cervix dan chemotherapy for gynecologic cancer . In : Current Diagnosis &
Treatment Obstetrics & Gynecology Tenth Edition. United States of
America: McGraw- Hill Companies, Inc.p:
Benedet J. L., Hacker N. F., Ngan H. Y. S (editors). Staging classification and
clinical practice guidelines of gynaecologic cancers. Int J Gynaecol Obstet
2000;

20:207. http://www.f igo.org/content/PDF/stagin g-booklet.pdf


Calvagna M. 2007. Diagnosis of Cervical Cancer. American Cancer Society
website. http://www.cancer.org (19 Februari 2017)

Globocan. 2008. International Agency of Research Cancer (IARC) Section of


CancerInformationhttp://globocan.iarc.fr/factsheets/populations/factsheet.as
p?uno=900. (21 Februari 2011)
Hextan Y. S. Ngan et al. 2011. Review Article: Asia Oceania Guidelines for
the implementation of Programs for Cervical Cancer Prevention and
Control. J of Cancer Epidemiology. p: 2
Lee S. K., Park M. S., Nam N.J. 2008. Aspirin Has Antirumor Effects via
Expression of Calpain Gene in Cervical Cancer Cells. J of Onc Vol 2008.
p: 4
Mabuchi S., Kimura T. 2010. Nedaplatin: A Radiosensitizing Agent for Patient
with Cervical Cancer. Department of Obstetrics and Gynaecology Osaka
University School of Medicine. p: 1
Nafrialdi dan Gan S. 2007. Antikanker. Dalam: Gunawan S.G. (ed). Farmakologi
dan

Terapi. Edisi 5. Jakarta : Gaya Baru. p:746

National Cancer Institute. 2011. Cervical Cancer.


http://www.cancer.gov/cancertopics/types/cervical (19 Februari 2017))

National Cancer Institute. 2011. Human Papillomavirus (HPV)


Vaccines. http://www.cancer.gov/cancertopics/hpv-vaccines/Page1
(19 Februari 2017))

Setiawan, et al. Kamus Kedokteran Dorland Ed 29. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Jakarta: 2002. Hal 1051.

Anda mungkin juga menyukai